Tiga Maha Besar Jilid 15

 
Jilid 15

HOA THIAN-HONG sangat terharu hingga air mata tanpa terasa jatuh berlinang membasahi pipinya.

Sebelum bertemu, aku sama sekali tidak saling mengenal dengan kalian, tapi karena urusanku Ko toako mu telah bersusah payah berangkat ke kota Cho ciu uatuk memberi kabar, bila bertemu nanti aku pasti akan mengucapkan banyak terima kasih kepadanya.

Belum habis Hoa Thian-hong bicara kembali Siau Ngo-ji menukas, “Kami sudah lama bersahabat dan berkenalan dengan Ko toako urusan ini toh kecil sekali, kenapa Hoa toako musti berterima kasih”

Ia berhenti sebentar, kemudian sambil tertawa haha hihi sambungnya lebih jauh, “Hiiih…. hiiih…. hhiiih…. apakah Hoa toako segera akan berangkat ke kota Cho ciu “Apa yang diucapkan Ko toako mu memang tak sala, ibuku dalam keadaan bahaya karenanya aku harus segera berangkat kesana”

“Bagaimana kalau aku temani Hoa toako tanya Siau Ngo-ji sambil mengerdipkan matanya.

Hoa Thian-hong jadi serba salah, dalam hati ia merasa keberatan karenanya pemuda itupun berkata, “Dunia persilatan sangat berbahaya dan banyak sekali tipu muslihat yang bisa menjerumuskan orang kelembah kehancuran, saudara cilik engkau masih muda dan lagi orang tuamu masih ada”

“Oooh! sudah tak ada lagi aku sudah tak punya orang tua” tukas Siau Ngo-ji sambil goyangkan tangannya berulang kali, “aku hidup sebatang kara tak punya sanak tak punya keluarga, dunia persilatan adalah rumahku dan aku hidup di antara siksaan serta penderitaan karena itu aku tidak takut mara bahaya, kalau aku takut menghadapi kenyataan mungkin sejak dulu aku mati kelaparan….!”

Hoa Thian-hong jadi amat terharu dan tak tega untuk menampik keinginannya dan lagi ia merasa sayang kalau bocah cerdik itu harus hidup bergelandangan tanpa masa depan yang cerah.

Setelah berpikir sebentar, pemuda itupun mengangguk, kepada Haputule pesannya, “Saudaraku, untuk sementara waktu tinggallah dulu dikota Lok yang untuk mengurusi layon dari suhu serta kedua orang kakak seperguruanmu, aku akan menyambut kedatangan ibukmu, disamping berusaha keras untuk menangkap Pia Leng-cu” “Selesai mengebumikan jenasah dari suhu, aku akan segera menyusul Hoa toako ke kota Cho ciu!” sahut Haputule dengan sedih.

“Baik! musuh amat licik dan kejam, saudaraku! engkau harap selalu waspada dan bertindak seksama”

Setelah mengangguk kepada dua orang pengemis lainnya, sambil menggempit Siau Ngo-ji dibawah ketiaknya berangkatlah pemuda itu menuju ke kota Cho ciu.

Hoa Thian-hong sangat menguatirkan keselamatan ibunya, perjalanan dilakukan cepat sekali ibarataya sambaran petir yang membelah di angkasa, ketika senja menjelang tiba mereka telah sampai diluar kota Tha sian shia….

Tiba-tiba Siau Ngo-ji berteriak keras, “Hoa toako, mari kita beristirahat sebentar, turunkan aku!”

Hoa Thian-hong berhenti berlari dan t runkan Siau Ngo-ji keatas tanah, tanyanya, “Saudara cilik, engkau lelah?”

Siau Ngo-ji menghembuskan napas panjang-panjang. “Lelah sih tidak, cuma aku tak dapat bernapas, dadaku

lama kelamaan jadi sesak!”

Buru-buru Hoa Thian-hong atur pernapasan sebentar untuk pulih kembali tenaganya, kemudian katanya, “Kalau dihitung menurut jadwal perjalanan, mungkin pada malam ini ibuku menginap semalam dikota ini, bila sepanjang perjalanan tak ada halangan atau rintangan maka seharusnya saat ini sudah berada dikota ini, ayoh kita masuk kedalam kota untuk mencari jejak mereka!” “Toako tak usah terburu nafsu” hibur Siau Ngo-ji, “aku sudah mendapat kabar yang mengatakan bahwa sepanjang perjalanan bibi tidak memperoleh rintangan apa-apa sekarang mungkin beliau sudah tiba ditempat tujuan dengan selamat!”

“Aaaai….! dalam keadaan begini engkau masih bisa-bisanya bergurau”

Sambil menggandeng tangan kecilnya yang dekil dan kotor berangkatlah mereka masuk kedalam kota.

Ketika lewat dibawah pintu gerbang kota, tiba-tiba Siau Ngo-ji berhenti, kemudian menunjukkan kode tangan kepada seorang bocah ku disan yang sedang berjongkok dipinggir jalan.

Bocah kudisan itu melirik sekejap ke arah Hoa Thian-hong kemudian berbisik lirih, “Rumah penginapan Beng ho dijalan raya sebelah barat!”

Siau Ngo-ji segera tarik tangan Hoa Thian-hong seraya berseru, “Aku tahu tetak itu toako! ayoh ikuti lagi aku”

“Apakah Ko toako mu berdiam dirumah penginapan Beng ho?” tanya Hoa Thian-hong keheranan.

“Bukan, bibi yang tinggal disitu!”

“Eeei…. rupanya kalian juga punya Organisasi yang cukup besar….!” tegur sang pemuda tercengang.

Siau Ngo-ji tertawa bangga.

“Perkumpulan Hong-im-hwie menguasai wilayah Kangpak, perkumpulan Sin-kie-pang menguasai wilayah Kanglam dan perkumpulan Thong-thian-kauw menguasai wilayah Kangtang, sebaliknya seluruh pengemis cilik yang ada di kolong langit berada dibawah kekuasaan Ko toako, sebenarnya kami juga akan mendirikan sebuah perkumpulan, tapi ilmu silat yang dimiliki Ko toako belum berhasil dikuesahi, ia tak mau jadi Loo toa dan suruh aku yang menjabat kedudukan tersebut, namun aku sendiripun merasa terlalu pagi untuk berpikir sampai kesana”

“Berapa sih usia Ko toako mu itu? ilmu silat apakah yang dipelajari olehnya?”

Siau Ngo-ji berpikir sebentar, kemudian menjawab, “Lo toako kurang lebih lima belas tahun, ilmu silat yang dipelajari nya adalah ilmu telapak Tiat sah ciang serta Tiat poh san aku sendiripun berlatih ilmu pukulan Tiat sah Ciang, tapi baru mencapai taraf berlatih diatas pasir, itupun baru berlangsung selama beberapa bulan”

“Coba aku periksa tangan kirimu!” kata Hoa Thian-hong dengan dahi berkerut.

Siau Ngo-ji perlihatkan lengan kirinya, ketika diperiksa ternyata telapak tersebut memang jauh lebih kasar daripida tangan kanannya.

Bocah itu tersenyum, katanya, “Hoa toako, aku ingin melatih kedua belah telapakku, boleh toh?”

Hoa Thian-hong termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian ia manjawab, “Kalau melatih ilmu keras seperti itu, kadangkala telapak tangannya bisa membengkak jika kedua duanya dilatih maka pertama ku rang begitu leluasa dan kedua kurang sempurna sewaktu latihan, tangan bisa jadi cacad, berlatih sepasang telapak secara bersama sama memang terlalu bahaya.” Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, “Apakah Ko toakomu punya suhu?”

Siau Ngo-ji gelengkan kepalanya.

“Kami semua berlatih sendiri-sendiri, tak ada guru yang memberi petunjuk kepada kami”

“Lalu siapa yang ajarkan cara berlatih ilmu keras itu kepada kalian semua?”

Dengan mata terbelalak lebar Siau Ngo-ji menjawab, “Kami dengar dari orang lain, katanya banyak sekali orang yang mengetahui cara berlatih ilmu itu, cuma orang harus sabar dan tekun berlatih, tidak takut sengsara dan tidak takut lelah, dengan begitu kepandaian tersebut baru bisa tercapai hasilnya, sekali hantam Ko toako kami sanggup untuk mengbancurkan enam buah batu bata yang disusun menjadi satu!”

“Aaai….! dua orang bocih yang cerdik, sayang mereka tidak bertemu dengan guru yang pandai”

Sementara masih termenung, tanpa sadar mereka telah sampai diluar rumah penginapan Beng ho, baru saja naik ketangga batu seorang pelayan telah maju menyambut kedatangan mereka sambil bertanya

“Kek koan, apakah kalian hendak mencari kamar?” “Apakah ada tiga orang tamu perempuan menginap

dirumah penginapan ini?”

“Oooh ada…. ada” sahut pelayan itu berulang kali. Ia segera putar badan dan membawa dua orang itu menuju keruang belakang dan berhenti didepan sebuah kamar yang tertutup rapat.

Belum sempat mereka bertiga mendekati kamar itu, dari balik ruangan berkumandang lah suara bentakan dari Tio Sam-koh.

Dari sura bentakan itu Hoa Thiaa Hong tabu kalau ibunya selamat tanpa kekurangan sesuatu apapun, ia jadi lega dan segera menjawab.

“Nenek Sam poo, aku!”

“Tunggu sabentar!” seru Tio San koh.

Hoa Thian-hong segera ulapkan tangannya memerintahkan pelayan itu untuk berlalu, beberapa saat kemudian pintu terbuka dan Chin Wan-hong muncul diambang pintu.

Hoa Hujin duduk bersila diatas pembaringan, sedang Tio Sam-koh dengan toya ditangan berdiri disisinya dengan gagah perkasa.

Hoa Thian-hong segara maju kedepan memberi hormat kepada dua orang itu, kemudian sambil berpaling kebelakang, serunya, “Siau Ngo-ji, orang tua ini adalah sam po po, ayoh maju kedepan dan memberi hor at kepadanya!”

“Nenek sam popo!” sapa Siau Ngo-ji sambil menjura dalam- dalam.

Hoa Thian-hong segera menuding kembali ke arah ibunya sambil menambahkan, “Dan dia adalah ibuku!” Siau Ngo-ji segera jatuhkan diri berlutut diatas tanah, sambil menyembah, katanya, “Bibi, Siau Ngo-ji menyembah untukmu!”

Tio Sam-koh jadi mendongkol sekali, sambil hentakkan toya bajanya keatas tanah ia berteriak gusar, “Bocah kurangajar, engkau berani pandang rendah orang yaa? kenapa tidak berlutut dan menyembah kepada aku nenek tua?”

Siau Ngo-ji balas mendelik, sahutnya, “Bibi Hoa secara beruntun telah membinasakan Lie Buliang, Hian Leng cu serta Cing Leng cu, setiap orang di kolong langit mengetahui akan hal ini, tentu saja aku harus berlutut dan menyembah kepadanya”

Tio Sam-koh semakin gusar, kembali ia berkata, “Aku nenek tua dengan andalkan toya bajaku telah membinasakan Cing Si cu serta berpuluh-puluh orang lainnya, apakah engkau bocah kurangajar tidak pernah dengar orang membicarakan soal itu?”

“Cing Si cu?!” seru Siau Ngo-ji, dia adalah koancu dari kuil It-goan-koan dikota Cho ciu, kalau engkau tidak bilang darimana aku bisa tahu? baiklah, aku akan berlutut dan menyembah kepadamu”

Sambil berkata ia segera putar badan dan menyembah kepada Tio Sam-koh.

Selesai memberi hormat, Hoa Thian-hong kembali menuding ke arah Chin Wan-hong sambil memperkenalkan, “Dia adalah enso mu!”

Siau Ngo-ji kembali berlutut hendak menyembah, tapi Chin Wan-hong buru-buru mencegah sambil berkata, “Saudaraku, tak usah memberi hormat secara kebesaran, silahkan duduk….”

Hoa Thian-hong tersenyum, ujarnya kemudian.

Enci Hong, kami harus buru-buru melakukan perjalanan sehingga tak sempat makan dan minum, sekarang perutku lapar sekali! tolong sediakan makanan

“Baik! aku akan siapkan makanan didapur!” sahut Chin Wan-hong, iapun berlalu dari kamar.

Sepeninggal gadis itu, Hoa Hujin berkata, “Bagaimana keadaan Siang locianpwee? kenapa Haputule tak kelihatan?”

Hoa Thian-hong menghela nafas panjang ia segera menceritakan semua kejadian yang dialami selama melakukan perjalanan ke kota Lok yang.

Setelah mengetahui akan nasib sial yang menimpa Siang Tang Lay beserta kedua orang muridnya, Hoa Hujin tak tahan ikut bersedih hati, ia menghela nafas panjang tiada hentinya.

Tiba-tiba Tio Sam-koh mengelukan tongkat bajanya keatas tanah, kemudian serunya dengan lantang, “Pia Leng-cu pasti berada dikota ini, bagaimanapun juga kita harus berusaha untuk menangkap bajingan itu kemudian membacoknya hidup-hidup hingga mampus!”

Hoa Hujin menghela napas panjang, dari balik selimut dia ambil keluar dua carik kertas, sambil dianggurkan kedepan, katanya, “Engkoh cilik she Ko ini adalah seorang pendekar sejati yang berjiwa ksatria. Seng ji, engkau harus baik-baik ikat tali persahabatan dengan dirinya” Hoa Thian-hong menyambut kertas itu dan membaca isinya, pada lembaran pertama tertulislah kata-kata sebagai berikut,

Kiu-im Kaucu, Pia Leng-cu serta seorang manusia aneh tua dari perkumpulan Mo-kauw yang bercokol dilaut Teng sut hay telah ber kumpul semua dikota ini, mereka bertujuan jahat terhadap diri hujin, harap diperhatikan dan waspada selalu”

Sedang pada lembaran kedua tertulislah kata-kata berikut, “Pia Leng-cu sangat pandai ilmu merubah wajah, saat ini

paras muka serta dandanannya kembali berubah, jejaknya

hilang tak ketahuan, Kiu-im Kaucu berdiam dirumah penginapan Ko seng dipintu kota sebelah utara, makhluk aneh dari perkumpulan Mo-kauw bercokol dikuil kota Shia hong hio, perlu diketahui makhluk aneh itu pernah berkata demikian kepada Kiu-im Kaucu: ‘Engkau adalah kaucu, apa aku kaucu?’ Kalau dengar dari ucapan tersebut, kemungkinan besar dia adalah pentolan dari perkumpulan Mo-kauw”

Di bawah surat itu tertulislah namanya sebagai berikut, “Tertanda, aku yang rendah Ko Tay”

Hoa Thian-hong segera mengernyitkan sepasang alisnya yang tebal, ia bertanya, “Ibu, siapa yang serahkan surat ini kepadamu?”

Ketika kereta kuda kami baru saja masuk kota, seorang bocah cilik angsurkan selembar kertas kepadaku, kemudian sewaktu bersan tap malam tadi, dibawah mangkuk sayur kami temukan pula lembaran surat yang kedua” Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, “Makanan maupun minuman kami dikerjakan sendiri oleh Hong ji, akupun tak habis mengerti darimana datangnya surat itu?”

Hoa Thian-hong termenung sejenak, lalu ujarnya lagi, “Ilmu silat yang dimiliki saudara Ko kurang begitu baik, kalau dia harus adu kepandaian dengan tiga orang gembong iblis itu aku takut kalau….”

“Toako tak usah kuatir” tukas Siau Ngo-ji dengan cepat, “meskipun ilmu silat yang di miliki Ko toako masih belum bisa menandingi kehebatanmu, tapi tiga sampai lima orang gembong iblispun tak akan mampu berbuat sesuatu terhadap dirinya”

Hoa Hujin tersenyum, serunya, “Tiga lima orang gembong iblis bukan main kehebatannya lho…. jangan kau anggap sebagai suatu permainan!”

Hoa Thian-hong memandang sekejap ke arah ibunya, lalu berkata, “Saudara cilik she Ko itu baru berusia empat lima belas tahunan, ilmu silat yang sedang dilatih adalah ilmu pukulan Tiat san ciang atau pukulan pasir besi.”

Perkataan itu diucapkan sangat mendalam dan mempunyai dua arti rangkap, sudah tentu sebagai seorang yang cerdas Hoa Hujin dapat memahami maksudnya.

Jangan dibilang Ko Tay masih sangat muda dan belum menginjak dewasa, sekalipun ia sudah dewasa dan ilmu pukulan pasir besinya telah dilatih hingga mencapai puncak kesempurnaan, dalam penglihatan Hoa Hujin dan putranya, kepandaian tersebut masih belum terhitung sebagai Suatu ilmu silat yang bisa diandalkan, tentu saja mereka tak ingin menyaksikan seorang bocah cilik yang belum dewasa harus jual nyawa bagi kepentingan mereka. Hoa Hujin berpikir sebentar, lalu ujarnya, “Siau Ngo-ji, dapatkah kau temukan Ko toakomu itu?”

“Untuk menemukan Ko toako sih bisa saja, cuma ia tak dapat datang kemari, dan kitapun tak dapat pergi kesana”

“Kenapa??”

“Kalau kedua belah pihak telah saling bertemu, bukankah rahasia Ko toako bakal ketahuan? jika ketiga orang gembong iblis itu mengetahui kalau dia adalah sahabat Hoa toako…. waaah! kemungkinan besar dia malah akan dicelakai”

“Hmm! jaman memang sudah berubah, pentunganpun bisa jadi siluman! betul-betul hebat!” ejek Tio Sam-koh dengan suara tajam.

Mendengar sindiran itn, Siau Ngo-ji langsung mengenyitkan sepasang alis matanya.

“Nenek Sam popo! aku toh sudah berlutut dan menyembah kepadamu, kenapa sih engkau begitu pandang rendah diriku?!” serunya penuh rasa penasaran.

Tio Sam-koh semakin melototkan matanya bulat-bulat. “Huuh! orang sih kecil tapi nyali mu benar-benar sangat

besar….”

“Baik! Baik! Baik!” seru Siau Ngo-ji sambil anggukan kepalanya berulang kali, suatu ketika aku pasti akan melakukan suatu peker jaan besar untuk diperlihatkan kepadamu” Hoa Hujin tersenyum simpul, ia saling berhadapan sekejap dengan Hoa Thian-hong lalu anggukkan kepalanya.

Mereka merasa bahwa setiap perkataan dari Siau Ngo-ji sangat masuk diakal, dalam kenyataan memang banyak kesulitan yang terdapat dalam peristiwa itu.

Beberapa saat kemudian, Chin Wan-hong muncul dalam ruangan menghidangkan sayur dan nasi, Hoa Thian-hong serta Siau Ngo-ji segera duduk dan bersantap bersama-sama.

“Toa! tiba-tiba Siau Ngo-ji berbisik lirih, apakah makanpun ada peraturannya?”

Mendengar pertanyaan itu Hoa Thian-hong segera tertawa. “Buat orang persilatan seperti kami, makan sih tak usah

pakai aturan, bebas dan santai sajalah!”

Siau Ngo-ji mengangguk, tanpa sungkan-sungkan lagi ia segera ambil nasi dan bersantap dengan lahapnya.

Melihat pakaian yang dikenakan Siau Ngo-ji sudah amat dekil dan banyak berlubang, celana sampai sebatas lutut penuh dengan lumpur, sepasang tanganaya hitam, rambut kusut dan awut-awutan persis seperti seorang pengemis cilik. Hoa Hujin segera berpaling ke arah Chin Wan-hong sambil berkata, “Hong ji, carilah satu stel pakaian baru untuknya, dan perintabkan pelayan untuk siapkan air mandi!”

“Bibi Hoa, engkau tak usah repot-repot!” seru Siau Ngo-ji sambil berpaling, “aku tak tahan pakai pakaian baru, tidak sampai beberapa hari toh akhirnya bakal rusak lagi!”

“Kalau sudah rusak kita bicarakan lagi, ayoh cepat bersantap lebih dulu!” kata Hoa Hujin sambil tertawa. Chin Wan Hoag sendiri segera berlalu dari ruangan untuk carikan pakaian buat Siau Ngo-ji.

Baru saja kedua orang itu selesai bersantap, pelayan telah menyiapkan air mandi.

Berhubung Siau Ngo-ji adalah seorang bocah cilik yang baru berusia tujuh delapan tahunan, semua orangpun tidak terlalu memikirkan soal pantangan atau menyingkir dari sana, mereka merintahkan pelayan untuk letakkan tong besar tempat mandi disudut ruangan, kemudian suruh bocah itu lepaskan pakaian dan mandi.

Sebenarnya Siau Ngo-ji ada maksud untuk menghindar, tapi karena ia jeri terhadap Hoa Hujin maka dengan rada jengah akhirnya bocah itu lepaskan pakaian juga untuk mandi.

Tiba-tiba Tio Sam-koh berkata, “Siau Ih, bagaimanapun juga pertarungan ini harus kita adakan, sekarang Seng ji sudah kembali, aku nenek tua tak sudi menjadi cucu kura-kura terus-terusan!”

“Nenek Sam poo, apa yang kau katakan?!” sambung Hoa Thian-hong dengan cepat.

Dengan wajah uring-uringan Tio Sam-koh berseru, “Setelah membaca dua lembar tulisan itu, Hong jin selain mengusulkan agar kita bertindak tenang dan memaksakan suatu tutup pintu tidak keluar dari ruangan barang selangkahpun, dia selalu mengandalkan kelihayan dari kepandaian perguruannya untuk mempertahankan diri….”

Mendadak Siau Ngo-ji berpaling sambil memperingatkan, “Nenek sam popo, dinding ada celah, tembok ada telinga, kalau sedang membicarakan masalah yang penting, janganlah berteriak-teriak begitu dong!”

“Bocah busuk! siapa suruh eagkau cerewet dan banyak mulut?” bentak Tio Sam-koh penuh kegusaran.

“Pia Leng-cu telah lenyap tak ketahuan kemana perginya, siapa tahu kalau ia berdiam dikamar sebelah, kalau engkau berteriak teriak begitu hingga rahasianya ketahuan, mana mungkin bangsat itu mau masuk perangkap?”

“Monyet cilik, banyak amat akal busuk mu!” maki Tio Sam- koh, kemudian sambil tertawa lanjutnya, “Seng ji coba periksalah keadaan disekeliling ruangan ini jangan sampai dugaan dari monyet cilik ini benar-benar terjadi hingga ada orang yang berhasil mendekati tempat Tinggal kita”

Hoa Thian-hong tersenyum, dia segera melayang keluar dari ruangan dan memeriksa keadaan disekeliling tempat itu, kebetulan Chin Wan-hong telah pulang sambil membeli setumpuk pakaian, dua orang itu segera bersama-sama kembali keruangan.

Semua orang sekali lagi merundingkan siasat untuk menghadapi musuh. Tio Sam-koh adalah seorang jago tua yang bersifat seperti jahe, makin tua semakin pedas, kalau menurut pedapatnya, sebelum musuh datang berkunjung, mereka terjang lawan-lawanya lebih dahulu sehingga musuh jadi kocar kacir.

Tapi Hoa Thian-hong lebih mementingkan keselamatan ibunya, apabila keadaan tidak terlalu mendesak, ia tak ingin terlalu jauh meninggalkan ibunya.

Chin Wan-hong adalah seorang gadis yang halus dan penurut, setelah kembali kedalam ruangan dia selalu mengikuti perasaan dan maksud hati mertua serta suaminya, sekarang setelah mendengar kalau usul dari suaminya persis seperti apa yang dia inginkan, gadis itupun segera tutup mulut dalam seribu bahsaa tanpa mengajukkan suatu usul yang lain.

Hoa Hujin sendiri dalam keadaan demikian jadi bingung sendiri, untuk beberapa waktu perundingan jadi macet dan mereka tak berhasil mengambil keputusan apapun juga

Tiba-tiba Siau Ngo-ji berbisik lirih, “Enso, kepandaian apakah yang merupakan kepandaian terampuh dari perguruan mu?”

Sambil menyisir rambut Siau Ngo-ji dengan sisir, Chin Wan- hong tertawa.

“Ketika suhu menyaksikan ilmu silatku terlalu cetek, maka dia telah menghadiahkan sedikit kabut sembilan bisa kepadaku, kabut beracun itu tidak berwarna tidak berbau, jika disebarkan diudara maka kabut itu tetap menggumpal dan sama sekali tidak buyar, barang siapa tersentuh oleh racun itu maka dia akan segera keracunan hebat dan jatuh tak sadarkan diri!”

“Ooh! kalau begitu kabut beracun itu pasti lihay sekali, tapi kalau dihembus angin bakal buyar atau tidak?”

“Kalau anginnya terlalu besar tentu saja akan buyar, tapi kalau racun itu disebar dalam ruangan kemudian pintu kamar dikunci rapat-rapat, sepuluh sampai setengah bulau pun tak bakal buyar!”

“Andaikata engkau sabarkan kabut beracun itu dibelakang pintu, kemudian ada musuh yang menerjang pintu dan masuk kemari, bukankah ada hembusan angin yang bakal muncul mengikuti hempasan pintu itu? bagaimana kalau racun itu sampai terhembus buyar dan malahan meracuni orang yang ada didalam kamar?”

Semua orang merasa terperanjat sesudah mendengar perkataan itu, mereka sama sekali tak menyangka kalau Siau Ngo-ji dengan usianya yang masih begitu muda ternyata mempunyai jalan pikiran yang cermat dan teliti, semua orang merasa malu sendiri dan perhatian mereka terhadap kecerdasan bocah itupun makin berlipat ganda.

Chin Wan-hong sangat berharap bisa menggerakkan hati Tio Sam-koh pergi menempuh bahaya, melihat bocah itu menanyakan keampuhan kabut sembilan racun, dengan cepat sahutnya, “Aku dapat sebarkan kabut beracun itu di….”

“Lain kali tak usah mengungkap soal kabut beracun lagi,” tukas Siau Ngo-ji dengan cepat, “hati-hati kalau sampai rahasia tersebut kedengaran orang lain”

Chin Wan Hoag menganggukan kepalanya berulang kali. “Aku dapat meletakkan benda itu ditempat yang paling

ideal, andaikata ada orang menerjang pintu dan masuk kedalam ruangan, gulungan angin hempasan justru malah akan menyebar benda itu untuk menyumbat pintu masuk.”

“Bagus sekali!” seru Siau Ngo-ji dengan sepasang alis mata berkenyit, “tapi manjur tidak kalah digunakan untuk menghadapi orang-orang yang berilmu silat tinggi?”

“Menurut guruku, asal makhluk ini terdiri dari darah dan daging, sampai dimanapun sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki, tak mungkin akan mampu untuk menghadapi kehebatan benda itu.” Paras muka Siau Ngo-ji segera berseri-seri, sambil berpaling serunya, “Bibi Hoa, aku punya satu ide bagus!”

“Coba katakan!”

“Meskipun ide ku ini tak terhitung sangat bagus, tapi….”

Mendadak Hoa Thiaa Hong melayang kesisi pintu dan sepasang lengannya bekerja cepat membentangkan pintu ruangan mereka.

“Sreeeet….!” serentetan cahaya putih meluncur keluar dari arah pintu ruangan, dalam sekejap mata bayangan tarsebut telah lenyap dari pandangan.

Hoa Thian-hong mengejar sampai diluar ruangan setengah baris ia mencari dan menggeledah sekitar tempat itu namun tiada sesuatu jejak yang berhasil ditemukan.

Akhirnya dengan tangan hampa ia kembali kedalam ruangan, sesudah menutup pintu katanya, “Bayangan putih tadi adalah rase salju milik Ku Ing-ing!”

“Makhluk aneh rase salju? bukankah binatang itu adalah binatang peliharaan Giok Teng Hujin dari perkumpulan Thong- thian-kauw tempo dulu?” kata Siau Ngo-ji keheranan.

“Huuhh! rupanya segala apapun diketahui olehmu!” jengek Tio Sam-koh.

Siau Ngo-ji tersenyum, seakan-kan hendak memperkenalkan diri, ia berkata, “Mulai umur lima tahun aku berkelana di dunia persilatan, kalau dihitung-hitung sekarang sudah hampir tiga tahun lamanya, meskipun tidak banyak yang kulihat tapi banyak sekali yang kudengar.” “Masih kecil banyak pengalaman, aku lihat engkau sudah hampir tiba saatnya untuk cici tangan dibaskom emas dan mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan!” ejek Tio Sam-koh lagi sambil cibirkan bibirnya.

oooooOooooo 63

MENDENGAR sindiran itu, dengan mata melotor besar Siau Ngo-ji segera berteraik, “Nenek Sim popo, aku toh…. sudah….”

“Oooh oooh…. yaa. aku Lupa! engkau toh sudah berlutut dan menyembah kepadaku!” sela Tio Sam-koh kembali dengan cepat.

Hoa Thian-hong yang disamping gelanggang segera tertawa terbahak-bahak.

“Haahh…. haaahh…. hhaahh…. Siau Ngo-ji, nenek Sam popo punya reputasi membunuh beberapa ratus orang persilatan, akupun pernah kena ditempeleng oleh dia orang tua, lain kali engkau musti lebih berhati-hati lho!”

“Kenapa?” seru Tio Sam-koh ketus, “apa aku nenek tua tak boleh menggaplok dirimu?”

Hoa Thian-hong menjura berulang kali, “Boleh…. ooh boleh…. boleh, tentu saja boleh! kalau Seng ji kurangajar, silahkan Sam popo menghajar sepuasnya”

Melihat keadaan dari Hoa toako nya, diam-diam Siau Ngo-ji berpikir dalam hati kecilnya, “Hoa toaiko pun berani dihajar oleh nenek tua itu, waaah! dia musti galak sekali, aku harus lebih berhati-hati lagi….” Sementara itu, sambil tertawa Hoa Hujin telah berkata, “Siau Ngo-ji, Ku Ing Isg adalah nama asli dari Giok Teng Hujin, tapi persoalan ini tidak terlalu penting, coba katakan dulu ba gaimanakah idemu tadi? ‘

Tiba-tiba tetdengar suara langkah kaki manusia berkumandang datang, kemudian ada orang mengetuk pintu.

Hoa Thian-hong segera membuka pintu kamar, seorang pelayan menyerahkan sepasang sepatu kecil terbuat dari kulit menjangan sambil ujarnya, “Hoa ya, tadi siau hujin menitahkan hamba untuk memberikan sepatu ini!”

“Oooh! terima kasih” sahut si anak muda itu sambil menerimanya.

Sepatu kecil itu dibeli untuk Siau Ngo-ji, dengan cepat bocah itu menerimanya sambil dipakai, sambil tertawa cekikikan karena gembira ia mengomel.

Hiiihb…. hhiiih…. hiiihh…. bagus amat sepatu ini, waah! baru pertama kali ini aku pakai sepatu baru…. oohh! enso, engkau memang baik sekali, ensoku memang cantik, manis dan lagi baik deeh”

Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh, dengan cepat dirabanya dalam sepatu itu, sesaat kemudian ia ambil keluar secarik kertas yang dilipat dalam sepatu itu.

Siau Ngo-ji segera membuka kertas itu dan dilihatnya beberapa saat, kemudian kepada Chin Wan-hong dia berkata, “Enso, dua buah huruf ini adalah nama dari Ko toako, sedang ini adalah tulisan ‘Pek’ dan tulisan ini adalah huruf ‘giok’ dan yang ini…. huruf yang lain pernah enso temui tidak?” Chin Wan tersenyum, ia ambil kertas itu kemudian diserahkan kepada Hoa Hujin.

Dengan cepat Hoa Hujin periksa isi surat tersebut yang kira-kira berbunyi demikian,

“Giok Teng Hujin dari perkumpulan Thong-thian-kauw sudah tiba dikota ini, sekarang dia tinggal disebuah penginapan kecil dijalan yang terpencil dekat pintu kota sebelah selatan, ia belum berjumpa muka dengan Kiu-im Kaucu, sedangkan Pek Kun-gie dari perkumpulan Sin kie ping seorang diri baru saja masuk kedalam kota, sekarang dia sedang berkeliling kota dengan wajah yang kusut, rupanya kejernihan otaknya agak terganggu sebab aku lihat ia agak tidak awas pikirannya….!

Tertanda: aku yang muda Ko Tay”

Waktu itu Tio Sam-koh duduk disebelah kanan Hoa Hujin, sedang Hoa Thian-hong duduk disamping pembaringan, mereka bertiga telah membaca isi surat itu bersama-sama.

Selesai membaca paras muka Hoa Hujin seketika nampak murung dan alis matanya berkenyit, sedangkan Tio Sam-koh melototkan matanya mengerling sekejap ke arah Hoa Thian- hong dengan pandangan dingin, seolah-olah sedang berkata demikian, *Hmm! kesemuanya ini adalah gara-gara mu, coba aku mau lihat bagaimana caramu untuk mengatasi kesulitan ini?”

Hoa Thian-hong sendiripun gelagapan dibuatnya, buru-buru dia alihkan sorot matanya melirik sekejap ke arah Chin Wan- hong.

Gadis she Chin itu sendiri sewaktu menyaksikan paras muka mertua nya menunjukkan kerumungan, dengan perasaan gelisah dia segera bertanya, “Ibu, persoalan apa yang membuat engkau jadi kesal dan murung….?”

Nada ucapannya penuh perasaan kuatir, dan perasaan itu dengan jelas tertera nyata di atas wajahnya.

Hoa Hujin tertawa terpaksa, sahutnya, “Pek Kun-gie ikut mengejar kemari, menurut laporan Ko Tay jalan pikiran gadis itu sedikit kurang waras”

“Ooh….! rupanya begitu!” sambung Siau Ngo-ji dengan cepat, “bibi tak usah gelisah, tentara menyerbu kita halau, air bah datang kita bendung, sekalipun langit ambruk rasanya Hoa toako masih mumpu untuk mengatasinya”

Chin Wan-hong tersenyum.

“Nona Pek sama sekali tidak mendatangkan beacaca bagi kita! ujarnya lembut, sedangkan Giok Teng Hujin, adalah sahabat karib Hoa toako mu, diapun tak akan mempunyai maksud jelek terhadap diri kita”

“Ooh! kalau memang begitu, urusankan lebih gampang untuk diselesaikan?”

Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, “Aku paling benci mengadakan hubungan dengan kaum wanita, lebih baik kita tak usah gubris persoalan ini lagi, ayoh kita teruskan perundingan untuk menangkap penjahat saja!”

Hoa Thian-hong sendiripun merasakan suatu perasaan yang amat tak sedap, waktu itu dia memang bermaksud untuk alihkan pokok pembicaraan kesoal lain, mendengar ucapan itu dengan gembira ia segera berseru, “Coba katakanlah, bagaimana caranya untuk merangkap penjahat?” Siau Ngo-ji mendehem ringan, dengan muka serius dia berkata, “Kalau kita musti tunggu sampai penjahat datang mencari gara- gara, maka satu hari penjahat tak datang berarti kita musti tunggu seharian penuh dengan sia-sia, setahun tidak datang kitapun musti siap siaga selama setahun penuh, dari sini menuju ke San see masih amat jasuh dan makin banyak pula yang musti kita hadapi, sekali pun sudah sampai di San see dengan selamat toh Hoa toako masih tetap harus berjaga-jaga dirumah tanpa berani tinggalkan pintu gerbang barang satu langkahpun jua.

“Eeei…. bocah cilik, ternyata engkau punya otak yang encer juga” seru Tío Sam-koh sambil tertawa, “lebih baik setujui saja pendapat dari aku nenek tua, ayoh kita cari dulu jejak dari Pia Leng-cu toosu bajingan itu, kalau Pia Leng-cu tidak ketemu maka kita cari gara-gara dengan Kiu tm kaucu”

Bertempur sih harus bertempur, cuma kita harus mencari jalan yang paling tepat.

“Apa kamu bilang?” teriak Tio Sam-koh dengan mata melotot bulat-bulat.

Siau Ngo-ji tertawa cekikikan.

Hiiih…. hiihh…. hhiiih…. nenek Sam po po jangan gelisah dahulu, aku toh akan menyetujui dengan pendapat dari kau orang tua”

“Hmm! bocah ingusan, pandai benar putar kemudi mengikuti hembusan angin….”

Siau Ngo-ji tertawa.

“Ooh yaaa? masa begitu? menurut aku, sewaktu aku dan Hoa toako pergi, kalau ada orang bermaksud jabat dan hendak menyerang ruangan ini mumpung Hoa toako dan aku tak ada disini, maka kita harus suruh orang itu bisa datang tak bisa pergi dan rasakan dulu kelihayan dari enso”

Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Sebaliknya kalau aku dan Hoa toako tetap berjaga dirumah penginapan ini, kecuali kalau mereka bertiga bisa saling bertukar syarat dan menyerang secara bersama, aku rasa tak mungkin mereka bersedia menempuh bahaya sendirian dan biarkan orang lain pungut keuntungan dari samping….”

Hoa Hujin mengangguk setelah mendengar perkataan itu. “Perkataan dari Siau Ngo-ji memang sangat masuk diakal,

dan siasat ini memang dapat dilaksanakan”

Siau Ngo-ji jadi kegirangan, serunya kemudian, “Kalau memang begitu, mari kita lakukan sesuai dengan rencana tersebut.”

Kepada Chin Wan-hong ia menambahkan, “Enso, aku dengar orang bilang jalanan yang telah dilalui oleh orang- orang dari lembah Hu-liang-kok tak dapat dilalui orang lain sebab kalau tidak maka orang itu bakal sial.”

“Kenapa?” tanya Chin Wan-hong tercengang.

“Sebab jalanan tersebut sudah mengandung racun keji, bukankah begitu?”

Chin Wan-hong segera tertawa lebar.

“Aaaah! tidak sampai selihay apa yang kau bayangkan, aku baru belajar sedikit tentu kemampuanku jauh lebih terbatas.” “Aaaai….!” seru Siau Ngo-ji gegetun, “kalau ada kesempatan kita musti lebih banyak mempelajari beberapa macam kepandaian yang luar biasa itu, tapi bagaimanapun jua tempat yang telah kau raba tentu bisa mengandung racun bukan?”

“Kalau dibalik telapak tangan kita sudah diisi dengan obat racun, tentu saja setiap benda yang telah kuraba dapat mengandung racun yang jahat pula.”

“Kalau memang begitu bagus sekali!” seru Siau Ngo-ji, “cepat polesi pedang baja milik Hoa toako itu dengan obat racun, tapi obat musti jenis obat yang tak bisa hilang dalam waktu lama dan jangan lupa polesi pula tangan Hoa toako dengan obat pemunah.”

“Kenapa?” tanya Chm Wan Hong dengan wajah sangsi. “Sampai detik ini sudah ada empat orang yang mengincar

pedang baja tersebut, mereka sudah pasti akan menggunakan kekerasan kalau dapat dan menggunakan cara mencuri kalau merasa sulit, untuk menghindari segala kemungkinan yanr terjadi, dan siapa tahu kalau Hoa toako lagi teledor sehingga ada orang berhasil merebutnya, maka biarlah orang pertama yang mencuri lebih dulu harus merasakan bencana yang datang tidak terduga itu….”

“Ehmm! cerdas amat bocah ini, akalnya banyak dan jalan pikirannya jauh ke arah depan” pikir Hoa Thian-hong didalam hati, “kalau usianya lebih meningkat dan ilmu silatnya lebih hebat, kemungkinan besar dia bisa menjadi seorang jago yang sangat lihay!”

Tio Sam-koh sebagai seorang nenek tua yang sangat emosi dan benci terhadap segala kejahatan, nomor satu yang menyatakan persetujuannya, ia segera berseru, “Hong ji, bukankah sebelum tinggalkan dirimu beberapa orang sucimu itu sudah tinggalkan banyak sekali benda wasiat untukmu? kalau obat-obatan itu bisa digabung jadi satu, cepatlah poleskan diatas tubuh pedang baja itu”

Chin Wan-hong tidak segera menjawab, sorot matanya segera dialihkan keatas wajah Hoa Hujin dan menantikan persetujuannya.

Hoa Thian-hong berpikir sebentar, diapun merasa apabila kitab pedang Kiam keng itu sampai terjatuh ketangan kawanan iblis dari golongan sesat, maka ibarat harimau yang tumbuh sayap, mereka pasti akan makin menjadi dan berbuat kejahatan serta keonaran dimana-mana, apalagi kalau ilmu silatnya sudah mendapat kemajuan yang pesat, niscaya tak ada orang yang mampu mengendalikan mereka lagi, untuk mencegah segala kemungkinan yang tak diinginkan dan menghindari tumbuhnya bibit bencana bagi umat persilatan memang sepantasnya kalau sedia payung sebelum hujan.

Maka diapun mengangguk tanda setuju.

Buru-buru Chin Wan-hong lari masuk kedapur dan mengambil tungku berisi api, kemudian melepaskan buntalannya dan ambil keluar sebuah bungkusan obat.

Siau Ngo-ji yang masih bocah dan besar sekali rasa ingin tahunya, dengan cepat mendekati Chin Wan-hong, dia ikut menengok kedalam kantong kulit itu, ketika dilihatnya isi kantong terdiri dari pelbagai macam botol kumala yang berbentuk aneh-aneh dan ada yang besar ada pula yang kecil, dia segera berseru, “Enso, engkau harus pilihkan dari jenis yang paling lihay, kalau bisa carikan yang amat hebat sehingga kalau tersentuh lantas tak bisa berkutik, dalam sekejap mata putuslah nyawanya.” Chin Wan-hong tertawa, dia ambil keluar dua macam botol porselen dan membuka salah satu botol diantaranya, kemudian ia perintahkan kepada Hoa Thian-hong untuk merentangkan telapak tangannya.

Si anak muda itu merentangkan telapak tangannya dan Chin Wan-hong menuang keluar segumpal cairan putih dari dalam botol itu, dia suruh Hoa Thian-hong untuk mempolesi seluruh telapak tangannya dengan ca iran tadi kemudian memanggangnya sebentar diatas tungku api itu hingga jadi kering.

Hoa Thian-hong tak banyak bicara, dia keringkan telapak tangannya diatas tungku api, kemudian setelah kering diciumnya dengan hidung, ternyata obat itu sama sekali tidak meninggalkan bau apapun juga.

“Obat pemunah itu telah meresap masuk kedalam kulit tanganmu, selama tujuh puluh hari obat itu masih bekerja, tapi jangan sampai terkena cuka karena obat itu segera akan buyar….” pesan Chin Wan-hong.

Hoa Thian-hong tertawa.

“Kalau obat ini dipoleskan diatas telapak tangan, masa tak ada kejelekannya”

Tiba-tiba ia teringat kembali akan hubungan mesrahnya dengan sang istri, apabila merugikan tentu saja istrinya tak akan berbuat demikian terhadap dirinya, oleh karena itu setelah bicara sampai ditengah jalan ia membungkam kembali.

“Obat itu adalah obat pemunah, sekalipun termakan kedalam perut juga tidak menjadi soal….” kata dara itu kembali, dia ambil botol yang lain dan segera membuka penutupnya. “Apakah obat itu akan kau poleskan keatas pandangku?” Chin Wan-hong mengangguk.

“Mulai sekarang, orang lain tak boleh menyentuh pedang bajamu ini dan engkau sendiripun harus hati-hati, jangan sampai biarkan pedang baja itu menyentuh ditubuh bagian lain, kalau sampai salah tersentuh cepatlah telan obat pemunah, walaupun cuma sedikit itu sudah lebih dari cukup”

“Ooh…. benar-benar menarik hati!” seru Hoa Thian-hong sambil tertawa, dia segera cabut keluar pedang bajanya dan diangsurkan kedepan.

Isi botol kumala itu adalah cairan obat berwarna kuning, Chin Wan-hong ambil kapas dan menyuruh Hoa Thian-hong untuk mempoleskan obat racun itu keatas tubuh pedangnya.

Pedang baja itu bentuknya memang aneh, dari ujung sampai gagang pedangnya merupakan satu bentuk yang sama, keadaannya mirip pedang tapi dalam kenyataan lebih mendekati sebagai sebuah pentungan, baja.

Mula-mula Hoa Thian-hong mempolesi gagang pedangnya lebih dahulu, kemudian setelah dipanaskan diatas tungku api sampai kering, dia baru mempolesi bagian lain dari senjata tersebut.

Pedang baja itu panjang dan besar, obat racun dalam botol itu hampir habis sama sekali dipakai untuk mempolesi pedang itu, walaupun disana sini terpaksa ada yang di polesi dengan begitu saja.

Dalam pada itu, Siau Ngo-ji yang selama ini membungkam, tiba-tiba ulurkan telapak tangannya kedepan sambil memohon, “Enso yang baik hati, tanganku belum kau polesi dengan obat pemunah itu!”

“Buat apa?! tanya sang dara dengan wajah tercengang.

Dengan muka murung dan dahi berkerut Siau Ngo-ji menjawab, “Andaikata pedang baja milik Hoa toako itu sampai menyentuh tanganku, kan aku bisa berabe….!”

Chin Wan-hong tersenyum, melihat paras mukanya yang patut dikasihani terpaksa dia ambil keluar obat pemunahnya dan dilepaskan pula diatas tangannya.

Siau Ngo-ji dengan penuh semangat mempoleskan obat pemunah itu disekitar telapak tangan sampai pergelangan tangannya, kemudian dikeringkan diatas tungku api, begitu seram wajahnya sehingga nampaklah sikapnya yang bersungguh-sungguh.

Menanti obat itu sudah kering, dia baru tunjukkan tangannya kehadapan Chin Wan-hong sambil berseru, “Eoso yang manis, coba lihatlah! apakah sudah beres?”

“Beres!” sahut Chin Wau Hong sambil tersenyum, “dalam tujuh puluh hari mendatang jangan sampai menyentuh cuka!”

Siau Ngo-ji amat kegirangan, dengan muka berseri-seri ia segera berseru, “Hoa toako, sekarang waktu menunjukkan kentongan ketiga, mari kita segera berangkat!”

Hoa Thian-hong tersenyum.

“Hari sudah malam, lebih baik engkau tetap tinggal dirumah penginapan saja.”

“Apa?” seru Siau Ngo-ji dengan wajah melongo. Chin Wan-hong jadi geli melihat kekagetan bocah itu, ia tersenyum dan menjawab, “Ilmu silat yang dimiliki toakomu sangat tinggi dan dia tak membutuhkan bantuan orang lain, kalau engkau tidak tinggal disini untuk menjaga keamanan dirumah penginapan ini, kita bisa ketakutan jadinya….! tinggal saja disini yaa?”

Siau Ngo-ji termenung dan berpikir keras dengan alis mata berkenyit.

“Hmmm….” untuk beberapa saat lamanya ia jadi serba salah dibuatnya.

Tio Sam-koh mencibirkan bibirnya, sambil ulapkan tangannya ke arah Hoa Thian-hong, dia menghardik, “Ayoh cepat enyah dari sini!”

Hoa Thian-hong tetap berdiri ditempat semula, sorot matanya yang memancarkan cahaya keraguan dialihkan keatas wajah ibunya.

Dengan suara lirih Hoa Hujin segera berkata, “Pergilah untuk mencoba kekuatan dari Kiu-im Kaucu tersebut, disini toh ada Sam-koh dan Hong ji dua orang! kendatipun Pia Leng-cu datang kemari, dia tak mungkin bisa mendapat keuntungan apa-apa.”

“Tapi disini sudah hadir seorang jago dari Mo-kauw, bagaimana sikap serta tujuannya sulit untuk diraba ataupun diduga….”

“Kita sudah berani terjun ke dunia persilatan, harus berani pula menghadapi segala resikonya, engkau tak usah banyak berpikir dan cepatlah pergi!” seru Hoa Hujin sambil ulapkan tangannya. Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Hoa Thian-hong menyelipkan pedang bajanya dipinggang dan keluar dari ruangan tersebut.

Tiba-tiba Siau Ngo-ji mengejar sampai didepan pintu, sapanya, “Eeeeii…. toako!”

“Ada apa saudaraku?” tanya Hoa Thian-hong sambil berpaling.

Dengan suara berat Siau Ngo-ji berpesan, “Kalau tak bisa ungguli musuh cepatlah kabur, kalau bisa robohkan lawan sakali bacok kutungi badannya jadi dua bagian, asal gembong iblis itu sudah mampus maka bencana pun bisa kita hindari, engkau jangan sekali-kali berhati lemah lembut!”

Terkesiap hati Hoa Thian-hong mendengar perkataan itu, dalam hati ia segera berpikir, “Tabiat bocah ini rada mirip dengan watak dari ibu, sungguh tebal hawa nafsu membunuhnya!”

Dalam hati ia berpikir demikian, diluaran ia mengangguk dan segera berlalu dari sana.

Setelah keluar dari ruangan kembali pemuda itu awasi keadaan disekeliliagnya, setelah yakin tak ada orang, dia enjotkan badan dan melayang naik keatas atap rumah.

Malam itu udara sangat gelap, langit tiada bintang ataupun rembulan, cuaca gelap gulita sehingga membuat suasana jadi menyeramkan, kecuali kerlipan cahaya dari lampu jalan nun diujung sana, tiada kedengaran suara yang mendesis, suasana amat hening dan sepi. Dengan gerak rubuh yang enteng dan cekatan, Hoa Thian- hong bersembunyi dibelakang wuwungan rumah, dengan sorot matanya yang tajam perlahan-lahan ia menyapu keadaan disekitar tempat itu dan menjaga jangan sampai ada yang menyergap ibunya disaat ia sedang pergi.

Walaupun langit sangat gelap dan tiada sinar yang menerangi tempat itu, namun dengan sorot matanya yang tajam ia dapat melihat semua benda disekitarnya dengan jelas.

Mendadak…. ia temukan sesosok bayangan manusia berdiri diatas rumah tepat diseberangnya, dan orang itu rupanya sedang mem perhatikan ke arahnya.

Dalam hati Hoa Thian-hong segera berpikir, “Sungguh besar nyali orang ini, ia berani betul berdiri diatas atap rumah tanpa berusaha untuk menyembunyikan jejaknya”

Berpikir sampai disitu, ia segera awasi keadaan disekitar tempat itu dan segera melayang turun dari atas atap rumah, dengan menyelusup lewat wuwungan rumah dia berkelebat maju kedepan.

Setelah menyeberangi jalan raya, dia berpuiar satu lingkaran lebar dan diam-diam loncat naik keatas atap rumah, sekarang posisi nya sudah dibelakang bayangan manusia itu.

Bayangan manusia tersebut masih tetap berdiri ditempat semula, walaupun sudah makan waktu cukup lama namun ia masih tetap tak bergeser dari tempat semula. Hoa Thian-hong makin mendekati orang itu tapi hatinya segera bedebar keras.

Ternyata orang yang berdiri diatas atap rumah itu bukan lain adalah putri kesayangan dari Pek Siau-thian, ketua pekumpulan Sin-kie-pang yang selama ini mencintai dirinya…. Pek Kun-gie adanya.

Dengan tenang Pek Kun-gie berdiri diatas atap rumah, biji matanya yang bening basah oleh air mata, dengan pandangan sayu ia awasi rumah penginapan yang didiami oleh Hoa Thian- hong itu tanpa berkedip, badannya kaku bagaikan patung namun alisnya berkeryit memancarkan kepedihan hati yang amat tebal, membuat siapa pun yang memandang ikut beriba hati.

Hoa Thian-hong yang bersembunyi ditempat kegelapan sangat terharu melihat sikap gadis itu, sambil memandang bayangan pung gungnya yang liuk-liuk indah, tanpa sadar air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, dalam hati ia bergumam, “Ooh…. Kun Gie! Kun Gie sayang! buat apa kau menyiksa diri? aku sudah beristri dan berkeluarga, buat apa engkau masih mengerang akan diriku?”

Angin malam berhembus lewat mengibarkan ujung baju Pek Kun-gie, namun dara itu masih tetap tidak merasa, ia tetap berdiri tidak bergerak ditempat semula.

Lama sekali dilihatnya gadis itu tak berkutik terus dari tempat semula, hatinya jadi kecut, pikirnya, “Ooh Kun Gi! engkau akan menanti sampai kapan? apakah engkau hendak berdiri disitu semalam suntuk?”

Pek Kun-gie adalah seorang gadis yang sangat cantik, pria manapun yang berjumpa dengan dirinya kebanyakan terpikat kepadanya, tapi rasa cinta gadis itu terhadap Hoa Thian-hong sudah mencapai pada taraf yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, si anak muda itu tentu saja dapat merasakan pula pancaran cinta yang diperlihatkan dara itu kepadanya, tapi pemuda itu sadar dengan keadaan nya pada saat ini, dia telah beristri sedang pihak lain adalah gadis perawan, dia tak ingin merusak kehidupan dara itu karena dirinya.

Malam semakin kelam, baju yang mereka kenakan telah basah oleh embun tapi Hoa Thian-hong tetap berdiri ditempat persembunyiannya, ia tak tega meninggalkan gadis itu, pemuda itu hendak maju mendekati dan menghibur dirinya, tapi bayangan sekelompok perempuan segera muncul dalam benaknyaa.

Bayangan itu terdiri dari raut wajah Chin Wan-hong, ibunya, Kiu-tok Sianci, Biau-nia Sam-sian serta Tio Sam-koh. Pemuda itu merasa seolah-olah kaum perempuan itu melotot ke arahnya dan mengawas gerak-geriknya terhadap Pek Kun- gie….

Tiba-tiba…. telinganya seakan-akan mendengar lagi suara peringatan dari Kiu-tok Sianci yang dingin, “Seng ji”, engkau harus ingat! kalau engkau tidak setia dalam cinta dan mencari bini lain, atau kau berani melakukan sesuatu perbuatan yang merugikan Hong ji, aku bersumpah akan mencabut selembar jiwamu!”

Kemudian ia teringat kembali suara dari ibunya yang tegas dan berat, “Harap siau ci legakan hati, kalau Seng ji berani mengkhianati cintanya, aku akan potong sendiri batok kepalanya untuk dikirim ke lembah Hu-liang-kok dan minta maaf kepadamu!”

Teringat kembali akan perkataan dari dua orang itu, dia merasakan hatinya jadi kecut dan seakan-akan kepalanya diguyur air dingin sebaskom, tanpa sadar peluh dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya. Dalam hati ia segera berpikir, “Daripada bertemu lebih baik tak berjumpa, daripada kesalahpahaman ini kian hari kian berlarut-larut….!”

Karena berpendapat demikian, ia segera ambil keputusan untuk tinggalkan tempat itu secara diam-diam.

Tapi bagaimanapun juga manusia bukanlah pohon atau rumput yang tidak berperasaan, siapakah yang tidak terharu kalau menyaksikan pemandangan seperti itu? siapa yang tidak beriba melihat kesetiaan cintanya? apalagi makin gagah seorang pria semakin besar pula rasa cintanya pada pihak yang lain.

Tanpa disadari oleh Hoa Thian-hong sendiri, benih cintanya terhadap Pek Kun-gie sudah tertanam sejak banyak waktu, semakin tercekam oleh lingkungan yang serba terbatas, makin berkobar cinta kasihnya terhadap gadis itu, hanya saja larangan dari angkatan tuanya membuat pemuda itu tak berani mengutarakan perasaan hatinya itu.

Tapi benih cinta yang tersembunyi dalam lubuk hatinya kian hari kian tumbuh dengan suburnya, dan rasa cintanya terhadap gadis itupun makin lama makin bertambah, apalagi sekarang dilihatnya gadis itu berdiri termangu-mangu ditengah malam yang dingin sambil mengawasi kamar tidurnya membuat Hoa Thian-hong merasakan hati nya jadi hancur berkeping-keping, dia ingin pergi dengan keraskan hati, namun kakinya terasa tak mau diajak psrgi….

Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Pek Kun-gie bergumam seorang diri, “Apakah engkau sudah tidur? aku….”

Walaupun bisikan itu amat lirih tapi bagi pendengaran Hoa Thian-hong cukup membuat hatinya jadi remuk rendam, hampir saja ia tak mampu menguasai emosinya dan menerjang kedepan serta memeluk gadis itu erat-erat.

Tapi ingatan lain dengan cepat berkelebat dalam benaknya, “Dia adalah seorang gadis perawan yang masih suci, sedang aku telah beristri, kalau aku mempunyai bubungan gelap dengan dirinya maka nama baiknya pasti akan ternoda, itu berarti aku telah menghancurkan kehidupannya, aaai…. aku tak boleh mencelakai masa depannya!”

Terdengar Pek Kun-gie bergumam lagi dengan suara lirih” “Oooh…. Thian-hong sayang, engkau telah tidur? aku akan

menunggu sebentar lagi, setelah kau tidur nyenyak aku baru akan berlalu dari sini….”

Bisikan lirih yang mirip igauan tersebut penuh dengan rasa cinta yang tebal, meski pun terselip nada yang begitu memilukan hati….

Hoa Thian-hong yang jantan, pada saat ini tak dapat menahan pergolakan emosinya lagi, dia ambil keputusan untuk munculkan diri dan berjumpa dengan gadis manis itu.

Tapi…. sebelum pemuda itu sempat melangkah maju, tiba- tiba ia saksikan sekujur badan Pek Kun-gie gemetar keras kemudian menjerit kaget….

Hoa Thian-hong terkesiap, dia segera alihkan sorot matanya kedepan, sesosok bayangan manusia tahu-tahu muncul diatas atap rumah penginapan itu dan sedang awasi ruang penginapan sebelah belakang.

Jarak kedua belah pihak hanya terpaut satu tombak belaka, karena pendatang tak diinginkan itu muncul dari arah utara sedang tubuh Pek Kun-gie kebetulan tertutup oleh bangunan loteng yang tinggi, maka orang itu tidak menemukan jejaknya.

Sekilas pemandangan Hoa Thian-hong dapat kenali pendatang yang tak diundang itu sebagai Kiu-im Kaucu, bawa amarahnya segera berkobar didalam dada, pikirnya, “Pia Leng- cu saja belum datang, tak nyana dia sebagai seorang ketua dari suatu perkumpulan telah datang lebih dahulu kesana, manusia ini benar-benar tak tahu diri!”

Tiba-tiba terdengar Pek Kun-gie membentak keras, “Hey Kiu-im Kaucu!”

Pada waktu itu Kiu-im Kaucu sedang mengawasi daerah di sekitarnya, ketika mendengar bentakan itu dia segera berpaling, tapi setelah diketahuinya kalau orang jtu adalah Pek Kun-gie, dengan gerak tubuh yang amat cepat ia menyeberangi jalan raya dan berdiri tepat dihadapan dara tesebut.

Dengan pandangan yang tenang Pek Kun-gie melirik sekejap ke arah Kiu-im Kaucu, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan jeri ataupun takut, dengan suara ringan tegurnya, “Dia sudah tidur pulas, janganlah mengganggu ketenangan tidurnya….!”

Mula-mula Kiu-im Kaucu agak tertegun, tapi dengan cepat ia dapat menangkap apa yang dimaksudkan, dalam hati segera berpikir, “Karena sedihnya budak ini sudah kehilangan kesadaran otaknya, bahkan mendekati orang yang tak waras otaknya.”

Sementara dalam hati berpikir demikian diluaran ia tertawa dan mengejek, “Tahukah engkau, pada saat ini Hoa Thian- hong tidur sepembaringan dengan siapa?” Rasa sedih yang tak terkirakan berkelebat diatas wajah Pek Kun-gie, dengan muka murung jawabnya, “Tentu saja aku tahu, dia telah menikah dengan Chin Wan-hong dan tentunya tidur dengan gadis itu.”

“Benar dan tepat sekali perkataanmu itu, mereka sudah menikah dan sekarang lagi bersenang-senang didalam kamar, buat apa engkau berdiri termangu-mangu ditempat ini?”

“Anjing bedebah!” diam-diam Hoa Thian-hong menyumpah dalam hati kecilnya, “dalam keadaan seperti inipun dia masih tega untuk menyakiti hatinya dengan kata-kata seperti itu”

Terdengar Pek Kun-gie dengan suara tawar menjawab, “Kiu-tok Sianci maupun Chin Pek-cuan adalah tuan penolong dari keluarganya, sebagai seorang yang setia kawan dan berjiwa gagah apalagi sebagai seorang bocah yang berbakti kepada orang tuanya, tentu saja ia tak mau membangkang perintah ibunya, walaupun dia telah menikah dengan Chin Wan-hong, dalam kenyataan dia sama sekali tak mencintai gadis itu.”

“Siapa yang bilang? apakah Hoa Thian-hong yang mengatakan sendiri kepadamu?” ejek Kiu-im Kaucu sinis.

“Tentu saja bukan dia yang mengatakan sendiri kepadaku, tapi aku tahu bahwa dugaanku itu pasti tak akan keliru!”

Kiu-im Kaucu semakin sinis, kembali sindirnya dengan suara tajam dan tak sedap didengar, “Kenapa? hati manusia toh tak sama, siapa tahu lain diluar lain didalam? dengan berdasarkan bukti apa engkau bisa mengatakan kalau Hoa Thian-hong sebenarnya tidak mencintai Chin Wan-hong?”

“Aku mengetahui perasaan hatinya!” Jawaban yang amat singkat itu diutarakan dengan begitu meyakinkan, seakan-akan walaupun samudra bisa mengering dan batu bisa membusuk, tapi keyakinannya itu sama sekali tak dapat digoyahkan lagi.

Kiu-im Kaucu mendengus dingin, sebenarnya dia hendak mengatakan: ‘Itu toh menurut perasaanmu, bagaimana dengan pemuda itu? engkau sendiri toh tak tahu….?’

Tapi ketika dilihatnya keyakinan yang begitu tebal memancar keluar dari wajah Pek Kun-gie, ketika sorot mata mereka saling bertemu satu sama lainnya, ucapan yang sudah hampir meluncur keluar itu akhirnya tertelan kembali.

Sikap Pek Kun-gie masih tetap tenang, seakan-akan dia tidak tahu kalau orang yang berdiri dibadapannya itu bukan lain adalah ketua dari perkumpulan Kiu-im-kauw yang baru saja munculkan diri kedalam dunia persilatan serta mengambil oper kekuasaan dari Tiga maha besar yang telah musnah dari permukaan bumi itu.

Dengan pandangan yang jeli dia menatap wajah lawannya tajam-tajam, lalu serunya kembali dengan suara berat, “Ditengah malam buta begini, mau apa engkau datang kemari?”

Kiu-im Kaucu mengerutkan dahinya.

“Hmm….! engkau sedang berbicara dengan aku?”

“Tentu saja berbicara deneaa engkau! mau apa kau datang kemari ditengah malam buta begini? mau menyergap dirinya yaa?”

Kiu-im Kaucu tidak segera menjawab, dalam hati kembali pikirnya, “Rupanya budak ini sudah dibikin sinting oleh rasa cintanya yang tidak kesampaian, kalau dilihat dari sikapnya yang kebodoh-bodohan ini rupanya ia sudah tak tahu apa yang dinamakan lihay dan apa yang dinamakan mati atau hidup.”

Berpikir sampai disitu, bukannya gusar ia malah tertawa terbahak-bahak, sahutnya, “Dalam dunia persilatan dewasa ini hanya dua tiga orang saja yang mampu bertempur satu lawan satu dengan diriku dan berbicara tentang kemampuan dalam ilmu silat, siasat, komplotan serta kekuasaan maka hanya seorang saja yang sanggup menghadapi diriku, orang itu bukan lain adalah Hoa Thian-hong….”

Rupanya Pek Kun-gie amat girang atas pujian itu, dengan muka berseri-seri ia tertawa dan memotong.

“Kalau engkau sudah tahu, itu lebih baik lagi! sekarang cepatlah tinggalkan tempat ini, jangan ganggu ketenangan tidurnya, dan mulai sekarang jangan musuhi dirinya lagi.”

Kiu-im Kaucu dibikin serba salah oleh perkataan tersebut, mau tertawa ia tak bisa mau marahpun tak dapat, akhirnya dengan wajah menyeringai dia berseru.

“Hey budak ingusan! aku mempunyai satu cara untuk membuktikan apakah Hoa Thian-hong benar-benar cinta kepadamu atau tidak!”

Tapi dengan cepat Pek Kun-gie gelengkan kepalanya. “Aku tak mau dengarkan caramu itu, aku tahu bahwa dia

sangat mencintai diriku!”

“Ooooh…. jadi kau takut kalau rahasia kebohonganmu sampai terbongkar….?” ejek Kiu-im Kaucu sinis, “engkau takut kalau kenyataan membuktikan bahwa dalam hati kecil Hoa Thian-hong sebenarnya sama sekali tak ada pikiran tentang dirimu?”

Hawa amarah berkobar dalam hati Pek Kun-gie, dengan muka penuh kegusaran dia melototi perempuan tua itu.

Sejenak Kemudian sambil menutupi telinganya dengan jari tangan, dia berseru, “Aku tak sudi untuk mendengarkan omongan setanmu lagi, aku mau pergi….!”

Tanpa banyak bicara dia segera putar badan dan berlalu dari sana.

Kiu-im Kaucu segera tertawa dingin.

“Heeeeh…. heeeh…. heeehh kalau engkau berani tinggalkan tempat ini, aku akan segera membinasakan Hoa Thian-hong!”

Mendengar ancaman tersebut sekujur badan Pek Kun-gie gemetar keras, ia segera berpaling sambil berseru, “Kepandaian silatnya sangat lihay, siapa pun jangan harap bisa membinasakan dirinya!”

Kembali Kiu-im Kaucu tertawa licik.

“Aku telah siapkan suatu tindakan yang hebat dan dahsyat untuk menghadapi Hoa Thian-hong, kalau aku ingin membinasakan dirinya maka hal itu depat kulakukan dengan gampang sekali bagaikan membalik telapak tangan sendiri.

Heeeh heehh asal bibit bencana ini berhasil kusingkirkan, maka perkumpulan Kiu-im-kauw secara resmi akan dibuka dan mulai menerima anggota baru, pada waktu itu seluruh kekuasaan di permukaan bumi ada ditanganku!” Pek Kun-gie makin terkesiap setelah mendengar ucapan itu, dia melayang kembali ke tempat semula sambil berkata, “Coba terangkanlah cara lihay apakah yang telah kau siapkan itu, dan bagaimana caramu untuk mencabut jiwanya?”

Kiu-im Kaucu tertawa dingin.

“Heeeh…. heeh…. heehh siasatku tidak akan kuperdengarkan pada telinga yang keenam, kemarilah! akan Kubisikkan rencanaku ini kepadamu”

Agaknya Pek Kun-gie sama sekali tak mempunyai perasaan waswas, mendengar perkataan itu dia segera loncat maju kedepan.

Hoa Thian-hong yang bersembunyi ditempat kegelapan jadi amat terperanjat setelah menyaksikan kejadian itu, dia takut Kiu-im Kaucu menggunakan cara yang paling keji untuk melukai Pek Kun-gie, badannya bergerak untuk menghalangi gerak maju dara itu tapi ingatan lain dengan cepat berkelebat dalam benaknya, “Andaikata dia ada maksud hendak mencelakai Kun Gie, maka hal itu bisa dia lakukan dengan gampang sekali tanpa menggunakan siasat licin untuk membohongi dirinya, andaikata aku munculkan diri dalam keadaan begini, siapa tahu kalau dia malah berubah ingatan dan menggunakan Pek Kun-gie sebagai sandera untuk memaksa aku….”

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar