Kait Perpisahan Bab 7 : Senjata Kaitan.

 
Bab 7 : Senjata Kaitan.

Kait adalah sejenis senjata, senjata yang dipakai untuk membunuh, dengan membunuh menghentikan pembunuhan.

Seputar fajar di pagi hari.

0-0-0

Fajar baru menyingsing.

Hutan belukar itu dipenuhi udara lembab serta suasana yang hening, diatas permukaan tanah berlumpur masih tersisa dedaunan kering yang berguguran di ujung musim gugur tahun ini.

Tabun depan, daun muda kembali akan tumbuh, pohon yang tua sekali lagi akan memperoleh kehidupan yang baru.

Kalau tiada dedaunan yang rontok, darimana bisa tumbuh dedaunan yang baru?

Nyo Cing membungkus senjata Kait Perpisahan-nya dengan selembar kain gombal, menggenggam di tangannya kuat kuat, lalu sambil busungkan dada dia berjalan ke depan dengan langkah Iebar.

Dia harus kembali, tujuh hari kemudian, apa pun yang terjadi dia harus kembali. Bagaimana kalau ia tak dapat kembali? Dia tak berani memikirkan persoalan itu, juga tak sanggup berpikir ke situ, karena dia dia sudah merasakan selapis hawa pembunuhan yang amat menyesakkan napas.

Menyusul kemudian, dia pun menjumpai Lan Toa Sianseng.

Entah sedari kapan, tahu tahu Lan It Ceng sudah muncul di hadapannya, berdiri menanti di depan sana sambil mengawasinya, dia memandang ke arahnya dengan menggunakan sinar mata yang sangat aneh.

Nyo Cing sedikit tercengang, tak tahan tegurnya, “Kenapa kau bisa datang kemari?" "Aku mengikutimu sepanjang jalan" jawab Lan It Ceng, "mimpi pun tak pernah kusangka

ternyata kau adalah putra Nyo Heng"

Nada perkataannya mengandung suatu perasaan yang sangat aneh, entah sedang menyindir?

Atau sakit hati? Atau bahkan sedang menghibur?

"Aku mengikutimu karena sebetulnya ingin bertemu sekali lagi dengannya" kembali Lan It Ceng berkata sambil menghela napas, "sungguh tak disangka dia telah berangkat duluan ketimbang aku"

Nyo Cing berusaha setup tenang.

Dalam keadaan seperti ini, dia memang tak tahu harus bicara apa.

Sorot mata Lan Toa-sianseng telah bergeser ke tangannya, menatap senjata yang terbungkus dibalik kain kumal itu tajam tajam.

"Itukah senjata Kait Perpisahan yang dia tinggalkan untukmu?"

"Benar!" mau tak mau Nyo Cing harus mengakui, lagipula dia memang tak mau menyangkal, selama ini dia bangga karena tak pemah menyangkal, terlepas bagaimana pandangan orang persilatan, pandangan terhadap ayahnya tak pernah berubah.

Dia percaya ayahnya bukan manusia rendah, bukan seorang siaujin yang tak tahu malu.

"Aku tahu, dia pasti akan tinggalkan senjata pengait itu untukmu" kembali Lan It Ceng berkata, "Mengapa selama ini tak pernah kau gunakan? Apakah lantaran takut ada orang akan mengenalimu sebagai putra Nyo Heng?"

"Kau keliru!"

"Selama ini aku tak pemah menggunakannya karena aku tak ingin membuat orang lain berpisah"

"Sekarang, mengapa kau menggunakannya?"

Nyo Cing menampik untuk menjawab.

Urusan ini adalah urusan pribadinya, dia merasa tak perlu untuk beritahu kepada siapa pun.

Tiba tiba Lan It Ceng tertawa, kembali ujarnya, “Bagaimana pun juga, sekarang kau telah putuskan untuk menggunakan senjata itu, apa salahnya kalau kau gunakan terlebih dulu untuk menghadapi aku"

Seluruh tubuh Nyo Cing mulai mengejang keras.

"Menghadapimu?" serunya, "kenapa aku harus gunakan senjata itu untuk menghadapimu?"

Lan It Ceng mendengus dingin.

"Tak ada salahnya kalau aku beberkan semua kejadian tersebut kepadamu" katanya, "kalau bukan lantaran aku, Nyo Heng tak bakal terluka, kalau tidak terluka dia pun tak bakal bersembunyi disini, mati penasaran di tempat ini"

Semua syaraf dan otot dilengan Nyo Cing mulai mengejang, mulai menonjol keluar. "Criiing!" diiringi pekikan naga yang amat nyaring, pedang Lan San Ku Kiam telah terhunus

keluar dari sarungnya,. Hawa pedang yang menggidikkan hati seketika menyelimuti seluruh hutan.

"Aku masih ingin beritahu satu hal lagi kepadamu, lebih balk ingatlah selamanya" suara Lan It Ceng sedingin dan sesadis hawa pedangnya, "sekalipun kau tak ingin memisahkan orang lain, orang lain tetap ingin memisahkan dirimu, selama kau hidup dalam dunia persilatan maka sama sekali tak ada kesempatan bagimu untuk membuat pilihan" 0-0-0

Fajar telah menjelang tiba, tujuh puluh dua batang lilin putih telah padam semuanya.

Semenjak tengah malam kemarin, sejak Ti Cing Ling mencabut keluar pedang lemas Leng Liong Kiam (Pedang Intl Naga) dari pinggangnya, lilin putih itu mulai padam satu per satu, padam oleh hempasan hawa pedang yang terpancar keluar dari balik senjatanya.

Mereka sudah bertempur sengit semalam suntuk.

Bila dua jago berilmu tinggi saling bertempur, seringkali pertarungan dapat diselesaikan hanya dalam satu gebrakan saja, mati hidup menang kalah ditentukan hanya dalam waktu singkat, tapi pertarungan yang mereka lakukan bukan pertarungan untuk memperebutkan menang kalah, terlebih bukan pertarungan untuk menentukan mati hidup seseorang.

Mereka sedang mencoba pedang, mencoba pedang milik Ti Cing Ling.

Oleh karena itu yang diserang Ti Cing Ling bukan Ing Bu Ok, melainkan ke tujuh puluh dua batang lilin putih itu.

Dia harus mengutungi setiap lilin yang ada, satu demi satu lilin putih itu harus terpapas kutung.

Tapi setiap kali ujung pedangnya tiba di depan lilin putih itu, babatannya selalu terbendung oleh cahaya pedang yang dilancarkan Ing Bu Ok.

Setelah seluruh cahaya lilin dibuat padam, suasana di dalam ruangan pun tercekam dalam kegelapan yang luar biasa.

Tapi mereka tidak berhenti bertarung, sekalipun berhenti sejenak, tak lama kemudian hawa pedang kembali menderu-deru.

Kini sinar fajar sudah mulai muncul dari balik jendela, cahaya pedang Ti Cing Ling segera berputar satu lingkaran, tiba tiba dia menghentikan serangannya.

Ing Bu Ok mundur beberapa langkah kemudian perlahan lahan duduk diatas alas duduk, tampaknya dia sudah kepayahan.

Paras muka Ti Cing Ling sama sekali tidak berubah, bajunya yang berwama putih salju masih nampak bersih, tak setetes peluh pun yang membasahi wajahnya.

Tenaga murni yang dimiliki orang ini seakan tak pernah habis digunakan.

Kelihatannya sepasang mata lng Bu Ok telah kembali menjadi buta, dia seakan sedang mengawasinya tapi seakan tidak melihatnya sama sekali, lewat lama kemudian baru tanyanya,"Apakah kali ini kau telah berhasil?"

"Benar" biarpun tak ada sinar kepuasan diwajah Ti Cing Ling, namun sinar matanya makin mencorong tajam.

Atas dasar apa dia mengatakan Ti Cing Ling telah berhasil?

Yang dia serang adalah lilin putih, padahal ke tujuh puluh dua batang lilin putih itu masih tetap utuh semuanya, tak satu pun yang terpapas patah.

Mendadak Ing Bu Ok menghela napas panjang, katanya, “Kali ini baru kali yang ke sebelas kau menjajal pedang, tak disangka kau telah berhasil" dia tak tahu sedang gembira atau sedang mengeluh, "coba biar aku periksa"

"Baik!"

Selesai bicara, Ti Cing Ling telah berjalan menuju ke depan lilin yang terdekat, dengan ke dua jari tangannya dia jepit sebatang lilin.

Dia hanya menjepit separuh batang saja.

Setengah ke atas terjepit di kedua jari tangannya sementara setengah yang bawah masih tertinggal di tempat lilin, jelas lilin itu sudah terpapas jadi dua bagian. Sekalipun sepintas lalu nampak masih utuh, padahal sudah kutung jadi dua, terpapas persis tiga inci dibawah sumbu lilin, bukan saja permukaannya licin dan rata bahkan sama sekali tidak ada bekas sayatan.

Lilin putih itu jelas sudah terpapas kutung, terpapas oleh ketajaman pedang Ti Cing Ling. Lilin itu tak sampai roboh karena mata pedangnya kelewat cepat.

Setiap batang lilin putih itu tidak roboh, tapi tiap batang lilin telah terpapas kutung, terpapas persis tiga inci dibawah sumbu, semua bekas sayatan rata dan rapi dan seolah olah semuanya sudah diukur dengan ukuran yang sama.

Padahal waktu itu suasana didalam ruangan gelap gulita, biar mau di ukur pun rasanya tidak segampang itu.

Mendadak paras muka lng Bu Ok berubah hebat, berubah menjadi wama kelabu, persis seperti wama kelabu matanya.

Ti Cing Ling adalah muridnya, dia yang melatih pemuda itu hingga berhasil, kini ilmu pedang Ti Cing Ling telah mencapai tingkat kesempumaan, semestinya dia merasa gembira karena keberhasilan itu.

Namun di hati kecilnya justru muncul suatu perasaan hambar yang tak bisa dilukis dengan perkataan, dia seperti seorang perempuan yang tak rela mengakui ketuaan sendiri, seperti juga seorang ibu yang menemukan putri kesayangannya telah menjadi pengantin orang lain.

Lewat lama kemudian pelan-pelan Ing Bu Ok baru berkata:"Sekarang kau sudah tak perlu takut lagi dengan Nyo Cing, biarpun dia adalah putra Nyo Heng, biarpun Nyo Heng bangkit kembali dari kubumya, kau masih tetap dapat membantai mereka diujung pedangmu"

"Tapi sayang tak perlu aku mesti turun tangan sendiripun Nyo Cing pasti mampus" kata Ti Cing Ling, "mungkin saat ini dia sudah mampus di tangan Lan Toa Sianseng.”

Mendadak dari wajah lng Bu Ok muncul suatu perubahan mimik muka yang sulit dilukiskan dengan perkataan, sinar tajam mencorong keluar dari balik matanya yang buta, katanya tiba tiba,"Tahukah kau kenapa tempo hari aku tidak membunuh Nyo Cing?"

"Karena kau merasa tak perlu turun tangan menggunakan tangan sendiri, karena kau tahu Lan It Ceng pasti tak akan melepaskan dia"

"Kau keliru besar" tukas lng Bu Ok cepat, "aku tidak membunuhnya karena aka tahu Lan It Ceng tak akan membiarkan aku menyentuhnya"

Sekali lagi kelopak mata Ti Cing Ling menyusut kencang. "Kenapa?" tanyanya.

"Karena Lan It Ceng adalah satu satunya teman Nyo Heng, biarpun sepanjang hidupnya Nyo Heng banyak membunuh orang, walau dia punya banyak musuh bebuyutan. namun hanya Lan It Ceng seorang yang merupakan sahabatnya"

Ti Cing Ling tidak berkata apapun, tiba tiba dia berjalan keluar dengan langkah lebar, sewaktu lewat disamping Ing Bu Ok, tiba tiba dia membalikkan pedang sambil melancarkan tusukan, pedangnya langsung menancap dari punggung Ing Bu Ok hingga tembus ke jantungnya.

0-0-0

Walaupun tak ada cahaya matahari yang memancar ke dalam hutan lebat itu, secerca cahaya tipis masih ada yang menyelinap masuk melalui sisi ranting dan dahan.

Pelan-pelan Nyo Cing melepaskan kain kumal yang membungkus senjata kait perpisahan, dia melepas dengan sangat lambat, sangat berhati hati, seakan akan seorang pengantin lelaki sedang melepas pakaian yang dikenakan pengantin perempuan yang sedang malu.

Dia terpaksa bertindak begitu karena ia hendak menggunakan waktu yang tersisa untuk mententeramkan penrasaan hatinya. Dia pernah melihat Lan Toa Sianseng turun tangan, serangan pedangnya waktu itu memang tak malu membuatnya menyandang nama besar sebagai "Sin Kiam" pedang sakti.

Dia belum pernah berpikir dengan cara apa mengalahkan pedang sakti iua, tapi sakarang dia harus meraih kemenangan itu. Karena dia tak boleh mati, dia tak bisa mati.

Tatkala kain terakhir dilepas dari alas senjatanya, Nyo Cing telah turun tangan, menyerang dengan menggunakan sebuah gerak serangan yang sangat aneh, dia mengait tubuh lawan dari sebuah arah yang tak mungkin diduga lawannya, lalu secara tiba tiba berganti lagi ke arah lain yang sama sekali berbeda.

Jarang sekali orang persilatan menyaksikan gerak serangan semacam ini, karena mereka yang sempat melihat, sebagian besar telah berpisah dengan dunia

Pedang antik milik Lan Toa Sianseng masih melintang setenang dan seteguh bukit Lan-san. Dia seperti sejak awal sudah tahu akan perubahan yang terjadi pada serangan Nyo Cing itu,

juga tahu kalau kerumitan dalam perubahan itu tak bisa dibayangkan oleh siapa pun dan tak bisa ditangkis oleh siapapun.

Oleh sebab itu dia mengatasi gerak dengan ketenangan, dengan kemantapan mengatasi perubahan, dengan tidak berubah membendung selaksa perubahan.

Tapi dia telah melupakan satu hal.

Selama Nyo Heng malang melintang dalam dunia persilatan, dia belum pernah berpikir menggunakan nyawa sendiri untuk diadu dengan nyawa orang

Dia memang tak punya keharusan untuk beradu jiwa. Beda sekali dengan keadaan Nyo Cing.

Dia sudah menyadari bahwa "perubahan" seperti apapun yang dia lakukan tak akan mampu mengungguli "tidak berubah" dari Lan Toa Sianseng.

Kadangkala "tidak berubah" itu "berubah", jauh lebih hebat dan luar biasa ketimbang "berubah".

Tiba tiba Nyo Cing tidak berubah.

Senjata kaitannya dengan menggunakan sebuah serangan yang sama sekali tak aneh, menusuk masuk dari suatu arah yang bisa dilihat dan diduga oleh siapa pun.

Ketika senjata kaitannya menusuk keluar, tubuhnya ikut menerkam ke depan. Dia sedang beradu nyawa.

Biarpun serangan kaitannya tidak mengenai sasaran. tapi dia masih punya selembar nyawa, dia masih bisa beradu nyawa.

Dia memang tak ingin mati

Tapi jika dia sudah berada dalam keadaan pasti mati meski tidak beradu jiwa, terpaksa dia pun harus nekad dan beradu nyawa..

Cara menyerang semacam ini tak bisa dianggap sebuah serangan yang hebat, dalam perubahan jurus serangan kait perpisahan yang rumit dan aneh itupun sama sekali tak ada perubahan semacam itu.

Justru karena tak ada perubahan semacam ini maka ancaman itu membuat orang terkejut, apalagi Lan It Ceng, dia sama sekali tak menduga datangnya serangan tersebut, karena dia sudah hapal diluar kepala setiap perubahan jurus dari Kait perpisahan, dia sangat paham dan menguasahi semua gerakan itu.

Kadangkala, dalam situasi tertentu hapal dengan suatu masalah seringkali jauh lebih tak menguntungkan ketimbang sama sekali tak hapal.

Begitu pula dengan pergaulan manusia maka jangan heran jika orang yang berhianat kepadamu seringkali justru teman karibmu sendiri, karena kau tak akan menyangka dia akan menghianatimu, tak menyangka dia akan melakukan tindakan tersebut secara tiba tiba Dan itulah situasinya sekarang ini.

Jurus serangan dari Nyo Cing ini meski nampak ganas dan hebat padahal banyak sekali kelemahannya, bila waktu itu Lan It Ceng mau menyerang, sudah pasti gerak serangan pedangnya akan jauh lebih cepat dari serangan Nyo Cing dan kemungkinan besar dia dapat membunuh anak muda tersebut terlebih dulu.

Tampaknya Lan Toa Sianseng yang sudah banyak pengalaman dalam menghadapi pelbagai pertempuran, kali ini sedikit agak kalut, dia tidak melancarkan serangan, sebaliknya dengan gerakan tubuh "Han Te Pat Ciang" (Tanah Tandus Mencabut Bawang) dia paksakan badannya melambung ke tengah udara.

Gerakan tubuh ini merupakan gerakan tersulit dalam ilmu meringankan tubuh, karena semuanya tergantung pada tarikan hawa murni.

Sebenarnya dia sama sekali tak punya persiapan untuk melompat ke udara, maka tak heran kalau dia sedikit terlambat ketika menghimpun hawa murninya untuk melambung, meski hanya selisih sesaat saja, namun justru walau yang sesaat itu telah menentukan mati hidupnya.

Tahu tahu dia marasa mata kait yang dingin bagai salju telah mengait diatas kakinya. Dia sadar kakinya segera akan berpisah dengan tubuhnya, berpisah untuk selamanya.

Percikan darah sagar menyembur ke empat penjuru, cahaya darah memedihkan pula sepasang mata Nyo Cing.

Tatkala dia membuka matanya kembali, Lan It Ceng sudah roboh terkapar diatas tanah, wajahnya pucat pias bagai mayat, sebuah kakinya sebatas lutut telah terpapas kutung jadi dua.

Seorang jago pedang yang sudah lama malang melintang di dalam dunia persilatan, akhimya harus menerima nasib yang amat tragis.

Sedikit banyak timbul juga perasaan sayang yang tak terhingga didalam hati Nyo Cing, namun diapun tak bisa melupakan rasa gusar, rasa dendam dan rasa sakit hati yang diperlihatkan ayahnya menjelang ajal.

Dia segera menerjang ke sisi Lan It Ceng, kemudian teriaknya"Apa dosa dan salah ayahku?

Mengapa kau melukainya hingga separah itu?"

Lan It Ceng menatapnya, sorot matanya layu tak bersinar, namun sekulum senyuman telah tersungging diujung bibirnya yang pucat.

"Kejadian itu sudah berlalu sepuluh tahun berselang" katanya dengan suara yang rendah dan parau, "waktu itu bulan sembilan tanggal sembilan, persis hari Tiong Yang, aku dikepung lima dari tujuh pedang dari Bu Tong yang tersisa hingga mesti kabur ke tebing Wang Yu Nia di puncak Ciong Lam San"

Tebing itu sangat curam dengan jurang yang menganga sedalam ribuah kaki, waktu itu Lan It Ceng sudah terdesak, tak ada jalan mundur lagi baginya untuk meloloskan diri, tampaknya dia sagera akan menemui ajalnya.

"Sungguh tak nyana ayahmu muncul tepat pada waktunya, kami bertempur mati matian dan berhasil melukai empat orang lawan, tapi akhimya ayahmu terhajar juga oleh pukulan Kim Si Bian Ciang (Pukulan Lunak Serat Emas) dari Bu Keng Cu" cerita Lan It Ceng dengan nada sedih, "kalau bukan gara-gara ingin menolong aku, tak mungkin dia menderita luka parah, padahal dia tidak berhutang apa apa denganku, ketika menghadiahkan senjata kaitan tersebut kepadanya, aku hanya berpendapat bahwa barang itu hanya barang rongsokan yang tak berguna, sungguh tak disangka ayahmu justru berhasil menguasahi satu ilmu senjata yang luar biasa"

Berubah hebat paras muka Nyo Cing, peluh dingin bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. "Jadi dia terluka lantaran ingin menolongmu?" tanyanya. "Benar!" Lan It Ceng membenarkan, "gurunya adalah si empu pembuat pedang, walaupun dia bunuh diri lantaran salah menempa pedang pesananku, bukan aku yang memaksanya bunuh diri. Sejak aku menguburkan jenasah gurunya dan hadiahkan senjata kaitan itu kepadanya, dia selalu merasa telah berhutang budi kepadaku, dia tahu Bu Tong Jit Cu punya dendam denganku, maka secara diam diam dia telah menghabisi dulu nyawa Beng Yu dan Beng Hui"

Setelah menghela napas panjang, terusnya-"Wataknya memang berangasan dan gampang marah, tapi dia masih termasuk seorang hohan yang bisa membedakan mana budi mana dendam"

Perasaan Nyo Cing bagai disayat sayat, dia merasa sakit sekali hatinya.

Ayahnya adalah seorang hohan yang bisa membedakan mana budi mana dendam, tapi sekarang dia telah melukai satu satunya sahabat dan tuan penolong ayahnya hingga luka parah dan cacad seumur hidup.

Kalau sudah begini, bagaimana mungkin dia punya muka untuk benemu dengan ayahnya di alam baka nanti?

Lan Toa Sianseng sama sekali tidak menaruh perasaan dendam terhadapnya, malah dengan sikap yang lembut dan hangat katanya lagi:"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan sekarang, padahal kau tak perlu bersedih hati karena luka ku ini, sebenarnya selembar nyawaku sudah kau selamatkan tempo hari, bila tak ada kau waktu itu, mungkin aku sudah tewas diujung pedang lng Bu Ok"

Setelah tertawa getir lanjutnya:

"Ketajaman mataku sudah sangat mundur, sudah mulai kabur, waktu itu aku memang sengaja membuat mataku bersinar tajam, hal ini tak lain untuk menutupi kelemahanku yang sesungguhnya, malam itu tak berbintang tak ada rembulan, terus terang aku tak mampu melihat lng Bu Ok turun tangan, ketika pedangnya dicabut, aku tahu nyawaku pasti akan melayang, persis seperti sepuluh tahun berselang, ketika aku terdesak di jurang Wang Yu Nia oleh Bu Tong Jit Cu"

Suara pembicaraannya semakin melemah, dia meronta dan keluarkan sebuah botol obat dari sakunya, setelah dikunyah hancur, setengah di bubuhkan keatas mulut lukanya kemudian dibalut dengan robekan baju, separuh yang lain ditelan ke dalam perut.

Setelah itulah dia baru berkata lagi:"Sekarang aku sudah berhutang dua kali dari kalian ayah beranak, lalu apa artinya sebuah kaki? Apalagi dengan memotong kakiku itu, sebenarnya kau telah membantu aku"

Sambil tertawa lebar tambahnya:"Sejak pertempuran di jurang Wang Yu him tempo dulu, aku sudah ingin sekali mengundurkan diri dari dunia persilatan, tapi orang lain tak pernah mengijinkan aku mundur, karena aku adalah Lan It Ceng. si Pedang Sakti bermata sakti yang amat tersohor di kolong langit, setiap tahun entah sudah berapa banyak orang ingin bunuh aku gara gara ingin mencari nama, mereka memaksaku untuk turun tangan, Ing Bu Ok adalah salah satu diantaranya"

Hidup dalam dunia persilatan, terutama manusia macam dia, kehidupannya memang persis seperti seekor kuda yang selalu dikendalikan dengan tali, bukan saja tak bisa mundur, mau berhenti pun tak mungkin.

"Tapi sekarang aku sudah bisa beristirahat" Lan It Ceng tersenyum, "seorang pendekar pedang dengan sebuah kaki pasti tak akan menarik perhatian orang lain, sebab biarpun bisa menang, kemenangan itu tidak gagah, siapa tahu dengan adanya peristiwa ini, aku malah bisa hidup berapa tahun lebih lama, bisa hidup dalam ketenangan dan kedamaian tanpa diusik siapapun"

Dia memang bicara jujur.

Sekalipun begitu, bukan berarti Nyo Cing bisa merasa lebih legaan karena sudah mendengar perkataannya itu. "Pasti akan kubayar kakimu itu" tiba tiba Nyo Cing berkata, "jika semua tugasku telah selesai, aku pasti akan mengembalikan padamu"

"Apa yang hendak kau lakukan? Pergi mencari Ti Cing Ling dan Ong Ceng Hui?" "Darimana kau tahu?"

"Aku tahu jelas semua persoalanmu" Lan It Ceng menjelaskan, "akupun tahu Ong Ceng Hui adalah anggota Cing Liong Pang, sebab dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan dia bereskan jenasah dari ke dua pembunuh yang dikirim Cing Liong Pang, aku pun sengaja mencari berita tentangmu darinya, benar saja, temyata dia ingin meminjam tenagaku untuk membunuhmu"

Sesudah tersenyum, terusnya, "Semua anggota persilatan mengira akulah yang memaksa si penempa pedang itu bunuh diri, kecuali Ing Bu Ok, tak ada yang tahu kalau aku punya hubungan yang akrab dengan Nyo Heng"

Nyo Cing hanya termenung, membungkam dalam seribu basa.

Kembali Lan It Ceng berkata:"Bahkan akupun tahu kalau kau telah menghubungi si Golok Cepat Pui Seng, bila kau menganalisa dari apa yang dia katakan, kau pasti bisa menduga kalau Ban Kun Bu tewas ditangan Ti Cing Ling, dia tewas karena tak pernah mau bergabung menjadi anggota Cing Liong Pang, "siapa yang menurut hidup, siapa yang menentang mampus" . Bila Cing Liong Pang ingin menghabisi nyawa Ban Kun Bu, hanya Ti Cing Ling lah yang bisa diandalkan untuk melenyapkan batu sandungan ini, dari sini bisa disimpulkan bahwa Ti Cing Ling memang punya hubungan dengan Cing Liong Pang"

Jalan pemikiran, analisa serta kesimpulan yang diambil sama persis seperti apa yang dipikir Nyo Cing, hanya saja dibalik semuanya itu masih ada satu mata rantai yang sama sekali tidak diketahuinya.

Selma ini Nyo Cing tidak berhasil mengetahui apa alasan Ti Cing Ling menghabisi nyawa Si Si. Tapi sekarang dia sudah mengerti.

Waktu itu, tak bisa disangkal Si Si tentu merupakan orang yang paling dekat dengan Ti Cing Ling, semua urusan dan tindak tanduk Ti Cing Ling tentu banyak diketahui perempuan itu.

Sewaktu Ban Kun Bu mati terbunuh, Ti Cing Ling pasti tidak berada disampingnya.

Sebagai seorang perempuan yang cerdik, tidak sulit baginya untuk menduga bahwa kematian Ban Kun Bu ada hubungan yang sangat erat dengan Ti Cing Ling.

Selama ini dia memang ingin menempel terus dengan Ti Cing Ling, bisa jadi dia hendak menggunakan masalah tersebut untuk menekannya, demi memegang erat seorang lelaki, seringkali ada sementara wanita yang bisa melakukan perbuatan apapun.

Sayang dia salah menilai manusia yang bernama Ti Cing Ling. Itulah sebabnya dia menguap, lenyap tak berbekas.

Tentu saja semua dugaan dan kesimpulan yang diambil Nyo Cing sebatas dugaan, dia tidak melihat dengan mata kepala sendiri, juga tak punya bukti.

Tapi selain alasan diatas, dia benar benar tak berhasil menemukan alasan lain dari Ti Cing Ling untuk menghabisi nyawa Si Si.

Kalau alasannya hanya karena dia tak ingin terikat terus dengan perempuan ini, sebetulnya masih ada beratus macam cara untuk melepaskan diri, kenapa dia malah menghabisi nyawanya?

Lan Toa Sianseng sendiri hanya tahu bahwa Nyo Cing sedang berusaha untuk menyingkap tabir tertukarnya barang kawalan, dia sama sekali tak tahu kalau pemuda itu sedang menyelidiki juga sebab musabab kematian Si Si.

Tak heran kalau apa yang diungkap kepada Nyo Cing hanyalah seputar rahasia dari Ong Ceng Hui serta perkumpulan Cing Liong Pang. Dia sendiri pun tak menyangka kalau hasil penyelidikannya itu bukan saja merupakan kunci yang amat penting, bahkan membuka titik terang yang dapat ditelusuri.

Kematian dari Ban Kun Bu, kematian dari Si Si, kematian dari Lian Kou, ancaman jiwa terhadap Ji Giok, Siau Yap Cu yang berusaha melakukan pembunuhan, barang kawalan yang raib, uang yang ditukar dengan rongsokan, pembunuh gelap dari Cing Liong Pang, orang yang memberesi mayat para pembunuh gagal, jejak dari uang rampokan yang raib semua persoalan diatas

seakan tak ada sangkut pautnya antara yang satu dengan lainnya, tapi sekarang sudah tersambung menjadi satu jalinan cerita yang jelas dan gamblang.

Obat bubuk dan botol kecil yang ditaburkan keatas luka sudah mulai bereaksi.

Bagi seorang jago yang seringkali berkelana dalam dunia persilatan, dalam sakunya selalu membawa beberapa jenis obat mujarab, ada yang diperoleh dengan harga mahal, ada pemberian dari sahabat, ada yang hasil ramuan sendiri, ada juga hasil barter, terlepas dari mana asal obat itu, biasanya mempunyai kasiat yang luar biasa.

Paras muka Lan Toa Sianseng sudah berubah lebih baikan.

"Tadi aku memang sengaja membangkitkan amarahmu, memaksa kau untuk turun tangan, ini disebabkan aku pingin tahu seberapa banyak warisan ilmu silat milik ayahmu yang telah berhasil kau serap, apalagi daya kekuatan dari Kait Perpisahan baru akan mencapai puncaknya apabila sewaktu menggunakannya, orang itu berada dalam suasana hati yang amat sedih dan teramat marah"

Walaupun gara gara hal itu, kakinya harus berpisah untuk selamanya, namun dia sama sekali tidak menyesal.

Memang tak banyak manusia di dunia ini yang sanggup mengutungi sebelah kaki Lan Toa Sianseng hanya dalam satu gebrakan.

"Dengan kemampuanmu sekarang, Ong Ceng Hui sudah bukan tandinganmu lagi" kata Lan It Ceng lebih lanjut, "musuhmu yang paling menakutkan justru adalah lng Bu Ok serta Ti Cing Ling"

"Apakah lng Bu Ok punya hubungan dengan Ti Cing Ling?"

"Bukan saja punya hubungan, bahkan hubungan mereka berdua sangat akrab" jelas Lan It Ceng, "banyak isu yang beredar dalam dunia persilatan mengatakan bahwa lng Bu Ok adalah sahabat karib ibu Ti Cing Ling sebelum menikah dulu"

"Isu tak boleh dipercaya, aku tak mau percaya dengan kabar angin semacam itu"

Rasa kagum terpancar dari balik mata Lan Toa Sianseng, sekarang dia sudah yakin kalau putra almarhum sahabatnya adalah seorang enghiong hohan, seorang lelaki sejati, bukan saja enggan membanggakan pribadinya, juga tak mau membicarakan kejelekan orang, bahkan enggan percaya dengan segala isu dan kabar bohong.

"Terlepas apapun hubungan diantara mereka, aku percaya saat ini Ti Cing Ling sudah mewarisi seluruh ilmu pedang milik Ing Bu Ok" kata Lan It Ceng lebih jauh, "malahan bisa jadi lng Bu Ok sudah bukan tandingannya sekarang"

"Aku pasti akan lehih berhati hati bila bertemu dengannya"

Lan It Ceng termenung berapa saat, tiba tiba sekilas cahaya tajam memancar keluar dari balik matanya, dengan suara berat katanya lagi,"Bila ilmu pedang yang dimiliki Ti Cing Ling benar benar telah mengungguli lng Bu Ok, maka kau ada kasempatan"

"Kenapa?"

"Karena dalam sejarah kehidupan seorang bangsawan kelas satu macam dia, tak mungkin dia perkenankan siapapun meninggalkan noda walau sekecil apapun ditubuhnya" Lan It Ceng menerangkan, "bila kemampuan Ing Bu Ok sudah bukan tandingannya lagi, bagi Ti Cing Ling, apa gunanya orang itu baginya?"

"Mungkinkah Ti Cing Ling akan menghabisi nyawanya?" tanya Nyo Cing sambil mengepal tinju "Sangat mungkin!" Lan It Ceng menegaskan, "asal usulnya sangat bertolak belakang dengan perangainya, jadi kau tak akan bisa mengerti jalan pemikiran serta langkah tindakannya"

Setelah menghela napas panjang, kembali lanjutnya,"Tidak mudah untuk membentuk manusia semacam Ti Cing Ling, dia pun mempunyai penderitaan sesuai dengan versinya sendiri"

Yaa, siapa sih yang tak punya penderitaan? Selama dia sebagai seorang manusia, pasti punya penderitaan, masalahnya punyakah keberanian untuk menghadapi serta mengatasinya, jika kau memiliki keberanian tersebut maka keberanian akan berubah menjadi semacam kekuatan yang maha dahsyat, jika tidak, sepanjang hidup kau akan diinjak dan diperbudak olehnya.

Pelan-pelan Lan Toa Sianseng menggeser tubuhnya, membiarkan badannya duduk lebih enakan, lebih nyaman.

"Sekarang kau boleh pergi dari sini, biarkan aku istirahat dengan baik" katanya sambil pejamkan mata, "aku tak perduli kau masih ingin bicara atau tidak, lebih baik semuanya dibicarakan sekembalimu dalam keadaan hidup besok"

"Kau akan menunggu kembaliku dalam keadaan hidup?"

"Hingga detik ini, kesempatanku untuk hidup jauh lebih banyak ketimbang kesempatanmu" jawab Lan It Ceng sambil tertawa tergelak.

Nyo Cing menarik napas panjang-panjang, membalikkan tubuh dan berjalan keluar dan hutan yang lebat lagi gelap itu dengan langkah lebar.

Diluar hutan, cahaya matahari sedang bersinar terang menerangi seluruh permukaan jagad.

Cahaya matahari begitu terang, begitu tajam dan cemerlang, begitu juga dengan kehidupan manusia, dia percaya Lan Toa Sianseng dapat menjaga diri, dia pasti sanggup mempertahankan diri.

Sebaliknya dia sendiri, dia merasa tak yakin bisa mempertahankan kehidupannya.

0-0-0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar