Neraka Hitam Jilid 04

Jilid 04

Tapi Haputule kembali mendengus. “Hmm ….! Kebanyakan orang muda menjadi sombong karena menganggap ilmu silat kucing kaki tiganya sudah cukup untuk membuat keonaran dalam dunia persilatan, Ting lo! Kau tak usah membesar kesombongannya!”

Setelah termenung sejenak, ia lantas berkata, “Sesungguhnya aku sangat tidak setuju dengan perbuatanmu yang berani menantang tiga perkumpalan besar untuk berduel, adapun kedatanganku kemari adalah untuk menghalangi niatmu itu, tapi sekarang, terserahlah apa yang hendak kau lakukan!”

“Bagaimana dengan hasil latihan dari kedua orang sute? Kenapa paman tidak mengajaknya serta untuk menambah pengalaman serta pengetahuan mereka?”

“Ilmu silat mereka masih terlampau rendah, aku kuatir mereka akan dibuat bingung oleh keme-gahan dan kemewahan dalam dunia persilatan, biarkan mereka berlatih tekun selama banyak tahun lagi di atas bukit yang terpencil”

“Untuk kebijaksanaan paman yang suka memandang tinggi segala persoalan keponakan merasa kagum sekali.”

Haputule mendengus dingin, kemudian dengan wajah serius katanya, “Aku ingin bertanya kepadamu, sepanjang hari kau menerbitkan keonaran saja dalam dunia persilatan, sudah lupakah kau dengan masalah pokok yang sebenarnya?”

Hoa In-liong agak tertegun, tanyanya dengan nada tercengang, “Bukankah sekarang keponakan sedang menyelesaikan masalah pokok yang serius?”

“Hmm…….! Bagaimana penyelesaianmu tentang persoalan yang menyangkut Giok-teng Hujin?”

Hoa In-liong agak tertegun, lalu katanya sambil tertawa getir, “Keponakan telah bertemu dengan bibi Ku, tapi…”

“Hmm………!” tukas Haputule sambil tertawa dingin, “dihari hari biasa aku pandai bermanis mulut, tentunya Giok teng hujin telah berhasil kau nasehati sehingga berbalik hati bukan?”

Hoa In-liong segera tertawa lebar, “Paman, bukankah pertanyaanmu ini sama artinya sudah tahu tapi pura-pura bertanya lagi!”

Ho Kee siao yang selama ini cuma membungkam, tiba-tiba menyela, “Bila seorang telah bertekad dalam suatu persoalan selama puluhan tahun, maka mungkinkah sepatah kata saja sudah dapat menggerakkan hatinya?

Dalam masalah ini Liong sauya tak dapat disalahkan. Ting Jit san manggut-manggut.

“Betul sekali ucapan tersebut” katanya pula, “Lo te, kau jangan terlalu menyalahkan dia.”

Haputule menghela napas panjang. “Aaiai… kalian berdua terlalu melidunginya, jika begini

terus keadaannya, entah sampai dimanakah sifat kebinalannya itu?”

Kemudian setelah mengawasi wajah Hoa In-liong dan termenung sebentar, ia bangkit seraya berkata lagi.

“Tak ada gunanya membicarakan soal-soal seperti itu dalam keadaan sekarang, lebih baik kau bicarakan dulu masalah Giok teng hujin itu denganku.

Lantaran masalahnya menyangkut masalah urusan pribadi keluarga Hoa, sebagai orang luar, Ting Ji-san serta Ho Kee- sian merasa kurang enak untuk mencampurinya, maka merekapun mohon diri lebih dulu.

Sedangkan Hoa In-liong mengikuti Haputule ke luar dari hutan berangkat menuju ke kota.

Di tengah jalan Hoa In-liong bertanya, “Apakah bibi Ku juga sudah tiba di kota di ciu?”

Haputule menggelengkan kepalanya berulang kali. “Yang akan kita jumpai sekarang adalah Pui Che-giok,

kaucu dari perkumupulan Cian li kau, sampai kini aku belum pernah bertemu dengan Giok teng hujin.”

“Oooh… rupanya dia! Aku sudah pernah bertemu dengan

cianpwe itu,” kata sang pemuda sambil tertawa.

Tiba-tiba Haputule berseru dengan nada mendongkol, “Semalam, ketika aku tiba di kota Si ciu sesungguhnya akan segera menemuimu, tapi secara kebetulan aku telah berjumpa dengan Pui Che-giok di tengah jalan. Waktu pertarungan di lembah cu bu kok, aku pernah bertemu sekali dengannya, meski sudah lewat banyak tahun, ternyata raut wajannya tidak mengalami banyak perubahan, maka sekilas pandangan saja aku dapat segera mengenalinya kembali, selesai memberi hormat aku segera mohon kepadanya agar bisa berjumpa dengan Ku Ing-ing, siapa tahu ia telah menampik permohonan ku itu, hmm…..hmm…..! Mungkin dia melihat aku adalah orang dari suhu Fibulo, maka dianggapnya bisa di permainkan kehendak hatinya.”

Diam-diam Hoa In-liong tertawa geli, pikirnya, “Dihari-hari biasa paman selalu tinggi hati dan permohonannya tak pernah ditampik orang, tak aneh kalau ia menjadi marah-marah, yaa, pasti baru pertama kali ini ia ketanggor batunya.”

Cepat nian gerakan tubuh kedua orang itu, sementara pembicaraan masih berlangsung mereka sudah masuk ke dalam kota.

Haputule tidak menghentikan gerakan tubuhnya, dia langsung lari menuju ke kota sebelah barat, dalam waktu singkat sampailah mereka di depan sebuah gedung bangunan dengan loteng yang bertingkat, bangunan tersebut indah, megah dan kokoh, dalam sekilas pandangan saja Hoa In-liong segera mengenali sebagai bangunan yang dihuni oleh Cia Sau- yan.

Haputule tidak langsung menuju ke pintu gerbangnya untuk mengetuk pintu, melainkan melompati pagar pekarangan dan langsung menuju ke depan sebuah ruangan mungil yang terang benderang bermandikan cahaya lampu lentera.

Hoa In-liong segera mengikuti pula dari belakang. “Sahabat dari manakah yang telah berkunjung kemari?” bentakan nyaring segera menggelegar memecahkan kesunyian.

“Haputule beserta keponakanku Hoa yang datang untuk menjumpai pui kaucu!” jawab Haputule nyaring.

Dari dalam bangunan mungil itu kembali berkumandang suara tertawa yang amat merdu.

“Oooh…….” rupanya See-ih tayhiap, serta Hoa ji kongcu yang menggetarkan dunia persilatan telah berkunjung kemari, sungguh kami memperoleh kunjungan tamu yang langka!”

Bersamaan dengan ucapan tersebut, dari balik pintu ruangan muncul seorang nyonya cantik berbaju ungu yang bergaun panjang sekali, begitu munculkan dirinya lantas memberi hormat.

Haputule tertawa getir.

“Aku telah mengganggu ketenanganmu berulang kali, tidak pantas dikatakan sebagai tamu yang langka,” katanya, “nona Pui…….”

“Terlepas apakah See ih Tayhiap menaruh perasaan tak puas terhadap diriku, silahkan masuk ke dalam untuk minum teh lebih dulu sebelum melanjutkan pembicaraan ini,” tukas Pui Che giok sambil tertawa.

Kemudian sepasang biji matanya yang jeli dialihkan kewajah Hoa In-liong yang berada dihadapannya.

“Buru-buru Hoa In-liong maju memberi hormat seraya panggilnya dengan mesra, “Bibi Pui!” Pui Che-giok segera menyingkir ke samping menghindari penghormatan tersebut.

“Aku tak berani menyambut penghormatan besarmu ini!” katanya.

“Aku rasa sambutan itupun tidak pantas untukku!”

Hoa In-liong berkerut kening, bibirnya segera bergerak seperti hendak mengucapkan sesuatu.

Tapi sebelum ia sempat mengutarakan sesuatu, dari dalam ruangan telah kedengaran suara dari Cia sau-yan menyela, “Suhu, kau juga kebangatan, masa beginikah cara Cian-li-kau menyambut tamu kehormatannya? Mana kita boleh membiarkan mereka berdiri diluar pintu sambil minum angin.

Pui Che giok tertawa geli.

Oya, betul juga perkataan budak ini, saudara berdua silahkan masuk!” dengan wajah serius ia lantas mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam ruangan.

Hoa In Hong dan Haputule saling berpandangan sekejap sambil tertawa, lalu mereka bersama-sama melangkah masuk ke dalam ruangan.

Indah dan megah ruangan tersebut, semua peralatan dan perabot diatur sangat arsistik dengan permadani berwarna merah menutupi lantai, tirai sutera melambai-lambai, semua alat perabot terbuat dari kayu esadana nomor satu, selain dari pada itu benda antik pun bertengger disana sini.

Belasan orang gadis sedang duduk dalam ruangan itu, ketika melihat kemunculan mereka berdua, serentak gadis gadis itu bangkit berdiri sambil memberi hormat. Sambil tertawa Pui Che-giok lantas berkata, “Murid muridku tidak kenal adat kesopanan, harap kalian berdua sudi memaafkan!”

Hipatule hidup membujang paling pusing kalau musti berhubungan dengan kaum perempuan, ma-ka begitu dilihatnya begitu banyak gadis yang berada dalam ruangan itu, dengan kening berkerut ia lantas berpaling ke arah Hoa In-liong, artinya ia minta si anak muda itu yang pegang peranan sebagai juru bicara.

Diam-diam Hoa In-liong tertawa geli, katanya kemudian, “Paman dan keponakan bukan orang luar, harap bibi pui tak usah menggunakan segala macam tata cara, kita bersikap bebas saja.”

Pui Che-giok manggut-manggut.

“Kalau memang ji-kongcu tidak keberatan, sudah barang tentu aku Pui Che-giok lebih senang lagi,” katanya.

Lantaran Cia In tidak berada disitu, maka diantara murid- murid Pui-Che-giok boleh dibilang Cia Sau-yan merupakan orang tertua, cepat cepat ia menitahkan adik adik seperguruannya agar memindahkan bangku-bangku kecil, menghidangkan air teh, dan mempersilahkan tamunya untuk duduk.

Setelah ketiga orang itu duduk, Cia Sau-yan sekalipun sama-sama berdiri di belakang Hui Che giok.

Hoa In-liong memandang sekejap gadis-gadis itu, lalu ujarnya kepada Pui Che-giok, Waaah………kalau musti membiarkan cici sekalian berdiri, siaw tit jadi tidak tenteram hatinya.” Pui Che-giok tersenyum manis.

“Kalau begitu biar kuturuti kehendak-mu kongcu, hey budak sekalian, duduklah semua!”

Jelas hubungan diantara Hui Che-giok dengan murid- muridnya memang tidak dibatasi segala macam peraturan, apalagi mereka memang tidak menganggap Hoa In-liong dan Haputule sebagai orang luar, begi tu Pui Che giok mengutarakan maksudnya, serentak mereka mengiakan dan mencari tempat duduk masing-masing.

Setelah suasana hening, Haputule baru menggerakan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut akhirnya dibatalkan sambil menghela napas berpaling ke arah Hoa In-liong seraya katanya, “Aaaai…. aku tidak tahu bagaimana musti mulai dengan pembicaraan ini, lebih baik kau saja yang pegang peranan!”

Hoa In-liong tidak langsung menjawab, hanya pikirnya dalam hati, “Persoalan ini mana boleh disampaikan secara terburu-buru. Demi…. paman memang….

Tiba-tiba Pui Che giok berkata, “Sebelum pembicaraan dimulai, terlebih dulu hendak ku singgungkan bahwa masalah apapun yang hendak kalian bicarakan, pasti akan kulayani dengan sebaik-baiknya, hanya soal yang menyangkut tentang nona kami, maaf kalau aku tak dapat menurutinya.”

Cerdik amat perempuan itu untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan, ia telah menutup mulut kedua orang itu lebih dahulu.

Haputule menjadi amat gelisah, ia hendak membuka suara untuk mengucapkan sesuatu, tapi dengan cepat dicegah oleh Hoa In-liong dengan bisikan melalui ilmu menyampaikan suara, “Harap paman legakan hati, biar keponakan yang hadapi mereka!”

“Apakah kau yakin pasti berhasil?” tanya Haputule cepat dengan ilmu menyampaikan suara pula.

“Persoalan ini harus dibicarakan pelan-pelan, keponakan percaya cepat atau lambat pasti akan berhasil”

“Kalau terlambat jelas tak mungkin, kira kira beberapa lama yang kau butuhkan?”

Hoa In-liong berpikir sebentar, kemudian jawabnya, “Paman jangan gelisah, keponakan pasti akan mengusahakan secepat mungkin……”

Sekalipun Pui Che giok tidak dapat mendengarkan pembicaraan mereka berdua yang dilakukan dengan ilmu menyampaikan suara, tapi ia dapat menebak enam sampai tujuh bagian, segera pikirnya, “Hmmm…. Asal kututup mulut rapat-rapat, akan kulihat dengan akal apa kalian hendak memancingku untuk berbicara?”

Sementara itu Hoa In-liong telah berpaling ke arahnya sambil tersenyum, lalu katanya, “Bibi Pui, kau selalu menyebut Siau tit sebagai ji-kongcu, apakah kau bermaksud memperolok-olok keponakan?”

Haputule yang mendengar perkataan ini segera berpikir dalam hati kecilnya, “Aku suruh kau menanyakan masalah tentang Giok teng hujin, kau malah mempersoalkan masalah lain…bagaimana sih bocah ini?”

Ia menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut akhirnya dibatalkan. Pai Che giok sendiri pun agak tertegun, lalu sambil tertawa, jawabnya, “Berbicara menurut kedudukanku, sebutan ji- kongcu adalah sebutan paling tepat dan cocok”

Hoa In-liong segera berpura-pura tercengang. “Eeh… bukankah bibi Pui adalah adik angkat bibi Ku,

lagipula kau adalah Cian-li kauci, siau-tit jadi merasa tak habis mengerti, dimanakah letak kecocokan tersebut?”

Pui Che-giok hendak menjawab, tapi niat itu segera di batalkan, setelah termenung dan berpikir sebentar katanya dengan ketus, “Bibi Ku mu sesungguhnya adalah nona aku Pui Che Giok, mana berani menyebutnya sebagai kakak angkatku? Dengan sendirinyaa akupun tidak pantas untuk menerima sebutan “Bibi” dari ji-kongcu. Aku Pu Che-giok berasal dari tingkatan rendah aku tidak berani melupakan asalku dan tak berani pula bersikap sok, sekarang tentunya ji-kongcu sudah memahami bukan?”

Di balik ucapan tersebut jelas terkandung nada mendongkol dan marah, bahkan menyindir pula ketidak bertanggung jawaban Hoa Thian-hong, sebagai orang-orang pintar, sudah barang tentu Haputule serta Hoa In-liong dapat menangkap arti dari ucapan tersebut.

Tapi Hoa In-liong berlagak tidak mengerti, sambil mengernyitkan alis matanya dia berkata, “Bibi Pui, kau demikian merendahkan dirimu, apakah sudah memikirkan juga bagi kepentingan para cici sekalian?”

Pui Che-giok tidak menyangka kalau secara tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan tersebut, sambil berpaling diliriknya Cia Sau-yan sekalian sekejap kemudian katanya dengan hambar, “Tentu saja akupun suruh mereka selalu teringat dengan tingkat kedudukan sendiri.”

Setelah berhenti sebentar, katanya lebih lanjut, “Sedangkan mengenai bagaimana sikap ji-kongcu terhadap mereka, soal ini aku tak mau turut campur”

Ucapan itu diutarakan secara tegas dan tandas, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada Hoa In-hong untuk bersilat lidah lebih lanjut, sementara dalam hatinya berpikir, “Nona mengatakan kau cerdas dan berotak tajam, aku tidak percaya permainan busuk apa yang bisa kau lakukan dihadapanku.”

Siapa tahu Hoa In-liong yang licik ternyata bertindak “mengembangkan layar mengikuti angin”, katanya sambil tertawa, “Waah, tidak bisa jadi, siau tit membahasai anak muridmu sebagai kakak atau adik, sudah sepantasnya kalau kusebut kau sebagai bibi sebab hal ini berturutan dan tak bisa dibiarkan dengan begitu saja…..”

Pai Che giok tertegun, lalu gelengkan kepalanya berulang kali.

“Keinginan yang terlalu dipaksakan tanpa persetujuan kedua belah pihak dianggap tidak sah, aku tak dapat menerima konsepmu itu!”

“Nah…..naah sekarang kata-katanya mulai terpojok dan

posisinya mulai terdesak” pikir Hoa In-liong, “aku tak boleh memaksanya keterlaluan bagaimanapun juga sekali gagal lain waktu masih ada kesempatan, lama kelamaan pasti akan berhasil juga rencanaku ini.

Haputule sendiripun merasa, kecuali berbuat demikian rasanya tiada jalan lain yang lebih baik, karena merasa kehadirannya disitu tak berguna maka ia memutuskan untuk berlalu lebih dulu.

Sambil bangkit katanya kemudian, “Anak Liong, kau tinggallah disini untuk berbicara pelan-pelan aku akan pergi dahulu.”

Sekarang hari sudah larut malam, rasanya tidak baik kalau kita mengganggu Bibi Pui lebih jauh, siau tit rasa lebih baik ikut pergi,” kata Hoa In-liong sambil iku bangkit berdiri.

Dengan paras muka membesi Haputula segera berkata, “Tinggallah disini dengan tenang, rekan-rekan sealiran situ biar kuwakilimu untuk memberitahu-kannya!”

“Jelas paman bermaksud agar aku bisa pusatkan segenap kemampuanku untuk menasehati bibi Ku agar berubah pikiran,” pikir Hoa In-liong, tapi usaha untuk menumpas tiga perkumpulan besar adalah suatu usaha yang maha penting……

Berpikir sampai disitu ia menjadi ragu ragu, katanya kemudian, “Sekarang Kiu im kau, Mo kau dan Hian-beng-kau telah bersatu padu, jumlah kekuatan mereka bertambah besar..,…….

“Tak usah kuatir” tukas Haputule, “aku datang kemari karena mengikuti jejak dari si iblis tua Seng sut hay, jadi duduknya persoalan lebih jelas dari padamu, dalam waktu singkat mereka masih belum berani melakukan suatu tindakan yang tidak menguntungkan buat kita.”

Hoa In-liong kembali berpikir, “Kalau semua pihak memang telah berkumpul di kota Si-ciu, hal ini jelas bukan suatu hadangan besar untuk pihak kita.” Karena berpikir demikian, diapun mengangguk, katanya, “Kalau begitu aku musti merepotkan paman?”

Tiba-tiba Pui Che-giok menyela sambil tertawa, “Hey, kalian berdua masih belum bertanya kepadaku, bersediakah menyambut kedatanganmu atau tidak!”

Haputule tertegun setelah mendengar perkataan itu, sedangkan Hoa In-liong segera tertawa.

“Haaahh…haahh…haaahh…..bibi Pui, bagaimanapun juga kau harus menahan aku si tamu yang datang tanpa diundang!”

“Kalau aku menolak, mau apa kau?” katanya. Kembali Hoa In-liong tersenyum.

“Keponakan akan bersikeras tetap mengendon disini, akan kulihat bagaimana caramu untuk mengusir diriku. Tentunya kau tidak enak hati bukan untuk tidak menyiapkan hidangan bagi ku?”

Pui Che giok tertegun juga dibuatnya, dia sendiripun kuatir kalau Hoa In-liong menasehati dan mendesaknya setiap hari. Tentu dia menginginkan si anak muda itu cepat-cepat pergi, siapa tahu pemuda itu malah bersikeras untuk mengendon disitu, pusing juga jadinya.

Sebagai anak gadis, yang masih berusia sangat muda, geli juga Cia Sau-yan dan Cia Wan sekalian setelah menyaksikan adegen ter sebut, kontak saja semua orang tertawa cekikikan.

Haputule sendiripun tersenyum, ia lantas memberi hormat kepada Pui Che giok untuk mohon diri, Hoa In-liong menghantarnya sampai keluar rumah. Ketika Haputule melihat Pui Che-giok tetap tinggal dalam ruangan, dia termenung sejenak, kemudian katanya, “Persoalan mengenai Giok teng hujin adalah masalah penting, mungkin kau masih kurang jelas”

Tiba-tiba ia menghela napas panjang, kemudian katanya lebih jauh, “Aku sendiripun agak segan untuk membicarakan persoalan itu, pokoknya ringkasnya saja Giok teng hujin telah melepaskan budi kebaikkan yang amat besar untuk keluarga Hoa, kalian kau jangan lupa untuk menyanyangi Giok teng hujin berikut segenap anak buahnya, maka kau harus berusaha keras untuk mmbantu perkumpulan Cian li kau dalam segala bidang….”

“Liong ji akan mengingatnya selalu dalam hati,” kata Hoa In-liong dengan wajah serius.

Haputule manggut-manggut, dia lantas menggerakkan sepasang bahunya untuk melompat keudara, dalam beberapa kali lompatan saja tubuhnya sudah lenyap dibalik kegelapan malam.

Ketika Hoa In-liong balik ke dalam ruangan, ia temui Pui Che giok masih duduk termangu-mangu disana, ia kuatir perempuan itu tak senang hati maka dengan suara lembut katanya

“Bibi Pui, apakah kau sedang mencari akal untuk mengusirku pergi?”

Pui Che giok tertawa geli, “Kau si bocah binal kalau bisa ingin kugebuk dirimu setengah mati, tapi hatiku tak tega berbuat demikian.” “Aku tahu bibi pui dan bibi Ku memang selamanya menyayangi aku,” kata Hoa In-liong sambil tertawa.

Tiba-tiba Pui Che giok waspada, kembali pikirnya, “Bocah ini terlalu licik dan cerdik kalau terlalu banyak bicara, bisa jadi aku bakal tertipu.”

Berpikir sampai disitu dengan wajah serius ia lantas barkata, “Ji kongcu, meskipun kau berada disini bukan berarti setiap kali bisa berjumpa denganku, makanya aku berkata duluan agar ji kongcu jangan menuduh aku tidak menemani tamunya.”

Ketika dilihatnya perempuan itu kembali menyebut Ji kongcu kepadanya, Hoa In-liong lantas berpikir, “Ulet juga perempuan ini, tampaknya aku musti menguji kesabaran serta kecerdasanku!”

Sambil tertawa ia lantas berkata, “Bagus sekali! Berkumpul dengan para cianpwe memang kurang leluasa, mana musti tunduk mana tak bisa berkutik, aku memang ingin bermain dengan cici sekalian!”

Pui Che giok tersenyum, ia lantas berpaling ke arah Cia Sau-yan sembari katanya, “Perintahkan orang untuk membereskan ruangan sebelah barat, siapkan kelambu dan selimut, sementara waktu biar Hoa kongcu menginap di tempat itu… ”

Cia Sau-yan segera membungkukkan badannya sambil mengiakan, Hoa In-liong pun tidak banyak bicara lagi, karena waktu sudah menunjukkan kentongan ke empat, mengikuti Cia Sau-yan ia melewati jalan beralas batu dihalaman tengah dan menuju ke halaman lain. Tiba-tiba Hoa In-liong teringat dengan pesan Cia In yang hendak disampaikan oleh Cia Sau-yan kepadanya, ia lantas bertanya, “Enci Yan, pesan apakah yang hendak kau sampaikan kepadaku dari sucimu itu?”

Sambil tersenyum Cia Sau-yan melirik sekejap ke arahnya kemudian berkata dengan murung, “Kemarin pagi kau masih memanggil kepada kami, dan sekarang panggilanmu sudah semesrah itu, rupa rupanya kau hendak menggunakan kami untuk mencapai tujuanmu?”

“Waduuh… enci Yan memdang pandai membikin

orang menjadi penasaran, masa kau anggap siau-te adalah manusia semacam itu?” kata Hoa In-liong sambil tersenyum.

Cia Sau-yan ikut tertawa. “Sekalipun benar juga tidak mengapa, kenapa musti mungkir… ” katanya lembut.

Hoa In-liong cuma tertawa-tawa dan tidak berbicara lagi.

Waktu itu mereka sedang menyeberangi sebuah jembatan kecil, tiba-tiba Hoa In-liong berhenti sambil mengawasi gardu di ujung jembatan sana dengan sinar mata tajam.

“Kenapa?” Cia Sau-yan segera menegur dengan kening berkerut, “masa cuma kata-kata gurauan semacam itu juga membuatmu menjadi marah?”

Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali sambil menatap terus ke muka dengan wajah serius tiba-tiba ia membentak dengan suara dalam dan berat, “Mau apa kau datang kemari?” Cia Sau-yan sangat terkejut, dengan cepat dia  mengalihkan sorot matanya kea-rah yang dituju, ternyata dalam gardu tersebut entah sejak kapan telah duduk seorang kakek berlengan sepanjang lutut, bermuka kering dan berwajah menyeramkan. “Oooh…..!” dengaa terkesiap gadis itu menjerit kaget, tapi setelah menyaksikan ikat pinggangnya yang bersimbol naga perak dan mengetahui bahwa orang itu adalah Seng To-cu, kakak seperguruan dari Tang Kwik siu, barulah hatinya menjadi lega.

Sementara itu Seng To cu sambil membentangkan sepasang matanya yang kecil berkata dengan suara menyeramkan, “Kau tak usah takut, lohu tak akan melancarkan serangan terhadap seorang siau pwee (angkatan muda) seperti kau!”

“Aku orang she Hoa juga bukan manusia munafik yang jeri terhadap orang lain, silahkan turun tangan kalau ingin turun tangan, orang lain tidak akan menuduhmu menganiaya kaum siau pwe!”

Seng So-cu segera mendengus dingin.

“Hmm..! Kau masih belum pantas, dimana hwesio tua itu?” jengeknya sinis.

“Oooh.. rupanya ia sedang mencari Kongkong, jelas ingin menggunakan kesempatan dikala orang sedang lemah untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri,” pikir Hoa In-liong.

Agaknya Seng To cu dapat menebak suara hati Hoa In- liong, kembali katanya, “Hey Siau pwe! Kau tak usah menduga yang bukan-bukan, toh tak nanti akan turun tangan terhadap seseorang yang belum pulih kembali tenaga dalamnya.”

“Dia Orang tua tidak berada di kota Si-ciu tampaknya bakal membuat kekecewaanmu,” kata si anak muda itu ketus. “Aku tidak percaya, hwesio tua itu telah menganggapmu sebagai calon menantunya keluarga Coa, masa ia tidak akan memperdulikan keselamatan jiwamu?”

Hoa In-liong segera tertawa.

“Lucu amat perkataanmu aku orang she Hoa juga bukan bocah yang berusia tiga tahun, masa aku tak dapat mengurusi diriku sendiri.”

Setelah berhenti sejenak, katanya lagi sambil tertawa, “Ayahku berada diperkampungan Liok-soat sanceng, bila kau ingin beradu kepandaian apa salahnya kalau langsung mencarinya dibukit Im tiong san,……!”

Jelas dibalik ucapan tersebut dia maksudkan bahwa Seng To cu jeri terhadap Hoa-Thian-hong.

Di atas wajah Seng To cu yang kaku dan tanpa emosi itu terlintas sedikit perubahan, sepasang matanya yang kecil segera dipentangkan lebar lebar, cahaya hijau yang menyeramkan segera memancar keluar, jelas ia sudah dibuat naik darah.

Hoa In-liong segera mangerahkan tenaga dalamnya bersiap sedia, pikirnya dalam hati, “Sorot matanya mencurigakan, entah kepandaian iblis apa yang dia yakinkan?”

Timbul kewaspadaan dalam hatinya, dengan pancaran sinar tajam ia balas menatap wajah Seng To cu, sedikitpun tidak terlintas rasa takut dalam hatinya.

Beberapa kali Cia Sau-yan main memanggil rekan rekannya, tapi ia takut tindakan tersebut menimbulkan nafsu membunuh dalam hati Seng To-ca, hatinya menjadi masgul dan tak tahu apa yang musti dilakukan. Setelah saling bertatapan sekian lama akhirnya Seng To cu menarik kembali sorot matanya, wajahnya pulih kembali menjadi kaku, tanpa emosi setelah membebaskan ujung bajunya, bayangan hitam berkelebat lewat dan tahu-tahu ia sudah lenyap tak berbekas.

Ia datang secara mendadak, pergi secara Tiba-tiba, pada hakekatnya para penjaga dari Cian li kau tidak mengetahui atas kehadiran maupun kepergiannya.

Kesal juga perasaan Hoa In-liong pikirnya, “ilmu silat yang dimiliki gembong iblis ini sungguh amat lihay, wah kalau Mo kau sam pai ditunjang oleh jago selihay ini, bahaya juga pihak mereka itu!”

Cia Sau-yan menghembuskan napas lega, katanya, “Pergi datangnya gembong iblis ini sangat tiba-tiba dan mengherankan,aaii……. perkumpulan kami benar-benar telah dipecundangi olehnya………”

Hoa In-liong tersenyum.

“Berbicara dari tingkat kepandaian silat yang dimiliki gembong iblis itu, sudah barang tentu para peronda biasa tak akan me-ngetahui jejaknya, untungnya para gembong gembong iblis tersebut tidak suka menganiaya siaupwee.”

“Segera kulaporkan kejadian ini kepada suhu!”

Tidak usah, kini sudah kentongsn kelima lebih, besok saja baru dilaporkan.”

Cia Sau-yan berpikir sebentar kemudian mengangguk, dia pun mengajak Hoa In-liong menuju ke ruangan sebelah barat, menanti para dayang selesai membereskan ruangan tersebut, hari pun mulai terang tanah.

Ketika dilihatnya gadis itu tidak menyinggung kembali pesan dari Cia In, Hoa In-liong pun tidak banyak bertanya lagi, meski diam-diam ia merasa agak keheranan.

Menunggu Cia Sau-yan telah mengundurkan diri, Hoa In- liong mendengar ayam jantan telah berkokok pertanda fajar telah menyingsing, diapun tidak tidur melainkan hanya duduk bersemedi sambil mengatur pernapasan. Tanpa terasa sang surya sudah jauh diawang-awang

Tiba-tiba dari jalan setapak terdengar suara langkah manusia, disusul suara dari Cia Lam ciau sedang bertanya dengan suara keras, “Apakah siu sauya telah bangun?”

Hoa In-liong segera turun dari pembaringannya dan berjalan menuju ke pintu.

Di depan ruang kamar adalah sebuah kebun dengan aneka warna bunga yang amat indah, dibawah terpaan cahaya sang surya, tampak segerom bolan gadis cantik dengan baju yang beraneka ragam sedang memetik bunga dengan senyum manis dikulum, mereka muncul dari jalan-jalan kecil menuju keruang tengah.

Menyaksikan pemandangan yang sangat indah itu, tanpa terasa Hoa In-liong bersorak sambil bertepuk tangan.

Murid murid Pui Che giok yang menyaksikan sikap riang dari pemuda itu segera ikut tertawa cekikikan hingga menambah semaraknya suara waktu itu. “Sauya!” kata Cia Wan, “sarapan pagi telah disiapkan, cepat cuci muka dan cuci mulut, budak sekalian siap menanti perintahmu!”

Tak terasa Hoa In-liong maju menghampiri mereka, katanya, “Enci Wan, sekalipun kau sedang bergurau tapi siaute tak kuasa untuk menerimanya.”

Cia Wan tersenyum.

“Siapa yaag sedang bergurau? Semalam suhu minta kami semua agar ingat selalu dengan kedudukan sendiri, bukankah sauya juga ikut mendengarkan….

Hoa In-liong segera tertawa terbahak-bahak. “Haaah….haaahh…..haaah……sekarang bibi Pui berada

dimana? Sudah sempatnya kalau kuberi hormat dulu kepadanya.”

Cia Lam ciau tertawa cekikikan.

“Berhubung ada tamu jahat yang berkunjung tanpa permisi, terpaksa suhu harus menghindarkan diri.”

“Enci Ciau, harap jangan bergurau…..” seru Hoa In-liong dengan alis mata berkenyit.

“Suhu benar-benar sedang pergi,” tukas Cia Lam ciau cepat, “sebelum berangkat ia pesan bahwa pemilik rumah ini sekarang adalah ji-kongcu, beliau suruh kami baik baik melayani dirimu.”

oooooooOooooooo Mendengar jawaban tersebut, diam-diam Hoa In-liong lantas berpikir, “Tampaknya bibi Pui memang sengaja menghindar…..”

Sementara ia masih termenung, dua orang dayang yang melayaninya telah muncul sambil membawa baskom untuk cuci muka, handuk, alat untuk membersihkan mulut dan lain sebagainya, sementara murid-murid Pui Che giok telah masuk ke ruang depan.

Dalam ruangan tengah telah tersedia sarapan pagi, hidangannya amat mewah dan lezat.

Baru saja Hoa In-liong duduk, Cia Sau-yan telah mengambilkan semangkuk bubur sambil menghidangkan dihadapannya.

“Silahkan sauya!” katanya.

Sambil tertawa Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali.

“Enci Yan, kenapa tidak menyuruh para dayang saja?” Dengan cepat Cia Sau-yan tersenyum.

“Perintah dari suhu tak berani kuingkari sudah menjadi kewajibanku untuk melaksanakan apa yang telah dipesan suhu.”

Secara lamat-lamat Hoa In-liong dapat merasakan meski mereka cuma main main tapi sesungguhnya mengandung maksud tertentu, dan rupanya Pui Che-giok ingin benar-benar membuktikan apa yang telah diucapkan semalam, kebulatan tekad mereka jelas susah dirubah lagi. Diam-diam ia lantas berpikir, “Aku tidak percaya bibi Ku dan kau bisa bersembunyi sepanjang masa, asal bertemu aku pasti punya akal untuk menaklukan kalian!”

Tiba-tiba ia teringat kembali akan diri Coa wiwi dan Wan Hong-giok, segera pikirnya, “Keadaan adik Wi masih rada mendingan tapi Hong giok…….hidup sunyi seorang diri, kasihan benar nasibnya… ”

Ia teringat betapa Wan Hong giok hanya mempunyai seorang guru, dengan punahnya tenaga dalam yang dimiliki, penderitaan tersebut tentu akan luar biasa beratnya, lain dengan keluarganya yang tiga generasi mengembara dalam dunia persilatan, dimana-mana selalu ada teman akrab yang membantu…

Makin dipikir ia merasa hatinya semakin tidak tenteram.

Ketika Cia Sau-yan menyaksikan wajah anak muda itu diliputi kesedihan, dengan heran ia lantas bertanya, “Ada apa? Apakah merasa pelayanan kami Kurang memuaskan?”

Hoa In-liong tertawa paksa.

“Aaah.. apa…? Siapa yang bilang? Siaute malah merasa telah menodai nama baik cici sekalian.”

“Oooh.. itu sih tidak terdengar,” seorang gadis yang berada di sisinya menyelah, “asal kau bersedia tidak menyulitkan suhu dan su-pek kami, hal ini sudah lebih dari cukup untuk kami semua.”

Hoa In-liong segera berpaling ke arah orang itu, ternyata dia adalah murid kesebelas dari Pui Che giok, melihat itu sambil menghela napas ia lantas berkata, “Cici sekalian sudah sepantasnya kalau membantu aku untuk menasehati bib ku serta gurumu.”

Tapi para gadis itu cuma menutup bibir sendiri sambil tertawa cekikikan, mereka tidak berbicara apa-apa.

Sekalipun sarapan pagi itu dihidangkan makanan yang serba lezat, akan tetapi lantaran takaran makan Hoa In-liong tidak terlalu besar, lagi pula ia hanya memikirkan bagaimana caranya untuk menjumpai Tiong heng To koh, maka hanya sedikit yang dia habiskan hidangan-hidangan tersebut.

Selesai bersantap, tiba-tiba muncul Ho lo cia yang pernah ditemui sebagai kusir keretanya Cia Im, sambil memberi hormat, katanya, “Ruang depan dan ruang timur serta barat telah selesai dibersihkan silahkan ji kongcu melakukan pemeriksaan.”

“Hei, mau membersihkan ruangan atau tidak toh urusan kalian, apa sangkut pautnya dengan aku?!” seru Hoa In-liong keheranan.

“Maksud guru kami,” kata Cia Sau-yan, “untuk menyelenggarakan pertemuan besar para jago di kota Si ciu ini, daripada menginap te rus dirumah penginapan lebih baik gunakan saja ruangan depan dan ruang tenggara gedung ini untuk menampung mereka, sebab itulah gedung ini oleh guruku telah dihadiahkan untukmu, bila mereka telah berkumpul semua disini untuk berunding dan berkumpul pasti lebih leluasa, dan untuk itu kau harus pergi untuk memeriksanya sendiri, Siau ongya, kau pahami sudah bukan….”

Hoa In-liong yang mendengar perkataan itu segera berpikir, “Walaupun bibi Ku dan bibi Pui tidak bersedia menjumpaiku, tapi mereka selalu memikirkan kepentingan, tentu saja kesemuanya ini lantaran ayahku…….”

Berpikir sampai disini, ia segera meraba bahwa untuk menasehati Tiang beng To koh agar berubah pikiran sesungguhnya tidak lebih sulit dari apa yang dihadapinya kini, tanpa terasa semangatnya kembali berkobar diiringi para gadis merekapun berputar mengelilingi ruangan untuk mengadakan kontrol.

Menurut anggapan Hoa In-liong, bangunan itu cukup kokoh dan megah, peralatannya komplit dan sangat berlebihan untuk menampung para kawanan jago.

Akan tetapi anak muridnya Pui Che giok merasa sangat tidak puas, yang satu mengatakan kurang ini, yang lain mengatakan kurang itu, bahkan ada pula yang mengatakan peralatan semacam ini hanya akan ditertawakan orang persilatan saja.

Hoa In-liong pura-pura tidak mendengar, ia mengundang Cia Sau-yan menuju ketengah kebun lalu ujarnya, “Enci Yan, sebenarnya apa yang hendak dikatakan oleh sucimu?

Sekalipun bernada mendamprat, tolong katakanlah sejujurnya.”

Cia Sau-yan tertegun, setelah termenung sejenak, katanya kemudian, “Toa suci telah berpesan, katanya bila aku merasa tidak perlu untuk mengatakannya, maka aku tak usah mengatakannya.”

Hoa In-liong menjadi keheranan, pikirnya, “Kenapa ia ragu- ragu untuk berbicara denganku? Aneh, pasti ada sesuatu yang tidak beres.” Semakin perempuan itu tak mau berbicara ia semakin mendesak berulang kali.

Cia Sau-yan termenung sejenak, tiba-tiba ia memetik setangkai bunga anggrek merah lalu dilumatnya dengan kedua belah tangan, setelah itu ditebarkan keudara, ada yang jatuh ditepi kolam, ada yang jatuh dalam kolam….

Sambil menunjuk bunga-bunga lumatan yang tersebar keempat penjuru katanya, “Sudah kaulihat?”

“Sudah!” jawab Hoa In-liong.

Cia Sau-yan menghela nafas sedih. “Sudah tahu?” kembali ia berkata. “Teka-teki ini tidak kupahami!”

Cia Sau-yan menghela nafas sedih, katanya, “Bunga yang jatuh dari tangkainya akan mengalir mengikuti arus air, atau hancur menjadi tanah, kehidupan manusia tidak selalu kekal seperti berakar!”

Lamat-lamat Hoa In-liong dapat merasakan maksud dari perkataan itu.

Terdengar Cia Sau-yan berkata lebih jauh, “Aku rasa apa yang kuterangkan sudah cukup jelas, masakah kau tidak mengerti?”

Hoa In-liong semakin memahami lagi maksud ucapannya itu, sambil tertawa berat katanya, “Bagaimanapun juga kehidupan manusia jauh berbeda dengan bunga sejak dulu sampai sekarang, Thian menciptakan manusia bukan bernasib seperti sekuntum bunga, nasib manusia tetap sebagai manusia.”

“Aaah……perkataanmu terlampau kosong dan hampa,” kata Cia Siau-yan sambil menggelengkan kepalanya, mundur selangkah, seperti juga kalian jago-jago kenamaan, mana bila dibandingkan dengan kami perempuan-perempuan lemah?”

Setelah berhenti sejenak katanya lebih jauh dengan sedih, “Coba bayangkan saja seperti adikmu, seperti adik dari keluarga Coa, semenjak dilahirkan mereka sudah ditakdirkan bernama dan terhormat, baik ilmu silat maupun ilmu sastra bisa diperoleh dengan gampang, mereka merupakan gadis- gadis yang menjadi impian setiap pria di dunia ini, sebaliknya kami bersaudara.,…aai untuk disebut sebagai keturunan perguruan kenamaan saja tidak pantas”

Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali.

“Enci Yan, perkataanmu keterlaluan, selama orang lain tidak membicarakan masalah itu, keluarga Hoa kami tak sampai bisa me miliki jalan pemikiran seperti itu.”

“Aah… kami ini betul-betul seorang teIur busuk cilik,

berapa banyak keluarga Hoa yang ada di dunia ini? Tahukah kau apakah orang lain suka berpikir demikian?” Hoa In-liong segera tertawa.

“Di dalam sepuluh langkah pasti ada rumput baru… ”

“Aku tidak ingin mendengarkan perkataan semacam itu” tukas Cia Siau yan dengan cepat, “aku hanya ingin bertanya kepadamu, apakah kau bermaksud memungut bunga? Apakah kau tidak keberatan untuk memungut bunga dalam jamban yang telah ternoda?” Hoa In-liong menjadi tertegun, ia ragu-ragu untuk sesaat, lalu katanya, “Dunia bukan selebar daun kelor, pasti akan ditemukan orang yang bersedia memungut bunga… ”

Cia yau yan tertawa dingin, ia putar badan dan tanpa mengucapkan sepatah katapun segera berlalu dari situ.

“Enci Yan, harap tunggu sebentar!” buru-buru Hoa In-liong berseru dengan cemas.

Cia Sau-yan menjejakkan kakinya ditanah dan berlalu tanpa berpaling lagi, sambil berjalan pergi, katanya, “Toa suci suruh aku memberi tahukan kepada mu bahwa dia adalah seorang banyi buangan, shenya mengikuti gurunya she Pui dan bernama In-ang.”

Habis berkata ia lantas melangkah pergi dari situ. Dengan termangu-mangu Hoa In-liong mengawasi bayangan punggungnya hingga lenyap dari pandangan, kemudian menghela napas panjang.

Sekalipun perkataan dari Cia Sau-yan diutarakan secara lamat lamat, tapi sebagai orang yang cerdik tentu saja ia memahami maksudnya, timbul perasaan sedih dihati kecilnya, sambil berjongkok tangannya diceburkan ke dalam kolam dan membuyarkan rontokan bunga anggrek di atas permukaan.

Lama lama sekali, ia baru menghela napas panjang, bangkit dan berlalu dari situ.

Beberapa hari lewat dengan cepatnya, pihak-pihak Hian- beng-kau, Kiu im kau, Mo kau serta kawanan jago yang berada di kota si-cin sama-sama tidak melakukan gerakan apa-apa, kedua belah pihak sama-sa ma seperti lagi menantikan sesuatu, sehingga meski kendor suasana diluar, padahal diam-diam amat tegang. Terutama sekali kawanan jago dari Kiu-im-kau yang dipimpin oleh bwe Su-yok, sejak masuk kota dan menetap dirumah keluarga Cho di selatan kota, hampir selama delapan- sembilan hari tak pernah keluar rumah, pintu gerbang mereka selalu berada dalam keadaan tertutup.

Setiap kali bila Hoa In-liong ingin melakukan pengintaian terhadap gerak-gerik Kiu im kau, bila terbayang kembali bagaimana jadinya bila bertemu dengan Bwe Su-yok nanti, akhirnya rencana tersebut tentu dibatalkan di tengah jalan.

Diatara mereka, kelompok pemuda yang dipimpin Kongsun Peng paling tak betah, berulang kali mereka mengusulkan agar me langsungkan pertarungan terbuka melawan Mo-kau tapi sambil tersenyum Hoa In-liong selalu menghalangi niat tersebut.

Peristiwa ini merupakan peristiwa yang paling mengemparkan dalam dunia perilatan.

sejak suasana tenang dua puluh tahun belakangan, bukan saja semua kelompok manusia berkumpul di kota Si ciu, malah para jago aneh yang sudah lama mengasingkan diri dipegunungan terpencilpun berdatangan semua kesitu.

Yang paling tenang diantara mereka sudah tentu keluarga Hoa sendiri, jangankan kelompok mereka melakukan sesuatu gerakan, berita mengenahi Hoa Thian-hong pun tidak kedengaran.

oooooOocooo

Diluar pintu selatan kota Si-ciu terdapat sebuah warung teh kecil. Biasanya hanya para pedagang kecil, pekerja kasar dan kuli-kuli kasaran yang mampir di tempat itu, biasanya setelah pagi sekali bekerja di kota maka tengah hari mereka beristirahat disitu sekalian mengisi perut dengan beberapa biji bakpao.

Tengah hari itu, ada dua penunggang kuda sedang melakukan perjalanan menuju ke kota pintu selatan.

Karena paginya telah turun hujan deras, air menggenangi jalan berbatu itu sehingga becek, ketika kuda-kuda itu berlari lewat, air lumpur segera memancarkan ke-empat penjuru dan mengenai tubuh beberapa orang lelaki yang kebetulan sedang berdiri di depan pintu warung.

Salah seorang diantara mereka malah tersiram wajahnya hingga kotor, ketika orang itu mengetahui bahwa penumpang kuda tersebut berbadan kecil seperti seorang perempuan, kontan saja ia mencaci maki, “Perempuan peliaran anjing lonte busuk…..

Tajam benar pendengaran perempuan di atas kuda itu, muski sudah berada beberapa kaki jauhnya, ternyata makian itu masih sempat terdengar olehnya.

Mendadak tali les kuda ditarik, diiringi ringkikan panjang, kuda itu segera mengangkat sepasang kakinya ke atas, sementara perempuan itu sendiri dengan enteng dan cekatan lompat turun dari kudanya. Sekilas pandangan, dapat diketahui bahwa orang itu berilmu tinggi

Penunggang kuda di depannya yang menyaksikan kejadian itu segera memutar balik kudanya sambil menghampirinya, dengan suara keras ia bertanya.

“Ji moay, kenapa, kau?” Dua orang gadis itu berbaju ungu. kedua-duanya menggambol pedang dan berpakaian ringkas. Usianya belum melewati angka dua puluh.

Gadis berbaju hijau yang dipanggil “ji moay” itu segera berkata, “Tunggu sebentar toaci!”

Lalu dengan wajah dingin membesi, ia menatap ke arah warung teh itu sambil menegur dengan ke-tus, “Siapa yang barusan memaki? Hayo keluar!”

Tampaknya laki-laki yang memaki tadi masih belum merasa kalau gelagat tidak menguntungkan, dengan angkuh dia menjawab, “Mau apa kalau toayamu…”

Belum habis ucapan tersebut…… “Plok!” sebuah tamparan keras telah bersarang di pipi kirinya, lima buah bekas jari tangan membekas jelas di atas wajahnya.

Kontan saja para lelaki lainnya tertawa tergelak setelah menyaksikan kejadian tersebut.

Laki-laki merasa ya malu ya marah, setelah celingukan sekejap kembali makinya, “Lonte busuk, toaya akan beradu jiwa denganmu!”

Mendengar perkataan itu, si nona berbaju hijau semakin naik pitam, dengan kening berkerut dan wajah diliputi nafsu membunuh.

……… “Criing!” ia meloloskan pedangnya dari sarung kemudian diacungkan ke hadapan lelaki tersebut.

Ketika laki-laki itu menyaksikan cahaya putih berkelebat dihadapan matanya, ia menjadi ketakutan dan pecah nyali, hawa amarahnya seketika lenyap tak berbekas, dan ia mundur berulang kali ke belakang.

Suasana dalam warung teh menjadi gempar, jeritan kaget berkumandang dari sana-sini.

Gadis berbaju ringkas warna ungu itu masih duduk di atas pelananya tanpa berkutik, agaknya ia merasa kalau adiknya telah mem besarkan persoalan kecil, baru saja ia berseru dengan kening berkerut, “Ji moay…..”

Tiba-tiba dari arah tembok kota sana berkumandang nyaring bentakan seseorang, “Sahabat dari manakah yang hendak pamer kekuatan di kota Si-ciu? Aku Kong-sun Peng ingin menjumpainya.”

Seorang pemuda berbaju ringkas dengan menggembol pedang tiba-tiba melayang turun dari atas dinding kota dengan kecepatan luar biasa.

Sebenarnya gadis berbaju hijau itu meloloskan pedangnya hanya bermaksud untuk menakut nakuti orang, tidak terlintas sama sekali niat untuk menyusahkan orang itu, akan tetapi setelah ada orang yang mencampuri urusan tersebut, ia menjadi naik darah, pedangnya malah sungguh-sungguh dibacokkan ketubuh orang itu.

“Ampuni selembar jiwanya nona!” bentakan serak basah kembali menggelegar.

“Traaang………..!” bunyi benturan nyaring berkumandang memecahkan kesunyian, tahu-tahu pedang di tangan gadis berbaju hijau itu terpukul miring ke samping.

Laki-laki yang diancam itu menjerit kaget kemudian roboh tak sadarkan diri. Gadis berbaju hijau itu berpaling, ternyata pedangnya telah disampok miring oleh sebiji batu kecil oleh seorang kakek berjenggot panjang dan bermata jeli kurang lebih empat kaki dihadapannya sana, kenyataan ini membuat hatinya sangat terperanjat, segera pikirnya, “Orang bilang kota Si ciu pada saat ini penuh tersembunyi orang pintar, dulu aku tidak percaya tapi sekarang… yaa, belum saja masuk kota, aku

telah berjumpa dengan jago setangguh ini.”

Berpikir sampai disitu, ia mulai menyesal kenapa dirinya terlalu banyak urusan.

Kong-sun Peng sebenarnya sedang cemas karena tak sempat menghalangi bacokan si gadis berbaju hijau itu, ia baru lega setelah kakek itu turun ringan mengatasi persoalan tersebut.

sambil memberi hormat kepada kakek itu segera ujarnya, “Terima kasih banyak atas bantuan Ho cian-pwe!”

“Kongsun hiante tak usah banyak adat, sudah sepantasnya kalau kucampuri urusan ini, cegah kakek tersebut.

Kongsun Peng lantas berpaling ke arah gadis berbaju hijau itu lalu ujarnya dengan marah, “Sungguh keji hatimu budak, orang itu toh tidak lebih cuma seorang rakyat kecil, kendatipun kurang sopan dalam pembicaraan tidak seharusnya kau turun tangan sekejam itu.”

Gadis berbaju hijau itu tertawa dingin, ia menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi sebelum ia sempat berbicara, kakek she Ho itu sudah berkata sambil tersenyum “Kongsun hiante, kau telah salah menuduh nona itu, jurus Giok li si hian (gadis cantik memintal sutera) yang digunakan nona itu meski tertuju kejalan darah To long hiat namun ia sudah menghentikan gerakannya setengah mili dari sasaran, timpukan batu dari lolap tadipun hakekatnya cuma suatu tindakan yang berlebihan.”

Lalu kepada gadis berbaju hijau itu katanya, “Jurus pedang yang nona pergunakan adalah jurus tangguh dari aliran Hoa san, entah apa hubungan nona dengan Kiong tayhiap dari partai Hoa san?”

Gadis berbaju hijau itu tidak menyangka kalau jurus serangannya berhasil diketahui orang sebelum tusukan itu sendiri mengenai sasaran, iapun sadar bahwa kakek itu tentu seorang jago lihay.

Ia tak berani berayal, setelah mamberi hormat katanya, “Dia adalah kakek kami!”

Dalam pada itu, nona berbaju ungu yang berada di atas kuda telah melompat turun sambil memberi hormat, katanya, “Boanpwe bernama Kiong Gwat-hui, boleh aku tahu siapa nama besar locianpwe?”

Kakek itu tertawa tergelak. “Haahh….haahh….haaahh…..aku adalah Ho Kee-sian, pernahkah nona sekalian mendengar namaku?”

“Ooooh.,..rupanya Hoan-thian-jiu (telapak sakti pembalik langit) Ho locianpwe sudah lama boanpwe mendengar nama besarmu,” sahut kedua orang gadis itu berbareng.

Waktu itu Kiong Thian-yu dan Pek Siau-thian mempunyai hubungan yang erat, setelah Pek Siau-thian mendirikan sia-ci- pang hubungan itu putus untuk sementara waktu tapi sejak penggalian harta di Kiu-ci-san, hubungan itu kembali berlangsung malah akhirnya semakin akrab. Sudah barang tentu mereka pernah mendengar nama besar dari Ho Kee- sian.

Kembali Ho Kee-sian tertawa terbahak-bahak, katanya, “Nona adalah…..”

“Boanpwee bernama Kiong Gwat-lan!” sahut gadis berbaju hijau itu cepat-cepat.

Setelah mengetahui Kalau kedua orang gadis itu adalah kawan sendiri, Kongsun Peng mulai merasa tidak tentram atas perbuatannya tadi, buru-buru ia menjura kepada Kiong Gwat- lan sambil katanya, “Nona Kiong, bila barusan aku telah berbuat gegabah dan ceroboh, harap kau sudi memaafkan.”

Kiong Gwat-lan segera tertawa dingin.

“Apa hubunganmu dengan Kongsun Kia locianpwee dari kota Kay-hong?”

“Dia adalah ayahku,” jawab Kongsun Peng sambil tertawa paksa, “aku…aku…”

“Bagus sekali,” tukas Kiong Gwat-lan, “Sudah lama sekali mendengar akan kehebatan dari It ci-hui-kim (pedang mulia satu harum), sayang selama ini tidak tersedia kesempatan baik, nah saudara ongsun, silahkan cabut keluar pedangmu!”

Kongcu Peng menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang meski dikatakan.

“Adikku, jangan ngaco belo!” seru Kiong Gwat hui tiba-tiba. Kiong Gwat-lan segera tertawa dingin.

“Cici, kau bisa berkata begitu soalnya kau tidak melihat tampangnya yang sok tadi. Bagaimana juga, hari ini aku pasti akan menjajal sampai dimanakah taraf kepandaian It ci hui- kiamnya sehingga begitu berani berlagak sok dihadapan orang.

“Aaah…..aku masa berani bersikap sok kata Kongsun Peng terbata bata, “berhubung Hoa kongcu kuatir banyak orang persilatan mencari gara-gara di kota Si-ciu ini berhubung pelbagai macam manusia berkumpul semua disini, maka di minta kepada semua enghiong di pelbagai tempat untuk ikut memperhatikan suasana di sekitar kota ini serta melerai segala kepincangan yang bakal terjadi.”

Hmm, kau tak usah banyak bicara lagi.” kata Kiong Gwat- lan ketus, “aku adalah seorang penganiaya rakyat kecil, kenapa Kongsun harap tidak cepat cepat turun tangan untuk menghukum diriku?”

Kongsun Peng semakin tersipu-sipu dibuatnya ia tak tahu bagaimana menjawab.

Kiong Gwat bui yang menyaksikana adiknya mendesak orang lain terus menerus, padahal keadaan sesungguhnya tidak serius itu, ia bermaksud maju melerainya.

Tapi sebelum ia tampil kedepan, tiba-tiba muncul seorang lelaki kekar yang segera menjura seraya berkata, “Nona Kiong, bersediakah engkau mendengarkan beberapa patah kata ku…..?”

“Siapa namamu?” tanya Kiong Gwat-lan sambil menatap lelaki itu tajam tajam. “Aku adalah Song Yan dari Huan yangi.”

Ooeh..,. rupanya Son tokeng, maaf kalau aku tidak dapat mengenali dirimu.

Merah jengah selembar Wajah Song Yan ketika mendengar di balik ucapan tersebut bernada sindiran, katanya dengan gusar, “Nona kiong, sekalipun aku Song yan berasal dari kaum perampok yang rendah kedudukannya, tapi aku percaya ucapanku masih bisa dipercaya, aku masih dapat memegang peraturan kaum Liek lim dengan ketat, jangankan merugikan kaum rakyat kecil, memeraspun tidak….”

“Aku toh tidak menuduh dirimu yang bukan-bukan, kenapa Song tangkeh musti merasa sampai disitu?” tukas Kiong Hwat- lan lagi

Song yan benar-benar menjadi naik darah saking mendongkolnya untuk sesaat dia hampir tak mampu berkata- kata.

Sebenarnya dia hendak melerai karena melihat ucapan Kiong Gwat-lan tidak pakai aturan, siapa tahu belumm sampai kata-kata tersebut disampaikan, beberapa patah kata dari gadis she Kiong itu sudah cukup membuat hatinya mendongkol setengah mati,

Akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah seorang jagoan dari Liok Lim yang sudah berpengalaman luas, dengan sekuat tenaga ia berusana mengendalikan hawa amarah yang berkobar dalam hatinya, kemudian sambil menjura ia berseru, “Kalau begitu maaf jika aku orang she-Song terlalu banyak urusan!”

Selesai berkata ia lantas putar badan dan berlalu dari situ. Kiong Gwat-lan cuma tertawa dingin tanpa mengucapkan sepatah katapun Kiong Gwat hui merasa tidak berkenan dengan kejadian tersebut, dengan cepat ia melompat kehadapan Song Yan, kemudian setelah memberi hormat katanya, “Song tangke, adikku masih muda dan tak tahu urusan seandainya ia telah menyinggung perasaanmu, bersama ini siauli minta maaf. Buru-buru Song-Yan balas memberi hormat, “Kiong toa-kohnio tak usah sungkan- sungkan, memang akulah yang terlalu lancang mencampuri urusan orang lain….”

Diluar ia berkata demikian, sementara dalam hatinya berpikir lain, “Heran, sama-sama dilahirkan oleh seorang ibu, kenapa wataknya bisa jauh berbeda bagaikan langit dan bumi? Kalau sang enci lembut dan tahu sopan, dan adiknya angkuh, binal dan susah diatur……”

Dipihak lain, Kongsun Peng juga sedang berkata, “Nona, masa terhadap urusan sekecil ini pun kau mempersoalkan terus, tindakan nona sungguh membuat aku menjadi tidak habis mengerti……”

Sambil tertawa dingin Kiong Gwat-lan segera menukas, “Aku adalah seorang nona yang berpikiran picik dan berdada sempit, mengerti?”

“Kalau nona telah berkata demikian, aku-pun tak bisa berbuat apa apa lagi, entah apa yang musti kulakukan sehingga dapat meredakan rasa marah nona?” tanya Kongsun Peng kemudian dengan kening berkerut.

Kiong Gwat-lan menggetarkan pedangnya kedepan tiba- tiba ujarnya kepada Kongsun Peng.

“Sejak tadi aku toh sudah berkata kepada mu, aku hendak minta petunjuk ilmu pedang mu!” Tindakannya ini sangat menantang, sebagai anak muda yang berdarah panas tentu saja Kongsun Peng tidak tahan, hawa amarahnya kontan meledak, pikirnya, “Budak ini benar- benar tidak tahu aturan, kalau tidak kuberi sedikit pelajaran kepadanya, dia pasti akan mengira aku, orang she Kongsun jeri kepadanya………”

Berpikir sampai disitu, dengan wajah serius, ia lantas berkata.

“Aku hanya tahu bahwa diriku bukan tandingan nona…..” “Aaah.. tak usah banyak cerewet cabut pedangmu!” seru

Kiong Gwat-lan tampaknya tidak sabar lagi.

Ia sudah dipaksa terus menerus akhirnya tentu saja Kongsun Peng tidak tabu, pedangnya segera diloloskan dari sarungnya,

Ho Kee sian hanya bisa gelengkan kepalanya berulang kali melihat mereka beribut bahkan hendak beradu senjata Cuma disebabkan soal kecil, segera selanya, “Nona Kiong, dapatkah memandang diriku…..

Kong Gwat-lan tahu bahwa ucapan selanjutnya pastilah: “Dapatkah memandang di atas wajah saya untuk mengakhiri persoalan ini…?”

Andaikata Ho Kee sian biarkan menjatuhkan kata-katanya sudah pasti untuk menghormati atas Ho Kee sian dengan kakeknya, mau tak mau harus mengakhiri rencananya.

Sebagai gadis yang cerdik dapat cepat ia menukas pembicaraan orang sebelum perkataan itu berakhir, katanya, “Ho locianpwe, jika kauingin mempergunakan kedudukanmu sebagai cianpwe untuk mencegah keinginan boanpwe, terpaksa boanpwe akan menuruti perintahmu itu.”

Ho Kee sian tertegun, akhirnya ia berkata, “Ooooh… aku hanya ingin bertindak sebagai penengah saja!”

“Bagaimana cara cianpwe bertindak sebagai penengah?”

Ho Kee-jian berpikir sebentar, ialu katanya, “Sesungguhnya persoalan ini hanya suatu persoalan kecil yang sama sekali tidak berarti, menurut pendapatku lebih baik kita singkap masalahnya secara terbuka saja.”

Kiong Gwat-lan tertawa merdu.

“Aku rasa pendapat locianpwe pasti tak akan salah pada boanpwe, merasa bahwa apa yang telah kulakukan tadi memang tidak pantas, sebagai seorang jago lihay sudah seharusnya Kongsun sauhiap memberi pelajaran yang setimpal kepadaku.”

Diam-diam Kongsun Peng mendengus setelah mendengar perkataan itu, pikirnya, “Hmm…..rupanya kau juga tahu diri.”

Terdengar Ho Kee-sian berkata, “Nona sama sekali tidak salah.”

“Bila Boanpwe tidak bersalah, itu berarti Kongsun sauhiap yang bersalah, meskipun boanpwe tahu bukan tandingan Kongsun sauhiap, tapi…….”

Berkobar hawa amarah dalam dada Kongsun Peng, ia segera tertawa terbahak-bahak. “Haah…..haahh……haaahh….-ona tak usah banyak berbicara lagi, anggap saja akulah yang bersalah, silahkan turun tangan!”

Sejak tadi Kiong Gwat-lan memang sedang menantikan perkataannya itu, sambil tertawa merdu ia berseru, “Bagus sekali, sambutlah seranganku ini!”

Tidak menanti Ho Kee-sian berbicara lagi, pedangnya langsung disapu kedepan, cahaya tajam berkilauan dan segera menyelimuti jalan darah penting didada Kongsun Peng.

“Sebuah jurus Hong-pa-jian-ho (angin semilir menggugurkan teratai) yang sangat bagus!” bentak Kongsun Peng.

Badannya berputar kencang, dari posisi menyerang segera berubah menjadi posisi bertahan, pedangnya dikembangkan dan digetarkan berulang kali melancarkan bacokan-bacokan maut.

Kiong Gwat-lan tidak mau tunjukkan kelemahan, iapun membentak dengan suara nyaring, “It thio it si (sekali mengencang sekali mengendor) yang indah, ilmu pedang It ci- hui-kiam memang bukan nama kosong belaka!”

Ia semakin tak berani berayal lagi, dengan cepat jurus jurus maut dalam ilmu pedang Giok li kiam hoat dikembangkan sedemikian rupa.

Kendatipun tenaga dalamnya masih jauh dari ke sempurnaan, namun sungguh hebat ancaman tersebut, titik cahaya tajam serasa menyelimuti seluruh angkasa, bayangan pedang berlapis-lapis, keadaannya sungguh mengejutkan orang. Kongsun Peng tidak menyangka kalau pihak lawan akan menyerang dengan sepenuh tenaga, seketika itu juga ia terdesak hebat sehingga harus mundur berulang kali ke belakang, dalam waktu singkat ia terdesak, berada dibawah angin.

Begitu berhasil dengan serangannya, Kiong Gwat-lan semakin bersemangat lagi, ia tak sudi melepaskan musuhnya dengan begitu saja, sambil tertawa terkekeh ejeknya, “Hmm, locianpwe, kau harus tahu bahwa bukan aku yang minta tapi Kongsun suahiap yang mengajak aku beradu tenaga.

Ho Kee sian merasa kurang enak untuk mencegah pertarungan tersebut, mendengar perkataan itu ia lantas bepikir, “Budak ingusan, kau benar-benar sangat binal, tapi lucu dan menjengkelkan, baiklah akan kuperhatikan dirimu dari sisi gelanggang daripada pertarungan harus diakhirkan dengan luka dikedua pihak”

Berpikir sampai disitu sambil tertawa katanya, “Kau jangan keburu bersenang hati lebih dulu, jangan dianggap kepandaian orang berada di bawah mu.”

Kiong Gwat-lan tertawa merdu katanya, “Aku lihat Kongsun sauhiap sudah tidak berkekuatan untuk melancarkan serangan balasan lagi, aku rasa kau telah salah berbicara!”

Pintu selatan merupakan tempat penting dari perhubungan lalu lintas, manusia melimpah manusia dengan terjadinya peristiwa tersebut maka semakin melimpah manusia yang menonton keramaian disi tu, tentua saja sebagian besar adalah kawanan jago yang menggembol senjata.

Kawanan manusia tersebut tidak ada yang mempersoalkan apa sebab pertarungan itu sampai terjadi, mereka hanya ingin menonton keramaian, semakin besar keramaian tersebut semakin baik apalagi Kiong Gwat-lan adalah seorang gadis cantik, sorak sorai ber kumandang dari mana-mana.

Kiong Gwat-lan merasa semakin bangga, sambil tertawa cekikikan ejeknya lebih jauh.

“Kongsun suhiap, masih ada kepandaian simpanan apa lagi? Hayo cepat dikeluarkan.”

Tiba-tiba Kongsun peng membentak keras pedangnya, langsung menusuk kedepan dengan kecepatan luar biasa, begitu serangan pedang Kiong Gwat-lan tertangkis, tiba-tiba sepasang kakinya menjejak tanah dan melompat beberapa kali jauhnya, begitu lolos dari kepungan Kioang Gwat-lan, ia  berdiri dengan wajah hijau membesi, pedangnya pelan-pelan diungkitkan ke atas.

“Kongsun sauhiap… buru-buru Ho Hee sian berseru. “Harap Ho locianpwe jangan mencegah diriku lagi, tukas

Kongsun Peng dengan suara dalam, terpaksa …. dilain waktu

boanpwe minta maaf kepada kongcu suami istri.”

Jelas perkataan itu dimaksudkan bahwa dia akan melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, sebelum Kiong Gwat-lan berhasil dilukai maka dia tak akan berhenti sampai disana saja.

“Hmm… pantaskah kau berbuat demikian?” kembali

Kiong Gwat-lan mengejek dengan sinis.

“Pantas atau tidak, nona segera akan mengetahuinya, harap kau perhatikan baik-baik”

Sekalipun di atas wajahnya Kiong Gwat-lan bersikap seolah- olah tak pandang sebelah matapun terhadap lawannya, padahal ia tahu bahwa Kongsun Peng telah diliputi hawa kegusaran, dan serangan yang dilancarkan pasti pula luar biasa sekali.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar