Jilid 08
MELIHAT untuk dikejar tak sempat lagi, kakak she Pek itu terpaksa hanya bisa berkata dengan suara hambar.
Keparat cilik ini bukan seorang manusia yang takut mati, apalagi ibunya masih berada didalam selat ini, aku rasa setelah pergi ia pasti akan kembali lagi.
“Tetapi otaknya sudah tidak waras, sambung Cukat racun Yau Sut dengan cepat” aku rasa pasti akan dibawa kabur oleh Hoa In tua bangka itu dan tak akan kembali lagi.
Mendengar perkataan itu, Pek Siau-thian jadi amat terperanjat, dengan cepat ia berpaling, tapi Hoa Thian-hong sudah pergi jauh dan bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.
Terdengar Siang Tang Lay tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Haaah…. haah…. haah…. pek Siau-thian, cepatlah kemari. Dengarkan aku akan bicarakan soal malaikat pedang Gi Ko.”
Tiba-tiba Thong-thian Kaucu berjalan keluar dari baraknya dan bertanya sambil tertawa.
“Siang sicu, sebenarnya apa yang telah terjadi? cepatlah katakan, pinto akan cuci telinga dan mendengarkan dengan seksama”
“Haaah…. haah…. haah…. Pek Siau-thian, sudah kau lihat batu peringatan yang ditinggalkan malaikat pedang Gi Ko?”
0000O0000
52
“AKU SIH pernah melihatnya, ada apa sih?” jawab Pek Siau-thian dengan dingin.
“Pek heng!” Thong-thian Kaucu dengan alis berkenyit berseru, “engkau dan aku toh sahabat karib bukan?”
“Kalau sahabat karib lantas kenapa?”
“Haahh…. haahh…. haahh…. pinto pernah mendengar mendiang guruku berkata, malaikat pedang Gi Ko adalah seorang manusia aneh dari dunia persilatan pada jaman akhir Tong, ilmu pedangnya sangat lihay, budi pekertinya juga hebat, sayang pada saat ia meninggal dunia tak seorang ahli warispun dimiliki, sehingga dengan begitu ilmu pedangnya lenyap tak berbekas….”
Pek Siau-thian tertawa dingin tukasnya, “Sungguh tidak sedikit Too heng mengetahui perihal sejarah dunia persilatan, cuma sayang pertemuan Kian ciau tayhwee yang diselenggarakan pada saat ini bukanlah untuk membicarakan tentang sejarah.”
“Aah! belum tentu begitu,” sambung Siang Tang Lay sambil tertawa.
Sesudah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Bayangkan saja Lie Bu liang yang begitu angkuh dan sama sekali tidak pandang sebelah matapun kepada semua orang gagah di kolong langit, siapa tahu dalam satu ayunan telapak dari Hoa hujitn, ternyata jiwa nya telah berhasil dicabut, dari satu bisa diketahui bahwa gerak-gerik secara gegabah adalah suatu tindakan yang bodoh!”
“Ucapan ini sedikitpun tidak salah,” pikir Pek Siau-thian didalam hati, “andaikata serangan yang dilancarkan Bun Siau- ih tadi di tujukan kepadaku, bukankah aku orang she Pek akan menemui ajalnya tanpa mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi? agaknya didalam peristiwa hari ini aku harus baik-baik menjaga diri….”
Teringat akan keadaannya pada saat itu, timbul rasa sangsi dan takut dalam hatinya tetapi bagaimanapun juga dia adalah seorang jago kawakan yang sudah kenyang dengan pengalaman pahit, kendatipun hati kecilnya merasa ngeri dan takut akan tetapi wajahnya tetap tenang dan golakan perasaan hatinya sama sekali tidak diperlihatkan diatas wajahnya. Terdengar Thong-thian Kaucu berkata, “Apa yang tertulis dalam catatan batu peringatan dari malaikat pedang Gi Ko? Pek heng mengapa tidak kau utarakan keluar agar kami semua mendapat tambahan pengetahuan?”
Pek Siau-thian mengerutkan dahinya, ia segera berseru, “Aku tidak habis mengerti, rupanya too-heng lebih suka dipecah belah oleh Siang Tang Lay.”
Thong-thian Kaucu putar biji matanya melirik sekejap ke arah kawanan manusia setan yang berkumpul dalam barak lalu sambil tertawa menjawab, “Pek heng keliru besar, semua peristiwa yang terjadi dalam pertemuan besar Kian ciau tayhwee semuanya berada diluar dugaan, tindakan pinto ini justru hendak membongkar permainan setan dari Siang sicu”
Pek Siau-thian mendengus dingin, tiba-tiba ia mempertinggi suaranya dan berseru.
“Aku orang she Pek akan membaca semua isi tulisan yang berada diatas batu peringatan tersebut, siapa suka mendengar silahkan dengar baik-baik”
Setelah berhenti sebentar, dengan suara lantang ia berkata,
“Sesudah aku tamat belajar, dengan andalkan pedang baja berkelana dalam dunia persilatan, berkat keampuhan perguruan kami semuanya berjalan lancar tidak sampai sepuluh tahun para pendekarku sudah tersohor di kolong langit. Orang muda suka mencari kesenangan siapa tahu karena masalah kecil aku telah salah bertindak, dan salah membunuh pendekar budiman, hasil yang kupupuk selama sepuluh tahun hancur dalam sehari, dalam maluku, aku mengasingkan diri dan tak berani membicarakan soal silat lagi…. waktu berjalan cepat usiaku mencapai seratus tahun, aku merasa tak boleh melenyapkan ilmu silat perguruanku, karena pikiran yang salah maka kepandaian yang kumiliki telah kucatat dalam Kiam keng kitab pedang ini.”
Membaca sampai disitu, tiba-tiba ia berhenti, sementara itu ssluruh lembah Cu bu koh telah diliputi kesunyian yang mencekam, semua perhatian para jago sama-sama ditujukan keatas badan Pek Siau-thian.
Tiba-tiba terdengar Ciu It-bong yang ada diatas atap barak berteriak keras.
“Pek loo ji, apa kira-kira selanjutnya?”
Pek Siau-thian menengadah memandang sekejap ke arah atap barak kemudian melanjutkan pembacaannya,
“Dengan pedang ditangan ternyata tak seorang manusiapun di kolong langit mampu menahan seranganku, tak ada benda apapun yang mampu menahan bacokanku, timbul rasa sedih dalam hatiku, dari pada hidup dengan pedang lebih baik hidup tanpa pedang tapi perguruanku turun tumurun mengutamakan pewaris pedang baji ini, berarti dibalik hal tersebut pasti ada maksud tertentu, maka aku tutup diri untuk memecahkan persoalan ini, sembilan belas tahun kemudian aku baru memahami apa artinya ada pedang menangkan tanpa pedang, pedang berat menangkan pedang enteng, agar kepandaian ini tidak lenyap dari pere daran maka kuwariskan ilmu tadi dalam catatan kitab pedang, siapa yang berjodoh akan menerima manfaatnya”
“Apa kata selanjutnya?” teriak Cu It Bong dengan suara keras.
“Ahli waris angkatan keempat dari perguruan pedang berat Gi Ko” sambung Pek Siau-thian hambar. “Selanjutnya?”
“Apakah engkau tidak merasa bahwa caramu itu terlalu bernafsu?” ejek Pek Siau-thian sinis.
“Hmmm! engkau toh sudah mempunyai perkumpulan Sin- kie-pang masa aku tak boleh mendapatkan sedikit saja?”
“Aku takut apa yang kau inginkan tak bakal tercapai sehingga apapun tidak akan kau dapatkan!”
Ciu It Hong segera tertawa seram.
“Heehh…. heehh…. heehhh…. kalau memang begitu aku akan beradu jiwa dengan dirimu sehingga siapapun jangan harap bisa memperoleh kegembiraan”
Thong-thian Kaucu segara tertawa tergelak, serunya, “Haah…. haaaaah…. haah…. ide dari Ciu heng itu memang tidak jelek, cuma saja harus di coba lebih dulu!”
Pek Siau-thian melirik sekejap ke arah Thian Ik-cu, lalu sambil tertawa dingin katanya, “Heeeh…. heeh…. heeh…. aku lihat, di kolong langit dewasa ini orang yang ditakuti too heng hanya aku seorang!”
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak.
“Aah….! cuma bergurau belaka, kenapa Pek heng musti menganggap sungguhan?”
Dengan muka serius, ia melanjutkan,
“Peristiwa ini sudah berlangsung beberapa ratus tahun lamanya, aku rasa kitab Kiam keng tersebut tak mungkin bisa diketahui oleh Pek heng sendiri, tapi…. apa pula yang tercantum dalam catatan Kiam keng tadi?”
“Pertaruhan menurut langit, kerugian pasti tersisa, tenaga masih kurang, kekerasan bukanlah kekasaran, keras tapi lincah, lunak bukanlah lemah, rendah diri harus mundur, mundur akibat rendah diri untuk diri sendiri, berjaga yang ketat, sikap waspada dan rahasia, pedang pengusir setan, bocorkan rahasia langit.”
Li-hoa Siancu yang mendengar pembacaan itu segera berteriak sambil tertawa.
“Bagus sekali Pek Siau-thian, rupanya engkau sengaja sedang membohongi Siau long, tidak aneh kalau ia selalu meneriakkan untuk ulangi sekali lagi.”
Pek Siau-thian mendengus dingin, sebenarnya ia hendak membantah, tetapi ketika teringat olehnya bahwa dia adalah seorang ketua dari suatu perkumpulan besar, cekcok dengan angkatan muda hanya akan menurunkan derajatnya belaka, maka perkataan yang sudah mendekat sampai dibibir segera ditelan kembali.
Dalam pada itu, semua orang yang mengerti akan ilmu silat, diam-diam sedang mendalami beberapa patah kata yang mengandung arti mendalam itu, Thong-thian Kaucu sendiri sudah berpikir sebentar, tiba-tiba bertepuk tangan sambil berseru, “Benar-benar luar biasa, setiap patah kata semuanya mengandung arti yang sangat dalam….
Dengan dahi berkerut, ia tertawa dan berkata, “Pek heng, apa kata-kata selanjutnya?”
“Kata-kata selanjutnya telah dihapus orang hingga sama sekali tidak bisa terbaca lagi, kecuali kalau kita dapat menemukan orang yang menemukan batu peninggalan itu lebih dahulu rasanya siapapun tak akan tahu….”
Thong-thian Kaucu mengangguk tiada hentinya diam-diam ia berpikir, “Perkataan ini sedikitpun tidak salah kalau aku yang pertama kali menemukan catatan kitab Kiam Keng tersebut maka beberapa patah katfa yang pertama pasti akan kuhapus lebih dahulu sehingga tak bisa dibaca orang.”
Tampak bayangan manusia berkelebat lewat, Ciu It-bong tahu-tahu sudah melayang turun keatas tanah sambil memandang Siang Tang Lay, ujarnya sambil tertawa, “Loo Siang, bagaimana kalau kita mengikat tali persahabatan?”
“Haahh…. haahh…. haaahhh…. bagus sekali!” sahut Siang Tang Lay sambil tertawa tergelak, “tempo hari diantara lima orang yang mencelakai diriku meski terdapat pula engkau seorang, tetapi bagaimanapun juga engkau telah mendapat pembalasan yang setimpal, kita masing-masing telah cacad, semua itu berarti senasib sependeritaan, memang sudah sepantasnya kalau kita hapus semua ganjalan sakit hati dan mengikat tali hubungan persahabatan”
Benar ujar Ciu It-bong pula sambil tertawa. “Siang Loo te engkau terangkan dahulu masalah mengenai batu peringatan tersebut, aku orang she Ciu tetap merasa bahwa persoalan ini mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pedang emasmu itu”
Perasaan hati Thong-thian Kaucu pun agak tergerak, ia segera maju kedepan dan berkata, “Perkataan dari Ciu heng sedikitpun tidak salah, Sian sicu obat yang kau jual dalam cupu-cupumu itu sudah tersimpan terlalu lama sekarang sudah sepantasnyalah kalau engkau bongkar rahasianya” Siang Tang Lay tertawa keras, beberapa saat kemudian ia baru berkata, “Kaucu, Ciu loo te tahukah kalian bahwa kuburan pememdam pedang sebenarnya kosong melompong tiada isinya apa pun kenapa secara tiba-tiba bisa muncul batu peringatan?”
“Itulah persoalan yang ingin kami ketahui!” jawab Ciu It- bong dengan cepat.
Thong-thian Kaucu tertawa sambil mengelus jenggotnya, ia berkata, “Kalau didengar dari nada ucapan siang sicu, rupanya kemunculan batu peringatan tersebut tidak lebih hanyalah permainan setan dari Siang sicu sendiri?”
Senyuman yang semula menghiasi bibir Siong Tang Lay seketika lenyap tak berbekas, dengan wajah serius sahutnya, “Persoalan itu memang hasil perbuatanku, tetapi maksud serta tujuanku bukanlah permainan setan seperti apa yang kalian anggap”
Jin Hian yang selama membungkam terus, tiba-tiba berkata dengan suara seram, “Hmm! apa lagi maksud dan tujuanmu itu kalau bukan untuk memecah belah umat persilatan dan memancing terjadinya pertumpahan darah di antara jago-jago Bu lim sendiri….”
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, tahu-tahu ia sudah berada kurang lebih delapan sembilan depa dihadapan Sing Tang Lay.
Pedang sakti yang menyapu daratan Tionggoan tersenyum, ujarnya, “Orang kuno pernah berkata, bahwa setiap benda akan hancur deggan sendirinya, kemudian muncul ulatnya, kalau seseorang tidak berhati tamak, sekalipun aku berniat jelek juga sukar diperlihatkan” “Orang Buddha pantang berhati tamak” kata Thong-thian Kaucu sambil tertawa, tetapi kalau Thong-thian-kauw kami sama sekali tidak kenal akan kata pantangan, silahkan Siang sicu utarakan saja sebenarnya apa yang terjadi dengan batu peringatan tersebut?”
Siang Tang Lay tersenyum, dengan wajah bersungguh- sungguh, katanya, “Seratus tahun berselang, batu peringatan dan malaikat pedang Gi Ko telah muncul di wilayah See ih, disamping itu terdapat pula sebilah pedang baja, sebilah pedang kecil berwarna emas berserta kotak emas yang berada dalam genggamanku sekarang, keempat macam benda itu semuanya merupakan barang peninggalan dan Malaikat pedang Gi Ko, entah apa sebabnya ternyata semua benda mustika itu sudah terjatuh ketangan leluhurku….”
Ketika mendengar perkataan itu, sorot mata semua orang bersama-sama dialihkan ke arah kotak emas yang berada ditangan Siang Tang Lay tersebut.
Sepasang mata Thong-thian Kaucu benar-benar tajam, dengan wajah merah bercahaya ia tertawa terbahak-bahak, katanya, “Haahh…. haahh…. haahh…. Malaikat pedang Gi Ko adalah suku bangsa Han, semua pedang peninggalannya didalam kuburan pemendam pedang diatas puncak Ciat in hong bukit Gan tong san, aku rasa hal ini merupakan suatu kenyataan yang tak bisa dibantah lagi”
“Perkataan ini sedikitpun tidak salah” sambung Ciu It-bong, mungkin ada orang dari See ih yang berkunjung kedaratan Tionggoan dan mencuri pulang benda mustika yang di sembunyikan leluhur bangsa Han kita dalam kuburan pemendam pedang, kalau tidak me-ngapa benda diatas bukit Gan tong san bisa lenyap tak berkekas dan tiba-tiba muncul di wilayah See Ih….” “Haahh…. haahh…. haah…. jadi kalau begitu, leluhurku tak bisa menghindarkan diri lagi dari tuduhan mencuri barang mustika milik orang lain?” kata Siang Tang Lay.
Thong-thian Kaucu tertawa.
“Sebenarnya menemukan benda orang lain yang terbuang bukanlah merupakan dosa besar, tetapi orang bangsa Han kita lebih memandang tinggi leluhur yang telah mati, membongkar peti mencuri barang merupakan dosa yang amat besar, sekalipun tidak tercantum dalam undang-undang tapi siapapun tak berani melanggar pantangan ini, kalau tidak bukankah barang peninggalan leluhur bangsa Han kita bakal dicuri s mua oleh orang lain?”
Ciu It-bong mengangguk.
“Perkataan dari kaucu memang sangat masuk diakal, tetapi orang suku Oh tidak kenal dengan peraturan adat suku bangsa Han, siapa tidak tahu dia tidak salah, hal ini masih dapat dimaafkan!”
Thong-thian Kaucu tertawa dan mengangguk, sambil berpaling ke arah Siang Tang Lay segera ujarnya lagi, “Tiang sicu, harap teruskan perkataanmu, bagaimana selanjutnya?”
Siang Tang Lay tersenyum, sahutnya, “Leluhurku segera melakukan penyelidikan yang seksama, setelah bersusah payah beberapa saat akhirnya beliau berhasil memahami kitab pedang yang disebut sebagai Kiam keng oleh malaikat pedang Gi Ko itu sebenarnya tersimpan dalam kotak yang ku bawa ini”
Mendengar perkataan itu, gemparlah suasana dalam lembah ter-sebut, semua orang dengan sorot matanya yang tajam bagaikan sambaran kilat sama-sama dialihkan keatas kotak emas itu tanpa berkedip. Siang Tang Lay tertawa terbahak-bahak, mendadak ia berpaling dan serunya kepada anak murid yang ada dibelakang, “Bawalah kotak mustika ini kedepan agar para enghiong serta orang gagah bisa ikut menikmatinya”
Seorang pemuda berpakaian ringkas segera mengiakan, dengan membawa kotak berwarna kuning emas yang berada dalam pangkuan Siang Tang Lay itu ia berjalan menuju kehadapan Thong-thian Kaucu .
“Tunggu sebentar….” tiba-tiba terdengar Lan-hoa Siancu membentak nyaring.
Mendengar bentakan tersebut, pemuda berpakaian ringkas itu segera berhenti dan berpaling ke arah Siang Tang Lay menantikan petunjuk.
Siang Tang Lay mengerutkan dahinya menyaksikan hal itu tegurnya, “Nona ada petunjuk apa?”
Perlahan-lahan Lan Hhoa siancu maju kedepan sambil tertawa merdu jawabnya, “Siang locianpwee, Gi Ko menyebut dirinya sebagai malaikat pedang, aku rasa ia pasti tersohor karena kepandaian ilmu pedangnya bukan?”
Siang Tang Lay termenung sebentar lalu menjawab, “Tentang soal itu sih belum tentu demikian, menurut perkiraanku ia dapat disebut sebagai malaikat lantaran perbuatan selama hi dupnya adalah bijaksana dan ramah, oleh sebab itulah mendapatkan penghormatan dari orang lain”
“Hihhih hihhih hiiiih,” Lan-hoa Siancu tertawa cekikikan, “benar, bagi orang yang saleh dan berbudi seperti dia, sepantasnya kalau benda mustika peninggalannya dihadiahkan kepada orang yang saleh dan berbudi pula.” Ciu It-bong melotot dengan sepasang matanya bulat-bulat, dengan gusar bentaknya, “Kalau engkau tidak ingin mati, lebih baik kalau bicara sedikit-lah tahu diri.”
Lan-hoa Siancu pun melototkan matanya bulat-bulat, ia tertawa dingin dan balas membentak, “Siapa yang kesudian berbicara dengan dirimu? Hmm! sekalipun engkau tidak berbicara akupun sudah tabu bahwa dirimu adalah seo rang manusia rendah yang tak tahu malu”
Ciu It-bong semakin gusar, telapak kiri nya segera diayun siap melancarkan serangan.
Terdengar Siang Tang Lay tertawa terbahak-bahak dan berseru, “Haahh…. haahhh…. haahhh…. Ciu loo te, kalau engkau tidak ingin mampus, lebih baik janganlah bertindak secara gegabah.”
Ciu It-bong turunkan kembali tangannya dan berkata dengan nada dingin, “Terima kasih atas perhatian dari Siang heng meskipun nama besar Kim tok sian cian tersohor sekali di kolong langit tetapi aku orang Ciu tua masih tidak memikirkannya di dalam hati”
Lan-hoa Siancu mencibirkan bibirnya dan mendengus dingin wajahnya menunjukkan sikap memandang hina pada lawannya.
Siang Tang Lay tertawa, kembali ujarnya, “Oooh…. yaa tadi aku lupa bertanya, nona dalah anak murid Kiu-tok Sianci yang ke berapa?” “Kalau dibicarakan sungguh menyesal sekali, aku adalah Loo toa dan dibawahku masih ada dua belas orang sumoay, Hoa Thian-hong adalah kekasih dari siau sumoayku!”
Mendengar perkataan itu Siang Tang Lay segera tertawa terbahak-bahak.
“Haah…. haah…. haah…. rupanya Leng hoa siancu dari Biau-nia Sam-sian, hampir saja aku bersikap kurang hormat.”
“Tidak berani,” jawab Leng hoa siancu tertawa, “sungguh tidak sedikit orang persilatan yang diketahui oleh Siang locianpwee!”
“Aah! mana, mana….” sesudah berhenti sebentar, sambil tertawa sambungnya lebih jauh, “Terus terang saja kukatan, sebenarnya kitab Kiam keng ini hendak kuhadiahkan kepada Hoa kongcu….”
Betul, seharuinya memang demikian tukas Leng hoa siancu dengan cepat.
Siang Tang Lang menghela napas panjang, ujarnya kembali, “Sayang sekali kesadaran otak Hoa kongcu belum pulih, sekalipun aku bermaksud hendak menghadiahkan kitab Kiam keng ini kepadanya, rasanya diperoleh Hoa kongcupun tak ada gunanya, bahkan kemungkinan besar karena membawa benda mustika malahan jiwanya akan ikut melayang!”
“Engkau telah membohongi dirinya pergi kemana?” tanya Lan-hoa Siancu dengan dahi berkerut, “dia adalah saudara dari saudara seperguruan kami kalau engkau berani mencelakai jiwanya maka jangan salahkan kalau akupun akan bersikap kasar terhadap dirimu.” “Aku pernah berhutang budi kepada Hoa tayhiap, karena beliau telah menyelamatkan selembar jiwaku, tidak mungkin aku membalas air susu dengan air tuba dan malahan mencelakai jiwa Hoa kongcu.”
Sesudah berhenti, sebentar sambungnya lebih jauh, “Aku telah memberitahukan suatu tempat pada mereka dan sekarang Hoa kongcu telah pergi kesana untuk merawat penyakitnya.”
“Kemana? engkau jangan membohongi dirinya hingga pergi ke wilayah See ih”
“Haahh…. haahh…. haahh…. tentu saja tidak,” jawab Siang Tang Lay sambil tertawa terbahak-bahak.
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Ditempat ini banyak terdapat mata dan telinga yang ikut mendengarkan pembicaraan kita, tempat dimana Hoa kongcu sedang merawat penyakitnya nanti saja kuberitahukan kepada nona”
Lan-hoa Siancu segera mengangguk, tiba-tiba ia tuding ke arah kotak berwarna emas itu sambil bertanya, “Benarkah isi diri kotak tersebut adalah Kiam Keng kitab ilmu pedang yang amat berharga itu?”
Sedikitpun tidak salah, Siang Tang Lay tertawa dan mengangguk jerih payah Malaikat pedang Gi Ko sepanjang hidupnya telah dicantumkan semua kedalam sejilid kitab yang sekarang berada di dalam kotak tersebut.
“Menurut pendapatku, daripada engkau serahkan kepada orang lain yang tidak genab, lebih baik serahkan saja kepada Hoa Hujin untuk menyimpannya kemudian baru diserahkan kepada Hoa Thian-hong….” Siang Tang Lay gelengkan kepalanya, ia menukas sambil tertawa, “Hoa Hujin telah mengambil keputusan untuk berjuang sampai titik darah penghabisan, kalau memang ia telah ambil keputusan untuk tidak keluar dari lembah Cu-bu- kok dalam keadaan hidup lagi, bukankah kitab Kiam Keng ini daripada disimpan olehnya sama saja kalau diserahkan kepada orang lain….”
Setelah berhenti sebentar sambungnya lebih jauh, “Cuma…. aku hanya akan serahkan kotak ini kepada para jago untuk memandangnya belaka sedangkan kotak ini bakal diserahkan kepada siapa sampai sekarang masih belum dapat dipastikan”
Lan-hoa Siancu tertawa terkekekeh-kekeh mendengar perkataan itu.
“Kalau memang boleh dipandang aku harus melihat dahulu!” ia berseru.
“Haah…. haah…. haahh nona, engkau benar-benar seorang gadis yang tinggi hati!”
Kepada muridnya yang membawa kotak emas tersebut serunya, “Hian cin serahkan Kiam keng tersebut kepada nona itu agar diberikan….”
Pemuda yang bernama Hian cing itu segera mengiakan dengan membawa kotak emas tadi ia segera maju kedepan dan mengangsurkan kedepan.
Lan-hoa Siancu segera menerimanya dan diperiksa dengan seksama, ia lihat kotak tersebut panjangnya delapan cun dengan lebar empat cun, kotak tadi persis untuk menyimpan sejilid kitab. Warna kotak kuning keemas-emasan dan memancarkan cahaya tajam, diatas kotak terukirlah dua buah huruf kuno yang berbunyi, “Kiam Keng” atau kitab pedang.
Akan tetapi kotak emas itu seakan-akan sebuah kotak yang berbentuk persegi tanpa celah atau tempat membuka yang nyata, selu ruh kotak bersambungan antara yang satu dengan yang lain, dengan rapat, sehingga membuat orang susah untuk menentukan mana bagian atas mana bagian bawah, apalagi bagaimana cara untuk membukanya.
Dengan cermat Lan-hoa Siancu mengamatinya beberapa saat lamanya, akan tetapi ia gagal untuk menemukan tanda yang mencurigakan, akhirnya sambil tertawa cekikikan ujarnya, “Bagus sekali! tidak aneh kalau locianpwee bersikap begitu sosial, benda berhala yang tak ternilai ini bersedia diberikan kepada orang lain dengan begitu saja, rupanya diatas kotak itu masih terpasang pula alat rahasia….”
Siang Tang Lay segera tertawa terbahak-bahak. “Haahh…. haah…. haah…. hati manusia sukar diduga, aku
toh bukan seorang manusia tolol”
Terdengar Ciu It-bong berteriak keras, “Alat rahasia apa? bawa kemari, biar aku yang periksa!”
Lan-hoa Siancu mengerling sekejap ke arah jago tua itu dengan hati mendongkol, ejeknya, “Huuuh….! kalau dilihat keadaanmu yang begitu gelisah macam monyet kepanasan, sedikitpun tidak mirip sebagai orang kenamaan dalam dunia persilatan….!!” “Kurang ajar, engkau ingin mampus?” bentak Ciu It-bong dengan gusarnya, telapak kirinya diayun dan siap melancarkan sebuah serangan ke arah depan.
Lan-hoa Siancu berlagak pilon dan pura-pura tidak melihat akan datangnya ancaman tersebut, sambil menggoncangkan kotak berwarna kuning emas itu ujarnya kembali sambil tertawa, “Hmmm…. nampaknya isi kotak ini benar-benar adalah sejilid kitab….”
“Barang asli dengan nilai yang tinggi, kenapa aku musti memalsukan keaslian kotak tersebut?”
Lan-hoa Siancu menutar biji matanya, tiba-tiba dengan wajah agak berubah serunya manja, “Siang locianpwee, bagaimana sih caranya membuka kotak ini? aku pingin sekali kitab tersebut!”
Thong-thian Kaucu yang mendengarkan perkataan itu, segera merasakan hatinya agak bergerak, pikirnya, “Gadis suku Biau paling romantis dan hangat, paras mukanya cantik jelita bagaikan bunga bahkan mempunyai daya rangsang yang luar biasa andaikata aku bisa mendapatkan gadis ini, ooh! betapa bahagianya dan nikmatnya hidupku….”
Berpikir sampai disini ia segera tertawa tergelak, serunya, “Siang sicu anak murid Kiu-tok Sianci selamanya tidak pernah menggunakan pedang sekalipun kitab Kiam keng tersebut diperlihatkan kepadanya pinto rasa tidak menjadi soal bukan?”
“Huuuh….! siapa yang suruh membaiki diriku?” seru Lan hoa Sian cu dengan wajah berubah.
Thong-thian Kaucu mengelus jeoggotnya dan kembali tertawa tergelak, “Haahh haahh haahhh apakah engkau tidak ingin melihat sekejap kitab pedang tersebut?” serunya. “Kitab pedang tersebut adalah suatu benda mustika yang diimpikan serta diinginkan oleh umat persilatan di kolong langit” ujar Siang Tang Lay, “oleh karena itu kecuali majikannya yang terakhir siapapun dilarang untuk melihat kitab tersebut!”
“Mengapa?” tanya Lan-hoa Siancu tercengang. “Perduli siapapun asalkan orang itu dapat melihat kitab
Kiam Keng tadi serta membaca sepatah atau dua patah kata dari isinya maka kendatipun batok kepalanya bakal dipenggal ia tak akan melepaskan tangannya”
“Apakah engkau sendiri telah membaca kitab tersebut?” tanya Ciu It-bong dengan dahi berkerut.
Siang Tang Lay gelengkan kepalanya dan tertawa Kalau aku pernah membaca kitab tersebut tak mungkin
kitab ini kuhadiahkan kepada orang lain.
“Hmmm! kalau memang belum pernah membaca dirimana engkau bisa tahu kalau kitab pedang itu luar biasa isinya? siapa tahu kalau isinya cuma biasa saja dan tak ada yang hebat?”
Siang Tang Lay kembali gelengkan kepalanya berulang kali. “Tahukah engkau, serangkaian ilmu silat yang kumiliki
berasal dari mana?” ia bertanya.
“Bukankah ilmu silat dari Siang loo te berasal dari pelajaran gurumu….?” Siang Tong Lay tersenyum dan menggelengkan kepalanya, walaupun ia tidak buka suara namun semua orang mengetahui bahha ilmu silatnya bukan hasil pelajaran diri gurunya.
Ciu It-bong segera melotolkan sepasang matya bulat-bulat.
Kalau begitu pastilah ibu gurumu yang secara diam-diam wariskan kepadamu!”
“Haaahh…. haah…. haahh…. hanya ilmu silat dari Ciu Loo le yang di ajarkan ibu guru secara diam-diam, rangkaian ilmu silat yang kumiliki tidak lain adalah hasil dari mempelajari catatan kitab pedang yang terdiri dari beberapa huruf belaka itu.
Pek Siau-thian yang mendengar pembicaraan tersebut sampai disitu segera merasakan hatinya bergetar keras, pikirnya, “Tua bangka ini pasti omong kosong dan ngaco belo tidak karuan, dari limapuluh delapan kata yang begitu singkat mana mungkin bisa menciptakan rangkaian ilmu silat yang begitu ampuh dan luar biasanya”
Berpikir sampai disitu, secara diam-diam dia mengulangi kembali kelima puluh delapan patah kata dari catatan ilmu pedang tersebut, ia merasa bahwa kelima puluh delapan patah kata itu memang mengandung dasar ilmu silat yang sangat tinggi dan mendalam, setiap patah kata mengandung perubahan dan pemecahan yang tak terhingga banyaknya, tetapi kalau dikatakan ilmu silat yang dimiliki Siang Tang Lay seluruhnya didapatkan dari sana, hal ini kedengarannya agak berlebihan.
Terdengar Ciu It-bong berkata, “Siang Loo te, hanya berdasarkan catatan ilmu pedang saja engkau dapat memiliki ilmu silat selihay itu, kalau engkau mempelajari pula ilmu silat yang tercantum dalam kitab Pedang, bukankah ilmu silatmu akan tiada tandingannya di kolong langit? kenapa tidak sekalian kau pelajari kitab mustika tersebut?”
Siang Tang Lay mengerutkan dahinya lalu menjawab, “Ciu Loo te sekalipun aku tidak mempelajari kitab pedang, dengan kepandaian silat yang dimiliki siapakah yang mampu menandingi dirinya….
Sesudah berhenti sebentan, sambil tertawa lanjutnya, “Coba lihatlah Hoa Thian-hong, ia hanya mengetahui beberapa patah kata yang paling depan saja tetapi ilm u pedangnya sudah mencapai tarap yang sebegitu dahsyatnya sehin ga setiap jurus serangan yang dilepaskan mengandung daya penghancur yang maha besar membuat Pek lo pangcu pun tidak mampu mempertahankan diri!”
Diam-diam Ciu It-bong berpikir dalam hatinya, “Perkataan dari orang tua ini sedikitpan tidak salah, kalau ditinjau dari peraturan yang berlangsung tadi, seandainya Pek Siau-thian tidak segera mengacaukan pikiran Hoa Thian-hong mungkin sedari tadi ia sudah menemui ajalnya diujung pedang bocah tersebut….”
Tiba-tiba terdengar Thong-thian Kaucu tertawa dan berkata, “Siang sicu, ucapanmu membuat pinto jadi kegirangan sekali, aku rasa perkataan yang tak ada gunanya lebih baik tak usah dibicarakan lagi, sekarang sudah sepantasnya kalau kau perlihatkan kitab pedang itu kepada kami agar kami semua mengetahuii apakah kitab itu palsu atau tidak, kemudian persoalan lain baru dibereskan kembali….”
“Hal ini sudah tentu saja” jawab Siang Tang Lay, ia segera berpaling ke arah Lan-hoa Siancu dan berseru, “Nona engkau toh sudah melihat kotak itu, sekarang sudah sepantasnya kalau engkau berikan kotak tadi kepada beberapa orang jago itu.
“Lan-hoa Siancu tertawa cekikikan.
“Hiih…. hiih…. hiih! aku merasa agak keberatan untuk melepaskan benda yang demikian indahnya”
“Haaah…. haah…. haah…. setiap benda mempunyai pemiliknya, sekalipun kau merasa sayang tapi apa boleh buat, benda itu toh bu kan menjadi milikmu.
“Hmmm! siapa yang kesudian dengan benda ini, sambil mencibirkan bibirnya Lan-hoa Siancu segera melemparkan kotak emas itu kehadapan muka Pek Siau-thian, kemudian dengan hati mendongkol kembali kedalam barak.
Pek Siau-thian yang menyaksikan benda mustika itu terjatuh kehadapannya, ia segera merasakan jantungnya berdebar keras, pikirnya, “Jangan-jangan inilah yang dinamakan takdir, mungkinkah aku memang sudah ditakdirkan untuk merajai seluruh kolong langit?”
Berpikir sampai disitu, jago tua tersebut tak dapat menahan golakan perasaan dalam hatinya lagi, ia segera berjongkok untuk mengambil kotak emas tersebut.
“Pek heng, jangan sentuh benda tersebut! tiba-tiba Thong- thian Kaucu membentak keras.
Sepasang telapak didorong kemuka, segulung angin pukulan yang dingin dan tajam dengan cepat meluncur kedepan.
Ciu It-bong dengan tangan kirinya melancarkan pula sebuah pukulan yang maha dahsyat kedepan. Jin Hiang yang melihat kedua orang jago itu sudah turun tangan, ia segera ayun telapaknya melancarkan pula satu pukulan gencar kedepan.
Tiga gulung angin pukulan yang maha dahsyat serentak menerjang ke arah Pek Siau-thian, dimana gulungan angin puyuh menyambar lewat, terdengarlah desingan angin t jam yang memekikan telinga.
Pek Siau-thian merasa terkejut bercampur gusar, ia segera menjejakkan kakinya dan meloncat dua tombak ketengah udara untuk meloloskan diri dari serangan tersebut.
“Blaamm!” tiga gulung angin pukulan saling membentur satu sama lainnya menimbulkan pusaran angin puyuh yang maha dahsyat, begitu kencang gulungan angin tersebut hingga mengibarkan baju Pek Siau-thian.
Sementara kotak emas tadi masih tetap berada ditempat semula tanpa bergeser sedikit pun jua.
Pek Siau-thian melayang turun kembali keatas tanah dengan muka pucat bagaikan mayat, ia berseru penuh kegusaran, “Thian Ik-cu kalau memang bernyali bagaoimana kalau kita berduel lebih dahulu satu babak?”
“Eeei hidang kerbau tua”, teriak Ciu It-bong dengan cepat “engkau ditantang oleh Pek loo ji hantam saja tua bangka itu masa engkau tidak berani?”
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak. “Haaah…. haah…. haahh Pek heng, hawa amarahmu
benar-benar besar sekali, masa cuma begitu raja engkau
harus marah-marah besar?” serunya. “Hmm! meskipun tabiat aku orang she Pek baik, aku tak akan mengalah untuk kedua kalinya terhadap dirimu”
Sambil berkata kembali ia berjongkok untuk mengambil kotak emas tersebut.
Thong-thian Kaucu , Jin Hian dan Ciu It-bong saling bertukar pandangan sekejap, tiba-tiba mereka ayunkan telapaknya dan bersama-sama melancarkan sebuah pukulan dahsyat kedepan.
Ujung jari tangan Pek Siau-thian hampir saja menyentuh kotak emas tersebut ketika segera tiba-tiba terdengar desingan angin tajam meluncur tiba, ia tahu dalam keadaan demikian bila dirinya lanjutkan niat untuk mengambil kotak emas tersebut, kendatipun kotak tadi berhasil didapatkan akan tetapi ia pun bakal terluka dibawah serangan gabungan ketiga orang itu.
Dalam keadaan apa boleh, buat terpaksa ia enjotkan badannya dan menerobos keluar melewati celah antara angin pukulan yang di lancarkan Jin Hian dan Ciu It-bong.
Siang Tang Lay yang menyaksikan kejadian itu segera tertawa terbahak-bahak.
“Gerakan tubuh yang sangat indah, nama besar ketua perkumpulan Sin-kie-pang benar-benar bukan nama kosong belaka….!”
Air muka Pek Siau-thian berubah jadi hijau membesi, ia maju sambil melancarkan serangan, segulung angin puyuh yang tajam langsung menghantam keatas tubuh Thong-thian Kaucu . “Pek heng, apakah engkau benar-benar ingin berkelahi” bentak Thong-thian Kaucu .
Tangan kirinya diayun memotong pergelangan musuh, tangan kanannya dengan jurus Im kay kian jit atau awan hilang muncullah sang surya melancarkan satu pukulan kedepan.
Serangan tersebut tersembunyi dibalik ujung jubah kirinya dan dilancarkan secara tiba-tiba, ancaman itu sangat bahaya dan luar biasa sekali.
Pek Siau-thian dalam gusarnya, penjagaan tubuhnya agak mengendor tapi dalam sekejap mata otaknya dapat didinginkan kembali, menyak sikan datangnya serangan yang begitu dahsyat ia tak berani menyambut dengan lawan keras, sepasang kakinya segera menjejak tanah dan berkelit ke arah samping
Jin Hian yang berdiri dibelakangnya ketika menyaksikan Pek Siau-thian berdiri membelakangi dirinya dalam jarak lima enam depa merasa amar girang, pikirnya, “Inilah kesempatan baik bagiku untuk melukai dirinya apa yang harus kutunggu lagi?”
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, secara diam-diam dia ayun telapaknya melancarkan pukulan dahsyas.
0000O0000
53
SERANGAN yang dilancarkan ketiga orang itu tanya selisih waktu amat sedikit sekali. Ciu It-bong ketika menyaksikan ada kesempatan baik segera memanfaatkan secara baik-baik, dengan badan menempel diatas tanah ia bergeser kedepan dan menyambar kotak emas diatas tanah.
Begitu Ciu It-bong bergerak, Pek Siau-thian sekalian segera menyadari akan hal itu, Jin Hian pertama-tama yang putar badan sambil melancarkan serangan ke arah Ciu It-bong, sedangkan Pek Siau-thian dan Thong-thian Kaucu satu dari kiri yang lain dari kanan bersamaan waktunya menubruk kedepan.
Ciu It-bong tertawa terbabak-bahak, setelah berhasil menyambar kotak emas tersebut, tubuhnya segera menggelinding kesamping menghindarkan diri dari hantaman ketiga orang itu.
Diantara keempat anggota badannya ada tiga diantaranya telah cacad, sisa sebuah tangan yang dimilikinya digunakan untuk memegang kotak emas tersebut, dengan sendirinya ia tak ada kemampuan untuk melakukan serangan lagi.
Maka telah lolos dari ancaman musuh, ia segera berdiri tegak ditempat semula tanpa berkutik, Thong-thian Kaucu , Pek Siau-thian dan Jin Hian pun secara otomatis menghentikan serangannya sambil mengurung Ciu It-bong rapat-rapat.
Haruslah diketahui tiga bibit bencana dari dunia persilatan ini dapat hidup berdampingan selama banyak tahun tanpa mengalami bentrokan, apapun hal ini disebabkan kekuatan dari ketiga belah pihak seimbang dan sama kuat, ilmu silat yang dimiliki ketiga orang pemimpin merekapun seimbang pula, andaikata ada satu pihak berhasil melampaui kekuatan pihak yang lain maka hal ini akan dianggap sebagai ancaman bahaya bagi kedua belah pihak yang lain, karena itulah rasa curiga dan was-was diantara sesama pihak sangat tebal dan kuat sekali. Kotak tersebut berisikan kitab pedang yang tak ternilai harganya, seandainya benda berharga itu sampai terjatuh ketangan Pek Siau-thian dan berhasil dibawa kabur, maka kejadian ini akan merupakan mara bahaya yang besar sekali bagi keamanan dua golongan lainnya.
Sebaliknya kalau terjatuh ketangan Ciu It-bong, maka keadaannya lain sebab masing-masing pihak tidak usah merisaukan salah satu pihak diantara mereka akan melampaui kekuatan mereka.
Cui It Bong hanya ada musuh dan tak punya kawan, orang sendiripun tahu bahwa posisinya dalam lembah Cu-bu-kok pada saat ini sangat tidak menguntungkan, walaupun pada saat ini ia berhasil mendapatkan kotak emas tersebut, akan tetapi untuk membawa kabur kotak emas itu dari kepungan musuh jelas bukan suatu pekerjaan yang gampang.
Diam-diam ia segera berpikir didalam hatinya, “Perduli amat bakal mati atau hidup, aku harus bertarung lebih dahulu dengan mereka kemudian baru diputuskan lagi….”
Berpikir sampai disini, ia segera mendongak dan tertawa ter-babak-bahak, serunya, “Siang loo ji, seandainya isi kotak ini bukan kitab pedang, melainkan adalah seekor ular beracun….”
Belum habis ia berkata tiba-tiba air mukanya berubah hebat, kelima jarinya mengendor dan hampir saja kotak emas itu terjatuh dari genggamannya.
Thong-thian Kaucu yang menyaksikan hal itu segera tertawa, serunya, “Ciu tua apakah tanganmu telah digigit ular beracun? cepat lemparkan kotak tersebut kemari” Ciu It-bong memutar sepasang biji matanya kemudian berteriak keras, “Jin Hian, engkau telah merampas pedang emasku, sekarang biarlah kotak ini kuserahkan pula kepadamu!”
Sambil berkata ia segera melemparkan kotak emas tersebut kedepan.
Jin Hian bukan seorang yang bodoh mendengar seruan tersebut diam-diam pikirnya dalam hati, “Ciu It-bong mempunyai hubungan dendam yang amat mendalam dengan diriku, tak mungkin ia berikan kotak tersebut kepadaku dengan rela hati, dibalik kejadian ini pasti ada permainan setannya.”
Berpikir sampai disitu, sebelum ia sempat ambil keputusan, kotak emas tadi telah meluncur kehadapannya.
Terbayang bahwa benda itu adalah sebuah benda mustika yang sukar didapatkan kendatipun harus beradu jiwa, buru- buru ia menggulung ujung bajunya dan menangkap kotak emas itu dengan dilapisi kain baju pada tangannya.
Ketika sorot matanya dialihkan kedepan maka tampaklah kelima jari tangan Ciu It-bong dalam waktu singkat telah berubah jadi hitam membekas, wajahnya yang semula berwarna merah bercahayapun kini dilapisi oleh hawa hitam, sekilas memandang dapat diketahui orang itu sudah terkena sejenis racun keji yang sangat lihay.
Pek Siau-thian yang menyaksikan kejadian itu diam-diam berpikir dalam hatinya, “Sungguh berbahaya! sungguh berbahaya! tadi, seandainya benda tersebut berhasil kudapatkan, maka orang yang keracunan pada saat ini bukan Ciu tua melainkan adalah aku….” Makin berpikir ia merasa semakin ngeri sehingga tanpa terasa keringat dingin mengucur keluar membasahi tubuhnya.
Terdengar Thong-thian Kaucu tertawa dan berkata, “Pek heng, jangan lupa dengan budi pertolongan yang kuberikan kepadamu lho”
“Hmm! Pek Siau-thian mendengus dingin, aku tak nyana kalau kaucu adalah orang yang berhati haik, kalau begttu aku telah salah menuduh orang!”
Sreeet….! terdengar Jin Hian merobek ujung bajunya dan digunakan untuk membungkus kotak emas tersebut, setelah itu ia merobek pula ujung baju yang lain untuk melapisi bungkusan yang pertama tadi, setelah itulah dengan membawa kotak emas tadi ia berlalu dari gelanggang.
Thong-thian Kaucu dan Pek Siau-thian segera saling bertukar pandangan sekejap dua orang itu dengan cepat menggerakkan tubuhnya menghadang jalan pergi Jin Hian.
Melihat jalan pergi dihadang, ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie itu segera melototkan matanya bulat-bulat sambil tertawa dingin, tegurnya, “Apa maksud kau berdua menghalangi jalan pergi? apakah kalian hendak menantang aku untuk bergebrak?”
Thong-thian Kaucu segera tertawa terbahak-bahak, sahutnya, “Haah haah haah…. Jin Hian jangan lupa, tiga maha besar dan dunia persilatan telah mengadakan perjanjian kerja sama”
“Heeh…. heeh…. heeh….! aku ssma sekali tidak melupakan akan hal itu” jawab Jin Hian sambil tertawa dingin, tetapi aku masih ingat bahwa perjanjian tersebut hanya menyangkut tentang pertahanan dan penyerangan, toh tidak ada larangan yang tidak memperkenankan aku untuk menerima hadiah dari sahabat, “Orang Persilatan lebih mengutamakan soal setia kawan, kalau memang diantara kita sudah terikat oleh perjanjian maka itu berarti ada kesusahan dipikul bersama ada kebahagiaan dinikmati bersama, andaikata Jin heng begitu tamak dan lupa pada teman, apakah tindakan itu tak akan mengecewakan hati sahabat lainnya?”
Sreeet! Sreeet! desiran angin tajam berkelebat lewat, Yan- san It-koay dan Liong-bun Siang-sat tiga jago din parkumpulan Hong-im-hwie segera menceburkan diri kedalam arena.
Menyaksikan tindakan musuh, Pek Siau-thian segera mendengus dingin, serunya, “Orang-orang dari perkumpulan Hong-im-hwie banyak apakah dari pihak Sin-kie-pang ke- kurangan manusia?”
Sambil berkata ia segera ulapkan tangannya….
Cukat racun Yau Sut dengan cepat memimpin belasan orang pelindung hukum dari panji kuning terjunkan diri pula kedalam gelanggang dan mengepuug Yan-san It-koay serta Liong-bun Siang-sat erat-erat, suasana seketika berubah jadi tegang dan serius, salah bicara sepatah kata saja pasti akan menimbulkan benturan hebat.
Diam-diam Jin Hian segera berpikir, “Kalau terjadi bentrokan saat ini, sudah jelas pihak Thong-thian-kauw akan membantu perkumpulan Sin-kie-pang, dalam keadaan tercekat perkumpulan Hong-im-hwie kami pasti akan mengalami kerugian besar.
Berpikir sampai disini, terpaksa ia menahan hawa amarah yang berkobar dalam dadanya, ia berseru. “Pek heng, apakah engkau siap bentrok lebih dahulu dengan perkumpulan Hong-im-hwie kami?”
Siaute sudah terdesak oleh keadaan, mau jadi sahabat atau musuh terserah pada pilihan Jin heng sendiri.
Pek Siau-thian adalah satu-satunya orang yang pernah menyaksikan sendiri kehebatan catatan kitab pedang, bagi dirinya daya tarik kitab pedang tersebut jauh melebihi siapapun juga, sekalipun harus terjadi bentrokan langsung dengan pihak lain, ia tak akan membiarkan Kitab Pedang tersebut terjatuh kepihak lain.
Sementara itu Thong-thian Kaucu telah tertawa keras dan berkata, “Jin heng, semua orang gagah di kolong langit telah berkumpul semua dalam lembab Cu-bu-kok ini, mati hidup tiga kekuatan besar dalam dunia persilatan harus ditentukan didalam pertemuan besar Kian ciau tayhwee ini, aku harap engkau berpikir tiga kali sebelum bertindak.
Jin Hian segera alihkan sorot matanya melirik sekejap ke arah rombongan yang dipimpin oleh Hoa Hujin, kemudian melirik pula ke arah kelompok makhluk setan tersebut secara tiba-tiba ia merasakan hatinya bergidik pada saat itu juga ia merasa betapa lemah dan kecilnya kekuatan dari perkumpulan Hong-im-hwie, dalam suasana menang kalah sulit diramalkan, menggunakan kekerasan hanya akan merugikan pihaknya sendiri.
Sebagai seorang jJago kawakan yang berakal panjang, ia segera merasakan gelagat yang sangat tidak menguntungkan pihaknya, dengan wajah serius segera katanya, “Isi kotak emas ini belum tentu adalah kitab pedang, bagaimanakah menurut pendapat too heng?” “Menurut pendapat pinto, tidak mungkin Siang sicu menghadiahkan benda mustika kepada kita semua, apa salahnya kalau Jin heng berusaha untuk membuka kotak emas itu lebih dahulu serta melihat apakah isi kotak itu yang sebenarnya….”
“Hmm! diatas kotak emas ini terlapis racun yang sangat keji, dalam keadaan situasi seperti ini, aku tidak ingin menempuh bahaya yang sama sekali tak ada gunanya!”
Thong-thian Kaucu tersenyum.
“Kalau memang Jin heng tidak ingin menempuh bahaya, bagaimana kalau pinto saja yang mewakili? kalau isi kotak emas itu bukan kitab pedang yaa sudahlah tapi kalau isinya memang kitab pedang maka kita dapat membaginya jadi tiga bagian, setiap golongan mendapat satu bagian bukankah hal ini merupakan suatu kejadian yang sangat bagus?”
Diam-diam Jin Hian menilai keadaan disekitarnya, ia merasa kecuali bertindak demikian, rasanya meming tiada jalan lain lagi, maka koak emas tersebut segera dilemparkan kedapan, ujarnya dengan suara dingin, “Kitab pedang tersebutt berada disini. Nah, benar atau tidaknya silahkan too beng periksa sendiri”
Ketika kotak tersebut dilemparkan ketanah, tenaga sambitan yang dipergunakan adalah tenaga Im yang lunak serta tenaga Yang yang kuat.
Ketika kotak emas tersebut dilemparkan ke arah depan Thong-thian Kaucu , sewaktu mencapai ditengah jalan mendadak berubah jadi kilatan cahaya emas dan meluncur makin dahsyat kedepan. “Tua bangka ini benar-benar kejam!” maki Thong-thian Kaucu didalam hatinya.
Teringat akan racun keji yang berada di atas kotak emas tersebut, hingga mengakibatkan Ciu It-bong yang lihaypun kena dipecundangi, maka sebagai seorang manusia yang licik imam tua itu merasa bahwa lebih baik kehilangan muka danpada menempuh bahaya dengan percuma.
Menyaksikan kotak emas tersebut meluncur datang, tangannya dengan cepat berputar melancarkan satu pukulan berhawa lunak ke depan untuk menahan daya luncur kotak tadi….
Sreeet! kotak emas tersebut dengan membentuk gerakan satu lingkaran busur segera terjatuh kembali keatas tanah.
Terdengar Siang Tang Lay tertawa terbabak-bahak dan mengejek, “Haaah…. haah…. haah…. Tootiang, engkau musti berhati-hati, siapa tahu kalau isi kotak emas itu bukan kitab pedang malaikat adalah obat peledak yang maha dahsyat dan maha keji?”
“Ucapan Siang beng sedikitpun tidak salah, berhati-hati memang merupakan tindakan yang jitu”
Imam tua tersebut segera berpaling dan berseru keras, “Cing liang, bukalah kotak emas itu dan coba periksa benda apa yang tersimpan dalam kotak tersebut!”
Dari dalam barak berjalan keluar seorang imam kecil berbaju merah, setelah memberi hormat kepada Thong-thian Kaucu , ia menge- nakan seperangkat sarung tangan terbuat dari kulit menjangan dan segera memungut kotak emas tadi. Sarung tangan kulit menjangan itu adalah sarung tangan yang di pergunakan untuk melepaskan pasir beracun, Cing lian meminjam dari rekan seperguruannya sebelum maju ke tengah gelanggang, oleh karena itu dapatkah dipergunakan untuk menahan racun keji yang melekat diatas kotak emas tersebut, ia tak punya keyakinan.
Baru saja kotak emas itu dipegang ditangan, keringat dingin terasa mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya, jantung berdebar keras dan hatinya bergidik.
Ketika kotak emas itu diteliti dengan seksama, ternyata kotak itu terdiri dari satu wadah yang utuh tanpa sambungan, persis bagaikan sekeping batang emas, ketika kotak tadi digoncangkan maka terasa isinya berupa sejilid kitab, cuma saja walaupun sudah dicari kian kemari letak tombol rahasia untuk membuka kotak tersebut belum ketemu juga.
Dalam pada itu sorot, mata semua orang yang ada didalam lembah bersama-sama ditujukan keatas tangan Cing lian, ketika melihat imam cilik itu membolak balikkan kotak emas tersebut tanpa berhasil menemukan alat rahasianya hingga hati jadi gelisah dan keringat mengucur tiada hentinya, para jago ditepi gelanggangpun ikut merasa gelisah.
Tiba-tiba dari dalam barak berkumandang suara teriakan seseorang, “Coba gosoklah tulisan Kiam keng tersebut dengan jari tanganmu….!”
Mendengar teriakan tersebut Cing lian segera menggosok tulisan Kiam keng tadi dengan jari tangannya, tetapi keadaan kotak tersebut masih tetap seperti sedia kala, sedikitpun tiada berubah apapun jua. Mendadak Thong-thian Kaucu berseru, “Papas saja kotak emas itu dengan senjata, tapi engkau musti berhati-hati, jangan sampai merusak isi kotak tersebut….”
Cing lian letakkan kembali kotak emas tadi keatas tanah, kemudian cabut keluar sebilah pedang pendek yang memancarkan cahaya tajam.
Pedang pendek tersebut memancarkan sinar yang amat menyilaukan mata, membuat siapapun yang melihat segera akan mengetahui bahwa pedang tersebut adalah sebilah pedang mustika yang tajamnya bukan kepalang.
Cing lian segera menggerakkan pedang pendeknya membacok kotak emas itu…. Criiing! cahaya tajam berkilauan, ketika ujung pedang tersebut menggurat diatas permukaan kotak, ternyata kotak tadi masih tetap utuh dan sedikitpun tidak meninggalkan bekas.
Menyaksikan hal itu para jago yang berada didalam barak sama-sama memperdengarkan jeritan kaget.
Jago lihay yang hadir dalam lembah Cu-bu-kok banyak sekali, semua orang dapat melihat betapa tepatnya babatan pedang yang dilancarkan oleh Cing liang tersebut, tetapi kenyataan membuktikan lain, ternyata kotak emas itu masih tetap utuh seperti sedia kala, dan pedang yang begitu tajam pun sama sekali tidak mempan, kejadian ini membuat orang- orang tidak habis berpikir.
Merah padam selembar wajah Cing lian karena kegagalannya itu, dengan cepat ia tenangkan hatinya dan sekali lagi melancarkan babatan ke arah kotak emas tadi.
Ia merupakan murid kebanggaan dari Thong-thian Kaucu , baik ilmu pedang maupun tenaga dalamnya telah mencapai puncak kesempurnaan, benda sekeras dan sekuat apapun bila termakan babatan pedangaya ini niscaya akan terpapas dan kutung.
Siapa tahu ketika cahaya tajam berkelebat lewat, kotak emas itu masih tetap utuh sepeati sedia kala, sedikitpun tidak mengalami cedera apapun juga.
Pek Siau-thian merasakan jantungnya berdebar keras, pikirnya, “Cukup melihat wadah kotak emas itu sudah menunjukkan suatu benda mustika yang tak ternilai harganya, benda yang tersimpan dalam kotak emas itu jelas jauh lebih tak ternilai harganya”
Jalan pikiran Jin Hian maupun Pek Siau Thiin tidak berbeda satu sama lainnya, dua orang itu sama-sama merasakan jangtungnya ber debar dan wajahnya berubah jadi merah padam, disamping itu otak merekapun bekerja keras untuk mengambil Keputusan tentang tindakan selanjutnya, mereka semua berpendapat bahwa kotak itu tak boleh sampai terjatuh ketangan pihak lain.
Tiba-tiba terdengar Thong-thian Kaucu membentak keras. “Bawa kemari pedang mustika Boan liong poo kiam ku!”
Mendapat perintah tersebut, Cing lian buru-buru kembali kedalam barak dan sejenak ke-mudian telah muncul kembali sambil membawa sebilah pedang antik yang berkulit kuda, pada gagang pedang terukir seekor naga yang sangat indah dan mempersonakan hati.
Thong-thian Kaucu segera mencekal sarung pedang dengan tangan kiri, gagang pedang dengan tangan kanan…. Criing! sekilas cahaya hijau memancar keempat penjuru dan tahu-tahu muncullah sebilah pedang mustika yang amat tajam.
“Pedang bagus!” puji Siang Tang Lay tanpa terasa.
Begitu pedang tadi dicabut keluar orang yang berdiri beberapa tombak disekelilingnya seketika merasakan hawa dingin yang merasuk ketulang sum sum.
Sudah lama orang kangou mendengar bahwa Thong-thian Kaucu memiliki sebilah pedang mustika Boan liong Poo kiam yang tajam tetapi semua orang selain anggota perkumpulan hanya pernah mendengar belum pernah melihat sendiri, sekarang setelah melihat ketajaman pedang tadi, diam-diam semua orang merasa kagum dan memuji tiada hentinya.
Thong-thian Kaucu tersenyum bangga, katanya, “Pedang ini ketajamannya luar biasa dan tiada benda yang mampu menandingi ketajamannya, tapi kalau memang tusukan pedang ini pun tak berhasil, yaa…. apa boleh buat lagi!”
Perlahan-lahan ia maju kedepan, ujung pedangnya ditempelkan diatas kotak emas itu kemudian mengerahkan tenaganya dan menusuk kebawah.
Siang Tang Lay tertawa katanya, “Kaucu kau harus berhati- hati, andaikata kitab pedang yang berada didalam kotak itu sampai hancur dan rusak waah kerugian yang harus diderita cukup besar….”
Thong-thian Kaucu tetap membungkam dalam seribu bahasa, ujung pedangnya perlaan-lahan ditusuk kebawah dengan bawa murni disalurkan kedalamnya, siapa tahu kotak emas itu tetap utuh tanpa cidera, entah terbuat dari bahan keras apa, tusukan pedang yang demikian tajampun sama sekali tidak berhasil melubanginya. Peristiwa ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang luar biaaa, semua orang diam-diam merasa terperanjat, dan tanpa terasa akibat pengaruh kotak emas tadi, nilai kitab pedang yang berada didalamnyapun secara tiba-tiba meningkat sampai sepuluh kali lipat.
Thong-thian Kaucu bukan manusia sembarangan, sekali mencoba saja ia sudah tahu bahwa dengan ketajaman pedang boan liong poo kiam-nya, kotak emas itu masih tetap tidak terbuka, daripada ditawarkan orang hingga dirinya jadi malu atau pedang kesayangannya makin rusak, imam tua itu segera masukkan kembali pedangnya kedalam sarungnya.
Setelah itu sambil acungkan jempolnya ia berseru kepada diri Siang Tang Lay, “Siang heng, benda itu benar-benar luar biasa sekali, pinto merasa sangat kagum!”
“Benda peninggalan orang kuno memang hebat, engkau tak usah memuji diriku sebab benda itu bukan aku yang buat”
“Siang Tang Lay!” seru Pek Siau-thian pula sambil menyeringai seram, “engkau pasti mengetahui bukan bagaimana caranya membuka kotak emas tersebut?”
“Tentu saja tahu!”
“Dan rahasia itu tak mungkin engkau bongkar dihadapan kami bukan….?” seru Pek Siau-thian lagi sambil tertawa dingin.
“Aaah! belum tentu demikian”
Setelah berhenti sebentar sambil tertawa, ujarnya lagi, “Engkau pernah membaca seluruh isi dari catatan kitab pedang itu, berarti bahwa engkau termasuk juga anak murid dari malaikat pedang Gi Ko, bila kitab pedang ini diwariskan kepadamu rasanya pilihanku ini adalah paling tepat.”
Thong-thian Kaucu yang mendengar perkataan itu segera tertawa terbahak-bahak, ejeknya, “Haahh…. haahhh…. haahhh…. Pek heng, aku harus mengucapkan selamat kepadamu, kiong bi, kiong hi….”
Dengan gusar Pek Siau-thian mendengus sambil menengok ke arah Siang Tang Lay, kembali serunya, “Engkau tak usah bermain licik, bagaimana caranya membuka kotak emas ini harap segera diutarakan keluar!”
Ia ingin tahu bagaimana caranya membuka kotak itu tapi tidak ingin Siang Tang Lay mengatakannya sekarang karena disitu ada dua orang musuhnya, pikiran ini membuat hatinya jadi serba salah.
Terdengar Siang Tang Lay berkata, “Engkau pernah membaca kitab Kiam keng bu kui, asal isi dari catatan tersebut kau selami dan yakini dengan seksama, aku tanggung tidak sampai tiga tahun engkau sudah mampu jadi seorang tokoh maha sakti di kolong langit”
Mendengar ucapan tersebut, Thong-thian Kaucu dan Jin Hian saling bertukar pandangan, pikir mereka hampir berbareng.
“Kalau ini hari Pek Siau-thian berhasil kabur dari sini dalam keadaan selamat, itu berarti tiga tahun kemudian kami semua sudah bukan tandingannya lagi, pada waktu itu bukankah perkumpulan Sin-kie-pang dapat menguasai seluruh kolong langit tanpa seorangpun mampu menandingi kehebatannya….?” Sementara itu Siang Tang Lay telah melanjutkan kembali, katanya, “Berbicara tentang cara untuk membuka kotak emas tersebut sebenarnya amat sederhana sekali, cukup kalian….”
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat lewat, Ciu It-bong sambil menempel tanah menggelinding kemuka dan menyambar kotak emas tersebut kemudian setelah berhasil mendapatkan benda itu ia menggelinding kembali menjauhi tempat itu.
Baik Thong-thian Kaucu maupun Pek Siau-thian sekalian cuma bisa berdiri tertegun menyaksikan tindakan nekad itu untuk mencegah jelas sudah tak mungkin lagi terpaksa mereka tidak ambil tindakan apa-apa.
Ketika pertama kali berhasil merampas kotak emas itu, Ciu It-bong sama sekali tak menyangka kalau diatas kotak sudah dipolesi racun yang sangat keji sesudah keracunan hebat buru-buru dia salurkan hawa murninya dan memaksa racun keji yang bersarang dalam tubuhnya itu berkumpul didalam sepasang kakinya yang cacad dengan begitu untuk sementara waktu jiwanya berhasil diselamatkan.
Setelah kotak emas itu terjatuh ketanah dan Thong-thian Kaucu serta Pek Siau-thian sekalian saling berusaha untuk mendapatkan kotak tersebut tanpa seorangpun berhasil memperolehnya diam-diam kakek she Ciu ini menyusun rencana untuk merebut kembali.
Saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga, ketika perhatian semua orang sedang ditujukan ke arah Siang Tang la, dengan satu gerakan tubuh yang sangat cepat dan diluar dugaan ia menggelinding kesamping kotak emas itu dan merebutnya kembali tapi kali ini tak berani menyentuh kotak emas itu dengan jari tangannya lagi. Dalam keadaan yang serba tergesa-gesa, ujung bajunya segera dikibaskan keatas tanah untuk menggulung kotak emas itu kemudian benda tadi barulah dipegang dengan alas kain.
Begitulah setelah menyaksikan kotak emas tadi terjatuh kembali ketangan Ciu It-bong, sambil tertawa Siang Tang Lay segera berkata, “Eeei…. manusia yang bernama Ciu It-bong apakah engkau ingin tau bagaimana caranya membuka kotak emas tersebut?”
Ciu It-bong menyeringai dan tertawa seram.
“Heehh…. heehh…. heehh…. bagiku tahu juga boleh tidak tahupun tidak menjadi soal!”
“Jumlah yang banyak akan menangkan jumlah yang sedikit, seorang lelaki sejati tak akan sudi melayani kerubutan orang banyak, aku lihat dalam perebutan kitab Kiam keng kali ini, lebih baik engkau mengundurkan diri saja! ejek Siang Tang Lay sambil tertawa.
Ciu It-bong tertawa terbahak-bahak, suaranya menyeramkan sekali, pikirnya dihati, “Racun keji yang berada diatas kotak emas ini sudah pasti merupakan hasil perbuatan dari gadis-gadis suku Biau itu, tapi…. mereka toh merupakan orang-orang muda dari angkatan yang lebih rendah, aku malu kalau musti minta obat penawar dari mereka….!”
Otaknya berputar sebentar, kemudian dengan dingin, serunya, “Meskipun kotak emas ini tidak mempan dibacok dengan pisau atau kampak, aku rasa ii tak akan mampu menahan hawa panas, tenaga dalamku sudah kusalurkan kedalam kotak emas ini, jika kalian berani berkutik secara gegabah maka perduli amat isi kotak ini adalah kiam keng yang asli atau tidak, aku tanggung isinya tentu akan hancur jadi abu dan sepatah katapun tak akan tersisa!” Terperanjat hati Pek Siau-thian, setelah mendengar ancaman tersebut, ketiga orang itu segera bersiap sedia melancarkan tubrukan.
Ciu It-bong melototkan sepasang matanya bulat-bulat, hardiknya, “Barang siapa berani sembarangan bergerak, aku akan segera musnahkan kitab Kiam keng ini lebih dahulu, agar impian indah ka lian segera hancur dan musnah tanpa bekas!”
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak.
“Haah…. haahh…. haah…. Pek heng, Jin heng” katanya, “tua bangka ini mampu melakukan apa yang telah dia katakan, ia tidak akan memperdulikan apa dosanya menghancurkan khien, memegang burung bangau…. lebih baik kita mengalah satu tindak kepadanya!”
Mendengar perkataan itu, terpaksa Pek Siau-thian dan Jin Hian membuyarkan himpunan hawa murni mereka dalam telapak, dengan pandangan dingin mereka menatap wajah Ciu It-bong dan ingin melihat permainan setan apa lagi yang hendak ia lakukan.
Ciu It-bong tertawa seram.
“Heehh…. heehh…. heehhh Siang too ji serahkan obat pemunah kepadaku!” teriaknya
Mendengar permintaan itu Siang Tang Lay tersenyum. “Kenapa engkau minta obat pemunah kepadaku? toh kotak
emas milikku itu sama sekali tidak mengandung racun!”
“Hmmm!…. aku tidak mau ambil peduli akan soal itu barang tersebut pokoknya milik mu maka aku hanya minta pertanggungan jawab dari dirimu saja” seru Ciu It-bong sambil tertawa dingin tiada hentinya.
“Engkau memang pandai sekali mencari gara gara….
Setelah berhenti sebentar, sambil tertawa Siang Tang Lay melanjutkan kembali kata-katanya, “Aku pernah dengar orang berkata, menghadapi orang yang tamak akan harta sekali pun uang sudah berada ditangan akhirnya toh harus berkurang kembali….
Lan-hoa Siancu yang duduk dalam barak segera tertawa merdu, selanya dengan suara lantang, “Siang loocianpwee rupanya engkau sedang menyindir kami? hati-hati dengan perkataanmu!”
“Haahh…. haahh…. haahh…. aku orang tua tidak berani melakukan perbuatan itu!”
Hoa Hujin segera berpaling ke arah Lan-hoa Siancu dan berbisik dengan suara rendah, “Meninjau situasi yang terbentang pada saat ini, kehadiran Ciu It-bong ditempat ini sangat menguntungkan pihak kita, nona! berikan obat pemunah tersebut kepadanya!”
Lan-hoa Siancu mengangguk, dia bangkit berdiri dan melayang kehadapan Ciu It-bong katanya, “Huuh….! engkau siorang tolol yang goblok dan berangasan, bisanya cuma merepotkan orang saja!”
Ia merogoh kesakunya dan ambil keluar sebutir pil obat berwarna merah kemudian dilemparkan kemuka.