Jilid 09
MERAH padam selembar wajah Yu Siau-lam karena jengah, dengan gelisah ia lantas membentak. “Cong-gi te, kau jangan sembarangan berbicara”
”Siapa bilang aku sedang berbicara sembarangan…..?” Coa Cong-gi mengerutkan dahinya rapat-rapat, “haa… haa….. haa….. perpisahan yang terlampau lama kadangkala memang memberi kemesraan bagaikan pengantin baru, aku lihat…. heee…. heee….. heee….. Saudara Siau-lam, kau tak usah pura-pura berlagak pilon lagi”
Tampaknya jago muda yang berwatak berangasan ini sudah lama menyimpan rasa mendongkolnya atas sikap Hoa In-liong serta Yu Siau-lam yang selalu membicarakan soal-soal tetek bengek yang sama sekali tak ada gunanya, maka dia menggunakan kesempatan yang sangat baik itu untuk menyindir rekan-rekannya.
Yu Siau-lam jadi mendongkol bercampur penasaran oleh perkataan itu. ia tuding rekannya sambil berseru tergagap. “Kau… kau…..”
Tiba-tiba sinar matanya membentur wajah Hoa In-liong yang masih duduk dengan senyum dikulum. Sontak saja satu ingatan melintas dalam benaknya, sekuat tenaga dia mengendalikan rasa mangkel dalam hatinya, kemudian sambil berpaling kembali ke arah Cia In, katanya lagi sambil tertawa lebar, “’Wah….. Nona Cia, aku lihat engkau memang suka sekali memutarbalikkan perkataanmu”. “Eeeh….. Yu-ya, Apa maksud perkataanmu itu?” Cia In pura-pura tertegun.
“Haaa….. haa….. haa….. Bukankah engkau telah berkata bahwa gua kuno sudah tertutup. Kalau mau terpikat, pergilah terpikat sendiri”
Ia terbahak-bahak, setelah berhenti sejenak sambungnya lebih jauh, “Haaa….. haa… haa… Aku tahu kalau nona sudah mempunyai sahabat baru dan hatimu sudah ada yang punya. Asal aku orang she-Yu masih kebagian sedikit saja cintamu, aku sudah merasa puas sekali!”
Hoa In-liong tertawa nyaring tiba-tiba menyela, “Eeeh….
Saudara Siau-lam, yang kau maksudkan sehabat-sahabat baru itu apakah diri siaute?”
Yu Siau-lam ikut tertawa. “Saudara In-liong romantis dan gagah perkasa, sedang nona Cia adalah seorang perempuan sakti yang luar biasa. Siapakah sahabat baru nona itu masakah musti siaute terangkan lebih terperinci?”
“Haaa….. haaa… haa….” Hoa In-liong segera tertawa terbahak-bahak, “Saudara Siau-lam, mempunyai roman muka yang gagah, mempunyai tindak tanduk yang supel, apalagi merupakan tamu kehormatan dari nona Cia, haaa….. haa….. siaute tak berani dianggap sebagai sahabat karibnya kuatir ada yang cemburu!”
Yu Siau-lam segera berpaling ke arah Cia In, sambil menuding perempuan itu katanya pula, “Kau tidak percaya? Kenapa tidak tanyakan sendiri kepadanya? Sudah bertahun- tahun lamanya aku berkenalan dengannya, tapi kapankah aku pernah dipersilahkan masuk pintu gerbangnya? Kata-kata tamu terhormat sudah tidak cocok lagi untukku, eeeh….. Saudara In-liong, aku saja telah bersedia mengalah, mengapa kau masih juga berusaha unjuk menampik kesempatan baik ini?”
Hoa In-liong sengaja menunjukkan sikap seperti monyet kepanasan. Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dia berpaling ke arah perempuan itu, ditatapnya wajah Cia In dengan sinar mata berkedip, kemudian tanyanya sambil tertawa cengar-cengir, “Nona Cia sungguhkah ini?”
Sebenarnya saat inilah merupakan kesempatan yang sangat baik bagi mereka untuk membawa pembicaraan kepokok persoalan yang sebenarnya.
Asal Yu Siau lam segera menyambung pembicaraan itu dengan kata-kata- “Kalau tidak sungguh2 buat apa nona Cia harus bersusah payah menangkap dirimu ribuan li jauhnya datang ke kota Kim-leng?” Niscaya Cia In akan terperangkap oleh pembicaraan tersebut dan terseret untuk mengungkapkan alasan-alasan serta sebab musababnya yang sebetulnya.
Sayang Yu Siau-lam tidak berbuat demikian, terpaksa Hoa In-liong pun melanjutkan sandiwaranya dengan mengedipkan matanya seperti monyet kepanasan.
Begitulah, dua orang pemuda ini saling memberi umpan untuk menjebak lawan. Sementara diluaran mereka berbicara kesana kemari seakan-akan sudah melupakan sama sekali akan tujuan kedatangan mereka yang sebenarnya ke sana.
Coa Cong-gi yang selalu tak mau berpikir dengan menggunakan otaknya jadi gusar dan mendongkol sekali oleh tingkah laku kedua orang rekannya, tiba-tiba dia memukul meja keras-keras, kemudian teriaknya marah-marah, “Sudah, kau tak usah banyak bertanya lagi, mau tinggal disini kau boleh saja menginap dirumah ini. Hmmm……! Ternyata engkau adalah manusia semacam ini, hitung-hitung anggap saja aku Coa Cong-gi mempunyai mata tak berbiji sehingga tak dapat menilai kepribadianmu yang bobrok dan amoral itu!”
Sambil melampiaskan rasa dongkol dan marahnya, pemuda berangasan itu segera bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu depan.
Hoa In-liong masih tetap tenang dan sama sekali tak berkutik, sedangkan Yu Siau-lam jadi panik sekali, dia segera membentak nyaring, “Kembali!”
Coa Cong-gi sama sekali tidak berhenti, dia hanya berkata lagi dengan dingin, “Mau apa kembali kesitu? Hmmm, jika engkau pun terpikat oleh kecantikan wajahnya, silahkan tetap tinggal disini… Dasar sama-sama cabulnya”.
Tiba-tiba terdengar Cia In menghela napas panjang. “Aaaaaai….. Hoa kongcu, aku benar-benar merasa takluk
kepadamu!” katanya.
Helaan napas yang datang tanpa dikemudian asal mulanya jauh diluar dugaan siapapun. Coa Cong-gi segera merasa hatinya bergerak, tanpa sadar ia putar badannya sambil bertanya, “Eeeh…. kenapa kau takluk kepadanya?”
“Yaaa…. takluk oleh ketenangannya serta kemampuannya untuk mengendalikan diri”.
“Ketenangan dan kemampuannya mengendalikan diri?” Coa Cong-gi mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Benar, ketenangannya jauh melebihi ketenangan kalian berdua. Apalagi kemampuannya untuk mengendalikan diri, kalian masih kalah jauh di bandingkan dengan dirinya. Silahkan engkau kembali kedalam ruangan!” bisik Cia In dengan murung.
Coa Cong-gi mengedipkan matanya berulang kali. Tanpa sadar dengan wajah tercengang dan tidak habis mengerti, selangkah demi selangkah, diapun masuk kembali kedalam ruangan.
Tiba-tiba dilihatnya Hoa In-liong juga bangkit, sambil menjura kepada nona itu, lalu sambil tersenyum katanya, “Nona Cia… akupun merasa takluk kepadamu, takluk oleh kecerdasan otakmu…..!”
Cia In tertawa getir, “Apa gunanya kecerdikan? Toh akhirnya aku tak dapat mengendalikan jaga perasaanku sendiri” katanya lirih.
Sekali lagi Hoa In-liong tertawa. “Apa gunanya kita membicarakan persoalan tetek bengek yang sama sekali tak ada gunanya itu? Diam-diam aku telah mengerahkan tenaga dalamku untuk memeriksa daerah disekitar tempat ini. Aku tahu dalam wilayah seluas tiga puluh kaki tak ada orang yang mencuri dengar pembicaraan kita. Nona Cia! Apabila engkau tidak menginginkan pembicaraan tersebut dilangsungkan diatas pembaringan sambil berbisik-bisik lirih, silahkan kau utarakan saja saat ini secara blak-blakan!”
Sampai detik ini Coa Cong-gi baru mengerti apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi, dia lantas berteriak keras, “Ooooh…… Sekarang aku mengerti sudah, rupanya kau….. haaa…. Haa…. Haa… ….Lote! Aku Coa Cong-gi ikut takluk benar-benar kepadamu!” Diantara gelak tertawanya yang amat nyaring seperti suara geledek, dia masuk kembali kedalam ruangan, dan langsung duduk kembali diatas kursinya semula.
Terdengar Cia In menghela napas lagi. “Aaaaaai…. Dia menginginkan aku berbicara sendiri peristiwa itu tanpa paksaan. Dengan demikian maka bila usahanya yang pertama tidak berhasil, lain kali dia masih bisa datang kemari untuk kedua kalinya. Yaaa kalau kulihat dari sikap kalian ini,
tampaknya kamu semua sudah menaruh kecurigaan terhadap rumah pelacuran Gi-sim-wan kami ini….!”
Hoa In-liong hanya tersenyum belaka, mulutnya tetap membungkam tanpa memberi komentar apa-apa.
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba Cia In berkata lebih jauh, “Apa yang pernah diucapkan guruku ternyata memang benar. Keturunan dari keluarga Hoa bukan manusia sembarangan. Mereka pasti terdiri dari manusia-manusia hebat. Setelah aku berbuat secara gegabah kali ini, tampaknya usaha yang telah kami bangun dengan susah payah selama ini, tak bisa dipertahankan lebih lanjut”.
Hoa In-liong merasakan batinya bergetar keras, tak kuasa lagi dia bertanya, “Ooooh jadi tempat ini adalah hasil dari
usaha kalian selama bertahun-tahun. Siapakah gurumu?”
Cia In mengangguk tanda membenarkan. “Guruku she-Pui bernama Che-giok!” sahutnya.
“Pui Che-giok?” bisik Hoa In-liong dengan sepasang alis matanya berkenyit.
Sekali lagi Cia In mengangguk. “Benar, guruku bernama Pui Che-giok! Beliau adalah adik angkat diri Giok Teng hujin. Ilmu silat yang dimilikinya adalah warisan dari Giok Teng hujin juga. Oleh karena itu kalau dihitung-hitung maka akupun terhitung anak murid dari perguruan Giok Teng hujin. Hoa kongcu tentunya engkau mengenal diri Giok Teng hujin bukan?”
Pucuk dicinta ulam tiba, begitulah keadaan Hoa In-liong pada saat itu. Kalau ingin dicari susahnya sampai sepatu jadi bobrokpun belum ketemu juga, tapi kalau sudah ditemukan paling paling yaa cuma begitu. Tak terkirakan rasa gembira anak muda itu setelah mendengar ucapan tersebut. Hanya dia memang pandai membawa diri, sekalipun dihati rasa girangnya meluap-luap, namun diluaran dia tetap bersikap wajar. “Ooooh, jadi nona Cia adalah anak murid dari Giok Teng hujin! ” katanya tenang, “Lantas pada saat ini Giok Teng hujin sendiri berada dimana?”
“Aaaai…. aku dengar dia sudah berpulang ke alam baka!” jawab Cia In dengan sedih.
Didengar dan nada perkataan itu, dapat dilihat betapa sedih dan kesalnya perempuan tersebut.
Hoa In-liong pandai melihat perubahan wajah orang, ketika menyaksikan mimik wajahnya, diam-diam dia berpikir, “Macam apakah manusia yang bernama Giok Teng hujin itu?
Tampaknya Cia In sendiripun kurang begitu kenal dengan perempuan tersebut. Tapi kenapa wajahnya kelihatan begitu murung dan sedih sekali….?”.
Dalam hati dia berpikir demikian diluarim segera tanyanya kembali dengan lembut, “Sudah berapa lama Giok Teng hujin kembali ke alam baka? Apakah kau pernah berjumpa dengannya?”
Cia In menggeleng dan menghela napas panjang, murung dan sedih sekali mukanya. “Dahulu aku memang pernah berjumpa dengar Giok Teng hujin, tapi itu sudah berlangsung lima belas tahun berselang. Kecantikan wajahnya luar biasa, lagi pula sikapnya lemah lembut, penuh daya tarik dan simpatik sekali….”
“Ooooh…. lalu….. lalu…… dari siapa kau mendengar tentang meninggalnya Giok Teng hujin dia orang tua?” tukas Hoa In-liong kemudian.
“Aku mendengar dari cerita guruku, jadi aku pikir hal ini tak mungkin palsu!”
“Sekarang, gurumu ada dimana? Apakah kau bisa undang dia orang tua datang kemari?”
Cia In gelengkan kepalanya berulang kali. “Semula guruku memang berdiam ditempat ini, tapi dia sekarang telah pergi meninggalkan tempat ini” sahutnya.
“Sudah pergi? Kenapa dia meninggalkan tempat ini?” desak anak muda itu lebih jauh.
“Aaaaai….! Kesemuanya ini! adalah akibat aku telah salah melakukan pekerjaan. Tidak sepantasnya kalau kubawa kongcu datang ke kota Kim Leng ini”.
“Ooooh….! Jadi maksudmu, gurumu segan atau tidak bersedia untuk bertemu dengan aku?”
“Salah satu penyebabnya memang guruku tak ingin berjumpa dengan dirimu…..” jawab Cia In sedih, “Tapi yang terpenting adalah dia kuatir bila usaha yang berhasil kita bangun dengan susah payah selama banyak tahun ini tak dapat dipertahankan lagi rahasianya, maka guruku akan pergi ke tempat lain untuk membuat rencana berikutnya!” “Nona Cia, selama ini kau selalu menyinggung tentang tak dapat dipertahankannya usaha kalian selama banyak tahun, ada satu hal yang rasanya kurang enak bila tak kutanyakan kepadamu. Tolong tanya nona, apakah gurumu telah mendirikan sebuah perkumpulan atau suatu organisasi besar dalam dunia persilatan?” tiba-tiba Yu Siau-lam menimbrung dari samping dengan penuh antusias.
Sementara itu Hoa In-liong sendiripun diam-diam sedang berpikir dengan perasaan tidak habis mengerti. “Aneh… kejadian ini betul-betul sangat aneh. Padahal aku sama sekali tidak kenal dengan gurunya itu, tapi kenapa gurunya tidak bersedia untuk berjumpa dengan aku?. Aaaah….. benar! Dia tadi bilang kalau gurunya adalah saudara angkatnya Giok Teng hujin. Kalau Giok Teng hujin telah meninggalkan dunia yang
fana ini, dus adalah tanda pengenal nyonya itu sudah terjatuh ke tangan gurunya. Haaa… haa….. haa….. Jadi kalau urusan ini dihubungkan satu sama lainnya, delapan puluh persen terbunuhnya Suma siok-ya berdua ada sangkut pautnya dengan perempuan she-Pui tersebut. Aku harus mencari kesempatan yang baik menyelidiki latar belakang dari peristiwa tersebut….”
Dalam pada itu Cia In telah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan dari Yu Siau-lam. “Benar!” Demikian ia berkata, “Dengan hadirnya Hoa kongcu disini, rasanya akupun tak mungkin akan merahasiakan persoalan ini lebih jauh. Yaaa memang, guruku telah mendirikan suatu perkumpulan dan perkumpulan itu kami namakan perkumpulan Cha-li-kau (kumpulan nona-nona), cuma saja ”
Tiba-tiba dia membungkam. Sementara itu Hoa In-liong sudah mempunyai rencana yang cukup matang untuk mengatasi masalah pelik yang sedang dihadapi. Ketika mendengar perkataan itu dia lantas tertawa nyaring. “Haa…… haa….. haa…… Perkumpulan Cha-li- kau maksudmu?” tukasnya, “Apakah perkumpulan itu adalah sebuah perkumpulan sesat yang khusus memikat hati orang dengan kecantikan wajah perempuan?”
“Eceeh….. Hoa kongcu, kau tidak boleh menuduh orang dengan kata yang bukan-bukan!” seru Cia In dengan panik.
“Kenapa? Memangnya aku sudah salah berbiara atau mungkin ada soal lain dibalik kesemuanya itu?”
Dengan sedih Cia In menjawab, “Sebenarnya guruku memang mempunyai tujuan tertentu, dia ingin…… dia ingin……”
“Haaa….. haaa…… haa……. Dia ingin apa?” seru Hoa In- liong terbahak-bahak. “Eeeh, kenapa tidak kau lanjutkan perkataanmu lebih jauh?”
Cia In menggerakkan bibirnya seperti mau mengatakan sesuatu, tapi sesaat kemudian dia telah membatalkan niatnya itu.
Untuk sesaat suasana jadi hening, tiba-tiba ia berkata lagi dengan wajah serius. “Hoa kongcu, maafkanlah aku.
Hakekatnya apa yang kuketahui adalah sangat terbatas dan apa yang bisa kukatakan juga hanya melulu sampai disini saja. Pokoknya sekalipun perkumpulan Cha-li-kau mengandalkan kecantikan paras muka kaum dara, namun kami bukanlah perkumpulan sesat seperti apa yang kau duga. Yang paling penting tujuan kami adalah membantu keluarga Hoa kalian.
Maka percaya atau tidak dengan perkataanku ini terserah padamu sendiri. Hanya aku berharap untuk sementara waktu simpanlah rahasia ini baik-baik dan janganlah kau siarkan tentang semua peristiwa ini ke dunia luar”
“Oooh…… tujuan perkumpulan kalian adalah membantu keluarga Hoa kami?” jengek Hoa In-liong sinis. “Haa….. haaa….. haaa…… Andaikata keluarga Hoa kami harus minta bantuan dari kaum perempuan…….”
Belum habis ia berkata Cia In sudah menatap wajah anak muda itu tajam-tajam, kemudian tukasnya dengan suara dalam, “Hati-hatilah, kalau mau bicara! Hoa kongcu memangnya kau lupa bahwa nenekmu adalah seorang perempuan? Memangnya kau lupa kalau kedua orang ibumu juga pendekar perempuan? Apakah kau lupa andaikata dimasa lampau ayahmu tidak mendapat bantuan dari Giok Teng hujin, maka dia tak akan mempunyai kesuksesan seperti yang dimilikinya sekarang….? Hoa kong cu…..”
Perempuan itu seperti akan mengucapkan sesuatu lagi tiba- tiba suara In-ji telah menukas, “Suci, kau……”
Seperti baru sadar bahwa dia telah salah berbicara, paras muka Cia In berubah hebat, sekujur badannya ikut bergetar keras, cepat-cepat ia tundukkan kepalanya dengan sedih. “Hoa-kongcu, maafkanlah kesilafanku, harap kau jangan marah atau tersinggung oleh kata-kata yang barusan kuutarakan!”
Hoa In-liong bukan seorang pemuda yang bodoh, sudah tentu dia tahu bahwa keadaan yang dihadapinya sekarang bukan suatu keadaan yang sederhana atau biasa saja.
Mendingan kalau begitu mengetahui latar belakang semua peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau. Saat ini boleh dibilang dia buta sama sekali atas peristiwa-peristiwa itu, maka setelah mendengar pembicaraan itu, dia lantas menyusun rencana lebih jauh.
Maka ketika Cia In minta maaf diapun tidak banyak bicara atau menyinggung kembali urusan itu. Ditatapnya perempuan tersebut tajam-tajam, kemudian ujarnya dengan dingin, “Kau silaf atau tidak aku tak mau tahu. Baik bicaramu betul atau tidak akupun tak ambil pusing. Pokoknya hanya ada satu keinginan dalam hatiku. Sekarang, aku ingin berjumpa dengan gurumu dan aku harap nona bisa bantu aku mempersiapkan pertemuan itu!”
Cepat-cepat Cia In menggelengkan kepalanya, “Maafkanlah daku Hoa kongcu. Aku betul-betul tak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kehendak hatimu itu. Aku tak mungkin bisa aturkan pertemuan bagimu dengan guruku!”
Hoa In-liong mendengus dingin. “Tidak bisa? Hmmm, bisa atau tidak aku tak akan ambil pusing. Pokoknya bagaimanapun jaga pertemukan ini harus bisa terselenggara”
Melihat ketegasan si anak muda itu, tiba-tiba Cia In menghela napas panjang. “Aaaai….. Tampaknya dugaan guruku memang
tidak meleset, tentunya kongcu menaruh curiga bukan bahwa pembunuh yang telah mencelakai ji-wa Suma tayhiap adalah guruku?”
“Benar dia yang berbuat atau bukan, aku rasa gurumu jauh lebih jelas dari pada siapapun jua, nona Cia tak usah pusing- pusing memikirkan persoalanmu. Tugasmu sekarang hanya mengaturkan pertemuan antara diriku dengan gurumu dan itu sudah lebih dari cukup” “Kongcu, kau keliru besar, keliru besar!” Cia In gelengkan kepalanya berulang kali, “Peristiwa berdarah yang menimpa keluarga Suma, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan guruku. Percayalah Hoa kongcu, tak nanti kami akan membohongi dirimu!”
“Nona Cia!” Hoa In-liong segera menukas pula dengan suara dalam, “Terus terang pula kukatakan kepadamu, si pembunuh yang berhati keji itu telah meninggalkan sebuah hiolo kecil berwarna hijau kumala selesai melakukan pembunuhan brutal itu dan hiolo kecil yang terbuat dari batu kemala hijau itu tak lain adalah tanda pengenal dari Giok Teng hujin. Kalau toh Giok Teng hujin benar-benar telah meninggalkan dunia yang fana ini, maka itu berani gurumu yang paling dicurigai. Siapa tahu kalau dia benar-benar terlibat dalam peristiwa berdarah itu? Coba bayangkan sendiri, seandainya gurumu tiada sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah itu, mengapa ia berusaha untuk menghindarkan diri dari pertemuannya dengan aku? Nona Cia, aku bukan seorang manusia kasar yang tidak memakai aturan, sekalipun demikian akupun tidak sudi mendengar segala pembelaan yang bertujuan menyangkal tanggung jawab itu tanpa disertai dengan alasan yang cukup kuat!”
“Hoa kongcu, aku tidak melakukan pembelaan ataupun melakukan sangkalan yang tanpa disertai alasan yang tepat, tapi pada hakekatnya apa yang kuucapkan adalah kenyataan yang sebenarnya!” bantah Cia In lagi dengan sengit.
“Kalau engkau mengatakan bahwa apa yang kau ucapkan adalah suatu kenyataan, tolong berilah bukti yang kuat kepadaku, apakah nona dapat mencarikan suatu bukti yang cukup kuat yang menunjukkan bahwa garumu benar-benar tidak terlibat dalam peristiwa berdarah itu? Bisa…..?
Bisa………? Ayoh jawab!” desak Hoa In-liong ketus. Mendengar perkataan itu Cia In tertegun. Untuk sesaat ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Melihat gadis itu terbungkam tanpa berkata-kata, Hoa In- liong segera berkata lebih lanjut, “Sudahlah nona kunasehati dirimu lebih baik tak usah bersilat lidah dengan percuma.
Ingat kau anggap karena aku ingin berjumpa dengan gurumu, maka aku lantas memvonis bahwa gurumu itulah pembunuh gadis atau paling sedikit otak dari pembunuhan itu. Tidak! Aku tak akan menuduh yang bukan-bukan tanpa disertai bukti yang nyata. Akupun tidak memastikan bahwa gurumu itulah si pembunuh atau si otak yang mendalangi peristiwa berdarah itu. Aku hanya ingin bertanya kepadanya, mengapa ia tak mau berjumpa dengan aku, bila dia mempunyai alasannya, maka aku ingin mendengar apa alasannya itu!”
Cia In membuka bibirnya lebar-lebar seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi sesaat kemudian ia batalkan niatnya itu, gadis itu termangu-mangu seperti orang bodoh.
Lama sekali…. Entah berapa lama sudah lewat akhirnya dia menghela nafas panjang, “Aaaai…. Hoa kongcu, terus terang kuberi tahu kepadamu, guruku telah meninggalkan kota Kim- leng. Sekalipun kusanggupi permintaan kongcu untuk mengaturkan pertemuan dengan beliau, sayang aku ada kemauan tak mempunyai tenaga, maafkanlah daku!”
Tiba-tiba Hoa In-liong jadi berang, matanya jadi merah melotot besar, mukanya menyeringai seram, dengan suara keras dia membentak, “Nona Cia, tampaknya baik-baik kutawarkan arak kehormatan kau tolak pemberianku itu, Hmm! Jika kau memang lebih suka mencari arak hukuman heee…… hee…… heee… Baik….! Baik…..! Jangan salahkan kalau aku akan menggunakan kekerasan untuk memaksa engkau!” Pada saat ini sinar matanya yang memancar keluar benar- benar tajam dan mendatangkan rasa bergidik bagi siapapun yang melihatnya. Ditambah lagi mukanya yang menyeringai dengan otot otot hijau pada menongol keluar semua, siapapun akan tahu bahwa kemarahan yang berkobar dalam dada si anak muda itu benar-benar sudah mencapai pada puncaknya.
Yu-Siau-lam selama ini banyak berdiam diri sambil mengikuti jalannya pembicaraan itu. Akhirnya ketika ia mengetahui bahwa rekannya sungguh-sungguh telah naik darah, cepat ujarnya dengan cemas dari samping, “Saudara Hoa, harap bersabar dulu? Tenangkanlah perasaanmu dan jangan mengumbar emosi…. Tenang! Tenang….! Mungkin juga apa yang barusan dikatakan nona Cia dapat kita percayai. Sabarlah dulu, urusan kan bisa dirundingkan secara baik-baik!”
Hoa In-liong berusaha mengendalikan hawa amarah yang berkobar dalam dadanya pelan-pelan dialihkan sinar matanya, lalu dengan tak sabaran tanyanya, “Ooooh….. jadi kau percaya dengan semua obrolan dan pembicaraannya tadi…..?”
Yu-Siau-lam segera mengangguk. “Aku rasa mungkin juga gurunya memang benar-benar telah meninggalkan kota Kim- leng, apa salahnya kalau kita mempercayai pernyataannya ini?”
“Ooooh…..” Hoa In-liong tertegun untuk sesaat. Rupanya ia tidak habis mengerti dengan perkataan rekannya itu, “Dengan alasan apa saudara Siau-lam bisa berkata demikian”
“Alasannya memang tak ada, cuma entah bagaimana siaute merasa bahwa ucapnya memang benar!”
“Bagaimana perasaan saudara Siau-lam itu? Apakah dapat kau terangkan lebih terperinci?” “Bila kutinjau dari pembicaraan yang selama ini berlangsung antara nona Cia dengan dirimu, aku lihat sikap, tindak tanduk maupun caranya berbicara seakan-akan menaruh perhatian khusus kepada Hoa-heng dan perhatian itu mirip sekali dengan suatu rasa kagum dan hormat yang amat besar. Bahkan aku lihat apa yang dapat dia katakanpun semuanya telah dia utarakan keluar. Misalkan saja soal perkumpulan Cha-li-kau yang didirikan oleh gurunya, bukankah hal ini merupakan suatu rahasia besar bagi perkumpulan mereka? Tadi karena Hoa-heng hadir disini, maka tanpa ledeng aling-aling diungkapnya juga persoalan itu. Maka bila kita tinjau dari keadaan tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa gurunya memang benar-benar telah meninggalkan kota Kim-leng. Cuma ada satu hal yang masih kuherankan, yaitu mengapa setiap kali membicarakan persoalan yang selalu nona Cia bicara berbelit-belit atau tergagap, aku tidak mengerti mengapa dia bisa begini, apakah kalian tahu?”
“Aaah….. Memang masuk di akal, sekarang aku dapat memahami duduknya persoalan ini!” tiba-tiba Coa Cong-gi yang selama ini membungkam berteriak keras.
“Apa yang kau pahami?” Hoa In-liong berpaling dengan sepasang alis berkenyit.
Wajah Coa Cong-gi tampak berseri-seri, katanya dengan kalem, “Apa lagi yang kupahami? Tentu saja tentang gurunya nona Cia ini! Aku tahu, gurunya menghindari dirimu bukan lantaran ia terlihat dalam peristiwa berdarah atas diri Suma tayhiap!”
“Engkau punya bukti?” tanya Hoa In-liong dengan, jantung berdebar keras. “Kenapa musti mencari bukti? Toh asal alasannya bisa diterima dengan akal itu lebih dari cukup? Coba bayangkan sendiri, seandainya gurunya memang benar-benar terlibat dalam peristiwa berdarah yang menimpa keluarga Suma, apa gunanya nona Cia mengakui asal usul perguruannya? Jika mereka terlibat bukankah mengakui asal-usul perguruannya sama artinya mencari kesulitan buat diri sendiri? Betul tidak? Karena itu jadi agak yakin kalau gurunya nona Cia pada hakekatnya memang tidak terlibat dalam peristiwa berdarah itu!”
Memang kalau dipikir beberapa patah kata itu sederhana sekali kedengarannya, tapi justru ucapan yang amat sederhana itu mempunyai alasan yang kuat sekali.
Hoa In-liong kontan terbungkam tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya. Untuk sesaat dia cuma bisa duduk tertegun sambil memutar biji matanya.
Cia In segera tertawa lebat, agak lega juga hatinya setelah mendengar perkataan itu. “Terima kasih banyak Coa kongcu atas bantuanmu, kau telah bantu aku melepaskan diri dari kesulitan!” serunya.
Coa Cong-gi terlampau jujur dan polos, ketika nona itu berterima kasih kepadanya, cepat dia go-yangkan tangannya berulang kali, “Jangan…. jangan….! Kau tak usah berterima kasih kepadaku, terus terang saja persoalan yang tidak kupahami mungkin jauh lebih banyak daripada kalian semua!”
Untuk sementara waktu suasana jadi hening. Hoa In-liong segera terjerumus dalam pemikiran sendiri, tampaknya perkataan dari Yu Siau-lam dan Coa Cong-gi barusan telah memberi reaksi dalam benaknya. Sikap Cia In pada saat ini jauh lebih santai dan lega.
Senyum dan suara tertawanya kedengaran jauh lebih merdu dan enak didengar.
Ketika mendengar ucapan dari Coa Cong-gi tadi, serta merta dia berkata sambil bertanya, “Kau masih ada beberapa persoalan yang merasa kurang jelas? Kenapa tidak kau tanyakan kepadaku? Asal aku mengetahuinya, pasti akan kuberikan jawaban yang selengkap-lengkapnya., tanggung tak akan membuat Coa kongcu jadi kecewa”
“Sungguhkah itu?” mencorong sinar tajam dari mata Coa Cong-gi, “Kalau begitu aku ingin bertanya kepadamu, apa sebabnya kau culik Hoa lote dan membawanya ke kota Kim- leng?”
Sudah lama pertanyaan ini terpendam dalam hatinya, dan selama ini dia selalu berharap-harap Yu Siau-lam atau Hoa In- liong lah yang mengajukan pertanyaan tersebut. Siapa tahu kedua orang itu justru tak pernah mengajukan pertanyaan itu, seakan-akan kedua orang itu sudah lupa dengan persoalan itu. Maka ketika ada kesempatan baginya serta-merta pertanyaan itulah yang pertama-tama diajukan.
Sebagai seorang pemuda polos yang lebih suka berbicara blak-blakan, semua pertanyaan yang ingin diajukan selalu diutarakan tanpa tedeng aling-aling. Ia merasa hanya berbicara secara berterus teranglah dapat membuat pikiran maupun perasaannya jadi lega.
Sampai matipun Cia In tidak menyangka kalau pertanyaan itulah yang bakal diajukan kepadanya. Untuk sesaat dia jadi tertegun, gelagapan dan tak mampu berkata-kata.
Menyaksikan sikap perempuan itu, Coa Cong-gi merasa tak senang hati. Sinar matanya berkilat tajam, segera teriaknya dengan suara lantang, “Eeeh…. kenapa sih kamu jadi orang sukanya berbicara mencla-mencle? Bukankah kau mengatakan akan menjawab semua pertanyaanku? Tapi bagaimana buktinya sekarang? Baru saja kuajukan pertanyaanku yang pertama kau sudah tak mampu menjawab. Huuuh… atau mungkin engkau memang sengaja sedang ajak aku bergurau?”
Merah padam selembar wajah Cia In karena jengah. Dia semakin gelagapan, apalagi berhadapan muka dengari pemuda polos yang lebih suka bicara blak-blakan, sindiran yang terasa amal pedas itu menyinggung perasaan halusnya. “Aku……. aku……. aku…..”
Saking gugupnya, nona itu hanya bisa mengulangi kata “aku” sampai beberapa kali, kecuali itu tiada perkataan lain yang diucapkan.
Tiba-tiba In-ji tertawa cekikikan. “Hiiih… hiih…… hiii….. Coa kongcu, suciku sangat menaruh perhatian kepada Hoa kongcu dan perhatian itu rupanya telah berubah menjadi cinta.
Kenapa sih kau memaksanya terus untuk menjawab pertanyaanmu itu?”
Ketika perkataan tersehat diucapkan keluar, Cia In tundukkan kepalanya rendah-rendah sikapnya tersipu-sipu seperti orang malu.
Sebaliknya Coa Cong-gi tertegun, dia termangu-mangu seperti orang bodoh dan tak mampu me-ngucapkan sepatah katapun.
Suasana hening untuk sesaat tiba-tiba terdengar Hoa In- liong mendengus dingin. “Hmmm! Budak cilik, pandai amat engkau mengucapkan kata-kata indah yang menyesatkan pikiran orang, memangnya kau anggap aku orang she-Hoa percaya dongan omongan setanmu?”
“Eeeh…. eehhh…. siapa yang lagi ngomong setan?” In-ji kelihatan semakin gelisah, “Kalau engkau tidak percaya, kenapa tidak kau tanyakan langsung kepada kakak seperguruanku? Hmmmm! buka mulut lantas memaki orang…. aduuuuh mak, gayanya! Hebat benar….”
Merah padam selembar wajah Hoa In-liong. Perkataan itu sangat mengena dalam hatinya. Mesti demikian mukanya tetap kaku dan dingin, katanya dengan ketus, “Aku mau bertanya kepadamu, apa yang dimaksudkan dengan sebagai manusia haruslah banyak melakukan kewajiban? Bukankah ucapan ini kau yang ucapkan?”
“Kalau memang aku yang bicara, lantas kenapa?” teriak In- ji dengan garang, tiba-tiba matanya melotot besar, mukanya merah dan tangannya bertolak pinggang.
“In-ji, kurangilah mulut usilmu itu….” tiba-tiba Cia In menengadah dan berseru dengan hati gelisah.
In-ji mengenyitkan hidungnya, sekalipun sudah dihalangi oleh kakak seperguruannya namun sikapnya masih tetap garang. “Huuuh… siapa suruh dia kasar sekali kalau bicara, sungguh menjengkelkan!”
Cia In menghela napas sedih, “Aaaai….! Bagaimanapun juga suhu toh sudah menurunkan larangannya bagi kita untuk melakukan hubungan lagi dengan orang-orang dari keluarga Hoa. Sekalipun banyak bicara dan bersilat lidah sampai pagi juga tak ada gunanya, buat apa kau musti mangkel dan meraba mendongkol karena soal sepele?” Berbicara sampai disitu dia berhenti sebentar. Pelan-pelan sinar matanya dialihkan keatas wajah Hoa In-liong, kemudian sambungnya lebih jauh dengan muka serius, “Hoa kongcu, janganlah kau anggap aku adalah seorang perempuan rendah yang tak tahu malu. Setelah urusan berkembang jadi begini, mau tak mau aku harus berbicara juga dengan terus terang, agar kaupun tak menaruh curiga terus menerus terhadap kami. Coba bayangkanlah sendiri, dengan paras mukamu yang tampan, dengan kedudukan keluarga Hoa kalian yang tersohor dan terhormat, perempuan mana yang tak ingin berhasil menggaet hatimu? Yaaa, memang aku mempunyai maksud- maksud pribadi sewaktu menculik kongcu datang ke kota Kim- leng ini. Untunglah kejadian itu sudah lewat, jadi rasanya aku pun tak usah merahasiakan kejadian ini lagi dihadapanmu”.
Sepasang matanya mulai berkaca-kaca, sejenak kemudian air mata meleleh keluar membasai pipinya. Dengan suara yang lirih dan penuh perasaan iba katanya lebih lanjut, “Sedang mengenai perkataan dari In-ji yang mengatakan orang banyak adalah besar manfaatnya, akupun tidak ingin mengelabui dirimu lebih jauh. Selain itu akupun tak ingin memberikan penjelasan lebih jauh. Pokoknya guruku ada niat mendirikan perkumpulan Cha-li-kau, tapi tentunya kau pun tahu bukan pekerjaan yang mudah untuk mendirikan sebuah perkumpulan. Apalagi dengan mengandalkan kekuatan dari beberapa orang perempuan, tak mungkin bisa melakukan usaha besar. Maka setiap kali-kali jumpai orang yang berbakat bagus, bila mempunyai pandangan dan cara berpikir yang sama, kami lantas menawarkan kepada mereka untuk masuk menjadi anggota. Dari tujuanku menculik engkaupun hanya lantaran soal ini saja. Nah, hanya sampai disini saja keterangan yang dapat kuucapkan kepadamu mau percaya atau tidak terserah pada keputusan Hoa kongcu sendiri, sebab hakekatnya aku sudah tak dapat memberi keterangan yang lain lagi!” Sekalipun dalam keterangannya ini masih terdapat pula hal- hal yang dirahasiakan, toh pengakuan yang sudah diucapkan terhitung blak-blakan, terutama sekali di balik kesemuanya itu menyangkut juga soal hubungan cinta muda-mudi. Sebagai seorang pemuda yang menurut aturan dan lagi hatinya juga tidak sekeras baja, tentu saja Hoa In-liong tak dapat berbuat apa-apa lagi, terutama setelah melihat dan mendengar sendiri semua yang terpampang dihadapan matanya sekarang.
Tampaknya Cia-In juga mempunyai watak yang keras, meskipun matanya berkaca-kaca dan air mata jatuh berlinang, akan tetapi ia berusaha keras mengendalikan sesenggukan dan isak tangisnya.
Setelah hening sesaat, akhirnya dia menengadah kembali, kepada Coa Cong-gi tanyanya lagi, “Coa-kongcu, apakah engkau masih ada persoalan lain yang hendak kau tanyakan kepadaku?”
Mula-mula Coa Cong-gi tertegun, tapi sejenak kemudian ia sudah gelengkan kepalanya berulang kali. “Tidak ada… Sudah tidak ada lagi!” sahutnya.
Dia lantas berpaling ke arah lain dan tak ingin melihat keadaan Cia In yang mengenaskan hati itu. “Kalau sudah tiada persoalan yang akan ditanyakan lagi, marilah kita minum arak!” ajaknya.
Diangkatnya cawan arak yang berada dihadapannya kalau meneguk isinya sampai habis, menggunakan kesempatan itu dia membesut air mata yang membasahi pipinya.
Tindak-tanduknya yang sangat mengenaskan itu cukup menggetarkan hati orang. Yu Siau-lam terbungkam dibuatnya dan duduk dengan termangu-mangu, sedang Hoa In-liong sendiri merasakan tubuhnya bergetar keras karena emosi. Pada saat itulah tiba-tiba dari ujung lorong sebelah depan sana berkumandang suara langkah kaki manusia yang berat, makin lama suara itu makin dekat dan akhirnya berhenti diluar pintu ruangan loteng tersebut….
Cia-In segera mengerutkan dahinya, dengan ragu-ragu tegurnya, “Tan-Ji kah yang berada disitu?”
“Benar nona, hamba adalah Tan-Ji” jawab orang yang berada diluar pintu loteng diluar pintu sebelah depan sana datang dua orang tamu, “Mereka bersikeras hendak berjumpa dengan nona, apakah nona dapat menjumpai mereka”
Cia In mengerutkan dahinya rapat-rapat. “Apakah tidak kau tolak, permintaan orang itu? Katakan saja kepada mereka, malam ini aku tak dapat melayani mereka sebab lagi ada tamu, suruh saja datang lagi beberapa hari kemudian!”
“Hamba…. hamba telah berkata begitu” jawab Tan Ji dengan agak ketakutan, tapi kedua orang tamu itu kasar dan tidak pakai aturan. Mereka bersikeras akan menjumpai nona, malahan ancam-nya bila nona tak mau menemani mereka berdua maka seluruh rumah Gi-sim-wan kita ini akan di obrak abrik!”
Sementara itu pikiran Coa Cong-gi sedang kusut dan dadanya seperti ditindih dengan batu raksasa sebesar seribu kati. Dalam keadaan semacam ini orang lebih mudah dibuat gusar oleh kejadian apa pun. Demikian pula keadaannya dengan jago muda kita yang berangasan ini.
Ketika didengarnya ada tamu tak tahu aturan yang bermain paksa sambil mengancam kontan dia naik darah sambil melompat turun gembornya penuh kegusaran, “Kunyuk!
Bangsat tak tahu diri siapa yang berani membuat gara-gara ditempat ini? Hmm, beritahu kepada mereka agar sedikit tahu diri, kalau tidak…… hee… hee.. heee….. Jangan salahkan kalau kuhajar sepasang kaki anjing mereka sampai buntung!”
“Oooh… Coa kongcu, Kau harap jangan marah-marah” rengek Tan Ji seperti orang yang minta dikasihani, “Kami adalah orang-orang yang mementingkan langganan, mana berani kami tolak langganan? Coa kongcu harap maklumilah keadaan kami.
Coa Cong-gi jadi makin sengit, tiba-tiba dia meloncat bangun dan siap menerjang keluar dari ruangan itu.
“Eeeh… Eeh… Coa kongcu, silahkan duduk, silahkan duduk lebih dulu” seru Cia In dengan gelisah “Harap jangan kau umbar hawa amarahmu disini, biarlah kuselidiki sendiri persoalan ini agar menjadi jelas”
Diapun bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Setibanya diluar pagar loteng, nona itu memandang pelayan rumah pelacuran itu, kemudian tanya, “Tan-Ji, bagaimanakah tampang serta potongan badan kedua orang itu….? Mereka adalah langganan lama ataukah tamu baru?”
Dengan wajah amat gelisah Tan Ji menyahut, “Mereka adalah tamu asing yang belum pernah berkunjung kemari, yang seseorang berdandan sebagai pemuda perlente sedangkan yang lain memakai baju ringkas berwarna biru, tampangnya jelek sekali. Kedua-duanya menyoren pedang mustika hamba rasa kedua orang itu pastilah jago persilatan yang berilmu!”
Cia-In agak tertegun, untuk sesaat dia seperti memikirkan sesuatu, kemudian dengan alis mata berkenyit bisiknya, “Orang persilatan? Sudah kau tanyakan siapakah nama mereka berdua… dan berasal dari mana?
“Katanya mereka She-Ciu. yang seorang disebut Sam-ko sedang yang lain disebut Ngo-te, tidak mereka jelaskan berasal dari mana”
Ketika secara tiba-tiba mendengar nama dari kedua orang tamu yang datang berkunjung kesitu. Hoa In-liong sekalian segera merasakan hatinya tergerak tanpa sadar ketiga orang pemuda itu bersama-sama bangkit berdiri lalu melangkah keluar dengan tindakan lebar.
Dalam pada itu Cia In sendiri pun merasakan sekujur badannya gemetar keras setelah mendengar nama orang itu. Dengan suara yang gelisah sekali serunya, “Cepat…. cepat keluar dan….ha… halangi mereka masuk katakan saja sebentar aku datang kesitu!”
“Baik nona!” sahut Tan Ji mengiakan, dia lantas putar badan dan lari keluar dari tempat itu.
Menanti Cia ln memutar badannya kembali ia saksikan Hoa In-liong sekalian sudah di ambang pintu, “Apakah Ciu Hoa yang datang? Kebetulan sekali kedatangan orang itu, aku memang sedang mencari jejaknya!” kata Hoa In-liong kemudian agak emosi.
“Tidak jangan!” seru Cia In sangat gelisah, “Engkau tak boleh bertemu dengan orang disini, kalau hendak mencari dirinya kuharap carilah di tempat lain!”
Suara perempuan ini sudah bernada setengah merengek seakan-akan takut sekali kalau pemuda ini tak mau menuruti perkataannnya. “Kenapa musti begitu. Kan tak ada salahnya kalau kita berjumpa muka disini?” sahut si anak muda itu dengan sinar mata berkilau, ”Bagaimanapun juga Gi-sim-wan kau boleh dikunjungi oleh setiap orang secara bebas? Bertemu atau tidak, sama sekali tidak akan merugikan nona!”
“Oooh…. Hoa kongcu!” seru Cia In dengan wajah murung, “Tindakanku menculik engkau datang ke kota Kim-leng ini sudah merupakan suatu kesalahan besar. Bagaimanapun juga aku tak ingin lantaran kesalahan yang kulakukan itu mengakibatkan gagalnya usaha besar kami yang telah diperjuangkan selama banyak tahun. Aku selalu berharap dapat mempertahankan usaha kami ini hingga berhasil. Sebab itulah sengaja kusiapkan meja perjamuan dan siap sedia memberi keterangan yang kalian minta. Hoa kongcu…..!
Ketahuilah, apabila perkumpulan Cha-li-kau bisa berdiri secepatnya maka perkumpulan kami itu hanya mendatang keuntungan tanpa kerugian bagi keluarga Hoa kalian. Buat apa toh kau mendesak diriku hingga berdiri tersudut. Oooh…. Hoa kongcu yang baik, janganlah menyusahkan aku, berilah kesempatan kepadaku untuk mempertahankan usaha besar dari guruku ini. Janganlah membiarkan aku terjerumus kedalam suatu keadaan yang serba runyam, sebab kalau sampai terjadi begini, bagaimanakah tanggung jawabku terhadap suhu dia orang tua? Hoa kongcu, ikutilah perkataanku……”
Hoa In-liong mengerutkan dahinya rapat-rapat. “Nona Cia, aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyusahkan dirimu apa lagi mendesak kau ke sudut, tapi engkaupun harus memaklumi keadaanku juga. Ciu Hoa adalah salah seorang pembunuh yang telah mencelakai jiwa Suma siok-ya ku.
Sekalipun belum ada buktinya, tapi dia adalah manusia paling mencurigakan diantara sekian banyak orang yang kujumpai” Rupanya pikiran dan perasaan Cia In pada waktu itu kusut sekali. Dia tak ingin mendengar pembicaraan itu lebih jauh, segera tukasnya dengan cepat, “Hoa koagcu, apabila engkau menaruh rasa kasihan kapadaku dan dapat memaklumi keadaan pada saat ini, lebih baik janganlah sampai berjumpa muka dengannya dalam Gi-sim-wan ini. Toh setelah dia keluar dari tempat ini, engkau masih mempunyai banyak kesempatan untuk berjumpa dengan dirinya?”
Agaknya Yu Siau-lam simpatik juga atas keadaan Cia In yang mengenaskan, dia jadi tak tega, timbrungnya dari samping, “Hoa-heng, dengarkanlah kata-kataku, belum tentu Ciu Hoa yang kau jumpai sekarang adalah Ciu Hoa yang itu. Kemungkinan juga mereka sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah dikeluarga Suma, kenapa tidak kita tunggu saja setelah mereka keluar dari tempat ini baru kita sergap?”
“Ada sangkut pautnya atau tidak, terlampau pagi rasanya untuk dibicarakan pada saat ini. Bukankah kau mendengar sendiri kedua orang itu mempunyai nama yang sama. Selain itu akupun tahu bahwa mereka mempunyai potongan baju yang sama dengan jumlah yang banyak. Masakah dibalik kesemuanya itu tidak terdapat hal-hal yang patut dicurigai?. Kesempatan baik tidak gampang ditemui, kenapa siaute musti melepaskan kesempatan yang sangat baik ini dengan begitu saja?”
Cia In benar-benar merasa sangat gelisah. “Hoa kongcu…..
Apakah engkau hendak menjegal kakimu sendiri?” tiba-tiba tegurnya!
Hoa In-liong amat terkejut. “Eeeh… apa maksud perkataanmu itu?” serunya. “Terus terang kuberitahukan kepadamu, sejak dulu sampai sekarang aku dan guruku selalu memperhatikan situasi dalam dunia persilatan. Sampai dewasa ini paling sedikit sudah ada dua kelompok manusia yang mempunyai maksud jahat terhadap keluarga Hoa kalian. Jika engkau bersikeras hendak berjumpa dengan Ciu Hoa dirumah Gi sim-wan ini, itu berarti engkau akan merusak usaha besar kami dan itu berarti juga mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi pihakmu sendiri!”
Mendengar ucapan tersebut, Hoa-In liong merasakan hatinya bergetar keras. Sebelum ingatan ke-dua sempat melintas dalam benaknya, terdengar Coa Cong-gi telah berteriak keras, “Ayoh… ayolah, kita segera berlalu dari sini, ayoh berangkat! Siau In-ji, ambil kemari pedang mustika dan buntalan baju itu!”
In-ji mengiakan, cepat-cepat dia lari masuk ke dalam ruangan dan sebentar kemudian sudah muncul kembali dengan membawa pedang dan buntalan baju tadi…..
Cia In menerimanya dari tangan pelayan cilik itu, kemudian dengan lembut diserahkan ketangan Hoa In-liong, katanya dengan penuh kehalusan dan kelembutan, “Hoa kongcu, legakanlah hatimu, bagaimanapun juga aku dan guruku tidak akan melakukan perbuatan yang akan merugikan keluarga Hoa dan pesan ini adalah pesan dari guruku yang suruh aku sampaikan kepadamu. Ketahuilah selama engkau membantu diriku berarti pula sedang membantu dirimu sendiri. Kumohon kepadamu sekali lagi, cepatlah berlalu dari tempat ini dan janganlah berjumpa dengannya disini!”
Ditengah kelembutan terkandung nada gelisah dan panik, namun mencerminkan pula perasaan kasih sayangnya. Ini membuat orang tak dapat menampik permohonannya lagi. “Bagaimana dengan kau sendiri?” akhirnya Hoa In-liong bertanya.
Cia In tertawa, tertawa yang enteng dan segar, sambil memandang wajah anak muda itu dengan lembut, sahutnya, “Aku tidak apa-apa, aku bisa jaga diriku sendiri, terima kasih banyak atas perhatianmu!’”
“Kongcu bertiga, silahkan mengikuti di belakang In-ji!” saat itulah siau In-ji berkata lagi.
Maka dengan uring-uringan Hoa-In liong menerima buntalan baju dan pedang mustikanya, lalu berjalan keluar dari ruangan itu mengikuti di belakang In-ji dengan pikiran kosong. Akhirnya mereka tiba dihalaman depan setelah melewati sisi rumah pelacuran Gi-sim-wan dan pulang kem- bali ke pesanggrahan tabib dengan naik kuda.
Suasana disekitar pesanggrahan tabib gelap gulita tidak tampak sedikit cahayapun. Suasana hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suarapun di pandang dari tempat kejauhan. Pasanggrahan tersebut mirip sekali dengan sebuah perkampungan kosong.
Menyaksikan suasana yang mencekam rumahnya pertama- tama Yu-Siau-lam yang menjerit kaget lebih dahulu. “Eeeh… apa yang terjadi dalam rumahku?” teriaknya dengan perasaan kalut.
“Benar!” sambung Coa Cong-gi pula, “Suasana disekitar tempat ini memang rasa-rasanya aneh sekali. Sekarang baru. mendekati kentongan kedua, semestinya mereka belum tidur semua, tapi… kok sepi amat suasana disini, apalagi gelap, jangan-jangan…..” Sebelum ucapan tersebut diselesaikan, Hoa In-liong merasa hatinya tercekat. Diapun kuatir bila di pesanggarahan tersebut telah terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Sebelum ingatan kedua melintas dalam benaknya, Yu Siau- lam telah mencemplak kudanya dan dilarikan cepat-cepat menuju perkampungan itu.
Baru saja orang itu tiba didepan pintu perkampungan, tiba- tiba dari balik kegelapan melampai keluar sesosok bayangan manusia.
Orang itu mempunyai gerakan tubuh yang enteng, cepat dan cekatan, dalam sekejap mata tahu tahu sudah muncul didepan mata. “Saudara Siau-lam bertigakah disini?” orang itu menegur.
Ternyata orang itu tak lain adalah Ko Siong-peng, salah seorang diantara Kim-leng ngo-kong.
Yu Siau-lam makin tercengang lagi melihat kemunculan rekannya disana. “Eeeh… Saudara Siong-peng, sebenarnya apa yang telah terjadi? Apakah ada sesuatu yang tak beres dirumahku?” tanyanya kuatir.
“Haa … haa…. Haa….. Tidak ada, tidak ada. Suasana tetap tenang dan aman seperti sedia kala!” sahut Ko Siong-peng sambil tertawa terbahak-bahak “Kesemuanya ini memang sengaja kami atur untuk menjaga terjadinya segala sesuatu yang tidak diinginkan”
Berbicara sampai disini, dia lantas berpaling sambil bertepuk tangan tiga kali. Pintu halaman depan lantas dibuka orang, menyusul kemudian cahaya lampu memancar keluar dari ruangan tengah. Terdengar Ko Siong-peng berkata lebih jauh, “Aku mendapat tugas berjaga-jaga di halaman depan, saudara Po- seng menjaga halaman belakang, saudara Ek-hong menemani Pek-bo duduk diruang tengah sedang Pek-hu tugasnya meronda keempat penjuru dan siap membantu pihak manapun, Haa… haa…. Haa…… Menunggu kelinci dibawah pohon, akhirnya cuma kalian bertigalah yang berhasil kusergap secara jitu”.
Tiba-tiba si Tabib Sosial dari Kanglam muncul dibalik pintu ruang tengah, dengan nyaring dia lantas menyela, “Eeeh… Siong-peng, ucapanmu itu kurang begitu tepat, darimana kau tahu kalau tak ada orang yang telah berkunjung kemari?”
Makin nyaring gelak tertawa dari Ko Siong-peng. “Sudah hampir setengah malaman keponakan menghirup angin barat- laut yang kencang dan dingin, aku kan cuma bergurau saja, masa sungguhan?” sahutnya.
“Kalau cuma bergurau janganlah melukai orang kalau sampai melukai orang itu namanya menyindir dan sindiran gampang mengakibatkan perselisihan. Aku rasa usul dari Ek- hong kan tidak terlampau berlebihan malahan aku rasa tepat sekali” tegur Kanglam Ji-gi.
Mula-mula Ko Siong-peng agak tertegun, tapi menyusul kemudian sahutnya dengan sungguh-sungguh, “Yaaa, keponakan tahu salah!”
Melihat semua yang terpapar di depannya, diam-diam Hoa In-liong berpikir dalam hati, “Locianpwe ini pandai mendidik orang menuju ke jalan yang benar, lagipula selalu mengajarkan angkatan yang muda untuk tersopan santun dan menurut peraturan, bahkan caranya mendidikpun ramah tamah membuat mereka yang mendapat teguran benar-benar takluk dibuatnya. Yaa….. Manusia pendidik semacam inilah yang diharapkan setiap manusia. Asal Kim-leng ngo-kongcu dapat dibimbing terus oleh cianpwe ini, niscaya banyak kebaikan yang akan mereka terima darinya. Itu berarti Kim- leng ngo-kongcu memang punya nasib baik…….”
Mereka bertiga telah melompat turun dari kudanya. si Tabib Sosial dari Kanglam kelihatan agak tertegun sewaktu menyaksikan Hoa In-liong pulang dengan membawa pedang mustika serta buntalan bajunya. “Aaaaah….. Ada apa? Liong koji tampaknya tidak sampai terjadi bentrokan kekerasan bukan dalam perjalanan kalian barusan?” tanyanya dengan nada kuatir.
“Ooooh, terima kasih banyak atas kekuatiran cianpwe. sekalipun dalam perjalanan kami tidak sampai mengakibatkan terjadinya bentrokan kekerasan, akan tetapi boanpwe masih di bikin kebingungan setengah mati, sampai kini pun aku masih merasa kurang begitu paham”
“Oh yaa..? Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Kanglam Ji- gi makin keheranan.
“Cia In semula kita anggap pasti kabur, ternyata masih bercokol ditempatnya semula” Timbrung Yu Siau-lam, “Malahan ia siapkan meja perjamuan untuk menyambut kedatangan kami bertiga!”
Agaknya Coa Cong-gi mempunyai kesan yang cukup baik terhadap Cia In. Ketika mendengar perkataan itu cepat-cepat selanya pula dari arah samping, “Sikap Cia In terhadap Hoa lote cukup baik! Malahan setiap pertanyaan yang diajukan selalu dijawab dengan sejujurnya!”
“Waah…… kalau begitu kan urusan jadi lebih mengherankan” kata si Tabib sosial dengan muka tertegun, “Jangan-jangan orang menyusup datang malam tadi memang tak ada sangkut pautnya dengan perempuan she Cia itu?”
Ko Siong-peng segera membelalakkan matanya lebar-lebar, seperti amat kaget ia menjerit keras. “Apa…? Jadi malam tadi sungguh-sungguh ada orang yang telah menyatroni kita?”
Dengan dahi berkerut Tabib Sosial dari Kanglam menganggukkan kepalairya tanda membenarkan. “Yaaaa! Kurang lebih mendekati kentongan kedua tadi, ada sesosok bayangan manusia melayang turun di halaman samping sebelah tenggara. Agaknya bayangan manusia itupun menyadari bahwa pihak kita telah mengadakan persiapan, maka setelah berdiri sejenak disana agak sangsi, akhirnya dia mengundurkan diri dengan cepatnya”
“Macam apakah manusia itu?” seru Coa Cong-gi dengan gelisah. “Pek-hu, kenapa tidak kau hadang jalan perginya? Paling sedikit kita harus mengetahui siapakah orang itu!”
“Aaaai….. Gerakan tubuh orang itu cepatnya bukan kepalang, menanti aku tiba ditempat tujuan, dia sudah kabur dari rumah kita. Tapi sekilas pandang aku rasa orang itu adalah seorang perempuan” Tabib Sosial itu menerangkan.
Setelah berhenti sebentar dia alihkan kembali pokok pembicaraannya kesoal lain, ujarnya lebih jauh, “Bagaimanapun juga aku tetap berkeyakinan bahwa duduknya persoalan ini tidak sesederhana seperti apa yang kita bayangkan semula, mari ….kita masuk dulu kedalam ruangan! Ek-hong dan Pek-bo mu sedang menanti di ruang tengah!”
Tanpa banyak bicara lagi, dia lantas putar badan dan masuk dulu kedalam ruangan dan langsung menuju ke ruang tamu sebelah belakang gedung itu. Hoa In-liong sekalian berdiri saling berpandangan, siapapun tidak bersuara atau mengucapkan sepatah katapun.
Sementara dalam hati kecil mereka hanya ada satu perkataan yang sama, yakni siapakah orang itu? Benarkah dia seorang perempuan? Dan apa pula maksudnya datang menyatroni kepasanggrahan tabib?
Ko Siong-peng juga menjulurkan lidahnya dengan hati kecut, seolah-olah sedang mentertawakan ketidak becusan sendiri. Yaaa, hakekatnya dia tak merasa kalau ada orang telah menyatroni tempat tersebut tanpa diketahui olehnya.
Setelah saling berpandangan sekejap, akhirnya empat orang pemuda itu baru melangkah masuk kedalam ruangan dan menyusul si tabib sosial yang telah masuk lebih duluan itu.
Ketika mereka tiba diruang tengah, Li Po-seng juga sudah kembali dari halaman belakang. Wan Ek-hong segera bangkit menyambut kedatangan mereka, sedang Yu lo-hujin manggut ke arah Hoa In-liong dengan senyum di kulum. “Liong ko-ji, kau telah pulang?” sapanya dengan ramah, “Bagaimana hasil perjalanan kalian barusan?”
“Tampaknya banyak keanehan dan kejadian yang diluar dugaan terselip dalam peristiwa ini?” sela Tabib Sosial dengan cepat, “Mari kita bicarakan lagi persoalan itu dengan seksama, duduk! Kalian duduklah lebih dahulu….”
Yu lo-hujin kelihatan tercengang. “Bagaimana anehnya?” ia bertanya.
Setelah semui orang mengambil tempat duduk. Tabib Sosial dari Kanglam baru berkata, “Perempuan she-Cia itu bukan saja tidak melarikan diri dari Gi-sin-wan, malahan dia siapkan meja perjamuan untuk menyambut kedatangan mereka. Kemudian di halaman sebelah tenggara aku telah temukan juga seorang perempuan tak dikenal yang datang menyatroni kita. Tapi ketika kukejar ke sana, ternyata ia sudah kabur pergi. Aku pikir dibalik semua kejadian ini tentu ada hal-hal yang luar biasa”
“Ooooh……! Jadi sudah terjadi peristiwa macam begini?” Yu Lo-hujin duduk dengan dahi berkerut, “Siapakah perempuan tak dikenal yang datang menyatroni tempat kita? Kemudian apakah dia tidak munculkan diri lagi…..?”
“Aku rasa perempuan tak dikenal yang berkunjung kemari itu sama sekali tidak bermaksud jahat, sebab hanya sebentar dia berdiri disini kemudian pergi. Pada mulanya aku mencurigai kalau perempuan itu ada sangkut pautnya dengan perempuan she Cia itu. Tapi setelah mendengar cerita dari Liong koji sekalian, aku merasa pula bahwa kejadian tersebut kemungkinan jaga tiada sangkut pautnya”
Ia berhenti sebentar untuk tukar napas, lalu sambil menatap Hoi In-liong lanjutnya, “Liong-koji, lebih baik kau saja yang bercerita. Akupun ingin mendengar kisah kalian sejak awal sampai akhir”
Hoa In-liong mengangguk, sesudah tarik napas panjang, diapun berkata, “Ketika boan-pwe sekalian tiba di rumah pelacuran Gi-sim-wan, si pelayan Tan-ji sudah menyongsong kedatangan kami, maka setelah kami bertemu dengan Cia-In, sambil minum arak dan bergurau….”
Seorang pelayan masuk menghidangkan air teh, semua orang duduk dengan tenang mendengarkan Hoa In-liong menuturkan pengalamannya.
Diantaranya yang hadir dalam ruangan tersebut, Li Po-seng dan Wan Ek-hong terhitung manusia-manusia berotak cerdik yang sangat berbakat, sedangkan Li Siang-tek suami istri termasuk juga angkatan tua yang berpengalaman luas. Kecerdasan otak mereka melebihi orang lain setingkat.
Sepanjang mereka mendengarkan kisah dari Hoa In-liong, sering kali alis mata mereka berkenyit dan matanya melotot, namun sampai cerita itu selesai dituturkan pula seperti keadaan Hoa In-liong, mereka tetap kebingungan dan merasa tak mengerti.
Untuk sesaat, suasana dalam ruangan jadi sepi, hening dan tak kedengaran suara.
Akhirnya Coa Cong-gi merasa suasana disana terlampau menyesakkan napas, tiba-tiba teriaknya, “Eeeh… Sekarang kita mau apa lagi? Aku rasa Cia-In adalah seorang perempuan yang berkepribadian menarik, sekaipun dia mempunyai kata- kata yang tak dapat dijelaskan secara blak-blakan, itu berarti dia mempunyai kesulitan pribadi yang tak dapat diutarakan.
Mau apa lagi kita duduk terpekur disini sambil putar otak? memangnya ada sesuatu hasil yang dapat kita peroleh dengan memutar otak melulu?”
Tabib Sosial dari Kanglam mengalihkan sinar matanya ke wajah pemuda itu, lalu tegurnya, “Cong-gi, semenjak dulu sampai sekarang watak berangasanmu itu belum juga dapat diubah. Aaaai….! Sekalipun Cia-In mempunyai kepribadian yang menawan hati, tidakkah kau merasa bahwa tindak- tanduknya terlampau misterius?. Siapakah yang dapat menyakinkan kepada kita bahwa perempuan yang datang menyatroni kita malam, tadi sama sekali tak ada hubungannya dengan Cia-In? Yaaa… kau terlampau muda, belum kau ketahui betapa licik dan berbahayanya dunia persilatan. Bila watak berangasanmu tetap kau pertahankan terus menerus dan tiap kali menjumpai persoalan tak kau pikirkan dengan otak yang dingin, niscaya dalam sepuluh kali peristiwa ada sembilan kali kau akan tertipu”. Sebagaimana diketahui Coa Cong-gi adalah seorang pemuda polos yang berjiwa terbuka. Ia suka berterus terang dan bicara blak-blakan daripada harus menghadapi tiap persoalan dengan otaknya. Maka kalau suruh pemuda itu menggunakan otaknya sama saja dengan memaksa kambing memanjat sebatang pohon.
Dengan alis mata barkenyit, langsung pemuda itu berteriak lagi, “Buat apa musti putar otak buang energi dengan percuma! Biarpun dia mau gunakan akal yang bagaimana licikpun, akan kuhadapi setiap perubahan dengan kemantapan hati. Coba lihat saja nanti siapa akhirnya yang bakal menang!”
Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan, “Hoa-lote sudah jatuh pingsan selama beberapa hari, sekarang diapun musti bersusah payah setengah malaman lebih. Aku pikir lebih baik kita tidur saja dulu! Kalau mau berpikir lagi, besokpun rasanya belum terlambat….”
Yu Lo-hujin yang pertama-tama bangkit lebih, katanya. “Loya cu!” ujarnya, “Apa yang dikatakan Cong-ji memang beralasan. Bukan saja Liong koji baru sadar dari pingsannya, lagi pula barusan sangat menegangkan hati. Aku rasa dipikirpun belum tentu bisa terpecahkan dalam semalaman saja. Kini malam semakin kelam lebih baik beristirahat dulu untuk menghimpun tenaga lagi, ada persoalan kita bicarakan lagi besok saja!”
Setelah istrinya ikut angkat bicara, tentu saja Tabib Sosial dari Kanglam tak leluasa untuk banyak bicara lagi. Dia memandang sekejap anak-anak muda itu lalu bangkit berdiri, “Baiklah! Lebih baik kita beristirahat dulu, toh bagaimanapun juga tak mungkin persoalan ini dapat diselesaikan dalam semalaman!” Dalam pesanggrahan tabib banyak terdapat kamar-kamar tidur. Ruang samping sebelah timur dan barat adalah kamar tamu. Tabib Sosial suami istri menempati ruang belakang. Yu Siau-lam berdiam di ruang tengah, sedangkan sahabat- sahabatnya seperti Wan Ek-hong, Li Po-seng sekalian bila datang berkunjung kesana, mereka menempati pula ruang tengah.
Hoa In-liong dipersilahkan untuk beristirahat diruang tamu sebelah timur. Selesai membersihkan badan, ia lantas naik keatas pembaringan untuk beristirahat.
Tapi mana mungkin ia dapat tidur nyenyak? Walaupun sudah membolak-balikkan badannya, mata belum juga mau terpejam. Otaknya selalu bekerja memikirkan kejadian yang dialaminya di rumah pelacuran Gi-sim-wan belum lama berselang.
Makin berpikir pemuda itu merasa makin kebingungan.
Pembunuh gadis yang telah membereskan nyawa Suma Tiang- cing suami istri hanya meninggalkan sebuah hiolo kecil terbuat dari batu kemala hijau sebagai tanda pengenal. Padahal dia tahu hiolo kemala hijau itu adalah tanda pengenal dari Giok Teng hujin. Kalau dibilang Giok Teng hujin telah meninggalkan dunia yang fana ini, dus berarti tanda pengenalnya itu tentu akan diwariskan kepada orang lain.
Pemuda itu teringat pula akan surat pribadi dari Giok Teng hujin yang diserahkan neneknya kepadanya dan surat tersebut kini dijahit dalam kaus kutang pelindung badan. Bukankah tindakan dari neneknya ini sama artinya dengan memberi kisikan kepadanya kalau Giok Teng hujin tersangkut dalam peristiwa berdarah itu?
Kalau kejadian berdarah itu memang benar-benar menyangkut Giok Teng hujin, itu berarti gurunya Cia In….yakni Pui Che-giok tak dapat cuci tangan dengan begitu saja. Tapi…. Aneh, kenapa Cia In mengaku terus terang tentang asal usulnya serta rahasia gurunya! Menurut perkataan Coa Cong-gi, bukankah itu sama artinya sedang mencari kesulitan buat diri sendiri?
Dikolong langit tak nanti ada orang yang bersedia mencarikan kesulitan bagi diri sendiri, kecuali kalau orang itu sudah goblok. Atau mungkin juga Cia In mengungkap kesemuanya itu lantaran perempuan itu menaruh perasaan kagum yang istimewa terhadapnya? Tapi…. rasanya inipun mungkin.
Dengan amat jelas Cia In telah berkata bahwa gurunya melarang mereka mengadakan hubungan lagi dengan orang- orang keluarga Hoa, atau dengan perkataan lain, kejadian yang sudah lewat. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Cia In adalah seorang perempuan yang lebih mementingkan perguruan dari pada kepentingan pribadi. Terhadap manusia macam begini, mungkinkah dia menjual perguruannya demi mendapatkan cinta kasih?
Hoa In-liong membalikkan tubuhnya berulang kali untuk menghapus semua pikiran itu dari benaknya akhirnya dia bergumam, “Lebih baik kita berangkat keselatan saja untuk melakukan penyelidikan. Tampaknya Pui Che-giok memang tidak tersangkut dalam peristiwa berdarah ini…..”
Gumamnya memang begitu tapi ingatannya masih berputar terus tiada hentinya.
Tindak tanduk Pui Che-giok benar-benar sukar diduga sepintas lalu kelihatannya ia mempunyai rasa dendam yang amat tebal terhadap keluarga Woa, tapi tampaknya diapun sangat menguatirkan keselamatan dari orang-orang keluarga Hoa, sebenarnya apa yang telah terjadi? Kalau ditinjau dari perkumpulan Cha-li-kau, itu berarti perkumpulan mereka adalah suatu perkumpulan sesat yang khusus mengandalkan kecantikan kaum wanita untuk membujuk kaum pria menjadi anggota perkumpulan tersebut.
Padahal Cia In juga tahu bahwa keluarga Hoa adalah keluarga persilatan yang paling menjungjung tinggi keadilan serta kesejahteraan dalam dunia persilatan. Apakah tidak mereka pikirkan bahwa keluarga Hoa tak nanti akan membiarkan sebuah perkumpulan kaum sesat muncul dalam dunia persilatan?
Tapi tanpa ragu-ragu atau merasa kuatir Cia In telah membeberkan segala sesuatunya kepadanya, mungkinkah hal ini disebabkan karena mereka terlampau percaya pada kebenaran dari tujuan perkumpulannya ataukah mungkin sudah mereka duga bahwa keluarga Hoa pasti tak bisa mengapa-apakan perkumpulan mereka itu?.
Ditengah lamunannya, tiba-tiba anak muda ini seperti merasa terkejut. Sepasang matanya melotot besar-besar, lalu gumamnya lagi, “Apa maksudnya ia berkata demikian?
Dewasa ini paling sedikit ada dua kelompok manusia yang bermaksud tidak menguntungkan bagi keluarga Hoa. Siapakah dua kelompok manusia yang dimaksudkan itu…..?”
Ketika persoalan itu terlintas kembali dalam benaknya, pada mulanya pemuda itu menduga bila Cia In memang sengaja hendak menggunakan kata-kata itu untuk menggertak dirinya agar segera meninggalkan rumah pelacuran Gi-sim- wan dan tidak bertemu dengan Ciu Hoa disitu sehingga menggagalkan rencana besar perkumpulan Cha-li-kau.
Tapi setelah dipikir lebih jauh bahwa jalan pikirannya tidak benar. Cia In pernah berkata padanya bahwa mereka tak nanti akan melakukan perbuatan yang menyalahi keluarga Hoa. Meskipun kata katanya itu sedikit mengandung nada sindiran, tapi jelas menumbangkan jalan pikirannya tentang “gertakan” tadi. Tanpa sadar ucapan dari si nona baju hitam yang pernah dijumpainya diluar kota Lok yang tempo hari berkumandang kembali disisi telinganya.
Dia masih ingat, perempuan baju hitam itu pernah berkata demikian kepadanya, “Dunia persilatan pada saat ini sedang terjadi perubahan besar. Suma Tiang-cing hanyalah korban pertama yang menanggung dosa-dosa orang lain….“.
Kemudian diapun berkata demikian lagi kepadanya, “Ayahmu memang merajai seluruh kolong langit, nama besar dan kedudukannya amat terhormat ibaratnya sang surya ditengah angkasa. Akan tetapi musuh besarnya banyak tersebar dalam dunia persilatan”
Setelah pelbagai ingatan tersebut kian bertambah berat dalam benaknya, ia merasa semakin yakin kalau dunia persilatan benar-benar sedang mengalami perubahan besar. Perasaannya kian lama kian berat dan hal ini tentu saja semakin menyulitkan dia untuk tidur dengan tenang.
Pada hakekatnya Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang tak pernah risau tak pernah murung dan menghadapi setiap masalah dengan acuh tak acuh. Akan tetapi setelah diatas bahunya diberi beban seberat ribuan kati, ia telah berubah jadi aeoraog pemuda yang pemurung dengan pelbagai masalah yang menindih dalam hatinya. Dari sini dapat menunjukkan bahwa wataknya meski tetap seperti sedia kala, namun rasa tanggung jawabnya jauh lebih berbobot.
Begitulah, setiap kali teringat akan satu persoalan, persoalan lainpun ikut melintas dalam benaknya. Mulai dari nona Yu sampai ke kucing hitamnya, Si Nio yang bertampang jelek, Wan Hong giok yang genit dan manja, Siau Ciu kakak seperguruan Wan Hong-giok yang jumawa sampai beberapa Ciu Hoa yang pernah dijumpainya semuanya terpampang lagi didepan matanya.