Jilid 33
BEGITU niatnya diputuskan, dia menarik kembali senyuman yang menghiasi bibirnya itu, seluruh perhatian ditujukan ke tengah gelanggang dan permainan pedangnya ikut menjadi serius pula. Hawa pedang memenuhi angkasa, desingan angin tajam memekikkan telinga, terutama dibawah terpaan cahaya sang surya, terhiaslah beratus-ratus buah jalur pedang yang menyilaukan mata.
Kedua belah pihak sama-sama memusatkan segenap tenaga dan perhatiannya pada permainan ilmu pedang masing-masing, keseriusan ketegangan mencekam seluruh angkasa, bentrokan-bentrokan nyaring ikut menyemarakkan suasana, bikin jantung mau copot rasanya.
Diantara bayangan manusia yang saling menyambar itu, secara lapat-lapat terselip hawa napsu membunuh yang mengerikan, demikian seramnya waktu itu membuat para penontonpun ikut merasa tegang.
Selangkah sesaat kemudian, para penonton mulai menyaksikan kemantapan serta keteguan Hoa In-liong dalam menghadapi pertarungan, sebaliknya keempat orang Coa Hoa itu menunjukan kegelisahan, siapa menang siapa kalah rasanya dari perubahan sikap itupun mudah ditebak.
Dua bersaudara Leng hou memang sombong dan tinggi hati, namun pengetahuan maupun pengalamannya dalam soal ilmu silat memang tak bisa disangkal setelah mengikuti jalannya pertarungan itu beberapa saat, Leng hou Yu lantas berbisik dengan ilmu menyampaikan suaranya, “Pada mulanya aku masih menaruh curiga kenapa bocah keparat itu dapat menjadi ketua dari suatu perkumpulan besar, bila ditinjau dari kepandaian silat yang dimiliki murid-muridnya ini, dia memang amat Iihay!”
“Aaah…. kamu ini terlalu memandang enteng bocah keparat itu” sahut Leng hou Ki dingin, jika dia tak punya kepandaian yang mengagumkan masa ji-suheng mau bersabar sampai sekarang?”
“Hmmm….! Bangsat itu lupa budi dan lupa kebaikan orang, setiap kali teringat tenaga dia, amarah serasa mau meledak dan sukar dikendalikan” kata Leng-heu Yu lagi sambil menggigit bibir.
Leng hou Ki tertawa dingin.
“Sekalipun tak terkendalikan juga harus dikendalikan.
Heehh…. heehh…. heeehh…. jika keluarga Hoa telah dimusnahkan, Hmm! Memangnya kau anggap Hian-beng-kauw masih bisa bercokol terus dipemukaan bumi….”
Leng hou Yu melirik sekejap ke arah Hoa In-liong yang berada ditengah arena, kemudian berkata lagi, “Ilmu silat yang dimiliki bocah keparat itu sangat tinggi, kemajuan yang berhasil dicapai teramat pesat, sampai aku sendiripun ikut merasa terperanjat. Manusia semacam ini tak boleh dibiarkan hidup terus didunia!”
Beberapa patah katanya yang terakhir ini diucapkan tanpa menggunakan ilmu menyampaikan suara, hingga nadanya yang tinggi rendah tak menentu itu dapat didengar oleh setiap orang.
Coa Wi wi merasa terperanjat, hawa murninya segera dihimpun menjadi satu, perhatiannya tertuju seratus persen kearena pertarungan, dia telah bersiap sedia memberikan pertolongan bilamana perlu.
Hoa In-liong pribadi, walaupun sedang terlibat dalam pertarungan yang seru, namun setiap patah kata tadi dapat didengar olehnya dengan jelas, pikirnya dihati, “Hmmm….! Manusia-manusia sesat dari luar perbatasan memang selalu buas dan tak tahu aturan, perbuatan macam apapun sanggup mereka lakukan meski bertentangan dengan suara hati mereka….”
Dia lantas memutuskan untuk menyelesaikan pertarungan itu secepat mungkin, bentaknya dengan suara dingin, “Jika kalian berempat tak mau mundur lagi, jangan salahkan kalan aku Hoa loji terpaksa akan menyusahkan kamu sekalian!”
“Hoa loji, tak ada gunanya banyak ngebacot, kita tentukan saja menang kalahnya diujung senjata” teriak Ciu Hoa loji sambil menyerang dengan pedangnya.
“Haaahhh…. haaahhh…. haaahh….betul juga perkataan itu” kata Hoa In-liong sambil tertawa tergelak, “nah, lihatlah serangan pedangku ini!”
Permainan pedangnya segera berubah, dia menyerang secara bertubi tubi dengan tenaga serangan yang maha dahsyat.
Ibaratnya terjadi angin ribut, deruan angin sedang memekikkan telinga, seluruh permukaan dan udara diselimuti desingan tajam yang memekikkan telinga itu.
Ilmu pedang yang dimainkan sekalian Ciu Hoa memang terhitung tangguh, akan tetapi jika dibandingkan dengan permainan pedang anak muda itu, tampaklah mutu permainan dari masing-masing pihak.
Sekarang mata semua orang baru terbuka, mereka baru kagum dan memuji tiada hentinya, terutama dua bersaudara Leng hou, sikap memandang rendahnya cepat ditarik kembali.
Diantara kilatan cahaya pedang yang menyilaukan mata, tiba-tiba terdengar Hoa In-liong berseru, “Ciu kongcu berempat, pegang pedang masing-masing yang erat, jangan sampai terlepas lho!”
Berbareng dengan selesainya perkataan itu, terjadilah suatu benturan nyaring yang memekikkan telinga….
“Traaang! Traaang! Traaang! Traaang!” empat kilatan cahaya putih membumbung tinggi keudara lalu tersebar keempat penjuru.
Dua diantaranya membentur dinding karang dan rontok ketanah dengan menimbulkan suara nyaring, satu menyambar lewat dari atas kepala Beng Wi cian dan kena ditangkap olehnya, sedang satu yang terakhir menyambar diatas kepala Leng hou Yu, tapi terkena sapuanya sehingga pedang itu bagaikan anak panah yang terlepas dari busur nya meluncur masuk kedalam hutan bambu kurang lebih sepuluh kaki ditepi gelanggang.
Tiga orang anggota Hian-beng-kauw cepat-cepat mengejar jatuhnya pedang itu dibalik hutan serta dipungutnya kembali.
Hoa In-liong sendiri dengan pedang disilangkan didepan dada, berdiri sambil tersenyum.
Keempat orang Ciu hoa itu berdiri terbelalak dengan tangan hampa, mulut mereka melongo saking kagetnya, napas yang tersengkal sengkal dan dada yang berombak menunjukan kalau mereka sudah kehabisan tenaga.
Dengan perasaan malu, gusar kaget dan mendongkol mereka berdiri membungkam dalam seribu bahasa.
“Beng Wi cian kuatir mereka tak dapat mengendalikan emosinya, cepat-cepat dia berseru, “Kongcu sekalian harap segera mengundurkan diri, apa gunanya memperebutkan soal menang kalah dengan bocah keparat dari keluarga Hoa itu….!”
Kendatipun keempat orang Cia Hoa itu adalah manusia- manusia kasar yang sudah dikendalikan namun mereka cukup memahami bahwa ilmu silat yang dimilikinya bukan tandingan Hoa In-liong, setelah menemukan kesempatan untuk mengundurkan diri tanpa harus kehilangan muka, merekapun mundur dari gelanggang.
Rupanya Cia Hoa lotoa masih belum puas dengan hasil pertarungan itu, kembali hardiknya dengan suara nyaring, “Ingatlah engkau wahai Hoa loji, sementara waktu kutitipkan nyawamu ditubuhmu, tapi suatu ketika nanti, pasti akan kurenggut kembali….!”
Hoa In-liong tersenyum.
“Kurang baik bila aku cuma membungkam katanya, biarlah pernyataan itu kusanggupi dibibir saja.
Setelah berhenti sebentar ujarnya lebih jauh, “Namun aku Hoa loji cukup memahami bagaimanakah perasaan seseorang yang menderita kekalahan, maka akupun tidak akan banyak ribut lagi”
Ciu Hoa lotoa mangkelnya luar biasa, tapi ia cuma bisa mendengus saja tanpa sanggup banyak berbicara lagi.
Cia In yang selama ini cuma membungkam, tiba-tiba berseru sambil tertawa cekikikan, “Engkoh Khi, engkau betul- betul memiliki hati seluas Buddha, sampai terhadap musuh busukpun bersedia untuk mengampuni”
Ucapan itu segera disambut dengan gelak tertawa cekikikkan dari hawa gadis lainnya, suasana yang tegang jadi santai kembali, ibaratnya kicauan burung nuri dipagi hari, suasana terasa lebih nyaman dan menyegarkan….
Diantara sekian banyak orang, keempat orang Ciu Hoa lo sam yang paling berangasan segera kenali kembali Cia In sebagai pelacur yang telah permainkan dirinya tempo hari, dia menjadi berang.
Dengan langkah lebar dihampirinya Cian In lalu dengan wajah menyeringai seram katanya, “Hei engkau lonte busuk dari Gi sim wan, mau apa datang kemari?”
“Ingin menjajakan dirimu atau ingin mencari kematian buat dirimu….?”
“Sekalipun ingin menjajakan diri, tak nanti aku akan menjajakan diri kepada Cia In dengan dahi berkerut, apa gunanya Ciu sam-kongcu musti bersikap garang kepadaku?”
Ciu Hoa lo sam tertawa seram.
“Bagus! Bagus sekali! Rupanya engkau sudah tidak maui sarang lontemu itu?”
Kembali Cia In tertawa terbahak-bahak.
“Semenjak dulu Gi sim wan siapa menunggu kedatangan kongcu! Cuma lain kali kongcu musti lebih hati-hati sebab tidak akan semudah tempo dulu untuk keluar dalam keadaan selamat”
Hoa In-liong sangat memperhatikan ucapan tersebut, sehabis mendengar perkataan itu, dia lantas berpikir, “Tempo hari Cui Hoa lo-sam dan Ciu Hoa Lo-ngo telah menyatroni Gi sim wan tanpa kuketahui bagaimana akhir urusan itu, tapi kalau didengar dari perkataannya Cia In, rupanya mereka telah mendapat kerugian besar. Ehmm….! Secara terang- terangan dia berani memusuhi Hian-beng-kauw, mungkinkah perkumpulan Cian li kau hendak dibuka secara resmi?”
Sementara itu Ciu Hoa lo sam telah membentak keras, “Lonte busuk! Lihatlah sam ya mu akan mencekik engkau sampai modar….!”
Sebuah pukulan dahsyat dilontarkan ke depan.
Ciu In terkejut, serunya, “Sam kongcu. Kau anggap perempuan lemah itu gampang dipermainkan orang….?”
Telapak tangannya yang lembut diayun kemuka untuk menyambut datangnya serangan tersebut.
Beng wi cian sempat menyaksikan sesuatu yang aneh pada serangan tersebut, kiranya dikala Cia In melepaskan pukulan tadi, beberapa orang gadis yang berada dibelakangnya serentak menjulurkan pula telapak tangan sambil ditempelkan pada punggung rekan didepannya.
Dia tahu gelagat tidak menguntungkan, segera bentaknya cepat, “Sam kongcu, cepat mundur!”
Sambil berteriak sepasang telapak tangannya segera didorong kemuka melancarkan sebuah pukulan.
Berkilat sepasang mata tiga orang Ciu Hoa lainnya setelah menyaksikan kejadian itu, serentak mereka melancarkan pula sebuah pukulan kemuka.
Dengan demikian sekaligus ada empat gulung tenaga pukulan bersama sama membendung datangnya ancaman dari Cia In itu. Beberapa gerakan itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa….” Blaang!” suatu benturan keras menggelegar memecahkan kesunyian.
Oleh tenaga pantulan yang dihasilkan dalam serangan tersebut, Beng wi cian serta tiga orang Ciu Hoa terdorong mundur sampai beberapa langkah, sebaliknya Cia In berikut tujuh delapan orang ga dis yang berada dibelakangnya ikut mundur juga sejauh dua langkah.
Paling parah keadaannya adalah Ciu Hoa lo sam, bagaikan layang layang putus benang, tubuhnya mencelat jauh ke belakang. Ketika terjatuh ke tanah tampaklah darah kental meleleh keluar dari panca inderanya.
Hebat sekali akibat dari benturan itu, Beng wi cian berempat menderita luka dalam yang cukup parah, bawa darah dalam dada mereka bergolak keras, cepat seluruh perhatian mereka dipusatkan untuk mengatur napas dan bersamadi.
Empat orang kakek baju hitam yang berada dibelakangnya memburu ke depan, mereka segera menggotong tubuh Ciu Hoa lo-sam yang tergelatak tak sadarkan diri itu.
00000O00000
34
WAKTU itu keadaan Ciu Hoa lo sam sangat gawat, mukanya sepucat mayat, noda darah membasahi lubang inderanya, dia berada dalam keadaan tak sadar.
Bagaimana dengan Cia In sekalian? Ternyata mereka tidak kekurangan sesuatu apapun. Serangan yang dilancarkan Cia In itu memang sangat hebat, tapi setiap jago yang hadir dalam gelanggang dapat menyaksikan bagaimana kekuatan yang dihasilkan oleh Cia In itu berasal dari tenaga gabungan tujuh delapan orang gadis dibelakangnya, atau dengan perkataan lain tenaga serangan itu berasal dari gabungan tenaga dalam beberapa orang itu yang disalurkan dengan ilmu menyampaikan tenaga meminjam badan. Meskipun hebat, kejadian itu bukan suatu peristiwa yang patut diherankan.
Setiap jago dalam dunia persilatan rata-rata mampu menggunakan cara penyaluran tenaga semacam itu tapi kepandaian seperti apa yang dilakukan Cia In sekalian itu luar biasa, sudah tentu mempunyai kepandaian khusus yang harus dipelajari lebih dulu.
Berbicara menurut kepandaian silat sesungguhnya, ilmu silat yang dimiliki Cian In paling banyak hanya sanggup menandingi seorang Ciu Hoa, bila dibandingkan Beng Wi cian tentu saja masih ketinggalan jauh. Tapi kenyataan yang terjadi kemudian benar-benar jauh diluar dugaan setiap orang….
Toan bok See liang berpikir juga.
“Beng tua biasanya selalu gagah perkasa, terutama dengan perhitungannya dalam menghadapi pelbagai masalah, tapi akhirnya dia terkecoh juga di tangan orang, apalagi kalau ditangan beberapa o-rang gadis yang belum diketahui asal usulnya, sungguh merupakan suatu peristiwa yang tragis!
Aii….! Dalam bentrokan ini, dari pihak yang menang perkumpulan Hian-beng-kauw jadi pihak yang kalah, masih mendingan kalau cuma kehilangan beberapa orang jago, yang lebih tragis lagi nama besar serta wibawanya ikut ternoda….” Setelah berpikir sebentar, dengan wajah sedingin es dia membi sikkan sesuatu kepada orang di sampingnya, lalu dia maju menghampiri rombongan Cian li kau itu diikuti dua orang kakek berbaju hijau.
Sekalipun mengetahui kalau musuhnya terluka, Cia In tak berani gegabah, sepisang biji matanya berputar kemudian diapun membisikkan sesuatu kepada rekan disampingnya.
Bayangan manusia berkelebat lewat, tiba-tiba kawanan gadis itu merubah posisi masing-masing dengan Cia In sebagai titik pusat mereka bentuk suatu lingkaran, tangan masing-masing saling bergandengan sementara punggung mereka menghadap keluar, diantara bayangan tubuh yang bergerak kesana-kemari tampak warna merah kuning hijau memenuhi angkasa, suatu pemandangan yang sangat indah
“Oooh….rupanya mereka sedang membentuk suatu barisan untuk membendung serangan musuh!” pikir Hoa In-liong.
Sebenarnya dua bersaudara Leng hou tidak pandang sebelah matapun terhadap Cia In sekalian, karena itu selama ini mereka cuma membungkam diri belaka.
Tapi sekarang, sesudah menyaksikan kesemuanya itu, timbul juga rasa ingin tahu dihati mereka.
“Hei, kalian budak-budak ingusan, permainan setan apalagi yang sedang kalian lakukan?” bentak Leng hou Yu.
Cia In tertawa.
“Oleh sebab kami menyadari bahwa tenaga dalam yang kami miliki terlampau cetek, maka sengaja diciptakan suatu permainan guna menyelamatkan keselamatan sendiri. Demi menjaga rahasianya permainan ini, maaf kalau kami tak dapat memberi penjelasan”
Leng hou Yu mendengus congkak.
“Hmmm….! Permainan apa? Cukup dengan sebuah pukulan, pasti permainan kalian akan buyar dan kamu-kamu semua mampus secara mengerikan!”
“Apa satahnya kalau dicoba?” tantang Cia In. Mendengar tantangan tersebut, diam-diam Hoa In-liong berpikir didalam hati, “Tenaga pukulan yang dihasilkan dari Ciat ti coan kang (meminjam tubuh menyalurkan tenaga) meski lihay tapi tidak sempurna, menghadapi jagoan biasa mungkin menghasilkan, tapi untuk menghadapi Leng hou siluman tua yang berilmu tinggi, tindakan semacam itu justru sangat berbahaya…. aai, kalau sampai diobrak-abrik oleh siluman tersebut, bukankah sama artinya dengan kalian mencari kematian buat diri sendiri?”
Benar juga, Leng hou Yu sangat marah menerima tantangan itu, sambil tertawa seram katanya, “Heehh…. heehh…. heehh…. aku jadi ingin tahu selain ilmu sesat pembius sukma dan ilmu Ciat ti coan kang, masih ada kepandaian apa lagi yang kalian miliki?”
Selangkah demi selangkah dia maju ke depan menghampiri Cia In dan rombongan.
Hoa In-liong cukup yakin akan kemampuan orang-orang Cian li kau, diapun percaya kecuali beberapa macam kepandaian itu, mereka masih memiliki ilmu simpanan lainnya.
Kendatipun demikian, anak muda itu masih tetap kuatir, dia kuatir beberapa orang gadis itu tak sanggup menggadapi Leng hou Yu yang tangguh, terutama dalam soal tenaga dalam, maka pikirnya, “Bagaimanapun jua aku musti lindungi anggota Cian li kau ini, sebab bila sampai terjadi hal-hal yang tak inginkan atas diri mereka bagaimana pertanggungan jawabku dihadapan bibi Ku?….
Berpikir sampai disitu, sinar matanya dialihkan sekejap ke arah Coa Wi-wi sambil memberi tanda, kemudian kepala Leng hou Yu dia berkata, “Cukup pantaskah seorang muda dari Im tiong san seperti aku ingin mohon petunjuk ilmu silat dari seorang jagoan Seng sut pay?”
Melihat lirikan anak muda itu, Coa Wiwi segera memahami artinya, dia tahu anak muda mohon kepadanya untuk mewakili Cian li kau menghadapi musuh tangguh.
Tanpa berpikir panjang, dia menjajakkan sepasang kakinya ke tanah lalu melayang turun dihadapan Leng hou Yu seraya membentak, “Manusia Leng hou pertarungan kita tadi belum diselesaikan, sebelum mencari gara-gara dengan orang lain, alangkah baiknya jika pertarungan kita diteruskan lebih dulu!”
Terhadap gadis tangguh ini rupanya Leng hou Yu sudah menaruh rasa segan, tanpa terasa dia berhenti sambil berpikir, “Lotoa harus menghadapi bocah dari keluarga Hoa itu, jika aku musti menghadapi dayang ini sendirian…. lebih banyak keoknya daripada berhasil….”
Sebelum dia mengambil keputusan, leng hou Ki dilain pihak telah menyahut, “Yaa meskipun selisih dikit, tapi tak apalah….”
Sambil mengangkat tangan kanannya, dia melangkah maju ke depan.
“Silahkan!” ujar Hoa In-liong sambil tertawa, pedang bajanya direntangkan dan dia tutup rapat seluruh tubuhnya. Seketika itu juga keheningan mencekam seluruh gelanggang.
Pertatungan yang bakal berlangsung ini bukan suatu pertarungan biasa, disatu pihak adalah seorang gembong iblis dari Mo kau yang sudah tersohor karena keganasannya, dilain pihak adalah seorang jago muda keturunan tokoh persilatan yang belum lama munculkan diri.
Sebenarnya semua orang beranggapan bahwa Hoa In-liong bukan tandingan Leng hou Ki tapi setelah berlangsungnya pertarungan tadi, dimana secara gemilang anak muda itu berhasil mengalahkan empat orang Ciu Hoa, pandangan semua orang mulai berubah, dan atas dasar itu pula mereka tak berani memastikan siapa yang bakal menangkan pertarungan itu.
Bila Leng hou Ki yang kalah, sudah tentu tak ada perkataan lain. Sebaliknya kalau Hoa In-liong yang kalah, maka akibat sampingannya tentu luar biasa sekali.
“Pertama, semua orang sudah tahu kalau jago-jago Seng sut pay rata-rata buas, kejam dan melebihi ular berbisa, apalagi mereka mempunyai dendam sedalam lautan dengan pihak keluarga Hoa, kalau anak muda itu sampai kalah, pihak Mo kau tak segan-segannya pasti akan membinasakan dirinya, atas pembunuhan itu Hoa Thian-hong tentu tidak terima, akibatnya pertarungan terbuka pasti akan berlangsung.
Kedua, akibatnya dalam dunia persilatan pasti akan berlangsung badai pembunuhan yang paling mengerikan, malah kehebatannya akan melebihi pertarungan di bukit Kiu ci san tempo dulu. Sementara itu Leng hou Yu mendengus dingin, ia putar badan sambil mengawasi dua orang itu, dia tahu Coa-Wi-wi tak mungkin akan menyergap orang dari belakang, sedangkan tentang Cia In sekalian, pada hakekatnya ia tak pandang sebelah mata pun terhadap mereka.
Coa Wi-wi juga tidak memperdulikan Leng hou Yu lagi, sebab semua perhatiannya telah tertuju ke tengah gelanggang di mana kekasihnya sedang bersiap-siap melakukan pertarungan.
Toan bok See Liang yang sebenarnya hendak menantang Cia In untuk bertarung, sekarang kehilangan pula gairahnya untuk melanjutkan niat tersebut, sorot matanya dialihkan pula ke tengah arena dimana Hoa-ln liong dan Leng hou Ki sedang saling berhadapan.
Hoa In-liong berdiri dengan sikap yang tenang dan mantap, pedangnya terlintang didepan dada, begitu kokoh dan gagahnya ibarat sebuah bukit karang, membuat siapapun juga merasa kagum dan segan kepadanya.
Leng hou Ki selangkah demi selangkah maju menghampiri Hoa In-liong diiringi senyum menyedikan yang mengerikan jaraknya dengan pemuda itu tinggal dua kaki, sebenarnya sekali hajar saja se rangannya pasti akan mencapai sasaran, tapi ia tidak berbuat demikian, malahan setelah melampaui jarak tersebut, langkahnya kian lama kian lambat seperti rangkakan seekor siput.
Semakin dia berbuat demikian, semakin gawat pula situasinya, sebab setiap serangan yang dia lancarkan pasti merupakan suatu serangan maut yang menggentarkan sukma, mungkin juga dalam serangan itu mati hidup seseorang akan ditentukan Padahal, Leng hou Ki sendiripun tak yakin dengan serangannya itu dia tak yakin kalau kemenangan pasti berada dipihaknya. Seandainya simpai kalah, niscaya nama baiknya akan ternoda dalam muka umat persilatan, dan dia tak merasa punya muka lagi untuk tancapkan kaki dalam dunia persilatan.
Sebaiknya membinasakan pemuda itu, diapun merasa belum tiba waktunya. Ia tak ingin bentrok secara terbuka dengan pihak keluarga Hoa hingga mengakibatkan posisi perkumpulannya sulit.
Dengan pelbagai keadaan yang terbentang dideppan mata, pada hakekatnya keadaan gembong iblis itu ibaratnya menunggang dipung gung ,merasa segan.
Tapi akhirnya dia nekad juga, sambil menggigit bibir dia menerjang maju terus kedepan.
Situasi bertambah tegang, setiap saat suatu pertarungan sengit bakal berlangsung….
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dengan suara lantang, “Leng hou hiante, tunggu sebentar!”
Serentak semua orang alihkan perhatiaannya kearah mana berasalnya suara itu, tampak dua sosok bayangan manusia ibaratnya kabut tipis yang melayang diudara, secepat sambaran kilat meluncur datang.
Leng hou Ki segera menghentikan gerakan tubuhnya, lalu berkata, “Kaucu kami telah datang, terpaksa pertarungan ini harus ditunda untuk sementara waktu”
Terkesiap Hoa In-liong setelah mengetahui kalau Tang kwik Siu telah datang, tapi rasa cemasnya itu tak sampai diperlihatkan di atas wajahnya. “Terserah” ia menyahut, kalau mau ditunda, marilah kita tunda!”
Dua orang yang baru datang itu adalah kakek-kakek berjubah kuning dengan rambut serta jenggot yang telah beruban semua, sungguh cepat gerakan tubuh mereka, tak sampai sekejap mata mereka sudah tiba ditengah gelanggang.
Serentak para jago dari Hian-beng-kauw menyingkir ke samping memberi jalan, sementara jago-jago dari Mo kau bungkukkan badan memberi hormat….
Orang yang berjalan paling depan adalah seorang kakek bermuka merah padam, berjenggot perak dan memakai sebuah sabuk berukiran naga yang terbuat dari emas.
Naga emas itu panjangnya sembilan depa kepalanya sebesar cawan arak dan tubuhnya hidup dan indah sekali, sisik-sisiknya memantulkan sinar gemerlapan kuku, dan cakarnya merentang, boleh dibilang ukiran tersebut merupakan ciri khas dari ketua Mo kau.
Sedang kakek berjubah kuning lainnya mempunyai dandanan yang tak jauh berbeda dengan dua bersaudara Leng hou maupun Hu yan kiong sebu ah ikat pinggang naga perak menghiasi pinggangnya, dia mempunyai lengan yang panjangnya mencapai lutut, mukanya kurus kering, sepasang matanya seakan-akan setengah terpejam, dandanannya yang seram macam setan ditambah jubahnya yang penuh dengan lumpur, mengingatkan orang akan mayat hidup yang baru bangkit dari liang lahatnya.
Ketika kedua orang itu masuk ke dalam gelanggang, dua bersaudara Leng hou segera maju sambil siap melaporkan sesuatu, tapi Tang kwik Siu segera ulapkan tangannya. “Hiante berdua harap tunggu sebentar!”
Buru-buru dua bersaudara Leng hou memberi hormat, kemudian putar badan dan berdiri dibelakang Tang kwik Siu serta kakek macam mayat hidup itu.
Hoa In-liong yang mengikuti perkembangan tersebut dari samping dapat menebak kalau kedudukan si kakek macam mayat itu jauh lebih tinggi dari pada dua bersaudara Leng hou, malah kemungkinan besar tenaga dalamnya tidak berada di bawah Tang kwik Siu.
“Tang kwik kaucu baik-baikkah engkau?” sapa Toan bok See liang, “maafkanlah aku orang she Toan bok, lantaran ada luka dibadan tak bisa memberi hormat kepadamu”
“Saudara Toan-bok tak usah sungkan-sungkan” sahut Tang kwik Siu sambil tertawa.
Beng wi cian yang sebenarnya sedang mengatur pernapasan, tiba tiba membuka matanya dan ikut memberi hormat.
“Sudah lama kukagumi nama kaucu, beruntung sekali kita bisa saling bertemu muka. Maaf bila aku terlambat menyambut kedatanganmu”
“Selamat berjumpa saudara Beng!” Tang kwik Siu balas memberi hormat.
Sampai disitu, pelan-pelan sinar matanya beralih ke sekeliling tempat itu dan mengawasi semua orang satu demi satu, ketika memandang wajah Coa Wiwi dia hanya melirik sepintas lalu saja, akhir nva sorot mata itu berhenti diatas wajah Hoa In-liong. Seketika itu juga, sorot mata semua orang ikut beralih ke wajah Hoa In-liong, mereka ingin tahu bagaimana cara anak muda ini menghadapi gembong iblis yang lihay itu.
Situasi dunia persilatan waktu itu dengan Hoa Thian-hong sebagai tokoh persilatan nomor satu, otomatis anak keturunan keluarga Hoa menjadi pusat perhatian pula dalam keadaan macam apapun. Tentu saja dengan dasar pendidikan maupun peraturan keluarga Hoa, anak keturunannya mempunyai wibawa dan cara bertindak yang sesuai pula dengan kedudukannya.
Hal ini masih ditambah lagi dengan bekal ilmu silat yang tinggi, kesemuanya itu membuat setiap jago persilatan, setiap iblis dari golongan sesat menaruh hormat dan segan pula terhadap mereka.
Waktu itu, Hoa In-liong telah masukkan pedangnya kedalam sarung, lalu dengan sikap yang tenang dia memberi hormat.
“Hoa yang dari San see, menghunjuk hormat untuk Tang kwik kaucu!” katanya.
Tang kwik Siu tidak membalas hormat itu, diperhatikannya pemuda itu dari atas sampai ke bawah dengan sorot mata yang tajam, tiba-tiba ia berkata dengan suara dingin, “Jikongcu, lebih baik kau simpan saja semua tata cara adatmu yang kosong…. kau rasa kau pasti mengetahui dengan jelas bukan akan peristiwa yang terjadi banyak tahun berselang ketika ayahmu dengan mengandalkan ilmu silat yang tinggi menindas Seng sut -pay kami?” Ucapan itu kian lama diucapkan makin dingin, hawa panas membunuh secara lapat-lapat menyelimuti pula diatas wajahnya.
Coa Wi-wi menguatirkan keselamatan Hoa In-liong ketika perkataan lawan didengar mengandung nada tak baik, diam- diam ia menggeserkan tubuhnya sambil bersiap siaga.
Berbeda Beng Wi cian, ia gembira sekali melihat kejadian tersebut, pikirnya, “Lebih baik kalian bertarung lebih dulu, dengan begitu kami tinggal memungut hasilnya tanpa bersusah payah!”
Karena berpendapat demikian, dia lantas memberi tanda dan memimpin kawanan jagonya mundur ke sebelah kiri Tang kwik Siu, sementara Ciu Hoa lo-sam dan kakek berbaju hitam yang terluka itu diserahkan kepada anak buahnya.
Thia Siok bi yang menyaksikan para jago sudah mundur sejauh enam tujuh kaki dari mulut gua, dan lagi perhatian mereka sekarang tertuju pada Hoa In-liong, dia merasa tak ada gunanya menjaga gua itu lebih jauh.
Sambil mengebaskan senjata Hud timnya, To koh berjubah abu-abu itu ikut mundur kesamping Hoa In-liong.
Belasan gadis dari Cian li kau masih tetap berada ditempat semula, mereka hanya berdiri dengan senyum dikulum dari sikap mereka yang begitu santai, seakan-akan menunjukkan bahwa rombongan mereka hanya merupakan pihak ketiga yang bermaksud menonton keramaian belaka.
Jumlah kawanan jago dari Hian-beng-kauw ditambah Mo kau hampir mencapai sembilan puluh orang banyaknya, sedangkan pihak Hoa In-liong hanya berjumlah tiga orang, suatu perbandingan kekuatan yang sangat tak seimbang…. Hoa In-liong berpikir didalam hati, “Tak nyana macam beginilah Tang kwik Siu sang kaucu dari Mo kau, dia cuma bisa memutar balikkan. Siapapun tahu kalau dimasa lampau pihak Seng sut pay hendak menguasahi seluruh kolong langit dan mengangkangi harta karun di bukit Kiu ci san, lantaran itu mereka dihukum oleh ayah sekarang mereka malahan menuduh ayahku yang menindas mereka dengan mengandalkan ilmu silat suatu fitnahan yang sangat keterlaluan….
Setelah berpikir sejenak, dia berhasil menenangkan pikirannya, lalu berkata, “Engkau tak usah memutar balikkan kenyataan, bagaimanakah duduknya persoalan di masa lalu telah diketahui oleh setiap orang gagah didunia ini”
“Setiap orang gagah didunia ini?” tukas Leng hou Yu sambil mendengus.
“Sin ki pang, Thian Ik cu maupun Jin Hian adalah jago-jago dari golongan hitam, sisanya juga merupakan antek antek dari keluarga Hoa, apakah mereka adalah orang-orang gagah?”
Hoa In-liong tidak menggubris ocehan tersebut, lanjutnya, “Sayang aku dilahirkan terlalu lambat, hingga kejadian tersebut tidak kualami sendiri, karenanya aku tak berani memberi pertimbangan apa-apa secara gegabah”
Setelah berhenti sebentar, dia menjura lalu menambahkan dengan suara lantang, “Dalam kejadian hari ini, apakah mau bertempur atau akan damai, harap Tang kwik kaucu memberi penjelasan. Sekalipun aku cuma seorang bocah kemarin sore yang masih cetek ilmu silatnya dengan memberanikan diri akan kupikul semua resiko yang bakal terjadi. Seorang laki laki berbuat dia akan bertanggung jawab sendiri, maka aku minta mereka yang tidak tersangkut dalam peristiwa ini sudi dibiarkan berlalu tanpa diganggu….sebagai ketua suatu perguruan, tentunya kaucu tidak keberatan bukan….?”
Perkataan itu tidak terlalu meninggikan diripun tidak terlalu merendahkan derajat sendiri, meskipun penuh bernada patriot bukan berarti sombong, kesemuanya ini menciptakan suatu kewibawaan yang besar bagi anak muda itu.
“Bocah keparat, rupanya kau memang hebat!” puji Tang kwik Siu didalam hati.
Leng hou Ki segera berteriak, “Bocah kunyuk, besar amat bacotmu, tapi pantaskah engkau berkata demikian?”
“Tang kwik Siu ulapkan tangannya mencegah orang itu berbicara lebih lanjut, tapi sebelum dia sempat mengucapkan sesuatu sambil tertawa merdu Cia In telah mendahului, “Tang kwik kaucu adalah seorang tokoh persilatan yang sangat tersohor, masa dia mau menurunkan derajat sendiri untuk melayani seorang boanpwe macam kau, Hoa kongcu!
Tidakkah kau rasakan bahwa perkataanmu itu kelewatan sombong?”
Hoa In-liong mengernyitkan sepasang alis matanya lalu berpikir, “Walaupun maksudmu baik, sayang kau lupa siapakah Tang kwik Siu itu, dengan perkataanmu itu bukankah sama artinya dengan mencari penyakit buat diri sendiri?”
Betul juga, Tang kwik Siu melirik sekejap ke arah Cia In dengan pandangan hambar, tapi dengan cepat dia menoleh kembali kewajah Hoa In-liong rupanya dia segan untuk berurusan dengan kaum wanita.
Sekalipun hanya kerlingan sekejap saja, namun Cia In dapat merasakan betapa tajamnya sorot mata itu. Kendatipun dia tak takut langit dan tak takut bumi, tercekat juga perasaannya.
“Nona cilik!” kata Tang kwik Siu aku lihat ilmu yang kau yakini adalah ilmu Cha Ii sim hoat sepengetahuanku kitab Cha li sim keng yang disimpan dalam istana Kiu ci kiong telah didapatkan Ku Ing ing, apakah engkau adalah anak murid dari Ku Ing ing?”
Kagum juga Hoa In-liong atas ketajaman matanya, dia tersenyum hambar seraya menukas, “Kaucu, yang kau cari kan orang-orang dari keluarga Hoa, buat apa musti banyak bertanya tentang rahasia orang lain?”
Tang kwik Siu tertawa dingin.
“Heeehh…. heeehh…. heehh…. kau memang tak malu menjadi keturuanan keluarga Hoa, kegagahan dan kebesaran jiwamu sungguh membuat lohu merasa kagum”
Tiba-tiba dengan sikap yang jauh lebih santai, dia berkata lebih jauh, “Ji kongcu, maaf kalau terpaksa aku hendak mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang sedap didengar. Walaupun tenaga dalam yang dimiliki ayahmu sangat lihay, tapi toh tetap berasal dari tingkatan yang lebih muda, apa yang dikatakan nona cilik itu memang benar, sekalipun lohu marah juga tak nanti akan menurunkan derajat untuk turun tangan sendiri”
Tiba-tiba Cia In tertawa merdu.
“Aku she Cia bernama In, siapa yaag kesudian dipanggil nona cilik?”
“Tutup mulutmu budak ingusan….” bentak Leng hou Yu dengan gusarnya. Tang kwik Siu tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh…. haaahh…. haaahh….sute, kau tak usah banyak berbicara lagi”
Sambil mengelus jenggotnya yang keperak-perakan, kembali ujarnya kepada Cia In, “Aku ingin sekali mengetahui nama dari nona-nona sekalian, apakah kalian bersedia memberitahu?”
Cia In tertawa cekikikan.
“Nah, begitulah baru mirip gaya seorang kaucu dari suatu perkumpulan besar, kalau cuma main gertak sambil jual tampang wah gayanya tukang pukul kasaran….”
Diiringi gelak tertawa cekikikan, gadis itu memotong pembicaraannya sampai ditengah jalan.
Orang-orang Seng sut pay bukan manusia berotak kerbau, sudah tentu sindiran tersebut termakan oleh mereka, kontan saja semua orang menunjukkan wajah gusar.
Tang kwik Siu tidak menjadi marah karena sindiran itu, malah ujarnya sambil tertawa, “Katakan saja nona!”
Dari gerak-gerik lawannya itu, Hoa In-liong mengambil suatu analisa dihati kecilnya, “Dia begitu tenang, tidak gugup dan gerak-geriknya wajar dan dibuat-buat, rupanya sudah ada suatu rencana yang masak dalam hatinya…. aku musti
berhati-hati….”
Sementara dia masih termenung, Cia In dengan suaranya yang merdu merayu telah memperkenalkan nama-nama dari belasan orang gadis itu, bukan saja mereka semua dari marga Cia, namapun hampir mirip antara yang satu dengan lainnya.
Tanpa terasa dia berpikir lagi, “Tadi ia mengatakan kalau punya dua nama tentu saja seperti halnya dengan Cia In nama yang disebutkan pasti nama samaran belaka”
Tergelaknya dia karena geli, serunya, “Semua nona-nona ini berasal dari marga Cia, tentunya nama mereka juga nama palsu semua bukan?”
Cia In ikut tertawa merdu.
“Apa yang ada didunia ini semuanya adalah palsu, apalagi tugas kami semua adalah berhubungan dan melayani orang dengan cinta palsu, tentu saja segala sesuatunya adalah palsu”
“Enci In!” tiba tiba Coa Wi-wi bertanya, apa sih pekerjaanmu? Kenapa musti berhubungan dan melayani orang dengan cinta yang palsu?”
Dengan mengandung maksud yang mendalam Cia In mengerling sekejap ke arah Hoa In-liong, lalu tertawa.
“Aku tak berani mengatakannya, sebab kuatir dimarahi jiko mu itu!” jawabnya.
Sambil mencibirkan bibirnya Coa Wi-wi menengok kearah Hoa In-liong, rupanya pemuda itu memang tak ingin hal tersebut diketahui sang nona, dengan cepat dia berkata sambil tertawa, “Jangan percaya dengan perkataannya, enci In mu ini adalah seorang petualang, tentu saja semua hal harus ditanggapi dengan hal hal yang palsu dan benar-benar!” Lalu sambil memandang kearah Tang kwik Siu ujarnya lagi dengan nada hambar, “Jika Tang kwik kaucu engkau turun tangan terhadap boanpwe, lantas bagaimanakah penyelesaiannya atas kejadian ini?”
Sambil mengelus jenggotnya Tang kwik Siu tertawa. “Jangankan engkau, lohu sendiripun rada kebingungan!”
Hoa In-liong melirik sekejap kakek bertampang mayat hidup yang berada di belakangnya, lalu berkata lagi, “Ataukah engkau hendak memerintahkan orang yang berada dibelakangmu itu untuk melayani aku?”
Sejak munculkan diri kakek bertampang mayat hidup itu hanya berdiri disamping Tang kwik Siu tanpa mengucapkan sepatah katapun, meski apa yang dikatakan Hoa In-liong barusan terdengar juga olehnya, toh dia tetap membungkam dalam seribu bahasa, melirikpun tidak.
Mendengar perkataan itu, mendadak Tang kwik Siu menengadah dan tertawa terbahak-bahak, lama sekali baru berhenti, Hoa In-liong tidak menunjukkan reaksi apa-apa menanti suara tertawanya sudah berhenti dia baru berkata, Persoalan apakah yang membuat Tang kwik kaucu kegelian?”
Sambil mengelus jenggotnya, Tang kwik Siu tertawa tergelak, sahutnya, “Lohu saja enggan untuk turun tangan menghadapi dirimu, apa1agi dia! Engkau tahu, dia adalah kakak seperguruanku Seng To cu. Ilmu silatnya beratus-ratus kali lebih hebat daripada ilmu silatku, bayangkan sendiri masa dia mau menghadapi seorang bocah keroco seperti kamu?”
“Hmm….! Terang perkataan itu sengaja dibesar-besarkan” batin Hoa In-liong,” tapi kalau toh Tang kwik Siu berani berkata begini, berarti ilmu silat yang dimiliki Seng To cu itu memang jauh diatas kepandaiannya…. Aku tak boleh terlalu gegabah!”
Ia coba menengok wajah Seng To cu, tampaknya mukanya selalu kaku tanpa emosi, tapi pemuda itu tahu makin serius orangnya makin sukar di ramalkan sampai dimana kemampuan yang dimilikinya.
Coa Wi-wi sendiri ikut merasa terperanjat, tapi ia tak suka dengan sikap Tang kwik Siu yang sok ketua-ketuaan itu, maka dia lantas menyela dengan bibir yang dicibirkan, “Huuuh….tiga diantara saudara seperguruan kaucu telah kami jumpai, rasanya mereka juga tiada sesuatu kemampuan yang pantas dibanggakan!”
Dua bersaudara Leng hou marah sekali mendengar perkataan itu, terutama Leng hou Yu yang berangasan, sambil menahan geramnya dia membentak keras, “Budak busuk, kau ingin mampus….”
“Oooh….! beginikah kata-kata mutiara dari seorang Bu lim cianpw e?” tukas Coa Wi wi.
Tang kwik Siu terbahak-bahak.
“Haaahhh…. haaahh…. haaahhh….sute, watak berangasanmu memang sudah waktunya untuk ditekan!”
Kemudian sambil tersenyum, ujarnya pula kepada diri Coa Wi-wi, “Nona adalah….”
“Nona ini mempunyai asal usul yang besar sekali” tiba-tiba Cia In menukas, “jangan membicarakan soal yang lain, cukup dalam hal ilmu silat belum tentu kaucu sanggup untuk mengalahkan….” Dengan sorot mata yang tajam Tang-kwik Siu mengawasi Coa Wi-wi dari atas kepala sampai ujung kakinya, kemudian ujarnya pula, “Sepasang mataku belum melamur, aku memang tahu kalau tenaga dalamnya luar biasa sekali”
Cia In tertawa, serunya lagi, “Berbicara soal kecantikan muka, dia ibaratnya dewi rembulan yang turun dari kahyangan, ibaratnya dewi-dewi yang bermukim di nirwana, jika di bandingkan dengan perempuan seperti kami, ooh…. kami tak lebih cuma sekuntum bunga yang telah layu”
Sambil tertawa tiba-tiba ia tutup mulut, meski pun sudah berbicara setengah harian, namun nama Coa Wi wi belum juga disebutkan, orang yang tak tahu tentu mengira perempuan tersebut sengaja jual mahal.
Lain halnya dengan Hoa In-liong yang cerdik, tiba-tiba hatinya bergetar keras, segera pikirnya, “Kalau tak ada urusan besar, mungkin Seng sut pay akan membawa rombongan sebesar ini mendatangi wilayah Kang lam, jangan jangan….yaa, jangan-jangan kedatangan mereka memang khusus ka rena persoalan keluarga Coa?”
“Aku jelek, aku tak cantik” terdengar Coa Wi wi berkata sambil tertawa, cici sekalian baru benar-benar cantik!” Leng hou Ki yang cuma berdiam diri selama ini tiba-tiba menyelinap maju ke depan, lalu membisikkan sesuatu ketelinga Tang kwik Siu.
Paras muka Tang kwik Siu berubah hebat, sambil menengok Coa Wi-wi lagi dia lantas berseru, “Bila dugaan lohu tak keliru, nona Coa tentunya adalah keturunan dari malaikat ilmu silat bukan?”
Coa Wi wi yang mendengar pertanyaan itu segera berpikir pula dalam hatinya, “Baru saja dua bersaudara Leng hou membicarakan soal ayahku, bagaimanapun juga Tang kwik Siu pasti mengetahui jejak ayahku”
Sekalipun gadis itu tidak mengetahui kelicikannya dunia persilatan, tapi ia tahu ditanyakan secara langsung juga tak ada gunanya, untuk sesaat ia jadi bingung dan tak tahu apa yang musti dila kukan.
Akhirnya ia tidak mempeidulikan Tang kwik Siu, dengan ilmu menyampaikan suara ujarnya kepada Hoa In-liong, “Jiko, belum lama berselang Leng hou Ki telah mengatakan bahwa pihak Seng sut pay telah berhasil menangkap ayahku!”
Setelah berhenti sebentar, kembali ia berkata, “Bahkan dia bilang ayahku…. ayahku telah….cuma aku tidak percaya”
Kendatipun begitu, suaranya sudah nada sesungguhnya menahan isak tangisnya yang hampir meledak.
Tersiap Hoa In-liong mendengar perkataan itu dia tahu Coa Goan-hou tak mungkin sudah terbunuh, tapi yang pasti ia telah terjatuh ke tangan orang-orang Mo kau, maka hiburnya, “Jangan kau percayai perkataan mereka, sebab kata-kata dari manusia semacam mereka paling tak bisa dipercaya, dengan andalkan tenaga dalam yang dimiliki empek, masa Seng sut pay bisa berbuat apa-apa terhadap dirinya, tak mungkin bukan?”
Ketika lama sekali gadis itu belum juga menjawab, Tang kwik Siu tertawa kering.
“Oooh….dayang cilik yang manja!” keluhnya.
Hoa In-liong mengernyitkan alis matanya baru saja dia hendak mengucapkan sesuatu, Cia In sudah keburu tertawa terkekeh-kekeh. “Kaucu!” serunya, “kenapa engkau melupakan si To koh ini? Masa semua orang sudah ditegur, hanya dia sendiri yang tak digubris?”
Sambil berkata dia lantas menuding kearah Thia Siok bi.
Tang kwik Siu memandang sekejap kearah Thia Siok bi, lalu menjawab dengan tertawa, “Aaa…. jago lihay dari luar perbatasan, kami sudah lama kenal satu sama lainnya”
Thia Siok bi mendengus dingin, ia tidak mengucapkan sesuatu.
Hoa In-liong yang mempunyai maksud-maksud tertentu, dengan cepat berseru lagi, “Kalau toh kaucu dansuhengmu enggan untuk menghadapi diriku, apakah persoalan pada hari ini kita sudahi sampai disini saja?”
Tang kwik Siu segera tersenyum.
“Hari ini pihak Hian-beng-kauw dan perguruan kami telah datang dengan mengerahkan kekuatannya yang besar, tapi kenyataannya tak lebih cuma berkepala harimau berekor ular, sama sekali tak mendatangkan hasil apa-apa. Coba katakanlah sendiri ji kongcu, bila kejadian ini sampai tersiar dalam dunia persilatan, bagaimana kata orang nanti?”
“Hmmm! Memutar balikkan fakta, rupanya engkau memang mempunyai maksud-maksud tertentu” batin Hoa In-liong.
Setelah berpikir sebentar dia lantas tertawa dingin. “Heeehhh…. heeehh…. heeehh…. apa gerangan maksud
kaucu? Aku merasa tak habis mengerti?” Tang kwik Siu
tertawa berat. “Benarkah ji-kongcu tidak tahu?” “Tolong jelaskan!”
Tiba-tiba sikap Tang-kwik Siu berubah santai sambil mengelus jenggotnya yang keperak perakan dia tertawa.
“Ji-kougcu bukannya tidak tahu, ayahmu Hoa tayhiap adalah seorang manusia yang gemar nama besar, sudah tentu kongcu juga menyadari bukan kedudukan keluarga Hoa dalam dunia persilatan dewasa ini, nah, dengan ilmu silat ayahmu yang begitu tinggi dan sekarang ditambah pula bantuan dari keturunan malaikat silat….!”
Tiba-tiba ia terhenti berbicara dan tersenyum.
Hoa In-liong dapat menangkap hawa napsu membunuh dibalik perkataannya itu, segera pikirnya, “Oooh jadi lantaran keluarha Coa berdiri di pihak keluarga Hoa, maka ia kerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk bertindak lebih dulu, jadi kalau begitu kehadiran orang-orang Mo kau di wilayah Kanglam sekarang memang bertujuan untuk menghadapi keluarga Coa”
Tiba-tiba saja ia merasakan betapa gawatnya situasi pada saat itu, setelah hawa napsu membunuh dihati Tang kwik Siu berkobar, sudah tentu mereka akan berdaya upaya untuk melenyapkan dirinya.
Padahal pihaknya cuma terdiri dari tiga orang, sekalipun mendapat bantuan dari orang orang Cian li kau, tak lebih keadaan mereka ibaratnya telur hendak diadu dengan batu.
Kalau cuma dia seorang yang mampus masih mendingan, bagaimana dengan Coa Wi wi, Thia Siok bi serta Cia In dan belasan orang nona itu? Terutama Goan cing taysu yang masih bersemedi dalam gua.
Ia tak ingin paderi sakti itu ikut berkorban lantaran dia, sebab dengan susah payah paderi itu telah mendesak keluar hawa racun dari tubuhnya dengan tenga dalamnya yang sakti, masa dia harus membayar air susu dengan air tuba?
Hoa In-liong memang cerdik, tapi menghadapi kenyataan tersebut tak urung kebingungan juga dibuatnya.
Setelah termenung sebentar, dia lantas berkata, “Jadi kaucu memang berhasrat untuk beradu kekuatan dengan keluarga Hoa kami?”
“Soal itu hanya tinggal soal menunggu waktu saja, cepat atau lambat pertarungan memang tak dapat dihindari!” kata Tang kwik Siu dengan sorot matanya yang tajam.
Setelah lawan berkata demikian, jalan menuju perdamaianpun jadi buntu, karena tiada kesempatan untuk mengulur waktu lagi Hoa In-liong menghela napas panjang, dia siap menantang untuk berduel sambil berusaha mencari akal guna mengikat Tang kwik Siu dalam pertarungan satu lawan satu dengan dirinya. Sebab bila sampai begini, paling sedikit dia dapat mengulur waktu selama beberapa jam lagi.
Tiba-tiba dari balik gua berkumandang suara pujian yang serak tua tapi amat nyaring, “0….min….to…. hud….”
Pujian kepada sang Buddba itu kedengaran sangat aneh, semua orang merasakan suara itu seakan-akan muncul dari sisi telinga mereka, dan lagi suara itu dapat menimbulkan ketenangan bagi sia papun yang mendengar. Serentak kawanan jago dari Hian-beng-kauw dan Seng sut pay yang sedang memegang pedang menurunkan senjata masing-masing, bahkan mereka yang memiliki tenaga dalam agak cetek melepaskan pedangnya hingga berjatuhan ke tanah.
Suheng Tang kwik Siu yang bernama Seng To cu itu tiba- tiba merubah sikap kakunya yang menyerupai mayat hidup itu, matanya yang kecil terbelalak lebar dan memancarkan sinar tajam bagaikan sang surya ditengah hari, begitu tajamnya sorot mata orang itu membuat orang jadi bergidik rasanya….
Hoa In-liong, Coa Wi-wi dan Thia Siok bi kebetulan berdiri dihadapannya, mereka sangat terperanjat menyaksikan sinar mata tersebut, mereka tahu tenaga dalam yang dimiliki orang itu memang lihay sekali, jelas berada diatas Tang kwik Siu.
“Hmm, suatu kepandaian Kou sim ciong (lonceng pengetuk hati) yang amat lihay” ujar Tang kwik Siu dengan dahi berkerut, “tokoh sakti dari manakah yang berada disitu? Tang kwik Siu ingin menjumpainya….”
Dari balik gua berkumandang suara dari Goan cing taysu, “Tidak berani, lolap Goan cing menjumpai Tang kwik kaucu”
Berbareng dengan selesainya perkataan itu, tanpa hembusan angin rotan-rotan yang menutupi mulut gua membuka dengan sendirinya, menyusul kemudian murculnya seorang paderi tua yang kurus kering, berwajah penuh keriput dan berjubah abu-abu.
Sesaat suasana diseluruh gelanggang jadi hening, tapi tak kedengaran sedikit suarapun. Tang kwik Siu, gembong iblis yang termashur namanya dalam dunia persilatan, dua bersaudara Leng hou yang terkenal karena buas, Toan bok See Iiang serta Beng Wi-cian sekalian yang licik semuanya berdiri terbelalak dengan mulut melongo.
Hanya Seng To ku yang berwajah kaku saja tetap berdiri ditempat semula, meski mukanya agak mengejang sebentar namun dengan cepat telah pulih kembali seperti sedia kala.
Kiranya Goan cing taysu bukan muncul dari gua itu dengan berjalan kaki, tapi tetap duduk bersilah. Tubuhnya seakan- akan duduk diatas sebuah mimbar berbentuk teratai yang melayang diudara, dengan selisih tiga depa dari permukaan tanah pelan-pelan dia melayang keluar.
Hoa In-liong pertama-tama yang sadar dari kejadian itu, dengan cepat dia mundur tiga langkah ke samping.
Goan cing taysu melayang turun tepat tiga kaki didepan Tang kwik Siu, setelah memuji keagungan Buddha, pelan- pelan ia melayang turun keatas tanah, begitu agung dan berwibawanya pendeta itu seakan-akan benar-benar baru turun dari kahyangan….
Dengan air mata bercucuran tiba tiba Cia In berbisik, “Sumoay sekalian, bubarkan barisan!”
Mendengar perintah itu, serentak kawanan gadis dari Cian li kau melepaskan tangan mereka yang saling bergandengan tangan itu. Kemudian dengan langkah yang lembut Cia In maju sendirian kehadapan Goan cing taysu dan jatuhkan diri berlutut. Menyaksikan perbuatan dari pemimpin mereka, kawan gadis lainnya jadi melongo, mereka hanya bisa saling berpandangan dengan perasaan tidak habis mengerti.
Sejak munculkan diri ditengah gelanggan, Goan cing taysu hanya duduk bersila dengan kepala tertunduk dan mata terpejam, ia sama sekali tidak menggubris jago-jago dari dua perguruan besar itu.
Tapi setelah Cia In berlutut dihadapanya, ia membuka matanya yang lembut sambil mengebutkan ujung bajunya.
“Silahkan bangun nona, lolap tak berani menerima penghormatan sebesar ini”
Cia In merasakan datangnya hembusan angin lembut yang menekan tubuhnya, mau tak mau dia terpaksa baru bangkit berdiri.
Tahukah nona itu bahwa Goan cing taysu tak suka dengan segala macam tata cara, maka dia berdiri disamping tanpa berkata-kata.
Goan cing taysu, menghela napas panjang pelan-pelan dia alihkan sinar matanya ke wajah Tang kwik Siu.
Waktu itu Tang kwik Siu sudah tahu manusia macam apakah Goan cing taysu itu, tapi dia tak menyangka kalau tenaga dalamnya sudah mencapai tingkatan setinggi itu, meski tertegun bagaimanapun juga dia adalah seorang ketua dari suatu perguruan besar.
Sambil tertawa seram katanya kemudian, “Lian sik siu tok (menyeberang melayang dengan teratai batu), maupun Kou sim ciong (lonceng pengetuk hati) adalah dua macam ilmu sakti yang jarang dijumpai dalam dunia, hari ini aku Tang kwik Siu betul-betul sudah membuka mata”
Berbicara sampai disitu, dia lantas berpaling kearah Seng To cu dan memberi tanda.
Tiba-tiba Seng To cu maju selangkah ke depan tanpa mengucapkan sepatah katapun dia menjulurkan lengan kanannya ke depan, kelima jari tangannya direntangkan lalu dari jarak sejauh dua kaki dia melancarkan sebuah cengkeraman udara kosong ketubuh Goan cing taysu.
Cengkeraman itu tidak membawa desingan angin serangan, macam anak-anak yang sedang bergurau saja.
Dengan wajah serius Goan cing taycu merentangkan sepasang tangannya yang semula dirangkap didepan dadanya, kecuali beberapa orang jago yang benar-benar lihay, hampir boleh dibilang yang lain tak tahu apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.
Sementara semua orang masih tercengang dibuatnya, tiba- tiba ujung baju yang dikenakan kawanan manusia yang berdiri disekitar Goan cing taysu dan Seng To cu berkibar sendiri tanpa angin, rupnnya dalam gerakan yang menyerupai permainan itu, kedua belah pihak telah saling bertukar satu serangan maut.
Akibat dari serangan itu tubuh bagian dari Goan cing taysu sampai berputar arah, tapi tetap kokoh seperti batu karang.
Sebaliknya Seng To cu dengan wajah agak berubah terhuyung maju setengah langkah kedepan.
Berseri wajah Hoa In-liong menyaksikan kejadian itu, segera pikirnya dihati, “Kalau kulihat dari keadaan ini, sudah terang Seng To cu makhluk tua itu yang keok, kenapa tak mau koit sekalian?”
Meskipun kalah, Seng To cu tidak kelihatan marah atau terpengaruh oleh emosi, sambil putar badan hanya ujarnya dengan suara yang dingin dan kaku, “Hayo pergi!”
Tang kwik Siu tertegun, menyusul kemudian ia berpikir lebih lanjut.
“Yaa betul! Toh pihak kami mempunyai Coa Goan hau sebagai sandera, sekalipun hwesio itu lihay dan berilmu tinggi, kenapa musti dilawan dengan kekerasan?”
Karena berpendapat demikian, segera timbullah niatnya untuk mengundurkan diri.
“Baiklah!” dia berkata kemudian sambil memberi hormat, “memandang diatas wajah taysu, aku tersedia menyelesaikan persoalan hari ini sampai disini saja, semoga dilain waktu kita masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali, waktu itu aku pasti akan mencoba-coba sampai dimanakah taraf kepandaian yang dimiliki taysu”
Kemudian sambil tertawa terbahak-bahak, ia memimpin kawanan jago Mo kau nya siap meninggalkan tempat itu.
Coa Wi-wi amat kuatir akan nasib ayahnya terus atas perkataan dua bersaudara Leng hou, tentu saja dia tak ingin membiarkan musuh musuhnya berlalu dengan begitu saja.
“Kongkong!” teriaknya dengan gelisah, “hilangnya ayah ada sangkut pautnya dengan pihak Mo kau, kita tak boleh membiarkan mereka kabur dengan begitu saja” Sebetulnya Goan cing taysu tidak ingin mencari banyak urusan, mundurnya pihak Seng sut pay justru ibaratnya pucuk dicinta ulam tiba baginya, akan tetapi setelah mendengar seruan dari cucu perempuannya itu, mata yang ramah dan penuh welas kasih itu mendadak memancar serentetan sinar tajam yang menggidikkan.
“Tang kwik kaucu!” tegurnya dengan nada keras, “benarkah perkataan cucu perempuanku itu?”
Tang kwik Siu mengulapkan tangannya mencegah Leng hou Yu mengumbar emosinya, lalu tertawa dalam.
“Heeeh…. heeehhh…. heeehh….belasan tahun berselang ada seorang jago yang bernama Coa tayhiap telah menjadi tamu terhormat dari Seng sut pay kami, waktu itu dia sedang berada disekitar bukit Kun kun, mungkin orang itu adalah orang tua nona tersebut….”
Tiba-tiba Seng To cu yang seram dan kaku itu menimbrung, “Jika manusia minum air, panas atau dingin tentu akan diketahui dengan sendirinya!”
Sehabis berkata sambil mengebaskan ujung bajunya dia berlalu lebih dahulu, bukan saja tidak menyapa Tang kwik Siu lagi, memandang sekejap pun tidak.
Tang-kwik Siu segera berkata pula, “Aku Tang-kwik Siu merasa kagum sekali oleh kebaktian nona Coa terhadap orang tuamu, bila kau memang berniat mencari ayahmu di wilayah Se ih, dengan senang hati Seng sut pay kami bersedia untuk membantu usahamu itu!”
“Hmm….! Membantu atau berusaha mencegah dengan sekuat tenaga….?” ejek Coa Wi-wi sambil mendengus. “Omintohud!” tiba-tiba Gaok cing taysu berseru memuji keagungan sang Buddha, lalu dengan suara yang amat tenang dan lembut katanya lebih jauh, “Anak Wi, jangan berbuat kurangajar!” Dia angkat kepalanya memandang sekejap wajah Tang kwik Siu, lalu tegurnya dengan wajah serius, “Tang kwik kaucu, sebenarnya apa maksud tujuanmu?”
Tang kwik Siu tertawa tergelak.
“Haaahhh…. haaahhh…. haaahhh…. taysu memang cerdik sekali, sungguh membuat aku Tang kwik Siu merasa amat kagum!”
Hoa In-liong tahu bahwa Tang kwik Siu hendak membuka kartu, maka setelah menimbang sebentar keadaan di sekitar tempat itu, akhir nya dengan ilmu menyampaikan suara dia berbisik kepada Coa Wi-wi, “Adik Wi, kau tak perlu ikut serta dalam adu kecerdasan ini, biar kongkong seorang yang menghadapinya!”
Sementara itu sambil mengalus jenggotnya Tang kwik Siu telah berkata lebih lanjut, “Menurut penglihatanku, pembantaian secara besar-besaran telah berlangsung dalam dunia persilatan, amisnya darah telah menodai seluruh permukaan tanah, bukan cuma sehari saja rekan-rekan se aliranku menderita penindasan dan penjajahan dari keluarga Hoa, penindasan demi penindasan yang harus kami terima selama ini sudah tak bisa tertahan lagi, ketahuilah taysu, pelbagai jago persilatan dari empat samudra kini telah bersatu padu siap menumbangkan kelaliman serta kekuasaan keluarga Hoa, soal kehancuran sudah tinggal menunggu saatnya saja dan pertumpahan darah ini tidak mung kin bisa dihindari lagi. Taysu, kau sebagai seorang pendeta yang beribadah sudah sepantasnya kalau mengundurkan diri dan hidup mengasingkan diri, apa gunanya kalian musti ikut campur didalam air keruh?” Ditinjau dari pembicaraan tersebut, sudah terang dia sedang menganjurkan kepada Goan cing taysu agar membawa keluarga Coa mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan.
Selama pembicaraan tersebut berlangsung, Hoa In-liong cuma membungkam diri dalam seribu bahasa, kendatipun pihak lawan menuding menjangan sebagai kuda, tapi lantaran urusannya menyangkut tentang mati hidup Goa Goan hau, pemuda itu merasa kurang baik untuk ikut memberi komentar.
Goan cing taysu sama sekali tidak tergerak hatinya oleh perkataan tersebut, dengan tenang ia mendengarkan ucapan itu hingga selesai, kemudian baru ujarnya dengan nada hambar, “Maksud baik kaucu haaya dapat lolap terima dalam hati saja, sayang sang Buddha pernah bersabda demikian.
“Kalau bukan aku yang masuk neraka, siapa lagi yang akan masuk neraka? Kalau toh dunia persilatan sudah mengalami kekalutan, mana boleh lotap menyingkirkan diri untuk mencari selamat? Ketahuilah, membela keadilan menyingkirkan kejahatan adalah tugas serta tanggung jawab setiap insan manusia”
“Keras kepala amat hwesio tua ini” pikir Tang kwik Siu kemudian, “yaa, agar terhindar dari segala yang tidak diinginkan, aku tak boleh bertindak terlampau gegabah”
Untung saja kedua belah pihak memang berniat untuk berpisah selekasnya, cepat dia menjura dan memberi hormat.
“Kalau toh begitu, aku rasa tiada persoalan lain yarg bisa dibicarakan lagi, maaf aku mohon diri terlebih dahulu” Goan cing taysu juga tidak berkata apa-apa, dia menghantar kepergian orang itu sambil memberi hormat pula.
Toan bok See liang dan Beng Wi cian sebenarnya merasa berat hati untuk mengundurkau diri dengan begitu saja, akan tetapi lantaran ilmu silat yang dimiliki Goan cing taysu terlampau lihay mau tak mau terpaksa mereka harus menggulung layar mengikuti hembusan angin.
“Hayo kita pergi!” bentak Beng Wi cian kemudian. Tanpa membuang tempo, dia pimpin segenap anggota
Hian-beng-kauw dan berangkat meninggalkan tempat itu.
Setelah semua orang sudah lenyap dari pandangan mata, Coa Wi-wi baru mendepak depakan kakinya keatas tanah sambil mengomel tiada henti-hentinya, “Kongkong ini bagaimana sih? Kenapa kau lepaskan Tang kwik Siu sekalian dengan begitu saja!”
Goan cing taysu menghela napas panjang, ia tidak menjawab pertanyaan itu.
Sebaliknya kepada Cia In ujarnya dengan lembut, “Lolap tidak mempuryai kemampuan apa-apa, apa alasan nona sehingga musti memberi hormat kepadaku?”
Cia In menggetarkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun tak sepatah katapun yang mampu diutarakan keluar. Goan cing taysu tertawa lembut.
“Harap tunggu sebentar nona” katanya. Dia lantas berpaling kearah Thia Siok bi, lalu sapanya, “To yo….”
Thia Siok bi membungkukkan badannya memberi hormat, sahutnya, “Taysu adalah seorang pendeta beribadah yang berhati mulia, Thia Siok bi tak berani menerima hormat tersebut”
Kemudian setelah berhenti sebentar katanya lebih jauh, “Maaf kalau aku tak bisa mendampingi terlampau lama lantaran masih ada urusan penting lainnya terpaksa boanpwe harus minta diri lebih dahulu”
“Cianpwe….”seru Hoa In-liong dengan cemas. “Kutunggu sepertanak nasi lamanya dikaki gunung sana”
tukas Thia Siok bi dengan suara yang ketus, “bila kau masih mempunyai perasaan cinta cepatlah datang temui diriku”
Kemudian sambil mengebaskan hud timnya, dia berlalu lebih dulu dari tempat itu.
“Cianpwe” teriak Coa Wi-wi gelisah, “kini enci Wan berada dimana….?”
Thia Siok bi tidak menggubris teriakan itu, dengan kecepatan tinggi ia berlalu dari situ dan lenyap dibalik bukit sana.
Sepeninggal To koh itu, Hoa In-liong baru berpaling kearah Goan cing taysu, bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu,
“Tunggu sebentar!” Goan cing taysu segera mengidapkan tangannya.
Kemudian dengan dahi berkerut dia berpaling kearah hutan bambu dan berseru, “Sicu berdua yang ada dalam hutan, apa salah nya kalau segera menampilkan diri?” Dari balik hutan segera berkumandang suara jawaban dari seorang perempuan, “Sebenarnya perintah taysu harus boanpwe taati sayang pada saat ini boanpwe masih ada urusan lain yang harus segera diselesaikan, maaf kalau aku tak dapat menurut perintah”
Mendengar suara itu, Cia In beserta belasan orang gadis muda itu segera berseru, “Suhu….!”
Hoa In-liong kenali juga suara itu sebagai suaranya Pui Che-giok, dia lantas berpikir, “Berdasarkan daya pendengaran kongkong, didalam hutan terdapat dua orang tak mungkin kongkong salah mendengar, lantas siapakah orang yang satunya lagi?”
Berpikir sampai disitu, tiba-tiba ia teringat diri Tiang heng To koh, tanpa sadar segera teriaknya, “Bibi Ku….!”
Sementara itu Pui Che-giok sedang berkata, “Taysu, bila engkau bersedia mengasihani perempuan itu, tolong berilah pelajaran kepadanya sedang yang lain biar dipimpin anak Ay pulang ke markas”
Salah seorang nona berbaju hijau yang berada dalam rombongan itu tak lain adalah murid kedua dari Pui Che-giok, dia bernama Cia Sau ay, mendengar ucapan guruaya buru- buru dia memberi hormat.
“Tecu menerima perintah!” katanya.
Dilain pihak Tiang heng To koh sedang berkata pula, “Liong-ji, sebetulnya bibi Ku tak ingin kalau kedatanganku kau
ketahui, tak disangka kembali kau berhasil menebaknya secara jitu, aaai….bibi Ku tidak tega untuk membungkam diri terus serta tidak memperdulikan dirimu, cuma kali ini kau juga tak perlu bersilat lidah, sebab bibi Ku tak mungkin akan mendengarkan perkataanku itu”
“Bibi Ku apakah kau sudah tak sayang kepadaku lagi?” teriak Coa-Wi-wi pula dengan cemas, “kenapa kau tidak memperdulikan aku? Menyapa saja tidak?”