Jilid 25
TENGAH hari itu tibalah si anak muda itu didalam sebuah dusun, karena merasa lapar dia ambil keputusan untuk beristirahat dan mengisi perut lebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanannya lagi. Dari kejauhan ia lihat ada sebuah warung dengan panji tulisan “Arak” berkibar terhembus angin, dengan langkah lebar ia lantas menghampiri warung itu, maksudnya ia hendak minum arak untuk meng-hilangkan segala kemurungan yang mencekam dirinya selama dua hari ini.
Ramai sekali warung arak itu apalagi letaknya ditepi sebuah jalan raya, bukan saja bangunannya lebar dengan dua puluh meja lebih, daganganpun ramai sekali.
Terutama disaat tengah hari, banyak orang bersantap dalam warung itu sambil melepaskan dahaga, maka hampir saja delapan bagian sudah penuh berisikan tamu.
Baru saja Hoa Thian-hong duduk disebuah meja kosong, seorang pelayan yang basah oleh keringat telah datang menghampiri sambil menyapa.
“Siangkong, engkan hendak pesan apa?”
“Siapkan sepoci arak dan beberapa macam sayur!” jawab pemuda itu seenaknya.
Pelayan itu segera mengiakan dan berlalu. 0000O0000
78
SELANG SESAAT, pelayan telah muncul menghidangkan sepoci arak dan sepiring daging sapi yang tampak lezat.
Dasar anak dusun yang sudah banyak tahun hidup diatas bukit dan siang malam hanya memikirkan soal belajar silat, kemudian setelah terjun kedalam dunia persilatan harus terlibat dalam masalah yang pelik, menyaksikan hidangan yaog lezat, kontan si anak muda itu menyikatnya densan lahap.
Memang sudah lama ia terjun kedalam dunia persialatan, selama luntang lantung kesana kemari tanpa tempat tinggal yang tetap, entah sudah berapa ribu kali masuk kerumah makan untuk bersantp, tapi mi num arak seorang diri baru dialaminya sekarang untuk pertama kali.
Ketika pelayan arak itu mendengar bahwa tamunya hanya memesan beberapa macam sayur yang sederhana, dikiranya pemuda ini bukan seorang yang biasa makan minun, oleh sebab itu arak yang dihidangkan juga arak biasa yang terhitung dari kwalitet rendah.
Baru satu tegukan ia mencicipi, terasa arak itu amat keras bagaikan tusukkan jarum, bukan saja susah ditelan bahkan rasanya juga sangat tak enak.
Tanpa terasa ia menghela napas berat, dalam benaknya terlintas pula kenangan dimasa silam.
Dia masih ingat ketika untuk pertama kalinya minum arak dikota Cho ciu, waktu itu senja baru menjelang tiba dan ia menghadiri pertemuan yang diadakan Giok Teng Hujin didalam kuil It goan koan dari Thong-thian-kauw, ketika itu Giok Teng Hujin dengan dandanan yang agung sambil membopong Soat-ji makhluk aneh itu duduk di kursi utama, sementara disampingnya didampingi Cing siu cu dan Ngo ing cin jin dari Kuil It goan koan.
Pui Che-giok dayang Giok Teng Hujin yang cantik jelita bertugas melayani Hoa Thian-hong, sementara kawanan gadis cantik yang lain mengiringi diseputar ruang perjamuan. Waktu itulah untuk pertama kalinya dia dihormati orang sebagai tamu terhormat, untuk pertama kalinya disanjung dan dipandang oleh seorang jago kenamaan.
Menyusul kemudian perjamuan yang diadakan Giok Teng Hujin dalam pesanggrahan nya ditepi pantai, rumah yang putih dengan ruangan yang serba indah.
Dan terakhir ketika berada dalam kota Lok yang, didalam sebuah ruang loteng yang kecil mungil, dengan pembaringan yang putih beralaskan kain seprei warna merah jambu, lilin merah dengan ukiran naga dan burung hong, serta arak dewa mabuk yang menggairahkan api asmara.
Aaai, dia hanya senantiasa melepaskan budi kepadaku, melepaskan kebaikan kepadaku belum pernah mengucapkan kata-kata yang tak sedap didengar, tak pernah menuntut sesuatu balas jasa atas pertolongan yang pernah dilakukannya, dia memang seorang perempuan yang cantik, hebat dan luar biasa.
Berpikir sampai disitu, tak kuasa lagi air mata jatuh bercu- curan membasahi pipinya.
Haruslah diketahui, bibit cinta yang bersemi didalam hati Hoa Thian-hong maupun Giok Teng Hujin bermula dari suatu persahabatan yang erat akrab dan hangat, rasa persahabatan yang begitu tebal dan mendalam sedikit demi sedikit terlanjur masuk kedalam hati Hoa Thian-hong hingga akhirnya menjurus kesoal citta.
Bibit persahabatan diantara mereka berdua memang tampaknya tidak terlalu hangat, tidak terlalu membekas dihati sanubari malahan terasa agak cabul dan melanggar kesusilaan, malahan boleh dibilang bagaikan permainan anak- anak. Pada hakekatnya hal itu disebabkan Giok Teng Hujin merasa umurnya terlalu tua hingga tidak pantas mendampingi si anak muda itu, oleh sebab ia kuatir bukan kebaikan yang diperoleh sebaliknya justru cemoohan atau hinaan, maka cinta kasih yang bersemi dalam hatinya hanya disampaikan secara gurauan, sementara dalam hati kecilnya ia merasa sedih dan menahan tetesan air mata.
Pada hakekatnya di masa lampau, Hoa Thian-hong sama sekali tidak merasakan akan hal itu, ia tetap belum dapat meresapi limpahan cinta yang ditujukan Giok Teng Hujin kepadanya, ia selalu menganggap perempuan itu lincah berwajah riang, romantis dan tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi soal semacam apapun jua.
Tapi sekarang, secara tiba-tiba ia jadi paham, ia merasa bahwa penghianatan Giok Teng Hujin terhadap perkumpulannya adalah akibat dia, akibat ia hendak menghalangi dirinya jangan sampai menyerahkan pedang baja itu kepada orang lain.
Dan sekarang kitab kiam keng sudah berada dalam sakunya, ia semakin dapat meresapi kebaikan dari Gok teng hujin itu, apalagi selelah terbayang akan ancaman siksaan In hwe lian bun (api dingin melelehkan sukma) serta Ngo kiam hua si (lima pedang menyincang badan), pemuda itu semakin merasakan betapa pedih dan tersiksanya perasaan hatinya.
Ditengah helaan napas panjang dan pelbagai pikiran yang berkecamuk dalam benaknya, tanpa terasa sepoci arak telah berpindah kedalam perutnya.
Cepat dia angkat poci kosongnya seraya berseru, “Hey, pelayan! Ambillah satu poci lagi!” Seorang pelayan segera maju menghampiri sambil berkata.
“Harap yaya tunggu sebentar, hamba segera akan siapkan satu poci arak lagi!”
Selang sesaat dia telah muncul kembali sambil membawa sepoci arak, dalam keadaan murung karena memikirkan banyak persoalan si anak muda itu sama sekali tidak memikirksn apa sebabnya pelayan itu jadi lebih rajin dari pada tadi.
Melihat arak telah dihidangkan, diapun segera penuhi cawannya dan meneguk isinya, hanya tiba-tiba saja ia merasa arak yang dimi num jauh lebih harum dan sedap agaknya arak pilihan yang telah puluhan tahun lamanya disimpan dalam gudang.
Dalam heran dan tercengangnya, tiba-tiba ia merasa suasana disekitar ruangan itu menjadi hening dan serius, hanya disudut kiri saja masih kedengaran ada orang sedang berbicara.
Cepat dia alihkan sorot matanya ke arah mana berasalnya suara pembicaraan itu, ternyata mereka hanya sekelompok pedagang belaka, sementara dari sisi mejanya duduk pula seorang pemuda berdandan busu sedang melotot penuh kegusaran ke arah kaum pedagang tadi, rupanya ia hendak mencegah orang-orang itu buka suara.
Agak tertegun Hoa Thian-hong menghadapi kejadian tersebut, dia alihkan kembali sorot matanya ke arah lain.
Tampaklah seorang kakek berusia lima puluh tahunan duduk dikursi utama, enam orang yang masih muda dengan pakaian ringkas dan masing-masing membawa sebuah bantalan panjang yang tampaknya adalah senjata tajam berada diseputarnya.
Ketika kakek itu menyaksikan Hoa Thian-hong berpaling ke arahnya, cepat ia bangkit berdiri seraya memberi hormat, ujarnya sambil tersenyum.
“Kongcu ya, baik-baikkah engkau?”
Cepat Hoa Thian-hong bangkit berdiri dan balas memberi hormat.
“Baik-baikkah engkau lo enghiong?” sahutnya.
Sapa menyapa sudah lazim terjadi diantara kawanan jago persilatan yang bertemu di suatu tempat, misalnya warung makan atau rumah penginapan karena menganggap pihak lawan lebih tua maka Hoa Thian-hong merasa sepantasnya. Kalau ia baru duduk setelah lawannya duduk.
Siapa tahu rupanya kakek itupun sedang menunggu sampai anak muda itu duduk lebih dahulu ia baru duduk, untuk sesaat kedua orang itu sama-sama berdiri tertegun tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Melihat itu, kawan-kawan lainnya yang ada di seputar meja ikut bangkit berdiri untuk menunjukkan sikap hormatnya.
Setelah menyaksikan kesemuanya itu, Hoa Thian-hong lantas berpikir dalam hatinya, “Orang-orang itu terlalu sungkan terhadap diriku, aku jadi tak enak rasanya….”
Maka dia maju menghampiri orang-orang itu seraya tegurnya dengan sekulum senyuman menghiasi bibirnya, “Cayhe adalah Hoa Thian-hong, boleh aku tahu siapa nama besar dari Lo enghiong?!” Buru-buru kakek tua itupun melangkah keluar dari tempat duduknya.
“Ooh…. aku adalah Tio Ceng tang, sungguh beruntung aku bisa bertemu dengan Hoa hongcu, pertemuan ni sangat menggembirakan hidupku”
Dari sikap serta gerak-gerik Tio Ceng tang yang gagah dan perkasa, siapapun akan tahu bahwa dia bukan seorang manusia sem barangan, akan tetapi sikapnya yang begitu menghormat terhadap Hoa Thian-hong membuat si anak muda itu merasa jadi riku.
Dalam keadaan pusing oleh persoalan yang sedang dihadapi, Hoa Thian-hong sebenarnya tidak berminat untuk mengadakan hubungan lebih jauh dengan orang ini, akan tetapi iapun tak mau kurang hormat sehingga mendatangkan kesan kurang baik bagi orang lain, maka dengan sikap yang tetap menghormat kembali ia berkata, “Ooh…. rupanya Tio lo enghiong, sayur dan arak ditempat ini sangat lezat, bila lo enghiong tidak terburu-buru melakukan perjalanan, bagaimana kalau kita minum dulu satu dua cawan?”
Bagaikan orang yang kaget karena tiba-tiba mendapat lotre tujuh puluh lima juta rupiah, Tio Ceng tang berdiri melongo untuk beberapa saat lamanya, kemudian dengan gelisah sahutnya, “Daripada menolak, baiklah kuterima penghormatan ini, kongcu, silahkan duduk, silahkan duduk”
Setelah kedua orang itu anbil tempat duduk, pelayan menambah cawan dan sumpit.
Terdengar Tio Ceng tang berseru dengan cepat. “Eíeb, pelayan…. siapkan lagi beberapa macam sayur, apabila ada arak yang paling baik, harap siapkan sepoci lagi!”
Pelayan itu mengiakan berulang kali kemudian buru-buru menuju kedalam dapur.
Sementara itu dari logat suara Tio Ceng tang, pemuda kita dapat menangkap bahwa suaranya membawa logat wilayah San see yang barat, maka iapun menegur, “Tio lo enghtoog, aku boleh tahu darimana asalmu?”
“Aku juga berasal dari In tiong san!” sahut Tio Ceng tang dengan sekulum senyum kebanggaan tersungging diujung bibirnya.
“Oooh…. rupanya kita berasal dari desa yang sama, maap maap….” kata Hoa Thian-hong sambil memberi hormat lagi.
“Kongcu tak usah banyak adat, beberapa hari berselang aku dengar cerita dari para sahabat, katanya Hoa kongcu sedang berangkat pulang ke desa dan bermalam di Lok yang, mengapa….”
“Boanpwee telah bertamu dengan suatu kejadian yang ada diluar dugaan, ujar Hoa Thian-hong dengan wajah sedih, maka aku harus berangkat menuju keselatan, apakah locianpwe juga hendak pulang kedesa?”
“Bulan berselang aku baru saja berangkat dari desa, sekarang kami hendak menuju ke kota Cho ciu. Haahh…. haah…. haah…. kongcu, janganlah bersikap sungkan-sungkan, sebutan locianpwe tak berani kuterima….!”
Selang sesaat kemudian, pelayan telah menghidangkan sayur dan arak baru, sambil minum arak dan bersantap Hoa Thian-hong mengajak tamunya berbicara kesana kemari Semula dia bermaksud antuk mencari tahu kabar tentang orang-orang Kiu-im-kauw, tapi setelah tahu bahwa dia asal utara mau kesela tan, maka niatnya itupun dibatalkan.
Setelah pembicaraan berlangsung sekian lama, tiba-tiba Tio Ceng tang meletakan kembali cawan araknya keatas meja, lalu ujarnya dengan muka serius, “Kami orang-orang dusun telah mendapat kabar yang mengatakan bahwa lo hujin telah kehilangan tenaga dalamnya sewaktu melakukan pertarungan untuk menumpas kaum sesat, semua orang sangat menguatirkan kesehatannya, bolehkah aku tahu bagaimana keadaannya sekarang?”
“Terima kasih atas perhatian locianpwa semua, Ibuku telah sehat kembali dan tenaga dalamnya telah pulih kembali seperti sedia kala.
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan lebih jauh, “Apakah locianpwe sekeluarga berada dalam keadaan sehat walafiat juga?”
Sambil menjura Tio Ceng tang tertawa, jawabnya, “Berbicara terus terang, semenjak kecil aku sendiripun telah luntang lantung dalam dunia persilatan, untungnya nasibku agak mu jur sehingga berhasil mendirikan sebuah perusahaan ekspedisi Toa tong piau kiok dikota Cho-Ciu, berkat bantuan dari sahabat sa habatlah usahaku dapat berlangsung agak lumayan.”
“Oohh rupanya Tio lo piau tai!” Tio Ceng tang tertawa lebar.
“Setelah perusahaan itu berjalan beberapa tahun, sekalipun hanya berupa usaha kecil-kecilan namun boleh dibilang aku berhasil mendapatkan banyak kemajuan dari situ. Siapa tahu setelah terjadinya pertarungan berdarah dalam pertemuan Pek-beng-hwie kaum lurus banyak yang dibunuh dan kaum sesat malahan mendapatkan kemenangan, kejadian itupun segera merubah pula nasib kehidupan dari kami orang-orang kecil dalam dunia persilatan….”
“Apakah usaha ekspedisimu tak boleh melewati wilayah kekuasaan, malahan harus membayar pajak yang mencekik leher kepada pihak perkumpulan….?” tanya Hoa Thian-hong dengan sepasang alis matanya berkenyit
“Aiah, kalau cuma begitu sih urusan kecil” sahut Tio Ceng tang sambil tertawa, “justru yang payah mereka main rampok dan main rampas dengan begitu saja, sejak kaum iblis memperoleh kemenangan maka perusahaan Toa tong piau kiok ikut disita pula oleh orang-orang Hong-im-hwie, aku tahu bahwa kekuatanku sangat minim, kalau main ribut jelas bukan tandingan sebab ibaratnya telur melawan batu, terpaksa selama banyak tahun kupendam terus rasa mangkel dan dongkolku ini”
“Siapa yang telah mengangkangi perusahaan Poa tong piau kiok mu itu?” tanya Hoa Thian-hong dengan cepat, menurut apa yang kuketahui orang-orang Hong im bwe Kebanyakan sudah mampus atau terluka ketika berlangsungnya pertemuan Kian Ciau tay hwe….”
Tio ceng tang goyangkan tangannya berulang kali, ia bertanya sambil tertawa, “Kongcu tak usah gelisah, orang yang mengangkangi perusahaan Toa totg piau kiok itu bernama Hek Kun lun, dia masih belum berhak untuk menghadiri pertemuan Kian ciau tay hwe”
Sesudah tertawa terbahak-bahak, sambungnya lebih jauh. “Sejak pertarungan di lembah Cu-bu-kok kekuatan Hong- im-hwie telah runtuh dan mengalami kehancuran, dalam keadaan demikian aku rasa hanya bajingan-bajingan cilik macam Hek Kun lun yang berdiam di daerah pastilah sudah kabur terbirit-birit sambil memboyong keluarganya dan sekarang akupun sudth tiba waktunya untuk menerima kembali warisan ku yang sudah lama terbengkelai setelah belasan tahun hidup sebagai pemburu!”
Mendengar perkataan itu, tanpa terasa Hoa Thian-hong terbayang kembali akan perkumpulan Sin-kie-pang dibawah pimpinan Kho Hong-bwee, mungkinkah pendekar perempuan itu berhasil merubah moral anak buahnya, soal ini masih merupakan suata tanda tanya besar, selain itu Kiu-im-kauw telah menyusupkan pula pengaruhnya kedalam dunia persilatan, kalau dikatakan dunia sudah aman, sebenarnya boleh dibilang ucapan ini terlalu pagi.
Walau begitu Hoa Thian-hong merasa tidak tega untuk mengatakan keluar, dia kuatir mengurangi kegembiraan Tio Ceng tang.
Sementara itu Tio Ceng tang telah mengangkat cawan araknya seraya berkata dengan serius, Hoa kongcu, bukannya aku sengaja menyanjung atau menjilat pantat, tahukah engkau berapa banyak sahabat persilatan dan rakyat kecil yang merasa berterima kasih kepadamu? tak usah kita jauh- jauh mencari perumpamaan, cukup ambilah kedai ini sebagai contoh, kalau tempo dulu yang berkunjung kemaii kebanyakan adalah orang-orang perkumpulan, buka mulut lantas memaki, gerak tangan lantai memukul orang, habis makan kalau senang membayar, kalau tak senang lantas pergi dengan begitu saja, maka sekarang keadaannya telah berubah, manusia-manusia semacam itu sudah tergeser dari percaturan dunia persilatan, usaha rakyat kecilpun berjalan lagi dengan tertib tahu kah kongcu bahwa ketertiban dan keamanan ini semuanya adalah pemberianmu….”
Merah jengah selembar wajah Hoa Thrao Hong, dengan cepat dia menukas, Membasmi kaum durjana menolong kaum lenah adalah kewajiban setiap umat persilatan didunia, kemampuan apa yang kumiliki sebagai seorang manusia yang masih muda dan berilmu cetek? Kalian tak usah memuji diriku, aku tak lebih hanya menyumbangkan sedikit tenaga untuk membantu kaum tua belaka….”
Pemuda itu kuaitir kalau di sanjung-sanjung lebih lanjut, cepat dia alihkan pokok pembicaraan kesoal lain.
“Selama satu dua hari belakangan ini, apakah Lo piau tau pernah melihat orang-orang dari Kiu-im-kauw?”
Agak tertegun Tio Ceng tang setelah mendengar perkataan itu, sahutnya setelah termanggu sesaat.
Aku memang pernah mendengar kalau Kiu-im-kauw yang sudah bubar telah bangkit kembali, tapi selama ini belum pernah kutemui orang- orang dari pihak Kiu-im-kauw”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Cuma selang pagi tadi aku telah berjumpa dengan sekawanan manusia berbaju kuning yang dandanannya tosu bukan tosu, pendeta bukan pendeta, kalau dugaanku tak salah mestinya mereka adalah orang-orang Mo-kauw dari luar perbatasan”
“Kalau begitu mereka pastilah Tang Kwik-siu dan muridnya! pikir Hoa Thian-hong di hati.
Cepat ia bertanya, “Berapa orana yang telah lo piau tau temui? Mereka telah pergi ke arah sebelah manoa?” Mereka semua berjumlah lima orang, empat pria dan seorang wanita, arahnya kalau bukan menuju kota Cho Ciu, pastilah menuju ke ke Ou kwang….!”
“Empat pria seorang wanita!” ulang Hoa Thian-hong dengan dahi berkerut kencang, “kalau bukan menuju ke kota Cho Ciu? Pastilah menuju ke Oa kwang….?!”
Sambil meletakkan kembali cawan araknya keatas meja, Tio Ceng tang berkata lagi dengan wajah serius, “Putraku pernah berjumpa dengan kongcu sewaktu ada dikota Cho-ciu, maka tatkala kongcu masuk sedalam warung tadi, ia telah menerangkan kepadaku, sebenarnya ketika itu juga akan kusampaikan berita ini kepada diri kongcu, akan tetapi berhubung….”
Betapa gelisahnya Hoa Thian-hong tatkala dilihatnya orang itu tidak langsung membicarakan urusan yang serius, cepat dia menukas dengan hati gelisah.
“Seorang sahabatku telah terjatuh ketangan musuh besarnya, karena memikirkan kesela-matannya aku jadi sangat murung, harap lo piau tau jangan mentertawakan kehilafanku itu!”
“Ooh tidak, tidak boleh aku tahu sahabat kongcu itu seorang laki-laki ataukah….”
“Dia adalah seorang nona, sahabat karib dari istriku, menurut berita yang kuterima katanya ia kena ditangkap orang-orang dari pihak Kiu-im-kauw!”
“Aaah! Kalau begitu kejadian ini aneh sekali!”
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak anak muda itu, segera dia bertanya. “Dimana letak keanehan itu? Apakah aku boleh tahu perempuan yang lo pia tau temui itu berapa besar usianya dan bagaimanakah dandanannya….?”
Tanpa berpikir panjang Tio Ceng tang segera menjawab, “Dia adalah seorang nona yang cantik jelita bak bidadari yang turun dari kahyangan, usianya belum mencapai dua puluh tahunan, pakaian maupun dandanannya tidak berbeda jauh dengan keempat pria tersebut, diapun mengenakan jubah kuning dengan sepatu terbuat dari kain, ikat pinggangnya berwarna kuning pula”
Sesudah berhenti sebentar, sambangnya lebih jauh, “Bukannya aku sengaja mengibul atau omong kosong, kecantikan nona itu benar-benar luar biasa, hampir saja aku tidak percaya kalau dldunia ini ternyata terdapat seorang perempuan yang memiliki kecantikan wajah yang begitu hebatnya”
Betapa terperanjatnya Hoa Thian-hong seteleh mendengar perkataan itu, dalam hati dia lantas berpikir, “Aduuh…. jangan-jangan dia adalah Kun Gie?”
Ketika secara tiba-tiba Tio Ceng tang menyaksikan air muka si anak muda itu berubah jadi pucat piat bagaikan mayat, dia jadi sa ngat kuatir dengan penuh perhatian ujarnya, “Hoa kongcu, kau….”
Setelah berbasil menguasai diri, cepat-cepat Hoa Thian- hong berkata lagi.
“Lo piau tau, harap terangkan dengan cepat, aku harus segera selamatkan jiwanya, karena itu perjalanan pun harus kulakukan sekarang juga” “Terima perintah!” Tio Ceng tang.
Sesudah termenung sebentar, dia berkata, kembali. “Kemarin malam kami menginap didalam sebuah rumah
penginapan yang memakai merek Kho ke ci, ketika baru saja bangun tidur secara lapat-lapat kudengar ada suara gaduh diluar halaman, mana secara iseng aku membuka jendela menengok keluar, kutemukan empat laki-laki dan seorang perempuan itu lagi bersiap-siap hendak berangkat, tapi perempuan itu ribut terus dan tak mau pergi, katanya kalau tidak naik kuda maka dia tak mau berangkat, waktu itu aku tidak terlalu menaruh perhatian, siapa tahu tiba-tiba gadis cantik itu berseru keras….”
Berbicara sampai disini, tiba-tiba ia membungkam dan tidak melanjutkan kembali kata-katanya.
Hoa Thian-hong jadi sangat gelisah, cepat dia berseru, “Apa yang dikatakan nona itu?”
Tio Ceng tang tidak langsunng menjawab, dengan sorot mata yang tajam dia menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kemudian dengan suata yang lirih sahutnya, “Nona itu berteriak demikian: ‘Dari sini menuju ke Kiu ci masih ada lima enam ribu li jauhnya, aku tak kuat jalan lagi, kalau kalian mau menggali harta silahkan gali sendiri, aku tidak ingin kaya, aku tidak ingin….’”
“Dia tak ingin apa lagi?” sela Hoa Thian-hong.
Sayang ketika berbicara sampai disitu, kakek yang tampaknya pemimpin rombongan itu sudah menghampirinya, sambil tertawa kakek itu segera memaki, “Kamu si bocah perempuan edan, kami toh mau pergi ke kota Cho ciu, siapa bilang mau ke Kiu ci atau sip ci, tapi nona itu segera berteriak lagi: ‘Kalau pergi ke kota Cho ciu, maka kalian semua pasti akan mampus semua! Baru saja berbicara sarpai disitu, nona itu sudah diseret pergi oleh kakek tua tersebut.”
Hoa Thian-hong semakin murung, dengan dahi berkerut dia cuma bisa berguman seorang diri, “Kiu ci…. menggali harta….Cho Ciu….”
Terdengar Tio Ceng tang berkata kembali, “Menurut penilaianku, apa yang dikatakan nona itu sebagai Kiu ci pastilah tujuan mereka yang sebenarnya, sedang kakek itu sengaja mengucapkan kota Cho ciu untuk melamurkan perhatian orang, sayangnya beberapa orang itu terlalu cepat perginya, ketika kami berangkat ternyata jejak mereka sudah tidak tampak lagi”
“Lo piau tau, seingatmu nona itu berbicara dengan logat darimana? Selain Lo piau tau apakah ada orang lain yang pernah menyaksikan raut wajah nona itu?”
“Logat suara itu campuran, tapi sebagian besar sepertinya logat dari orang-orang Ho lim, ketika itu fajar baru menyingsing kebetulan aku bangun lebih pagi, maka ketika semua orang bangun sesudah mendengar suara ribut-ribut dari nona itu, mereka telah berlalu dari rumah penginapan tersebut”
Kalau begitu dia pastilah Kun gie ada nya, batin Hoa Thian- hong didalam hati.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget menggema memecahkan kesunyian disusul seorang dara berbaju hijau lari masuk kedalam kedai dan berlutut dihadapan Hoa Thitan Hong sambil menangis tersedu-sedu. “Kongcu ya!” serunya dengan lirih, “jiwa siocia tak bisa dilindungi lagi, berusahalah cepat untuk menyelamatkan jiwanya….”
Secara mendadak Hoa Thian-hong merasakan dadanya amat sakit, cepat ia menarik napas panjang dan melancarkan kembali udara yang tersumbat didalam dadanya, kemudian ucapnya, “Che giok, bangunlah! Aku sudah mengetahui akan persoalan ini, dan sekarang juga aku sedang berangkat menuju kesitu!”
Kiranya dara berbaju hijau itu bukan lain adalah dayang kepercaysaa dari Giok Teng Hujin yakni Pui Che-giok adanya, setelah melakukan perjalanan siang malam tanpa berhenti, mukanya tampak kusut rambutnya awut-awutan tak karuan, sekujur badan basah dan bau keringat, keadaannya benar- benar sangat mengenaskan.
Delam bopongannya tampak Soat-ji makhluk rase itu, tampaknya Soat-ji menderita luka yang cukup parah mukanya layu dan lesu, tubuhnya sama sekali tak mampu bergerak.
Tampaknya makhluk cerdik inipun menyadari bahwa majikannya sedang kesusahan dan rupanya diapun tahu kalau Hoa Thian-hong adalah orang yang paling akrab hubungannya dengan majikannya, sepasang ma ta yang merah dan pudar menatap anak muda itu dengan sorot belas kasihan sementara mulutnya memperdengarkan suara keluhan lirih.
Pui Che-giok bangkit berdiri dengan isak tangis yang menjadi, ujarnya lirih.
“Kongcu ya, cepatlah berangkat! Siocia sedang menderita karena menjalani siksaan api dingin melelehkan sukma, siksian itu terlalu sadis dan kejam…. oooh, kengcu ya cepatlah selamatkan jiwanya!” “Sekarang dia berada dimana?” tanya Hoa Thian-hong dengan darah panas bergolak dalam dadanya.
“Dia ada di Cho ciu,” sahut gadis itu dengan air mata bercucuran membasahi wajahnya.
Hoa Thian-hong meaggertak gigi menahan emosi, katanya kemudian, “Perjalanan amat jauh, tak mungkin bisa kita capai tempat itu dalam waktu singkat, bersantaplah lebih dahulu!”
Seraya berkata ia lantas membopong Soat-ji, rase putih salju itu.
Pui Che-giok duduk di kursi dan berusaha untuk mengisi perutnya, tapi air mata jatuh bercucuran dengan derasnya membuat ia tak mampu menelan nasi dalam mulutnya itu, akhirnya ia menggeleng sembari berkata, “Budak tak tega untuk makan!”
“Paksalah untuk makan sedikit aku akan berangkat duluan, dan engkau boleh menyusul belakangan”
Diangkatnya cawan arak itu lalu melolob Soat-ji untuk minum.
Sambil melelehkan air matanya Pui Che-giok paksakan diri untuk makan, katanya lagi, “Soat-ji kena dihajar oleh kaucu dengan ilmu pukulan Yu seng ciang hingga isi perutnya terluka, aku lihat dia sudah tiada harapan untuk hidup lagi.”
Paras muka Hoa Thian-hong berubah jadi hijau membesi, sahutnya dengan suara dalam, “Tak usah kuatir, aku pasti berhasil enteng hidupkan kembali dirinya!” Memang parah sekali luka dalam yang diderita Soat-ji, begitu parahnya sampai nafsu untuk minum arakpun ikut hilang.
Hoa Thian-hong segera mengambil uang sekeping sebagai pembayaran uang arak, tapi Tio Ceng tang buru-buru membayarnya.
Dalam keadaan begini, Hoa Thian-hong tidak berminat untuk banyak bicara lagi, setelah saling memberi hormat, serunya kepada Tio Ceng-tang, “Sampai jumpa lagi dikota Cho cia!”
Sekali berkelebat, sambil membopong Soat-ji berlalulah si anak mada itu dari sana.
Ia mulai sadar tahwa Pek Kun-gie telah terjatuh pula ketangan musuh, bahkan keadaannya gawat sekali, sedikitpun tidak berada dibawah keadaan Giok Teng Hujin, walaupun demikian gadis itu masih lebih mujur, kenapa, ia masih mempunyai orang tua, punya saudara dan lagi sebagai seorang putri ketua Sin-kie-pang.
Berbeda jauh dengan Giok Teng Hujin yang hidup menderita tanpa sanak tanpa saudara, kecuali orang dayang dan seekor rase salju, boleh dibilang tiada sanak lain, maka setelah mempertimbangkan sebentar pemuda ini mengambil keputusan untuk tinggalkan dahulu urusan Pek Kun-gie dan berusaha untuk selamatkan dahulu jiwa Giok Teng Hujin.
Rase salju itu dapat memahami perkataan manusia, dan lagi pandai pula bertempur, sambil melanjutkan perjalanan pemuda itu lantas salurkan hawa murninya untuk menyembuhkan luka yang diderita makhluk tersebut. Begitula, sembari melanjutkan perjalsaan ia salurkan terus hawa murninya ke tubuh Soat-ji, dua tiga jam kemudian luka yang diderita rase salju itu ada enam tujuh bagian telah sembuh, waktu itulah makhluk tadi meronta bangun dan melanjutkan perjalanan sendiri dengan berlarian disamping pemuda itu.
Mereka melakukan perjalanan siang malam tanpa berhenti, ketika kentongan kedua baru menjelang, anak muda itu sudah tiba di kota Cho ciu.
Baru saja masuk kedalam kota, ia berjumpa dengan Oh Sam yang muncul dari hadapannya, si anak muda itu segera menegur, “Pek hujin berada dimana?”
“Cu to baru tiba siang tadi, sekarang ia dikantor cabang, Cu amat mengguatirkan keselamatan kongcu maka beliau perintahkan hamba untuk menunggu kedatangan kongcu di sini!”
Sesudah melirik sekejap kepada Soat-ji makhluk rase itu, dia melanjutkan lebih jauh, “Apakah nona kedua tidak melakukan perjalanan bersama-sama kongcu….?”
“Mungkin sudah terjadi kejadian yang tak terduga!” sahut Hoa Thian-hong dengan suara mendalam, “aku sama sekali tak bertemu dengannya, cepat bawa aku menghadap cu bo mu!”
Oh Sam amat terperanjat, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia segera putar badan dan lari kedepan.
Selang sesaat tibalah mereka berdua dikantor cabang perkumpulan Sin-kie-pang, Oh Sam langsung membawa Hoa Thian-hong menaju keruang dalam. Ketika mendengar suara langkah manusia, Kho Hong-bwee segera menyambut seraya menegur, “Thian-hong, dimana Kun gie?”
Hoa Thian-hong maju kedepan sambil memberi hormat, lalu sahutnya dengan kepala tertunduk.
“Kemungkinan besar kun gie telah bertemu dengan Tang Kwik-siu dan kena ditawan oleh mereka, semestinya boanpwee akan mengejar ke arah Ou kwang….”
Mula-mula Kho Hong-bwee tampak agak terkejut, tapi sejenak kemudian ia sudah tenang kembali, sambil bangunkan Hoa Thian-hong dia berkata.
“Berbicara menurut cengli, memang sepantasnya engkau datang ke Cho ciu lebih dulu engkau sama sekali tidak berbuat salah!”
Perempuan ini segera perintahkan pelayan untuk siapkan hidangan dan arak wangi.
Hoa Thian-hong tahu bahwa perempuan ini terkenal karena bijaksana, akan tetapi berhubung ia merasa tak punya kata- kata yang bisa diutarakan, maka sebagai gantinya ditatapnya sekejap perempuan itu dengan pandangan penuh berterima kasih.
Setelah memberi hormat pula kepada Pek Soh-gie, iapun menegur, “Cici, Bong toako ada dimana?”
“Dia ada didalam ruang tengah” jawab Pek Soh gi, “beristirahatlah lebih dulu, tentunya engkau merasa lelah bukan?” Ketika mereka bertiga masuk keruang tengah, tampaklah Bong pay dengan badan dibalut sedang duduk bertopang dagu, mukanya murung bercampur kesal, sekalipun tahu ada orang yang masuki ruangan itu dia sama sekali tidak menegur ataupun angkat kepalanya.
Hoa Thian-hong segera maju menghampirinya, lalu menegur, “Toako, bagaimana keadaan lukamu?”
Bong pay gelengkan kepalanya dan tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Kho Hong-bwee yang ada disampingnya segera tersenyum, ujarnya.
“Bocah ini bersikeras akan menantang Kiu-im Kaucu untuk berduel, tapi aku justru telah melarang dia pergi kesana!”
Diam-diam Hoa Thian-hong menghela napas panjang, dia tahu walaupun paras muka perempuan itu tampaknya tenang dan tidak menunjukkan sikap gugup ataupun gelisah, sebenarnya rasa kuatirnya terhadap keselamatan putrinya sukar dilukiskan dengan kata-kata, ia lantas mencari tempat duduk dan bermaksud mengisahkan pengalamannya sepanjang perjalanan menuju kesana.
Pada saat itulah dua orang dayang masuk kedalam ruangan sambil membawa nampan dan air teh.
Kho Hong-bwee segera ulapkan tangannya sembari berkata, “Cucilah dulu mukamu, kemudian bersantap, setelah itu barulah bercerita….”
Tanpa banyak berbicara Hoa Thian-hong cuci muka dan makan hidangan ringan yang telah tersedia, ketika perjamuan telah siap. Kho Hong-bwee segera mempersilahkan tamu nya untuk duduk sementara ia bersama Bong Pay dan Pek Soh-gie mengiringi disampingnya.
Sudah belasan tahun lamanya Kho Hong-bwee bertapa ditempat yang terpencil, kepandaiannya untuk menguasai diri memang melebihi siapapun, sekalipun ia tahu bahwa keselamatan putrinya terancam, namun sepanjang perjamuan berlangsung, tak separah katapun yang dia ucapkan menyinggung soal keselamatan putrinya itu.
Menanti sampai telah selesai, Hoa Thian-hong barulah mence-ritakan apa yang telah didengarnya dari mulut Tio Ceng tang.
Mendengar keterangan tersebut, dengan dahi berkerut Kho Hong-bwee termenung beberapa saat lamanya, kemudian ia baru berkata, “Kalau memang rombongan itu benar-benar terdiri dari empat pria dan seorang wanita, mereka yang pria pastilah Tang Kwik-siu, Kok See-piauw beserta murid- muridnya, sedang yang perempuan tak usah diragukan lagi tentulah Pek Kun-gie budak binal Itu!”
“Bibi, aku sangat mengharapkan agar malam ini juga bibi sekalian melakukan perjalanan untuk menghadang jalan pergi mereka! ujar Hoa Thian-hong dengan wajah murung, apabila berhasil menyusul Tang Kwik-siu, maka berusahalah untuk mengadakan hubungan kontak dengan kantor cabang kota Cho ciu, begitu urusan disini selesai, boanpwe segera akan menyusul kalian kesana!”
“Ibu, beberapa orahg bajingan itu bukan manusia baik- baik” ujar Pek Soh-gie pula, keadaan adik memang terlalu bahaya, aku rasa asul Hoa toako memang sangat bagus, lebih baik sekarang juga kita lanjutkan perjalanan!”
Kho Hong-bwee tertawa. “Untuk mengejar orang kita harus mempunyai arah tertentu, kalau arahnya saja tidak tahu, bagaimana mungkin pengejaran bisa di lakukan?” katanya cepat.
Menurut dugaanku, Kun gie memang sengaja berkaok-kaok untuk menarik perhatian orang banyak, dia mengatakan bahwa mereka akan berangkat ke Kiu ci untuk mencari harta, rupa-rupanya rahasia itu memang sengaja dibocorkan olehnya dengan harapan berita tersebut bisa terdengar oleh kita orang.
“Benar!” ujar Bong Pay pula, “kejadian yang sebenarnya pastilah demikian. Hemm hemm hemm dia memang cerdik dan punya banyak akal setannya, kalau yang dikatakan urusan lain, belum tentu orang akan menaruh perhatian, tapi kata- kata mencari harta cukup menghebohkan siapapun yang mendengar, sudah tentu berita itu dengan cepat akan tersiar keseluruh dunia persilatan”
“Ibu, Kiu ci yang dia maksudkan mungkinkah bukit Kiu ci san yang letaknya di wilayah Yong kang?” tanya Pek Soh-gie dengan wajah amat murung karena gelisah.
Kho Hong-bwee mengangguk tanda membenarkan. “Benar, didaratan Tiooggoan memang terdapat beberapa
tempat yang bernama Kiu ci, tapi kalau dia katakan jaraknya masih lima enam ribu li, maka tak bisa salah lagi yang dia maksudkan tentulah bukit Kiu ci san yang terletak di wilayah Yong kang!”
“Bibi, apakah selama ini engkau dan toa ci berdiam diri dibukit Huan keng san?” tanya Hoa Thiao Hong dengan dahi berkerut. Kho Hong-bwee menghela napas panjang, ia mengangguk dan menyahut, “Kedua tempat itu sama-sama nama dari gunung dan sama-sama pula letaknya di barat daya”
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya, “Aku jadi agak curiga, wilayah utara maupun selatan wilayah keng ou merupakan daerah kekuasaan Sin-kie-pang, dengan dandanan mereka yang begitu menyolok, entah dengan cara apa mereka lanjutkan perjalanannya?”
0000O0000
79
SEMUA orang tertegun sebab ucapan itu memang masuk diakal, sementara suasana jadi bening dan tak seorangpun yang mampu menjawab, tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berseru, “Aah, aku punya akal!” Dia lantas bangkit berdiri dan buru-buru lari masuk kedalam ruangan.
Selang sesaat gadis itu telah muncul kembali membawa sebuah nampan beralasan kain kuning, dalam kain kuning itu tersedialah seperangkat alat untuk meramal nasib.
Menyaksikan itu, Bong Pay langsung berteriak, “Aah, benar, bibi adalah seorang pertapa, soal lihat nasib, meramal nasib sudah menjadi ilmu pegangan yang paling diandalkan”
Cepat Pek Soh-gie menyingkirkan cawan dan sumpit dari meja, kemudian sambil letakkan nampan itu dihadapan ia berkata.
“Ibu, silahkan engkau buatkan satu ramalan untuk melihat nasib adik dewasa ini”
Kho Hong-bwee tertawa. “Banyak orang mengatakan bahwa gadis cantik umurnya pendek sekalipun dalam kenyataan Kun gie terhitung seorang gadis yang ayu tapi ia masih belum terhitung seorang gadis rupawan, diapun tidak termasuk seorang manusia yang berumur pendek, aku rasa nasibnya tak perlu diramalkan lagi!”
Dengan muka murung dan gelisah Pek Soh-gie memohon lebih jauh.
“Mencari rejeki menghindari bencana merupakan perbuatan yang jamak bagi manusia, ibu haraplah engkau engkau suka menghitungkan nasib adik!”
Sekali lagi Kho Hong-bwee tersenyum.
“Rahasia langit tak boleh dibocokan, daripada mengundang kemarahan para malaikat, begini saja akan kubatasi dengan sebuah ramalan saja dan aku lihat urusan Kun gie untuk sementara waktu kita kesampingkan lebih dahulu akan kucoba untuk hitungkan nasib bagi Giok Teng Hujin saja!”
Mendengar perkataan itu, dalam hati kecilnya Hoa Thian- hong menghela napas panjang, pikirnya.
“Satu gelombang belum tenang, gelombang lain telah datang…. aai, akulah yang menjadi biang keladi hingga terjadinya semua peristiwa ini!”
Berpikir sampai disitu, diapun lantas bertanya.
“Bibi, tahukah engkau Kiu-im Kaucu pada saat ini berada dimana?”
“Semua kuil bekas milik Thong-thian-kauw telah dirampas orang-orang Kiu-im-kauw, menurut laporan dari bawahanku, Kiu-im Kaucu beserta kawanan jago lihaynya berkumpul semua dalam kuil It goan koan sebelah timur kota, Giok Teng Hujin sendiripun terkurung pula dalam kuil itu!”
Hoa Thian-hong menghela napas berat.
“Aaai….! Meskipun Kiu-im Kaucu menyatakan bahwa ia sedang menghukum Ku Ing-ing lantaran penghianatannya, pada hakekatnya ia justru sedang mencari gara-gara dengan boanpwee!”
“Kalau memang begitu tujuannya, itu berarti keselamatan Ku Ing-ing untuk sementara waktu tidak terancam bahaya, beristirahatlah semalam bila kekuatanmu sudah pulih kembali barulah usahakan pertolongan….!”
“Boanpwe memang sudah menyiapkan suatu rencana matang dalam soal ini,” sahut Hoa Thian bong sambil mengangguk, “oleh sebab itulah kukatakan bahwa keselamatan Kun gielah justru yang bahaya, bibi! Lebih baik ramalkan jejaknya dengan begitu kita pun bisa siapkan pertolongan baginya”
Kho Hong-bwee berpikir sebentar, akhirnya dia mengangguk.
“Kalau memang begitu, baiklah!”
Sesudah cuci tangan dia lantas mengambil balok kura-kura itu dan mulai membuat ramalannya
Ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian-hong memang terhitung tinggi, akan tetapi dalam ilmu ramal meramal ia sama sekali tidak paham begitu pula dengan Bong pay, maka kedua orang ini hanya duduk membungkam di samping meja sambil menyaksikan Kho Hong-bwee membuat ramalannya. Setelah melakukan ramalan dan memperhitungkan dalam hati kecilnya, tiba-tiba dengan paras muka berubah hebat ia berseru, “Aia….! kok aneh benar….”
“Bagaimina menurut isi ramalan? Apakah adik menemui mara bahaya?” tanya Pek Soh-gie dengan terperanjat.
“Benar-benar sangat aneh!” ujar Kho Hong-bwee, “menurut perhitungan ramalan, semestinya Kun gie masih berada dalam kota ini!”
Sesudah berhenti sebentar ia tertawa dan gelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya, “Sepandai-pandainya tupai melompat toh pernah terjatuh juga, siapa tahu kalau ramalanku ini meleset?”
Hoa Thian-hong segera bangkit berdiri seraya berseru, “Cuaca kadang kala cerah kadang kala mendung, nasib manusia kadangkala mujur kadangkala sial, aku rasa persoalan ini tak dapat dibiarkan berlalu dengan begitu saja, harap bibi beristirahat lebih bulu, biarlah boanpwe lakukan penggeledahan diseluruh kota”
Setelah memberi hormat, dia siap berlalu dari situ.
Secara diam-diam Kho Hong-bwee mengawasi terus perubahan mimik wajah si anak muda itu, melihat betapa panik dan cemasnya Hoa Thian-hong, dalam hati dia lantas berpikir, Kalau ditinjau dari kemurungan dan kegelisahan yang mencekam hatinya, sudah jelas kalau ia menaruh rasa cinta yang tebal terhadap diri Kun gie.
Sementara dia masih melamun, Bong Pay telah berteriak keras, “Biarlah aku dan adik Soh-gie melakukan perjalanan bersama, akan kami periksa setiap rumah penginapan yang ada dalam kota ini!”
Tiba-tiba Kho Hong-bwee bangkit berdiri lalu berkata, “Kalian tak usah memisahkan diri, kita laksanakan pencarian bersama-sama, Soh-gie! Undang kemari Oh Sam!”
Oh Sam segere menyahut dan masuk kedalam ruangan, sahutnya, “Hamba ada disini!”
“Perintahkan semua pelindung hukum agar siap diruang tengah untuk menerima instruksi!”
Dengan hormat Oh Sam menyahut dan berlalu dari situ.
Sepeninggalnya Oh Sam, barulah Kho Hong-bwee memandang sekejap ke arah pinggang Hoa Thian-hong, kemudian tegurnya, “Kemana kaburnya pedang bajamu?!”
“Pedang baja telah patah, kitab Kiam keng berada dalam sakuku!”
“Ooh, kiong hi, kiong hi atas keberhasilanmu itu!” seru Kho Hong-bwee kemudian.
Setelah berhenti sebentar, dengan wajah serius dia melanjutkan, “Andaikata Kiu-im Kaucu memaksa engkau untuk menukar nyawa Ku Ing-ing dengan kitab Kiam keng tersebut, apa yang hendak engkau lakukan?!”
Mula-mula Hoa Thian-hong agak tertegun, menyusul sahutnya, “Kalau itulah syaratnya, maka boanpwe harus pertimbangkan peraoalaa ini sebaik-baiknya!”
“Ah, dalam masalah ini tak mungkin bisa dipertimbangkan lagi!” teriak Bong Pay dengan gusar, “sebagai seorang pria sejati, tidaklah pantas kalau engkau tunduk pada perintah dan tekanan musuh, sekalipun Ku Ing-ing akhirnya toh mati, setelah engkau berhasil pelajari isi kitab Kiam keng bukankah engkau dapat membunuh Kiu-im Kaucu untuk membalaskan dendam sakit hatinya? Aku lebih rela berhutang budi dan gorok leher bunuh diri daripada membiarkan kitab Kiam keng itu terjatuh ketangan Kiu-im Kaucu….!”
“Setiap urusan ada sumbernya,” kata Hoa Thian-hong, “meskipun toako telah diselematkan jiwanya oleh sebatang Leng-ci, akan tetapi dahun Leng-ci tersebut kau peroleh dari tangan siaute, dalam hal ini sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Ku lng ing, dengan sendirinya engkaupun tak usah berterima kasih dengan mengorbankan jiwamu!”
“Menurut Kun gie!” kata Kho Hong-bwee pula, “dikala ia ditangkap Pia Leng-cu, engkau pernah menembusnya dengan menggunakan pedang bajamu itu, yaa urusan itu sudah lewat, rasanya akupun tak ingin banyak berbicara lagi, tapi engkau musti ingat, kitab Kiam keng adalah gudangnya ilmu silat, sejilid kitab pusaka yang diincar banyak orang, benda itu menyangkut pula mati hidupnya dunia persilatan, oleh sebab itu aku harap engkau suka mempertimbangkan sebaik-baiknya sebelum bertindak!”
“Terima kasih atas petunjuk dari bibi!”
“Hoa toako!” ujar Pek Soh-gie kemudian, “pedang bajamu sudah patah, apakah engkau membutuhkan senjata lain?”
“Bila ada sebilah pedang panjang, tolong berilah sebilah untuk Sian te….”
Pek Soh-gie segera masuk kedalam ruangan, selang sesaat ia telah muncul kembali menyerahkan sebilah pedang panjang kepada pemuda itu. Hoa Thian-hong segera menggembolnya dipinggang, setelah membopong Soat-ji bersama-sama jago yang lain mereka menuju keruang tengah.
Disana telah menanti beberapa puluh orang pelindung hukum, hiangcu dan tongcu, Kho Hong-bwee segera menghitung jumlahnya kemudian berangkatlah melakukan pencarian.
Setelah keluar dari kantor cabang kota Cho ciu, Kho Hong- bwee memimpin rombongan itu menuju kepintu kota sebelah selatan.
Waktu itu fajar belum menyingsing, jalan raya sepi dan tak tampak seorang manusia pun yang berlalu lalang.
Tampaknya Kho Hong-bwee telah mempunyai keyakinan, dia memimpin rombongan itu bergerak maju kedepan, sedikitpun tidak tampak ragu-ragu.
Selang sesaat sampailah mereka kepintu selatan, karena pintu kota masih tertutup maka mereka masing-masing loncat naik keatas tembok kota,
Tiba-tiba Hoa Thian-hong merasakan hatinya tergerak, pikirnya.
“Kalau dilihat keyakinannya yang begitu tebal, mungkinkah ramalannya memang tepat sekali?”
Sementara ingatan itu masih melintas dalam benaknya, semua orang sudah melompat keatas tembok kota, dari situ tampaklah Kho Hong-bwee dengan sorot mata yang tajam bagaikan kilat sedang mengawasi ke arah tenggara tanpa berkedip. Hoa Thian-hong ikut memandang ke arah situ, apa yang dilihat hanyalah kegelapan ditengah keheningan, tak sesuatu apapun yang terlibat olehnya.
Oh Sam menyusul tiba kesana setelab menengok sekejap kedepan, tiba-tiba katanya.
“Lapor cubo, tempat itu masih memancarkan cahaya merah, agaknya baru saja dilanda kebakaran”
Kho Hong-bwee mengangguk, sambil ulapkan tangannya ia lantas berseru.
“Hayo berangkat!”
Ia lompat turun lebih dahulu dan bergerak menuju ke arah mana munculnya cahaya merah tadi.
Kawanan jago lainnya membungkam dalam seribu bahasa, melihat pemimpinnya sudah berangkat semua orangpun ikut menyusul dari belakang, semangat mereka tinggi dan keberaniannya mengagumkan.
Rupanya cahaya merah itu berasal dari sebuah dusun yang jaraknya kurang lebih lima enam li dari kota, tentu saja jarak sedekat itu tidak dipandang sebelah mata oleh orang-orang itu, tak selang beberapa saat kemudian sampailah mereka didepan dusun itu.
Dalam dusun tadi hanya terdapat tiga pulubhan keluarga petani, rumah mereka terbuat dari batu bata, rupanya kebakaran hanya terjadi disebuah gedung belaka, waktu itu api masih belum padam, sementara para penduduk desa yang menonton apipun masih berkerumun disitu sambil saling mem bicarakan peristiwa itu. Tiba-tiba suasana yang semula gaduh menjadi hening dan sepi kiranya kedatangan sege-rombolan jago silat ini cukup mengejutkan orang-orang itu.
Dengan sorot mata yang tajam, Kho Hong-bwee menyapu sekejap sekitar tempat itu, kemudien sambil menatap seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan yang berdandan sebagai seorang hartawan, tegurnya.
“Maaf kalau mengganggu sebentar lo wangwe, terimalah hormat dari pinto Kho Hong-bwee”
Ketika orang itu melihat bahwa pemimpin dari rombongan orang persilatan itu adalah seorang to koh berusia pertengahan, rasa kaget yang semula menghiasi wajahnya kian bertambah menyurut, akan tetapi setelah mendengar nama Kho Hong-bwee, tiba-tiba paras mukanya kembali berubah, untuk sesaat lamanya ia tak mengucapkan sepatah katapun.
Kho Hong-bwee tidak menggubris sikap orangitu, sambil tertawa ia menegur lagi, “Lo wangwe, boleh aku tahu siapa namamu?”
Buru-buru orang itu maju beberapa langkah kedepan, seraya menjura sahutnya, “Aku seorang rakyat kecil yang bernama Lau Cu cing!”
“Oooh Rupanya Lau wangwe, apakah rumah gedung wangwe yang ketimpa bencana kebakaran?”
“Benar…. benar….” jawab Lau Cu cing sambil beberapa kali mengangguk. Dibelakang hartawan itu berkumpul pula sekawanan orang perempuan, pelbagai macam barang peti dan bungkusan tersebar di tanah, sekilas pandangan siapapun akan tahu bahwa merekalah yang telah ketimpa bencana kebakaran itu.
“Setelah Lau wangwe ketimpa bencana, sebetulnya tidaklah pantas bagi kami untuk mengganggu kesedihan yang kalian alami, tapi berhubung ada sedikit persoalan yang mau tak mau harus diperiksa, maka terpaksa kami harus mengganggu sebentar ketenangan wangwe!”
“Aaah…. mana…. mana…. kalau tootiang ada persoalan silahkan saja diajukan!”
“Boleh aku tahu lo wangwe, kebakaran ini disebabkan karena kurang hati-hati ataukah dikarenakan perbuatan dari musuh kalian?”
“Ooh…. kejadian ini karena kurang hati-hati orang kami sendiri, aku cuma seorang rakyat kecil yang tidak mempunyai musuh besar, meskipun kebakaran ini telah menghancurkan rumah leluhur, untung saja tidak sampai melukai orang!”
Dari ucapan tersebut dapatlah diketahui bahwa hartawan ini, masih merasa beruntung meskipun di tengah kesedihan.
Dalam anggapan orang lain, setelah hartawan ini menerangkan bahwa kebakaran disebabkan ketidak sengajaan dan sama sekali tiada hubungannya dengan musuh besar yang mencari balas, Kho Hong-bwee pasti akan membawa anak buahnya berlalu dari sana.
Apa yang terjadi? Ternyata Kho Hong-bwee malahan ulapkan tangannya ke arah Oh Sam sekalian sambil memerintahkan, “Periksalah disekitar tempat ini, coba lihat apakah ada sesuatu tanda yang mencurigakan?”
Oh Sam sekalian segera mengiakan dan menyebarkan diri untuk melakukan pemeriksaan, ada yang masuk kedalam dusun, ada pula yang keluar dari dusun itu, semua gerak-gerik mereka dilakukan dengan teratur dan tenang, sedikitpun tidak tampak berisik.
Setelah anak buahnya menyebarkan diri Kho Hong-bwee bertanya lagi, “Lau wangwe, badanmu tetap semangatmu berkobar, aku rasa tentunya engkau adalah seorang jago persilatan bukan?”
“Waktu masih muda siau bin (rakyat kecil) pernah belajar ilmu bela diri kampungan, tujuanku tak lebih hanya untuk menyehatkan badan, tak berani Siau bin anggap diriku sebagai seorang jago persilatan!”
“Apakah Lau wangwe kenal dengan asal usul kami?” tanya Kho Hong-bwee sambil tersenyum.
“Bila dugaan Siau bin tidak keliru, semestinya tootiang sekalian adaleh para enghiong dari perkumpulan Sin-kie- pang!” jawab Lau Cu cing setelah ragu sejenak.
Setelah berhenti untuk tukar napas, dia melanjutkan kembali lebih jauh, “Setiap penduduk Cho ciu sebagian besar mengetahui urusan tentang dunia persilatan sekalipun Siau bin jarang sekali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, tetapi seringkali kudengar orang membicarakannya, maka dari itu Siau bin dapat menebak asal usul dari tootiang serta para enghiong sekalian” Kho Hong-bwee mengerutkan dahinya, lantas berpaling dan bisiknya kepada Hoa Thian-hong dengan nada lirih.
“Rupanya nama jelek kami telah membangkitkan rasa was was dalam hati wangwe ini, sekalipun ia tahu duduknya perkara belum tentu bersedia untuk menerangkapnya kepada kita, bagaimana sekarang baiknya?!”
“Pengalaman boanpwe dalam dunia persilatan terlalu cetek, aku tidak berhasil menebak apa alasannnya sehingga wangwe itu berbuat demikian?” sahut Hoa Thian-hong dengan muka kesal.
Bong Pay yang selama ini membungkam, tiba-tiba menyela dari samping.
“Aku lihat toa moay sangat lembut dan halus budinya, bagaimana kilau kita suruh dia saja yang menanyakan?”
Pek Soh-gie memandang sekejip ke arah ibunya, kemudian dengan langkah yang lemah gemulai menghampiri Lau Cu cing, sehabis memberi hormat katanya dengan lembut, “Lo wangwe, siau li mempunyai seorang adik kembar yang terjatuh kelansan musuh, jiwanya terancam bahaya dan kami sedang mencari jejaknya, apabila lo wangwe mengetahui jejaknya, sudilah kiranya memberikan petunjuk untuk kami, atas bantuan dari lo wangwe itu kami pastilah akan merasa amat berterima kasih!”
Sementara itu fajar telah menyingsing, ketika mendengar perka-taan tersebut, Lau Cu cing segera alihkan perhatiannya ke atas wajah Pek Soh-gie ketika menyaksikan raut wajahnya tiba-tiba ia terperanjat dan mundur selangkah kebelakang sambil goyangkan tangannya berulang kali. “Nona, aku harap engkau jangan banyak menaruh curiga!” serunya dengan cepat, “aku bukan seorang jago persilatan, dan aku pun tidak tahu dimanakah adikmu berada, aku harap engkau janganlah mendesak diri ku sehingga aku tak mampi berbuat apa-apa”
Mendengar perkataan itu Pok Soh-gie lantas alihkan soror matanya ke arah ibuaya, dengan perasaan apa boleh buat dia gelengkan kepalanya berulang kali.
Jangankan Pek Hujin, Hoa Thian-hong sendiripun dapat mengetahui bahwa sebab musabab terjadinya kebakaran digedung keluarga Lau tersebut sudah pasti bukan belatar belakang karena ketidak sengajaan, akan tetapi setelah dilihatnya hartawan itu bersikeras untuk membungkam dalam seribu bahasa, tentu saja Kho Hong-bwee maupun Hoa Thian- hong tidak ingin memaksa dengan memakai kekerasan.
Selang sesaat, para jago yang dikirim untuk melakukan pencarian di empat penjuru telah kembali kesitu, ternyata mereka tidak berhasil menemukan sesuatu apapun yang mencurigakan.
Waktu itu Oh Sam juga sedang kembali kepasukannya, ketika ia lewat disamping sebuah pohon yang besar, tiba-tiba wajahnya agak tertegun kemudian secepat kilat menghampiri pohon itu dan memeriksanya dengan seksama.
Kemudian dengan suara keras dia berseru, “Hoa kongcu, cepat kemari!”
Hoa Thian-hong sangat terperanjat, cepat dia maju ke depan diikuti kawanan jago lainnya, bahkan Lau Cu cing ikut pula di paling belakang. Pohon Waru itu sangat besar, daunnya rimbun dan tumbuh tepat didepan gedung keluarga Lau yang terbakar, jaraknya hanya empat lima kaki saja.
Pada bagian belakang dahan pohon itu tampaklah kulitnya telah disayat orang bagian, sementara diatas dahan yang tersayat itu diukir beberapa buah tulisan dengan ilmu sebangsa tim kongci yang sangat kuat hingga membekaslah seringkaian tulisan yang nyata.
Adapun tulisan itu, kira-kira berbunyi demikian, “Ditujukan Hoa Thian-hong,
Berangkat ke Kiu ci secepat mungkin, segera!”
Tulisan Segera itu tulisan dengan sangat cepat, dibawahnya tercantumlah sebuah tanda bulatan yang diberi ekor, sekilas pandangan orang akan mengira gambaran itu sebagai gambaran kecubong (anakan katak).
Orang lain tidak kenal tanda tersebut lain halnya dengan Bong Pay, begitu mengetahui lambang tadi kontan dia berseru, “Lhoo…. ini kan lambang kipas dari Cu supek?”
Hoa Thian-hong mengawasinya dengan lebih seksama sesudah mendengar seruan itu, memang ucapan itu tak salah, lukisan tersebut memang mirip sekali dengan gambar sebuah kipas, maka kepada Kho Hong-bwee dia lantas berkata, “Bibi, tulisan ini rupanya sengaja ditinggalkan Dewa yang suka pelancongan Cu lo cianpwe, kalau dugaanku tak keliru, tulisan ini pastilah ada hubungannya dengan masalah Kun gie!”
Pek Soh-gie maju menghampiri tulisan itu setelah diraba sebentar diapun berkata pula, “Tulisan ini masih basah, tampaknya di buat belum lama berselang!” Sampai disitu Kho Hong-bwee pun berpaling lagi ke arah Lau Cu ci ng seraya berkata, “Lau wangwe, kami sama sekali tidak mempunyai maksud jahat terhadap dirimu, bila engkau tahu tentang jejak putriku itu, mohon sudilah kiranya memberitahukan kepada kami, pinto pasti akan membalas budi kebaikan itu!”
“Siau bin benar-benar tak tahu urusan, tiada sesuatu yang mampu kuucapkan!” sahut Lau Cu cing sambil berbungkok- bungkok.
Mendengar perkataan itu, para jago dari Sin-kie-pang rata- rata menunjukkan wajah kegusaran, walau begitu mereka tak berani mengutarakan kebuasan mereka itu dihadapaa umum, sebab semua orang tahu nyonya ketua yang memimpin mereka sekarang terhitung seorang pemimpin yang jujur.
Dalam keadaan begini, apa lagi yang bisa mereka lakukan kecuali secara diam-diam melotot ke arah Lau Cu cing dengan muka buas.
Dipelototi banyak orang, Lau Cu cing jadi serba salah dan merasa amat tidak tenteram, sorot malanya berulang kali melirik ke arah Hoa Thian-hong dengan maksud mohon pertolongannya.
Kendatipun merasa curiga, Hoa Thian-hong tidak sampai bersikap lain, ia menjura dan berkata.
“Aku adalah Hoa Thian-hong, apakah lo wangwe akan memberikan sesuatu petunjuk?”
Buru-buru Lau Cu cing balas memberi hormat, sahutnya. “Sudah lama aku dangar orang berkata bahwa Hoa tayhiap mempunyai sebilah pedang baja yang berwarna hitam dan selalu tergantung di pin gang, kenapa….”
Belum habis orang itu berkata, Hoa Thian-hong telah menukas sambil tertawa tergelak.
“Haahh…. haahhh…. haahhh…. pedang baja itu sudah patah jadi dua, maka sebagai gantinya aku telah menggembol sebilah pedang yang lain!”
Lau Cu cing mengangguk tiada hentinya dan berseru, “Aku memang benar-benar tiada sesuatu yang dapat dikatakan!”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Hoa tayhiap adalah enghiong yang dipuji dan dihormati oleh setiap umat persilatan apabila ada hal-hal yang perlu kuberitahukan sudah pasti akan kuutarakan secara blak-blakan”
“Aaah, aku masih muda, aku tak berani menerima kebaikan dari Lo wangwee!” kata pemuda itu lagi sambil tertawa.
Sementara itu Kho Hong-bwee yang mengamati terus dari samping, diam-diam berpikir dalam hati, “Licik amat kakek tua ini, tampaknya dia termasuk pula seorang lakon tersembunyi!”
Sesudah termenung sebentar, dia lantas bertanya, “Thian bong, apa rencanamu selanjutnya?”
“Aaaai….! Sekarang boanpwe toh sudah berada dikota Cho ciu, bila kukesampingkaa urusan Ku Ing-ing dengan begitu saja, terus terang saja dalam hati kecilku aku merasa tak tega….” “Baik!” tukas Kho Hong-bwee kemudian, aku dan mereka semua akan melakukan pengejaran lebih dahulu, bila urusanmu disini sudah selesai segeralah menyusul kami!”
“Boanpwe terima perintah” sahut Hoa Thian-hong sambil memberi hormat.
Kho Hong-bwee tampak menggetarkan bibirnya seperti mau mengatakan sesuatu lagi tapi maksud itu akhirnya dibatalkan, sambil memimpin anak buahnya berangkatlah mereka menuju keselatan.
Menanti rombongan itu sudah lenyap dari pandangan, Hoa Thian-hong baru menghela napas panjang, ia merasakan kesepian.
Selang sesaat kemudian, dia baru menghapus tulisan Cu Thong itu dan manjura ke arah Lau Cu cing, tanpa mengucapkan kata-kata lagi dia membawa Soat-ji rase salju itu kembali ke kota.
Setelah kembali kedalam kota, dia ambil keputusan untuk menyusup kedalam kuil It goan koan malam itu juga, kalau bisa Ku Ing-ing akan sekalian diselamatkan jiwanya, maka begitu tiba dirumah penginapan dia lantas tidur nyenyak.
Ketika bangun tengah hari itu, dia lantas menyembuhkan kembali luka yang diderita Soat-ji dengan tenaga dalamnya yang sempurna, selesai bersantap siang, Soat-ji tidur diatas pembaringan sedangkan Hoa Thian-hong ambil keluar kitab kiam keng itu dan mempelajarinya didepan meja.
Pada halaman pertama, tercantumlah masalah tentang pedang sebagai suatu benda, ternyata apa yang dibicarakan sama sekali berbeda dengan kitab pedang manapun juga. Kalau didalam kitab pedang biasa maka yang dititik beratkan adalah jurus serangannya yang khusus, maka dalam kitab kiam keng ini yang dibicarakan adalah soal ilmu pedang itu sendiri, sekalipun disertai juga hampir seratus macam lukisan yang berbeda-beda akan tetapi isinya berlainan dan terselip perubahan yang begitu banyak nya sehingga tak mungkin bisa dipercayakan dalam waktu singkat.
Dalam waktu singkat Hoa Thian-hong telah terjerumus kedalam isi kitab itu, seluruh perhatiannya dikonsentrasikan menjadi satu, tanpa terasa malam pun menjalang tiba, selama ini meskipun ada sebagian kecil dari isi kitab itu dapat dipahami olehnya, tapi dapatkah ilmu itu dimanfaatkan bila terjadi pertarungan, masih merupakan sebuah tanda tanya besar.
Setelah menyimpan kembali kitab Kiam keng, pelayan datang membawa lampu lentera den siapkan makanan.
Soat-ji masih berbaring diatas pembaringan, sepasang matanya memancarkan sinar tajam, rupanya kesehatannya telah pulih kembali seperti sedia kala….
Hoa Thian-hong memandang sekejap, ke arah binatang itu, lalu tertawa pikirnya di hati, “Soat-ji memang hebat dan berbahaya, kalau tenang ia lebih tenang dari perawan kalau sudah bergerak lebih cepat dari loncatan kelinci…. tidak aneh kalau waktu turun tangan kelihayannya luar biasa….”
Sepasang telapak tangannya segera diluruskan kedepan dan bersiul nyaring.
Secepat sambaran kilat Soat-ji makhluk aneh itu melompat ketanggan Hoa Thian-hong deagan seksama pemuda itu memeriksa seku jur tubuhnya, setelah mengetahui bahwa lukanya telah sembuh, ia merasa amat gembira maka ditaruhnya binatang itu diatas meja untuk bersantap bersama- sama.
Hubungan manusia dengan binatang ini berlangsung makin akrab, diam-diam pemuda ini menjadi terkenang kembali akan diri Giok Teng Hujin, tiada hentinya ia menghela napas panjang.
Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia berkumandang memecahkan kesunyian, menyusul pintu kamar sebelah dibuka orang, kalau didengar dari pembicaraan tersebut, rupanya ada dua orang yang menginap dalam sebuah kamar.
Suara pembicaraan kedua orang itu amat nyaring dan bertenaga, seringkali kata-katanya disertai pula dengan kata sandi yang sering dipakai orang persilatan.
Dari pembicaraan tersebut Hoa Thian-hong segera mengetahui bahwa kedua orang itu adalah jago dari kalangan hitam, maka diapun tidak menaruh perhatian khusus.