Jilid 25
PERKATAAN tersebut segera mengundang rasa geli dari Tiang-heng Tookoh, “Cengli apa yang hendak kau bicarakan?” katanya, “Apakah engkau hendak mengatakan pinto telah melakukan bagaimana terhadap keluarga Hoa kalian?”
“Yaa, benar!” Hoa In-liong membenarkan, “Bila Cengli perlu dibicarakan, soal tersebut mau tak mau harus dibicarakan pula. Cuma….soal itu lebih baik dibicarakan sampai pada waktunya saja! Bagaimanapun juga Liong-ji lah yang akan bertanggung jawab. Asal bibi Ku setuju untuk menanggalkan jubah pendeta dan berkumpulan dengan kami, Liong-ji jamin ayah sendirilah yang akan menyambut kedatangan bibi di perkampungan kami”. Namun Tiang-heng Tookoh gelengkan kepalanya berulang kali. Dia hanya tertawa tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Hoa In-liong jadi tertegun.
“Kenapa?” teriaknya, “Apakah engkau tak percaya dengan Liong-ji?”
“Dalam soal ini bukan percaya atau tidak yang dipersoalkan. Sebaliknya adalah pinto yang tak dapat menyanggupi permintaanmu itu. Pinto tak mungkin memenuhi harapanmu itu”.
Hoa In-liong semakin tertegun, semakin termangu. Setelah melongo beberapa waktu lamanya ia baru berkata lagi, “Bibi Ku, kau tidak pakai aturan. Sekarang kau sedang melarikan diri dari tanggung jawab. Kau sedang berusaha menghindari kenyataan. Kau berusaha mencuri hidup diantara perasaan yang saling bertentangan dengan perasaan egoismu sendiri, tahukah engkau akan hal ini?”
Tiang-heng Tookoh tersenyum. “Percuma Liong-ji. Kau tak usah menggunakan kata-kata semacam itu untuk membakar perasaanku keputusan pinto sudah kuambil sejak delapan tahun berselang. Membakar hatiku hanya pekerjaan yang sia- sia belaka, lebih baik berhematlah dengan tenagamu!”
Hoa-In-liong benar benar kehabisan akal, alisnya mulai berkerut karena kesal.
“Bibi Ku, tampaknya kau memang seorang perempuan yang berhati sekeras baja” omelnya. Tiang-heng Tookoh masih juga tersenyum seperti sedia kala. “Kau keliru anak liong. Hati pinto sebenarnya lebih empuk daripada tahu. Sebab hati yang terbuat dari besi makin digarang makin lembek. Sebaliknya hati yang seempuk tahu makin digarang, akan semakin mengeras, tahukah engkau akan hal ini?”
Hoa In-liong bukan seorang manusia yang bodoh setelah menyaksikan keadaan tersebut, diam-diam diapun berpikir, “Aaaai…. Jika ditinjau dari sikapnya yang amat santai dan acuh tak acuh, tampaknya usahaku kali ini hanya akan sia-sia belaka. Aku…. aku…. Yaa benar! Aku harus memanasi lagi hatinya. Coba dilihat dulu bagaimana reaksinya sebelum mengambil keputusan lebih jauh!”
Setelah mengambil keputusan, diapun menatap tajam perempuan itu, kemudian ujarnya dengan suara dalam, “Jadi kalau begitu, bibi Ku sudah mengambil keputusan untuk melakukan pembalasan dendam?”
“Membalas dendam?” Tiang-heng Tookoh tertegun dan berdiri melongo, “Aku mau membalas dendam….? Membalas dendam kepada siapa nak?”
“Tentu saja kepada ayahku!” sahut Hoa In-liong dengan dahi berkerut. Ia sudah mempunyai rencana yang matang, maka ucapan itupun dikatakan dengan wajah bersungguh- sungguh, “Bukankan kau hendak membalas dendam pula terhadap anak cucu dari keluarga Hoa kami?”.
Tiba-tiba perubahan wajah Tiang-heng Tookoh yang menegang berubah jadi lembut kembali, ia tersenyum. “Jadi engkau berpendapat demikian?” ia bertanya.
“Yaa, dan aku rasa itulah kenyataannya!” jawab Hoa In- liong dengan nada marah, “Kami keluarga Hoa telah bersalah kepadamu, membiarkan kau hidup bergelandangan seorang diri diluar, bukankah hal ini….”
“Bukankah hal ini sama halnya dengan menjerumuskan ayahmu sebagai seorang manusia yang tak setia kawan, membuat anak keturunan keluarga Hoa harus menanggung sesal sepanjang hidup. Bukankah Demikian?” tukas Tiang- heng Tookoh, “Liong-ji kau telah memandang duduknya persoalan terlampau serius. Apalagi pinto sendiripun tak pernah berpikir sampai kesitu, bahkan selamanya tak nanti akan berpikir demikian”
Tiba-tiba Hoa In-liong jadi emosi, serunya, “Yaa, kau tak akan berpikir demikian, tapi aku berpikir demikian! Ayahku mungkin tidak berpikir begitu, namun bagaimana dengan orang orang lainnya? Mereka pasti akan berpendapat betul!. Kami orang-orang dari keluarga Hoa biar kepala harus dipenggal, darah berceceran menggenangi tanah, semuanya tak sudi melakukan perbuatan yang merugikan orang lain.
Nama yang berhasil kami raih selama inipun diperoleh secara jujur dan terbuka. Tapi hari ini ternyata masih ada satu kejadian yang tidak menyenangkan menyangkut diri ayahku. Bukankah hal ini sama halnya dengan mempersulit kedudukan keluarga Hoa kami? Bukankah kejadian ini akan lebih menyiksa diri kami daripada kami semua dibantai?. Bibi Ku, melimpahkan bencana sampai anak cucunya, apakah kau tidak merasa bahwa caramu membalas dendam sedikit kelewat kejam dan berlebihan?”
Beberapa patah kata yang terdapat memang merupakan suatu kenyataan. Tiang-heng Tookoh cukup memahami akan keadaan tersebut, tapi berbicara soal pembalasan dendam, itulah suatu tuduhan yang bikin orang jadi penasaran.
Tapi, Hoa In-liong memang bertujuan untuk membakar hati Tiang-heng Tookoh. Tentu saja ia baru mamiliki kata-kata yang dapat membangkitkan amarah lahir tersebut dan buktinya rahib perempuan itu memang tak tahu menghadapi sekarang kata-kata yang kesal didengar itu.
Paras mukanya berubah hebat, dengan nada yang kesal ia membentak keras-keras, “Tutup mulutmu! Membalas dendam…. membalas dendam…. Kalau aku mau membalas dendam, lantas kenapa? Apakah kalian….”
“Kami kenapa?” tukas Hoa In-liong dengan wajah mengejek, “Kami bukannya sengaja bermaksud melupakan engkau. Hmm! Kalau sejak dulu kami tahu bahwa pikiranmu demikian picik, dadamu demikian sempit. Bukan saja aku tidak akan banyak ribut dan cerewet hingga mengesalkan hati orang mungkin ayahku sendiri juga tak sampai turun gunung!”
Ketika si anak muda itu mengucapkan kata-katanya dengan nada yang sinis, Tiang-heng Tookoh dibuat terbelalak karena kaget. Selang sesaat kemudian, si Rahib perempuan itu baru berkata lagi dengan suara dingin, “Kalau ayahmu turun gunung lantas kenapa? Siapa yang tidak tahu bahwa ayahmu adalah seorang enghiong, seorang pendekar, seorang laki-laki yang lebih mementingkan karier….”
Ketika secara diam-diam Hoa In-liong mengamati perubahan wajahnya, ia lantas berpikir, “Bagus…. sudah hampir kena. Begitu kusinggung bahwa ayahku sudah turun gunung, ternyata paras mukanya berubah juga”.
Meski berpikir demikian dihati, sikap diluaran tetap kaku dan sinis, malahan dengan suara yang berubah sekali lagi dia menukas, “Bibi Ku, jadi kau tidak pandang sebelah mata kepadaku?” Ucapan tersebut ibaratnya hembusan angin dari lubang gua, mendadak sekali munculnya seketika itu juga membuat Tiang-heng Tookoh tertegun.
“Apa maksudmu?” serunya kemudian.
“Kau mengatakan ayahku seorang enghiong, seorang pendekar, seorang laki laki yang mementingkan karier, bukankah hal ini sama artinya dengan tidak pandang sebelah mata kepadaku?” seru Hoa In-liong dengan mata melotot besar.
“Eeeh…. Kalau bicara sedikitlah lebih jelas. Siapa yang tidak pandang sebelah mata kepadamu?”
Hoa in-liong mendengus dingin. “Hmmm….! Masih berpura pura? Terus terang kukatakan kepadamu, ayanku turun gunung kali ini adalah sedang menjalankan tugas untuk mencari dirimu. Sebaliknya tanggung jawab dalam menegakkan keadilan dan kebenaran serta menumpas hawa iblis dari muka bumi oleh nenek telah diserahkan kepadaku. Dengan perkataanmu barusan, bukankah sama artinya bahwa kau memandang enteng usiaku yang masih terlalu muda, kepandaian silatku yang terbatas dan tak pantas memikul tanggung jawab tersebut?”
Jelas perkataannya itu adalah kata-kata bohong sekalipun ada beberapa hal yang merupakan kenyataan, namun jauh sekali bila dibandingkan dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Meski demikian, ketika ia utarakan kata-kata itu dengan nada marah, menunjukkan sikap tak mau kalah dari seorang muda. Bukan saja orang yang mendengar seakan akan dibikin percaya. Tiang-heng Tookoh yang semula masih ragu-ragu pun jadi percaya dibuatnya.
Betul juga, ketika Tiaig-heng Tookoh mendengar perkataan itu hatinya kontan bergetar keras, paras mukanya ikut berubah hebat. “Sungguh…. sungguh ini?” ia bertanya dengan nada gemetar.
Hoa In-liong mencibirkan bibirnya. “Sungguh atau tidak, aku dapat mengambil . Kenyataan membuktikannya dihadapanmu, buat apa kau musti banyak bertanya?”
Ia pura pura seperti salah mengartikan maksud lawan, pura-pura seperti seorang laki-laki yang merasa tersinggung karena kemampuannya diragukan orang.
Semakin ia bersikap begitu, Tiang-heng Tookoh semakin percaya bahwa kata kata anak muda itu adalah kenyataan.
Maka baru saja Hoa In-liong menyelesaikan kata-katanya, dengan wajah gugup dan tegang ia berseru kembali, “Liong-ji, aku sedang menanyakan tentang….”
Tak bisa diragukan lagi, kata kata selanjutnya tentulah “ayahmu atau orang tuamu bagaimana…. bagaimana….”
Namun, justru dengan pertanyaan ini, terlihatlah dengan jelas betapa bertentangannya jalan pikiran si rahib perempuan itu, dan terbongkar pula bagaimanakah perasaan hati yang sebenarnya.
Oleh sebab itu ia stop perkataannya sampai di tengah jalan, untuk sesaat dia jadi gelagapan dan tak tahu harus maju atau mundur, tertegun dan berdiri melongo. Perlu diketahui, Tiang-heng Tookoh sampai nekad mencukur rambut jadi pendeta dan menggunakan “Tiang- heng” sebagai gelarnya, bahkan dewasa ini diapun tak mau menyanggupi permohonan dari Hoa In-liong, hal ini bukan dikarenakan rasa cintanya sudah menipis, rasa bancinya makin menebal. Juga bukan lantaran wataknya sudah berubah dan ia jadi orang yang tak tahu adat. Sebaliknya kesemuanya itu justru karena perasaan hatinya yang saling bertentangan.
Atau tegasnya, hal ini dikarenakan rasa rendah dirinya yang menebal menyebabkan perasaannya jadi sensitif, gampang tersinggung dan akhirnya terciptalah sikap jaga gengsi yang berlebihan.
Seandainya ia dapat menghilangkan sikap jaga gengsinya, hilanglah rasa rendah dirinya, maka semua kemurungan dan kebencian secara otomatis akan ikut lenyap pula dengan sendirinya
Teringat ketika peristiwa pencarian harta dibukit Kiu-ci-san tempo hari, Chin Wan-hong hujin pernah mendapat perintah dari Bu lo-tay-kun untuk berangkat ke bukit Kiu-ci-san dan membicarakan tentang hubungan antara Hoa Thian-hong dengan diri Tiang-heng Tookoh ketika itu.
Dengan watak Chin Wan-hong hujin yang luwes dan halus, ia telah memberi banyak penjelasan tentang budi, cinta, setia kawan dan cengli terhadap diri Tiang-heng Tookoh ketika itu. Bahkan diapun telah menyampaikan pesan dari Bu lo-tay kun yang mengundang dirinya untuk berdiam di perkampungan Liok-soat-san-ceng.
Ketika itu Giok-teng hujin (Tiang-heng Tookoh) pernah berkata demikian, “Kakak benar-benar tak punya keberanian untuk melangkahkan kakiku memasuki gerbang keluarga Hoa!” Diapun berkata pula demikian, “Bukannya aku tak mau.
Pada hakekatnya aku merasa malu, merasa rendah diri untuk berbuat demikian!”
Waktu itu, berada dihadapan Chin Wan-hong yang lembut dan luwes, boleh dibilang semua perkataan yang diutarakan keluar. Muncul secara jujurnya dan benar-benar keluar dari sanubari yang murni. Namun tak bisa dihindari pula rasa malu dan rendah dirinya makin terbuka pula dalam kata-kata itu.
Sebab itulah ketika pencarian harta karun di bukit Kiu ci- san telah berakhir, bukan saja ia tidak menerima tawaran dari Chin Wan-hong hujin untuk berdiam sementara waktu di pasanggrahan keluarga Hoa yang ada dipulau Si-soat-to dilautan Tang-hay. Bahkan sebaliknya ia malah bergelandangan kesana kemari dan berusaha sedapat mungkin menghindari pertemuannya dengan setiap orang yang berhubungan dengan keluarga Hoa.
Ia berbuat demikian pada mulanya bermaksud demi kebaikan Hoa Thian-hong, juga ingin memutuskan rasa kangen Hoa Thian-hoeng terhadap dirinya. Siapa tahu sama kini dia berbuat demikian rasa kangen dan cintanya kepada Hoa Thian-hong yang bertambah dalam.
Memang hatinya pernah tergerak untuk berdiam di pasanggrahan keluarga Hoa di pulau Si-soat to namun ia selalu tak mempunyai keberanian untuk melangkah ke bukit Im Tiong-san.
Yaa, cinta yang terlampau ditekan lama kelamaan memang bisa menimbulkan akibat sampingan. Akhirnya ia mulai berpikir bahwa jelek-jelek Hoa Thian-hong seharusnya turun gunung untuk menengok dirinya. Tidak seharusnya kalau ia berdiam diri belaka seakan-akan telah melupakan sama sekali terhadap seorang perempuan yang bernama Giok-teng hujin.
Akibatnya rasa kesal yang menumpuk menimbulkan kebencian. Dengan menahan rasa benci dan dendam diapun memutuskan untuk cukur rambut jadi pendeta dengan gelar “Tiang-heng” (benci yang berkepanjangan).
Tapi sekarang, Hoa Thian-hong datang mencarinya, bahkan datang dengan membawa tugas. Jelas yang dimaksudkan dengan “membawa tugas” adalah tugas yang diberikan Bun Lo tay-kun kepadanya, dengan demikian membuktikan pula bahwa orang-orang keluarga Hoa pada hakekatnya tak pernah melupakan dirinya. Hal ini bukankah sama artinya dengan dia sendirilah yang sebetulnya sudah salah sangka?
Untuk sesaat lamanya, Tiang-heng Tookoh betul betul merasakan pikirannya kalut dan murung. Belum pernah pikirannya sekalut ini.
Berbeda dengan Hoa In-liong, diam diam ia gembira karena siasatnya sudah mendatmgkan hasil, katanya kembali, “Bibi Ku, kau sedang menanyakan soal ayahku? Terus terang saja sebenarnya aku tak ingin mengatakannya kepadamu.
Daripada kau kira aku sedang membohongi dirimu, tapi sekarang toh aku sudah terlanjur mengatakannya keluar, maka aku pun tak ingin mengelabuhi dirimu lagi. Yaa benar bibi Ku, ayahku sedang mencarimu. Liong-ji ingin bertanya sekarang seandainya kau telah bertemu dengan ayah, apakah bibi Ku masih tetap akan keras kepala seperti ini?”
Ia memang bermaksud untuk membakar hati rahib itu, maka tak segan-segannya untuk bicara bohong, berbicara menurut perasaannya. Tujuan kali ini pasti akan berhasil, siapa tahu cara lain pun tak mempan, apalagi hanya mengandalkan sepatah dua patah kata saja? Tiang-heng Tookoh termenung dan berpikir sebentar, kemudian pelan-pelan bangkit berdiri, ujarnya dengan lembut, “Baiklah kalau begitu tolong sampaikan kepada ayahmu.
Katakanlah Ku Ing-ing yang dulu sudah mati banyak tahun. Yang masih hidup didunia sekarang ini tak lebih hanyalah Tiang-heng Tookoh. Kenangan lama bagaikan asap di udara, harap dia tak usah mencari diriku lagi”
Perkataan itu diurapkan dengan sikap yang serius, nada yang kalem dan sama sekali tak nampak emosi.
Sikap seperti ini tentu saja mencengangkan Hoa In-liong. Ia tertegun dan ikut bangkit berdiri. “Kenapa?” serunya, “kau…. kau….”
Tiang-heng Tookoh tertawa ewa, sambil ulapkan tangannya ia menjawab, “Selamat tinggal anak liong. Kau sangat cerdik, semoga kau baik-baik menjaga diri dan jangan lupa dengan pesan pinto!”
Kemudian kepada Coa Wi-wi diapun berseru, “Selamat tinggal!”
Kemudian sambil mengebaskan ujung jubahnya, ia putar badan dan berlalu dari situ.
Hoa In-liong jadi termangu. “Bibi Ku!” teriaknya, “Kau….”
Namuh Tiang-heng Tookoh tidak berpaling lagi, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Hoa In-liong siap menerjang, tapi Coa Wi-wi segera menarik tangannya seraya berbisik, “Percuma, tak mungkin dapat kau susul lagi. Jiko! Biarkan dia pergi….” Hoa In-liong termenung sebentar akhirnya ia menghela nafas panjang, “Aaaai…. Akulah yang terlalu bernafsu. Akulah yang tak dapat mengendalikan emosiku. Aaaai! Siapa tahu kalau ia akan pergi sambil memutuskan hubungan. Begitu mengatakan mau pergi segera juga ia pergi!”
“Siapa bilang kalau dia pergi sambil memutuskan hubungan? Justru lantaran dia jadi bingung, gelagapan dan tak tahu apa yang musti dilakukan, maka dia putuskan untuk pergi saja dari sini. Tak usah kuatir Jiko! Pada hakekatnya ia sudah kau buat tergerak perasaan hatinya. Aku dapat melihatnya. Bila kalian berjumpa lagi dikemudian hari, aku yakin kau pasti berhasil”
“Aaaai!…. Kalau musti menunggu sampai bertemu lagi dikemudian hari, siapa bilang kalau aku akan berhasil dengan gampang?”
“Aaaah…. Kenapa kau jadi tolol begitu?” omel Coa Wi-wi dengan dahi berkerut, “Kemarikan telingamu, akan kuberi tahu duduk persoalan yang sesungguhnya!”
Melihat perempuan itu sok rahasia, terpaksa Hoa In-liong tundukkan kepalanya dan menempelkan telinganya disisi bibir gadis itu.
Coa Wi-wi meninggikan tumitnya dan membisikkan sesuatu disisi telinga pemuda itu. Entah apa yang telah ia bisikkan.
Tapi yang jelas, setelah mendengar bisikan tersebut, Hoa In-liong mengangguk berulang kali. “Yaa…. apa boleh buat, terpaksa memang harus begitu, semoga saja apa yang kau duga memang tepat!” “Pasti!” sahut Coa Wi-wi dengan wajah bersungguh- sungguh, “Bila kau tidak percaya, bagaimana kalau kita bertaruh saja?”
Hoa In-liong tertawa geli. “Bertaruh apaan? Anggap sajalah aku percaya kepadamu, mari kita berangkat!”
Maka kedua orang itupun tinggalkan hutan menuju ketepi sungai sambil bergandengan tangan.
Ketika fajar baru menyingsing, kedua orang itu sudah tiba di dermaga penyeberangan Wu-kang. Selesai bersantap pagi, mereka mencari perahu dan berangkat menuju kota Kim-leng.
Inipun merupakan usul dari Coa Wi-wi. Ia bilang dengan menempuh perjalanan memakai perahu maka mereka akan berhindar dari pengawasan orang serta mengurangi datangnya banyak kesulitan yang tak perlu.
Selesai itu diapun beralasan lantaran racun keji yang mengeram ditubuh Hoa In-liong belum lenyap, maka menggunakan kesempatan menumpang perahu ia dapat bersemedi untuk memaksa keluarnya racun dari badan.
Padahal, setelah mereka berdua naik perahu, Coa Wi-wi malahan bertanya kesana bertanya kemari tiada hentinya.
Pokoknya ia bagaikan seekor burung kecil yang manja, meskipun agak bawel dan bertanya terus, cukup menggembirakan hati orang.
Hoa In-liong bukanlah seorang pemuda yang pemurung.
Apa yang mereka rencanakan semulapun segera dikesampingkan untuk sementara waktu. Di hadapan sigadis yang manja itu dia bersikap penurut. Semua pertanyaan yang diajukan kepadanya segera dijawab sampai memuaskan hatinya. Sementara persoalan yang menyangkut keselamatan Hoa Si pun untuk sementara waktu dikesampingkan.
Perahu yang berjalan mengikuti arus ternyata bergerak lebih cepat dari psrjalanan di darat. Ketika senja menjelang tiba, perahu sudah tiba di dermaga Hee-kwan.
Kedua orang itupun naik kedataran dan masuk kota.
Menurut rencana Hoa In-liong, dia segera akan kembali ke persoalan yang nyata. Tapi setelah merenung sebentar, akhirnya diapun berkata begini, “Adik Wi, lebih baik kau pulang dulu, aku hendak menengok keadaan dirumah pelacuran Gi-sim-wan”
“Tidak!” belum saja kata-katanya selesai, Coa Wi-wi sudah menukas dengan cepat, “Aku tak mau pulang, lebih baik kita pergi bersama sama saja!”
“Tapi…. Tapi…. Masa kau mau ikut pergi ke tempat semacam itu? Kan tidak pantas?” sahut Hoa In-liong sambil menunjukkan sikap keberatan.
“Aaaah…. Siapa yang bilang kalau aku tak pantas berkunjung kesana?” teriak Coa Wi-wi cemberut, “Pokoknya aku tak mau tahu. Toh kau telah berjanji, kemanapun kau pergi aku akan mengikuti terus. Kau jangan salah janji!”
Hoa In-liong mengerutkan dahinya, pusing, tapi setelah berpikir sebentar katanya kembali, “Adik Wi sayang, mesti menurut. Banyak urusan yang musti kita kerjakan saat ini. Bagaimana pun juga semua pekerjaan tersebut harus kita lakakan secara terpencar. Pulanglah dulu ke rumah, coba tengok apakah kakakmu masih dirumah. Bila ada maka suruhlah dia tunggu sebentar, aku akan segera menyusul ke sana” “Percuma, tak usah ditengok!” Coa Wi-wi gelengkan kepalanya kembali, “Aku cukup memahami wataknya itu. Apa yang katakan Wa Ek-hong pasti tak bakal salah lagi dia, pasti sudah pergi menemani Yu toako”
“Tapi kakakmu adalah seorang laki-laki yang pegang janji. Ketika kami berpisah, ia telah berjanji akan menunggu aku di kota Kim-leng. Padahal keadaan yang sebenarnya mengenai keluarga Yu hanya diketahui oleh kakakmu seorang. Aku tidak kenal siapa-siapa disini, rasanya tidak gampang bagiku untuk menemukan jejaknya….”
“Kau tidak kenal siapa-siapa aku toh kenal” kembali Coa Wi-wi menukas dengan cepat, “Aku bisa membawa kau pergi mencarinya. Kalau tidak apa salahnya kalau kita langsung berkunjung ke telaga Hian-bu-ou?”
“Bila kakakmu kita temukan, mati tak perlu berkunjung ke Hian-bu-ou. Ketahuilah adik Wi menolong orang bagaikan menolong kebakaran, kita harus bekerja cepat”
“Walau begitu, toh tak ada gunanya musti bergelisah atau bercemas-cemas? urusan musti kita selesaikan satu demi satu. Hayolah, kita cari dulu alamat dari markas Cian-li-kau. Setelah keadaan Toako dapat kita ketahui maka kita baru pergi mencari kakakku dan menyelidiki kejadian yang sebenarnya mengenai keluarga Yu. Asal dia ditemukan, bukankah kepergian Yu toako juga bakal kita ketahui?”
“Baiki” kata Hoa In-liong dengan kening berkerut, “Kalau toh engkau sudah tahu bahwa tujuanku adalah mencari markas Cian-li kau, itu berarti aku bukan pergi untuk mencari gara-gara apa lagi yang kau kuatirkan?. Ketahuilah, rumah pelacuran Gi-sim-wan adalah tempat yang rendah dan bejat. Sebagai seorang anak dara tidak pantas bagimu untuk mengunjunginya…. Mengerti?” “Hmmm! Darimana kau bisa tahu kalau tak akan terjadi pertarungan?” seru Coa Wi-wi tak mau kalah. Seandainya sampai terjadi bentrokan kekerasan, lantas bagaimana? Kau bilang anak dara tak boleh berkunjung ke situ, bila ku saru sebagai orang pria kan urusan jadi beres? Aku tidak percaya kalau didunia ini terdapat pula tempat-tempat yang tak boleh kukunjungi”
Hoa In-liong benar-benar mati kutunya, ia tak mampu memberikan alasan lagi kepada si nona yang cerdik.
Yaa, memang rada pusing setelah bertemu dengan seorang nona setengah matang setengah ke kanak-kanakan macam Coa Wi-wi. Bukan saja ia tak dapat menerangkan Gi sim-Wan itu tempat yang bagaimana, diapun tak dapat menarik muka sambil memaksanya pulang dulu ke rumah. Apalagi apa yang diucapkan Coa Wi-wi bukannya sama sekali tak beralasan.
Sekalipun ia cerdik, sekalipun ia banyak akal musliat, tapi sekarang anak muda itu benar-benar keok benar-benar mati kutunya dan tak sanggup berkata-kata lagi.
Maka diapun meneruskan perjalanannya dengan membungkam, sedang Coa Wi-wi mengikutinya pula di belakang dengan mulut membungkam juga. Begitulah…. dalam suasana bening dan tutup mulut, kedua orang itu masuk ke dalam kota.
Tak lama setelah mereka masuk kota, dari depan sana tiba- tiba muncul seorang pengemis kecil yang menghampirinya.
Begitu sampai dihadapan Hoa In-liong sambil tertawa pengemis kecil itu berseru, “Kongcu, apakah kau she-Pek?”.
“Ada urusan apa….?” tanya Hoa In-liong dengan wajah tertegun, ia heran. Pengemis kecil itu segera tertawa cekikikan. “Hiih…. hiii….
Bila engkau benar-benar she Pek, tolong hadiahkan setahil perak untukku!”
Ketika Coa Wi-wi mengetahui bahwa orang itu cuma seorang pengemis yang minta persen, kontan saja matanya melotot besar, rupanya dia hendak mengumbar hawa amarahnya.
Berbeda dengan Hoa la-liong, setelah berpikir sebentar ia merasa urusan ini sedikit mencurigakan. Maka diambilnya setail perak dan diberikan kepada pengemis itu.
“Nih, hadiah untukmu, kalau ada perkataan cepat disampaikan!” serunya.
Setelah menerima uang itu dan ditengoknya sebentar, pengemis cilik itu kembali tertawa cekikikan. “Hii…. hii…. hiih…. Kalau begitu perempuan-perempuan itu tidak salah bicara. Kongcu-ya tentulah orang she Pek yang dimaksudkan. Nih Untukmu….”
Tangannya yang dekil segera merogoh ke dalam sakunya dan nenyusupkan segumpal kertas ketangan Hoa In-liong setelah itu diapun putar badan dan berlalu dari sana dengan wajah terseri-seri.
Mula mula Hoa In-liong agak tertegun, kemudian kertas itu dibentangkan dan isinya dibaca.
Coa Wi-wi ikut menyusul kedepan dan membaca pula isi surat tersebut….
Terbcalah surat itu berbunyi demikian, “Anak Si tidak apa apa, baik-baiklah jaga diri” Dibawah kertas itu terdapat sebuah tanda pengenal, sebuah lingkaran bukit yang mempunyai sebuah ekor.
Tentu saja Coa Wi-wi jadi tercengang menyaksikan tanda gambar itu. Sambil menuding tanda tersebut serunya, “Gambar apa itu? Masa mirip kecebong?”
“Huusss! Itu bukan gambar kecebong!” seru Hoa In-liong, “Itu lukisan sebuah kipas bundar, senjata andalan dari Cu- yaya”
Mendengar perkataan itu, Coa Wi-wi memperhatikan sekali lagi, betul juga, lukisan itu memang mirip sebuah kipas, maka diapun tertawa. “Bisa menggunakan sebuah kipas sebagai senjata andalan, ilmu silat yang dimiliki Cu-yaya itu pasti tinggi sekali!”
“Cu-yaya bergelar Siau-yau-sian (dewa yang suka kelayapan). Dia adalah supek dari enthio ku. Tentu saja ilmu silat yang dimilikinya sangat lihay” sahut Hoa In-liong dengan suara ewa.
Ketika didengarnya suara pembicaraan si anak muda itu dingin dan ewa, Coa Wi-wi melongo. “Eeeeh…. kenapa kamu?” serunya, “Masih marah yaa sama aku?”
“Siapa yang marah kepadamu?” sahut Hoa In-liong tertegun. Ia tampak agak tercengang.
“Aku memaksa kau, bersikeras ingin ikut dirimu pergi ke Gi- sim-wan, marah bukan kepadaku?”
Hoa In-liong berseru tertahan kemudian tertawa geli. “Nah, itulah dia kalau jadi orang banyak curiga. Aku kan tahu bahwa kau bermaksud baik. Memangnya aku ini orang yang bodoh dan suka marah-marah kepada orang yang baik kepadaku?” “Kalau bukan lagi marah, kenapa kau berdiri melongo seperti orang kehilangan semangat?. Sampai-sampai suara jawabanmu kedengaran begitu tawar dan ogah-ogahan?”
Sekarang Hoa In-liong baru sadar, “Oooh…. Rupanya begitu, aku lagi memikirkan urusan lain. Aku tahu bahwa Cu- yaya itu orangnya suka bercanda. Tapi tulisan yang ia tinggalkan kali ini begitu singkat dan terburu-buru, sebenarnya apa yang telah terjadi. Kejadian apakah yang sudah membuat dia orang tua harus tinggalkan kebiasaannya dan terburu- buru?”.
Mendengar perkataan itu, sekali lagi Coa Wi-wi menengok keatas kertas surat. Betul juga, tulisan itu miring kesana kemari dan ditulis amat terburu-buru. Tapi ia segera tertawa. “Aaaah…. engkau ini juga keterlaluan, bukankah kau sendiri pernah berkata, bila perahu sampai diujung jembatan dia akan lurus dengan sendirinya? Kalau tak bisa kau pecahkan yaa tak usah dipikirkan terus menerus!”
Hoa In-liong berpikir sebentar, ia merasa perkataan itu ada benarnya juga, maka diapun mengangguk. “Yaa, perkataan dari adik Wi memang benar. Aku lihat Gi-sim-wan juga tak usah dikunjungi lagi. Hayo bawa jalan, kita lewati saja gang- gang yang sempil dan jarang dilewati orang”.
Ketika itu magrib sudah menjelang tiba. Disaat-saat seperti ini jalan raya penuh dengan manusia yang berlalu-lalang.
Sebaliknya jalan yang sempit dan gang-gang yang sepi, jarang dilalui orang. Dengan demikian mereka bisa berjalan lebih cepat lagi.
Sejak kecil Coa Wi-wi dibesarkan di kota Kim-leng, sudah tentu dia hapal sekali dengan jalan-jalan di kota tersebut. Maka ketika ia disuruh membawa jalan, dengan langkah lebar gadis itu berjalan memasuki sebuah lorong yang sepi.
Setelah berjalan kesana kemari sekian lama, mereka mampir dulu di rumah penginapan “Ban-liong?” untuk membayar rekening serta mengambil buntalan milik Hoa In- liong. Setelah itu baru menuju ke jalan raya sebelah timur ke gedung keluarga Coa.
Congkoan dari gedung Coa bernama Kok Hong-sen. Dia adalah seorang kakek kekar yang berusia lima puluh tahunan.
Setibanya di rumah, Coa Wi-wi memanggil Kok Hong-seng untuk menghadap. Dari si kakek inilah mereka baru tahu kalau Yu Siau-lam memang benar-benar sudah menuju kebarat.
Meski Coa Cong-gi tidak ikut dalam perjalanan tersebut, akan tetapi sudah dua hari dia juga tak diketahui kemana perginya.
Begitu Coa Wi-wi mendapat tahu kalau kakaknya masih dikota Kim-leng, ia segera memerintahkan kepada Kong Hong- seng untuk mengutus orang mencarinya. Kemudian memerintahkan pula pelayan untuk menyiapkan hidangan dan mempersilahkan Hoa In-liong bersihkan badan serta berganti pakaian.
Pelayan yang bekerja di keluarga Coa banyak sekali jumlahnya. Gedung itupun sangat luas. Selesai bersantap malam, mereka berduapun duduk di ruang tengah sambil bercakap-cakap dan menunggu kembalinya Coa Cong-gi. Mereka ingin tahu apa yang telah terjadi dikeluarga Yu agar bisa disusun rencana kerja selanjutnya.
Berbicara menurut keadaan Hoa In-liong dewasa ini, sebenarnya ia tidak berminat untuk banyak bicara atau duduk tersantai-santai. Pertama oleh karena Coa Wi-wi yang manja menambah gairahnya. Kedua setelah berada di kota Kim-leng ia merasa tak enak untuk tidak mencari tahu keadaan keluarga Yu. Maka daripada kesal menunggu orang, ia memutuskan untuk bercakap-cakap sambil mengusir kekesalan dalam hatinya.
Lain halnya dengan Coa Wi-wi, dalam hati kecilnya saat itu cuma ada Hoa In-liong seorang. Soal budi dendam dalam dunia persilatan, pergolakan dan pertumpahan darah diantara umat Bu-lim, baginya merupakan persoalan nomer dua. Maka bicara punya bicara akhirnya merekapun membicarakan tentang racun ular sakti yang mengeram di tubuh anak muda itu. Menyusul kemudian membicarakan pula tentang Goan- cing Taysu beserta asal-usul keluarga Coa.
Asal usul keluarga Coa memang cukup tersohor dan punya nama besar. Tiga ratus tahun berselang siapapun yang menyinggung tentang kebajikan serta kelihayan ilmu silat Bu- seng (Rasul Ilmu Silat) Im Ceng, mereka pasti akan tunjukkan sikap menghormati dan acungkan ibu jarinya.
Cuma, Hoa In-liong bukan seorang laki-laki yang suka menyanjun orang lain. Sekalipun dia pernah mendapat warisan ilmu Bu kek-teng-eng- im-hoat dari Goan-cing Taysu, itu pun hanya menimbulkan rasa terima kasih dalam hatinya saja.
Sebaliknya begitu dia tahu kalau ayah Coa Wi-wi, Coa Coan-hua telah lenyap sejak lima belas tahun berselang, ia jadi terkejut bercampur terharu, bahkan luapan emosinya dihati hampir saja sukar dikembalikan lagi.
Hal ini disebabkan karena pertama ia mempunyai hubungan persahabatan yang akrab dengan keluarga Coa terutama Coa Cong-gi dan Coa Wi wi. Kedua dari mulut Wan Hong-giok diapun pernah mendengar bahwa pihak Mo-kau dari Seog-sut-hay sedang “menguasai sejumlah Bu-lim cian- pwe yang berilmu tinggi untuk dijadikan penyerang terdepan mereka. “Andaikata Coa Coan-hua tidak beruntung benar- benar terjatuh ke tangan orang Mo-kau, maka andaikata dua bersaudara Coa diancam dengan ayah mereka sebagai sandera, bukankah kedua orang ini benar benar akan tersiksa lahir batinnya hingga akhirnya mungkin akan mati karena kesal?”
Haruslah diketahui, Hoa In-liong yang sudah dididik sebagai seorang manusia terpelajar, pada hakekatnya mempunyai rasa setia kawan yang amat tebal. Apalagi setelah dia menghadapi tekanan demi tekanan yang diakibatkan oleh pelbagai peristiwa besar serta merta terciptalah suatu ambisi, atau katakanlah suatu cita-cita untuk mengikuti jejak ayahnya yang membasmi hawa siluman dari muka bumi dan menegakkan keadilan serta kebenaran dalam dunia persilatan.
Maka ketika secara tiba-tiba ia mengetahui bahwa ayah Coa Wi-wi yang berilmu telah lenyap semenjak lima belas tahun berselang, rasa terperanjat dan golakan emosi yang timbul dalam hatinya bukan dikarenakan kepentingan pribadi saja, melainkan juga demi keamanan umat persilatan pada umumnya.
Ia merasa kejadian itu sangat gawat dan serius bagaimana jua persoalan diselidiki hingga meujadi jelas.
Oleh karena itulah, dalam pembicaraan yang berlangsung lama, dalam hati kecilnya diam-diam ia mengambil tiga keputusan,
Pertama. Teka-teki yang menyelubungi mati hidup Coa Goan-hua harus disingkap secepatnya. Seandainya ia betul- betul sudah terjatuh ke tangan orang orang Mo-kau maka dia harus berusaha dengan segala kemampuan untuk menyelamatkannya. Ini untuk menghindari penyiksaan seterusnya serta penunggangan pihak Mo-kau kaucu yang memanfatkan kemampuannya untuk memusuhi umat persilatan di daratan Tionggoan.
Kedua. Menurut apa yang diucapkan Coa Cong-gi tempo hari, tampaknya baik perkumpulan Hiang-beng-kau mempunyai rencana yang matang untuk menghadapi para Bu lim cianpwe. Oleh sebab itu dia harus berusaha untuk mengadakan suatu pertemuan dengan Pui Che-giok, ketua Cian-li-kau untuk mengawasi gerak-gerik dari kedua partai serta menyelidiki tempat tinggal para Bu lim cianpwe baik dari golongan lurus maupun dari golongan sesat agar bisa memberitahukan kepada mereka untuk lebih waspada, jangan sampai kena dicelakai atau kena dibujuk oleh mereka hingga kekuatannya dipergunakan mereka.
Ketiga. Ia merasa bahwa kekuasaan kaum sesat dewasa ini telah menyelimuti seluruh dunia, bahkan masing-masing telah berkuasa disuatu wilayah yang cukup luas. Dia harus berusaha mencari akal untuk menghadapi mereka serta membasmi mereka semua hingga keakar-akarnya.
Walaupun ketiga buah keputusan tersebut hanya merupakan garis besarnya belaka, namun boleh di bilang sudah meliputi semua bagian yang penting. Atau tegasnya keputusannya yang ketiga bukanlah terhitung suatu keputusan, melainkan suatu keharusan yang musti dilakukan demi lancarnya keputusan-keputusan yang lain.
Tapi, keadaan situasi dewasa ini berbeda jauh dengan keadaan dalam dunia persilatan tempo dulu dimana dunia ketiga musuh dikuasai oleh tiga kekuatan maha besar.
Sewaku Hoa Tiang-hong malang-melintang dalam dunia persilatan, kekuasaan serta kekuatan tiga maha besar sudah cukup jelas. Sebaliknya situasi dewasa ini masih belum tetap. Walaupun hawa iblis telah menyelimuti seluruh dunia, namun posisi mereka belumlah jelas.
Maka untuk menanggulangi bahaya tersebut, si anak muda itu selain harus mengadakan penyelidikan, diapun musti berusaha membasminya. Maka bila ia tidak berusaha dengan cara lain, niscaya semua usahanya akan mengalami kegagalan total.
Yaaa, pada hakekatnya Hoa In-liong terhitung seorang laki laki yang berotak cerdik dan cekatan. Sebab bukan urusan yang gampang bagi seseorang untuk berpikir sampai disitu.
Demikianlah, kendatipun dalam hati kecilnya ia telah mengambil keputusan, hal mana tidak ia utarakan keluar, lebih-lebih lagi tak pernah ia rundingkan dengan Coa Wi-wi.
Selang beberapa saat kemudian, para pegawai gedung keluarga Coa yang diutus untuk mencari Coa Cong-gi secara beruntun telah kembali semua. Namun orang yang dicari belum juga munculkan diri.
Lama kelamaan habis juga kesabaran Coa Wi-wi, dia lantas bertanya kepada Hoa In-liong. “Bagaimana ini? Kita bicarakan besok pagi saja? Ataukah sekarang juga kita berkunjung ke pasanggrahan pertabiban untuk melakukan penyelidikan….?”
Hoa In-liong termenung sebeatar, lalu menjawab, “Mari kita selidiki tempat itu!”
“Baik….”Coa Wi-wi mengangguk, “Berdandan sebagai pria lebih leluasa. Aku akan ganti pakaian laki dulu, tunggu aku di ruang depan….!”
Tengah malam itu, dengan pakaian ringkas berangkatlah kedua orang itu menuju telaga Hian-bu-ou. Memandang dari kejauhan, tampak peaaangrahan pertabiban sudah musnah menjadi abu. Ketika semakin dekat makin jelaslah sudah pemandangan yang tertera didepan mata.
Sebuah gedung perubahan yang megah dan kokoh, kini tinggal puing-puing yang berserakan, mengenaskan sekali tampaknya.
Gedung itu merupakan tempat bermain Coa Wi-wi dimasa lalu. Hoa In-liong juga dua kali pernah berkunjung ke situ, malahan pernah menginap semalam. Kini berhadapan dengan puing yang berserakan, terutama bau angus yang terbawa hembusan angin, tak terasa lagi mereka menggertak gigi sambil menahan rasa benci yang tak terkirakan.
Selang sesaat kemudian, Coa Wi wi mendengus dingin. “Benar-benar perbuatan terkutuk dari manusia yang berhati bisa. Jiko! Empek Yu adalah seorang Tabib sosial, bukan saja banyak orang yang telah ditolong jiwanya. Dihari-hari biasapun tak pernah membuat perselisihan dengan siapapun. Tapi sekarang, bukan saja rumahnya dibakar sampai habis, dia orang tuapun ikut diculik. Perbuatan semacan ini apakah masih bisa diampuni? Apakah manusia yang melakukan itu sudah tidak berperi kemanusiaan lagi?”
Rasa benci yang berkecamuk dalam benak Hoa In-liong tak kalah dengan cara bencinya. Mendengar perkataan itu dia ikut mendengus. “Hmmm….! Bila mereka masih merapunyai peri kemanusiaan, tak nanti perbuatan gila yang terkutuk ini dilakukan. Kini banyak bicarapun tak ada gunanya, lebih baik kira selidiki dulu puing-puing tersebut. Siapa tahu kalau ditempat itu kita bisa mendapatkan sedikit titik terang?” Berbicara sampai disini, dia lantas bergerak lebih dulu kedepan.
Coa Wi-wi juga tidak banyak berbicara, cepat ia menyusul pula dari belakang.
Begitulah, semua puing mereka bongkar, semua abu mereka singkap. Dari paling depan sampai serambi samping. Ruang belakang mereka periksa dengan teliti, siapa tahu walaupun sudah diperiksa sampai di halaman paling belakang pun mereka tak berhasil menemukan apa-apa.
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa urusannya luar biasa. Diam-diam Hoa In-liong merasa terkejut
“Otak yang memimpi pembakaran ini pastilah seorang manusia yang luar biasa” demikian ia berpikir, “Masa begini besar gedung yang mereka bakar ternyata tak berhasil ditemukan sesuatu nada apapun yang mencurigakan hati”
Berpikir demikian matanya lantas celingukan ke sana kemari untuk memperhatikan keadaan.
Mendadak dari bawah gunung-gunungan diujung timur sana terlihat seberkas cahaya lampu. Cahaya itu tampaknya muncul secara tiba-tiba dan lagi berasal dari sudut yang tak gampang ditemukan orang.
Begitu melihat cahaya tersebut, Hoa In-liong merasa terkejut bercampur gembira cepat-cepat ia menarik tangan Coa Wi-wi berbisik dengan lirih, “Adik Wi, ikutlah aku. Tapi harus berhati-hati!”
Meskipun Coa Wi-wi adalah seorang gadis yang tak takut langit atau bumi, setelah mendengar perkataan itu, ia tak berani gegabah. Cepat pedang pendeknya disembunyikan ke belakang punggung, lalu dengan hati-hati sekali ia mengikuti di belakang Hoa In-liong mendekati gunung-gunungan tersebut. Itulah sebuah gunung-gunungan yang terbentuk dari kumpulan batu cadas sekelilingnya terdiri dari air kolam, disebelah timur dan barat masing-masing terdapat sebuah jembatan batu yang menghubungkan tempat itu dengan daratan.
Luas kolam tidaklah sama, yang paling sempitpun mencapai satu tombak lebih lima enam kaki hingga terbentuklah suatu permukaan telaga yang sempit tapi memanjang.
Disudut utara permukaan telaga terdapat lima-enam buah gundukan tanah baru. Rupanya sebuah kuburan yang dipakai untuk mengubur orang-orang yang tewas belum lama berselang.
Di sebelah selatan merupakan sebidang tanah berumput yang memanjang. Lewat kesana adalah sebuah kebun bunga. Diujung kebun adalah sebuah serambi panjang yang berhubungan dengan gedung ruang belakang, dimana bisa berhubungan langsung dengan gedung utama.
Dua orang muda mudi itu berkeliling dulu diseputar itu, lalu setelah yakin kalau disana tak ada orang, mereka baru menyeberangi permukaan air dari arah timur menuju keatas gunung-gunungan tersebut.
Gunung-gunungan itu tingginya beberapa tombak, luasnya mencapai lima tombak lebih. Oleh karena permukaannya tidak datar dan penuh ditumbuhi pepohonan bambu, cemara dan semak belukar, maka setibanya diatas bukit itu, cahaya tadi malah sama sekali tidak terlihat lagi.
Untunglah Hoa In-liong memiliki mata yang tajam dan lagi sumber cahaya itupun sudah diingat ingat didalam hati. Maka setelah berdiri sebentar diatas tebing, dengan suatu gerakan yang enteng tubuhnya berkelebat ke samping barat dari gunung-gunung itu.
Ternyata di sudut barat gunung-gunungan itu tumbuhlah sebaris bambu. Dibagian utara dari dinding barat merupakan sebuah jendela yang luasnya tiga depa. Jendela tersebut terbuat dari kayu dan waktu itu tertutup rapat. Cahaya api menembus dari balik jendela itu, ini menunjukkan bahwa sinar yang tampak dari kejauhan tadi berasal dari celah-celah jendela itu. Tapi lantaran dihadapannya tumbuh pohon bambu yang rimbun, tak aneh kalau tempat itu sukar ditemukan.
Orang bilang, “Bila ada jendela tentu ada rumah, bila ada rumah tentu ada pintu”
Menemukan segala sesuatunya itu, Hoa In-liong jadi kegirangan setengah mati. Cepat ia menggape ke arah Coa Wi-wi, kemudian sambil menunjuk kearah jendela bisiknya, “Coba lihat adik Wi. Dari dalam sana muncul cahaya lampu. Itu berarti disitu terdapat ruangan batu. Berjaga-jagalalah disini, aku akan mencari pintu masuknya”
Coa Wi-wi sudah mengetahui kalau disana ada jendela.
Maka setelah mendengar bisikan itu dia lantas mengangguk. “Tidak, jangan kau pergi dari sini. Lebih baik aku saja yang mencari pintu masuknya, sedang kau bekerja disini. Bila aku sudah memberi tanda nanti, kau baru membongkar tempat persembunyiannya”
Habis berkata dia lantas putar badan dan siap menelusuri tanah perbukitan tersebut.
“Eeeeh…. tunggu sebentar!” buru buru Hoa-In liong mencegah, “Menurut perglihatanku, orang ini belum tentu berasal dari sekomplotan dengan para pengacau. Kalau tidak, kenapa ia berani bercokol terus ditempai ini?”.
“Aaaai….! Belum tentu” bantah sinona, “Siapa tahu kalau mereka memang bernyali dan tak takut mati….”
Belum habis ucapan tersebut, tiba-tiba terdengar suara teguran yang sangat merdu berkumandang datang memecahkan kesunyian, “Terima kasih atas pujianmu. Aku berada disini, kalian tak perlu menemukan pintu masuknya lagi”
Teguran tersebut munculnya sangat mendadak ini membuat Hoa In-liong jadi terperanjat. Dengan cepat dia berpaling, maka tampaklah sesosok bayangan putih berdiri diatas lapangan berumput di sebelah sana.
Meskipun udara gelap dan cahaya bintang amat redup, namun dengan ketajaman mata yang dimiliki Hoa In-liong, ia dapat melihat kesemuanya itu dengan amat jelasnya.
Tampaklah orang itu mengenakan baju warna putih, ditangannya memegang sebuah tongkat berkepala sembilan. Wajahnya cantik bak bidadari dari kahyangan, tapi sikapnya dingin, kaku dan menggidikkan hati.
Dia bukan lain adalah Bwee Su-yok, ketua baru dari Kiu-im kau.
oooOOOOooo
TIDAK tampak bagaimana caranya Coa Wi-wi menghimpun tenaga, tahu-tahu badannya segesit turun lewat sudah melintasi kolam dan melayang turun kurang lebih satu tombak dihadapan Bwee Su-yok. Ketika ada dibukit Ciong-san tempo hari, gadis ini pernah bertemu dengan Bwee Su-yok, meskipun tak pernah melangsungkan pembicaraan atau pun tegur sapa. Tapi setelah kejadian seringkali ia mendengar tentang diri gadis itu baik dalam pembicaraannya dengan Hoa In-liong maupun dengan kakaknya.
Meski demikian, dengan wataknya yang polos dan lincah, dara itu tak pernah menaruh kesan jelek terhadap Bwee Su- yok, malah sebaliknya ia merasa simpatik dan kasihan.
Begitulah, sambil tertawa diapun menyapa, “Eeeh cici, apakah kau adalah enci Bwee?. Oooh…. Sungguh cantik nian wajahmu!”
Ketika Bwee Su-yok menyaksikan cara gadis itu melayang turun ke atas tanah, diam-diam hatinya bergidik. Apalagi ketika gadis itu menerjang ke arahnya, disangkanya ia sedang diserang, maka segenap kekuatan yang dimilikinya segera dihimpun untuk siap siaga menghadapi segeia kemungkinan yang tak diinginkan.
Siapa tahu bukan serangan yang datang sebaliknya Coa Wi- wi malah mengajukan pertanyaan dengan senyum dikulum.
Memandang wajahnya yang cantik serta senyum yang polos. Untuk sesaat Bwee Su-yok merasa agak sungkan untuk menghadapinya dengan sikap yang dingin.
Maka setelah tertegun sejenak, dengan sikap yang lebih lembut dia menyahut, “Akulah Bwee Su-yok!”
Meskipun sikapnya telah lembut, tapi mukanya yang dingin masih jelas kentara. Ini semua menyebabkan Coa Wi-wi kurang senang hati, pikirnya, “Waduh…. agaknya sok amat, memangnya apa yang diandalkan? Hmmm! Sombongnya…. bukan kepalang!”.
Hoa In-liong kuatir rekannya jadi jengkel dan melancarkan serangan ketika menghadapi sikap dingin dan sombong dari musuhnya, dengan cepat dia melayang turun disamping Coa Wi-wi, lalu menjura. “Nona Bwee, atas keberhasilanmu menduduki jabatan sebagai seorang ketua, aku harus mengucapkan selamat kepadamu!”
Dengan sombong Bwee Su-yok mendengus, bukan membalas hormat dia malahan berkata, “Seharusnya untuk bersedih hatipun kau tak sempat!”
Hoa In-liong mengerti apa yang dimaksudkan, tapi ia pura pura tertegun seperti tak mengerti. “Apa maksud nona Bwee berkata demikian?” tanyanya.
Bwee Su-yok menggerakkan bibirnya seperti akan mengatakan sesuatu, tapi tiba tiba ia batalkan niatnya itu dan mendengus dingin. Kemudian melengos ke arah lain.
Dari mimik wajahnya orang akan tahu bahwa ia sedang iri atau cemburu karena menyaksikan Hoa In-liong berdiri berjajar dengan Coa Wi-wi. Apalagi yang laki ganteng rupawan sedang yang perempuan cantik jelita bak bidadari.
Dalam pikiran yang kalut ia jadi tak dapat membedakan apakah harus cemburu ataukah marah.
“Apa maksud nona Bwee dengan kata-katanya itu? Apakah aku boleh mengetahuinya?” desak Hoa In-liong. Bwee Su-yok berusaha mengendalikan perasaannya. “Apakah anak keturunan dari keluarga Hoa adalah manusia- manusia yang tak tahu adat sopan santun?” dia menegur.
Perlu diterangkan, saat itu dia adalah seorang ketua dari suatu perkumpulan besar. Kedudukan itu luar biasa sekali, tapi Hoa In-liong ternyata menyebut dirinya sebagai “nona Bwee”. Hal ini benar-benar dirasakan olehnya sebagai suatu tindakan yang kurang sopan.
Tapi, pada hakekatnya Hoa In-liong memang sengaja berbuat demikian. Teguran dari Bwee Su-yok pun sudah ada dalam dugaannya semula, maka setelah mendengar perkataan itu dia menjawab dengan nyaring, “Semua anak keturunan keluarga Hoa adalah orang orang yang tahu akan sopan santun, kecuali aku….”
“Kenapa dengan kau?” desak Bwee Su-yok.
Coa Wi-wi mengerutkan dahinya, dia tarik ujung baju Hoa In-liong sambil berbisik. “Jiko, lagak kaucu ini terlalu sekali, lebih….”
Tapi sebelum menyelesaikan kata-katanya Hoa In-liong telah memberi tanda kepadanya agar mengikuti perubahan dengan tenang.
Sebenarnya gadis itu merasa tak senang karena Hoa In- liong bukannya menanyakan peristiwa pembakaran pesanggrahan pertabiban setelah berjumpa dengan Bwee Su- yok, sebaliknya buang waktu untuk persoalan yang tidak berarti, maka ia memperingatkan dirinya.
Tapi setelah Hoa In-liong memberi tanda, sebagai gadis yang cerdik dia lantas tahu kalau anak muda itu mempunyai tujuan tersebut. Oleh sebab itulah ia benar-benar tutup mulut. Setelah menghalangi Coa Wi-wi berbicara, Hoa ln-liong baru berkata lagi, “Aku? Oooh…. Aku adalah seorang manusia yang tak usah dilukiskan suka mencari muka. Tengiknya banyak lagi kebusukan yang tak usah dilukiskan satu demi satu”
Ternyata ia telah mengulangi kata-kata makian dari Bwee Su-yok sewaktu ada di bukit Ciong-san. Tentu saja hal ini membuat Bwee Su-yok jadi
Tertegun. Dia tak tahu musti girang atau marah. “Sungguh tak nyana keluarga Hoa mempunyai seorang keturunan semacam kau. Hmmm! Sudah sepantasnya kalau kekuasaannya berakhir sampai disini saja” serunya.
Hoa In-liong tertawa berderai derai, pikirnya, “Sebelum mati, Yu Boh mengatakan ada segerombolan manusia yang tak diketahui asal usulnya telah membakar pesanggrahan pertabiban. Padahal jika perbuatan ini dilakukan oleh orang Kiu-im-kau, sekilas pandangan saja siapa pun tahu. Perduli bagaimanapun jua jelas Bwee Su-yok tahu siapa yang telah melakukan kesemuanya ini…. Hmmm! dan lagi, si budak ingusan itu sengaja berdian disini, hal itu pasti ada sebabnya. Sekarang dia sudah merupakan seorang kaucu dari Kiu-im-kau jelas dia tak akan datang hanya seorang diri. Tapi dimanakah anak buahnya?”
Pelbagai ingatan dengan cepatnya melintas dalam benak.
Secara ringkas ia analisa semua situasi yang ada didepan mata, kemudian terasalah olehnya bahwa titik terang pada diri Bwee Su-yok tak boleh dilepaskan dengan begitu saja. Tapi jelas kalau persoalan tersebut ditanyakan secara langsung, Bwee Su-yok tak akan menjawab sejujurnya. Sebab itu harus dicarikan sebuah akal untuk menjebaknya. Begitulah, selesai tertawa iapun berkata, “Nona Bwe, tidakkah kau rasakan bahwa sebutan nona jauh lebih mesra kedengarannya daripada membahasai dirimu dengan sebutan kaucu….”
“Tutup mulutmu!” bentak Bwee Su-yok dengan mata mendelik.
Hoa In-liong benar-benar tutup mulut, malah di tatapnya wajah Bwee Su-yok sambil tertawa cengar-cengirr, terutama lirikan matanya, seakan akan mengandung maksud tertentu.
Ditatap seperti ini, Bwee Su-yok merasa pipinya berubah jadi semu merah. Jantungnya berdebar keras, cepat-cepat dia melengos ke arah lain.
Tapi secara tiba-tiba ia merasa tindakan tersebut terlampau menunjukkan kelemahan pribadi, maka dengan sorot mata setajam sembilu dia balas menatap pemuda itu, malah sambil mengetukkan tongkatnya ke tanah ia membentak keras, “Hoa In-liong, kau ingin mampus?”
“Mampus? Aaaah…. Itu kan kejadian biasa” ejek sang pemuda ewa.
Coa Wi-wi berkerut kening, diapun ikut berpikir, “Kurang ajar. Apa yang kau bicarakan dengannya omongan yang tak berguna. Kalau begini caranya, mana bisa kau temukan kabar tentang pembakaran ini?”
Berpikir demikian, cepat cepat dia menyela. “Siapa mampus siapa hidup lebih baik ditentukan secara kekerasan saja, buat apa banyak bicara? Tapi sebelum itu, kau harus memberi pertanggung jawaban lebih dulu tentang peristiwa yang menimpa keluarga yu”. Bwee Su-yok tertawa dingin. “Heeh…. heeh…. heeh…. Jadi kau anggap aku yang melakukan kesemuanya ini?”
“Sekalipun bukan kau yang melakukan, Kiu-im-kau….” “Adik Wi, jangan sembarangan omong” tukas Hoa In-liong
tiba-tiba. “Kiu-im-kau toh sebuah perkumpulan nomor satu
didunia, masa mereka sudi melakukan perbuatan membunuh dan membakar macam tindak tanduk kaum pencoleng dan bandit?”
“Hmmm! mencari muka, kurang ajar, tengik. Benar-benar menggemaskan….!” teriak Bwee Su-yok dengan gemas.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu, maka kala-kata selanjutnya segera terhenti ditengah jalan.
Coa Wi-wi tak mau mengalah dengan begitu saja dia berseru pula dengan lantang, “Kalau aku omong kosong, memangnya hanya kata-kata yang merupakan kata-kata sesungguhnya?”
Menyaksikan situasi sudah mulai panas Hoa In-liong berpikir dalam hatinya, “Adik Wi telah membakar suasana dengan kata-katanya yang kaku, ini berarti tak mungkin begitu untuk menyingkat duduknya perkara dengan cara memancing kata katanya”
Berpikir demikian dia lantas tersenyum. “Aku rasa nona Bwee pasti mengetahui dengan jelas duduknya peristiwa” ia berkata lembut. “Dan akupun sangat berharap bisa mengetahui jejak dari empek Yu suami istri. Maka bila kau bersedia memberi keterangan aku merasa berterima kasih sekali” Selesai berkata kembali ia menjura dan memberi hormat nona cantik tersebut.
Bwee Su-yok sama sekali tidak tergerak hatinya oleh tindak tanduk anak muda itu, katanya, “Kenapa kau musti berterima kasih kepadaku?
“Yaaa…. tolonglah beri penjelasan…. Membantu pasti mau kan?” Hoa In-liong menjura berulang kali.
Ditinjau dari tampang serta tindak tanduknya seakan-akan ia sedang mengajak teman untuk merundingkan sesuatu saja dan rasanya Ho Jiya dari keluarga Im Tiong-san saja yang mampu melakukan hal tersebut.
Bwee Su-yok betul-betul dibuat kheki dan gemas, mau tertawa sungkan mau menangis tak bisa, maka sesudah merenung sebentar gerutunya.
Cca Wi-wi tak dapat mengendalikan rasa gelinya lagi ia tertawa cekikikan. Apalagi setelah menyaksikan Hoa In-liong yang kocak, rasa gelinya makin tak tertahan.
Tiba-tiba Bwee Su-yok bertanya, “Jadi…. kau sangat ingin mengetahui siapa yang membakar pasanggrahan dari Kanglam Ji-gi (Tabib Sosial dari Kanglam)?”
Hoa In-liong merasa terkejut bercampur curiga. Bila Bwee Su-yok bersedia memberitahu kepadanya dimanakah Kanglam Ji-gi terkurung, kejadian ini benar-benar merupakan suatu peristiwa yang tak masuk diakal.
Meskipun curiga, ia menjawab juga, “Bila nona bersedia memberi petunjuk, tentu saja aku merasa amat berterima kasih” “Hmmm….! Tak ada gunanya ucapan terima kasih, aku minta suatu pembayaran yang setimpal” kata Bwee Su-yok dengan nada ketus.
“Pembayaran apa?”
“Pembayaran itu tinggi nilainya, aku kuatir kau tak sanggup untuk membayarnya”
“Aku tak akan segan-segan membayar permintaan apapun yang kau harapkan”
Sedingin salju paras muka Bwee Su-yok, katanya kemudian dengan suara tajam, “Aku menghendaki nyawamu, sanggupkah engkau untuk membayarnya?”
“Kentut busuk!” Coa Wi-wi tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, ia membentak nyaring, “Kau sedang mengigau. Kau tak usah omong yang
tak genah….”
Bwee Su-yok sama sekali tidak memperdulikan dirinya. Ia malah menatap wajah Hoa In-liong dengan pandangan dingin.
“Adik Wi, kenapa kau musti marah?” kata Hoa In-liong dengan suara hambar. “Sekalipun permintaannya kelewat tinggi kita kan bisa menawar sesuai dengan uang pokok yang kita miliki. Jika permintaannya belum cocok kita toh bisa merundingkannya secara pelan-pelan”
“Tidak ada kesempatan untuk berunding” tukas Bwee Su- yok lagi dengan ketus, “Kalau mau begitu, kalau tidak mau ya sudah!”
“Waaaah…. Kalau tidak jadi radaan susah….” Hoa In-liong pura-pura mengernyitkan alis matanya, “Lantas selembar nyawaku ini musti kupersembahkan dengan kedua belah tangan sendiri, ataukah nona yang akan mengambilnya sendiri?”
“Pinginnya kusuruh kau persembahkan sendiri. Tapi kalau dilihat dari sifatmu yang takut mampus, agaknya hal ini tak mungkin terjadi….”
Hoa In-liong tertawa ewa, ia sama sekali tidak gusar meskipun sudah diejek musuhnya.
Berbeda dengan Coa Wi-wi dia jadi naik pitam. “Kalau engkau tak takut mampus, kenapa tidak kau serahkan dulu nyawamu itu kepadaku?” teriaknya.
Bwee Su-yok sama sekali tidak menggubris teriakan orang, kembali ujarnya dengan lantang, “Tentunya engkau sudah tahu bukan dimana letaknya kantor cabang perkumpulan kami di kota Kim-leng?”
“Oooh…. tentu saja tahu” Hoa In-liong tertawa, “Entah bagaimana dengan pohon kui yang telah kugunakan untuk menggantung diri selama tiga hari itu? Masih seperti sedia kala atau telah berubah?”
Bwee Su-yok adalah seorang gadis yang cerdik. Tentu saja dia tahu kalau pemuda itu sedang menyindir kebodohan Kiu- im kaucu dimana sampai sampai pohon sebesar itupun berhasil dirobohkan oleh Ko Thay dengan pukulannya.
Ia merasa sangat mendongkol, sebenarnya dia pun hendak menyindir Hoa In-liong dimana pemuda itu pernah digantung selama tiga hari, tapi ketika dirasakan kemudian bahwa kejadian itu kurang begitu menguntungkan nama baiknya, diapun membatalkan niatnya itu.
Setelah tertegun sejenak, dia lantas berkata, “Aku adalah seorang yang terhormat, tak sudi aku berdebat dengan gelandangan macam kau….”
“Huuhh…. tak tahu malu” tukas Coa Wi-wi. “Kiu-im-kau sendiri juga sebuah perkumpulan kaum sesat, apanya yang luar biasa?”
Mencorong sinar marah dari sepasang mata Bwee Su-yok, tapi ia masih juga tidak memperdulikan ocehan gadis tersebut, katanya lantang, “Besok sore kunantikan kedatanganmu diruang tengah. Jika kau ingin mengetahui berita tentang Kanglam Ji-gi, datanglah seorang diri….”
Meski binal, Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang berotak cermat, sedikit kesempatan yang ada, tak disia-siakan dengan begitu saja. Mendengar kata-kata itu cepat ia berseru, “Aku ingin tahu lebih dulu, bila aku datang memenuhi janji, apakah nona Bwe juga segera memberi tahukan jejak empek Yu suami istri kepadaku….”
“Bila kau ingin tahu, datang saja tepat pada waktunya” jawab Bwee Su-yok ketus, “Soal bicara atau tidak, tergantung apakah besok hatiku sedang gembira atau tidak”
Hoa In-liong tidak marah oleh kata-kata itu, dia malah berpikir, “Jika didengar dari ucapan dayang tersebut tampaknya ia tidak berniat jujur dengan janjinya. Aku musti berhati-hati….”.
Maka sambil tertawa katanya, “Nona Bwee, aku rasa cara semacam ini tidaklah adil!”. ”Kalau merasa kurang adil janganlah datang. Tapi kalau sudah mau datang maka sekalipun harus mampus juga musti rela. Aku sama sekali tidak I bermaksud memaksa dirimu”
Jawaban ini benar-benar membuat Hoa In-liong kehabisan akal dia jadi ngenes sendiri. “Waaah…. Waaah…. Cara semacam ini namanya memaksa orang pandai amat caramu berbicara!”
“Hmmm…. Asal kita tangkap budak busuk itu, masa dia tak mau bicara?” tiba-tiba Coa Wi-wi berteriak marah.
Apa yang dikatakan kemudian dibuktikan. Dengan cepat, dengan telapak tangan kanannya ia melepaskan sebuah pukulan tipuan kemudian dengan kedua jari tengahnya dan telunjuknya ia melepaskan satu totokan maut yang dibarengi dengan gerakan tubuh yang menerkam ke muka.
Bwee Su-yok tak berani gegabah sekalipun yang terlihat olehnya hanya suatu ancaman yang menyerupai suatu ilmu pukulan tapi bukan ilmu pukulan, ilmu totokan jari bukan ilmu totokan jari.
Meski bergerak tanpa arah satu. Walaupun kelihatan seperti tak berkekuatan, tapi nyatanya serangan itu sudah mengancam hampir seluruh tubuhnya terutama bagian dada dan lambung. Jalan darah seperti Ing-cuang-hiat, Ki-bun-hiat Sin-hong-hiat, dan Hu-ciat-hiat sudah terkurung semua dalam ancaman.
Ini semua membuat dara tersebut tercengang. “Jurus serangan apa ini?” demikian ia berpikir.
Sudah tentu ancaman yang datang tak dapat dibiarkan dengan begitu saja. Dengan jurus Kui-im-cuang-cuang (Cahaya Iblis Bergoncang- goncang) tongkat kepala setannya melancar sebuah serangan balasan dengan sepenuh tenaga.
Sekejap mata, seluruh angkasa telah diliputi cahaya hitam yarg menyilaukan mata. Desingan tajam mendesis di udara dan memekakkan telinga. Kesembilan buah kepala setan di ujung tongkat seakan-akan berubah jadi sembilan buah setan hidup. Sambil unjukkan tarirg dan cakarnya siap menerkam mangsa yang ada didepannya.
Bagaimanapun jua, Coa Wi-wi masih muda. Apalagi seorang gadis, terhadap ancaman yang tiba ia masih tak terlalu dipikirkan dalam hati. Tapi bayangan setan diujung tongkat membuat dara itu menjerit lengking karena ngerinya, cepat cepat dia kabur dan mundur ke belakang.
Dengan tindakan tersebut, sama artinya kalau ia kena didesak oleh serangan orang. Coa Wi-wi kontan merasa kehilangan muka, pipinya yang putih berubah jadi semu merah.
“Bagus sekali” teriaknya dengan nada malu bercampur marah. “Permainan tongkatmu memang cukup hebat dan anggap saja jurus Pian-tong-put-ki (Berusaha Tanda Pindah) ku tadi berhasil kau terima. Nah! Sekarang coba rasakan sebuah seranganku lagi, akan kulihat apakah kau mampu untuk menyambut jurus Ciu-liu-lak-si (Bergelombang dan berpusing memenuhi enam kekosongan) ku ini”.
Bwee Su-yok tahu, serangan yang bakal dilancarkan pasti suatu serangan geledek yang mempunyai daya kekuatan luar biasa. Ia tak sempat mengejek lagi, tongkat saktinya cepat diputar sedemikian rupa untnk melindungi keselamatan jiwanya.
“Adik Wi, tahan!” tiba-tiba Hoa In-liong berseru. Sebenarnya Coa Wi-wi sudah melancarkan serangannya dengan telapak tangan kanan, dimana jari tengahnya sudah dikeraskan bagaikan sebuah tombak.
Tapi setelah mendengar seruan tersebut, ia tarik kembali posisinya lalu berpaling dengan keheranan: