Tiga Maha Besar Jilid 04

 
Jilid 04

WALAUPUN Chin Wan-hong masih merasa curiga, tetapi dia adalah seorang perempuan yang halus budi dan ramah, karena itu sambil menahan hawa gusar yang berkobar dalam dadanya ia berkata dengan tawa, “Thian-hong sedang ada urusan, sekarang ia tak berada disini, kalau engkau ada perkataan, katakan dahulu garis besarnya, kemudian aku akan mengutus orang untuk mengundang kedatangannya”

“Eeei, bagaimana sih kamu ini?” teriak Pek Kun-gie tak sabaran.

“Bukankah sudah kukatakan bahwa persoalan ini menyangkut suatu rahasia besar….? apa yang kau tanyakan lagi?”

“Nona, buat apa sih berbicara dengan perempuan rendah itu?” tib-tiba Harimau ompong Tiong Lo pocu, “perduli urusan besar atau urusan kecil, mari kita hajar saja perempuan rendah itu hingga terjatuh kedalam jurang!” Tiga harimau dari keluarga Tiong pernah mendapat siksaan serta penganiayaan berat dari pihak perkumpulan Sin-kie-pang terhadap mereka, boleh dibilang rasa bencinya luar biasa sekali dan sukar dilukiskan dengan kata-kata meskipun dalam hal ilmu silat Tiong Loo po cu masih bukan tandingannya akan tetapi dalam silat lidah dia sama sekali tak mau mengalah.

Lan hoa siancu dengan merasa curiga termenung dan berpikir beberapa saat lamanya tiba-tiba ia berseru, “Pek Kun- gie, Hoa Thian-hong amat membenci terhadap dirimu mana ia sudi untuk datang menemui dirimu? aku lihat lebih baik sedikitlah tahu diri dan cepatlah mengundurkan diri dari sini!”

Mendengar perkataan itu diam-diam sekujur badan Pek Kun-gie gemetar amat keras, pikirnya, “Dia membenci aku…. dia…. tidak! dia adalah seorang pendekar besar, seorang lelaki perkasa, dia tak akan membenci dan mendendam terhadap kesalahan yang pernah dilakukan oleh seorang perempuan…. dia…. dia sudah tidak membenci diriku lagi.”

Berbicara sampai disini dengan suara gemetar ujarnya lagi, “Chin Wan-hong, Thia Hong sudah mengeluarkan banyak darah lukanya…. lukanya….”

Mendadak Li-hoa Siancu membentak keras, “Racun terantai empedu api yang bersarang ditubuh sudah kambuh dia sudah mati!”

Bagaikan disambar petir dihari siang bolong sekujur badan Pak Kun Gie gemetar keras dan hampir saja ia jatuh terjungkal keatas tanah.

Tiga dewi dari wilayah Biau saling bertukar pandangan sekejap, mereka tidak habis mengerti terhadap kejadian yang berlangsung didepan matanya, Chin Wan-hong sendiripun berdiri terbelalak dengan mulut melongo, ia sendiripun dibuat tak habis mengerti.

Terdengar Pek Kun-gie bergunam seorang diri, “Ia pasti sudah mengalami kejadian, kalau tidak tentu sedari tadi ia sudah datang menemui diriku, dia tak mungkin sengaja menyembunyikan diri”

Tiba-tiba jeritnya dengan suara lengking, “Minggir! siapa berani menghalangi perjalananku, mati!”

Sepasang telapak disiapkan didepan dada dan siap maju ke arah depan.

Chin Wan-hong jadi amat terperanjat, teriaknya keras- keras.

“Tunggu sebentar….! berhenti! cepat berhenti!”

Pek Kun-gie segera menghentikan gerakan tubuhnya, jarak antara tubuhnya dengan tepat dimana tersebar bubuk Mi hun sang, hanya terpaut beberapa depa saja namun sama sekali tidak merasakan akan datangnya marabahaya.

Sambil menatap tajam Biau-nia Sam-sian dengan pandangan mata bagaikan pisau, serunya, “Ayoh cepat nyingkir kesamping, memandang diatas wajah Thian-hong aku tak akan mencari urusan dengan kalian”

“Hmmm! bicaranya saja gede sekali, jengek Li-hoa Siancu sambil tertawa dingin, kalau engkau berani maju selangkah lagi, aku akan suruh engkau maiti tanpa tempat kubur”

Chin Wan Hoag takut kalau Pek Kun-gie dipengaruhi emosi dan benar-benar maju kedepan, bila salah tindak maka semua rombongan ba kal tercebur dalam jurang, buru-buru serunya kepada Pek Kun-gie, “Ada persoalan mari kita bicarakan secara baik-baik, engkau jangan bertindak secara gegabah, Thian-hong sedang berlatih ilmu pedang dibelakang bukit sana, urusan apapun tak boleh mengganggu ketenangannya, coba katakan lah dahulu rahasia besar apa yang hendak kau sampaikan kepadanya, kemudian aku baru akan mengundang kedatangannya.”

“Aaab! benar” pikir Pek Kun-gie didalam hati.

“ketika Thian-hong bunuh diri dengan menelan racun ketika berada ditepi sungai Huang-ho tempo hari, Chin Wan-hong begitu sedihnya sehingga selama beberepa bulan lamanya ia kehilangan semangat dan pikirannya tidak waras hingga sampai wilayah Biau pun ia tak tahu, andaikata Thian-hong mengalami sesuatu hal masa ia dapat begitu te nang?”

Berpikir sampai disini, perasaan hatinya jadi agak lega dan wajah yang semula pucat pun kini jadi merah kembali.

Li-hoa Siancu diam-diam mengawasi perubahan wajah gadis itu, tiba-tiba ia temukan bahwa rasa cinta Pek Kun-gie terhadap Hoa Thian-hong ternyata tidak berada dibawah cinta kasih adik Seperguruannya, delamm keadaan tercengang dan tak habis mengerti, ia segera tertawa keras sambil serunya, “Pek Kun-gie, sungguh tak nyana engkau dapat berubah jadi begini rupa, benar-benar pe-rubahan cuaca sukar diramalkan, membuat orang merasa tak dapat untuk mempercayainya”

“Kalian cepatlah mengundang datang Thian-hong, aku tak dapat menunggu terlalu lama lagi” seru Pek Kun-gie dengan tegas, “sele watnya malam ini, dimana kita berjumpa disitulah kita bikin perhitungan, aku ingin membuktikau ilmu beracun dari wilayah Biau yang lebih lihay ataukah ilmu silat dari daratan Tionggoan yang lebih ampuh” Li hoa siansu tertawa terkekeh-kekeh.

“Haaahh…. haaahh…. haaahh…. tentang persoalan itu lebih baik dibicarakan dikemudian hari saja, sudah lama aku dengar orang berkata bahwa bangsa Han memegang teguh tata cara, aku ingin bertanya kepadamu, engkau selalu mengatakan hendak berjumpa dengan Thian-hong, apakah eagkau tidak takut ditertawakan orang lain?”

Pek Kun-gie agak tertegan kemudian dengan gusar serunya, “Perempuan suku Biau yang tak tahu diri, Pek Kun- gie adalah seorang gadis suci bersih perbuatan apakah yang kutakuti hingga ditertawakan orang lain?”

“Seorang gadis suci bersih?” Li-hoa Siancu bukannya gusar malahan tertawa sinis, tahukah engkau bahwa Hoa Thian- hong sudah ditunangkan dengan orang lain? malam-malam buta untuk berjumpa bahkan telah pandang calon istrinya sebagai manusia apa?”

Seakan-akan kena dihajar dengan pentungan, Pek Kun-gie nampak tertegun kemudian membungkam dalam seribu bahasa.

Lan hoa siancu sekalian mula-mula juga nampak tertegun tapi dengan cepat mereka menyadari apa yang telah terjadi dan mengetahui pula kalau Li-hoa Siancu hanya bicara sembarangan untuk menggoda serta mempermainkan Pek Kun-gie.

Putri bungsu dari Pek Siau-thian ini sebenarnya juga seorang gadis yang cerdik tetapi sayang ia terpengaruh oleh rasa cinta hingga pikirannya jadi tersumbat pada dasarnya ia sedang menguatirkan pesoalan itu maka perkataan dari Li-hoa Siancu justru dengan tepat telah mengena pada titik kelemahan. Chin Wan-hong sendiri juga merupakan seorang gadis yang berperasaan halus menyaksikan Pek Kun-gie terkena pukulan batin hingga termangu-mangu, dara itu merasa tak tega.

Akan tetapi sebelum ia sempat membongkar rahasia tersebut, terdengarlah Li-hoa Siancu dengan gusar membentak.

“Pek Kun-gie, ayoh cepat enyah dari sini, benarkah engkau mau tunggu sampai Hoa Thian-hong datang serta memberi pelajaran ke padamu?”

Sepasang mata Pek Kun-gie pudar dan sayu, wajahnya kosong dan termangu-mangu, ia mengangguk dan benar- benar berlalu dari sana.

Tiga dewi dari wilayah Biau jadi amat bangga mereka tak mengira hanya sepatah dua patah katanya telah mengalahkan Pek Kun-gie bahkan mengalahkan dirinya dalam keadaan yang mengenaskan sekali jauh lebih mengenaskan dari pada mati.

Pek Kue Gie berlalu beberapa langkah dari sana. Mendadak ia putar badan dun bertanya dengan bimbang,

“Apakah calon istrinya adalah Chin Wan-hong?”

“Kecuali Chin Wan-hong siapa lagi yang pantas mendamping Hoa kongcu….?” teriak Li-hoa Siancu.

“Aku sudah tahu, Giok Teng Hujin memang tidak pantas untuk mendampingi dirinya,” gumam Pek Kun-gie, tiba-tiba ia berkata kembali, “Apa Hoa Hujin menjodohkan mereka?”

Makin menyaksikan kejadian itu Ci-wi Siancu semakin kegirangan tak tahan ia berteriak keras, “Tentu saja Hoa Hujin sendiri yang menjodohkan pihak pria diwakili oleh Ciong Lian- khek sedangkan pihak wanita kami bertiga lah yang mewakili sedangkan Cu Im tasyu bertindak sebagai saksi, bukankah semuanya sudah komplit? masa engkau masih belum paham?”

Pek Kun-gie gelengkan kepalanya dan bergumam kembali, “Dengan apa yang kuduga, sedikitpun tidak meleset taysu itu adalah orang beribadah ia hanya bertindak sebagai saksi dan tidak pantas jadi mak comblang diri pihak perempuan memang kalian bertiga yang pantas sebagai wakil.”

Lan hoa siancu yang melihat kesemuanya itu segera berpikir didalam hati, “Pek Kun-gie cantik jelita bagaikan bidadari, setiap pria yang bertemu dengan dirinya pasti akan tertarik hatinya, persoalan ini menyangkut kebahagiaan hidup Hong ji selamanya daripada membinasakan perempuan she Pek ini sehingga mengikat tali permusuhan dengan pihak perkumpulan Sin-kie-pang lebih baik kubikin jengkel saja hatinya sehingga ia jadi gila dengan begitu akupun tak usah menanggung resiko musti mengikat tali permusuhan dengan orang….”

Berpikir sampai disini, ia segera mengambil keputusan dan dengan cepai ia sambar sebuah kantong kain yang tergantung dibalik baju yang dikenakan Chin Wan-hong.

Gadis she Chin itu jadi amat gelisah, sambil menangis serunya, “Toa suci, benda itu adalah….”

“Bocah cilik, kenapa sih musti ribut terus!” hardik Lan hoa siancu, ia segera berpaling dan teriaknya, “Pek Kun-gie, apakah engkau ingin melihat tanda mata apakah yang diberikan Hoa kongcu untuk Hong ji?”

Pek Kun-gie melenggak kemudian mengangguk. “Tentu saja saya ingin lhat!”

Lan boa siancu segera melemparkan bungkusan yang berhasil didapatkan dari dalam saku Chin Wan-hong itu ke arah depan, serunya, “Tanda mata itu berada dalam kantong kain itu lihatlah sendiri dengan jelas!”

Kantong itu kecil dan enteng sekali, Pek Kun-gie segera menerimanya dan merobek dengan menggunakan ujung jarinya, tetapi kan tong itu terbuat dari ulat sutera yang ada di wilayah Biau, sekalipun coba dirobek berulangkali ternyata usahanya gagal.

Sesudah bersusah payah akhirnya tutup kantong itu terbuka juga dan isi kantong tadipun muncul didepan mata.

Dalam sekenjap mata, wajah Pek Kun-gie yang pada dasarnya sudah pucat kini berubah jadi semakin pucat hingga menyerupai mayat, sepasang tangannya gemetar keras sementara sepasang giginya saling beradu dengan ketasnya.

Ternyata isi dalam kantong kain milik Chin Wan-hong itu bukan lain adalah tiga biji gigi yang kuning dan tiada sesuatu yang aneh, namun bagi pandangan Pek Kun-gie ketiga biji gigi itu justru telah menghancur luluhkan perasaan hatinya.

Keadaan seperti ini seketika menggetarkan perasaan hati tiga dewi dari wilayah Biau, Chin Wan-hong yang bersembunyi dibelakang tubuh ketiga orang suci nya pun mengucurkan air mata sambil tiada hentinya memanggil, “ Suci…. suci!”

Tiba-tiba…. Pek Kun-gie membuka sepasang matanya, dua titik butiran darah mengalir keluar membasahi pipinya.

Chin Wan-hong tak dapat menahan diri lagi, ia segera maju kedepan sambit teriaknya diiringi isak tangis, “Pek Kun-gie! engkau sedang dibohongi oleh suciku, Thian-hong sama sekali belum dijodohkan dengan diriku, ia belum dijodohkan dengan aku!”

Tetapi pikiran maupun perasaan hati Pek Kun-gie sudah kacau, ia sudah tak dapat menangkap maksud dari perkataan Chin Wan-hong lagi. sorot matanya hanya bisa memandang tempat kejauhan dengan pandangan kosong, sementara mulutnya bergumam terus, “Gigi ini adalah gigi milik Thian- hong…. gigi…. gigi itu milik…. milik Thian-hong, ketika ia berlutut di hadapanku…. aku…. akulah yang menghantam sampai rontok….”

Melihat air mata yang mengucur keluar dari balik mata Pek Kun-gie telah bercampur dengan darah, Chin Wan-hong semakin terperanjat hingga sambil menangis serunya, “Pek Kun-gie, benda itu bukan suatu tanda mata sebagai pengikat perkawinan kami, benda itu kusimpan sendiri tanpo diketahui oleh Thian-hong sendiri!”

Tetapi Pek Kun-gie tidak menggubris perkataannya lagi dengan suara yang kosong ia berseru, “Buat apa dia tinggalkan benda ini? dia…. dia…. ternyata ia masih amat membenci terhadap diriku ia telah menggunakan benda itu sebagai tanda mata pengikat tali perkawinan”

“Bukan…. bukan….” teriak Chin Wan-hong sambil menangis, “tempo hari ketika aku mengejar kereta kudamu, kalianlah yang membuang pakaian bercampur darah dari Thian-hong ketika kubuka pakaian itu, kulihat benda tersebut….”

Belum habis dia berkata, tiba-tiba Pek Kun-gie mendekatkan tangannya yang gemetar tiada hentinya itu kesisi bibirnya, kemudian memasukkan ketiga biji gigi tadi kedalam mulutnya dan ditelan kedalam perut. Suara gemeretak berbunyi keras, darah mengalir keluar membasahi bibir Pek Kun-gie, keadaannya mengenaskan sekali membuat siapapun yang menyaksikan merasa tidak tega.

Chin Wan-hong menangis tersedu, serunya, “Toa suci, Ji suci, Sam suci, carilah akal untuk menolong dirinya!”

“Hmm! siapa suruh dia mencari penyakit buat diri sendiri” kata Li-hoa Siancu sesudah berhasil menenangkan hatinya, “apakah gigi milik siau long bukanlah gigi manusia?”

“Hong ji!” ujar Ci-wi Siancu pula, “bukankah kalian seringkali menceritakan tentang bagaimana kejam serta ganasnya orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang? bukankah kalian sering bercerita tentang ketelengasan serta kejahatan mereka menindas kaum yang lemah? selama ini entah sudah berapi banyak kejahilan yang telah dilakukan oleh Pek Kun-gie….? Sudah sepantasnya kalau sekarang ia mendapat hukum karma serta pembalasan atas perbuatan- perbuatannya itu, kenapa engkau malah menggerutu terhadap kami?”

“Dia mencintai Hoa long! mungkin siau long pun mencintai dirinya….” bisik Chin Wan-hong dengan air mata bercucuran.

“Omong kosong!” hardik Li-hoa Siancu dengan gusar, “apakah engkau tidak mencintai Siau long? apakah engkau bersedia me-nyerahkan kembali siau long ketangan orang lain?”

Tiba-tiba tampaklah Pek Kun-gie merapatkan bibirnya dan menelan kehancuran gigi beserta darah itu kedalam perutnya, sinar mata nya pudar dan kepalanya tertunduk kebawah jurang seolah-olah sedang mencari sesuatu. Chin Wan-hong jadi amat terperanjat, segera teriaknya keras-keras, “Pek Kun-gie!”

Sambil berteriak, tubuhnya segera menerjang kedepan.

Dengan cepat Lan hoa sianca menyambar tangannya serta mencengkeramnya erat-erat, hardiknya, “Engkau cari mati? kesadarannya sudah kabur, dia dapat menyeret engkau untuk terjun kedalam jurang!”

Chin Wan-hong semakin gelisah air matanya jatuh berlinang makin deras, tiba-tiba ia berpaling dan teriaknya keras-keras, “Tiong Long, cepat undang kemari Siau long cepat!”

Harimau bisu Tiong Long tertegun dan untuk beberapa saat lamanya tak tahu apa yang barus dilakukan akhirnya ia putar badan siap berlalu dari sana.

Tiba-tiba harimau ompong Tiong Lo Poo cu membentak lirih, “Tak boleh pergi! biarkan perempuan rendah itu mati konyol!”

“Kentut busuk!” bentak Harimau pelarian Tiong Liau dengan gusar. “Engkau berani membangkang perintah nona?”

“Ploook!” dia hajar punggung putranya.

Tubuh Harimau bisu Tiong Long segera terpental sejauh beberapa tombak dan tempat semula, ia cepat-cepat merangkak bangun dan segera berlarian menuju ke arah depan,

“Kalau lari perlahan sedikit!” kembali harimau ompong Tiong Lo poo cu menghardik. Harimau bisu Tiong Long tak tahu apa yang musti dilakukan, beberapa langkah ia berlalu cepat beberapa langkah kemudian agak lambat kemudian beberapa tombak lagi ia berpaling kabelakang.

Tiba-tiba Pek Kun-gie mengurut dada sambil berteriak keras.

“Thian-hong….! ooouh, Thian-hong….! kenapa engkau begitu membenci akan diriku? engkau boleh pukul aku maki aku dan membinasakan diriku! janganglah membenci aku….”

Setelah berhenti sebentar gumannya kembali, “Kalian cepatlah melarikan diri! Thian-hong kalian cepatlah melarikan diri jangan menghadiri pertemuan Kian ciau tayhwee”

Mendengar seruan tersebut, sekujur badan Chin Wan-hong gemetar keras tanpa terasa ia berpaling ke arah belakang gunung sambil berteriak dengan suara lantang, “Thian-hong Thian-hong cepat datang kemari!”

Air muka Pek Kun-gie berubah jadi hijau membesi, tiba-tiba iapun membentak keras, “Jangan berteriak! jangan berteriak aku tak dapat berjumpa dengan dirinya!”

Sambil berteriak tubuhnya menerjang maju kedepan bagaikan seekor harimau betina yang terluka.

Ketika itu baik Chin Wan-hong maupun Biau-nia Sam-sian sama-sama berdiri berjejar di atas jembatan batu yang sempit, menyaksikan gadis itu menerjang maju kedepan dengan wajah menyeringai seram, mereka jadi amat terperanjat sekali. Karena takut kena ditumbuk sehingga bersama-sama jatuh kedalam jurang, tanpa terasa Biau-nia Sam-sian bersama- sama ayunkan telapak nya dan melancarkan satu babatan dari tempat kejauhan.

Ketika angin pukulan itu menggulung ke arah depan, teriak Pek Kun-gie yang serak hanya sempat berteriak sampai ditengah jalan, tubuhnya segera terjungkal diatas jembatan batu dimana obat Mi hun san ditaburkan dan tak dapat dicegah lagi tubuhnya segera terjatuh kedalam jurang.

Jurang itu dalamnya mencapai ratusan tombak dan sukar melihat dasarnya, setelah terjatuh kedalam jurang, tubuh Pek Kun-gie segera tertelan dibalik kegelapan, dari dasar jurang tak kedengaran sedikit suarapun.

Sedang Chin Wan-hong serta Biau-nia Sam-sian yang ada diatas jembatan batu berteriak kaget, dari arah lain berkumandang teriakan Oh Sam pelayan dari Pek Kun-gie sedang dari sebelahnya bergema ben takan dari Hoa Thian- hong.

Bluummm….! Bluuumm….! cahaya api berkilauan di angkasa dan bom udarapun berdentuman, cahaya warna- warni yang membentuk panji besar tersebar di angkasa membuat udara jadi terang benderang.

Hoa Thian-hong dengan gerakan tubuh yang enteng bagaikan segulung angin berkelebat datang serunya, “Hong ji, apa yang telah terjadi?”

Sementara itu Biau-nia serta Chin Wan-hong sudah berada diatas bukit sambil memandang kebawah jurang dan menangis terisak, Chin Wan-hong berseru, “Pek Kun-gie dia…. dia terjatuh kedalam jurang….” Hoa Thian-hong merasakan pandangan matanya jadi gelap dengan cepat ia berkelebat menuju ke arah jembatan batu itu.

Lin hoa siancu serta Li-hoa Siancu yang berada disampingnya menyambar pergelargan tangannya sambil berseru, “Diatas jembatan batu terdapat kabut sembilan bisa….”

“Aku mau turun kedasar jarang!” seru Hoa Thian-hong dengan suara gemetar, cepat ia merenggut kembali dari cekalan.

Tiba-tiba Hoa Hujin munculkan diri didepan mata, teriaknya dengaa suara tajam, “Jurang ini dalamnya seratus tombak dengan dinding yang tegak lurus, sekalipun malaikat juga tak dapat menuruninya, engkau jangan bertindak gegabah!”

Hoa Thian-hong merasa gelisah sekali, serunya dengan tegap.

“Ananda yakin masih bisa menuruni jurang ini…. jangan menghawatirirkan keselamatan jiwaku….”

Hoa Hujin mengerutkan dahinya, setelah termenung jawabnya dengan suara berat, “Baiklah, sebenarnya perbuatanmu tak ada gunanya tetapi agar engkau puas turunlah kebawah tapi kau harus berhati-hati!”

Buru-buru Hoa Thian-hong mengangguk dalam sekejap mata tubuhnya lenyap tak berbekas, Biau-nia Sam-sian serta Chin Wan-hong buru-buru menyusul ketepi jurang untuk mengikuti gerakan si anak muda itu.

Mendadak Hoa Hujin seakan-akan mendengar suara derap kaki manusia yang amat ramai, hal ini membuat hatinya amat terperanjat segera serunya kepada Biau-nia Sam-sian, “Nona bertiga, perketat penjagaan disekitar tempat ini, bagai- manapun juga malam ini jangan biarkan orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang berhasil menyerbu keatas jembatan batu tersebut”

Merdengar perkataan itu, Biau-nia Sam-sian segera bertindak cepat dan berdri diatas jembatan batu, setelah memeriksa keadaan disekelilingnya mereka mulai mendemonstrasikan kelihayan dari Kiu-tok Sianci.

Dalam pada itu, Hoa Thian-hong yang melompat turun kedalam jurang, dengan mengandalkan hawa murninya yang panjang dan sempurna, perlahan-lahan ia merambat turun kebawah.

Jurang itu dalamnya ratusan tombak, dinding tebing tegak lurus dan keadaan medan amat berbahaya, bagi Hoa Hujin yang memiliki tenaga dalam amat sempurna pun belum tentu mampu untuk menuruni jurang itu.

Akan tetapi Hoa Thian-hong secara beruntun telah menemukan kejadian aneh, mula-mula dia makan Teratai racun empedu api ke mudian makan Leng-ci berusia seribu tahun, hal ini membuat hawa murninya semakin panjang dan tubuhnya enteng bagaikan burung walet.

Ketika tubuhnya sudah meluncur tiga empat puluh tombak jauhnya kedalam jurang, tiba-tiba daya luncurnya kian lama kian bertambah cepat, menyaksikan gelagat kurang menguntungkan buru-buru ia berjumpalitan ditengah udara kemudian lancarkan satu babatan keatas tebing.

Menggunakan daya pantul yang dihasilkan karena pukulannya itu, pemuda she Hoa tersebut segera mengepos tenaga serta memperlambat gerakan luncurnya kebawah, kejadian itu diulangi sampai dua kali. Suatu ketika mendadak pandangan matanya jadi kabur, kecepatan daya luncur badannya kebawah jurang pun tak terkendalikan lagi.

Untung dari arah bawah ia mendengar suara percikan air, buru-buru tubuhnya berjumpalitan kembali beberapa kali sebelum tubuhnya mencapai permukaan tanah, ia lancarkan pukulan dahsyat dahulu ke arah bawah, dengan daya pantul itu ia berhasil mengurangi kecepatan daya luncur tubuhnya hingga kemudian Bluuum! badannya berhasil mendarat diatas dasar jurang.

Bantingan ini cukup keras, membuat pemuda itu mendengus berat dan pandangan matanya berkunang- kunang, tulang disekujur badannya linu dan sakit, pakaiannya menjadi compang-camping sedangkan kakinya terluka.

“Kun Gie….!”

“Kun Gie….!” sekali lagi Hoa Thian-hong berteriak keras.

Sorot cahaya rembulan yang redup memancar diatas dasar jurang itu, membuat suasana disana dapat dilihat secara samar-samar, batu cadas berserakan di mana-mana, air mengalir tenang dan suasana sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarupun.

Dalam air mencapai batas lutut, Hoa Thian-hong yang separoh badannya terendam dalam air jadi amat gelisah ketika mendengar suara teriakan sama sekali tak mendapat jawaban, ia segera loncat bangun dan lari menuju kebawah jembatan batu untuk mencari jenasah dari Pek Kun-gie.

oooOooo 46

PEMUDA itu berlarian mengelilingi seluruh daerah diatas jembatan batu itu kemudian balik lagi ketempat semula, namun bayangan tubuh Pek Kun-gie sama sekali tak terlihat, hal ini membuat dia jadi tercengang dan tak habis mengerti.

“Kun-gie….!” kembali teriaknya.

Tiba-tiba sesosok bayangan manusia muncul dibelakang tubuhnya, dengan nada suara yang hambar dan sama sekali tidak membawa perasaan apapun menjawab dengan lirih, “Pek Kun-gie telah mati, siapapun tak dapat memanggilnya lagi…. dan dia pun tak dapat mendengar suara panggilanmu lagi!”

Sekujur badan Hoa Thian-hong gemetar keras, tiba-tiba ia putar badan dan menengok ke arah orang yang berbicara itu.

Dibawah sorot cahaya rembulan, tampaklah seorang rahib berpotongan badan ramping berbaju warna hijau dan memakai cadar kain hitam diatas wajahnya, berdiri angker diatas sebuah batu besar, dalam bopongannya menggendong tubuh seorang gadis dia bukan lain adalah Pek Kun-gie yang terjatuh kedalam jurang.

Karena rahib itu memakai kain cadar, maka sulitlah untuk diperkirakan masih muda atau sudah tua, ditinjau dan suaranya yang merdu dan rambutnya yang hitam pekat semestinya dia adalah seorang yang masih muda namun kalau dilihat kewibawaan serta keagungannya menunjukkan kalau orang itu sudah punya umur.

Rasa sedih, menyesal, gugup dan pedih bercampur aduk jadi satu dalam hati kecil Hoa Thian-hong, setelah tertegun sebentar ia tu ding tubuh Pek Kun-gie yang berada dalam bopongan rahib itu dan bertanya dengan suara gemetar, “Sian koh, nona Pek…., dia….”

Titik air mata berlinang membasahi pipi rahib bercadar kain hitam itu, dia mengangguk dan menjawab lirih, “Sejak jaman dahulu gadis cantik bagaikan panglima perang, jarang sekali ada yang bisa hidup hingga akhir tua…. aaaai!” ia menghela napas panjang suaranya lirih dan lemah terdengarlah betapa pedihnya hati orang itu.

Hoa Thian-hong merasa amat sedih sekali, air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya, tiba-tiba ia saksikan wajah Pek Kun-gie yang pucat pias bagaikan mayat, darah kental masih menodahi bibirnya, dengan penasaan hati seperti diiris- iris, ia menubruk kedepan.

Rahib berpakaian cadar hitam ini segera mengegos kesamping dan melayang mundur beberapa rombak kebelakang serunya dengan gemetar, “Yang sudah mati yaa sudahlah, engkau mau berbuat apa?”

Hoa Thian-hong tertegun, dengan air mata berlinang sahutnya, “Aku….”

Mendadak ia teringat kembali akan sebatang Leng-ci yang masih tertinggal dalam sakunya, dengan cepat kotak kumala itu diambil keluar dan berkata, “Aku mempunyai sebatang Leng-ci berusia seribu tahun, kasiatnya dapat menghidupkan kembali mereka yang telah mati….”

Tidak menunggu pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, rahib bercadar kain bitam itu sudah menukas sambil gelengkan kepalanya.

“Dikoloog langit tiada obat mujarab yang dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati, nyawa Pek Kun-gie sudah melaoyang tinggalkan raganya, sekalipun ada Leng-ci berusia sepuluh laksa tahun, jiwanya juga tak dapat diselamatkan lagi”

“Meskipun demikian, aku hendak berusaha dengan segala kemampuan yang kumiliki!”

Rahib berkain cadar hitam itu kembali gelengkan kepalanya berulang kali, tukasnya, “Percuma…. sekalipun engkau berhasil selamatkan jiwa Pek Kun-gie, apa yang hendak kau lakukan selanjutnya?”

Mula-mula Hoa Thian-hong agak tertegun, kemudian dengan perasaan tak senang hati menjawab, “Perkataan sian koh! mengandung arti yang sangat dalam seakan-akan engkau telah mengetahui akan hubungan budi serta dendam antara aku dengan Pek Kun-gie?”

“Persoalan itu sudah tersebar luas diseluruh kolong langit, setiap jago dalam persilatan telah mengetahuinya, tentu saja pin ni juga mengetahui akan masalah ini!”

“Bolehkah aku mengetahui sebutan sian koh dan apa pula hubunganmu dengan Pek Kun-gie?” tegur Hoa Thian-hong dengan sepasang alis mata berkenyit.

“Sudah lama tidak kupergunakan lagi namaku, maka engkaupun tak usah tahu siapakah aku, dengan Pek Kun-gie bukan sanak bukan keluarga, tiada hubungan apa-apa yang bisa dibicarakan diantara kami berdua”

Diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat gusar sekali mendengar jawaban tersebut, pikirnya, “Bukan sanak bukan keluarga, kenapa engkau harus mencampuri urusan orang lain?” Sementara itu Rahib bercadar hitam itu telah berkata kembali dengan nada dingin, “Pek Kun-gie menjadi korban karena cinta, pinni merasa kasihan terhadap nasibnya yang buruk itu, maka aku berhasrat untuk carikan sebuah tempat yang indah panoramanya umuk mengubur jenasahnya disana, agar muda mudi di kolong langit dapat mengetahui serta berjiarah pula kedepan kuburannya”

“Hehh…. heeeh…. heeeh…. sian koa benar-benar seorang manusia yang suka mencampuri urusan orang lain” sindir Hoa Thian-hong sambil tertawa dingin, “jikalau Pek Siau-thian mengetahui akan persoalan ini, dia pasti akan berterima kasih kepadamu, dan seandainya sukma Pek Kun-gie dialam baka mengetahui akan hal ini, dia pun akan ikut tersenyum kerena gembira”

Rahib bercadar hitam itu sama sekali tidak menggubris atas sindiran tersebut, kembali ujarnya lebih jauh, “Pek Kun-gie adalah seorang gadis suci yang belum pernah dikawini orang, kalau memang engkau tidak menaruh perasaan cinta terhadap dirinya, buat apa kau sentuh jenasahnya sehingga membuat sukmanya di alam baka menjadi tak tenang?”

Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Cuma saja, kalau engkau bersedia untuk mengakui bahwa kau mencintai dirinya maka pin ni akan serahkan jenasahnya kepada mu dan terserah apa yang hendak kau lakukan terhadap dirinya”

Beberapa patah kata itu sungguh jauh di luar dugaan Hoa Thian-hong, sebagai seorang pemuda yang jujur dan berjiwa lelaki meskipun terhadap orang yang sudah mati namun ia tak bersedia bicara sembarangan.

Karenanya setelah mendengar perkataan dari Too koh tersebut, buhungan budi dan dendam antara dia dengan Pek Kun-gie segera berkecamuk kembali didalam benaknya, ia merasa tidak sepantasnya kalau ia korbankan kepentingan umum demi menjalin hubungan cinta kasih dengan Pek Kun- gie, lagi pula seandainya ia sampai menjalin hubungan kasih dengan gadis tersebut bagaimana penyelesaiannya dengan diri Chin Wan-hong.

Hubungan yang rumit serta seluk beluk persoalan yang kacau balau membuat Hoa Thian-hong jadi Kebingungan dan tak tahu apa yang musti diucapkan keluar pada waktu itu.

Ketika ditunggunya beberapa waktu namun pemuda itu belum juga bersedia untuk menjawab.

Too koh atau rahib bercadar kain hitam itu menghela napas panjang lalu berkata, “Sejak dulu sampai sekarang cinta yang berpihak memang tidak mendatangkan kebahagiaan, dalam peristiwa ini aku tak dapat menyalahkan dirimu!”

Habis berkata, ia putar badan kemudian dengan membopong jenasah dari Pek Kun-gie segera berlalu dari situ.

Hoa Thian-hong yang menyaksikan kejadian itu tiba-tiba merasakan kehilangan sesuatu, dengan air mata jatuh berlinang segera ben taknya dengan keras, “Berhenti!!”

Mendengar bentakan itu, sang rahib bercadar hitam hentikan langkah kakinya kemudian seraya berpaling ia berkata, “Apa yang hendak kau katakan?”

“Apakah engkau anak buah dari perkumpulan Sin-kie- pang?”

“Boleh dibilang begitu boleh juga dibilang tidak!” jawab Too koh bercadar hitam itu hambar. Hoa Thian-hong jadi amat gusar, serunya, “Mula-mula pertama tadi engkau mengatakan bahwa antara dirimu dengan Pek Kun-gie sama sekali tak ada hubungan sanak ataupun kelu arga dan sama sekali tidak kenal satu sama lainnya sekarang engkau mengakui bahwa dirimu lain adalah anggota dan perkumpulan Sin-kie-pang, bicara mencla-mencle sebenarnya mana yang benar?”

Bicara sampai kesitu, dari atas jurang berkumandang datang suara bentakaa keras yang terdengar samar-samar, baik Hoa Thian-hong ma upun too koh bercadar hitam itu sama-sama menengadah keatas.

Tiba-tiba terdengarlah suara teriakan keras bergema datang, “Kun ji….! Kun Gi….!”

Kian lama suara itu kian mendekat hingga menggema diseluruh jurang tersebut.

Dengan pandangan dingin, too koh bercadar hitam itu melirik sekejap ke arah Hoa Thian-hong kemudian ujarnya, Pek Siau-thian telah turun kebawah tebing, kalau engkau ingin hidup dengan selamat maka hal ini lebih sukar daripada mendaki keatas langit….!”

Selesai berkata, dengan mengikuti dasar jurang tersebut ia segera berkelebat menuju ke arah utara.

Hoa Thian-hong jadi gelisah bercampur gusar, ia ikut mengejar dari belakang sambil bentaknya, “Cepat letakan jerasah itu diatas tanah, kalau tidak jangan salahkan aku tak akan bertindak sungkan-sungkan terhadap dirimu!”

“Hmmm! pada dasarnya engkau memang seorang lelaki tak kenal budi, seorang lelaki yang tak bertanggung jawab kenapa engkau musti sungkan terhadap diriku?” Tiba-tiba terdengar Pek Siau-thian dengan suara yang penuh emosi berkumandang datang.

“Hoa Thian-hong! engkau berada dimana?”

Walaupun Hoa Thian Hoag mengetahui bahwa Pek Siau- thian masih berada diatas tebing namun mendengar suara tersebut seakan-akan berkumandang datang dari punggungnya, ia jadi amat gelisah tanpa terasa serunya kepada too koh bercadar hitam itu, “Kalau jenasah tersebut tidak kau letakan diatas tanah, aku orang she Hoa segera akan turun tangan”

“Jenasah Pek Kun-gie sudah sewajarnya di selesaikan oleh orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang sendiri, apa sangkut pautnya urusan itu dengan dirimu?”

Sementara pembicaraan masih berlangsung, kedua belah pihak sama sekali tidak meng-hentikan gerakan tubuhnya, laksana sambaran kilat meresa saling menjejar satu sama lainnya.

Diam-diam kedua belah pihak sama-sama merasa terperanjat, mereka tidak mengira kalau gerakan tubah lawannya ternyata begitu cepat sehingga hampir melampui kemampuan sendiri.

“Benarkah di kolong langit terdapat banyak sekali jago lihay?” pikir Hoa Thian-hong dalam hati kecilnya.

Sementara ia masih berpikir, desiran angin tajam sudah menyambar datang, tiba-tiba si anak muda itu berkelebat dua langkah lebih ke depan, jari tangannya bagaikan tombak langsung menotok jalan darah Leng tay hiat di atas punggung too koh bercadar hitam itu” Tak kala merasakan datangnya acaman yang begitu tajam dari pihak lawan, too koh bercadar hitam itu merasa terperanjat, segera pikirnya, “Sungguh lihay! ia tak malu menjadi sukma dari kaum pendekar dari kalangan lurus….”

Berpikir sampai disini, dengan menempuh bahaya dia membiarkan totokan tersebut mengancam tubuhnya, sedang dia sendiri sama sekali tidak menggubris ataupun memperdulikan.

Serangan kilat yang dilancarkan Hoa Thian-hong nampaknya sebentar lagi bakal bersarang diatas tubuh too koh bercadas hitam itu akan tetapi pemudu itu buru-buru menarik kembali ancamannya ketika menyaksikan pihak lawan sama sekali tiada maksud untuk menghindar, serunya dengan gusar, “Aku orang she Hoa tidak ingin melukai orang dari belakang, kalau engkau masih saja tak tahu diri, jangan salahkan kalau aku tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu!”

Melihat pemuda itu batalkan serangannya, Too koh bercadar hitam itu kembali berpikir dalam hati kecilnya, “Hoa Goan-siu dapat memiliki seorang bocah segagah ini…. sekalipun mati, ia tak akan menyesa. Aaai…. sayang sekali Kun ji tidak mempunyai rejeki sebaik ini….”

Berpikir sampai disitu, dengan suara dingin ia segera berseru, “Kalau engkau benar-benar ingin bertempur mari kita cari suatu tempat terpencil yang jauh dari keramaian dunia, mari kita bertempur sepenuh tenaga seindainya engkau mampu menangkan diriku maka jenasah diri Pek Kun-gie boleh kau ambil.”

“Aaah! jelaslah sudah kalau Too koh ini adalah seorang anggota perkumpulan Sin-kie-pang, dengan kematian Pek Kun-gie secara mengenaskan, Pek Siau-thian pasti akan gusar bercampur sedih, dalam dendamnya ia tak akan mengampuni jiwaku, andaikata kedua orang ini sampai bekerja sama, jelaslah sudah bahwa aku bukan tandingannya lagi….”

Berpikir sampai disini, ia segera mengambil keputusan untuk menguntit terus dibelakang tubuh Too koh bercadar hitam itu dan sedikitpun tidak mengendorkan pengejarannya.

Rupanya Too koj bercadar hitam itu hafal sekali dengan keadaan medan dalam jurang tersebut, dengan kecepatan bagaikan sambaran kilati ia bergerak terus menuju ke depan, sedangkan Hoa Thian-hong bagaikan sukma gentayangan membuntuti dibelakangnya.

Setelah berlarian kurang lebih setengah jam lamanya, keadaan tanah kian lama kian bertambah tinggi tanpa terasa mereka sudah tinggalkan dasar jurang dan berlarian mendaki keatas sebuah punggung bukit.

Pada waktu itu rembulan sudah tenggelam diarah barat, suasana disekitar bukit itu sunnyi sepi dan gelap tak bercahaya, ketika Hoa Thian-hong masih menguntil dengan kencangnya dibelakang tubuh Too koh bercadar hitam itu, tiba-tiba terdengar rahib tersebut mem bentak keras, “Hati hati….!”

Hoa Thian-hong terkesiap, tampaklah tubuh rahib itu bagaikan seekor kera dengan lincahnya meloncat naik kesebuah bukit, buru-buru ia pertajam pandangan matanya, setelah mengincar tempat berpinjak tempat yang dipergunakan rahib itu ia segera menyusul dari belakangnya.

Seandainya pada waktu itu ada orang menyaksikan tingkah laku dari mereka berdua maka orang itu akan terkesiap dan kaget. Hoa Thian-hong sendiri sama sekali tidak menyadari kalau ia berada dalam keadaan bahaya, ia melompat dan melompat terus mem buntuti dibelakang rahib tersebut, kurang lebih setengah jam kemudian mereka sudah mencapai diatas sebuah bukit yang tinggi dan Too koh bercadar hitam itupun segera menghentikan langkah kakinya.

Dengan cepat Too koh bercadar hitam itu membaringkan jenasah Pek Kun-gie diatas tanah, kemudian sesudah mengatur pernafasan perlahan-laha maju kedepan.

Hoa Thian-hong sendiri sambil menyeka keringat yang membasahi keningnya, ia awasi sebentar suasana disekeliling tempat itu ketika dilihatnya Too koh bercadar hitam iiu sudah membaringkan tubuh Pek Kun-gie ke atas tanah ia segera menerjang maju kedepan.

Terlihatlah Pek Kun-gie memejamkan matanya rapat-rapat, wajahnya pucat pias bagaikan mayat, nafasnya sudah berhenti dan sekujur ba dannya jadi dingin dan kaku, rupanya gadis itu benar-benar sudah putus nyawa.

Hoa Thian-hong sendiri sebenarnya adalah seorang pemuda yang romantis, akan tetapi berhubung pendidikan rumah tangganya amat ketat maka sejak kecil ia sudah terdidik untuk bisa menguasai perasaan sendiri.

Ketika Pek Kun-gie memperlihatkan rasa cintanya yang mendalam, dia sendiripun tertarik hatinya pada gadis itu, apa lacur dendam kesumat yang tertanam antara golongan putih dan golongan hitam sudah terlalu mendalam hingga ibaratnya api dan air.

Sebagai seorang pemuda yang bercita-cita untuk mewujudkan pesan terakhir dari mendiang ayahnya yakni membasmi kaum iblis serta menyelamatkan umat persilatan dari badai pembunuaan membuat ia harus mengeraskan hati serta mengabaikan rasa cinta gadis she Pek itu.

Sebaliknya kini setelah orang yang dihadapannya telah berubah jadi mayat, pelbagai rasa sedih, cinta dan aneka ragam perasaan lainnya segera berkecambuk jadi satu membuat ia jadi amat terharu dan air mata jatuh bercucuran dengan derasnya.

Diam-diam ia berdoa, “Oooooh….! Kun Gie orang yang sudah mati tak akan terikat oleh dendam andaikata diantata kita terdapat dendam atau sakit hati kesemuanya itu telah terhapus sampai disini saja, kalau selama ini aku telah mengabaikan dirimu, hal ini kulakukan karena keadaan terpaksa kalau engkau benar-benar mencictai aku semestinya engkau da pat memahami keadaanku serta memaafkan kesalahanku itu….”

Mendadak terdengar suara dari Too koh bercadar itu berkumandang datang.

“Tiga depa dari hadapanmu ada Sin leng, kalau engkau berpura-pura menyatakan cinta dihadapan orang yang telah mati maka suatu ketika engkau akan mendapat ganjaran yang setimpal!”

Mendengar perkataan itu, Hoa Thian-hong merasa amat gusar ia segera menengadah dan berseru, “Menyindir orang tanpa bukti Sian koh! apakah engkau tidak merasa bahwa caramu itu terlalu kejam?”

“Tidak berbudi, perasaan beku! apakah pin ni tak boleh mendongkol terhadap manusia seperti itu!” Hoa Thian-hong benar-benar merasa amat gusar sambil membopong jenasah Pek Kun-gie, ia bangkit berdiri lalu memandang sekejap sekeliling tempat itu untuk mencari tempat yang baik untuk menyimpan jenasah Pek Kun-gie, kemudian baru berusaha untuk mengusir Too koh bercadar hitam itu.

Tiba-tiba sorot matanya terbentur dengan sebuah kuburan kecil tiada jauh dihadapannya, didepan kuburan berdirilah sebuah batu per ingatan, baik batu nisan maupun batu peringatan nampak antik sekali dan agaknya sudah berusia ratusan tahun.

Hoa Thian-hong tertegun ia segera berkelebat kehadapan kuburan itu, ia temukan di atas batu peringatan terukir tiga hurup besar yang terdiri dari rangkaian hurup kuno dan berbunyi demikian, Kuburan pemendam pedang!

Dalam pada itu, dengan suara dingin Too koh bercadar hitam itu telah berkata dengan suara dingin, Hoa Thian-hong, andaikata engkau merasa tidak yakin untuk menangkan diriku, cepat lepaskan jenasah Pek Kun-gie dari bopongan mu dan segera mengundurkan diri dari puncak ini, memandang diatas rasa cinta yang pernah diberikan Pek Kun-gie kepadamu, aku tak akan melukai selembar jiwamu.

Hoa Thian-hong mengerutkan sepasang alis matanya yang tebal sebelum bibirnya sempat membantah matanya yang tajam telah menyapu sekejap disekeliling tempat itu ternyata dimana ia berdiri pada saat ini adalah sebuah puncak gunung yang tinggi menjulang ke angkasa, sekeliling puncak itu merupakan rentetan pegunungan yang tinggi, kabut tebal menyelimuti hampir seluruh permukaan tanah.

la sendiri tak tahu bigaimana caranya hingga dirinya berada diatas puncak bukit yang begitu tinggi, setelah mengetahui jelas keadaan disekelilingnya ia merasa bergidik dan bulu kuduknya pada bangun berdiri, dipandangnya sekejap wajah Pek Kun-gie yang pucat pias itu tampaklah gadis itu semakin putih mukanya hingga menyerupai kertas.

Agaknya Too koh bercadar hitam itu sudah tak sabar untuk menanti lebih lama lagi, sambil kebaskan senjata hud tim ia berseru, “Hoa Thim Hong, engkau yang akan pergi dari sini atau pin ni yang harus tinggalkan tempat ini, ayoh cepat ambil keputusan.”

“Engkau yang pergi!” bentak Hoa Thian-hong dengan gusar.

Too koh bercadar hitam itu mendengus dingin badannya melayang maju kedepan dan….

Sreet!! senjata hud tim nya menyapu kemuka.

Hoa Thian-hong semakin mendongkol menyaksikan datangnya ancaman dari lawan, dengan cepat ia loncat bangun dari atas tanah telapak kirinya menghajar senjata musuh sedangkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya menotok kedepan.

Terdengar desiran tajam yang amat memekikkan telinga disertai segulung angin serangan yang maha dahsyat, laksana kilat cepatnya menerobos kedepan mengancam jalan darah sian ki hiat ditubuh Too koh bercadar hitam itu, begitu dahsyat serangannya hingga sangat mengejutkan hati orang.

Diam-diam Too koh becadar itu merasa amat terperanjat, buru-buru ia berubah jurus senjata Hud tim nya balik menyerang pergelangan ta ngan musuh sementara telapak kirinya melancarkan satu pukulan berhawa lunak yang hebat menghantam dada si anak muda itu. “Sungguh lihay Too koh ini,” pikir Hoa Thian-hong dengan kaget, “jurus demi jurus serangan yang dilancarkan Too koh ini penuh berisi tenaga, jelas dia adalah seorang jago kenamaan, mungkinkah dalam perkumpulan Sin-kie-pang benar-benar terdapat bagitu banyak jago kenamaan?”

Berpikir sampai disitu, tubuhnya segera menerjang maju kedepan secara beruntun dia lancarkan delapan buah pukulan dan kesemuanya merupakan satu jurus yang sama yakni jurus Kun-siu-ci-tauw.

Delapan buah serangan tersebut ibaratnya gulungan air sungai Tiang kang yang tiada berputusan, seandainya musuh yang dihadapi bukan seorang tokoh persilatan yang ampuh, tak mungkin akan mampu urtuk menghadapi datangnya ancaman tersebut.

Too koh bercadar hitam itu sendiri, dengan sebilah senjata hud tim nya yang maha dahsyat, terutama sekali kepandaian Liu in bui siu atau awan mengalir ujung baju beterbangan merupakan kepandaian terampuh di kolong langit kendatipun pada mula-mulanya masih bisa bertahan dengan seenaknya namun lama kelamaan dia harus menghadapi nya dengan sepenuh tenaga dan sedikitpun tidak berani berayal.

Selelah berhasil memunahkan delapan buah serangan tersebut, diam diam too koh bercadar hitam itu menghembuskan napas lega, menggunakan kesenpatan itu ia lancarkan serangan balasan.

“Hoa Thian-hong!” serunya sambil tertawa dingin, “mengapa engkau tidak cabut keluar pedangmu?” “Bertempur dengan tangan kosongpun belum tentu engkau mampu untuk mempertahankan diri!” jawab Hoa Thian-hong angkuh.

“Hmmm! bicara takabur dan pandai omong besar, engkau benar-benar seorang manusia yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi!“

“Hmm! kalau memang begitu, cobalah terima pukulanku ini!” hardik Hoa Thian-hong dengan gusar.

Dari posisi Tiong kiong ia bergerak menuju kepintu hong bun dengan jari tangan menggantikan pedang, sebuah totokan maut dengan ilmu menyerang sampai mati segera dilepaskan.

“Bocah tak tahu diri, engkau memang benar-benar kurang ajar….!” maki Too koh itu dengan gusar.

Tubuhnya berkelebat kesamping, telapak kirinya dengan jurus Toa mo hui sah atau pasir beterbangan ditengah gurun melancarkan sebuah gulungan maut kedepan, sementara hud tim ditangan kanannya berputar membabat wajah lawannya.

Ketika dalam gerakan menyambar gagang hud tim mengurat dan tiba-tiba mengancam urat nadi pada pergelangan Hoa Thian-hong dalam satu jurus tersembunyi tiga gerakan yang penuh dengan nafsu membunuh, serangan tersebut betul-betul mengerikan sekali.

Diam-diam Hoa Thian-hong merasa terkesiap, satu ingatan segera berkelebat dalam benaknya, dia merasa bahwa gerakan tubuh Too koh berkeruedurg hitam ini seperti pernah dikenal dan dilihatnya disuatu tempat. Tiba-tiba terdengar Too koh bercadar hitam berseru dingin, “Hoa Thian-hong apabila engkau mampu mempertahankan diri terhadap seranganku dengan jurus In mao sam wu atau mega menari-nari, pin ni akan tunduk seratus persen dan segera mengundurkan diri dari tempat ini.”

Secara tiba-tiba Hoa Thian-hong telah menyadari bahwa gerakan tubuh Too koh tersebut mirip sekali dengan seseorang dan tanpa terasa diapun teringat akan seseorang yang lain.

Dengan keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya pemuda itu segera meloncat mundur kebelakang, serunya dengan gelisah, “Cianpwee harap tunggu sebentar, aku ada perkataan hendak kusampaikan padamu!”

“Manusia yang telah mati tak dapat hidup kembali, bicara omong kosong apa gunanya” sahut Too koh bercadar hitam dengan sinis.

Senjata hud tim nya dikebaskan ke arah depan, cahaya hijau segera tersebar keempat penjuru beratus-ratus lembar bulu Hud tim yang menyebar kebawah, serentak mengancam jalan darah penting diseluruh badan lawannya.

Hoa Thian-hong terkejut bercampur cemas, dalam waktu singkat pelbagi ingatan berkelebat dalam benaknya bagaimanapun juga ia tak berani melancarkan serangan balasan, dalam keadaan yang amat kritis sekuat tenaga badannya loncat mundur kebelakang.

Menyaksikan serangannya tidak mengenai sasaran, Too koh bercadar hitam itu segera mengejar kedepan, senjata Hud tim nya sekali lagi menyerang kemuka bentaknya dengan gusar, “Mengapa engkau tidak lancarkan serangan balasan?” “Menteri setia pendekar sejati, anak berbakti cucu budiman….” sahut Hoa Thian-hong sambil menyusup kesamping dan sekali lagi meloloskan diri dari ancaman kedua.

Too koh bercadar hitam itu merasa amat terharu akan tetapi diluar sama sekali tidak mengendorkan pengejaranya, sambil mendesak maju kedepan serunya sambil tertawa dingin, “Hoa Thian-hong engkau menghormati pin ni sebagai apa?”

“Aku menghormati cianpwee sebagai pendekar sejati….” jawab si anak muda itu dengan gelisah.

Belum habis dia berkata, Too koh bercadar hitam itu mendengus dingin senjata Hud timnya dikibaskan kemuka dan untuk ketiga kalinya dia melancarkan sebuah serangan kilat.

Hoa Thian-hong merasa amat gelisah pikirnya, “Sudah sewajarnya kalau dia merasa sedih karena menyaksikan darah dagingnya mengalami musibah, baiklah! akan kusambut sebuah serangannya agar rasa mangkel dan mendongkolnya yang berkecambuk dalam dadanya bisa keluar….”

Berpikir sampai disini, ia segera salurkan hawa murninya keseluruh badan terutama sekali disekitar punggungnya kemudian dengan cepat maju kedepan.

Ketika pemuda itu berkelebat ke arah sisi kiri, Too koh bercadar hitam itu merasa curiga bercampur sangsi akan tetapi anak panah sudah ada dibusur mau tak mau harus dilepaskan juga.

Sambil membentak keras, senjata hud timnya segera dibabat ke arah bawah dengan amat dahsyat. “Aduuuh….! Hoa Thian-hong mendengus dingin, belasan jalur luka yang mengucurkan darah segar muncul diatas punggungnya, daging merekah dan keadaannya mengerikan sekali, tubuhnya segera terlempar hingga mencapai sejauh dua tombak dari tempat semula.

Tertegun hati Too koh bercadar hitam itu menyaksikan kejadian tersebut, dengan cepat ia membopong maju Pek Kun-gie kemudian kabur turun bukit dan sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan

Hoa Thian-hong berdiri termangu-mangu, beberapa saat kemudian ia menghela napas panjang dan bergumam seorang diri, “Ataai….! manusia yang telah mati tak bakal hidup kembali, bicara kosong apa gunanya?”

Untuk beberapa saat lamanya karena murung, pemuda itu telah melupakan rasa sakit diatas punggungnya.

Baru saja dia akan menuruni bukit itu untuk kembali pada ibunya, mendadak pemuda itu teringat kembali akan kuburan pemegang pedang, segera pikirnya, “Dalam dunia persilatan memang sering kali terdapat manusia yang berwatak aneh dan suka menyendiri, orang itu menggunakan kuburan untuk memendam pedangnya, aku rasa dia pastilah seorang manusia yang luar biasa.

Perlahan-lahan ia dekati kuburan tersebut, ketika diperiksa dengan seksama mendadak di-temuinya bahwa kuburan pemegang pedang sudah pernah dibongkar orang bahkan kalau ditinjau dari keadaan disekeliling tempat itu jelas pembongkaran itu terjadi belum lama berselang.

Diam-diam segera pikirnya, “Orang persilatan kebanyakan pada menyukai senjata tajam apa lagi kuburan pemendam pedang ini tiada pemilik, tidak aneh kalau tempat seperti ini paling sudah memancing kedatangannya orang tapi batu peringatan itu sudah kuno dan hurufnya sudah kabur semestinya usia kuburan ini sudah mencapai dua tiga ratus tahun lamanya, pedang didalam kuburan ini semestinya sedari dulu sudah diambil orang kenapa belakangan ini masih nampak juga bekas-bekas digali?”

Berpikir sampai disini, timbullah perasaan ingin tahu dalam hati kecilnya, ia meyingkirkan batu besar diatas kuburan itu dan segera ditelitinya dengan seksama.

Luas kuburan pemendam pedang itu hanya empat depa, lapisan kuburan terdiri dari petak-petak batu persegi empat, berhubung tempat itu pernah digali orang maka sewaktu menyingkirkan petak-petak batu itu dapat dilakukan dengan mudah sekali, dalam waktu singkat seluruh lapisan kuburan bagian depan sudah terbongkar hingga muncullah sebuah papan batu cadas yang berbentuk panjang.

Diam-diam Hoa Thian-hong berpikir didalam hatinya, “Meskipun kuburan ini kecil akan tetapi bangunannya megah sekali, nampaknya kuburan ini adalah kuburan orang kaya….”

Dalam hati masih berpikir, tangannya telah bekerja membongkar lapisan batu cadas tersebut.

Dibawah lapisan batu itu merupakan sebuah liang kosong berbentuk panjang, pada lapisan liang itu membujurlah sebuah lapisan batu lain yang panjangnya tiga depa dengan luas beberapa depa diatas lapisan itu terukirlah hurup-hurup lembut yang amat rapat kecuali itu tiada benda lainnya lagi.

Waktu itu fajar baru saja menyingsing di ufuk disebelah timur, dengan mata yang tajam Hoa Thian-hong mengamati tulisan itu terbacalah tulisan itu berbunyi demikian, “Setelah tamat belajar ilmu aku terjun kedunia persilatan dengan andalkan sebilah pedang yang berat!”

Hoa Thian-hong terperanjat sambil meraba pedang baja yang tergantung dipinggangnya, ia berpikir, “Mungkinkah pedang baja yang dimaksud adalah pedang bajaku ini….

Ia membaca tulisan itu lebih jauh, “Berkat perlindungan dari perguruan, semuanya berjalan lancar dan berjalan sepuluh tahun nama besarku telah tersohor diseluruh kolong langit dalam usia semuda ini tentu saja hasil itu membuat hatiku sangat gembira…. tapi sayang suatu ketika karena kurang ber hati-hati aku telah salah membunuh seorang pendekar sejati, hasil jerih payahku selama sepuluh tahun punah dan hancur dalam sehari dalam malu dan putus asa, kupendam pedang bajaku, mengasingkan diri dan tak bersedia membicarakan soal ilmu silat lagi….”

Membaca sampai disini Hoa Thian-hong menghela napas panjang, pikirnya, “Seringkali orang menang silat dan lupa daratan memang akibatnya adalah penyesalan yang tiada akhirnya….”

Kemudian pemuda itu teruskan kembali pembacaannya, “Dalam ketenangan, timbullah satu ingatan dalam benakku, aku berhasrat munculkan diri kembali dalam dunia persilatan, aku berusaha berbuat amal dan kebajikan untuk menebus kesalahan yang pernah kulakukan dimasa lampau, puluhan tahun telah berlalu bagaikan sehari.

Timbul perasaan kagum dan hormat dalam hati Hoa Thian- hong dengan semangat berkobar, ia melanjutkan membaca tulisan itu.

“Walaupun pada saat ini aku tidak pernah dibantu oleh pedang berat, namun dengan andalkan tenaga dalam yang tinggi walaupun dengan kayu ataupun rumput tetap tidak ada tandingannya di kolong langit, lama kelamaan sadarlah aku tentang arti yang sebenarnya dari pada kata yang mengatakan, pedang enteng menangkan pedang berat, pedang kayu menangkan pedang baja, latihankusemakin rajin dan perbuatan amalku semakin besar….”

Hoa Thian-hong cabut keluar pedang bajanya dan menimang-nimang, lalu gumannya seorang diri, “Pedang enteng menangkan pedang berat, pedang kayu menangkan pedang baja….?”

Ia gelengkan kepalanya dan segera alihkan kembali sorot matanya keatas lapisan batu tersebut.

Setelah hidup seratus tahun, kepandaian silat yang kumiliki semakin meningkat terus, aku menyadari bahwa perguruanku tak boleh putus dengan begitu saja lantaran aku karena itu selain pedang baja yang berat kusertakan pula sebait “Kiam keng” ditempat ini.

Membaca sampai disini, sorot matanya dengan tajam menyapu sekejap sekeliling liang pedang itu dengan harapan bisa menemukan ‘Kiam keng’ atau catatan pedang seperti yang dimaksudkan namun liang batu itu kosong melompong kecuali batu cadas tersebut tiada benda yang lain lagi.

Dengan hati terkejut ia melanjutkan membaca tulisan itu, “Selama membawa pedang ditangan, ternyata di kolong langit tiada seorang manusiapun yang mampu menandingi diriku, tiada benda yang mampu menahan pukulanku, dalam keadaan begini timbullah ingatan dalam benakku, hidup dengan pedang lebih baik hidup tanpa pedang, tapi perguruan turun temurun mewariskan pedang tersebut, itu berarti dibalik hal itu pastilah terdapat sesuatu maksud yang tertentu maka aku segera menutup diri untuk memecahkan rahasia ini, setelah menghabiskan waktu sembilan belas tahun, akhirnya dapat aku resapi apa artinya ada pedang menangkan tanpa pedang berat meranakan pedang ringan karena itu dengan sepenuh tenaga kuciptakan serangkaian catatan Kiam keng sebagai pembantu mereka yang ingin memperdalam ilmu pedangnya cataitan terlampir dibawah dan siapa yang berjodoh boleh mempelajarinya!”

Dibawah tulisan tersebut tertulis kembali nama dari pemilik kuburan tersebut yakni”

“Ahli waris angkatan keempat puluh empat dari perguruan pedang Gi Ko”

Dan tulisan dipaling bawah adalah Catatan Kiam keng.

Hoa Thian-hong merasakan hatinya bergolak keras setelah membaca sampai disitu, dengan suara lantang segera bacanya,

“Peraturan menurut langit, kerugian pasti bersisa tenaga masih kurang kekerasan bukanlah….”

Baru saja ia berbicara sampai disitu mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang datang suara bentakan keras disusul segulung angin pukulan yang maha dahsyat menggulung datang.

Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, ia tak menyangka siapakah jago lihay dalam dunia persilatan yang memiliki tenaga pukuln yang begitu dahsyat?

Ditengah desingan angin tajam, pemuda itu buru-buru menjejakan kakinya keatas tanah dan membumbung keangkasa tinggi hingga menca pai ketinggian tiga tombak dari permukaan. Blaaaamm! ditengah benturan keras yang menggelegar di angkasa, batu nisan didepan kuburan pemendam pedang serta papan batu dalam liang terhajar hingga hancur jadi berkeping-keping kemudian tersebar kemana-mana….

Hoa Thian-hong merasa terkejut bercampur gusar ketika ia melayang turun keatas tanah dan menengok ke arah orang yang melan carkan serangan itu maka tampaklah Pek Siau- thian ketua dari perkumpulan Sin-kie-pang yang amat tersohor itu sudah berdiri angker dihadapannya.

Pek Siau-thian berdiri kaku dihadapannya dengan mulut terkatup rapat-rapat, jubahnya yang lebar berkibar terhembus angin sikapnya yang begitu mengerikan membuat orang jadi segan dan tak berani memandang rendah dirinya.

Hoa Thian-hong teramat gusar, pada saat itu dia sudah lupa akan arti jeri ataupun takut sambil mempersiapkan pedang bajanya ia berseru dengan gusar, “Pek Siau-thian! persoalan lain tak usah kita bicarakan lagi, mari kita berduel untuk menentukan siapa menang siapa kalah, kita bereskan semua hutang lama maupun hutang baru!”

Air muka Pek Siau-thian berubah hebat, perlahan-lahan katanya, “Kalau didengar dari pada ucapanmu, apakah putriku benar-benar telah mati?”

Wajahnya penuh emosi, suaranya gemetar dan ia tak dapat mengua-sahi perasaan ngeri serta kecewa yang berkecamuk dalam benaknya.

Kematian dari Pek Kun-gie merupakan suatu kejadian yang amat menyesalkan hati Hoa Thian-hong, rasa sedih yang dialaminya sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata, tetapi bara kebencian yang masih tertanam didasar hatinya membuat pemuda itu tak sudi memperlihatkan perasaan hati yang sebenarnya dihadapan Pek Siau-thian.

Mendengar pertanyaan itu, dia segera mengangguk sebagai tanda membenarkan ucapan itu.

Sekujur badan Pek Siau-thian gemetar keras sesudah termenung beberapa saat, tiba-tiba ia menengadah keatas dan memperdengarkan suara gelak tertawa yang amat menyeramkan.

“Heeehh…. heeehh dimanakah jenasahnya?”

Hoa Thian-hong tidak langsung menjawab, diam-diam pikirnya didalam hati, “Ilmu silat yang dimiliki too koh bercadar hitam itu berasal satu aliran dengan kepandaian yang dimiliki Pek Kun-gie kalau kutinjau dari sikapnya sewaktu membopong jenasah Pek Kun-gie tanpa bersedia untuk melepaskannya, mungkin dia adalah bininya Pek Siau-thian atau ibu kandung dari kakak beradik itu, tapi itu hanya menurut dugaanku belaka belum tentu dugaanku itu tepat.”

Sementara itu ketika Pek Siau-thian menyaksikan pemuda itu hanya membungkam terus tanpa menjawab, hatinya kembali tercekat, tegurnya dengan nada agak gemetar, “Kenapa? apakah engkau takut terjadi urusan maka kau lenyapkan jenasah itu dari muka bumi?”

“Engkau tak usah menggunakan pikiran seseorang manusia rendah untuk menilai seorang kuncu, aku orang she Hoa bukan manusia semacam itu, aku tak dapat melakukan pekerjaan seperti itu”

“Dimanakah jenasahnya?” bentak Pek Siau-thian tiba-tiba dengan suara keras. Mula-mula hawa gusar menyelinap diatas wajah Hoa Thian- hong kemudian dengan dingin dan hambar jawabnya, “Tak usah banyak bertanya, aku orang she Hoa sudah cukup menerima penghinaan serta pencemoohan dari kalian dan akupun tahu persoalan yang terjadi pada hari ini tak dapat diakhiri secara damai, daripada buang waktu dengan percuma lebih baik kita tetapkan saja mati hidup kita dengan ilmu silat.”

Mendengar perkataan itu, Pek Siau-thian segera menengadah keatas dan tertawa seram suaranya mengandung perasaan sedih, gusar, benci, mendendam serta pelbagai perasaan lain, begitu seramnya suara tertawa itu hingga jauh lebih tak enak di dengar dari pada suara tertawa.

Seluruh bukit dan udara segera menggema dan mengalunkan tertawanya yang mengerikan itu….

Hoa Thian-hong merasa bergidik hingga bulu kuduknya pada bangun berdiri, pikirnya, “Cinta kasih ayah anaknya selalu sama meskipun Pek Siau-thian adalah seorang jagoan yang amat lihay namun kesedihannya karena kehilangan putrinya yang tercinta benar-benar memilukan.”

“Aaaai….! dalam pertempuran yang bakal terjadi hari ini mungkin salah satu diantara kita berdua bakal menemui ajalnya….”

Berpikir sampai disini, sengaja ia berseru dengan suara dingin, “Hmmm! sebagai seorang pangcu dari perkumpulan Sin-kie-pang mengapa tidak bersikap lebih terbuka sedikit?”

Gelak tertawa Pek Siau-thian segera sirap, sepatah demi sepatah ujarnya dengan nada menyeramkan, “Kalau hari ini aku tak mampu membinasakan dirimu maka perkumpulan Sin- kie-pang akan buyar dengan begitu saja, besok malam pertarungan besar Kian ciau tayhwee pun tak ada manusia yang bernama Pek Siau-thian lagi.”

Hoa Thian-hong merasakan semangatnya berkobar dengan sikap bertempur ia berteriak keras, “Bagus sekali! selama aku orang she Hoa masih dapat bernapas, aku pasti akan bertempur dengan dirimu hingga titik darah penghabisan, aku tak mungkin akan tinggalkan bukit ini dengan begitu saja.”

ooooooOoooooo 47

NAFSU membunuh yang amat tebal dengan cepet menyelimuti seluruh wajah Pek Siau-thian, sambil tertawa dingin tubuhnya bergerak maju kedepan, telapak tangannya laksana kilat melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah dada lawan.

Hoa Thian-hong tetap bersikap angkuh dan sama sekali tak bermaksud menghindarkan diri kesamping, tubuhnya tetap berdiri tegak ditempat semula sementara pedang bajanya diayun kedepan…. Sreeet! sebuah serangan balasan telah dilepaskan.

Pek Siau-thian merasa amat terperanjat dan hatinya bergentar keras dan perasaan tersebut belum pernah dialami selama hidup.

Sejak mendirikan perkumpulan Sin-kie-pang, hampir separoh jagad telah berada dalam genggamannya tidak membicarakan soal kepandaian silatnya, cukup meninjau kepandaiannya mengendalikan serta menguasai anak buahnya sudah bisa diketahui bahwa dia adalah sseorang manusia yang luar biasa. Dalam sekilas pandangan, ia sudah tau bahwa Hoa Thian- hong memiliki bakat yang bagus dan dikemudian hari bakal mencapai puncak kesempurnaan karena itu kemauan yang dicapai oleh Hoa Thian-hong sudah berada dalam dugaannya namun kemajuan yang sangat mendadak itulah justru membuat hatinya bergetar keras ia tak dapat menemukan dimanakah letak alasannya hingga pemuda itu berhasil memperoleh kemajuan secepat itu.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar