BAB 08. TIONG TENG MELARANG TIANG KENG BERCERITA PADA AYAHNYA
Mula-mula mereka berjalan perlahan. Sehabis bicara sebentar, Tiong Teng dan Tiang Keng berjalan lagi dengan cepat. Akhirnya mereka berlari-lari ke dalam kota. Sambil berlari. Tiong Teng berpikir, "Entah bagaimana ilmu meringankan tubuh adik Tiang Keng ini sekarang..
Untuk mencobanya Tiong Teng melompat sejauh delapan tombak. Itu adalah lompatan "Ceng-teng Sam-tiam-sui" atau "Capung menyambar air sebanyak tiga kali".
Lalu liong Teng berpaling, dia mendapatkan anak muda itu terus mengikuti di belakangnya. Diam-diam Tiong Teng menghela napas. Selanjutnya dia berlari terus dengan cepat tanpa menguji dan bicara lagi. Ketika itu sudah jauh malam. Keadaan kota sangat sunyi. Semua toko yang ada di tepi jalan raya pun telah tutup. Sebaliknya sejumlah hamba negara asyik memeriksa dan menyingkirkan mayat-mayat sambil membersihkan bekas-bekas darah. Terpaksa Tiong Teng dan Tiang Keng berjalan dengan tenang supaya tidak menimbulkan kecurigaan para petugas. Meski begitu beberapa hamba negara itu mengawasi mereka dengan tajam. Tiong
Teng dan Tiang Keng bersikap tenang dan tidak peduli.
Tiong Teng sangat asing pada keadaan kota Lim-an. Dia masih ingat secara samar-samar dan berhasil mencari "Liong Bun Kie", rumah makan yang merangkap warung teh. Di muka pintu warung teh itu tergantung dua buah teng-lo-Ieng (lentera) besar dengan tulisan besar-besar. Dari dalam rumah makan itu terdengar suara orang sedang berbincang-bincang. Tatkala Tiong Teng mengetuk pintu, dia mendapat pertanyaan dari dalam rumah makan.
"Siapa?" tanya orang itu. "Tiong Teng pulang?"
Tak lama pintu terbuka dan cahaya api mendadak memancar keluar ke arah mata Tiong Teng. Sebelum dia melihat jelas, tangannya sudah disambar dan ditarik masuk ke dalam warung teh tersebut. Dia tidak melawan dan hanya menurut saja karena dia tahu orang itu ayahnya.
"Tiong Teng, apa yang kau lihat?" tanya sang ayah. "Mengapa kau pergi lama sekali?"
Berbareng dengan pertanyaan ayahnya itu. banyak mata mengawasi dengan tajam ke arahnya. Dengan memaksakan diri, Tiong Teng tersenyum. Dia tidak segera menjawab dan hanya menujuk ke arah Tiang Keng yang masuk bersamanya.
"'Ayah, coba kau terka siapa anak muda ini?" ujar Tiong Teng.
To-pie Sin-kiam segera mengawasi ke arah Tiang Keng yang berdiri di sisi puteranya. Dia melihat orang itu tampan dan berdirinya tegak, bajunya bukan sutera dan bukan pula cita biasa. Mata anak muda itu jernih dan hidungnya bangir. In Kiam merasa kenal tetapi dia tidak ingat, dia ingat pada seseorang yang romannya sangat berkesan di hatinya. Dia tatap terus anak muda itu, sampai mendadak wajah In Kiam menjadi terang.
"Tiang Keng!" dia berseru. "Benarkah kau Tiang Keng?"
Tiang Keng pun merasakan rasa gembiranya saat bertemu dengan orang tua itu. Dia buru-buru menjatuhkan diri dan berlutut di depan si orang tua. Dia tidak dapat menahan diri lagi dan menangis terisak. "Loo-pee (paman)!"katanya. "Keponakanmu benar Tiang Keng! Aku girang Loopee sehat."
In Kiam memegang tangan Tiang Keng untuk dibangunkan. "Lekas bangun!" kata In Kiam dangan suara bergetar.
Dia cekal tangan anak muda itu dengan keras, hangat seperti dia mencekal anaknya sendiri. Dia pun masih terus mengawasi dengan tajam ke arah Tiang Keng.
"Sungguh tak kusangka! Mana Ayahmu? Mengapa dia tidak datang bersama menjengukku si Tua-bangka ini? Apa dia telah melupakan aku?" kata In Kiam.
Tiang Keng menahan hati agar tidak menangis. Dia melengos untuk memandang ke arah Tiong Teng. Sebaliknya yang diawasi malah sedang mengawasinya dengan sinar matanya gelisah. Sebab dia khawatir Tiang Keng membuka rahasia...
"Selama beberapa tahun ini. Ayahku tidak pernah keluar rumah lagi..." sahut Tiang Keng dengan berat. "Ayah cuma berpesan padaku untuk menyampaikan hormatnya kepada Loo-pee!"
Sulit bagi Tiang Keng untuk berdusta pada ayah Tiong Teng ini. Belum pernah dia melakukan hal itu. Terpaksa dia menekan batinnya sendiri untuk Tiong Teng maupun To-pie Sin-kiam, In Kiam.
"Bagus! Bagus!" kata In Kiam. dengan suara keras. "Sudah begitu lama dia tak muncul! Dia sahabat macam apa itu?
Syukur aku masih tetap sehat...!" Mendadak ia diam, dia terus menghela napas. Matanya mengawasi ke arah ponakannya itu. Sinar matanya sangat mengasihi.
"Nak, jangan kaget," kata In Kiam. "Aku sangat memikirkan Ayahmu." Tiang Keng mengerti kegirangan berbareng kedukaan orang tua ini. Begitulah perasaan seorang sahabat sejati, seorang saudara angkat. Apalagi dia adalah saudara tuaku," ujarnya.
"Loo-pee," kata Tiang Keng kemudian, dengan sangat berduka, "Loo-pee pasti mengenal baik sifat Ayahku itu. Jika Ayah tak datang, harap Loo-pee bisa memakluminya . ."
To-pie Sin-kiam In Kiam memegang keras lengan kiri anak muda itu dan meminta anak muda itu duduk di sisinya.
"Tiang Keng, aku dan Ayahmu bersahabat sudah puluhan tahun lamanya. Di antara kita tidak ada ganjalan apa-apa," kata In Kiam. "Aku bisa memaklumi adat Ayahmu itu."
In Kiam tampak girang.
"Sekarang, kau katakan padaku, mengapa kau datang ke mari?" kata In Kiam. "Aku juga yakin pasti kau sudah mewarisi kepandaian Ayahmu, bukan?"
Tiang Keng mengangguk. Kemudian dia menoleh ke Tiong Teng sambil memberi isyarat agar yang bersangkutan segera memberi penjelasan. Tiong Teng pun segera memberi keterangan sehingga membuat semua yan hadir keheranan. Wajah mereka berubah menjadi tegang. Tamu-tamu masih banyak, api lilin pun dipasang terang, tetapi suasana sebenarnya sangat tegang. Semua orang diliputi perasaan tidak karuan, heran dan tidak enak hati, mereka gelisah sendiri.
Seorang pelayan yang membawakan teh hangat untuk Tiang Keng. Mendengar keterangan Tiong Teng yang sangat mengerikan, dia kaget sampai cawan teh yang ada di tangannya terlepas jatuh dan pecah di lantai.
In Kiam sendiri tetap mengawasi anak To Ho Jian.
Sebaliknya Tiang Keng menuang teh sendiri, dia minum perlahan-lahan. Dia yakin In Kiam ingin mendengar jawaban darinya. Tapi dia perlu menenangkan hatinya. Dia harus bisa menguasai diri.
Sepuluh tahun yang lalu dia membantu gurunya menguburkan jenazah ayah dan Ibunya di kaki "Sie Sin Hong" di Hong-san. Itu saat yang sangat menegangkan baginya.
Sekarang dia harus menahan rasa haru dan susah hatinya itu karena terpaksa harus berdusta kepada In Kiam.
Di lain pihak, dia senang bisa bertemu dengan sahabat ayahnya ini. Dia merasa bersyukur, sama bersyukurnya ketika dia berhasil diselamatkan gurunya di gunung Ong-ok-san. Di gunung itu dia melewati hari-hari yang memilukan, serta bulan dan tahun-tahun yang pahit.
Dia harus giat untuk menekuni pelajaran silat atas bimbingan gurunya. Karena itu. hidup Tiang Keng sangat berbeda dengan anak-anak muda lainnya, dia tidak mencicipi hidup senang sebagai seorang bocah. Lama-lama dia menjadi kerasan juga tinggal di gunung.
Ketika gurunya menyuruh dia turun gunung untuk merantau untuk mendapatkan pengalaman sambil mencari musuh besar orang tuanya, dia merasa berat meninggalkan gurunya itu. Dia ingat pada segala benda yang ada di gunung itu, seperti tembok batu, pembaringan batu, meja dan kursi dari batu! Penghidupan di gunung yang sunyi tapi dia bisa hidup dengan tenang.
Dia ingat pada Su-khong Giauw, gurunya, yang sikapnya keras, tapi menyayanginya. Dia masih hijau di kalangan persilatan, tapi gurunya telah menjelaskan segalanya mengenai Dunia Kang-ouw (Dunia Persilatan) hingga pengetahuannya menjadi agak luas. Dia sudah mengenal teorinya dan sekarang tinggal prakteknya.
In Kiam heran melihat anak muda itu hanya memegangi cawan tehnya. Dia tidak segera meletakkan cangkir itu kembali dan roman orang itu seperti sedang berpikir keras. "Tiang Keng, apa yang mengganggu pikiranmu?" tanya In Kiam. "Kau ceritakanlah semuanya kepadaku! Tak apa kau jauh dari Ayahmu, di sini ada aku yang dapat menjadi wakilnya!"
Tiang Keng mengangkat kepalanya, dia melihat sinar mata sayang dari orang tua itu. Dia jadi terharu, hingga air matanya meleleh keluar.
"Eh, Tiang Keng kau kenapa?" tanya To Pi Sin-Kiam heran. "Kau bicaralah! Apapun yang terjadi, aku akan membantumu!"
Mata anak muda itu berkunang-kunang. Dia menyesal karena tidak bisa segera membuka isi hatinya di depan orang tua yang demikian baik budi itu. Dia menepis air matanya.
"Loo-pee, keponakanmu " kata Tiang Keng, tapi dia lihat
sinar mata Tiong Teng yang tajam sekali diarahkan kepadanya. "Sejak keponakanmu pergi meninggalkan Ayahku
..."
Kembali dia berhenti, dadanya terasa sesak.
In Kiam heran, dia menatap wajah anak muda itu. "Tiang Keng, kau kenapa?" tanya In Kiam.
Tiong Teng menghampiri.
"Tiang Keng ingat pada keadaan rumah tangganya!" kata Tiong Teng, menyelak. "Sudahlah, Tiang Keng, kau sudah tiba di sini, mari kita tinggal bersama, sedikitnya untuk beberapa hari! Kau tahu sendiri, saudara, kota Lim-an tengah diliputi kehebohan besar, jika kau tidak datang, entah apa yang aku mesti lakukan ? " kata Tiong Teng sambil mengawasi anak
muda itu.
Tiong Teng segera menuturkan pengalamannya. Kemudian dia menambahkan "Perkumpulan Ang Kin Hwee didirikan belum lama, tapi organisasi ini rapi sekali dan sangat berpengaruh. Siapa sangka hari ini perkumpulan itu harus hancur berantakan di kota Lim-an. Peristiwa ini sangat di luar dugaan dan tak masuk akal... Siapakah orang yang menumpas mereka itu?"
Cerita Tiong Teng ini dapat mengalihkan perhatian To-pie Sin-kiam. sang ayah. Dia mengerutkan alisnya, lalu berkata, "Sejak aku menyaksikan kepandaian si baju kuning, murid Ban Biauw Cin-jin, aku telah menduga bahwa Dunia Kang-ouw bakal mengalami suatu malapetaka besar. Tiang Keng..." katanya sembil mengawasi wajah anak muda yang terlihat merah karena sedang gusar.
Tangan anak muda itu dikepalkan serta kedua matanya bersinar bengis, sehingga In Kiam jadi heran sekali.
"Kenapa anak ini?" pikir In Kiam.
Dia tidak tahu kalau Tiang Keng sangat memikirkan sakit hati ayahnya.
In Kiam pun tidak tahu kalau Tiang Keng juga telah mendengar masalah di gunung Thian Bak-san dan yang menjadi Tay-cu adalah murid si wanita jelek Han Jie Giok. Karena itu dia memaksakan diri datang ke Lim-an.
0oo0