Bab 2. Kejadian Sembilan Tahun yang Lalu Bagaikan Asap
Gunung yang berada di kejauhan. Sebuah kota di sebuah pergunungan.
Pada suatu hari di hari raya Imlek di pagi hari, petasan sedang dibunyikan, dan tampak salju yang menumpuk, ini melambangkan panen yang sukses di tahun itu, bagi semua orang iahun ini adalah tahun yang penuh dengan kebahagiaan.
Tapi tidak untuk anak ini, tahun ini pun sama seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya ada penghinaan dan rasa lapar.
Di dunia ini tidak ada yang mau dekat dengannya, juga tidak ada hari tenang dan mengenyangkan untuknya.
Dia tidak memiliki apa pun.
Pada saat orang lain merasa paling senang dan paling berbahagia, itu adalah saat yang dia rasa paling sedih dan paling merasa kesepian.
Dia sering bersembunyi seorang diri di sebuah gubuk yang seharusnya ada bunga, buah- buahan, baju baru, petasan, daging panggang, dan uang angpao, semua itu hanya bisa dimiliki oleh orang lain, dia tidak pernah mendapatkan semua ini, sekalipun dalam mimpinya.
Tadi ada seorang gadis kecil mengenakan baju berwarna merah, dia datang membawa bungkusan kain yang di dalamnya berisi dua hingga tiga potong ayam, dan juga ada kue sebanyak dua hingga tiga irisan, juga permen-permen. Gadis kecil itu dengan diam-diam mengantarkan semua ini untuknya, tapi Li Hoay malah mengusirnya.
Dia tidak mau ada orang lain yang mengasihani dirinya, dia tidak mau menerima sedekah dari orang lain.
Akhirnya gadis kecil itu pulang dengan menangis, dia menaruh makanan itu di atas tumpukan salju. Dia pikir setelah dia tidak ada di sana, Li Hoay akan mengambil dan memakannya.
Tapi Li Hoay tidak mengambilnya.
Walaupun dia merasa lapar bahkan hampir mati, dia tidak mau mengambilnya. Walaupun dia akan mati karena kelaparan dia tidak akan pernah mau mengambilnya.
Sifat Li Hoay sejak kecil memang sudah seperti itu.
Di dalam tubuhnya mengalir darah seperti itu, tidak ada kompromi, tidak mau mengakui kekalahannya, dan juga tidak bisa dipaksa.
Tiba-tiba seorang tua yang tinggi, besar, dan berwibawa, dengan rambut yang sudah memutih muncul di hadapannya. Dari kejauhan dia sudah melihat anak itu dengan lama, dan juga mengamati anak itu dengan lama.
Anak itu menatapnya dengan pandangan yang galak, kemudian bertanya kepadanya. "Mengapa di hari raya Imlek seperti ini kau tidak berada di rumah menemani anakmu?
Mengapa kau malah di sini melihatku terus? Adakah sesuatu yang bagus yang bisa dilihat dari diriku?" Sikap orang tua itu sangat serius, begitu seriusnya hingga malah terlihat seperti sedang bersedih,
"Apa margamu?" tanya pak tua itu. "Aku tidak tahu."
"Kau tidak tahu? Kau tidak mengetahui margamu sendiri?"
"Mengapa aku harus tahu margaku?" anak itu malah dengan galak menjawab, dia berkata lagi, "Aku tidak mempunyai ayah dan juga ibu, juga tidak memiliki marga, ini adalah masalah keluargaku, tidak ada hubungannya denganmu, dengan alasan apa kau menanyakan semua ini kepadaku?"
Orang tua itu melihatnya, tampak kesedihan di matanya, "Mengapa kau tahu bahwa semua ini tidak ada hubungannya denganku? Aku datang kemari khusus untuk mencarimu."
"Mencariku? Kau tidak mengenalku, mengapa harus mencariku?" "Aku mengenalimu."
"Kau kenal denganku? Mengapa bisa kenal denganku," anak itu tampak sedikit terkejut. Dia bertanya lagi, "Kau tahu siapa aku ini?"
"Aku tahu, aku pasti tahu," suara orang tua itu penuh dengan kesedihan dan juga kesakitan, kemudian dia berkata lagi,
"Aku juga kenal ayahmu, bila tidak ada dia, sekarang ini aku tidak bisa hidup dan juga tidak bisa mati, ini lebih menyedihkan dari keadaanmu sekarang ini."
Anak itu dengan terkejut melihatnya,
"Siapa kau?" tanya anak itu kepada pak tua itu. "Apa margamu?"
"Margaku Tiat." "Kalau aku?"
"Kau bermarga Li, namamu seharusnya Li San," jawab pak tua itu. Tiba-tiba anak itu tertawa dan berkata,
"Namaku adalah Li San, seharusnya aku bernama Li Hoay." (San=baik, Hoay=jahat)
Orang tua itu membawa si anak pergi. "Kau akan membawaku ke mana?" "Aku akan membawamu pulang." "Pulang? Aku harus pulang ke mana?"
"Kau memiliki rumah untuk pulang," jawab orang tua itu.
Kata orang tua itu lagi: "Aku percaya kelak kau akan bangga mempunyai keluarga seperti itu, keluargamu pun pasti akan l».uigga kepadamu."
"Bangga kepadaku? Apa yang bisa dibanggakan dari seorang m.ik jahat sepertiku?" "Kau tidak jahat."
"Aku tidak jahat? Hal seperti apa baru bisa dikatakan jahat?"
"Melakukan hal yang memalukan dan juga hal yang merendahkan dirimu sendiri, itu baru disebut jahat."
Kata orang tua itu lagi: "Tapi kau tidak akan bisa melakukannya." "Mengapa kau tahu aku tidak akan bisa melakukannya?"
"Karena kau adalah anggota keluarga Li, darah dan daging dari keluarga Li," pak tua itu berkata lebih serius lagi,
"Asal kau bisa mempertahankan kesombonganmu seperti tadi, pada saat ada gadis kecil memberikan makanan tadi, di dunia ini tidak akan ada seorang pun yang bisa menghinamu."
Kemudian Li Hoay pulang ke rumahnya. Ini adalah pertama kalinya dia pulang setelah sembilan tahun. Sekarang Li Hoay kembali ke rumahnya. Orang masih orang yang dulu, tahun demi tahun sudah terlalu, sembilan tahun sudah berlalu, seorang anak sudah berrubuh besar dan menjadi dewasa.
Dalam waktu sembilan tahun, dia sudah mempelajari ilmu silat yang dahsyat. Dalam waktu sembilan tahun, sebuah harta karun sudah dia dapatkan.
Dalam waktu sembilan tahun, ada perubahan yang begitu besar.
0-0-0