Tiga Maha Besar Jilid 13

 
Jilid 13

PERISTIWA itu berlangsung amat mendadak dan sama sekali diluar dugaan siapapun, belum pernah Pek Siau-thian mengalami pukulan batin seberat ini, ia saksikan dari barisan pelindung hukum panji kuning secara beruntun sudah empat puluh orang yang keluar barisan dari barisan tiga ruangan luar dalam pun ada tiga puluh orang lebih yang tinggalkan barisan.

Orang-orang itu bagaikan dicabut sukmanya oleh raja akhirat seonang demi seorang keluar barisan dengan sangat teratur dan mengikuti irama gembrengan yang bergema di angkasa, pandangan mereka lurus kedepan dan tak pernah celingukan kemana-mana, setelah tiba dihadapan Tiam cu istana neraka para jago itu berdiri tegak dengan muka serius dan penuh rasa hormat.

Sekarang Pek Siau-thian dapat memahami apa yang telah terjadi, urutan orang-orang itu tinggalkan barisan ternyata persis mengikuti urutan mereka bergabung kedalam perkumpulan Sin-kie-pang, mereka yang masuk perkumpulan Sin-kie-pang lebih dahulu sekarang tinggalkan barisan lebih dahulu, dan mereka yang akhir masuk perkumpulan seka rang tinggalkan pula perkumpulan pada urutan yang terakhir, semuanya disiplin dan sedikitpun tidak nampak kacau.

Menanti suara gembrengan itu sudah dibunyikan untuk kelima belas kalinya, watku itulah baru tak nampak ada manusia yang tinggalkan barisan, namun diantara jago-jago lihay yang masih tersisa dalam barisan pelindung hukum panji kuning perkumpulan Sin-kie-pang hanya tinggal dua puluh orang saja, bila berbicara tentang ilmu silat mereka, maka orang-orang itu hanya dapat dikatakan sebagai kelas dua belaka.

Rasa gusar, penasaran dan mendongkol yang berkecambuk dalam dada Pek Siau-thian sukar dilukiskan dengan kata-kata, dalam keadaan sedih bercampur malu mendadak ia rampas sebilah golok dari tangan seorang jago yang berada disisinya kemudian langsung digorokkan ke arah leher sendiri.

Kebetulan sekali Kho Hong-bwee berada d dekat suaminya, menyaksikan perbuatannya yang nekad itu, dia jadi amat terperanjat untuk menyelamatkan jiwanya terang sudah tidak sempat lagi perempuan itu segera menjerit keras, “Sau Tha!!!”

Tiba-tiba Hoa Thian-hong tertawa tergelak.

“Haaah…. haaah…. haaah…. Sau Tha artinya masih muda tapi segalanya sudah tahu. Nah! akhirnya toh engkau harus menelan kekalahan yang begitu pahit!”

Laksana kilat ia menerjang maju kedepan dan telapaknya langsung berkelebat merampas golok itu.

Rasa malu dan gusar berkecamuk dalam dada Pek Siau- thian, sepasang matanya tiba-tiba melotot besar dan dua titik darah kental mengalir keluar membasahi pipinya, dengan penuh kemarahan, ia mendelik ke arah Hoa Thian-hong dari sikapnya yang ganas seakan-akan ia hendak melancarkan terjangan.

Tiba-tiba Kho Hong-bwee membentak nyaring. “Hoa Thian-hong engkau benar-benarr terlalu keji. Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, ia teringat kembali akan peristiwa dimana Pek Kun-gie secara nekad terjunkan diri kedalam jurang tak terasa lagi hatinya jadi lunak dan pemuda itu jatuhkan diri berlutut dihadapan Pek Siau- thian dan menjalankan satu kali penghormatan besar.

Meskipun bibirnya berkemak kemik namun tak sepatah katapun yang dapat diutarakan pemuda ini.

Pek Siau-thian menggertak giginya kencang-kencang perasaan hatinya sangat kalut dan serba salah, dalam keadaan seperti itu ia segera melengos ke arah lain.

Tiba-tiba satu jeritan yang lengking dan keras amat memekikkan telinga bergema diseluruh angkasa.

“Kaucu muncul dalam mimbar!”

Bersamaan dengan berkumandangnya seruan itu, semua anggota perkumpulan Kiu-im-kauw sama-sama bangkit berdiri dan menyingkir keke dua belah samping, sementara bocah perempuan berbaju warna-warni dan berkuncir panjang dibelakang tandu segera tampil ke depan dan menggulung horden dimuka tandu itu.

Dalam waktu singkat suasana dalam lembah diliputi kesunyian serta kebeningan yang mencekam, beribu-ribu mata sama-sama dialih kan ke arah tandu megah tersebut, setiap orang merasakan suatu perasaan tegang yang sangat aneh.

Tiba-tiba dari balik tandu melangkah keluar seseorang, dia adalah seorang perempuan berperawakan tinggi besar dan bermuka bulat bagaikan bulan purnama.

Rambut perempuan itu masih berwarna hitam pekat dan terurai sepanjang bahu. Ia mengenakan seperangkat jubah lebar berwarna hitam pekat, tangannya memegang sebuah tongkat hitam yrng berat dan berukirkan sembilan buah kepala setan perempuan pada bonggol atasnya, setiap ukiran kepala setan perempuan itu berambut panjang, bergigi taring dan kelihatan seram sekali, sedang kepala setan yang berada dipaling atas melukiskan raut wajah yang hampir mirip dengan wajah Kiu-im Kaucu tersebut, hanya saja Kiu-im Kaucu itu kecuali berwajah pucat pias dan bermata menyeramkan mukanya kelihatan menggidikan hati siapapun yang memandang.

Ketika perempuan baju hitam itu keluar dari tandunya thamcu istana neraka beserta seluruh jago lainnya termasuk Che It Hun sekalian yang baru saja menggabungkan diri segera jatuhkan diri berlutut sambil berseru lantang.

“Hamba sekalian menunjuk hormat untuk kaucu!” Dengan sorot mata yang tajam bagaikan kilat, Kiu-im

Kaucu menyapu sekejap ke arah semua anak buahnya yang berlutut diatas tanah kemudian sambil mengetuk tongkat kepala setannya ia berjalan menuju kekursi kebesarannya.

Dari sikapnya yang agung dan seram serta langkahnya yang berat dan mantap, Hoa Thian-hong menyadari bahwa ilmu silat yang dimiliki ketua perkumpulan Kiu-im-kauw ini sangat lihay dan otakpun licin sekali, dia merupakan seorang musuh yang sulit dihadapi.

Menggunakan kesempatan dikala Kiu-im Kaucu sedang berjalan menuju kekursi kebesarannya, pemuda itu segera kembali kedalam barak dimana para pendekar berkumpul

Sementara itu Hoa Hujin dan Kiu-tok Sianci sekalian duduk bersanding pada barisan terdepan sedangkan Biau-nia Sam- sian sekalian kaum angkatan muda duduk dibelakangnya. Hoa Thian-hong langsung masuk kedalam barak dan memberi hormat kepada para angkatan tua yang duduk didepan, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu mendadak Siang Tang Lay berbisik dengan suara lirih, “Anakku tahukah engkau pedang emas tersebut kini terjatuh ditangan siapa?”

“Aku sama sekali tak tahu!”

“Bukankah dalam saku Yau Sut terdapat sebilah pedang emas” sela Tio Sam-koh dari samping.

“Oooh! pedang emas itu palsu” tukas Siang Tang Lay dengan cepat.

Sesudah berhenti sebentar, kepada Hoa Thian-hong ujarnya dengan wajah serius.

“Engkau harus ingat baik-baik, Kitab kiam keng peninggalan malaikat pedang Gi Ko tersimpan didalam pedang bajamu itu, pedang baja murni ini sangat kuat dan keras sekali, tapi pedang emas itu merupakan senjata tertajam di kolong langit, hanya pedang emas itu saja yang mampu mematahkan pedang bajamu serta mengambil Kitab Kiam keng yang tersimpan didalamnya”

Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, dia angkat pedang bajanya dan diamat-amati dengan seksama.

Tiba-tiba terdengar bocah perempuan berkuncir panjang yang berdiri disamping Kiu-im Kaucu berseru kembali dengan suara lantang, “Ku Ing-ing, harap menerima perintah!”

Serentetan suara sahutan yang merdu bergema dari arah mimbar, disusul munculnya Giok Teng Hujin serta Pui Che-giok dua orang. Semua orang terperangah dibuatnya dan diam-diam mengeluh atas kebodohan sendiri, walaupun pertarungan sudah berlangsung beberapa hari, ternyata tak seorang manusiapun yang masih ingat dengan perempuan misterius itu.

Kiu-tok Sianci mengerutkan dahinya, kemudian berkata, “Lan hoa, coba sadarkan orang-orang yang menggeletak ditanah, coba lihat diantara mereka masih terdapat mata-mata dari perkumpulan Kiu-im-kauw?”

Lan-hoa Siancu terima perintah dan langsung keluar dari barak, dia ambil sebuah botol dan menciumkan obat pemunah itu di ujung hidung setiap orang yang terkapar di situ.

Pengaruh kabut racun Kiu tok ciang datang amat cepat, dalam waktu singkat semua orang sudah sadar dan sama- sama menggabungkan diri ke arah Pek Siau-thian.

Diantara orang-orang itu ada lima orang pelindung hukum panji kuning yang tiba-tiba berhenti berlari setelah menjumpai kehadiran Kiu-im Kaucu disitu, mereka segera putar badan dan kabur menuju kebarak orang-orang Kiu-im-kauw.

Dalam pada itu Giok Teng Hujin dengan tangan kiri membopong Soat-ji makhluk aneh kesayangannya, tangan kanan memegang sumbu obat peledak, perlahan-lahan ia berjalan kehadapan Kiu-im Kaucu kemudian jatuhkan diri berlutut.

“Tecu Ku Ing-ing dengan membawa serta budak tecu yang bernama Che Giok mengunjuk hormatt buat kaucu”

Kiu-im Kaucu tertawa dingin tiada hentinya. “Heeeh…. heeeh…. heeeh…. engkau bagus, engkau bagus, engkau tidak bagus!”

Paras muka Giok Teng Hujin berubah hebat, sambil tundukkan kepalanya ia berkata, “Thian Ik-cu telah mengatur siasat busuk dalam lembab Cu-bu-kok ini, dia sudah menanam obat peledak di mana-mana dan siap diledakan apabila situasi pertarungan tak menguntungkan pihaknya hingga semua orang yang hadir dalam lembah ini mati konyol semua, tecu telah berhasil menggagalkan siasat busuknya itu”

“Oleh karena itulah aku mengatakan engkau bagus” sahut Kiu-im Kaucu dengan suara hambar.

Pek Siau-thian yang mendengar perkataan itu perasaan hatinya kembali berubah ia tak menyangka pertemuan besar Kian ciau tayhwee yang penuh dengan persoalan dan peristiwa diluar dugaan ternyata masih tersembunyi suatu hawa nafsu membunuh yang membahayakan jiwa setiap orang, diam-diam ia merasa sudah beruntung dapat hldup sampai waktu itu, kalau masih mempunyai pikiran dan ambisi yang besar untuk menguasai jagad sebetulnya pikiran itu terlalu kelewat batas.

Tiba-tiba terdengar Thian Ik-cu berseru dengan suara keras, “Ku Ing-ing! hubungan diantara kita toh erat sekali, kapan sih aku pernah menyia-nyiakan dirimu?”

Giok Teng Hujin yang masih berlutut dihadapan Kiu-im Kaucu berubah air mukanya jadi merah padam setelah mendengar sindiran tersebut, tapi berhubung ia jeri terhadap pengaruh kaucu nya maka perempuan itu hanya membungkam terus dalam seribu bahasa.

Tiba-tiba dari sorot mata Kiu-im Kaucu keluar cahaya nafsu membunuh yang amat tajam, sambil menatap Thian Ik-cu dari kejauhan, serunya, “Cara kami orang-orang perkumpulan Kiu- im-kauw membunuh orang, sama sekali berbeda dengan apa yang kau bayangkan, andaikata engkau tak ingin merasakan penderitaan yang lebih hebat, lebih baik tutuplah mulutmu dan jangan banyak bicara!” 

Dari nada ucapan itu dengan jelas mengartikan bahwa pihaknya telah ambil keputusan untuk mencabut nyawa Thian Ik-cu.

Panglima perang yang baru saja menderita kalah, seringkali memang nyalinya jauh lebih kecil, ketika Thian Ik-cu dipelototi oleh Kiu-im Kaucu dari tempat kejauhan, dia merasakan sorot mata lawan begitu tajam bagaikan anak panah yang menembusi ulu hatinya, tanpa sadar sekujur badannya gemetar keras dan bulu kuduknya pada bangun berdiri, ia segera membungkam dalam seribu bahasa.

Giok Teng Hujin merasa makin ngeri dan takut tatkala dilihat Kiu um kaucu tidak memerintahkan dirinya untuk bangkit berdiri, dalam gelisah dan cemasnya ia segera berseru, “Tecu yang mengemukakan siasat dengan budak tecu, Che Giok menyaru sebagai Kun Gie untuk membunuh putra Jin Hian serta mencari pedang emas, dan karena siasat itu pula tiga kekuatan besar terjadi perpecahan….”

Tiba-tiba terdengar Jin Hian menengadah dan tertawa seram, suaranya begitu seram penuh kesedihan dan rasa dendam, begitu kerasnya suara tertawa itu membuat lembah Cu-bu-kok bergetar keras suasana tegang dan sedih menyelimuti seluruh angkasa.

Jin Hian makin tertawa makin keras, kutungan lengan kirinya yang telah dibalut kini merekah kembali hingga darah segar m ngucur tiada hentinya, mendadak ia muntah darah segar…. Dipihak lain secara diam-diam Thian Ik-cu telah melepaskan pedang mustika Poan liong kiam nya dan diserahkan ketangan Pia Leng-cu sambil berbisik penuh kegelisahan, “Pedang emas itu tersimpan dalam pedang mustika ini, harap susiok segera melarikan diri, selewatnya hari ini baik atau buruknya kita harus berusaha untuk membinasakan Ku Ing-ing perempuan sialan itu!”

Terdengar Jin Hian yang sedang tertawa seram, tiba-tiba berhenti tertawa kemudian membentak keras, “Ku Ing-ing semoga aku diberkahi umur panjang, akan kulihat bagaimanakah akhir hidupmu?”

“Hmm! mati hidup anak murid perkumpulan kami berada dalam genggamanku!” seru Kiu-im Kaucu dengan nada menyeramkan, raja akhiratpun tak kuasa menguasai kematian mereka, apalagi engkau….

Bicara sampai disini, tiba-tiba ia saksikan Pia Leng-cu yang berada dalam barak seberang sedang mengenakan pedang mustika dengan sikap yang tergesa-gesa, kecurigaannya segera timbul dan ia membentak keras, “Ku lng Ing! dimanakah pedang emas itu?”

“Dalam pedang mustika Poan liong kiam milik Thian Ik-cu!”

Baru saja ucapan itu diutarakan, Pia Leng-cu dengan membawa serta pedang mustika Poan liong poo kiam telah meluncur kedepan serentetan suara suitan nyaring bergema di angkasa, imam tua itu langsung kabur keluar lembah.

Kiu-im Kaucu amat gusar sekali menyaksikan perbuatan imam tua tadi, sambil mengetukkan tongkat kepala setannya keatas tanah ia membentak keras kemudian secepat kilat mengadakan pengejaran dari belakang. Dua orang itu satu didepan yang lain di belakang, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya langsung menerjang ke arah mulut lembah, dalam sekejap mata bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan mata.

Siang Tang Lay buru-buru berseru kepada Hoa Thian-hong dengan nada cemas, “Seng ji, cepat kejar! bagaimanapun juga engkau harus merampas kembali pedang emas itu!”

Hoa Thian-hong dengan cepat melirik sekejap ke arah ibunya, lalu berpikir didalam hati, “Luka dalam yang diderita ibu parah sekali, mungkin keselamatan jiwanya sukar dijamin, aku mana tega untuk tinggalkan dia orang tua lagi….?”

Berpikir sampai disitu, ia segera gelengkan kepalanya dan membungkam dalam seribu bahasa.

Mendadak…. terjadi kegaduhan yang amat ramai diempat penjuru.

Rupanya Pek Siau-thian telah menyadari bahwa gelagat tak menguntungkan bagi pihaknya, menggunakan kesempatan Kiu-im Kaucu belum kembali dari pengejarannya atas diri Pia Leng-cu, tiba-tiba ia pimpin sisa laskar yang tergabung dalam perkumpulan Sin-kie-pang dan cepat-cepat mengundurkan diri dari Lembah tersebut.

Jin Hian dari perkumpulan Hong-im-hwie serta malaikat kedua Sim Ciu dan nenek dewa bermata buta, masing-masing dengan membopong seorang rekannya yang terluka, ikut kabur tinggalkan mulut lembah tersebut.

Thian Ik-cu pun tak mau membuang kesempatan itu dengan begitu saja, ia segera perintahkan seorang murid untuk membopong tubuhnya dan kabur keluar dari lembah Cu-bu-kok.

Begitulah dalam keadaan serba kalut dan Kiu-im Kaucu belum kembali dari pengejarannya atas Pia Leng-cu, beberapa orang pen tolan dunia persilatan yang sudah terdesak posisinya pada melarikan diri dari sana.

Hoa Hujin sendiri diam-diam berpikir dalam hati kecilnya, “Pengaruh dan kekuatan pihak Kiu-im-kauw terlalu besar untuk dilawan, Seng ji sendiripun belum tentu bisa menandingi kepandaian ilmu silat dari kaucu mereka, apalagi semua orang sedang terluka dan kami hanya menggantungkan Seng ji seorang, bagaimanapun juga posisi serta situasi semacam ini sangat menguntungkan bagi kita”

Perempuan ini cermat dalam pemikiran tegas dalam keputusan setelah ambil keputusan ia segera berseru, “Seng ji bersiap sedia untuk buka jalan, mari kita undurkan diri lebih dahulu dari sini!”

Hoa Thian-hong paling menguatirkan keadaan luka yang diderita ibuaya, mendengar ibunya memerintahkan mundur ia amat gembira sebab keputusan tersebut sesuai dengan maksud hatinya.

Pemuda itu segera berlutut dan membopong ibunya diatas punggung kemudian sambil memegang pedang bajanya ia berjalan dulu didepan barisan.

Dalam waktn singkat Chin Pek-cuan telah membopong putranya Giok Liang, Dewa yang suka pelancongan Cu Thong membopong Bong Pay, Hoa In membopong Suma Tiang-cing, tiga orang murid Siang Tang lay membopong tubuh suhunya keatas tandu dan mengusung tandu tersebut, sedang Cu Im taysu menggandeng Ciu Thian-hau. Sementara itu, sisanya masing-masing membopong dua sosok jenasah dan mengikuti dibelakang Hoa Thian-hong segera kabur keluar dari lembah Cu-bu-kok tersebut,

Para jago itu merupakan orang-orang cekatan, setelah mereka ambil keputusan untuk pergi maka gerakan tubuh mereka cepat sekali, tidak sampai seperminum teh kemudian, semua orang telah meloloskan diri dari lembah itu.

Dipihak para pendekar kaum lurus, Hoa Thian-hong bergerak dipaling depan membuka jalan sedang Kiu-tok Sianci mengikuti dibarisan paling belakang, tentu saja orang-orang perkumpulan Kiu-im-kauw lebih-lebih tak berani menghadang jalan pergi mereka.

Sesudah keluar dari lembah, buru-buru Hoa Thian-hong bertanya, “Ibu, kita akan pergi kemana?”

“Bergerak dulu ke kota Cho ciu!”

“Aaaah benar, kita memang harus kembali keperkampuan Liok Soat Sanceng yang sudah lama ditinggalkan” pikir Hoa Thian-hong didalam hati.

Ia segera perkencang larinya dan meluncur ke arah depan tanpa lengah barang sedikitpun.

Tiba-tiba terdengar Chin Pek-cuan membentak keras, “Seng ji, lambat sedikit larinya!”

Buru-buru Hoa Thian-hong mengiakan ia segera perlambat larinya dari keadaan semula. Meskipun pemuda itu sudah memperlambat gerakan larinya, namun buat Chin Pek-cuan serta Biau-nia Sam-sian sekalian masih tetap tak sanggup untuk menyusul.

Diantara mereka, Li-hoa Siancu yang paling payah, dengan nafas tersengkal-sengkal ia segera percepat larinya melampaui Hoa Thian-hong dan menghadang dihadapan si anak muda itu, sehingga terpaksa pemuda itu harus mengurangi gerak cepatnya.

Pada saat itu tengah hari baru saja lewat, sang surya memancarkan sinarnya dengan amat panas, setelah berlari- larian beberapa waktu lamanya tubuh mereka semua telah basah kuyup oleh air keringat.

Tiba-tiba Lan-hoa Siancu merasakan perutnya gemerutuk tiada hentinya, ia segera teringat satu urusan, dengan cepat tegurnya, “Siau long, hari ini tanggal berapa?”

“Entah, aku sendiripun tak tahu?”

Kiu-tok Sianci yang berada didekatnya segera menyambung, “Ini hari tanggal delapan belas, ada apa sih?”

“Yaaa ampun! aku sudah tiga hari tiga malam tak makan sesuatu apapun” seru Lan boa siancu setengah berteriak.

Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, semua orang segera merasakan perutnya sangat lapar, begitu haus dan laparnya sehingga hampir saja tak tertahankan.

Tiba-tiba Cu Im taysu mengheta nafas panjang dan berkata, “Aaai….! pertamuan besar Kian ciau tayhwee telah berlangsung selama tiga hari tiga malam lamanya, kalau diingat kembali pertarungan ini mungkin merupakan suatu pertarungan yang paling panjang” “Aaai….! ucapanmu memang benar” sambung Ciu Thian- hau dengan suara berat, andaikata tidak murcul manusia- manusia setan dari perkumpulan Kiu-im-kauw, mungkin dalam sekali gebrakan Seng ji dapat menumpas habis sisa-sisa kekuatan dari perkumpulan Sin-kie-pang dan dunia persilatanpun akan menjadi tenang kembali.

“Walaupun kita gagal mengusir kaum penjahat dari muka bumi, sedikit banyak perkumpulan Hong-im-hwie dan Thong- thian-kauw berhasil ditumpas, hasil yang kita peroleh itu sudah cukup memuaskan hati pin ceng,” sambung Cu Im taysu.

“Hmm!” Tio Sam-koh mendengus penuh kegusaran, “seorang manusia laknat telah lenyap, muncul manusia laknat lain, apa yang engkau puaskan….?”

Tiba-tiba ia membentak keras, “Seng ji kurang ajar….!! engkau memang telur busuk”

Hoa Thian-hong jadi melongo ketika secara mendadak ia dicaci maki nenek tua itu, dengan keheranan ia lantas bertanya, “Nenek Sam poo, kenapa sih engkau mencaci maki diriku?”

Tio Sam-koh makin gusar, teriaknya, “Tadi bedebah Pek Siau-thian hendak bunnuh diri, kenapa engkau musti menghalangi perbuatannya itu?”

Li-hoa Siancu yang berada dibelakang, sambil mencibirkan bibirnya dia segera menyambung, “Huuuh….! kenapa lagi? tentu saja ia memandang diatas muka Pek Kun-gie” Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong mendengar perkataan itu, buru-buru selanya, “Engkau keliru besar, aku berbuat demikian karena memandang diatas wajah istrinya.

“Huuh, engkau anggap aku tak tahu siapakah istrinya itu? bukankah dia calon mertuamu?” sindir Li-hoa Siancu lebih jauh sambil tertawa dingin.

Dewa yang suka pelancongan Cu Tong tertawa terbahak- bahak.

“Haaah…. haaah…. haaah…. setia kawan yang diperlihatkan Kho Hong-bwee patut dipuji, kita harus menghormati kepribadiannya yang luhur”

Hoa Hujin yang selama ini membungkam terus, tiba-tiba berkata, “Jikalau orang-orang pihak Kiu-im-kauw melakukan pengejaran satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan adalah melawan dengan sepenuh tenaga, bagaimanapun juga kita bukan lagi melarikan diri, lebih baik cari dulu sebuah dusun setelah makan kenyang baru kita lanjutkan kembali perjalanan kita.”

Lan-hoa Siancu segera berseru, “Ucapan hujin tepat sekali, Siau long dimanakah ada dusun?”

“Siaute tidak tahu!”

“Haaah! engkau ini segala apapun tidak tahu, yang engkau ketahui cuma bagaimana caranya melindungi Pek Kun-gie.”

Hoa In tak tega majikan mudanya dibuat bulan-bulanan oleh sekawanan gadis Biau itu, dengan cepat ia maju kedepan sambil berkata, “Hamba tahu, disebelah depan sana ada sebuah kota kecil!” Ketika semua orang teringat akan makan dan minum tanpa sadar perjalanan dilakukan jauh lebih cepat, kurang lebih setengah jam kemudian sampailah mereka disebuan kota kecil.

Meskipun kota kecil tapi disitu terdapat sebuah rumah makan, setelah Hoa In membawa semua orang kerumah makan itu ia pergi seorang diri untuk membeli peti mati.

Setelah peti mati tersedia beberapa orang itu segera mengebumikan jenasab dari It sim hweesio sekalian beberapa orang, menghadapi rekan-rekan mereka yang telah gugur dalam keadaan mengenaskan semua orang merasa amat bersedih hati terutama Harimau pelarian Tiong Liau yang hampir pada saat yang bersamaan kehilangan istri dan putranya yang tercinta, kesedihan hatinya benar-benar sukar dilukiskan dengan kata-kata.

Untung semua orang adalah pendekar-pendekar sejati yang berhati lapang dalam menghadapi pertarungan tersebut pada dasarnya semua orang telah membawa tekad untuk berjuang hingga titik darah penghabisan serta membasmi perkumpulan Hong Im twee, Sin-kie-pang serta Thong-thian-kauw, yang hidup merasa bersukur karena masih dapat melanjutkan hidup sebaiknya yang gugurpun berkorban dengan terpuji setelah bersedih hati beberapa waktu lamanya, perasaan hati merekapun menjadi lapang kembali seperti sedia kala.

Daun Leng-ci mustika yang masih tersisa tinggal selembar daun belaka, tapi Suma Tiang-cing, Chin Giok-liong dan Bong Pay tiga orang sama-sama menderita luka dalam yang amat parah, karena itu selembar daun mustika itu dibagikan kepada mereka bertiga untuk dimakan, hingga saat itu masih tertidur nyenyak dan tak pernah sadar barang sebentarpun jua. Siang Tang Lay dan Ciu Thian-hau sendiri walaupun isi perutnya terluka sangat parah, tapi dengan dasar tenaga dalam mereka berdua yang amat sempurna, asal bersemedi beberapa hari saja niscaya luka itu dapat di sembuhkan dengan sendirinya.

Justru diantara mereka keadaan Hoa Hujin yang termasuk paling payah, segenap tenaga dalamnya telah ludas, ilmu silatnya punah dan luka racun yang didcitanya dahulu mulai kambuh kembali, keadaannya paling serius dan gawat diantara yang lainnya.

Kiu-tok Sianci kecuali ahli dalam bidang obat-obatan beracun, iapun menguasai dalam ilmu pengobatan, setelah mengisi perut dia segera memeriksa keadaan luka yang diderita Hoa Hujin serta mengobati penyakitnya itu.

Setelah ribut sampai sore hari, akhirnya semua persoalan dapat diatasi dan para jago pun bersama-sama kumpul dalam ruangan untuk merundingkan gerakan mereka selanjutnya.

Hoa Hujin memandang sekejap ke arah Kin tok sian ci, kemudian sambil tertawa ujarnya, “Putra ku pernah berhutang budi kepada Sian ci dan ini hari berkat pertolonganmu semua orang berhasil lolos dari bencara tersebut, bukan saja kami ibu dan anak merasa amat berterima kasih sekali atas penolonganmu itu, aku rasa semua orang yang hadir disinipun mempunyai perasaan yang sama”

Mendengar perkataan itu, Kiun tok sian ci tertawa.

“Aaah! hujin terlalu sungkan-sungkan, kita toh mempunyai pandangan dan cita-cita yang sama, tak apa kalau kita saling bantu membantu”

Hoa Hujin tersenyum. “Aku tahu kalau sian ci paling tak suka mencampuri urusan keduniawian, aku lihat lebih baik engkau segera pulang ke wilayah Biau saja karena urusan disini sudah selesai dan aman bila lain waktu ada kesempatan aku orang she Bun pasti akan berkunjung kesitu.

“Ibu! bagaimana dengan luka racunmu?” tukas Hoa Thian- hong darin samping, “sian nio paling sayang kepada ananda….”

“Sian ci telah tinggakan resep obat kepadaku, asal kita belikan obat itu bukankah lukaku akan sembuh?” sela Hoa Hujin sambil tertawa.

Sesudah berhenti sebentar ia melanjutkan.

“Sekarang engkaupun telah lerhitung seorang pendekar kenamaan dalam dunia persilatan, lain kali kalau ingin menyelesaikan sesuatu masalah maka engkau harus mengutamakan soal cengli lebih dulu janganlah urusan pribadi maka engkau merampas cengli dengan emosimu itu!”

“Ananda akan ingat selalu nasehat dari ibu” sahut Hoa Thian-hong sambil tertawa riku.

Sementara itu Kiu-tok Sianci telah tertawa santai lalu berkata, “Chin loo enghiong, putri kesayanganku itu akan kau ajak pulang ke kota Keng ciil ataukah ikut aku pulang ke wilayah Biau?”

“Haahh…. haahh…. haahh….” Chin Pek-cuan tertawa terbahak-bahak, “selamanya perempuan mondong keluar, sejak dari permulaan aku telah berikan putriku ini kepada orang lain” Kiu-tok Sianci kembali tersenyum, “Hong ji, inginkah engkau pulang ke wilayah Biau dan belajar warisan ilmu kepandaianku?”

“Ingin!” sahut Chin Wan-hong lirih, kepalanya ditundukkan rendah-rendah.

Jawaban tersebut diutarakan dengan suara yang lirih dan lembut bagaikan bisikan nyamuk, semua orang tahu gadis itu sebenarnya ingin tapi tidak ingin, tidak ingin tapi sebenarnya ingin.

Tiba-siang Siang Tang Lay berkata, “Hujin, aku adalah orang yang berasal dari luar perbatasan, bila ada perkataan yang menyumbat tenggorokanku, rasanya tak leluasa kalau tidak diutarakan keluar”

Kita toh sesama rekan seperjuangan, bila Siang heng ingin mengucapkan sesuatu silahkan saja diutarakan secara terus terang.

Aku tak habis mengerti, apa sebabnya hujin tak mau menganggap Hong ji sebagai menantumu? apakah engkau benar-benar penuju dengan Pek Kun….

Buru-buru Hoa Hujin goyangkan tangannya berulang kali, sambil tertawa ia menukas.

“Aku orang she Bun amat penuju sekali dengan Hong ji, sebenarnya aku sudah ingin menimangnya sejak dulu, tapi berhubung Hong ji masih punya harapan untuk mewarisi segenap kepandaian dari sian ci maka aku kuatir karena soal perkawinannya ini sehingga menghilangkan kesempatan baik tersebut baginya”

Mendengar perkataan itu, Kiu-tok Sianci segera tertawa. “Soal itu sih tak perlu kau risaukan, anak murid wilayah Biau bisa menjadi menantu keluarga Hoa, sekalipun tiap tahun aku harus berkunjung sekali kedaratan Tionggoan aku juga rela….”

Berbicara sampai disini, tiba-tiba paras mukanya berubah jadi amat serius serunya, “Siau long!”

Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, dengan terbata-bata ia mengiakan.

Dengan nada serius Kiu-tok Sianci berkata lebih jauh, “Ibumu adalah seorang pendekar sejati diantara kaum wanita, selamanya bertindak ia lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan diri pribadi, sedang aku adalah suku Biau aku mempunyai jalan pikiran yang lain mengenai kehidupan seorang manusia, mengertikah apa yang kumaksudkan?”

Hoa Thian Hoag agak terperangah.

“Meskipun aku yang muda tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berkumpul dengan sian nio, tapi dalam pikiranku. Sian nio tak ada ubahnya dengan ibu kandungku sendiri”

Kiu-tok Sianci mengangguk, “Baik, akan kujelaskan kepadamu sifat suku Biau kami, bagi orang Biau mereka lebih mengutamakan soal cinta kasih daripada kepentingan umum, kalau engkau tak bersedia mengawini Hong jin, maka katakanlah sekarang juga, aku tak mungkin akan membenci atau mendendam kepadamu, tapi seandainya engkau telah mengawini Hong jin kemudian melakukan perbuatan yang mengakibatkan ia merasa sakit hati, jikalau kami orang Biau sudah membalas dendam, maka cara dan tindakan yang kami lakukan tak akan kepalang tanggung, kami akan gunakan berbagai cara yang terkeji untuk lenyapkan dirimu dari muka bumi”

Selesai mendengar keterangan tersebut. Hoa Thian-hong berdiri termangu-mangu, lama sekali ia baru berseru dengan terbata-bata, “Empek Chin adalah tuan penolong keluarga Hoa kami….”

“Sekarang kita tidak membicarakan soal budi atau setia kawan, yang dibicarakan hanya soal cinta asmara, cintakah engkau kepada Hong ji….?”

Hoa Thian-hong melirik sekejap ke arah Chin Wan-hong, lalu tanpa disadari ia mengangguk.

Li-hoa Siancu yang selama ini membungkam, tiba-tiba menimbrung dari samping, “Siau long, cintakah engkau kepada Pek Kun-gie?”

Mendengar pertanyaan ttu, Hoa Thiao Hong berdiri tertegun dan gelabakan setengah mati, bibirnya bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu namun tak sepatah katapun yang meluncur keluar.

Li-hoa Siancu jadi mendongkol sekali, segera hardiknya, “Ayoh jawab engkau cinta padanya atau tidak?”

“Siaute!…. siaute sendiripun tak tahu apakah aku cinta padanya atau tidak!”

“Hmm! kalau tidak tahu itu tandanya engkau cinta pada budak ingusan tersebut! bukan begitu?” seru Li hoa siansu makin naik pitam. Lan-hoa Siancu yang berada disisinya segera ikut nimbrung dari samping.

“Kalau memang begitu urusan makin gampang untuk diselesaikan, sebentar kita berangkat dan cari Pek Kun-gie sampai ketemu setelah gadis ingusan itu kita bunuh bukankah urusan akan beres?”

Hoa Thian-hong kaget sekali mendengar ancaman tersebut segera pikirnya didalam hati.

“Ketiga orang budak ini sangat binal dan tak tahu aturan apa yang diucapkan dapat sungguh-sungguh dilaksanakan, waah…. kalau sampai terjadi peristiwa itu urusannya jadi runyam”

Berpikir sampai disini buru-buru ia berpaling ke arah Kiu- tok Sianci dan berseru.

“Sebagai seorang lelaki sejati aku berani menerima resiko macam apapun juga tapi aku mohon agar sian ci jangan membinasakan diri Pek Kun-gie”

Kiu-tok Sianci menghela napas panjang.

“Aaiai…. Hujin lebih baik engkau yang selesaikan urusan ini, aku sendiripun tak tahu apa yang harus kulakukan!”

0000O0000

60

“Sian Ci tak usah kuatir” sahut Hoa Hujin dengan wajah serius, “setelah putraku mengawini Hong ji jika tindak tanduknya tidak genah dan cintanya tidak setia maka akan kuhantar sendiri batok kepalanya ke wilayah Biau untuk diperiksa oleh sianci!”

“Kalau memang begitu akupun tak akan mengatakan apa- apa lagi!”

Hoa Hujin segera berpaling dan tegurnya, “Chin heng entah bagaimana pendapatmu?”

Chin Pek-cuan segera menengadah dan tertawa terbahak- bahak.

“Haaahhh…. haaahh…. haahh…. apa yang harus kukatakan lagi?”

Sampai disitu maka urusan perjodohanpun sudah ditetapkan, Dewa yang suka pelancongan Cu Thong sekalian segera memberi selamat kepada keluarga pihak lelaki, keluarga pihak perempuan serta Kiu-tok Sianci, sedangkan Biau-nia Sam-sian menggoda adik seperguruannya hingga membuat Chin Wan-hong jadi tersipu-sipu.

Setelah ribut beberapa waktu, merekapun membicarakan soal waktu perkawinan, Chin Pek-cuan tidak memberi komentar apapun dan menurut semua pendapat yang diutarakan.

Sebaliknya Hoa Hujin yang teringat letak perkampungan Liok Soat Sanceng jauh di wilayah San see, kalau perkawian itu diseleng garakan setelah tiba dirumah, maka hal ini pasti akan memperlambat waktu pulang Kiu-tok Sianci ke wilayah Biau, selain itu diantara rekan-rekan seperjuangan pun masih banyak yang terluka, pengaruh perkumpulan Kiu-im-kauw makin mengganas sedang masa depan dunia persilatan tetap diselubungi kabut bencana, belum tentu semua orang berminat untuk ikut menghadiri perayaan tersebut, karenanya ia ambil keputusan daripada musti gelisah lebih baik upacara perkawinan dilakukan secepatnya.

Kiu-tok Sianci adalah seorang suku Biau, ia tidak punya pantangan atau kesulitan apa-apa kecuali urusan Pek Kun-gie yang masih mengganjal dalam hatinya, menurut pemikirannya asal sang murid segera melangsungkan perkawinannya dan merekapun telah menjadi suami istri maka keadaan tersebut akan jauh lebih mantap.

Setelah berunding beberapa waktu lamanya, terakhir tiga orang itu memutuskan untuk menyelenggarakan upacara perkawinan pada saat itu juga dalam rumah penginapan kecil jauh diluar kota tersebut.

Dalam sekejap mata suasana dalam kedai itupun jadi ribut dan ramai, Hoa In segera pergi ke pasar untuk siapkan lilin dan hiasan, Lan-hoa Siancu dan Tio Sam-koh menyiapkan pakaian serta perhiasan, Li-hoa Siancu dan Ci-wi Siancu mengatur kamar pengantin, Dewa yang suka pelancongan Cu Thong menyiapkan meja perjamuan.

Karena jumlah pembantu yang sangat kurang, Cui Im taysu seorang yang pergi membereskan soal peti mati dan lelayon rekan-rekannya untuk dipindahkan dari depan kedai ke arah belakang, bekerja pulang pergi dengan repotnya membuat beberapa orang itu basah kuyup oleh air keringat….

Setelah repot seharian penuh, tatkala malam hari menjelang tiba semua persiapan pun telah beres.

Pada malam itu juga, ruang tengah kedai bermandikan cahaya terang, Hoa Thian-hong mengenakan jubah panjang warna merah, sedangkan Chin Wan-hong mengenakan gaun yang gemerlapan, kecuali tidak memakai penutup kepala, dandanan mereka persis seperti pengantin pada umumnya. Sesudah upacara dimeja sembahyang pay ciu maka sepasang pengantin baru itupun dihantar masuk kekamar pengantin.

Keesokan harinya, sepasang pengantin baru itu mengucapkan banyak terima kasih kepada para cianpwee dan rekan lainnya yang ikut memeriahkan upacara itu.

Sejak pertempuran sengit dalam pertemuan besar Kian ciau tayhwee, dalam hati kecil setiap orang sama-sama timbul suatu perasaan yang sangat aneh, seolah-olah dalam beberapa hari yang singkat, umur mereka semua telah bertambah tua dua tiga puluh tahun kegagahan dan semangat berkobar-kobar yang mereka perhatikan dimasa silam secara tiba-tiba lenyap tak berbekas, setiap orang merasakan badannya lesu dan penat bahkan Ciu Thian-hau serta Tio

Sam-koh sekalian yang merupakan orang-orang gagah yang suka berterus terangpun sama-sama berharap agar dunia persilatan dapat menjadi tenang untuk beberapa saat lamanya sehingga memberi kesempatan buat mereka untuk mengundurkan diri dan mengasingkan diri dari urusan dunia.

Selesai bersantap pagi, Kiu-tok Sianci memanggil sepasang pengantin baru itu dihadapannya dan berkata, “Siau long ini hari juga aku akan pulang ke wilayah Bitu, Hong ji adalah seorang bocah yang jujur dan setia engkau harus hati-hati merawat dirinya”

Hoa Thian-hong anggukkan kepalanya berulang kali. “Aku yang muda tak berani menyia-nyiakan dirinya!”

“Hmm! aku tanggung engkau tak berani, sela Lan hoa sian cu dari samping. Hoa Thian-hong dan Chin Wan-hong saling berpandangan sekejap lalu tertawa, setelah perkawinan paras muka mereka berdua meman-carkan cahaya berkilauan, cinta kasih yang begitu hangat dan mesrah terkandung semua dibalik senyuman tersebut membuat Biau-nia Sam-sian yang menjumpai keadaan tersebut sama-sama terperangah dibuatnya.

Tiba-tiba Li-hoa Siancu berteriak keras, “Bagus sekali! setelah Hong ji punya suami, ia tak mau suhunya serta para sunci nya lagi”

“Benar akupun merasakan juga akan hal ini” sambung Ci-wi Siancu dari samping secara tiba-tiba, “aku merasa hubungan siau sumoay dengan diriku jadi terpaut sekali”

Chin Wan-hong jadi sangat gelisah, ia berusaha hendak membantah tapi mulutnya tergagap dan tak sepatah katapun yang sanggup di utarakan keluar.

Melihat keadaan muridnya yang terkecil ini, Kiu-tok Sianci segera tertawa dan menghentikan suara ribut-ribut semua orang, dari sakunya diambil keluar sejilid kitab lalu berkata, “Isi kitab isi merupakan kepandaian ilmu tusuk jarum guna mengobati luka akibat keracunan, ambillah dan pelajari sendiri dengan seksama, setengah tahun kemudian aku akan berkunjung lagi keperkumpulan Liok Soat Sanceng guna mewariskan kepandaian yang lain”

Ching Wan Hong menerima kitab tersebut dan mengucapkan banyak terima kasih kepada suhunya, Kiu-tok Sianci pun menggunakan kesempatan itu mohon diri kepada semua orang.

Tiba-tiba Siang Tang Lay berseru, “Seng ji, bagaimanakah ilmu silat yang dimiliki Kiu-im Kaucu menurut pendapatmu?!” Hoa Thian-hong termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian menjawab, “Aku yang muda tak dapat menerkanya!”

Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan.

“Tongkat kepala setan yang menjadi senjata andalannya itu entah terbuat dari bahan apa? kalau didengar dari pantulan suara ketika tongkat itu menyentuh tanah, mungkin beratnya melebihi lima ratus kati….”

“Aaah! omong kosong, pandai benar engkau ngaco belo tak karuan!” maki Lan-hoa Siancu.

Hoa Thian-hong tersenyum.

“Betul! tongkat itu berat sekali, mungkin enci tidak perhatikan dengan seksama….”

“Aaaah! ngawur, omong kosong, aku lihat tongkat itu dibawa olehnya dengan enteng sekali kami yang ada didekatnyapun tak dengar sentuhan tongkat dengan tanah maka engkau yang ada ditempat kejauhan malah mendengar dengan jelas?”

“Suhu kau dengar atau tidak?” tanya Ci-wi Siancu.

Aku sih tidak mendengar jawab Kiu-tok Sianci sambil tertawa, tapi aku percaya tongkat kepala setan itu bukan benda sembarangan tongkat itu pasti berat sekali.

Kalau senjata itu benar-benar lima ratus kati beratnya tapi ia bisa membawa dengan begitu enteng seolah-olah barang kecil, dari sini dapat diketahui kalau ilmu silatnya pasti luar biasa sekali!” teriak Lan-hoa Siancu. Siang Tang Lay mengangguk.

Menurut pandanganku, Kiu-im Kaucu pastilah seorang jago persilatan yang berkepandaian silat luar biasa, bukan saja akalnya banyak dan cerdas diapun merupakan seorang manusia yang licik dan kejam, manusia semacam ini sukar dihadapi.

“Perkataan dari lociqnpwee tidak salah, Hoa Thian-hong menanggapi, setelah orang ini munculkan diri dalam dunia persilaan pelbagai perbuatan yang mengoncangkan dunia persilatan pasti dilakukan olehnya, dalam keadaan demikian rasanya tak mungkin bagi kita untuk tetap santai dan menganggur”

Emmm! orang kuno mengatakan: Setelah Thian memberikan kecerdasan kepada kita umat manusia, maka setelah kita hidup di kolong langit kenapa musti menganggur atau bermalas-malasan! cuma….”

Dia menyapu sekejap kawan-kawannya yang hadir disana, lalu melanjutkan, “Aku adalah seorang manusia yang bertubuh cacad, ketika pinjam ilmu iblis pekikkan maut Hong hiat mo kang aku telah berjanji hanya akan menggunakan satu kali saja, mulai sekarang aku tak dapat menggu nakan kepandaian itu lagi, seandainya terjadi persoalan maka aku tak dapat memberi bantuan apa-apa lagi”

Hoa Hujin tersenyum.

“Jadi kalau begitu, sepantasnya kalau namaku pun ikut terhapus dari dunia persilatan”

Terdengar Siang Tang Lay melanjutkan kata-katanya lebih jauh, “Kalau kita gunakan racun untuk melukai seorang atau dua orang, maka kejadian ini merupakan suatu peristiwa yang umum dan tak aneh tapi kalau mengandalkan benda racun untuk membirasakan segenap musuh-musuh kita, maka kejadian itu merupakan suatu peristiwa yang melanggar hukum Thian serta memperkosa asas perikemanusiaan, sekali pun meracuni sekelompok binatang buas hingga mati juga merupakan tindakan kelewat kejam, oleh sebab itulah kita tak boleh terlalu menggantungkan kemampuan Sian ci….”

Kiu-tok Sianci tertawa dan segera berkata, “Persoalannya terletak pada kemampuan ilmu racun yang kadangkala tak bisa digunakan sebagaimana mestinya kita berbicara menurut keadaan yang kita alami kemarin, pada waktu itu kabut Kiu tok ciang milikku sudah kusebarkan pada tingkat yang paling hebat, seandainya berada ditanah lapang yang luas atau ditempat yang berhembus oleh angin kuat maka benda racun itu tidak akan banyak mendatangkan manfaat, meskipun aku mempunyai ilmu racun lainnya, akan tetapi kepandaian tersebut tak dapat di gunakan untuk mengbahapi jumlah orang yang terlalu banyak.”

Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Kabut racun itu paling anti dengan api, sebab kalau bertemu api segera akan berkobar dan musnah tak berbekas, hawa racun akan kalut dan buyar bahkan kemungkinan besar malahan akan melukai orang-orang dari pihaknya sendiri, terus terang saja ilmu racun itu banyak sekali penyakit dan kelem hannya, seandainya pihak lawan mengetahui keadaan itu dengan jelas, maka sulitlah bagi kita untuk pancing mereka hingga masuk perangkap”

“Yaa…. kalau ditinjau dari sini, bicara pulang pergi akhirnya toh untuk menghadapi perbuatan dunia persilatan, kita masih menggantungkan diri dengan soal ilmu silat, kalau ilmu silat trak dapat menandingi maka cepat atau lambat akibatnya akan menuju jalan kematian” “Aku yang muda akan berlatih tekun siang maupun malam, aku harap Cianpwee sekalian bersedia untuk menyumbangkan pula tenaga untuk bersama-sama menghadapi situasi yang gawat dan serba susah ini” pinta Hoa Thian-hong serius.

Siang Tang Lay menghela napas panjang.

“Aaai…. yang tua dan berpengalaman telah mengundurkan diri, orang-orang yang masih hidup sekarang tinggal beberapa gelintir saja, kami beberapa orang ini sudah tak akan memberikan manfaat apa-apa lagi bagi dirimu”

Mendengar sampai disitu, Ci-wi Siancu baru paham dengan apa yang dimaksudkan oleh jago tua itu, dengan alis mata berkenyit serunya tercengang, “Kenapa sih? maksud Siang locianpwee, untuk menghadapi semua urusan dalam dunia persilatan dikemudian hari, maka sian long harus menanggulanginya seorang diri?”

“Kalau tidak begitu lantas apa yang harus kita lakukan?”

Ciwi siancu merasa sangat tidak puas, serunya, “Kita semua….?”

Tetapi ketika ia saksikan kecuali dirinya guru dan murid serta Siang Tang Lay, para jago yang hadir disinipun cuma beberapa orang belaka yang mungkin merupakan segenap anggota persilatan dari golongan lurus, ia jadi terbungkam dan tak sanggup meneruskan kembali kata-katanya.

Terdengar Siang Tang Lay dengan suara lantang berkata lagi, “Seng ji, seribu patah kata lebih baik kuringkas jadi sepatah kata saja, cepat-cepatlah rampas kembali pedang emas itu dan ambillah kitab Kiam keng dari pedang baja tersebut, menanti ilmu silatmu telah berhasil dilatih hingga mencapai tingkatan yang tiada tandingannya lagi di kolong langit, pada saat itulah apa yang ingin kau kerjakan dapat di laksanakan dengan leluasa”

“Terima kasih atas petunjuk dari locianpwee, aku telah memahami arti dari kata-katamu itu” sahut Hoa Thian-hong serius.

Siang Tang Lay tertawa ringan, kembali katanya, “Dan disinilah letak kunci rahasia mengapa Kiu-im Kaucu tidak terburu nafsu untuk membinasakan kita sebaliknya malah ribut untuk merampas pedang emas itu”

“Mungkin dia kuatir kalau di kolong langit terdapat jago lihay yang memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dan lihay diri pada dirinya?” ujar Ci-wi Siancu.

“Tentu saja dari pada menggantungkan kekuatan anak buah lebih baik menggantungkan kekuatan sendiri, musibah yang menimpa diri Pek Siau-thian merupakan suatu contoh yang amat jelas sekali”

Kiu-tok Sianci tiba-tiba tersenyum sesudah memandang sekejap ke arah sepasang pengantin baru itu, ia bangkit berdiri dan mohon diri, Siang Tang Laypun segera mohon diri pula, kepada semua orang dan berangkat kembali ke wilayah See ih.

Hoa Hujin berusaha untuk menahan mereka, tapi setelah usahanya gagal terpaksa ia menghantar keberangkatan mereka.

Siang Tang Lay adalah rekan seperjuangan para jago, gerak-geriknya sudah terbiasa pergi datang tak menentu, kepergian jago tua itu tidak begitu memberatkan hati semua orang. Lain keadaannya dengan Kiu-tok Sianci, bukan saja ia merupakan gurunya Chin Wan-hong, dengan diri Hoa Thian- hong pun mempunyai ikatan bubungan yang sangat erat.

Biau-nia Sam-sian amat menyayangi siau sumoynya ini, sejak permulaan memandang Hoa Thian-hong sebagai saudara sendiri pula, beberapa orang yang selalu berkumpul dengan riang gembira ini, setelah harus berpisah mereka sama-sama merasa berat hati dan segan untuk berpisah satu dengan lainnya.

Setelah menghantar sampai keluar pintu rumah penginapan, Siang Tang Lay beserta anak muridnya berangkat ke arah barat, sedangkan Kiu-tok Sianci beserta Biau-nia Sam- sian berangkat ke arah barat daya, Hoa Thian-hong dan Chin Wan-hong menghantar guru dan kakak sepergu ruan mereka hingga sepuluh li jauhnya, disitulah dengan air mata bercucuran mereka saling berpisah.

Sesaat setelah berangkat, Lan-hoa Siancu diam-diam berpikir dalam hati kecilnya, “Pek Kun-gie cantik jelita bagaikan bidadari sebaliknya Hong ji segan untuk mencampuri urusan itu, keadaan semacam ini benar-benar amat membahayakan posisinya.”

Berpikir sampai disitu, ia lantas berseru, “Siau long!” “Enci ada persoalan apa?” tanya Hoa Thian-hong dengan

air mata berlinang.

Lan-hoa Siancu menarik anak muda itu ke samping lalu dengan muka serius bisiknya, “Aku hendak memperingatkan dirimu lebih dahulu, jika engkau berani kasak kusuk mengadakan cinta dengan Pek Kun-gie maka aku bersumpah pasti akan bunuh budak ingusan she Pek itu sampai mampus mengerti?”

“Siaute tidak berani!”

“Aku tak mau tahu engkau berani atau tidak” tukas Lan hoa sianco cepat, “asal aku dengar engkau adakan hubungan gelap dengan perempuan itu, maka aku akan segera bunuh Pek Kun-gie secara keji, engkau pasti tahu bukan ilmu racun dari suku Biau kami tersohor karena kelihayannya dan membuat orang yang diserang sama sekali tak bisa menghindar ataupun bersiap sedia!”

Hoa Thian-hong termangu beberapa saat lamanya, kemudian sahutnya.

“Akan siaute ingat selalu!”

Lan boa siancu mendengus dingin, setelah dipikir sebentar agaknya ia masih merasa tidak lega hati maka kembali Chin Wan-hong ditarik kesamping dan secara diam-diam memesan sepatah dua patah kata kepadanya, lalu memberikan sebuah benda kedalam gengamannya, kemudian mereka guru dan murid empat orang baru berangkat melakukan perjalanan.

Menanti bayangan punggung keempat orang itu sudah lenyap dari pandangan, Hoa Thian-hong suami istri baru kembali kerumah penginapan sambil bergandengan tangan, pada waktu itu Hoa Hujin sekalian sudah menunggu diluar pintu siap untuk berangkat keutara.

Dari tempat itu menuju keutara, perjalanan dilakukan dengan sangat lambat, Hoa Hujin naik tandu, Suma Tian Cing sekalian yang terluka parah naik kereta sedangkan sisanya ada yang menunggang kuda ada pula yang jalan kali, sedang empat buah kereta besar penuh berisikan peti mati dengan layon dari rekan-rekan mereka yang gugur.

Suasana dalam dunia persilatan pada saat itu sangat tenang dan sepi sekali, perkumpulan Thong-thian-kauw serta Hong-im-hwie yang baru saja terbasmi dan musnah, lebih- lebih tak ada suara lagi sampai para anak buahnya yang berada dipelbagai daerah pun ikut lenyap tak berbekas.

Bagi kalangan hitam, suasana semacam ini dinamakan musim meng-hindari angin ibaratnya pohon tumbang monyet pada berlarian, tak seorang anggota komplotan dari dua buah perkumpulan itu yang berani munculkan diri secara terus terang.

Setiap orang sama-sama menguatirkan suasana yang tenang tapi menegangkan itu orang-orang dari perkumpulan Kiu-im-kauw belum ada yang munculkan diri secara resmi, sedang pihak Pek Siau-thian setelah mengalami pukulan batin yang amat berat itu, pengaruh pihak Sin-kie-pang pun kian hari kian bertambah merosot.

Sepanjang perjalanan menuju keutara, para jago tak pernah berjumpa seorang manusiapun yang menggembol golok atau pedang hingga akhirrya pada suatu hari mendadak terjadilah suatu peristiwa yang sangat aneh.

Kiranya kisah pertarungan dan akibat dari pertemuan besar Kian ciau Tay bwee telah tersiar secara luas dikalangan rakyat jelata, para penduduk pada mengetahui kalau pihak pendekar telah berhasil melenyapkan perkumpulan Thong-thian-kauw dan Hoa Im hwee dari muka bumi, hanya saja berita yang tersiar kian lama kian menjauhi garis kenyataan yang sebenarnya, bahkan sampai-sampai tersiar berita yang mengatakan secara bagaimana pihak pendekar bertempur sengit selama tiga hari tiga malam sebelum akhirnya berhasil melenyapkan Thong-thian-kauw dan Hong-im-hwie dari muka bumi.

Bagaimana pihak Sin-kie-pang tinggalkankan medan dan melarikan diri terbirit—birit, bagaimana ada beberapa orang manusia tanpa nama yang menyaru sebagai setan dengan mengaku orang-orang dari perkumpulan Kiu-im-kauw tapi sandiwara mereka ketahuan dan ketuanya melarikan diri terbirit-birit, sampai ada yang menyiarkan berita yang mengatakan dunia telah aman tenteram dan bebas dan kelaliman serta kejahatan.

Berdasarkan berita yang tersiar itulah setiap rumah penduduk yang dilalui para pendekar rata-rata menyiapkan meja sembahyang di luar pintu rumahnya segenap keluarga menyiapkan sayur dan arak untuk menjamu pahlawan- pahlawan, mereka keluarga kaya dan kaum bangsawan memimpin rakyatnya menyambut kedatangan jago-jago lihay itu, nama besar Hoa Hujin sampai Hoa In dan Harimau pelarian Tiong Liu tersohor di mana-mana dan dihormati bagaikan malaikat,

Dua wilayah yang mereka lewati semuanya menunjukkan keadaan yang sama, dengan susah payah akhirnya toh para jago berhasil melanjutkan kembali perjalanannya namun banyak waktu telah terbuang dengan percuma.

Dalam keadaan demikian, semua orang merasa malu dan jengah dengan sendirinya, untuk menghindari semua keadaan seperti itu terpaksa mereka menghindari kota besar dan melewati jalan gunung, setelah tengah malam tiba, mereka baru berani cari tempat penginapan untuk beristirahat.

Suatu ketika sewaktu rombongan para jago masih berada beberapa li dari sebuah kota, mereka saksikan cahaya lampa lentera menyinari sekeliling pintu gerbang kota, beratus-ratus orang penduduk berkumpul dikaki pintu kota menantikan kedatangan mereka, hal ini segera menyusahkan hati Hoa Hujin dan buru-buru memerintahkan semua rombongan untuk menghentikan perjalanan.

Tiba-tiba Ciu Thian-hau loncat turun dari atas kereta, kemudian berseru, “Hujin, lo koko sekalian, aku ingin buru- buru pulang kerumah, lebih baik kita berpisah sampai disini saja”

Setelah memberi hormat ia segera meneruskan perjalanan kabur menuju ketempat yang sepi dan kegelapan.

Semua orang terperangah menyaksikan kejadian itu sebelum mereka sempat mengucapkan sesuatu bayangan tubuh Ciu Thian-hau sudah lenyap dari pandangan.

Dewa yang suka pelancongan Cu Thong berpikir sebentar ketika merasakan bahwa cara itu sangat bagus maka sambil tertawa terbahak-bahak ia segera bopoag tubuh Bong Pay sambil berkata, “Sampai jumpa lain kesempatan, akupun ingin berangkat selangkah lebih dulu”

“Cu toako kapan kita dapat bertemu lagi?” seru Hoa Hujin dengan gelisah.

Dewa yang suka pelancongan Cu Thong tertawa. “Kalau aku masih bernasib panjang permulaan tahun

mendatang aku pasti akan datang untuk menyampaikan tahun

baru kepada hujin”

“Cu toako engau akan berdiam dimana?”

Dewa yang suka pelancongan Cu Thong segera tertawa terbahak-bahak. Haahhh…. haahhh…. haahh…. empat penjuru samudra adalah rumahku, kalau bercokol disuatu tempat tertentu maka bukanlah Dewa yang suka pelancongan”

Bicara sampai disitu, ia putar badan dan segera berlalu dari sana dengan cepatnya.

Hoa Thian-hong dengan cemas segera berseru, “Bong toako!”

Terdengar Bong Pay mengiakan tapi dalam sekejap mata bayangan tubuh Cu Thong sudah lenyap dibalik kegelapan.

Tiba-tiba Hoa Hujin menyaksikan Suma Tiang-cing ngeloyot turun dari atas kereta, dengan muka berubah jadi amat serius ia segera menegur, “Engkau harus ikut kami untuk kembali keperkampungan Liok Soat Sanceng, setelah lukamu sembuh barulah boleh pergi tinggalkan tempat ini”

“Paman!” ujar Hoa Thian-hong pula dari samping, “engkau toh sebatang kara dan tak ada urusan apa-apa, berdiamlah selama setengah tahun dalam perkampungan kami agar keponakan dapat memperoleh banyak manfaat darimu”

“Bukan saja kalian harus membawa sanak keluarga bahkan harus membawa pula orang-orang yang sudah mati, perjalanan bukan saja lambat bahkan banyak urusan tetek bengek, lebih baik aku berangkat lebih dahulu….!” seru Suma Tiang-cing tegas.

Cui Im taysu tersenyum dan segera ikut menimbrung, “Aku memangnya seorang padri yang tak punya kuil, baiklah akan kutemani Suma loo te untuk berkelana keempat penjuru samudra!” “Hey hweesio tua, mau ajak dia pesiar sih boleh, tapi jangan kau bujuki dirinya untuk cukur rambut jadi pendeta lho! goda Tio Sam-koh.

“Aaah…. tentu saja, tentu saja, haahh…. haah…. haah engkau tak usah kuatir” jawab Cu Im taysu sambil tertawa.

Suma Tiang-cing paling tidak terbiasa kalau terikat dan tak bisa bebas, ia kuatir dihadang oleh Hoa Hujin lagi, maka dengan cepat dirampasnya kuda tunggangan dari Hoa In, lalu sekali cemplak melari kan kuda itu cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Cui Im taysu yang menyaksikan kejadian tersebut, buru- buru menggerakkan senjata sekopnya dan menyusul dari belakang.

Setelah beberapa orang itu berlalu, kini yang tersisa tinggal keluarga Hoa, Chin dan Tio Sam-koh.

Meskipun usia Chiu Pek Cuan sudah melewati setengah abad, tapi ia masih punya ibu yang masih hidup, sebenarnya ia ada maksud untuk pulang dan merawat ibunya yang sudah tua, tapi karena berat hati untuk tinggalkan menantu kesayangannya ini, maka ia ambil keputusan untuk menghantar mereka hingga tiba diperkampungan Liok Soat Sanceng lebih dulu sebelum berangkat pulang.

Tapi sekarang setelah melihat para jago berlalu sendiri- sendiri, timbul kembali keinginannya uniuk pulang rumah, maka akhirnya ia pun mohon diri terhadap Hoa Hujin.

Dalam keadaan apa boleh buat, terpaksa Hoa Hujin mengijinkan permintaannya itu. Menanti semua orang sudah berangkat, ia baru berpaling ke arah Tio Sam-koh sambil menyindir, “Apakah engkau juga akan berangkat?”

Tio Sam-koh termenung dan berpikir sebentar, kemudian jawabnya, “Baiklah, aku adalah sesosok sukma gentayangan yang tak punya sanak tak punya keluarga, akan kutemani engkau sampai akhir hidupku nanti….!”

Hoa Hujin tersenyum, kepada Hoa In ia segera berkata, “Hantarlah layon dari Lie, Ma, Kwik tiga orang jago kerumah keluarga masing-masing dan serahkan kepada anak mereka, apabila dian tara ketiga keluarga itu sedang menjumpai kesulitan, bantu mereka hingga semuanya beres!”

Hoa In mengiakan dan segera melaksanakan perintah tersebut.

Harimau pelarian Tiong Liau yang kini hidup sebatang kara segera ambil keputusan pula untuk selama hidup mengabdi kepada Hoa Thian-hong, kini dia sudah termasuk menjadi anggota keluarga Hoa, maka Hoa Hujin pun memerintah dia untuk membawa ketiga layon lainnya keperkumpungan Liok Soat Sanceng dan dikebumikan disitu.

Dua orang itu terima perintah, dan berangkatlah mereka menuju ke arah kota dengan membawa kereta yang penuh berisikan peti mati itu.

Chin Giok Liok yang terluka parah masih belum sembuh dari lukanya itu, ia berbaring diatas sebuah kereta besar, Chin Pek-cuan dengan menunggang seekor kuda jempolan segara berpamitan kepada besannya, putrinya, menantunya dan rekan-rekan yang lain, setelah menjanjikan saat pertemuan, berangkatlah kereta dan kuda itu menuju ke arah barat. Kini yang tersisa tinggalkan Hoa Hujin, Hoa Thian-hong, Chin Wan Hoag serta Tio Sam-koh empat orang dan sebuah kereta yang besar.

Hoa Hujin segera tinggilkan tandunya, bersama Tio Sam- koh dan Chia Wan Hong mereka naik kedalam ruangan kereta, sedang Hoa Thian-hong duduk disisi sang kusir kereta.

Demikianlah beberapa orang itupun meneruskan kembali perjalanan mereka dengan mengitari kota tersebut.

Beberapa hari kemudian, suatu senja kereta besar itu masuk kedalam kota Cho ciu.

Di depan pintu gerbang kota tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang menghadang jalan pergi kereta tersebut sambil berseru, “Hoa ya, masih ingatkah engkau dengan hamba?”

“Tentu saja masih ingat” jawab Hoa Thian-hong sambil tersenyum manis, “apakah engkau adalah pemilik rumah penginapan Teng hwat?”

Pemilik rumah penginapan itu jadi terkejut bercampur girang, buru-buru serunya, “Hamba Tio Tiang Hwat, betul- betul pemilik rumah penginapan Teng Hwat, aaah….! sungguh tak nyana kalau Hoa ya masih ingat dengan diri hamba….”

“Majukah usahamu?” tegur Hoa Thian-hong sambil tersenyum.

Dengan muka berseri-seri, pemilik rumah penginapan itu menjawab, “Berkat berkah dari Hoa ya, usaha hamba masih berlangsung seperti sediakala, Hoa ya! penginapan kami telah dibangun dan di kapuri hingga baru, apakah Hoa ya hendak menginap di rumah penginapan hamba?” “Tentu saja rumah penginapanmu bagus sekali”

Mendengar persetujuan itu, pemilik rumah penginapan tadi jadi sangat kegirangan, dia segera berseru, “Hey kusir, ayoh belok kekiri dan percepat lari kudamu!”

Sang kusir kereta itu, sejak permulaan sudah tahu pemuda yang duduk disampingnya adalah seorang jago lihay yang paling tersohor di kolong langit dewasa ini, sepanjang perjalanan sudah banyak penghormatan yang diterimanya.

Sekarang mendengar pemilik rumah penginapan itu menyebut dirinya dengan panggilan kurang sedap paras mukanya jadi ketus, serunya dingin, “Didalam kereta masih terdapat lo hujin dan Tio loo tay, kalau kularikan kereta ini cepat-cepat sehingga menggoncangkan isi kereta ini, siapa yang akan bertanggung jawab?”

Pemilik rumah penginapan itu jadi amat terperanjat, lalu serunya, “Aaah benar, kalau begitu biarlah aku yang membawa jalan, loo hen mari ikutilah aku”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar