Si Pisau Terbang Pulang Bab 4 : Harga yang Harus Dibayar

 
Bab 4. Harga yang Harus Dibayar

Sebuah rumah yang kuno dan besar, semua pintunya terkunci. Di bawah dinding yang tinggi sudah tumbuh rumput-rumput liar, cat yang berada di pintu pun sudah terkelupas. Siapa pun dapat melihat bahwa kejayaan keluarga ini sudah lewat. Keluarga itu sudah tidak diindahkan dan dihormati lagi.

Tapi bila kita melihat keadaan rumah itu hari ini, ada tiga orang dunia persilatan yang lewat di sana, akan segera terasa bahwa sebenarnya keadaan di sana bukan seperti itu.

Mereka tampak sangat bersemangat dan penuh dengan keyakinan, mereka menunggang kuda dan mengenakan baju yang bagus, golok diselipkan di punggung mereka. Mereka datang dari tempat yang penuh dengan salju, sepertinya tidak ada yang bisa menghalangi kedatangan mereka untuk masuk ke pekarangan rumah besar itu yang tampak sudah sangat tua ini. Dari jauh mereka sudah turun dari kuda, walaupun tanah diselimuti dengan salju, mereka bertiga tampak bersemangat, mereka memandang rumah itu dengan penuh dengan kekaguman.

"Apakah benar ini adalah tempat tinggal Siao Li Tam Hoa?"

Pintu yang catnya sudah terkelupas, masih terdapat puisi yang diukir di sana, mereka masih dapat melihat huruf yang terukir di sana.

It bun jit cin su hok ci sam tam hoa

(satu rumah punya tujuh sastrawan tiga turunan menguasai pisau terbang.)

Tiga orang pemuda dari kalangan persilatan dengan kagum memandangi kesepuluh huruf itu. "Siao Li Hui To benar-benar tidak akan salah sasaran," salah satu dari mereka bertiga menarik

nafas dan berkata lagi,

"Aku sering membenci diriku sendiri, aku benci mengapa aku tidak lahir sejaman dengannya." "Apakah kau ingin bertarung dengan beliau?"

”Tidak, aku tidak akan berani melakukannya."

Seorang pemuda yang sombong bisa mengatakan bahwa dia tidak berani, artinya pemuda ini sangat menghormati orang itu.

Pemuda yang menuding syair itu dengan penuh kekaguman tiba-tiba menarik nafas dan berkata: "Sangat disayangkan mengapa keluarga Li tidak mempunyai keturunan lagi, keturunan Li sekarang ini hanya ada Li Boan Ceng, walaupun dia adalah seorang yang bijaksana, tapi beliaupun tidak akan bisa membangkitkan kejayaan Siao Li Hui To kembali."

Di mata pemuda itu sudah tampak titik air mata, "Kejayaan Siao Li Hui To dulu kala, tidak akan pernah bisa dibangkitkan lagi oleh siapa pun."

”Tapi ada satu hal yang tidak kumengerti." "Hal mengenai apa?"

"Sejak kecil Li Boan Ceng Enghiong dijuluki anak yang berbakat, mengapa pada umur yang belum terlalu tua, beliau berubah menjadi seseorang yang tidak bersemangat?"

Seseorang dari mereka yang lebih dewasa berkata: "Seorang pendekar seperti orang terkenal, mereka akan selalu dikelilingi oleh perempuan-perempuan cantik, kita pun seperti itu bukan?"

"Maksudmu, hidup Li Boan Ceng tenggelam karena seseorang? Dan dia adalah seorang perempuan?"

Tidak ada yang menjawab dan tidak perlu untuk dijawab.

Mereka bertiga diam dalam angin yang dingin, setelah itu mereka baru membawa kuda mereka pergi dari sana.

Li Hoay dan Tiat Gin I pun berada di sana.

Mereka melihat ketiga pemuda yang menjauh dan tadi mereka sempat mendengarkan percakapan mereka. Hati mereka dipenuhi dengan pikiran yang sangat dalam.

— Apakah kejayaan Siao Li Hui To tidak akan muncul kembali?

— Apakah benar karena seorang perempuan bisa membuat Li Boan Ceng menjadi seperti itu?

Siapakah perempuan itu?

Li Hoay meneteskan air matanya, tiba-tiba dia teringat kepada ibunya, seorang perempuan yang cantik, pintar, dan patut untuk dikasihani.

Tiba-tiba dia ingin segera pergi dari sana. Tapi Tiat Gin I sudah memegang tangannya.

"Kau tidak boleh pergi, sekarang kau tidak boleh pergi," kata Tiat Gin I, "aku tahu apa yang sedang kau pikirkan, tapi kau harus tahu, ayahmu sekarang ini sangat membutuhkanmu, walau bagaimana pun kau adalah darah dagingnya, darah yang mengalir adalah darahnya, tulangmu pun adalah tulangnya ”

Kedua tangan Li Hoay dikepalkan, urat darah hijau di tangannya tampak bergetar. Tiat Gin I melihatnya dan berkata,

"Kau harus tahu, hanya kaulah yang bisa membangkitkan kembali keluarga Lie." Jalan kecil sudah dipenuhi dengan salju, loteng yang tidak terlihat oleh orang, kejayaan dan kemakmuran yang dulu sudah tidak tampak.

Langkah dan pikiran Li Hoay sama beratnya, apa pun pikirannya, apa pun yang dikatakan oleh orang lain, di sinilah asal usulnya.

Darah lebih kental dari air, semua yakin dengan kenyataan ini.

Sekarang dia akan bertemu dengan ayahnya kembali, sebelum dia lahir, ayahnya meninggalkan ibu dan dia yang masih berada di dalam kandungan ibunya.

Tapi dia tidak dapat membantah perintah ayahnya seperti dia tidak dapat menyangkal dirinya sendiri.

"Apakah kau tahu mengapa ayahmu mencarimu kali ini?" tanya Tiat Gin I kepada Li Hoay. "Aku tidak tahu."

"Aku hanya tahu apa pun yang beliau minta, aku akan melakukannya," jawab Li Hoay.

Sudah satu tahun berlalu.

Seorang orang tua sedang duduk di beranda, dia sedang memandang bunga bwee hoa yang berwarna merah di atas tumpukan salju yang berwarna putih, seperti seorang anak yang sedang melihat kincir yang berputar.

Mengapa orang harus menjadi tua?

Mengapa orang yang ingin mati malah tidak bisa mati? Di tangan orang tua itu tampak sebuah pisau. Pisau ini bukan pisau sembarangan, pisau ini adalah pisau terbang (huito).

Tidak ada yang mengetahui berapa berat pisau ini, bentuk atau pun bahan yang membuatnya.

Seperti orang-orang yang tidak dapat menghindar dari pisau ini.

Tapi pisau ini sudah lama tidak muncul di dunia persilatan, karena memang dia sudah tidak pernah memakainya, sebab dia tidak yakin bisa mengenai sasaran dengan tepat.

Dia adalah keturunan keluarga Li, ayahnya puluhan tahun yang lalu sudah terkenal di dunia persilatan, dan beliau adalah pendekar terkenal Siao Lie Hui To.

Tapi sudah 20 tahun dia hanya mengurung diri, siapa yang bisa membayangkan bagaimana rasa sakit hatinya?

Untuk apakah dia melakukan semua ini?

Di antara salju putih dan bunga bwee yang berwarna merah, muncullah sosok yang tidak begitu jelas, seorang perempuan berbaju putih, putih seperti salju.

Sebentuk cinta yang tidak dapat dilupakan. "Tuan Resar Tuan Muda Kedua sudah pulang"

Li Boan Ceng Enghiong terbangun dari mimpi masa lalu, dia mengangkat kepala dan melihat putranya.

Anak itu, seorang pemuda yang pintar dan juga menyenangkan.

"Apakah dia adalah anakku? Mengapa dulu aku tidak pernah mengurusnya? Mengapa membiarkan dia hidup seperti seekor anjing liar di jalanan? Mengapa aku harus meninggalkan ibunya juga?"

— Seseorang mengapa harus memaksakan diri mengerjakan sesuatu yang tidak dia inginkan?

Ini hanya membuatnya sedih seumur hidupnya.

Dia melihat anaknya, melihat seorang pemuda yang sehat dan juga kuat, penuh keyakinan, pintar, pemuda yang penuh dengan semangat hidup. Dia seperti melihat dirinya sewaktu muda dulu.

"Kau sudah kembali." "Benar."

"Bagaimana keadaanmu sekarang ini?"

"Aku baik-baik saja, tapi juga tidak baik," Li Hoay tertawa.

"Aku selalu begitu, apakah kau bisa menerima atau tidak bisa menerimanya, aku tidak peduli." "Tidak peduli? Mengapa aku bisa tidak peduli?" hati orang tua itu meneteskan darah, bila dulu dia bisa seperti putranya tidak pedulian, sekarang ini hidupnya akan lebih tenang dan senang.

Hati Li Hoay pun meneteskan darah.

Dia tahu ayahnya sedang memikirkan apa, percintaan antara ayah dan ibunya, sudah menjadi rahasia umum.

Sewaktu ayahnya bertemu dengan ibunya, mereka masih sangat muda.

Mereka bertemu, saling jatuh cinta, mereka berkumpul. Dan mereka mempunyai Li Hoay.

Mereka masih muda dan sama-sama belum menikah, sehat, hebat dan terkenal, kemudian mereka bersatu.

Seharusnya hal itu membuat orang lain menjadi iri.

Tapi sayang, percintaan yang indah, berakhir dengan tangisan.

Yang salah bukan mereka melainkan kenyataan yang tidak dapat diubah, dendam yang selamanya tidak dapat dilupakan.

— Ayahnya sudah membunuh ayah dari pihak perempuan, dan dia langsung mati saat itu juga. Ibunya bermarga Siangkoan.

Siao Lie Hui To tidak pernah salah sasaran, Ketua kim Cian Pang, Siangkoan Kim Hong pun bukan pengecualian.

"Ini adalah kesalahan pertama yang kulakukan," kata orang tua itu, "aku tahu bila sudah melakukan hal itu, tidak akan ada maaf bagiku, mencelakakan diriku sendiri dan juga orang lain, tapi aku tetap saja melakukannya."

Dia terdiam lama kemudian melanjutkan kembali, "Aku sering bertanya kepada diriku sendiri, aku tidak akan bisa memaafkan diriku ini yang telah melakukan kesalahan ini."

Li Hoay terdiam, dia tidak berani berkata apa-apa.

Li Hoay sejak dulu selalu membenci dan marah kepada ayahnya karena meninggalkan dia dan ibunya begitu saja, sekarang dia sudah mengerti alasan ayahnya meninggalkan mereka, dia pun tahu di dalam hati ayahnya beliau pun merasa sedih dan sakit.

Bagaimana pun dia dan ayahnya berasal dari titik yang sama. Mereka sama-sama laki-laki.

Orang tua itu berkata kepada Li Hoay.

"Hari ini aku mencarimu bukan untuk menjelaskan mengenai masalah ini, karena masalah ini selamanya tidak akan bisa dijelaskan."

Li Hoay tetap terdiam.

"Seumur hidupku, aku telah melakukan dua kesalahan, keduanya membuatku sedih seumur hidupku ini."

Orang tua itu berkata lagi, "Hari ini aku mencarimu, karena ada alasan yang lainnya."

Pekarangan begitu sepi dan sunyi, bahkan suara daun yang jatuh pun sepertinya bisa terdengar, daun yang jatuh itu seperti pecah ke dalam tumpukan salju.

Kemudian orang tua itu berkata lagi.

"Beberapa tahun yang lalu saat aku baru muncul di dunia persilatan, aku ingin mengangkat namaku, ingin membuat namaku terkenal, semua itu kulakukan bukan karena nama nenek moyangku yang sudah termasyur lebih dahulu."

Dia berkata lagi, "Pada waktu itu di dunia persilatan ada seseorang yang sangat hebat, dia belum pernah kalah, namanya terkenal hingga ke penjuru dunia persilatan."

Kata orang tua itu melanjutkan.

"Aku yakin kau pernah mendengar nama ini."

"Dua puluh tahun yang lalu orang ini bernama Soat Ceng Pit, dia pernah mengalahkan Elang Kun Lun dan Gan Tong Sam Niao (Tiga Burung dari Gan Tong San), dia pun pernah mengalahkan Pek Yan Tojin dan juga yang lainnya, namanya sangat terkenal dan tidak ada seorangpun yang dapat menandinginya "

”Tapi dalam pertarungan terakhir, dia dikalahkan oleh Li Boan Ceng Enghiong, tiga bulan kemudian dia meninggal karena terlalu banyak memikirkan hal ini,” Li Hoay pun tahu mengenai hal ini.

"Karena memenangkan pertarungan ini, aku sangat gembira. Sebenarnya ini adalah suatu hal yang menyenangkan tapi sewaktu Li Boan Ceng menceritakan hal ini, dia malah terlihat sedih.

Terakhir aku baru mengetahui satu hal yang belum pernah aku ketahui," kata orang tua itu. "Kalau saja aku tahu lebih awal. hingga mati pun aku tidak akan mau bertarung."

Dia berkata lagi, "Belakangan orang persilatan pun mengetahui hal ini, aku kira kau pun sudah mengetahuinya."

Li Hoay memang mengetahuinya.

Sewaktu Li Boan Ceng mengirimkan surat untuk bertarung, Soat Ceng Pit sudah terlalu lelah dan dia jatuh sakit, luka dalamnya tidak dapat diobati, pada saat itu istrinya pun meninggalkan dia begitu saja.

Luka dalam dan akibat terlalu kelelahan membuat dia berubah menjadi seseorang yang asing, sangat berbeda jauh dengan julukannya sebagai It Kiam Hui To.

Tapi dalam tubuhnya masih mengalir darah yang dulu, sifatnya kuat dan keras. Karena itu walaupun dia terluka dia tetap setuju untuk bertarung.

Dia tidak memberitahu kepada siapa pun bahwa dia sedang terluka, dia tidak mau lawannya tahu bahwa dia sedang terluka. Dan dia tetap menyetujui pertarungan ini. Tapi dia kalah.

Dia mati di dalam kesombongannya sendiri.

"Karena itu, hingga saat ini aku tidak dapat melupakan dia, apalagi tidak dapat melupakan sewaktu dia mati dengan wajah yang memancarkan kesombongannya."

Orang tua itu berkata lagi,

"Aku belum pernah melihat seseorang yang mati dengan begitu sombong. Li Hoay menatap ayahnya, matanya memancarkan rasa hormat.

Dia pun bangga kepada ayahnya.

Ingin menjadi seseorang yang benar, itu bukan hal yang mudah. Ingin menjadi seorang laki-laki sejati , itu lebih tidak mudah.

Orang tua itu terdiam, diam dengan lama, sangat lama hingga bisa membuat salju di atas daun mencair.

Li Hoay tidak mendengar suara salju yang mencair juga tidak mendengar suara daun yang hancur, tidak ada seorang pun yang bisa mendengar dengan telinganya.

Tapi Li Hoay mendengarnya.

Dia tidak mendengar dengan telinganya, dia mendengar dengan hatinya. Karena dia mendengar suara hati ayahnya.

"Aku membunuh orang tidak boleh aku yang membunuh terlebih dahulu, aku menyesalinya.

Sekarang aku menyesal pun tidak ada gunanya lagi." Suara orang tua itu terdengar serak, dia berkata lagi,

"Seseorang bila sudah melakukan kesalahan, di kemudian hari dia hanya bisa melakukan satu hal."

"Apakah itu?" tanya Li Hoay. "Membayarnya," jawab orang tua itu.

Dia berkata lagi, "Siapa pun yang sudah melakukan kesalahan harus membayarnya." "Sekarang adalah waktu bagiku untuk membayarnya."

Waktu : jam 1 malam.

Tempat : rumahmu.

Senjata : aku menggunakan pisau terbang, kau boleh memilih senjata sendiri.

Kalah atau menang, satu jurus sudah bisa menentukan menang atau kalah, hidup atau mati juga di tentukan dalam pertarungan ini, ditentukan saat itu juga.

Orang yang mengantarkan surat adalah Ling Ciu Soat.

Surat ini bukan surat resmi, surat ini adalah surat yang mengajak bertarung dan isinya sangat menakutkan, dari huruf-hurufnya terlihat bahwa orang yang mengajak bertarung adalah orang yang sangat sombong, sepertinya dia sudah menguasai hidup dan mati lawannya.

Li Hoay merasa sangat marah. Dia bertanya, "Siapa yang menulis surat ini? Sombong sekali dia!" "Orang yang menulis surat ini adalah aku," jawab Tuan Li Boan Ceng. "Mengapa ayah melakukannya? Mengapa orang itu adalah ayah?"

"Isi surat itu dengan isi surat 20 tahun yang lalu sama, hanya nama lawannya yang tidak sama, semua kalimat dan huruf yang aku tulis sama persis."

Kata orang tua itu lagi,

”Surat itu ditulis oleh anak-anakdari Soat Tayhiap untuk membalas dendam kepadaku, mereka melakukannya demi ayah mereka, ini adalah harga yang harus kubayar." Li Hoay tertawa dingin.

"Harga yang harus dibayar, harga apa yang harus dibayar? Apa alasan dari keluarga Soat menghadapi ayah dengan pisau terbang juga."

Mata orang tua itu menerawang jauh, kemudian dia menghela nafas panjang dan dia berkata, "Pisau terbang bukan hanya milik keluarga Li saja."

"Apakah ada keluarga lain yang berlatih pisau terbang dan mereka lebih lihai dari keluarga Li?"

Li Hoay mengeluarkan kata-kata ini, tapi begitu dia selesai mengucapkan kalimat ini, wajahnya menjadi membeku, setelah itu wajahnya sudah berubah menjadi seperti topeng berwarna abu.

Karena tiba-tiba saja dia teringat kepada seseorang, ingat kepada cahaya bulan, ingat kepada cahaya pisau yang menakutkan.

— Cahaya bulan seperti pisau. Pisau seperti cahaya bulan.

Di dunia persilatan, kalimat ini tidak berubah sejak dulu,

"Pisau terbang Siao Lie, tidak pernah salah sasaran, begitu menakutkan." Orang tua itu bertanya,

"Apakah kau sekarang tahu siapa orang itu?"

"Ini adalah harga yang harus dibayar," kata orang tua itu.

"Karena posisiku sekarang, sama seperti pada saat aku mengajak bertarung Soat Tayhiap bertarung, bila aku menyetujuinya, aku pasti akan kalah, kalah berarti mati."

Li Hoay terdiam.

"Mati tidak begitu menakutkan, yang menakutkan adalah bila aku kaiah." Orang tua berkata lagi,

"Aku memilih mati, tidak memilih untuk kalah." Wajahnya yang pucat timbul rona kemerah- merahan, ini biasanya terlihat pada orang yang akan mati.

”Karena aku adalah keturunan keluarga ini. Aku tidak boleh dikalahkan oleh pisau terbang milik orang lain, aku tidak akan membiarkan leluhurku kita merasa terhina dengan keadaan ini ”

Dia melihat Li Hoay, kemudian berkata,

"Karena itu aku menyuruhmu pulang, kau wakili aku menghadapi pertarungan ini demi diriku tolong kalahkan pisau terbang milik keluarga Soat." orang tua itu melanjutkan,

"Dalam pertarungan itu kau harus menang dan tidak boleh mati, kau harus menang tidak boleh kalah."

Wajah Li Hoay dari keadaan beku menjadi bengkok, setiap orang yang mengenalinya, tidak ada yang pernah melihat wajahnya begitu menakutkan, tangannya pun dikepalkan, seperti seseorang yang hanyut terbawa air dan sedang memegang sebatang kayu yang mengapung dengan erat.

— Hanya boleh hidup tidak boleh mati, hanya boleh menang tidak boleh kalah.

Suara Li Hoay pun terdengar serak, dia berkata, "Apakah ayah menyuruhku untuk membunuhnya?" "Benar," jawab orang tua itu.

Dia berkata lagi, "Pada saat yang tepat kau harus membunuhnya."

Li Hoay sejak tadi duduk tidak bergerak sama sekali, seperti sebuah patung, dan seperti orang yang sudah mati.

Tapi sekarang dia tiba-tiba meloncat berdiri, seperti orang yang sudah mati karena mantera, rohnya dihisap kembali oleh tubuhnya.

Tidak ada yang bisa melukiskan bagaimana ekspresi wajahnya.

Sewaktu dia berbicara dengan ayahnya, matanya tidak menatap wajah ayahnya melainkan menerawang melihat dunia lain, dunia yang penuh dengan kesedihan dan mantera-mantera.

"Mengapa kau menyuruhku melakukan hal ini? Mengapa kau menyuruhku membunuh orang yang tidak memiliki dendam kepadaku?" "Karena ini menyangkut keluarga Li dan kau adalah turunan dari keluarga Li."

"Sekarang kau baru mengakui bahwa aku adalah turunan keluarga Li, mengapa dulu kau tidak mengakui aku dan ibuku?" tanya Li Hoay dengan suara yang serak.

Dia berkata lagi, "Bagaimana dengan Tuan Muda Pertama yang sejak kecil sudah kau didik, mengapa dia tidak mau menggantikan ayah untuk membalas dendam? Mengapa harus aku yang melakukannya? Mengapa dia tidak mau menggantikanmu membalas dendam? Mengapa dia tidak mau bertarung demi dirimu? Mengapa harus aku yang pergi? Mengapa aku harus pergi demi dirimu? Aku ... siapa aku ini?"

Tidak ada yang melihat dia meneteskan air mata. Karena begitu air matanya mulai mengalir, dia sudah berlari keluar dari pintu.

Orang tua itu tidak melarangnya.

Mata orang tua itu pun sudah penuh dengan air mata, tapi air matanya tidak menetes sudah lama dia tidak bisa meneteskan air mata, sepertinya air mata orang tua itu sudah lama habis dan mengering.

Bulan 12 telah tiba, salju yang berada di pekarangan sudah membeku seperti hati seorang pengelana. Karena sudah membeku, akar pun tidak dapat menembusnya.

Begitu Li Hoay keluar dari tempat itu, dia melihat ada seorang perempuan yang cantik, berdiri di bawah sebuah pohon pinus, perempuan itu sedang memandangnya.

Di dunia ini ada semacam perempuan yang jika kita pernah melihatnya sekali, akan sulit sekali untuk melupakannya.

Dia mengenakan baju yang terbuat dari bulu rubah yang berwarna putih, tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih dan bersih, di bawah pohon pinus yang berwarna hijau, dia seperti sebuah lukisan, bukan seseorang yang nyata dari dunia ini.

Tapi Li Hoay tidak ingin melihat dia lama-lama.

Li Hoay sekarang ini hanya ingin berlari menjauhi tempat ini, lari ke sebuah tempat di mana tidak ada satu orang pun yang bisa melihatnya, dan dia pun tidak melihat ada orang-orang di sekitarnya.

Tidak disangka seorang perempuan seperti dewi ini, menghalangi jalannya. "Jikongcu, kau tidak boleh pergi."

"Mengapa?"

"Karena ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, dan kau harus menemui dia."

Di belakang pohon pinus itu tampak seseorang, dia pun mengenakan baju dari kulit rubah yang berwarna putih, dia sedang duduk di sebuah kursi besar yang juga ditutupi oleh kulit rubah, wajahnya pucat seperti warna salju yang berada di pekarangan.

"Apakah kau yang ingin bertemu denganku?"

"Benar, akulah orang yang ingin bertemu denganmu," dia berkata lagi,”aku ingin memberitahu kepadamu mengapa aku tidak bisa menerima tantangan untuk bertarung."

Walaupun dia berwajah pucat, paling sedikit dia sudah berusia sekitar 30 tahun, sepasang matanya terang, seperti selalu ragu-ragu dalam memutuskan sesuatu. Matanya terang dan bening.

Darah di dalam dada Li Hoay mulai bergejolak, orang itu adalah adalah kakaknya, satu-satunya saudara yang dia miliki.

Karena dia dan ibunyalah, maka Li Hoay dan ibunya dibuang oleh keluarga Li, menyebabkan hidupnya seperti anjing liar yang berkeliaran di jalanan.

Tangan Li Hoay mengepal, dia berusaha mengubah suaranya, menjadi sangat dingin dan menusuk telinga,

”Ternyata kau adalah Toakongcu dari keluarga Li, aku memang sangat ingin bertemu denganmu, aku ingin bertanya kepadamu mengapa kau tidak mau mewakili keluarga Li menerima tantangan untuk bertarung?"

Li Cin tidak menjawab pertanyaan ini, dia hanya menatap Li Hoay dengan sorot yang aneh, kemudian dari balik baju rubahnya dia mengeluarkan sepasang tangannya.

Sepasang tangannya hanya memiliki 4 jari. Tangan kiri dan tangan kanan, ibu jari, telunjuk, dan jari tengah sudah diputuskan dari ujungnya.

"Sewaktu aku berusia 14 tahun, aku mengira aku sudah bisa menggunakan pisau terbang, dan tidak ada yang bisa menandingi di dunia ini."

"Kau pun pernah melewati umur 15 tahun, kau tentu tahu bagaimana pola pikir pemuda yang berusia 15 tahun."

"Begitu aku tahu bahwa cara berpikirku salah, semua itu sudah terlambat."

"Waktu itu aku hanya ingin mendapatkan sedikit nama dan mengangkat nama leluhur keluarga Li, dengan ilmu pisau terbang aku bertarung dengan seorang jago silat."

'Tahukah kau bagaimana nasibku selanjutnya?"

Li Cin melihat sepasang tangannya yang cacat dan berkata,

"Malah ini yang aku dapatkan, inilah harga yang harus kubayar untuk keluarga Li."

Kemudian dia mengangkat kepalanya dan melihat Li Hoay, sorot matanya penuh dengan keraguan, tiba-tiba sorot itu berubah menjadi setajam dan sekuat pisau terbang.

"Bagaimana dengan dirimu, apakah kau sudah siap menyumbangkan sedikit saja untuk keluarga Li?"

Li Hoay kembali mabuk. Bagaimana dia tidak mabuk?

Seseorang bila sedang bersedih, gagal, atau tidak bersemangat, bila dia memiliki iman yang kuat, dia tidak akan menjadi mabuk, bila dia tidak mempunyai uang untuk membeli arak, dia pun tidak akan mabuk.

Tapi keadaan Li Hoay tidak seperti itu.

Li Hoay tidak sedang gagal dan tidak sedang bersedih, dia hanya menghadapi masalah yang tidak dapat dia selesaikan.

Li Hoay mempunyai uang untuk membeli arak, Li Hoay senang minum arak, keadaan Li Hoay tidak baik, Li Hoay merasa sedih.

Yang penting adalah Li Hoay sudah berhadapan dengan masalah ini karena itu pula Li Hoay menjadi mabuk.

Li Hoay mabuk hingga merasa sakit kepala, tubuhnya terasa lemas, hidung menjadi merah, tapi kelihatannya Li Hoay sangat menikmati rasa mabuknya. Dia terbius oleh mabuk hingga rasa sedih dan sakit tidak dia rasakan.

Tapi sayang perasaan seperti ini tidak bertahan lama dan tidak bisa dipercaya.

Mungkin karena alasan ini pula, sejak dulu hingga sekarang orang yang mabuk bila sudah sadar dia akan berhadapan kembali dengan kenyataan.

Yang menakutkan bagi orang mabuk yang sudah sadar adalah dia tetap harus menghadapi kenyataan yang tidak mau dia hadapi.

Akhirnya Li Hoay sadar dari mabuknya.

Begitu dia sadar, hal yang dia hadapi adalah wajah Han Jun yang tidak memancarkan perasaan dan datar.

Li Hoay mabuk, kemudian dia sadar.

Dia tidak tahu sudah berapa kali dia mabuk-mabukan, yang membuatnya kesal adalah setiap kali setelah dia mabuk, dia akan sadar kembali, dia ingin setelah dia mabuk dia tidak akan pernah sadar kembali, karena dia tidak ingin melihat wajah Han Jun.

Dia pun tidak tahu mengapa dia bisa jatuh ke tangan Han Jun.

Anehnya wajah Han Jun seperti enggan melihat Li Hoay, Han Jun hanya menatapnya dengan sikap dingin. Li Hoay bisa merasakannya dengan kuat, karena tempat itu sangat gelap, begitu Li Hoay sadar, dia hanya bisa melihat sepasang matanya.

Kecuali sepasang mata itu, dia masih mendengar suara Han Jun yang dingin bertanya kepadanya.

"Apakah kau bermarga Li, bernama Li Hoay?" "Benar."

"Apakah uang sebanyak 175.000 tail perak yang hilang dari gudang uang milik istana, kau yang mencurinya?"

Dua pertanyaan ini biasanya diajukan oleh polisi di kantor polisi, tapi begitu didengar oleh Li Hoay, dia merasa terkejut.

Karena dua buah pertanyaan ini, seperti bukan ditanyakan oleh orang seperti Han Jun, nadanya seperti orang lain yang bertanya, suaranya berubah tidak sekejam dan sedingin dulu.

"Maksudmu, kau sama sekali tidak ada hubungannya dengan uang yang hilang itu?" Han Jun bertanya lagi.

"Benar, sama sekali tidak ada hubungannya."

"Kalau begitu, uang yang kau habiskan selama beberapa bulan ini, itu semua berasal dari mana?"

"Uangku berasal dari mana? Sepertinya semua ini tidak ada hubungannya denganmu."

Kata-kata Li Hoay ini setelah lama baru berani dia katakan, dia pun mengerti dengan pepatah yang berbunyi: laki-laki sejati harus bisa merugikan dirinya sendiri hanya dalam waktu sekejap.

Begitu dia mengucapkan kalimat ini, dia siap bila dia dipukul oleh Han Jun.

Berani mengatakan hal seperti itu kepada Han Jun, akan dipukul dengan kejam, hal itu sudah biasa, anehnya sekarang Han Jun sedikit pun tidak bergerak, ekspresi wajahnya tetap datar.

— Ada apa ini? Orang yang lebih kejam dari dewa kematian, mengapa dia bersikap begitu sungkan kepada Li Hoay?

Di dalam kegelapan ternyata masih ada orang lain.

"Tidak apa-apa, Li Hoay, apa pun yang ditanyakan oleh Han Jun, jawablah dengan jujur," orang itu berkata kepada Li Hoay.

Dia berkata lagi, "Bila kau jujur, kami akan berlaku adil kepadamu."

Suaranya sangat ramah, dari kata-katanya dia sepertinya orang yang sangat berwibawa dan juga bijaksana.

Entah mengapa walaupun Li Hoay belum melihat orang itu, tapi dia bisa mempercayainya. "Kepala Polisi Han, coba kau tanyakan lagi, aku percaya dia akan menjawab dengan jujur."

Han Jun bertanya lagi, dia menanyakan pertanyaan yang sama, bagaimana Li Hoay bisa mendapatkan begitu banyak uang.

Sebenarnya ini adalah rahasia Li Hoay, tapi siapa pun yang berada dalam keadaan seperti itu, harus mengatakan rahasianya.

Setelah Tiat Gin I mencarinya selama beberapa tahun, akhirnya dia berhasil menemukan Li Hoay, dia membawa Li Hoay dari kota kecil itu untuk pulang ke rumahnya- Li Hoay bertemu dengan ayahnya, dia pun menguasai ilmu pisau terbang yang tidak ada duanya di dunia ini.

Tapi Li Hoay tidak bisa diam, dia tidak bisa tinggal sebulan pun di sana, karena dia merasa bahwa dia bukan keturunan keluarga Li, dunianya bukan di sana.

Dia memilih berguling-guling dalam kubangan air, dia pun tidak senang berpakaian mewah, hidup di dunia yang bukan dunianya.

Karena itu dia melarikan diri.

Di malam yang tidak berbintang dan juga tidak ada bulan, dia mencuri sepotong daging besar di dapur tapi daging itu belum begitu matang, dia mengikat daging itu di punggungnya seperti menggendong sebuah tas, dia melarikan diri dari rumah keluarga Li yang dianggap oleh orang- orang dunia persilatan sebagai keluarga nomor satu. Dia tidak ingin hidup terkekang, dia pun tidak bisa menerima penghormatan yang ditujukan kepadanya, pelayan-pelayan yang bersikap begitu hormat, malah bisa dikatakan bersikap dingin kepadanya.

Karena Li Hoay tidak mengerti bahwa di keluarga kaya dan terhormat, kehormatan yang diberikan selalu berkesan dingin. Bila terlalu dekat, sepertinya mereka tidak akan bisa memberikan penghormatan dengan sungguh-sungguh.

Li Hoay benar-benar tidak mengerti, seorang anak yang liar mana mungkin mengerti dengan keadaan ini.

Aturan seperti ini belum tentu juga dimengerti oleh orang kaya lainnya. Karena itu Li Hoay memilih untuk melarikan diri.

Tapi sayang, belum jauh dia melarikan diri dia sudah tertangkap kembali oleh Tiat Gin I. Tiat Gin I menyuruhnya kembali ke rumah, dia hanya memberikan dua buah benda kepadanya, pertama adalah kantung yang terbuat dan kain, dan yang kedua sebuah buku kecil.

"Ayahmu yang menyuruhku memberikan benda-benda ini kepadamu." Buku itu berisi tentang rahasia-rahasia ilmu pisau terbang.

"Beberapa waktu lalu, ayahmu sudah mengajarkan banyak hal mengenai rahasia ilmu pisau terbang, sekarang ditambah dengan buku ini, berlatihlah dengan giat dan rajin, aku percaya kau akan bisa menguasai ilmu pisau terbang keluarga Li, karena kau adalah keturunan keluarga Li, di dalam tubuhmu pun mengalir darah keluarga Li."

"Kantung kain ini untuk apa?"

Kata Tiat Gin I, "Kantung kain ini berisi apa, tidak ada seorang pun yang tahu."

Dia berkta lagi, "Kantung ini diberikan oleh ibumu melalui ayahmu, tidak ada seorang pun yang berani membuka untuk melihatnya."

Kantung kain itu berisi sebuah peta yang sangat sederhana, ada beberapa baris huruf yang menjelaskan cara dan tempat yang harus dicari.

Peta itu seperti ada jari yang bisa menunjuk batu menjadi emas.

Li Hoay menemukan tempat itu, dia tinggal di sana selama tujuh tahun, tinggal seorang diri, dia berlatih ilmu pisau terbang dengan sangat sempurna, saat itu dia pun mendapatkan harta karun yang berlimpah.

Walaupun Han Jun berusaha menguasai dirinya, tapi sewaktu dia mendengarkan cerita Li Hoay, wajah dan tubuhnya sudah tidak dapat dia kuasai, selalu bergetar.

Orang yang sejak tadi duduk di kegelapan pun terus mendengarkan.

"Harta karun yang kau dapatkan, ada berapa banyak semuanya?" dia bertanya kepada Li Hoay. "Aku percaya banyaknya tidak kurang dari uang yang hilang dari kerajaan."

Dari dalam kegelapan ada yang menarik nafas, dengan pelan dia berkata, "Aku percaya kepada kata-katamu."

"Kalau begitu, aku harus menanyakan satu hal kepadamu," orang itu bertanya kepada Li Hoay, "Siapakah ibumu?"

"Ibuku bermarga Siangkoan."

"Apakah ibumu bernama Siangkoan Siao Hian?"

Orang ini yang tadinya sangat tenang sekarang suaranya berubah karena emosi. "Bukan," jawab Li Hoay.

"Siangkoan Siao Hian adalah bibiku, beliau adalah kakak dari ibuku."

Orang yang berada di dalam kegelapan itu menghela nafas lagi kemudian berkata, "Apakah harta karun yang kau dapatkan adalah warisan sejak jaman dahulu dari Kim Cian

Pang, Siangkoan Kim Hong?"

Jawaban sudah tidak perlu diucapkan lagi.

0-0-0

Lampu tiba-tiba menyinari tempat itu.

Li Hoay sekarang mengerti mengapa Han Jun bisa berubah menjadi sosok yang lain. Ruangan yang gelap itu adalah sebuah ruang tamu yang sangat luas dan mewah. Kecuali Li

Hoay dan Han Jun, di ruangan itu masih ada sembilan orang lainnya, mereka duduk dengan dia sudah tahu bahwa mereka bukan orang biasa, pembawaan dan sikap mereka sudah bisa menjelaskan identitas mereka. Dijaga dengan ketat oleh kesembilan orang itu, mana mungkin Han Jun bisa bergerak atau memukul seenaknya.

Seorang orano tua rlenuan pundaknya yang kurus herdiri dan berkata, "Aku tahu kau belum pernah bertemu denganku, tapi aku percaya kau pasti mengenali namaku," orang tua itu berkata lagi,

"Margaku Ji, aku bernama Kiam Pay, dipanggil Ceng Su." Suaranya sangat ramah, dialah orang yang berbicara dalami kegelapan tadi.

Li Hoay pasti mengenalinya.

Keluarga Ji dan keluarga Li adalah teman lama, Ji Ceng Su dan Li Boan Ceng sudah sejak mereka muda adalah kawan lama, tapi karena mengikuti kemauan orang tua untuk mengikuti ujian negara di ibu kota, maka dia menjadi Siucay (sarjana). Kemudian malah menjadi sastrawan yang terkenal, sekarang ini di ibu kota, dia termasuk orang nomor satu yang dihormati.

Orang yang begitu terkenal, mengapa bisa masuk ke dalam lingkaran ini? Losuhu Ceng Su seperti sudah tahu apa yang ditanyakan Li Hoay,

"Kali ini kami datang hanya untuk memastikan hal ini, karena kami ini adalah teman-teman dari ayahmu," kata Ji Ceng Su.

Dia melanjutkan kembali. "Ayahmu percaya bahwa kau bukan seseorang yang karena menginginkan uang melakukan pelanggaran hukum, kami setuju dengan pendapatnya."

Dia dan kedelapan orang lainnya berbarengan tertawa.

"Karena itu, kami orang tua yang sudah lama tidak mencampuri urusan dunia persilatan, kali ini keluar untuk mencari tahu."

Kata Ji Ceng Su lagi,

"Sekarang semuanya sudah jelas, aku hanya ingin kau mengerti, seorang ayah pasti akan menyayangi anaknya, tapi seorang anak kadang tidak mengerti kemauan ayahnya."

Dia menepuk pundak Li Hoay dan berkata,

"Kau harus bangga menjadi putra dari ayahmu." Li Hoay tidak menjawab.

Dia takut bila dia membuka mulut air matanya akan mengalir.

"Masih ada satu hal lagi yang harus aku beritabukan kepadamu," kata Lotiang Ceng Su, "ada seorang gadis bermarga Pui, dia ingin bertemu denganmu, aku sudah berjanji kepadanya, tapi terakhir dia berubah pikiran."

— Bertemu, lebih baik bila tidak bertemu.

— Ko Ko, aku tahu aku sudah bersalah kepadamu, aku hanya ingin kau tahu, aku terpaksa melakukannya.

"Sekarang kau sudah membereskan masalahmu dengan kami sekarang kau bebas." orang tua itu berkata lagi,

"Kelak bila ingin melakukan segala sesuatu, hanya kaulah yang mampu untuk memutuskannya."

Hujan salju.

Salju turun dengan lebat menyebabkan udara menjadi dingin, bisa membuat seseorang mati beku karena kedinginan, tapi kadang-kadang ada yang beranggapan bahwa dingin seperti itu adalah sebuah keberuntungan.

Karena mereka tidak merasakan dingin yang menusuk tulang, juga tidak mendengarkan tangis seorang anak karena kelaparan dan kedinginan.

Tapi apakah hujan salju yang lebat melambangkan tahun yang makmur?

Mungkin saja begitu, karena bila musim semi datang, salju akan mencair, cukup untuk mengairi sawah, menyiram tanaman, membuat tanah menjadi subur, tanah yang subur akan menghasilkan panen yang bagus.

Pedang dengan dua sisi yang tajam, setiap permasalahan pasti akan ada sisi baik dan buruknya, tapi sayang tidak semua orang bisa melihat kedua sisi ini, sangat sedikit orang yang bisa melihatnya. Tumpukan salju sejak kemarin malam sudah hilang tertiup angin, daun berjatuhan selembar demi selembar, angin berhembus dari utara, suara angin seperti suara sebuah peluit.

Tapi Li Hoay tidak mendengarkannya.

Karena saat itu Li Hoay sedang memikirkan beberapa kalimat, hal lain dia tidak mendengarkan.

— Seorang ayah akan menyayangi anaknya, dan anaknya kadang tidak mengerti kemauan ayahnya.

— Kau harus bangga menjadi anak dari ayahmu.

— Sejak saat ini kau menjadi orang bebas, ingin melakukan hal apa pun, kau sendiri yang menentukannya.

0-0-0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar