Neraka Hitam Jilid 21 (Tamat)

Jilid 21 (Tamat)

“Heeehhh…. heeehhh…… heeehhh….. kalau toh kau begitu terburu napsu, baiklah, sekarang juga akan pun sinkun katakan.”

Sesudah berhenti sejenak, dengan sepatah demi sepatah katanya lagi dengan suara menyeramkan, “Terus terang  kuberi tahu kepada kalian, sesungguhnya Kok Gi pek itu bukan lain adalah putrinya Bong pay serta Pek Soh gi!”

Begitu mendengar ucapan tersebut, Pek Soh gi menjerit sedih dan jatuh tak sadarkan diri, buru-buru Bong Pay memeluk tubuh istri nya, lalu dengan wajah sedih serunya kepada Kok See-piau penuh kebencian, “Kok See-piau, kalau kau ingin membalas dendam, cari saja kami suami istri berdua, apa dosanya seorang gadis lemah?” Kok See-piau menyeringai seram.

“Heehhh……heeeheeh…. heeehhhh…….lohu toh sayang dan mencintainya, orang yang telah mencelakainya justru adalah orangmu sendiri”

Bu tim lojin segera menghela napas panjang, katanya: “Bong tayhiap, dosa pinto benar-benar tak terampuni!”

Tiba-tiba Ci wi siancu menukas dengan suara dingin, “Kalau sudah tahu dosanya tak terampuni lebih baik cepat-cepatlah bereskan nyawamu sendiri, hmmm! Sengaja berbicara begitu padahal tujuannya hanya minta pengampunan”

sejak bertemu dengan Kok Gi pek dikota Si ciu tempo hari, sampai sekarang Biau-nia Sam-sian masih belum tahu kalau dia adalah muridnya Kok See-piau, terhadap gadis itu boleh dibilang mereka amat menyukai dan menyayanginya.

Sekalipun hal ini mereka ketahui kemudian namun rasa sayangnya terhadap gadis itu bukan berkurang apalagi setelah mengetahui kalau gadis itu memang putrinya Bong pay suami istri, mereka makin getun lagi.

Sebagai manusia-manusia yang berasal dari suku Biau, cara kerja mereka hanya memandang pada soal baik dan buruk, ketika dilihatnya Kok Gi pek mati ditangan Bu tim tootiang, maka rasa benci mereka terhadap tosu itu pun boleh dibilang merasuk sampai ke tulang sungsum.

Pada dasarnya Bu tim tootiang memang merasa sedih bercampur menyesal atas terjadinya peristiwa itu, mendengar perkataan tersebut dia lantas tertawa pedih, katanya, Baik, baik!”

Mendadak ia membalikkan telapak tangan-nya dan ditabokkan keatas ubun-ubun sendiri.

Hoa In-liong yang berada disitu tentu saja tidak membiarkan ia menghabisi nyawa sendiri, dengan cepat ia menyelinap ke sisi Bu tim tojin dan menangkap sikutnya, dengan suara dalam dia berseru, “Persoalan ini tak bisa menyalahkan tootiang, kalau ingin mencari biang keladinya maka kita harus mencari Kok See-piau”

Sebenarnya diantara para jago ada yang telah menduga bahwa antara Kok Gi pek dengan Bong Pay suami istri ada hubungannya, tapi ketika mendengar kalau Koi Gi pek mempunyai orang tua lain, lagipula banyak kejadian aneh yang mungkin bisa terjadi didunia ini, lambat laun rasa curiga tersebut makin menipis. Siapa tahu memang demikianlah kenyataannya, hal ini benar-benar mencengangkan semua orang.

Bagaimanapun juga Kok Gi pek adalah murid Kok See-piau, walaupun para jago mencurigai kebenaran dari pengakuannya itu, namun tiada bukti nyata yang bisa menerangkan semua hal tersebut, baik Kok See-piau akan menang atau kalah yang pasti kematian gadis itu tidak akann mempengaruhi dirinya.

Atas kelicikan dan kekejian Kok See-piau ini, hampir boleh dibilang semua orang merasa marah dan kaget, Pek Soh gi telah pingsan sedari tadi, sedangkan Bong Pay saking gusarnya tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

Tam Si bin dan Yu Tiong in sudah tak sanggup menahan sabar lagi, ia segera maju menerjang ke arah Kok See-piau, Ui Sia leng dan Tang Bong liang segera maju menghalanginya, pertarungan sengit segera berkobar dalam dua arena.

Hoa In-liong sendiripun merasa gusar sekali, baru saja dia akan menegur Kok See-piau………..

Mendadak terdengar seorang gadis berseru dengan suara dingin bagaikan salju, Kok See-piau, dosamu sudah bertumpuk-tumpuk, sekalipun mampus juga belum dapat menebus semua kekejianmu itu, sekarang aku Suma Jin akan menuntut balas kepadamu”

Ditengah seruan tersebut, seorang gadis berpakaian berkabung menerjang ke arah Kok See-piau sambil memutar senjata pedangnya.

Diantara kelebatan tubuhnya itu, beberapa titik cahaya perak meluncur ke depan dan menyebar keempat penjuru. Dalam keadaan demikian Hoa In-liong enggan untuk menghalanginya, dengan kening berkerut pikirnya, Bukankah toako bilang ia datang bersama ayah dan ibu? Sekarang kenapa ia datang lebih duluan?”

Terdengar Seng Sin sam meraung kesakitan, sebatang pisau perak tahu-tahu sudah menancap diatas dadanya yang mengakibatkan kematian bagi gembong iblis itu.

Ketika bertarung melawan Go Tang cuan tadi, ia sudah menderita luka dalam yang cukup parah apalagi serangan senjata rahasia yang dilancarkan Suma Jin dilakukan dari jarak sedemikian dekatnya, sekalipun ia berniat untuk berkelit juga tak mampu lagi.

Beng Wi cian yang mendengar akan kehadiran, putri Suma Tiang cing sudah merasa menyesal sedari permulaan, baru saja ia sangsi, sebatang senjata rahasia telah menghajar dada kanannya.

Tapi ia sama sekali tak bersuara sambil menggertak gigi dicabutnya senjata rahasia tersebut yang telah dibubuhi obat, hanya Huan Tam seorang yang berhasil menghindarkan diri tanpa luka.

Kok See-piau juga menggerakkan tangannya, senjata rahasia yang mengancam tubuhnya itu seketika lenyap tak berbekas lalu tegurnya sambil terawa dingin.

“Kau adalah putrinya Suma liang cing?”

“Benar!” jawab Suma Jin dengan gusar, “orang she Kok, serahkan jiwa anjing mu!”

Dengan jurus Thian ho seng san(bintang buyar disungai langit), pedangnya diputar sedemikian rupa menciptakan berjuta-juta titik ca haya pedang yang menyilaukan mata, lalu sebuah tusukan dilepaskan ke dada musuh dengan kecepatan luar biasa.

Kok See-piau berdiri tak berkutik, menanti serangan hampir mengenai tubuhnya dia baru menarik dadanya ke belakang sambi1 bergeser tiga depa begitu lolos dari ancaman lawan, kontan saja ia tertawa terbahak-bahak.

“Haaahhh….haahhh….haaahh…. budak cilik, dengan mengandal-kan kepandaian secetek itu juga berani mencari gara-gara, apakah kau tidak takut mampus?”

Walaupun diluar dia berkata dengan enteng padahal karena terlalu pandang rendah kemampuan yang dimiliki Suma Jin, hampir saja tubuhnya termakan oleh tusukan tersebut.

Diam-diam ia merasa terperanjat, akan tetapi rasa kagetnya itu tak sampai diperlihatkan diatas wajahnya.

Suma Jin sendiri meski terperanjat, dia tahu kalau ilmu pedang keluarga Hoa tiada tandingannya dikolong langit, sayang kesempurnaannya belum cukup hingga belum sanggup untuk mengapa-apakan diri Kok See-piau.

Tapi bila teringat akan dendam berdarah atas kematian orang tuanya, apa lagi bila teringat bahwa Kok See-piau adalah otaknya, sambil menggigit bibir mendadak ia mengejar kemuka sambil melepaskan serangan dengan serangan yang dahsyat.

Kok See-piau tertawa dingin baru saja dia akan turun tangan keji, mendadak dilihatnya Hoa In-liong yang berada beberapa kaki dari arena sedang mengawasi jalannya pertarungan dengan sorot mata tajam. Sebagaimana diketahui, semenjak pertarungan dalam bukit Ci san, kawanan iblis dari golongan sesat hampir boleh dibilang pada menaruh rasa jeri terhadap kelihayan Hoa In- liong, yang paling ditakuti Kok See-piau selama ini juga dia seorang, maka begitu melihat keadaan tersebut dia lantas berubah pikiran.

“Meski ilmu silat yang dimiliki Goan cing amat lihay, suheng masih mampu untuk mengatasinya” demikian dia berpikir kemudian, “tapi bocah keparat ini….”

Sebagai seorang manusia yang berotak licik dan banyak akalnya, dengan cepat dia berubah pikiran, serunya kemudian dengan lantang, “Huan Tong, kau sambut budak ini!”

Mendengar perkataan itu, Huan Toag segera maju ke depan, sepasang telapak tangannya diayunkan bersama untuk menyambut datangnya serangan dari Suma Jin itu dengan keras lawan keras.

“Hmm, membunuh dirimu lebih dulu juga sama saja” pikir Suma Jin didalam hati.

Dengan kening berkerut dia lantas memperketat serangan pedangnya, dengan meninggalkan Kok See-piau, dia bertarung sengit me lawan Huan Thong.

Hoa In-liong tahu bahwa ilmu silat yang dimiliki gadis itu masih selisih jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki Kok See-piau, maka melihat gadis itu telah bertarung dulu melawan Huan Thong, dia lantas beranggapan bahwa ada baiknya kalau gadis tersebut menuntut balas lebih dahulu terhadap orang ini.

Dalam keadaan dan situasi seperti ini, jelas tak mungkin buat Kok See-piau untuk melarikan diri, maka ia tidak menggubris ketua dari perkumpulan Hian-beng-kau itu lagi, seluruh perhatiannya ditujukan ke arah pertarungan sambil bersiap siaga menghadapi keadaan yang tidak diinginkan.

Dalam pada itu, Kok See-piau juga telah mendapat akal bagus, dia segera memutar biji matanya, kemudian ejeknya kepada Kiu-im-kaucu, “Huuuh…! Sekarang kau baru tahu, ternyata orang orang Kiu-im-kau adalah manusia yang gampang dibunuh orang tanpa berani membalas….tak becus”

Ketika sergapan dari Suma Jin berhasil menewaskan Sin Seng sam tadi, sesungguhnya Kiu-im-kaucu sudah merasa amat gusar, tapi ia jeri akan kehebatan orang-orang keluarga Hoa, maka sedapat mungkin ia berusaha untuk menahan diri.

Berbeda setelah disinggung oleh Kok See-piau sekarang, berada dihadapan para jago dari seluruh kolong langit, sudah barang tentu ia tak bisa berdiam diri belaka, setelah agak merenggut sebentar, bentaknya kemudian, “Suma Jin, ibumu dulu masih terhitung Yu ling tiamcu perkumpulan kami, berani benar kau bertingkah dihadapanku? Hmm, katakan sendiri sekarang, kau hendak mengakui salah atau tidak?”

Waktu itu Suma Jin yang sedang bertarung sudah berhasil menduduki posisi diatas angin dengan ketus segera sahutnya, “Tidak!”

Diam-diam Hoa In-liong tahu bahwa urusan bakal runyam, tapi Suma Jin sedang menuntut balas atas dendam sakit hatinya, padahal Kiu-im-kaucu juga terlibat dalam peristiwa ini, bagaimanapun juga ia tak bisa menyalahkan gadis tersebut.

Sesungguhnya perkataan dari Kiu-im-kaucu juga hampir boleh dibilang telah memberi peluang bagi gadis itu untuk mundur secara hormat, asal Suma Jin mau mengaku salah, maka secara begitu saja dia akan sudahi masalah tersebut, Siapa tahu Suma Jin sama sekali enggan mengaku salah, hal mana membuat Kiu-im-kaucu segera tertawa seram saking gusarnya.

“Bedak ingusan” teriaknya, “akan kulihat siapa yang kau andalkan sehingga berani begitu takabur dihadapanku”

Tiba-tiba Jin Yeng ciu menimbrung.

“Budak itu sangat tak tahu sopan santun, hamba mohon perintah untuk turun tangan memberi pelajaran kepadanya”

Dengan terjadinya peristiwa ini, suasana kembali mengalami pergolakan besar, padahal Kiu-im-kaucu sendiri juga tahu kalau Kok See-piau sengaja hendak mengadu domba, diapun tahu juga akan kelihaiyan keluarga Hoa, akan tetapi bila urusan dibiarkan begitu saja, bisa jadi nama baikknya akan ternoda didepan orang banyak.

Untunglah disaat yang kritis itulah tiba-tiba Hoa In-liong maju ke depan dan memberi hormat kepada Kiu-im-kaucu sambil berkata.

“Harap kaucu jangan gusar, biasanya orang yang sedang marah akan salah berbicara, harap kaucu suka memakluminya”

Tiba-tiba Suma Jin berterik keras, “Kau tak usah mencampuri urusanku”

Tapi pada saat yang bersamaan, Hoa In lioag berseru pula dengan suara lantang.

“Bagaimana seandainya keluarga Hoa yang minta maaf?” Tenaga dalam yang dimiliki pemuda ini jauh lebih sempurna bila dibandingkan dengan Suma Jin, dengan cepat seruan dari gadis itu tertindih sama sekali.

Walaupun Suma Jin merasa tidak rela, tapi diapun tak bisa berbuat kelewatan, maka dia pun memperketat permainan pedangnya serta melampiaskan seluruh hawa amarahnya ke tubuh Huan Thong.

Menghadapi serangan yang datangnya bertubi-tubi, Huan Thong segera terjebak dalam keadaan yang berbahaya sekali.

Tampak Kiu-im-kaucu termenung sebentar, kemudian manggut-menggut, “Baiklah, aku juga kasihan kepadanya karena kehilangan orang tuanya, tak akan kutarik panjang persoalan ini”

“Kebesaran jiwa kaucu sungguh membuat aku merasa amat berterima kasih sekali” seru Hoa In 1iong kemudian sambil menjura.

Padahal semua orang juga tahu, berhubung pihak Kiu-im- kau merasa ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian-hong dan Hoa In-liong terlampau 1ihay dan jelas bukan tandingan, maka sengaja mereka menghindari yang berat dengan memilih yang enteng dengan tidak mempersoalkan kematian dari Le Kiu-it serta Seng Sin sam.

Padahal ucapan Suma Jin tadi terlampau kaku dan tak enak didengar, bila diungkap secara terus terang, bisa jadi pihak Kiu-im-kau akan kehilangan muka.

Kok See-piau tertawa dingin, rupanya dia sudah bersiap- siap untuk mengorek keterangan itu. Mendadak Hoa In-liong berpaling ke arahnya, lalu berseru dengan suara dalam.

“Kok See-piau, kau cerdik dan berotak tajam, jarang ada manusia semacam dirimu, aku orang she Hoa merasa kagum sekali, bagai mana kalau kumohon beberapa petunjukan?”

Mendengar perkataan itu, Kok See-piau menjadi terkesiap, dia tahu kalau dirinya bukan tandingan, suruh anak buahnya juga belum tentu ada yang berani, sementara dia masih kelabakan setengah mati, Cho Thian hua segera tertawa, sambil berjalan menghampiri Hoa In-liong, katanya, “Bocah muda dari keluarga Hoa, Goan cing bilang kau mampu menghadapi lohu, sekarang lohu ingin menjajal, apakah si hwesio cilik itu cuma mengibul atau tidak?”

“Aku orang she Hoa tak akan membuat kau menjadi kecewa” kata Hoa In-liong hambar.

Dalam waktu singkat, suasana dalam arena berubah menjadi sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun, setiap orang menahan napas sambil memperhatiKan orang itu. Tam Si bin berempat yang sedang bertarung pun untuk sementara waktu menghentikan pertarungannya, semua orang tahu pertempuran yang bakal berlangsung pastilah me rupakan suatu pertarungan yang mengerikan. Hanya Suma Jin dan Huan Tong saja yang masih bertarung sengit tanpa ada pertanda kedua belah pihak akan mengakhiri pertempuran itu.

Sejuk pertarungan dibukit Ci san, siapa pun tahu kalau Hoa In-liong memiliki ilmu silat yang maha sakti, cuma saja Cho Thian hua sudah memiliki tenaga dalam sebesar seratus dua puluh tahun hasil latihan, tentu saja kepandaian silat yang dimiliki akan luar biasa sekali. Sebelum pertempuran berkobar, siapapun tak berani mangambil dugaan siapa yang bakal menangkan pertarungan ini, hanya di hati kecil masing-masing orang beranggapan bahwa Hoa In-liong bisa menangkan pertarungan ini.

Tiba-tiba terdengar suara seruan nyaring seakan-akan berkumandang datang dari kahyangan, “Liong ji mundur, Cho Thian hua bukankah kau selalu ingin baradu kepandaian dengan aku orang she Hoa? Silahkan datang ke bukit ini, aku orang she Hoa menunggu kehadiranmu ditempat ini”

Suara tersebut amat nyaring dan lantang, setiap patah katanya serasa menggetarkan sukma, barang siapa pernah berjumpa dengan Hoa Thian-hong, cukup mendengar dari suaranya, mereka seakan-akan membayangkan munculnya seorang lelaki berjubah hijau yang kekar dihadapan mereka.

Seketika itu juga sinar mata semua jago bersama sama dialihkan keatas puncak bukit sebelah utara.

Paras muka Kok See-piau berubah hebat, para jago dari golongan pendekar bergirang hati, jago-jago Hian-beng-kau menjadi gaduh dan Thian heng Tokoh tampak diliputi emosi.

Setelah hening sekian lama, akhirnya Cho Thian hua berseru dengan suara lantang, “Hoa Thian-hong, mengapa kau sendiri tidak turun kemari?”

Terdengar dari suara Hoa Thian-hong menjawab, “Kalau jangan bertanya dulu mengapa aku orang she Hoa tidak turun, aku orang she Hoa ingin bertanya dulu kepadamu apakah kau mempunyai keberanian untuk naik keatas bukit?”

Tiba-tiba Goan cing taysu berbisik kepada dua bersaudara Hoa dengan ilmu menyampaikan suara. “Mengapa ayah kalian menantangnya untuk bertarung diatas puncak bukit dan bukannya menyelesaikan ditempat ini?”

Dua bersaudara dari keluarga Hoa itu saling beri pandangan sekejap kedua orang itu tampaknya sepikiran sehati, oleh Hoa Si segera jawabnya dengan ilmu menyampaikan suara.

“Sudah pasti ayah ingin memaksa Cho Thian hua untuk mengasingkan diri, bila dipaksa didepan orang banyak dalam kalahnya Cho Thian hua tentu akan merasa malu dan menjadi gusar, bisa jadi dia akan beradu jiwa dengan ayah”

Cho Thian hua adalah seorang jagoan yang berilmu tinggi, setelah mendengar seruan tersebut dia lantas tahu kalau tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thian-hong sama sekali tidak berada dibawah kepandaiannya apalagi pihak lawan berjumlah banyak, ia merasa sulit juga untuk mengatasi keadaan, maka tanpa terasa sinar matanya dialihkan ke wajah Kok See-piau minta pertimbangan nya.

Sejak mengetahui akan kehadiran Hoa Thian-hong ditempat itu, Kok See-piau sudah merasa amat terkesiap dan takut, tapi ia berbeda dengan orang lain, sekalipun gugup pikiran tak sampai kalut, dengan cepat dia mengambil Keputusan didalam hatinya.

Dengan ilmu menyampaikan suara, serunya kemudian, “Tangkap orang sebagai sandera untuk meloloskan diri dari kepungan, selama gunung nan hijau memangnya kita takut kehabisan kayu bakar…?”

“Agaknya aku memang harus berbuat demikian” pikir Cho Thian hua kemudian. Berpikir sampai disitu, dia lantas tertawa terbahak-bahak, dengan langkah lebar dia berjalan menuju ke utara, lagaknya seperti lagi bersiap-siap untuk naik ke puncak bukit dan melangsungkan pertempuran.

Tapi baru berjalan beberapa kaki, diincarnya Bwe Su-yok dan Si Leng jin yang sedang berdiri tak jauh disana, kemudian secepat sambarann kilat tubuhnya menerjang kemuka dan mencengkeram kedua orang itu.

Dengan kepandaian silat yang dimilikinya sekarang, sulit bagi kedua orang gadis itu untuk meloloskan diri dari incarannya, dalam sekejap mata Cho Thian hua telah mencengkeram pergelangan tangan kedua orang itu.

Tiba-tiba terdengar Hoa In-liong mendengus dingin, Cho Thian hua merasakan datangnya segulung angin pukulan yang maha dahsyat mengancam puunggungnya.

Seandainya orang lain yang melepaskan pukulan tersebut, sudah pasti Cho Thian hua tak akan takut untuk menerima pukulan tersebut, tapi berbeda keadaannya bila Hoa In-liong yang melepaskan serangan tersebut.

Dalam keadaan berbahaya dan terancam oleh serangan tersebut, terpaksa Cho Thian hua mengurungkan niatnya untuk menangkap orang dan buru-buru tubuhnya melejit ke tengah udara untuk menghindarkan diri.

Dengan demikian angin pukulan yang maha dahsyat itu segera menggulung kemuka dan tampaknya segera akan menghajar ditubuh kedua orang gadis tersebut…..

Belum habis gelak tertawa Cho Thian hua, tahu-tahu Hoa In-liong telah membalikkan telapak tangannya, seketika itu juga hawa serangan yang maha dahsyat itu punah tak berbekas.

Seandainya seseorang tidak memiliki tenaga dalam yang cukup sempurna, sulit baginya untuk melakukan hal itu, maka setelah menyaksikan kelihayan si anak muda itu, kendatipun dia adalah seorang gembong iblis yang berilmu tinggi, tak urung dibikin terkesiap juga.

Terdengar Hoa In iiong mengejek dengan suara dingin, “Cho Thian hua, walaupun kita saling berhadapan sebagai musuh, sebelum kejadian saat ini, aku orang she Hoa selalu menganggap dirimu sebagai seorang tokoh sakti yang pantas dihormati”

Merah padam selembar wajah Cho Thian hua karena jengah, tidak sampai ia menyelesaikan kata-katanya, dia telah berseru lantang, “Hoa Thian-hong, tunggu saja, lohu segera datang!” Ia segera menggerakkan badannya dan sekejap kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.

Diantara sekian banyak jago persilatan yang hadir di arena saat ini, kecuali Hoa In-liong dan Goan cing taysu, tak ada orang lain yang sempat melihat jelas bagaimana caranya ia berlalu dari situ, diam-diam semua orang merasa terkejut juga atas kelihayan ilmu silat yang dimilikinya.

Ketika Kok See-piau menyaksikan tindakan Cho Thian hua untuk menyergap orang itu mengalami kegagalan total bahkan sekarang pergi sambil menanggung malu, sadarlah dia bahwa keadaan yang membentang didepan matanya sekarang sangat tidak menguntungkan. Sambil menggigit bibir dia lantas bersiap sedia untuk menitahkan anak buahnya agar melangsungkan pertarungan mati-matian.

Mendadak terdengar seseorang berseru dengan suara merdu.

Kok See-piau, apakah kau masih juga tak mau sadar?”

Kok See-piau segera mendongakkan kepala nya, tapi dengan cepat hatinya bergetar keras, termasuk juga semua yang hadir di arena sama-sama menjerit kaget.

Entah sedari kapan, tahu-tahu ditengah arena telah muncul tiga orang manusia. Dua orang diantaranya adalah nyonya setengah baya yang cantik dan anggun, mereka adalah Chin si hujin atau Chin Wan hong dan yang lain Pek si Hujin atau Pek Kun gi yang masih digilai Kok See-piau sampai sekarang.

Gadis berbaju putih salju yang mengikuti dibelakang kedua orang itu ternyata bukan lain adalah Kok Gi pek.

Tak terlukiskan rasa terkejut dan girang yang dialami Pek Soh gi waktu itu, dengan langkah cepat ia memburu ke depan dan memeluk Kok Gi pek erat-erat sambil berseru, “yu ji, akhirnya kau kembali kepelukan ibumu!”

“Ibu….!” panggil Kok Gi pek lirih, kemudian membenamkan diri kedalam pelukan Pek Soh gi dan menangis tersedu-sedu. Waktu itu, kembali Kok See-piau, yang lain ayu meski dia adalah orang yang berhati bengis, diam-diam merasa terharu juga setelah menyaksikan adegan tersebut.

Pada saat itulah, tiba-tiba Tiang heng Tokoh meninggalkan arena secara diam-diam. “Enci Ku” Chin si hujin segera berteriak.

Mendengar teriakan itu bukan saja Tian heng Tokoh tidak menghentikan gerakan tubuhnya malahan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk kabur lebih cepat lagi! Dalam waktu singkat dia sudah berada ratusan kaki jauhnya dari tempat semula.

Tiba-tiba tampak bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu Pek si hujin telah menghadang dihadapannya.

Melihat itu, Tiang heng tokoh segera menggerakkan senjata hud timnya siap mendesak mundur Pek si hujin dan berusaha merebut jalan untuk kabur dari situ.

“Siapa tahu Pek si hujin sama sekali tidak menghindar ataupun berkelit katanya dengan sedih.

“Cici, Thian heng, Hong ci dan siau moay sudah banyak tahun memikirkan dirimu, tapi kau selalu bertega hati untuk menghindari pertemuan dengan kami”

Dengan perakaan apa boleh buat Tiang heng Tokoh menghentikan langkah tubuhnya sambil menarik kembali serta hud timnya, lalu dengan hambar berkata.

“Pinto sudah melupakan kejadian dimasa lalu, harap jangan menghalangi jalan pergiku lagi”

Sementara itu Chin si hujin juga telah memburu ke situ, sambil menggenggam tangan Tiang heng Tokoh katanya dengan air mata bercucuran, “Cici, Thian hong telah datang kemari, paling tidak kau harus berjumpa dulu dengannya”

Mendengar perkataan itu, bagaikan dadanya terhantam oleh martil berat kontan saja sekujur badan Tiang heng Tokoh bergetar keras, sekuat tenaga ia berusaha untuk meronta dari cekalan, tapi sampai mati pun Chin si hujin tak mau lepas tangan.

Dalam keadaan begini, sikapnya secara tiba-tiba malah menjadi tenang kembali, katanya dengan suara hambar.

“Sekalipun kau akan berbicara beribu patah kata, usahamu itu juga akan sia-sia belaka, baiklah! Kalau tidak dicoba mungkin kalian tidak puas, akan kutunggu berapa saat lagi disini”

Mereka bertigapun berbalik kembali ketempat semula.

Dua bersaudara Hoa baru menghembuskan napas lega ketika melihat hal itu, Coan Goan hau suami istri dan Si Seng tek juga segera maju bertemu dengan Chin si hujin sekalian, terutama Coa hujin yang rupanya sudah berniat untuk mempererat hubungan kekeluargaan itu.

Menyusul kemudian Coa Cong gi, Coa Wi-wi dan Si Leng jin juga maju memberi hormat.

Kepada Coa Goan hau suami istri, Pek si hujin berkata sambil tertawa merdu, “Putra putri kalian sangat menyenangkan sekali, tidak seperti Liong ji yang binal, bikin hati risau saja”

Coa Goan hau tertawa terbahak bahak, “Haaahhh……haaahhh……haaahhh….putra ku juga binal, tak jauh bedanya dengan putra nyonya, sedang putriku lebih condong keluar, cepat atau lambat akhirnya juga akan diberikan orang”

“Sementara itu Chin si hujin sedang berkata kepada Si Seng tek sambil tertawa. “Putrimu begitu berbakti dan setia kawan, sudah lama Chisi mendengar tentang hal itu, rasanya tak sia-sia jerih payah saudara Si”

“Aaah, kesemuanya itu juga atas pemberian putra nyonya” jawab Si Seng tek sambil mengelus jenggotnya dan tertawa.

Pek si hujin lantas melirik sekejap ke arah Bwe Su-yok, kemudian sambil mengalihkan sorot matanya kebawah Kiu-im- kaucu, katanya seraya tertawa.

“Murid kaucu cantik dan pintar, bila tidak menyalahkan kelancangan Pek Soh gi, dikemudian hari dia pasti akan lebih cemerlang daripada si burung hong tua”

Mendengar perkataan itu, Kiu-im-kaucu segera tertawa terbahak-bahak.

“Haaahh…….haaahh…..haaahh…….bisa mendapat ucapan dari hujin tersebut, nilai Yok ji akan meningkat beratus-ratus kali lipat”

Bwe Su-yok sendiripun buru- buru memberi hormat seraya berkata, “Boanpwe mana berani dibandingkan dengan insu!”

Biji matanya yang jeli dengan cepat mengerling sekejap ke arah Hoa In-liong.

Pek si hujin adalah seorang yang berpengalaman, terhadap soal muda mudi boleh dibilang memahami sekali, sudah barang tentu diapun dapat merasakan perasaan gadis itu.

Sesudah termenung sebentar, sinar matanya segera diarahkan kewajah Go Hong giok. Waktu itu Go Hong giok bersembunyi kebelakang tubuh ibunya dengan perasaan rendah diri, ia merasakan takut untuk tampilkan diri.

Thia Siok-bi yang menyaksikan keadaan putri nya diam- diam merasa bersedih hati, tapi diapun tak tega mendesaknya untuk maju, maka dengan wajah penuh rasa hormat diam- diam dia perhatikan kedua orang Hoa hujin tersebut.

Tiba-tiba sepasang mata Pek si bujin yang jeli bagaikan bintang tidur itu beralih kearahnya, kontan jantungnya berdebar keras dan menunduk kan kepalanya rendah-rendah.

“Nona Go harap kemari….”terdengar Pek si hujin berseru dengan suara merdu.

Go Hong giok hanya merasakan dibalik seruan dari Pek si hujin itu seakan-akan mengandung suatu kekuatan yang tak bisa dibantah, lagi hal itu membuatnya tanpa sadar maju menghampiri kehadapannya.

Ketika tiba didepan pek si hujin, ia baru seakan-akan merasa sadar dari keadaan, dengan rikuh cepat-cepat gadis itu berusaha untuk menghindarkan diri lagi.

Tapi dengan cepat Chin si hujin menangkap pergelangan tangannya kemudian sambil menghela napas katanya lembut.

“Semua persoalan yang menimpa dirimu sudah kami ketahui, baik, kau masih mempunyai masa depan yang cemerlang, perjalanan hidupmu pun masih amat panjang, yang sudah lewat biarkan lewat, kau tak usah memikirkannya kembali, keluarga Hoa dengan senang hati menyambut kedatanganmu untuk tinggal dirumah kami” Go Hong giok tak kuasa menahan rasa pedih dan rasa harunya lagi, tiba-tiba ia bertekuk lutut dan memeluk kaki Chin si hujin sambil menangis tersedu-sedu.

Thia Siok-bi yang menyaksikan kejadian itu meski agak terhibur juga hatinya, tak urung diam-diam ia melelehkan juga air matanya.

Pek si hujin mengerutkan dahinya rapat-rapat, dengan ilmu menyampaikan suara bisiknya kemudian kepada Chin si hujin.

“Enci Hong, bagaimana penyelesaianya terhadap persoalan yang menyangkut Liong ji?”

Chin si hujin tertawa, sahutnya sambil menggunakan ilmu menyampaikan suara pula, “Anak itu kau yang melahirkan, aku mah enggan untuk turut mencarinya”

“Aaaa… ! Aku sedang kebingungan setengah mati, bisa-

bisanya enci Hong mengajakku bergurau”

Chin si hujin termenung sebentar, lalu dengan wajah serius katanya, “Thian hong sudah memberi contoh lebih dahulu dengan beristri dua, bagaimanapun juga aku tak bisa memaksa Liong ji untuk mengambil seorang istri saja, disamping itu akupun tak ingin ada orang yang merasa menyesal dan kecewa sepanjang masa, maka kalau bisa setiap orang yang terlibat harus memperoleh bagiannya secara adil dan merata,……………

Huuuh! Untung saja persoalan yang demikian peliknya ini tak usah diselesaikan dengan terburu-buru, lebih baik kita selesaikan dulu masalah yang berada didepan mata, kemudian baru merundingkan kembali persoalan tersebut ” Pek si hujin manggut-manggut, dia lantas berpaling dan ujarnya kepada Kok See-piau, “Kejadian manusia bagaikan awan diangkasa, selama dua puluh tahun belakangan ini, kita sama-sama sudah makin menanjak tua”

Semenjak perempuan itu munculkan dirinya di dalam arena, Kok See-piau hanya membungkam diri belaka, ia merasa bukan saja kecantikan wajah Pek si hujin pada saat ini masih tetap seperti dulu, bahkan ia kelihatan lebih anggun matang, berbicara yang sejujurnya, Pek Kun gi tampak jaun lebih menarik ketimbang dulu.

Maka mendengar perkataan itu, tanpa terasa dia berseru, Tidak, kau tampak jauh lebih cantik dan menarik daripada dulu semasa masih muda”

Pek si hujin mengerutkan dahinya rapat-rapat, dengan hambar dia berkata, “Perkataan yang tak berguna lebih baik jangan disinggung-singgung lagi, ada suatu hal ingin kutanyakan kepadamu, aku harap kau bersedia untuk menjawab dengan sejujurnya”

62

Berhadapan dengan Pek Kun gi, sikap Kok See-piau

seakan-akan berubah menjadi lembut dan halus seperti semua kebengisannva telah lenyap tak berbekas, katanya kemudian.

“Tanyalah,”

“Ketika putri enciku menjumpai bahaya tadi, Kami sudah berada disekitar tempat itu, kami sengaja tidak menghalangi dan baru menolong jiwanya setelah ia terjatuh kedalam jurang, tujuan yang sebenarnya tak lain adalah ingin memaksa mu untuk berbicara sejujurnya. Ternyata dugaan kami tidak meleset, kenyataannya memang begitu. Cuma herannya, ketika ayahku dan suamiku berhasil menemukan ayah ibunya yang sekarang, bagaimanapun kami bertanya: mereka selalu bersikeras mengatakan bahwa Kok Gi pek adalah putrinya, malah ayahku sendiripun tidak menemukan kecurigaan apa- apa atas diri mereka yang berakibat hampir saja beliau menjadi putus asa, yang menjadi pertanyaanku sekarang adalah mengapa bisa sampai terjadi keadaan ini?”

Paras muka Kok See-piau berubah hebat sesudah tertawa seram serunya, “Sungguh berotak tajam, Hoa Thian bong akhirnya aku orang she Kok kembali harus kalah ditangan kalian ayah dan anak berdua”

Sesudah berhenti sejenak tiba-tiba nada suaranya berubah menjadi sangat hambar katanya.

“Kalau dibicarakan yang sebenarnya, hal itu sesungguhnya amat sederhana, tentu saja mereka mengira Gi pek adalah putri mereka, sebab ketika itu secara kebetulan merekapun mempunyai seorang bayi perempuan yang berusia hampir sebaya, malam harinya secara diam-diam aku telah menukar bayi mereka dengan bayi ini tak heran Pek Siau-thian yang berpengalaman sekalipun dapat memahami perasaan orang juga tak mampu untuk membongkar teka-teki ini”

Sementara itu air mata Kok Gi pek telah jatuh bercucuran membasahi seluruh wajahnya, untuk beberapa saat lamanya dia tak tahu apa yang musti dilakukan,

Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar berulang kali diikuti suatu pekikan tertahan.

Tampaklah Ciu Thian hua telah bertarung melawan Leng lam it khi, sedang Haputule bertarung melawan Phoa Si. Ditengah berkobarnya pertarungan yang amat seru itu, tiba-tiba Huan Thong tertusuk dadanya oleh serangan pedang lawan hingga tembus kepunggungnya, sesudah sempoyongan beberapa waktu, tiba-tiba ia menjerit keras dan roboh terkapar diatas genangan darah sendiri…….

Sedangkan Suma Jin dengan tangan kosong berdiri terengah-engah disitu, Hoa In-liong berdiri dibelakangnya sambil menempelkan telapak tangannya dipunggang gadis itu, rupanya ia sedang menyalurkan hawa murninya untuk membantu memulihkan kekuatan tubuhnya.

Tak lama kemudian, tenaga dalam yang dimiliki Suma Jin telah pulih kembali seperti sedia kala, dia melirik sekejap ke arah Hoa In-liong, kemudian tanpa berbicara lagi dia melompat ke depan dan mencabut keluar pedangnya dari dada mayat Hun Tong.

Setelah itu, dengan wajah sedingin es dan diliputi hawa napsu membunuh yang menyeramkan, dia menatap wajah Beng Wi cian tajam-tajam, tak sepatah katapun yang diucapkan.

Rupanya Beng Wi cian juga sudah tahu kalau hal itu tak bisa dihindari lagi, dengan langkah lebar dia maju ke depan, setelah memberi hormat kepada Si Seng tek, katanya pelan, “Nona suma, aku tahu bahwa dendam kesumat harus dibayar, Beng Wi cian pasti akan memberi kesempatan kepada nona untuk menyelesaikan tugas baktimu itu, nah, silahkan untuk turun tangan”

Seusai berkata, sambil bergendong tangan dia lantas mendongakkan kepalanya dan tidak berbicara lagi.

Suma Jin tertawa dingin, ejeknya. “Bila kau ingin kuampuni selembar jiwa dengan bersikap demikian, maka perhitungan mu itu keliru besar, nonamu tak akan ambil perduli apakah kau akan memberi perlawanan atau tidak”

“Nona Suma!” seru Beng Wi cian dengan gusar, “bila kau ingin turun tangan, silahkan kau lakukan dengan segera, janganlah bermaksud untuk membuat malu aku orang she Beng, sejelek-jeleknya aku orang she Beng paling tidak aku takkan merengek minta di ampuni darimu”

Si Seng tek yang menyaksikan kejadian itu segera mengerutkan dahinya rapat-rapat, bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut kemudian di urungkan.

Hoa In-liong segera menengok kearah ibunya, tiba-tiba Chin si hujin berkata.

“Adik keponakanku, bukannya encomu sengaja bermaksud untuk menghalangi niatmu untuk membalas dendam, cuma aku berharap agar kau suka berpikir tiga kali lebih dulu sebelum melakukannya”

Paras muka Sama Jin berubah, seakan-akan dalam waktu yarg amat singkat itu pelbagai ingatan telah berkecamuk dalam benaknya, tiba-tiba ia mendepakkan kakinya ditanah seraya berseru, “Aaai……! Sudahlah!”

Dia lantas membalikkan badannya dan berlalu dari situ.

Tiba-tiba Beng Wi cian berseru “Nona Suma, harap tunggu sebentar!”

Suma Jin menghentikan langkah kakinya, kemudian tanpa berpaling lagi, katanya dengan dingin. Perkataan apa lagi yang hendak kau ucapkan?”

Beng Wi cian menjura dengan wajah serius, katanya, “Nona, tidak membunuh juga tidak menghalangiku, hal mana mencerminkan kau memang keturunan seorang kenamaan. Dalam peristiwa pembunuhan terhadap Suma tayhiap, meski lohu turut hadir namun tidak ikut turun tangan, apakah nona mau mempercayai perkataanku?”

Suma Jin memandang sekejap ke arahnya, lalu dengan alis mata berkenyit dia manggut-manggut.

“Aku percaya, untung saja Suma Jin tak sampai melakukan perbuatan yang salah”

Sinar matanya segera dialihkan ke wajah Kok See-piau, dengan sinar mata sedingin es katanya, “Kok See-piau, sekarang tinggal kau”

Kok See-piau mendongakkan kepalanya dan tertawa seram. “Haaahh…….hhaaaah……hhaaahh…….bagus, bagus sekali,

ada dendam harus dibayar dengan dendam ada darah harus

dibayar dengan darah, kita memang harus melakukan perhitungan terakhir”

Sesudah berhenti sejenak, kepada Pek si hujin katanya, “Walaupun kita telah saling berhadapan sebagai musuh besar, tapi ijinkanlah aku untuk menyebutmu dengan sebutan yang lama Hian moay (adikku), putramu benar-benar sangat lihay, selama ia berada disini mungkin hari ini aku bakal mati, cuma akupun bukan seorang manusia yang gampang dibereskan dengan begitu saja, sekalipun hari ini aku harus mati, aku juga akan perlihatkan kepadamu, meski keluarga Hoa adalah enghiong, aku orang she Kok juga bukan manusia tak berguna”

Pek si hujin menghela napas panjang, bersama Chin si hujin dan Tiang beng Tokoh mereka mengundurkan diri ke sisi arena.

Menanti Pek si hujin sudah mundur kesisi arena, tiba-tiba paras muka Kok See-piau berubah menjadi amat mengerikan, sambil menyapu sekejap sekeliling tempat itu, serunya dengan suara keras, “Semua anggota Hian-beng-kau dengarkan baik- baik……”

Belum habis perkataan itu diucapkan, tiba-tiba terdengar seseorang berseru lantang, “Kok See-piau, benarkah kau ingin mencari kematian dan kehancuran buat dirimu sendiri?”

Seruan itu datangnya sangat mendadak dan bernada penuh kewibawaan, kecuali anggota keluarga Hoa, boleh dibilang hampir semua jago lainnya merasakan hatinya bergetar keras.

Tiba-tiba dari tengah arena muncul seorang lelaki berjubah hijau yang keren, gagah perkasa, berwibawa besar, berbaju sederhana dan penuh keramah tamahan.

Sedari kapan ia muncul disana? Ternyata tak seorangpun yang merasakanny, seakan-akan sedari dulu dia memang sudah berdiri ditempat itu tanpa berkutik.

Mendengar suasana diseluruh arena berubah menjadi sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun, setiap orang berdiri dengan wajah serius, bahkan Kiu-im-kaucu yang tak pernah pandang sebelah mata kepada orang lain serta Kok See-piau yang rasa bencinya sudah merasuk tulang juga dalam waktu singkat merasakan semua kecongka-kannya punah, suatu perasaan ngeri dan takut yang aneh, secara aneh menyusup keluar dari hatinya dan menyelimuti seluruh perasaannya.

Lelaki berbaju hijau yang sederhana tapi penuh kewibawaan ini tak lain adalah pemilik dari perkampungan Liok soat san ceng yang tersohor diseantero jagad karena kelihaiyan ilmu silatnya, dan merupakan tulang punggung dari para pendekar dari golongan lurus, Thiam cu kiam (pedang pangeran langit) Hoa Thian-hong adanya.

Suasana menjadi hening, sepi tak kedengaran sedikit suarapun, lama sekali Hoa In-liong berdua baru maju memberi hormat, sedang semua orang juga seperti baru mendusin dari impiannya.

Kecuali orang-orang dari perkumpulan Hian-beng-kau, para jago yang lain segera berdesakan maju sambil menyapa.

“Hoa tay hiap, baik-baikkah kau?” Sambil tertawa Goan cing taysu berkata.

“Hoa tayhiap, aku pikir Cho Thian hua tentu sudah kabur bukan setelah menyaksikan gelagat yang sedang dihadapinya tidak menguntungkan baginya…..?”

Sambil tersenyum Hoa Thian-hong segera balas memberi hormat.

“Aaah……! Soal kalah menang belum lagi ketahuan, ternyata Cho Thian hua mengakhiri pertarungan sampai ditengah jalan, katanya ia bersedia mengundurkan dari dunia persilatan untuk melanjutkan sisa hidupnya dengan aman tenteram” Sekalipun perkataan itu diicapkan sambil lalu dan menggunakan kata-kata yang enteng sekali, akan tetapi semua orang tahu, seandainya Cho Thian hua tidak menderita kekalahan atau berhasil dipecundangi, tak mungkin dia bersedia mengundurkan diri dengan begitu saja.

Diam-diam semua orang merasa sayang sebab pertempuran sengit yang luar biasa hebatnya itu tak sempat disaksikan dengan mata kepala sendiri……..

Tampak Hoa Thian-hong berpaling ke arah Coa Wi-wi, kemudian katanya sambil tersenyum.

“Coa titli, sesaat sebelum meninggalkan tempat ini, Cho Thian hua telah menitipkan tiga biji buah merah Co ko kepadaku agar disampaikan kepadamu, katanya benda itu merupakan barang taruhannya yang kalah ditanganmu, harap kau suka menerimanya”

Mendengar perkataan itu, Coa Wi-wi segera tertawa merdu, katanya agak geli.

“Empek Hoa kau masih bisa-bisanya merendahkan diri, jelas Cho Thian hua sudah menderita kekalahan hebat, kau masih bilang menang kalah belum ketahuan, kalau tidak ia tak akan mengatakan kalau dia sudah kalah bertaruh. Tak kusangka ucapanmu yang iseng dan tidak bermaksud suugguh-sungguh ternyata ditanggapi secara sungguhan oleh orang tua itu… ”

Hoa Thian-hong tersenyum, sinar matanya pelan-pelan dialihkan ke arah Kok See-piau.

Di waktu-waktu biasa kawanan gembong iblis itu selalu memperbincangkan bagaimana membasmi keluarga Hoa, bagaimana mengu asahi dunia persilatan dan menjadi jagoan tenar.

Tapi sekarang, setelah berhadapan muka sendiri dengan Hoa Thian-hong, mereka baru sadar bahwa kelihayan serta kehebatan yang dimiliki Hoa Thian-hong jauh daripada apa yang mereka pikirkan serta bayangan diwaktu-waktu biasa.

Banyak diantaranya segera menundukkan kepalanya rendah-rendah karena merasa jengah dan malu sendiri.

Rupanya Kok See-piau masih belum mau takluk dan mengaku kalah dengan begitu saja, tiba-tiba ia menjadi nekad, dengan suara lantang teriaknya keras-keras, “Segenap anggota perkumpulan Hian-beng-kau, dengarlah baik-baik!

Kuperintahkan ke pada kalian untuk maju bersama dan bertempur sampai titik darah penghabisan, barang siapa berani melanggar perintahku ini, akann kubunuh tanpa ampun!”

Seketika itu juga terdengarlah suara bentakan keras yang menggelegar di angkasa…..

Serentak para iblis dari perkumpulan Hian-beng-kau bergerak maju kemuka gulungan air bah……

Pertarungan antara Leng lam it khi (manusia aneh dari leng lam )melawan Ciu Thian hua serta Phoa Si melawan Haputule yang semula terhenti, kini berkobar kembali dengan serunya.

Sisanya yang lain seperti Cu Thong segera bertarung melawan  Pi  Cok  bin,  Ko   Thay   melawan   Bu   Beng san… pokoknya setiap jago lihay dari Hian-beng-kau telah

bertemu dengan tandingannya. Murid-murid lainnya meski turut melancarkan serbuan pula ke arah kawanan jago dari golongan putih serta orang-orang perkumpulan Kiu-im-kau akan tetapi serbuan mereka segera terbendung dan diri mereka sendiri tetap terkepung ditengah arena, tak seorang manusiapun diantara mereka yang sanggup meloloskan diri dari serangan.

Dari sini dapat diketahui bahwa usaha orang-orang Hian- beng-kau untuk menerjang keluar dari kepungan, sesungguhnya cuma suatu usaha yang tak berguna, sebab toh akhirnya mereka bakal mampus juga ditempat itu.

Hoa Thian-hong segera mengerutkan dahinya setelah menyaksikan kejadian itu, dengan suara yang dalam dan berat serunya kemudian kearah gembong iblis tersebut.

“Kok See-piau, rupanya kau sudah nekad untuk bertahan terus sampai titik darah penghabisan? Bagus, apakah pertarungan ini akan kau langsungkan disini juga”

“Benar!” jawab Kok See-piau sambil menyeringai seram “Hoa Thian-hong kalian ayah dan anak boleh maju bersama- sama, pun sinkun masih sanggup untuk membantai kalian semua sehingga mampus tanpa tempat kubur”

Hoa In-liong yang mendengar perkataan itu, segera tersenyum.

“Apalah gunanya untuk berbicara takabur dan segede gajah? Bagus, jika kau memang sudah merasa gatal tangan dan ingin mencoba kepandaian silatku, akan kulayani keinginanmu itu, ingin ku lihat kau masih bertahan sebanyak berapa gebrakan di tangan ku?”

Berbicara sampai disitu dia lantas berpaling kesamping dan memohon ijin dari ayahnya untuk turun tangan. “Dengan cepat Hoa Thian hong mengulapkan tanganya lalu berkata dengan lembut.

“Lebih baik kau menonton disamping arena saja, sebelum Kok See-piau bisa bertarung melawan diriku, sampai matipun dia tak akan mati dengan mata terpejam”

Seraya berkata dia lantas maju ke depan. Diam-diam Kok See-piau merasa kecewa sekali, tapi ingatan lain dengan cepat melintas dalam benaknya.

“Kenapa tidak kuhadapi saja satu lawan satu? Ada satu habisi satu, ada dua habisi dua?”

Berpikir demikian, ia lantas tertawa dingin, serunya kemudian dengan suara lantang.

“Hoa Thian-hong, mengapa tidak kau pergunakan pedangmu untuk menghadapiku?”

Hoa Thian-hong tertawa hambar,  sahutnya. “Seandainya aku pergunakan pedang, maka kesempatan

bagimu untuk beradu jiwa akan semakin lenyap, ku pikir selama berapa tahun belakangan ini tentu banyak kepandaian beracun yang berhasil kau pelajari, nah, ingin kulihat sampai dimanakah kehebatan dari ilmu-ilmu beracun itu?”

Api kemarahan yang berkobar di dada Kok See-piau betul- betul memuncak dan hampir tak tertahan lagi, sambil berpekik nyaring dia menubruk ke muka sambil melepaskan sebuah pukulan. Secara tiba-tiba saja telapak tangannya itu berubah seakan-akan panca warna yang amat menyilaukan mata, mana cahaya warnanya tajam, menyolok lagi.

Berbareng itu, segulung bau amis yang menusuk hidung dan amat memualkan perut menyelimuti angkasa, ini membuat para penonton yang berada di sekitar arena merasakan dadanya menjadi sesak dan panas bagaikan hangus terbakar, buru-buru mereka kabur ke belakang dengan perasaan terkesiap, tak seorangpun diantara mereka yang merasa sanggup untuk menyambut datangnya ancaman pukulan beracun sehebat itu.

Hoa Thian-hong tak berani berayali, sambil memutar badan, sebuah jari tangannya menyambar ke muka melepaskan ancaman ke atas nadi penting kepada pergelangan tangan Kok See-piau.

Menghadapi ancaman seperti itu, buru-buru Kok See-piau merendahkan lengannya ke bawah untuk memunahkan jurus ancaman tersebut, kemudian secara beruntun melancarkan serangkaian serangan berantai, semuanya dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa.

Sungguh hebat sekali rangkaian jurus ilmu telapak tangan yang dipergunakan itu, selain aneh dan sakti gerakkannya, juga ganas serta tak mengenal ampun.

Dalam waktu singkat selapis angin pukuan bagaikan puyuh di samudra menyelimuti sekujur badan Hoa Thian-hong, tubuh Kok See-piau sendiri seakan-akan sudah terlebur menjadi satu dengan angin pukulan nya, mana tubuh sudah lenyap, setitik jejak pun tidak kelihatan.

Pertempuran sengit yang berkobar ini sungguh mengerikan dan jarang sekali dijumpai dalam dunia persilatan, orang hanya bisa berdiri terbelalak dengan mulut melongo tanpa tahu apa yang hendak dilakukannya pada waktu itu.

Selain dari pada itu, ilmu pukulan yang dipergunakan oleh Kok See-piau itupun hanya Hoa In-liong seorang yang bisa mengikutinya, dia betul kesemsem oleh gerakan-gerakan itu sehingga tanpa disadari dia telah memusatkan segenap perhatiannya untuk menyadap inti sari dari ilmu pukulan tersebut.

Sesungguhnya Hoa In-liong sudah pernah mempelajari ilmu tersebut dari catatan batas buku yang pernah diperolehnya, cuma keterangan yang tercantum disana tidak sebagus dan serta secermat apa yang digunakan Kok See-piau sekarang, menjumpai kesempatan semacam ini, sudah barang tentu ia enggan untuk melepaskannya dengan begitu saja.

Jago-jago lain sungguh merasa kejadian yang dihadapinya itu diluar dugaan, mereka tidak menyangka kalau kesempurnaan ilmu silat yang dimiliki Kok See-piau telah mencapai ke tingkatan sedemikian hebat, bahkan orang-orang Hian-beng-kau sendiripun tidak menyangka kalau kaucu mereka sesungguhnya memiliki kepandaian silat sedemikian tingginya.

Mereka-mereka yang berilmu silat agak rendah menjadi terkesiap sekali setelah menyaksikan kejadian ini, mereka mengira Thian cu kiam sudah didesak di bawah angin.

Berbeda sekali dengan kawanan jago yang berilmu tinggi, mereka tahu selihay•-lihaynya Kok See-piau jangan harap dia bisa menandingi Hoa In-liong maupun Hoa Thian-hong, cuma semua orang merasa agak heran apa sebabnya Hoa Thian- hong berbuat demikian? Sementara itu Hoa In-liong juga sedang berpikir didalam hatinya.

“Kok See-piau bukannya tidak tahu kalau ilmu silat yang dimiliki ayah serta aku jauh diatasnya, mengapa dia berani bicara besar? Jangan-jangan dia mempunyai rencana busuk?”

Setelah dipikirkan sebentar, dengan cepat pemuda itu dapat menebak apa gerangan siasat buruk lawan itu.

Baru saja dia hendak menyampaikan peringatan kepada ayahnya, ingatan lain segera melintas dalam benaknya, ia merasa kecerdasan ayahnya jauh diatasnya, pengalamannya lebih luas, mana mungkin ia tak bisa berpikir sampai kesitu?

Berpendapat demikian, dia lantas memusatkan semua perhatiannya untuk mengikuti jalannya pertarungan itu.

Dalam waktu singkat, kedua orang itu sudah bertarung mencapai beberapa ratus jurus lebih.

Ketika Kok See-piau menyaksikan segenap kepandaian andalannya yang digunakan ternyata tidak mendatangkan hasil seperti apa yang diharapkan, bahkan Hoa Thian-hong masih tetap menangkis dan membendung serangannya dengan tenang dan mantap, sadarlah gembong iblis ini bahwa hasil latihannya selama banyak tahun masih jauh ketinggallan bila dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki Hoa In- liong.

Menyadari akan hal tersebut diatas, sambil menggigit bibir menahan diri dia lantas mengeluarkan sisa kepandaian sakti yang ma sih disimpannya itu untuk mengajak musuhnya mati bersama. Mendadak terdengar Hoa Thian-hong berseru dengan suara yang nyaring dan lantang.

“Kok See-piau, kau tidak lebih cuma memiliki kemampuan sedemikian terbatasnya, mengapa kau begitu membikin keonaran dalam dunia persilatan? Hati-hatilah kau sekarang, aku orang she Hoa akan melancarkan serangan balasan”

Tampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat kemudian menerjang keluar dari kurungan bayangan telapak tangan Kok See-piau yang rapat dan berlapis-lapis itu.

Kemudian hanya dalam beberapa perputaran badan saja, tiba-tiba Kok See-piau mera sakan bawa iganya kesemutan tahu-tahu jalan darahnya sudah tertotok.

Sedemikian cepatnya peristiwa itu terjadi, sampai-sampai jurus beradu jiwa yang telah dipersiapkannya semenjak tadipun belum sempat digunakan.

Para anggota perkumpulan Hian-beng-kau yang menyaksikan kejadian itu menjadi sangat terperanjat tanpa terasa mereka menghentikan serangannya dan melompat mundur ke belakang.

Menyaksikan musuh-musuhnya mundur semua, para jago dari golongan putih pun segera ikut menghentikan serangannya dan mengundurkan diri, mereka tak ingin mempergunakan kesempatan tersebut untuk menyergap musuh-musuhnya.

Tampak Hoa Thian-hong merogoh kedalam saku Kok See- piau dan mengeluarkan sebuah bungkusan kecil yang terbuat dari kulit macan tutul, kemudian katanya, “Kok See-piau, secara diam-diam kau menyembunyikan bahan peledak dalam sakumu, memangnya kau anggap aku orang she Hoa tidak tahu kalau kau bernia menyulutnya bila kesempatan baikmu telah tiba, sehingga kau bisa mati bersama dengan orang- orang yang berada sepuluh kaki disekelilingmu?”

Berbicara sampai disitu, dia lantas menggerakkan tangannya untuk membebaskan jalan darah Kok See-piau yang tertotok, katanya lagi dengan hambar.

“Pergilah kau dari sini! Aku orangg she Hoa tidak akan membinasakan dirimu”

Kok See-piau merasa malu sekali, kalau bisa dia ingin mari saja daripada menanggung aib tersebut.

Akhirnya sebagai pelampiasan, dia tertawa terbahak-bahak, serunya.

Hoa Thian-hong kau tak usah pura-pura berbuat bajik, aku orang she Kok tak akan menirukan cara pentolan tiga perkumpulan besar serta Kiu-im-kau yang menebalkan muka mencari kehidupan dibawah tekanan orang-orang keluarga Hoa”

Begitu berbicara sampai disitu, mendadak dia mengayunkan telapak tangannya menghajar keatas jalan darah Pek bwe siat ditubuh sendiri.

Para anggota Hian-beng-kau yang menyaksikan kejadian itu menjadi gempar…..jeritan kaget, seruan tertahan segera berkumandang dimana-mana.

Disaat yang paling akhir, mendadak Hoa Thian-hong menyentilkan ujung jarinya ke depan, segulung desingan angin tajam segera meng hajar telak diatas jalan darah Ci ti hui dibadan Kok See-piau. Seketika itu juga Kok See-piau merasakan lengannya menjadi kesemutan dan tak mampu digerakan lagi.

Ia menjadi marah bukan kepalang, dengan mata yang merah membara bagaikan semburan api, bentaknya keras- keras.

“Hoa Thian-hong, seorang lelaki boleh dibunuh jangan dihina, kau sudah memenangkan pertarungan ini, apa 1agi yang hendak kau peroleh dari diriku?”

“Aku orang she Hoa sama sekali tidak berniat untuk mencemooh atau menghinamu” ujar Hoa Thian-hong dengan suara dalam. “aku hanya merasa heran mengapa kau bisa begitu mendendam dan sakit hati kepada kami? Cobalah pikirkan masalahnya dengan pikiran yang dingin dan tenang, bagian yang manakah kami keluarga Hoa telah membuat kesalahan kepadamu? Bagian yang mana pula telah dilakukan umat persilatan didunia ini terhadapmu?”

sementara Kok See-piau belum sampai menjawab, tiba-tiba terdengar Kok Gi pek berpekik dengan nada merengek, “Biarkan aku ke sana. biarkan aku kesana… Tapi Pek Soh gi memeluk putrinya erat-erat, dengan air mata bercucuran dia mengeluh, “Oooah…anak Yu, apakah kau ingin melihat hati ibumu tercabik- cabik? Bila kau menghampirinya, sudah pasti kau akan dibunuh secara keji…..!”

Hoa In-liong yang menyaksikan kejadian itu segera berkerut kening, lalu serunya, “Bibi, biarkanlah adik misan kesana!.. Kemudian dengan ilmu menyampaikan suara dia melanjutkan.

“Jika kau terlalu memaksa untuk menahannya disitu, maka bisa jadi adik misan akan menanggung rasa menyesal bahkan rasa benci sepanjang masa kepadamu, tak usah kuatir, keponakan jamin akan keselamatan jiwanya……!”

Sementara Pek Soh gi masih tertegun dan berdiri

termangu-mangu, mendadak Kok Gi pek meronta dari pelukan ibunya, dia melompat kemuka.

Gadis itu segera lari ke depan Hoa Thian-hong kemudian sambil menjatuhkan diri berlutut, katanya sambil menangis tersedu-sedu dengan amat sedihnya, “Oooh…….paman, lepaskanlah guruku! Ampunilah selembar jiwa guruku itu…..”

Hoa Thian-hong menghela napas panjang.

Sedangkan Hoa In-liong yang berada disampingnya segera membimbingnya bangun dari atas tanah, kemudian dengan suara yang lembut dan penuh kasih sayang dia berkata.

“Adik misanku, tenangkan hatimu baik-baik! Bukan kami enggan melepaskan gurumu dari sini, juga bukan kami akan melenyapkan selembar jiwanya, adalah gurumu sendiri yang berniat busuk untuk menghabisi nyawa sendiri sambil mencelakai orang lain”

Mendengar ucapan tersebut Kok Gi pek menjadi tertegun dan berdiri termangu-manggu beberapa saat lamanya.

Lama, lama sekali akhirnya dia menghela napas sedih, bisiknya dengan lirih.

“Terima kasih kakak misan, atas perhatiannya!”

Tiba-tiba ia membalikan badanya, lalu menubruk kehadapan Kok See-piau, sambil memeluk kakinya kencang- kencang, pekiknya dengan penuh kesedihan, “Oooh…..suhu! terbukalah sedikit jalan pemikiranmu……tecu bersedia mati untukmu, tapi kumohon kabulkanlah permohonan diri tecu ini….”

Paras muka Kok See-piau kaku tanpa emosi, dengan watak iblisnya yang keji dan tak mengenal perasaan itu, dia benar- benar tidak menyangka kalau sampai keadaan seperti itu pun Kok Gi pek masih enggan untuk meninggalkannya sendirian, bahkan rela mati deminya.

Sepanjang sejarah hidupnya, belum pernah dia dibikin terharu seperti hari ini, untuk sesaat lamanya dia menjadi termenungng dan tidak mengucapkan sepatah katapun.

Beberapa saat kemudian, ia baru berkata dengan suara keras dan nyaring, “Hoa Thian-hong…! Apa yang hendak kau katakan sekarang……?”

Ketika mendengar ucapan tersebut semua orang menjadi tertegun dan bingung, semua orang tidak mengerti apa maksud yang sebenarnya dari Kok See-piau.

Tampak Hoa Thian-hong termenung beberapa saat lamanya, mendadak ia mendekati Bong Pay dan menjura dalam-dalam.

“Bong toako! Enso!”

Tadi sebelum ucapan itu dilanjutkan, Bong Pay telah menukas.

“Diantara keluarga kita berdua tiada kau dan aku, keputusanmu adalah keputusan dari kami suami istri berdua pula!”

Hoa Thian-hong segera manggut-manggut, sambil berpaling kearah Kok See-piau serunya. “Dia masih tetap anak muridmu!”

“Itu mah belum cukup……” tukas Kok See-piau dengan cepat dan lantang.

Hoa Thian-hong menjadi tertegun. Tapi sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, Hoa In-liong telah menimbrung dari samping.

“Meskipun dia misanku, harus kembali keleluhur dan bapak ibunya sendiri, boleh saja ia menjadi anak angkatmu, nama Kok Gi pek juga boleh dipertahankan terus sehingga keluarga Kok tak sampai putus keturunan, aku rasa begini tentu sudah cukup bagimu bukan?

Ketika berbicara sampai disitu, sinar matanya lantas dialihkan ke arah ayahnya dan memandang sekejap.

Hoa Thian-hong segera manggut-manggut, dengan wajah berseri dia melirik sekejap ke arah putranya.

Hingga detik itu, Kok See-piau baru mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

“Haaahhh…..hhaaahh…..haaahhh……bagus, bagus sekali cara kerja orang-orang keluarga Hoa, memang selamanya amat bijaksana sehingga musuh pun mau tak mau harus mengakui akan kebolehannya dan merasa kagum sekali”

Berbicara sampai disitu, dia lantas berpaling seraya berseru dengan suara dalam, “Cu lo!”

Leng lam it khi segera mengiyakan. “Lohu siap menerima perintah, katanya. Pelan-pelan Kok See-piau mengalihkan sinar matanya dan memandang pula wajah Phoa Si, Bu Beng san, Ui Siu ling dan Tang Bong liang, kemudian berkata.

“Phoa lo, Bu lo, Ui lo, Tang Thamcu!”

Yang dipanggil segera mengiyakan dengan perasaan bimbang, bingung dan tidak habis mengerti, mereka tak tahu apa tujuan Kok See-piau dan permainan apa yang sedang dipersiapkan olehnya.

Tanpa terasa timbul perasaan ingin tahu didalam hati mereka, dengan tenang mereka menantikan perkembangan selanjutnya.

Tampak Kok See-piau menatap sekali lagi orang-orang yang dipanggilnya itu, kemudian sepatah demi sepatah berkata.

“Pun sinkun sudah mati, apakah perkumpulan kitapun akan segera bubar sampai disini saja?”

Serentak semua orang menjawab, “Kami sekalipun pasti akan berbakti dan membantu ahli waris dari sinkun tanpa membangkang, sampai mati tak akan menyesal, kami hanya bertujuan membangun kembali dasar-dasar kekuatan perkumpulan kita”

Suara mereka lantang hingga menembusi awan, sampai- sampai orang yang berada di tempat kejahuan pun dapat mendengar suara mereka dengan nyaring dan jelas.

Menyaksikan kejadian ini, diam-diam para jago yang berada disekitar arena merasa kagum sekali atas kemampuan Kok See-piau didalam mengumpulkan anak buahnya. Tampak Kok See-piau manggut-manggut,kemudian katanya, “Kalian setia dan berbakti terus sampai kini, pun sinkun merasa terharu dan berterima kasih sekali!”

Tiba-tiba dia mengeluarkan sejilid kitab kuning dan sebuah panji kecil dari sakunya sambil diserahkan kepada Kok Gi pek, kembali katanya dengan nyaring, “Gi pek, sambut dulu benda benda ini!”

Kok Gi pek bingung dan tidak habis mengerti, akan tetapi dia menurut dan menerima juga benda-benda tersebut.

Sesudah kedua macam benda itu diterima oleh gadis tersebut, Kok See-piau baru berkata lagi, “Gi pek, dimasa lalu kau selalu menyebutku sebagai suhu, kini apakah kau bersedia memanggil Gi hu (ayah angkat) kepadaku?”

“Mendengar ucapanya yang lembut serta penuh dengan kasih sayang itu, Kok Gi pek merasa terharu sekali, tak kuasa lagi dia berseru dengan keras, “Gi Hu!”

Teriakan itu diucapkan dengan ketulusan hati yang muncul dari dasar hati kecilnya.

Tentu saja Kok See-piau dapat menyaksikan akan hal itu, tanpa terasa ia tertawa lebar, kemudian dengan penuh kasih sayang dibelainya rambut gadis itu lembut.

Beberapa saat kemudian, dia baru berseru kembali, “Gi pek! Selanjutnya kau adalah penerus kedudukanku ini, dan aku harap kepada saudara sekalian jangan melupakan janji kalian sendiri!”

Kok Gi pek menjadi amat tercekat. Segera teriaknya keras- keras” “Su…..Gi hu!”

Kok See-piau berpura-pura tidak mendengar, dia melirik sekejap ke arah Pek si hujin, kemudian mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak dengan kerasnya, “Haaahh……..haaahh…….haaahh………Keluarga Hoa memang sepantasnya bercokol terus dalam dunia persilatan, tiada orang yang bisa menandinginya lagi, aku orang she Kok sungguh sangat benci….”

Mendadak ucapanya terhenti sampai ditengah jalan, tubuhnya yang tinggi besar itupun pelan-pelan roboh ketanah.

Semua orang tahu bahwa ia telah memutuskan nadi-nadi penting didalam tubuhnya sendiri.

Meskipun para pendekar rata-rata merasa benci kepada Kok See-piau atas perbuatan yang pernah dilakukannya, akan tetapi diam-diam pun merasa kagum atas kegagahan dari Kok See-piau sekarang.

Kok Gi pek menjerit lengking, mendadak ia jatuh tak sadarkan diri diatas tubuh Kok See-piau.

Para jago yang tergabung dalam perkumpulan Hian-beng- kau sama-sama tertunduk dengan wajah sedih, tanpa mengucapkan sepatah katapun mereka bersama-sama menjura dan memberi hormat kepada jenasah Kok See-piau yang membujur diatas tanah itu.

Hoa Thian-hong dengan memimpin kedua orang istrinya beserta Hoa Si dan Hoa In-liong segera memberi hormat pula kepada jenasah Kok See-piau sambil berkata.

“Kok See-piau, entah kau seorang pentolan liok lim ataukah seorang enghiong, aku orang she Hoa mengagumi akan kegagahan mu, orang mati dendampun hilang, sambutlah sebuah hormat dari aku orang she Hoa”

Tiba-tiba terdengar Kiu-im-kaucu tertawa tergelak, kemudian berkata, “Hoa tayhiap, setelah Kok See-piau mati, maka mulai sekarang jika masih ada orang yang berani memusuhi keluarga Hoa, aku berani mengatakan jika orang itu bukan seorang sinting, sudah pasti ia termasuk orang bodoh”

Ketika ucapan tersebut diutarakan keluar para jago dan golongan sesat segera timbul pula perasaan yang sama.

Hal ini buktan saja dikarenakan ilmu silat yang dimiliki ayah dan anak dari keluarga Hoa ini tiada taranya didunia ini, yang terpenting adalah kebesaran jiwa serta kebijaksanaan mereka didalam menanggulangi setiap persoalan.

Mereka merasa bahwa penampilan dari keluarga Hoa inilah baru benar-benar melambangkan keadilan didalam dunia persilatan, hal mana membuat kaum mengangkat topi, mereka merasa pecah nyali, apalagi yang paling penting lagi banyak diantara mereka yang mengagumi kelihayan ilmu silat mereka.

Sejak peristiwa itu, secara tiba-tiba saja semua orang merasa bahwa keluarga Hoa sesungguhnya bukan jauh tinggi diatas, dimana jaraknya amat jauh dari mereka, sebaliknya begitu dekat dan begitu akrab.

Sekalipun dunia persilatan itu besar, tapi kemanapun mereka pergi, disitulah semangat keluarga Hoa berada.

“Terdengar Hoa Thian-hong berkata lagi sambil menjura, “Keluarga Hoa berharap dunia persilatan bisa aman dan tenteram, umat persilatan bisa hidup rukun dan damai, ucapan dari kau cu tersebut tidak berani kuterima. Setelah menjura ke empat penjuru, ia melanjutkan.

“Seng-sut-pay telah bersumpah tak akan menginjakkan kakinya kembali di wilayah Tionggoan, Jin Hian mengasingkan diri jauh diluar perbatasan, urusan disinipun telah selesai, dunia persilatan akan menjadi tenang kembali untuk beberapa waktu lamanya, aku harap saudara sekalian mau pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan lega, bila ada waktu silahkan mampir di perkampungan kami di bukit Im tiong san, setiap saat dengan senang hati keluarga Hoa akan menyambut kedatangan kalian semua…”

Ketika semua orang menyaksikan badai pembunuhan sudah lewat, dunia persilatan telah menjadi aman dan tenang kembali, dengan wajah berseri dan senyum dikulum masing- masing orang pun segera mengucapkan selamat berpisah dan kembali ke rumahnya masing-masing.

Pihak Kiu-im-kau yang pertama-tama angkat kaki lebih dulu dari situ, ketika Bwe Su-yok melihat keadaan memaksanya tak bisa tinggal disana lebih lama Lagi, dengan kepala tertunduk ia melirik sekejap ke arah kekasih hatinya, kemudian mengikuti rombongan berlalu dari situ.

Tiba-tiba Coa Wi-wi dan Si Leng Jin mengejarnya, mereka bertiga lantas berbisik-bisik lirih, entah apa saja yang sedang dibicarakan oleh mereka bertiga?

Para pentolan Hian-beng-kau sebaliknya melakukan perundingan dengan keluarga Hoa serta Bong Pay suami istri, setelah berunding lama sekali dengan susah payah Pek Soh gi baru mengijinkan putrinya melaksanakan pesan terakhir dari Kok See-piau tapi dengan syarat setiap tahun Kok Gi pek harus pulang ke rumah untuk menengok ayah ibunya. Tapi pada setahun yang pertama, karena kuatir Kok Gi pek masih diliputi kesedihan ia harus berdiam bersama orang tuanya.

Selain itu masa remajanya tak boleh dilewatkan soal memilih menantu semuanya adalah urusan Bong pay suami istri dan orang-orang Hian-beng-kau tak boleh mencampurinya.

Menhhadapi syarat-syarat semacam itu tentu saja Leng Lam it khi sekalian harus menyanggupinya, maka setelah mengambil keputusan merekapun mohon diri.

Hingga saat itu, Hoa Thian-hong baru mendapat waktu luang, dia lantas berpaling kearah istrinya yang sedang berbincang-bincang dengan Tiang heng Tokoh.

Ditatapnya Tian heng Tokoh lekat-lekat, lama sekali dia baru memanggil dengan lirih.

“Cici!”

“Jangan panggil aku…..pinto tidak pantas menjadi cicimu lagi” kata Tian heng Tokoh dengan cepat.

Sekalipun ucapan tersebut penuh dengan kekesalan, tapi suaranya gemetar, pergolakan emosinya susah disembunyikan.

Kesedihan menyelimuti pula wajah Hoa Thian-hong, bibirnya tampak bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian diurungkan.

Untuk sesaat suasana menjadi kaku dan tak enak, membuat orang merasa susah bernapas. Chin si hujin segera memberi tanda kepada Pek si hujin.

Sambil tersenyum Pek si hujin segera berseru, “Liong ji, perlihatkan tulisan diatas telapak tanganmu itu kepada bibi Ku!

Hoa In-liong agak tertegun, segera pikirnya, “Ooh,…..jadi rupanya tulisan yang diukir ibu diatas telapak tanganku hanya dimaksudkan demikian!”

Maka tanpa mengucapkan sepatah katapun dia lantas berlutut dihadapan Tian heng Tokoh dan memperlihatkan telapak tangannya.

Dengan cepat Tiang heng Tokoh menundukkan kepalanya untuk memeriksa telapak tangan pemuda itu.

Ketika terbaca olehnya diatas telapak tangan itu tertera sebuah huruf “Heng” atau benci, bagaikan disambar geledek disiang hari bolong, sekujur badannya gemetar keras, badannya gontai seperti mau roboh, dengan air mata bercucuran membasahi pipinya, dia bergumam.

“Benci! Benci!”

Cia In sangat terkejut, buru-buru ia melompat ke depan dan memayang tubuhnya.

Pek si hujin memberi tanda kepada Hoa In-liong agar berdiri, kemudian mereka pun berdiri dengan sedih.

Beberapa saat kemudian, pelan-pelan paras muka Tiang heng Tokoh berubah menjadi tenang kembali, agaknya dia sudah mengambil suatu keputusan yang bulat. Mendadak ia berpaling ke arah Cia In sambil bertanya, “In ji, mau ikut aku?”

Tanpa berpikir panjang Cia In segerat menjawab, “Hal ini merupakan pucuk dicinta, ulam tiba buat In ji mengapa harus kutampik?”

Tiang heng tokoh segera melirik sekejap kearah Pui Che- giok.

Sambil tersenyum Pui Che-giok berkata, “In ji bisa mempunyai rejeki sebesar ini, untuk merasa gembira pun aku tak sempat!”

Saat itulah Tiang heng Tokoh baru berpaling kearah Hoa Thian-hong, kemudian katanya, “Aku akan membawa In ji menuju kepulau Si Soat to, urusan selanjutnya terserah kepadamu sendiri, tidak jelas tanya saja kepada Hong moay dan Kun moay bila sampai salah, jangan salahkan kalau selama hidup aku enggan berjumpa lagi denganmu”

Selesai berkata, dengan mengajak Cia In dan Pui Che-giok, ia segera berlalu dari situ.

Dalam pada itu, sang surya telah muncul di ufuk timur, langit terasa terang benderang bermandikan cahaya, seakan- akan melambangkan ke jayaan dan kecemerlangan keluarga Hoa dimasa mendatang.

Sebagaimana apa yang diucapkan Thian Ik-cu serta Kok See-piau menjelang kematiannya sejak itu Hoa Thian-hong dan putra putranya menjagoi seluruh dunia persilatan dan menghormati setiap orang persilatan.

Sejarah keluarga mereka berlangsung sampai beratus-ratus tahun lamanya, selama mereka berkuasa, dunia persilatan aman tentetam tak pernah terjadi kekacaun, keadilan dan kebenaran selalu ditegakkan.

Sedangkan mengenai perkawinan Hoa In-liong, rasanya tak usah disinggung pun tentunya para pembaca dapat menebak sendiri..

Sebagaimana seorang pemuda yang romantis, sekalipun dirumah sudah punya istri-istri yang cantik, namun dia masih saja bermain cinta disana sini…………

Tampaknya watak tersebut sudah mendarah daging hingga tak bisa dirubah lagi.

Untung saja dia muda dan tampan, siapa lagi yang tidak romantis bila dia berwajah tampan, gagah dan ternama lagi?

Dan dengan demikian, cerita inipun saya akhiri sampai disini, semoga para pembaca sekalian puas adanya, terima kasih.

TAMAT

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar