Bag 10 : Golok Kumala Hijau tanda pertunangan (Tamat)
Sebenarnya matahari bersinar terik, tiba-tiba saja langit berubah jadi gelap karena diselimuti awan tebal, menyusul hujan pun turun.
Hujan turun makin lama semakin deras.
Menyaksikan tetesan air hujan yang membasahi wuwungan rumah, semua orang mulai berkerut kening. "Hahaha, ternyata Thian menciptakan peluang indah untuk kita," seru Hoa Hoa- hong sambil tertawa.
"Kau suka turun hujan?" tanya Ku-tojin dengan kening berkerut.
"Kalau berada dalam suasana lain, aku tak suka. Tapi hujan ini memang turun tepat waktu." "Kenapa?" tanya Ku-tojin tak habis mengerti.
"Kalian adalah orang-orang kenamaan di tempat ini, sasaran kita pun bukan orang kecil, kemana pun kita pergi pasti akan memancing perhatian orang banyak. Sekalipun ingin menyaru, bukan pekerjaan yang gampang."
Setelah tersenyum, lanjutnya, "Tapi dengan turunnya hujan, semua persoalan pun terselesaikan."
Ku-tojin semakin tak mengerti, begitu juga dengan yang lain.
Hoa Hoa-hong telah mengambil satu stel baju hujan yang tergantung di atas dinding, ujamya sambil tertawa, "Asal kita kenakan jas hujan, lalu mengenakan topi caping bambu ini, siapa lagi yang bisa mengenali kalian?"
Banyak orang beranggapan, kelebihan dari telaga Se-ouw adalah bukan saja indah di saat musim semi, indah pula di saat musim salju, musim hujan ataupun musim dingin.
Duduk di atas perahu pesiar yang lebar, mengenakan pakaian yang bersih, mengelilingi telaga sambil menikmati pemandangan saat hujan, benar-benar merupakan satu peristiwa yang indah dan penuh seni.
Namun ketika kau mengenakan jas hujan, memakai caping lebar, berbasah-basah di tengah hujan, menembusi jalanan berlumpur untuk menangkap seorang begal ulung, jelas keadaannya sama sekali berbeda.
Di tepi telaga terdapat sebuah paviliun bersegi enam. Dalam paviliun terdapat seorang kakek penjual teh dan wedang kacang, saat itu dia sedang mengawasi hujan dengan termangu.
Titik-titik air hujan yang menimpa permukaan telaga persis seperti kuah dalam wajan yang sedang mendidih. Dengan jatuhnya hujan sederas ini, sama artinya dagangan hari ini bakal tak laku.
Tiba-tiba terdengar Hoa Hoa-bong berkata, "Mari kita menangsal perut dengan beberapa butir telur karena apakah hari ini masih bisa makan atau tidak, masih tanda tanya."
"Kenapa kita tidak pergi ke rumah makan Lau-gwat-lau untuk menangsal perut?" usul Ku-tojin. "Orang yang bekerja macam kita sudah terbiasa hidup susah. Jadi bila kalian ingin membantu
aku mengungkap teka¬teki kasus ini, lebih baik sedikitlah menahan din."
Ku-tojin tidak berbicara lagi. Sambil bermuram durja, ia membeli beberapa butir telur dan perlahan-lahan melahapnya. Hujan turun semakin deras.
Kembali Hoa Hoa-hong berkata, "Lebih baik kalian membeli beberapa butir telur lagi sebagai sangu, bisa dimakan di tengah jalan nanti." "Sekarang juga kita akan berangkat?" tanya Lu Kiu.
"Sekarang waktu sudah larut, lagi pula kita harus menempuh perjalanan yang cukup jauh," sahut Hoa Hoa-hong.
"Sebenarnya dimana tempat itu?" dengan merendahkan suara Kiau-losam berbisik.
Hoa Hoa-hong segera menunjuk puncak bukit di seberang telaga, sahutnya, "Kita akan ke sana!"
"Balk, akan kucari sebuah perahu besar, kita menyeberang dengan perahu." "Tidak bisa!"
"Kenapa tak bisa?" tanya Kiau-losam tertegun.
Sambil menarik wajah, sahut Hoa Hoa-hong, "Bisa jadi setiap tukang perahu di sini telah menjadi mata-mata Cing¬liong-hwe, kita tak boleh menyerempet bahaya."
Kiau-losam seperti masih ingin mengatakan sesuatu, namun setelah menyaksikan paras mukanya yang dingin kaku, dia pun urungkan niatnya.
Mendadak Toan Giok berjalan menghampirinya, lalu berbisik, "Tahukah kau, tampangmu sekarang macam apa?"
"Macam bandit wanita?"
"Tentu saja tampangmu sekarang tak mirip bandit, tapi lebih mirip kaisar Latin-0" sahut Toan Giok sambil tertawa.
Berhubung mereka tak boleh menempuh perjalanan dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, kuatir asal-usul mereka terbongkar, terpaksa mereka melanjutkan perjalanan dengan menembusi tanah berlumpur.
Sampai hari sudah malam mereka baru tiba di kaki bukit di seberang telaga.
Gunung itu bukan Si-shia, juga bukan Ban-leng. Bukan saja jalan bukit terjal dan berliku-liku, bahkan sekalipun pada suasana cerah pun jarang ada yang berkunjung ke sana.
Di tengah malam hujan yang begitu dingin dan becek, orang yang tak punya penyakit tak nanti akan pergi ke atas bukit.
Lu Kiu, Ku-tojin, Kiau-losam, Toan Giok, maupun Ong Hui adalah sekelompok manusia dengan otak waras, mereka sama sekali tak berpenyakit, apalagi penyakit tak waras.
Tapi sekarang mereka hanya mengikuti di belakang Hoa Ho-a-hong tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Karena setiap orang tahu, untuk mengungkap rahasia ini, mereka harus dapat menangkap Hoa Ya-lay.
Asal kasus ini bisa terbongkar, penderitaan yang lebih pahit pun rela mereka lakukan.
Hanya saja Hoa Ya-lay sialan itu betul-betul siluman penyiksa manusia. Tempat mana pun tidak ia datangi, justru tempat yang begini sepi, becek dan terjal dipilihnya sebagai tempat persembunyian.
Hujan masih turun dengan derasnya, bahkan sama sekali tak ada pertanda akan berhenti.
Hujan musim semi di wilayah Kanglam memang tak ubahnya seperti kemurungan yang menyelimuti hati manusia, mau dipotong di tengah jalan pun tak mungkin terpotong.
Jas hujan dan caping yang baru dibeli tampaknya tidak mampu menahan curahan hujan. Kini pakaian mereka telah basah-kuyup, kaki pun penuh dinodai lumpur kotor.
Setiap orang merasa kedinginan, lapar dan lelah, tapi mereka tetap menahannya sekuat tenaga.
Sebab semua ini memang mereka lakukan dengan sukarela, dilakukan dengan hati ikhlas.
Dengan susah payah, akhirnya tibalah mereka di punggung bukit. Saat itulah Hoa Hoa-hong baru menghentikan langkah dan beristirahat. Bagaimana pun gadis itu tetap seorang manusia, tentu saja dia pun merasa lelah. "Apakah sudah sampai?" tak tahan Ong Hui bertanya.
Pertanyaan itu diajukan dengan suara yang amat rendah, tapi Hoa Hoa-hong masih menarik wajah sambil melotot sekejap ke arahnya.
Biarpun dia adalah pemilik Pi-lik-tong yang amat tersohor namanya dalam dunia persilatan, tak urung dibuat takut juga hingga tak berani buka suara lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba dari arah depan berkumandang suara langkah manusia.
Hoa Hoa-hong segera memberi tanda sambil menyusup ke dalam hutan di balik jalanan, menjatuhkan diri bertiarap di tanah.
Terpaksa semua mengikut di belakangnya, menyelinap masuk ke dalam hutan dan menyembunyikan diri.
Lumpur lembab dan dingin, tapi semua tak merasakan lagi, karena suara langkah kaki itu makin lama semakin dekat dan akhirnya tiba di hadapan mereka.
Dilihat dari balik semak belukar, tampak orang itu adalah seorang penebang kayu yang sudah tua. Dengan mengenakan jas hujan, ia berjalan sempoyongan dari atas gunung, tangan satu memegang payung usang, sedang tangan lain memegang buli-¬buli arak.
Tampaknya ia sudah minum terlalu banyak hingga jalan pun sempoyongan, mulutnya bahkan sedang bergumam seperti orang mengigau, kelihatannya ia sedang dalam perjalanan turun
gunung untuk membeli arak.
Justru karena dia sudah cukup banyak minum arak, maka dalam suasana seperti ini pun tetap turun gunung untuk membeli arak.
Bila seseorang sudah mabuk enam-tujuh bagian, memang sulit baginya untuk berhenti minum, bahkan lebih sulit daripada seekor kucing kelaparan yang tidak mencuri ikan.
Apakah setan arak tua itu adalah anak buah Cing-liong¬hwe, mata-mata Hoa Ya-lay? Semua orang menahan napas, bergerak pun tak berani.
Mereka adalah jago-jago silat kawakan, tentu saja mereka tak akan melakukan tindakan "menyibak rumput mengejutkan ular".
Setelah menunggu dengan susah-payah, akhimya setan tua itu lenyap juga di tikungan bukit sebelah depan, lambat-laun suara langkah kakinya pun tak terdengar lagi.
Kini Ong Hui tak kuasa menahan diri lagi, segera tanyanya, "Apakah dia "
"Sssttt!" siapa tahu baru saja dia buka suara, ucapannya sudah ditukas Hoa Hoa-hong.
Tak boleh buka suara! Tak boleh buka suara! Kalau sampai mengagetkan Hoa Ya-lay, siapa yang mampu memikul tanggung-jawab ini?
Terpaksa semua orang menahan napas, merangkak di tengah kubangan lumpur, menunggu dan menunggu. Setiap orang merasa dirinya seakan telah berubah menjadi anjing liar yang tak punya rumah.
Entah sudah berapa lama mereka menunggu, akhirnya Hoa Hoa-hong berdiri juga, memberi tanda dan minta mereka melanjutkan perjalanan naik ke atas bukit.
Kini bukan saja kaki mereka sudah penuh dengan lumpur, pakaian mereka pun kotor oleh Lumpur. Sepanjang hidup, belum pernah Toan Giok mengalami keadaan yang begini mengenaskan.
Tapi tak seorang pun berkeluh-kesah atau menggerutu, bahkan Lu-kiuya yang senang akan kebersihan pun saat ini tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Setiap orang hanya berharap bisa menangkap Hoa Ya-lay secepatnya, membalas dendam atas kematian Lu Siau-hun dan membersihkan nama Toan Giok dari segala tuduhan. Setiap orang percaya pada Hoa Hoa-hong, ternyata Jit jiau-hong-huang yang tersohor namanya ini memang sangat berhati-hati dalam setiap tindak-tanduknya. Caranya melacak musuh dan memecahkan kasus memang cukup mengagumkan.
Langit di atas bukit terasa lebih gelap, lebih dingin.
Sekali lagi Hoa Hoa-hong menghentikan perjalanannya secara tiba-tiba dan bersembunyi di balik hutan.
Di balik hutan terdapat sebuah tebing curam, di bawah tebing berdiri dua bush bangunan kecil terbuat dari kayu, cahaya lentera memancar keluar dari balik ruangan.
Apakah di sinilah tempat persembunyian Hoa Ya-lay? -
Semua orang bertiarap di atas tanah sambil menahan napas, mereka berharap bisa secepatnya menyerbu masuk ke dalam rumah kayu itu dan membekuk Hoa Ya-lay.
Ternyata Hoa Hoa-hong termasuk seorang jago yang pandai mengendalikan diri, tampaknya ia sudah mengambil keputusan, apabila tidak yakin seratus persen, perempuan itu tak akan melakukan tindakan secara sembrono.
Suasana dalam rumah kayu itu tetap hening, sama sekali tak terdengar suara apa pun.
Kembali mereka menunggu sampai lama sekali, seakan sudah menunggu hampir seratus tahun lamanya.
Pada akhirnya, Hoa Hoa-hong berbisik lirih, "Aku akan masuk dulu seorang diri, sementara kalian kepung rumah ini rapat-rapat, tunggu aba-abaku sebelum kalian ikut menyerbu masuk."
Mengapa dia hams menyerempet bahaya menyerbu masuk seorang diri? Mengapa bukannya menyerbu masuk secara bersama-sama? Tak seorang pun mengerti.
Tapi lantaran dia telah berkata begitu dan pasti ada alasannya, terpaksa semua orang menurut. Hoa Hoa-hong segera melejit ke depan dan menyelinap masuk bagaikan segulung asap tipis.
Temyata kungfu Jit-jiau-hong-huang memang sangat tangguh.
Tampak perempuan itu berhenti sebentar di luar rumah sambil memeriksa keadaan, kemudian dengan sekali tendang ia hajar pintu ruangan, lalu menyerbu masuk ke dalam.
Sementara itu para jago yang lain telah bergerak cepat mengepung bangunan rumah itu.
Gerakan tubuh setiap orang tampak amat cepat, hal ini bisa dimaklumi, karena hampir semua yang hadir adalah jago¬jago kelas satu dalam Kangouw.
Tampaknya Hoa Ya-lay meski seekor rase licik pun sulit untuk meloloskan diri.
"Blam!", mendadak terdengar suara benturan keras di dalam rumah kayu itu, disusul kemudian Hoa Hoa-hong membentak keras, "Hoa Ya-lay, mau kabur kemana kau?"
Ku-tojin, Ong Hui, Kiau-losam semuanya tak kuasa menahan diri. Bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, serentak mereka menerjang masuk ke dalam rumah.
Tapi dengan cepat mereka berdiri terperangah.
Ternyata di dalam rumah kayu hanya ada satu orang, Hoa Hoa-hong!
***
Rumah kayu itu kotor dan kacau, lamat-lamat terendus bau arak yang busuk.
Di sudut ruangan tertumpuk kayu bakar, sedang di atas meja tertaruh sebuah lentera minyak.
Hoa Hoa-hong sedang duduk santai di samping lentera, menggunakan selembar handuk mengeringkan rambutnya yang basah
"Mana Hoa Ya-lay?" "Tidak tahu."
"Kau pun tidak tahu?" Ong Hui yang pertama kali bertanya.
"Aku bukan komplotannya, juga bukan sahabatnya, darimana aku bisa tahu berada dimanakah dia," jawab Hoa Hoa hong santai. Kembali semua orang tercengang, terperangah.
Akhirnya Ku-tojin tak kuasa menahan diri, tegurnya, "Bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau kau berhasil melacak jejaknya?"
"Ah, itu semua bohong, sama sekali bohong," jawab Hoa Hoa-hong sambil tersenyum lebar. Untuk kesekian kalinya Ku-tojin tertegun.
Terdengar Hoa Hoa-hong berkata lagi, "Aku bukan Jit¬jiau-hong-huang, juga bukan opas wanita, aku tak lebih hanya seorang nona cilik yang suka mencari keributan. Masa kalian sebagai jago silat kawakan juga tak mengetahuinya?"
Memandang lumpur yang mengotori seluruh tubuh sendiri, Ku-tojin benar-benar dibuat menangis tak bisa tertawa pun tak dapat.
Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti seorang bloon, orang yang benar-benar goblok. Perasaan para jago yang lain, tak berbeda jauh dengan perasaan Tosu itu.
"Aku curiga salah satu di antara kalian adalah Liong-thau Lotoa!"
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Hanya Liong-thau lotoa yang mengetahui jejak Hoa Ya-lay, hanya dia yang tahu kalau aku sedang berbohong. Apa yang kulakukan sekarang pasti diketahui olehnya, sekalipun dia tetap mengikuti perjalananku yang sia-sia ini, namun sikap serta mimik wajahnya pasti akan memperlihatkan titik kelemahan, aku yakin dapat mengetahui kelemahan itu."
"Dan sekarang, apakah kau berhasil mengetahuinya?" tanya Ku-tojin sambil menghela napas. "Belum!"
Kemudian setelah tertawa, lanjutnya, "Tampaknya kalian semua adalah orang jujur dan baik, tidak seharusnya aku mencurigai kalian!"
Ketika seorang nona cantik memuji dirimu sebagai seorang baik, mungkinkah kau bisa mengumbar amarahmu?
Lu Kiu pun hanya bisa menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir, "Apakah sekarang nona masih ada perintah lain?"
“Hanya ada satu”
Setelah mengedip mata dan tersenyum, lanjutnya, “Paling baik bila kita sekarang kalian cepat pulang ke rumah, mandi air panas, minum semangkuk teh panas, lalu tidur yang nyenyak.
***
Jendela di atas loteng itu masih dalam keadaan terbuka, cahaya lentera telah padam, hujan pun telah berhenti.
Mereka menggunakan perahu kecil yang ditumpanginya sewaktu datang untuk balik ke rumah, sepanjang jalan Toan Giok tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Diam-diam Hoa Hoa-hong melirik sekejap ke arahnya kemudian bertanya, “Entah apakah saudara yang kita keluarkan dari dalam peti masih berada di sana atau tidak?”
Toan Giok masih duduk sambil menarik muka, sama sekali tidak bersuara.
“Coba kau tebak, apakah dia masih ada di sana?” kembali Hoa Hoa-hong berkata. Toan Giok tidak menjawab, dia pun tidak menebak.
Tiba-tiba Hoa Hoa-hong melompat bangun, teriaknya, “He, kenapa kau marah? Atas dasar apa kau marah padaku? Bukankah aku berbuat demikian gara-gara kau? Memangnya hanya kau yang menderita, sementara aku tidak? Tubuhmu berlepotan lumpur, memangnya aku tidak?”
Tiba-tiba Toan Giok melompat bangun, teriaknya pula, “Siapa bilang aku sedang marah?” Begitu ia berteriak, Hoa Hoa-hong malah tertegun dibuatnya.
“Kalau bukan sedang marah, mengapa wajahmu dingin kaku seperti papan peti mati?” “Karena hatiku tidak senang.”
“Kenapa tak senang?” “Kalau kau jadi aku, memangnya kau bisa senang?”
Hoa Hoa-hong tak sanggup berbicara lagi.
Siapa pun orangnya, bila mempunyai masalah seperti apa yang dihadapi Toan Giok sekarang, dapat dipastikan ia tak akan senang.
Akhirnya Hoa Hoa-hong menghela napas panjang, ujarnya dengan suara lembut, “Sekarang apa yang akan kau lakukan?”
“Tidak tahu”
Dia melompat bangun, melompat naik ke atas loteng, membuka pintu dan menyerbu masuk. Dia pun ingin tahu apakah orang yang mereka selamatkan dari dalam peti masih berada di sana atau tidak?
Ternyata orang itu masih berada di sana, berada di ruang luar sambil makan sisa bakpao kemarin dan meneguk arak yang masih ada.
Pakaian yang dikenakan masih sama seperti baju yang dikenakan sewaktu keluar dari peti, pakaian dalam yang lusuh dan kotor, kakinya masih telanjang, wajahnya tampak lebih pucat, letih sayu daripada kemarin.
Toan Giok ikut duduk, mulai makan bakpao dan minum arak.
Tiba-tiba orang itu berkata sambil tertawa, “Bakpaonya belum bau.”
Toan Giok ikut tertawa, sahutnya, “Dagingnya juga belum bau, udangnya belum bau, Hiwannya belum bau, hanya aku yang tambah bau.”
Orang itu tersenyum.
“Kau seperti orang yang baru saja dimasukkan ke dalam peti, bahkan peti yang kemasukan air.” “Ai, aku lebih suka dimasukkan ke dalam peti. Paling tidak jauh lebih baik daripada ditipu orang
dan mesti bergulingan di kubangan lumpur seperti seekor anjing.” “Siapa yang telah menipumu?”
“Aku!”
Hoa Hoa-hong berjalan masuk sambil menggendong tangan, dengan hambar lanjutnya, “Dia memang telah kutipu hingga semalaman harus bergulingan di kubangan lumpur, tapi pakaian ini…”
Tiba-tiba dia mengangkat tangannya dan memperlihatkan jubah ungu yang pernah dikenakan sewaktu menyamar jadi seorang pria itu.
Kini jubah ungu itu sudah kotor oleh noda lumpur.
Ditatapnya orang itu dengan sinar tajam, lalu kembali tegurnya dengan nada dingin, “Sebetulnya bajuku ini sudah berbaring dan tidur dengan nyenyak di dalam rumah, kenapa tiba- tiba bias bergulingan di luar hingga penuh lumpur, memangnya baju itu tumbuh kaki hingga bisa berjalan keluar sendiri? Mula-mula pergi ke Hong-Lin-si untuk mencuri dengar pembicaraan orang, kemudian secara diam-diam ikut pula bergulingan di tanah?"
Tiba-tiba paras muka orang itu berubah sedikit memerah.
Kembali Hoa Hoa-hong menyindir sambil tertawa dingin, "Tentu saja pakaian ini tak berkaki, karena kakinya tumbuh di tubuhmu!"
Sepasang matanya melotot, melototi orang itu tanpa berkedip, mendadak teriaknya, "Aku ingin bertanya padamu, mengapa kau menguntit kami? Sebenarnya siapa kau? Apa sangkut-pautmu dengan persoalan ini?"
Paras muka orang itu dari merah tiba-tiba berubah lagi jadi pucat-pasi, dia seakan ingin mengucapkan sesuatu, apa mau dikata, justru tak mampu diucapkan keluar.
Di antara suara hujan di luar jendela, mendadak terdengar suara perahu yang bergerak mendekat. Tanpa sadar Toan Giok dan Hoa Hoa-hong melongok keluar jendela. Pada saat itulah, tiba-tiba pemuda misterius berwajah pucat itu melejit ke tengah udara, lalu secepat kilat meluncur keluar dari pintu rumah.
Pada saat yang bersamaan, terlihat seseorang melompat masuk ke balik jendela dengan kecepatan tinggi.
Orang itu adalah seorang kakek kurus tinggi, berwajah bersih tapi penuh wibawa. Dia tak lain adalah Lu Kiu.
Pakaian yang dikenakan masih belum kering, masih berlepotan lumpur, tapi paras mukanya justru dingin kaku seperti papan peti mati.
Dengan terperanjat Hoa Hoa-hong menatap wajahnya, lalu tanyanya sambil tertawa paksa, "Kau belum pulang?"
"Aku belum pulang," jawaban Lu Kiu sangat dingin.
"Untung di sini masih ada arak, bagaimana kalau minum barang dua cawan untuk mengusir hawa dingin?" kata Toan Giok sambil tertawa.
"Aku datang bukan untuk minum arak."
Dilihat dari paras mukanya, siapa pun dapat menduga kalau kedatangannya memang bukan untuk minum arak.
Berputar sepasang biji mata Hoa Hoa-hong.
"Jika bukan minum arak, mau apa kau kemari?" tegurnya. "Datang untuk membunuh orang!"
"Datang untuk membunuh? Siapa yang akan kau bunuh?" Hoa Hoa-hong tak mampu tertawa lagi.
"Selama hidup Lohu selalu memilah antara budi dan dendam secara jelas. Thiat Sui adalah sahabat karibku, Siau-hun adalah putra tunggalku. Siapa pun yang telah membunuh mereka, aku tak akan membiarkan dia hidup lewat malam
Toan Giok tak sanggup tertawa pula.
"Jadi kau datang untuk membunuhnya?" tanya Hoa Hoa¬hong. "Bukankah kau tahu dengan jelas bahwa pembunuhnya bukan dia?"
Lu Kiu tertawa dingin.
"Golok pembunuh adalah Bi-giok-jit-seng-to keluarga Toan. Kalau pembunuhnya bukan dia, lantas siapa lagi?"
Hoa Hoa-hong terkesiap dan berdiri melongo.
Ia benar-benar tak habis pikir, kenapa secara tiba-tiba Lu Kiu bisa berubah pikiran.
Terdengar Lu Kiu berkata lagi, "Aku memang tak ingin bermusuhan dengan Toan Hui-him, tapi dendam sakit hati ini tetap harus kubalas."
"Maka di hadapan orang lain, kau berlagak sok setia kawan. Tapi begitu orang lain sudah bubar, kau menginginkan nyawanya lagi?"
"Betul."
"Kau tidak kuatir salah membunuh?"
"Lebih baik salah membunuh satu orang daripada melepas seorang musuh besar. Selama Lohu berkecimpungan dalam Kangouw, tak sedikit orang yang telah kubunuh, jadi sekalipun salah membunuh satu orang lagi pun, hal ini lumrah dan tak aneh."
"Kau tidak takut orang lain salah membunuhrnu?" tegur Hoa Hoa-hong dingin. "Usia Lohu sudah lewat dari setengah abad. Setelah hari ini berani datang kemari,
sesungguhnya aku sudah tidak memikirkan lagi mati hidupku."
Dengan sorot mata setajam mata golok, ditatapnya wajah Toan Giok lekat-lekat, mendadak is membentak nyaring, "Cabut Bi-giok-jit-seng-tomu! Kalau memang punya kemampuan, coba penggallah batok kepala Lohu dan gunakan sebagai cawanmu minum arak." Toan Giok menghela napas panjang, sahutnya sambil tertawa getir, "Kalau ingin minum arak, aku minum dengan cawan."
"Tapi aku justru ingin menggunakan batok kepalamu sebagai pengganti cawan, darahmu akan kuanggap sebagai arak, akan kugunakan darahmu untuk bersembahyang di depan arwah anakku."
Suaranya sangat parau, sepasang matanya menatap tajam leher Toan Giok tanpa berkedip, sementara sepasang tangannya yang kurus kering telah diangkat ke udara, mementangkan cakar elangnya dan setiap saat dia seakan ingin mencengkeram tenggorokan anak muda itu hingga tembus dan berlubang.
Siapa pun dapat melihat, dia telah menghimpun seluruh tenaga dalamnya hasil latihan selama puluhan tahun pada kedua belah tangannya. Asal serangan itu dilancarkan, dapat dipastikan korbannya bakal tewas secara mengenaskan.
Pada saat itulah terdengar seseorang berteriak, "Kau jangan turun tangan sembarangan, jangan salah membunuh orang!"
Di tengah suara teriakan, tampak seseorang menyusup masuk ke dalam ruangan dengan kecepatan tinggi, ternyata orang itu tak lain adalah pemuda pucat misterius itu.
Siapa sebenarnya pemuda ini? Darimana dia tahu kalau Lu Siau-hun bukan tewas di tangan Toan Giok?
Tentu saja dia tahu.
Mungkin di kolong langit dewasa ini hanya dia seorang yang bisa membuktikan kalau Lu Siau- hun bukan tewas di tangan Toan Giok.
Karena dia tak lain adalah Lu Siau-hun! Ternyata Lu Siau-hun belum mati!
Menyaksikan putranya yang sudah jelas telah mati ternyata berdiri segar di hadapannya, ternyata Lu Kiu sama sekali tidak menunjukkan perasaan girang atau terkejut.
Lu Siau-hun berlutut. Sambil menundukkan kepala, berlutut di hadapan ayahnya. "Ananda tak berbakti, hanya membuat kau orang-tua merasa kuatir saja."
Lu Kiu masih berdiri dengan wajah membesi.
"Aku sama sekali tidak menguatirkan keselamatanmu," Sahutnya dingin, "Karena aku tahu, kau memang belum mati."
Sementara itu Hoa Hoa-hong tak kuasa menahan diri lagi, tiba-tiba teriaknya, "Jadi dia adalah Lu Siau-hun? Dia adalah putramu? Dan kau tahu kalau dia belum mati?"
Lu Kiu mengangguk.
"Sekalipun Cing-liong-hwe menggunakan jenazah yang telah disaru untuk mengelabui diriku, aku tetap tahu kalau dia belum mati. Sekalipun dia tidak menghela napas di luar ruang layon Hong-lin-si pun, aku tetap tahu."
"Darimana kau bisa tahu?" tanya Hoa Hoa-hong.
"Karena bagaimana pun juga dia adalah putraku!"
Jawaban ini tak bisa dianggap sebagai sebuah penjelasan yang baik, namun sudah cukup menjelaskan segala sesuatunya. Bagaimana pun, hubungan antara ayah dan anak memang terjalin oleh perasaan yang sensitif dan aneh. Perasaan ini tak bisa dijelaskan oleh siapa pun, namun juga tak seorang pun bisa
menyangkalnya.
Hoa Hoa-hong masih tak habis mengerti, kembali ujarnya, "Kalau memang Cing-liong-hwe bertekad akan menghabisi nyawanya, kenapa mereka harus menggunakan tubuh orang lain untuk mengelabuimu, sementara orang yang asli dimasukkan ke dalam peti dan ditenggelamkan ke dasar telaga?" Tiba-tiba Toan Giok tertawa, jawabnya, "Karena mereka tak ingin membiarkan Lu-kiuya menyaksikan mata kail yang berada di tubuhnya."
Dia seakan sudah mengetahui akan rahasia ini, maka lanjutnya, "Mereka tak ingin Lu-kiuya menyaksikan kalau di tubuhnya masih terdapat mulut luka lain, mereka harus membuat Lu-kiuya yakin dan percaya bahwa dia mati karena terkena bacokan golokku."
Lu Kiu manggut-manggut, katanya, "Orang yang telah mati, wajahnya pasti berubah jadi kusut dan kejang, mereka telah memperhitungkan kalau aku tak bakal mengetahui rahasia ini."
Hoa Hoa-hong semakin tak mengerti, kembali tanyanya, "Kalau kau sudah tahu bahwa putramu belum mati, mengapa masih berusaha membunuh Toan Giok untuk membalas dendam kematiannya?"
"Karena aku pun tahu, dia pasti merasa tak punya muka untuk bertemu denganku. Bila ia tak berhasil menangkap Hoa Ya-lay, si bandit perempuan itu dengan kemampuan sendiri,
kemudian membalas sakit hati sendiri, dia tak bakal muncul untuk bertemu denganku."
Baru sekarang di atas wajahnya yang letih dan hambar muncul perasaan sayang dan kasihan, perlahan-lahan terusnya, "Bagaimana pun juga dia adalah putraku, tentu saja aku mengetahui dengan jelas tabiatnya."
Kini Hoa Hoa-hong sedikit menjadi jelas.
"Oleh karena itu kau sengaja menggunakan cara ini untuk memancingnya keluar?" katanya.
Lu Kiu manggut-manggut, ujarnya sambil menghela napas, "Biarpun bocah ini angkuh dan keras kepala, namun bukan seorang yang lupa budi. Dia tak akan membiarkan tuan penolongnya mengadu nyawa dengan bapaknya."
"Tapi darimana kau bisa tahu kalau dia berada di sini?" tanya Hoa Hoa-hong sedikit tak paham.
Akhirnya sekulum senyuman menghiasi wajah Lu Kiu, sahutnya, "Karena sejak awal sudah kuduga kalau orang yang kalian selamatkan dari dalam peti adalah dia."
Hoa Hoa-hong ikut tertawa.
"Kau pun sudah mendengar kalau pakaian yang dia kenakan adalah pakaian milikku," katanya. "Biarpun aku sudah tua dan penyakitan, namun telingaku belum tuli."
"Hahaha, bukan saja tidak tuli, bahkan ... pada hakikatnya lebih tajam lebih tajam "
Sebetulnya dia ingin mengatakan kalau telinganya lebih tajam dari kelinci, tapi dia tidak melanjutkan perkataan itu, karena sekarang sudah timbul perasaan hormatnya terhadap orang-tua ini.
Lu Kiu telah menerima baju dari tangannya dan dikenakan di tubuh putranya.
"Walaupun pakaian ini kotor. Paling tidak jauh lebih baik ketimbang tak berpakaian, hati-hati kalau sampai masuk angin."
"Aku aku " Lu Siau-hun terharu bercampur terima kasih, gejolak darah panasnya membuat
tenggorokannya tersumbat dan tak sepatah kata pun mampu diucapkan.
Hoa Hoa-hong menghembuskan napas panjang, katanya kemudian, "Karena hingga sekarang kau masih hidup, tentunya kau bisa mengatakan sendiri bukan siapa orang yang sebenarnya telah membokongmu?"
Lu Siau-hun tergagap, tak mampu berkata-kata.
"Kau merasa keberatan untuk mengatakannya?" tanya Hoa Hoa-hong sambil menatapnya tajam.
"Aku "
"Atau kau masih mempunyai kesulitan yang sukar untuk diutarakan?"
Lu Siau-hun menutup mulut rapat-rapat, bahkan mata pun dipejamkan. Butiran air mata tampak jatuh berlinang membasahi pipinya. Ternyata dia memang mempunyai kesulitan yang susah diutarakan, dia tak ingin mengatakan, tapi sekarang mau tak mau harus dikatakan juga.
Menyaksikan air mata yang berlinang, semua orang segera mengerti apa gerangan yang telah terjadi.
Hoa Ya-lay telah membohonginya, mengkhianatinya, namun selama hidup sulit baginya untuk melupakan Hoa Ya lay.
Cinta memang sesuatu yang aneh, seorang pemuda romantis seringkali jatuh cinta pada seorang wanita yang tidak seharusnya dia cintai.
Sekalipun dia tahu dan memahami hal itu, apa daya perasaan cinta telah merasuk ke dalam tulangnya, ingin dihapus pun tak mungkin bisa dia lakukan.
Tampaknya Lu Kiu tak tega menyaksikan hal ini.
Perasaan sedih yang menyelimuti perasaan putranya. Sebagai seorang ayah, dia pasti mengetahui jauh lebih jelas.
Tiba-tiba Lu Kiu berkata, "Walaupun tadi kau gagal menemukan sesuatu yang mencurigakan, namun aku justru telah menemukan satu hal yang pantas dicurigai."
"Menurutmu, siapa yang paling mencurigakan?" tanya Hoa Hoa-hong.
"Ku-tojin!"
"Mengapa aku tidak melihatnya?"
"Karena kau sama sekali tak tahu manusia macam apakah dirinya."
Hoa Hoa-hong memang sama sekali buta, sama sekali tak tahu.
"Dia adalah seorang manusia paling malas, paling ogah merasakan penderitaan," Lu-kui menerangkan. "Sekalipun Hoa Ya-lay benar-benar mempunyai dendam kesumat sedalam lautan dengan dirinya, tak nanti dia mau disiksa sepanjang malam di tengah curah hujan, udara dingin dan tanah berlumpur!"
"Tapi aku tidak mendengar suara menggerutu atau penyesalannya," seru Hoa Hoa-hong. "Justru itulah aku merasa keheranan."
"Apakah karena dia tahu kalau aku sedang berbohong, juga tahu dimana Hoa Ya-lay berada, kuatir hal ini kuketahui, maka dia rela mengalami semua penderitaan itu?"
Lu Kiu manggut-manggut.
"Padahal sekalipun tak ada kejadian hari ini pun, sejak lama aku sudah menaruh curiga kepadanya."
"0, ya?"
"Ketika Thiat Sui terlibat pertarungan melawan Toan Giok waktu itu, dia hanya berdiri menonton berpangku tangan. Dari sikapnya, dia seakan berharap Toan Giok bisa tewas di tangan Thiat Sui, berapa kali Ong Hui ingin turun tangan mencegah, tapi setiap kali selalu dicegah olehnya."
Berputar biji mata Hoa Hoa-hong, ujarnya, "Semula aku mengira hanya satu orang yang berharap kau tidak mati." "Menurut kau, siapakah orang itu?"
"Liong-thau Lotoa dari Cing-liong-hwe."
"Sesungguhnya memang hanya satu orang yang benar¬benar berharap Toan Giok mati," ucap Lu Kiu.
Berkilat mata Hoa Hoa-hong, tiba-tiba serunya, "Ah, jangan-jangan Ku-tojin adalah Liong-thau Lotoa!"
"Dia tak lebih hanya seorang Lopan warung arak kecil, tapi setiap bertaruh bisa kalah berpuluh laksa tahil perak, darimana dia memperoleh uang sebanyak itu?" Mendadak Hoa Hoa-hong mendongakkan kepala. Sambil melotot ke arah Toan Giok, tegurnya, "He, apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa kau tidak berbicara?"
Toan Giok tertawa.
"Karena apa yang ingin kukatakan telah kalian katakan semua!"
Lu Siau-hun yang selama ini hanya menunduk, tiba-tiba mendongakkan kepala sambil berkata, "Waktu itu, dalam keadaan setengah sadar, aku memang melihat ada sesosok bayangan manusia berlengan tunggal, bahkan aku seperti mendengar ia ia cekcok ramai dengan nona Hoa."
"Senjata rahasia itu dilancarkan dari belakang tubuhmu," kata Hoa Hoa-hong. "Bisa jadi orang yang melepaskan senjata rahasia itu adalah dia."
Sekali lagi Lu Siau-hun menundukkan kepala dan tidak bicara lagi.
Hoa Hoa-hong memutar sepasang biji matanya, setelah termenung sesaat, kembali ujarnya, "Jika Ku-tojin benar-benar adalah Liong-thau Lotoa, saat ini dia pasti tak akan pulang ke rumah."
"Kenapa?" tanya Lu Kiu.
"Sebab dia sudah tahu kalau kami tempatkan Hoa Ya-lay sebagai satu-satunya titik terang. Dengan tabiatnya, dia pasti akan mendahului kita dan berusaha membunuh Hoa Ya-lay untuk melenyapkan saksi!"
Paras muka Lu Siau-hun yang pucat kini semakin memucat, bahkan bibir pun tampak mulai gemetar.
Hoa Hoa-hong sengaja tidak memandang ke arahnya, ujarnya lebih jauh, "Oleh karena itu sekarang juga kita harus pergi mencari Ku-tojin, membuktikan apakah dia berada di rumah atau tidak!"
"Dia tak akan berada di sana," tiba-tiba Toan Giok menyela sambil tertawa tergelak. "Darimana kau bisa tahu kalau dia tak ada di rumah?"
"Karena Lu-kiuya datang kemari dengan menguntit kita berdua, tapi di belakang Lu-kiuya pun masih ada seseorang lain yang ikut menguntit sampai di sini!" jawab Toan Giok hambar.
"Ku-tojin?" seru Hoa Hoa-hong cepat.
Toan Giok tidak menanggapi pertanyaan itu. Dia berpaling, memandang sekejap daun jendela di luar sana, lalu sambil tersenyum, ujarnya, "Kalau sudah datang kemari, kenapa tidak masuk ke dalam untuk minum barang dua cawan arak?"
Suasana di luar jendela sangat hening, hanya kabut yang terbang rendah di atas permukaan air.
Tapi begitu Toan Giok selesai menegur, dari bawah jendela segera berkumandang suara gelak tertawa yang amat keras.
"Bocah muda, ternyata kau memang hebat, tampaknya selama ini aku terlalu rendah menilaimu!"
Itulah suara gelak tertawa Ku-tojin.
Tapi gelak tertawanya kali ini terdengar sangat aneh dan tersisip suatu nada yang sukar dijabarkan.
Ternyata Ku-tojin benar-benar telah muncul.
Walaupun dia masih tertawa, namun paras mukanya telah berubah pucat-pias, sinar matanya tersisip nada ejekan yang penuh kepedihan dan sadis, dia seakan menganggap dirinya seperti seekor serigala yang telah masuk perangkap pemburu.
Toan Giok memandangnya sekejap, tiba-tiba menghela napas, ujarnya, "Kau sama sekali tidak menilai diriku terlalu rendah, kau telah menilai rendah dirimu sendiri."
"0, ya?"
"Kau tidak seharusnya datang kemari!" "Kenapa?" tanya Ku-tojin.
"Bila sekarang kau balik ke rumah, saat ini kau sudah berbaring nikmat di atas ranjangmu, tak seorang pun di dunia ini yang bisa membuktikan kalau kaulah yang telah membokong Lu-kongcu."
"Aku sendiri pun tahu akan hal ini, tapi bagaimana pun juga aku tetap harus datang kemari." "Kenapa?" tak tahan Toan Giok bertanya.
"Karena Lu Siau-hun belum mati, sedang kau pun tidak mati." "Bila kami tidak mati, berarti kaulah yang harus mati!"
Sekulum senyuman pedih menghiasi ujung bibir Ku-tojin, sahutnya, "Kau sendiri pun pernah berkata, bagi orang yang bekerja untuk Cing-liong-hwe, kegagalan merupakan kematian, meski melakukan sedikit kesalahan pun, hasilnya tetap sama, mati!"
Perkataan itu memang pernah diucapkan Toan Giok, diutarakan sewaktu berada di ruang layon Thiat Sui.
Ternyata Ku-tojin teringat semua perkataan itu dengan jelas, bahkan teringat kata per kata. "Jadi kau telah mengakui bahwa dirimu adalah Liong thau Lotoa tempat ini?" sela Hoa Hoa-
hong cepat.
"Setelah keadaan berkembang jadi begini, buat apa aku mesti menyangkal!" sahut Ku-tojin. "Jadi kau memang sudah berniat mencari mati?" tanya Toan Giok sambil menatap tajam
wajahnya.
Ku-tojin menghela napas sedih.
"Bagiku, lebih baik mati di tangan kalian daripada harus mati di tangan pelaksana hukuman Cing-liong-hwe." "Bagaimana dengan Hoa Ya-lay?" tanya Hoa Hoa-hong.
"Mengapa kalian tidak berpikir, kalau benar dia adalah satu-satunya titik terang kalian, mungkinkah aku akan
membiarkan dia hidup terus?"
Mendadak Lu Siau-hun melompat bangun, jeritnya dengan suara parau, "Kau ... kau telah membunuhnya untuk melenyapkan saksi?"
"Kenapa? Kau ingin membalas dendam baginya?" ejek Ku-tojin dingin.
Mendadak terlihat cahaya pisau berkelebat, sebilah pisau yang tajam telah menghujam hulu hatinya.
Dia belum roboh, masih memandang Lu Siau-hun dengan pandangan dingin, katanya dengan suara dalam, "Aku telah menyelamatkan dia, seharusnya kau berterima kasih kepadaku, aku "
Dia tak sempat melanjutkan kata-katanya karena darah segar telah menyembur keluar dari lubang mata, telinga, mulut, serta hidungnya.
Langit sudah mulai terang.
Secercah cahaya fajar mulai muncul di ufuk timur, memancar masuk melalui daun jendela dan menyinari
wajahnya.
Akhirnya dia roboh ke tanah.
Perubahan ini berlangsung sangat tiba-tiba, kematiannya pun terjadi sangat mendadak. Suatu peristiwa yang aneh dan penuh misteri, ternyata berakhir secara tiba-tiba begitu saja.
Memandang mayat yang membujur kaku di lantai, sorot mata aneh seolah-olah muncul dari balik mata Toan Giok, gurnamnya, "Kau tidak seharusnya mati, kenapa kau harus mati!"
"Kalau dia tak pantas mati, apakah kau yang pantas mati?" tak tahan Hoa Hoa-hong menyela.
Toan Giok menghela napas, ternyata dia mengakuinya, "Aku memang sepantasnya mati!"
Tiba-tiba ia berpaling, memandang wajah Lu Siau-hun, kemudian mengucapkan perkataan yang sangat aneh, "Ketika terakhir kali kau melihat Hoa Ya-lay, apakah dia sedang memancing ikan?"
Lu Siau-hun manggut-manggut. Kembali dia merasa amat tercengang, sebab dia tak menyangka kalau Toan Giok bisa mengetahui hal ini.
***
Matahari sudah berada di tengah angkasa, hari ini udara bersih dan amat cerah.
Pintu gerbang warung arak milik Ku-tojin sudah terbuka setengah, si pelayan kudisan yang aneh itu sedang menyapu lantai depan pintu.
Gentong arak besar serta bangku kecil memang berada di luar warung sepanjang malam. Toan Giok, Lu Siau-hun, Hoa Hoa-hong sedang duduk mengelilingi gentong arak.
Si kudis sama sekali tidak memandang ke arah mereka, melirik pun tidak, tapi mulutnya mengomel tiada hentinya.
"Sekalipun benar-benar setan arak, tidak seharusnya datang sepagi ini untuk minum arak!" "Mana Lopanniomu?" tiba-tiba Toan Giok menegur.
"Masih tidur."
"Mana Lopanmu?" kembali Toan Giok mengajukan pertanyaan yang aneh. "Masih tidur juga."
Toan Giok membungkam dan tidak berkata apa-apa lagi.
Mereka berempat pun duduk dengan tenang, duduk menanti, siapa pun tak tahu sebenamya apa yang sedang mereka nantikan?
Air muka mereka berat dan murung, menyampaikan sebuah berita kematian kepada istrinya memang bukan pekerjaan yang menyenangkan.
Matahari sudah semakin meninggi.
Hoa Hoa-hong mulai hilang kesabarannya, dia mulai gelisah dan tak sanggup menahan diri, gadis itu seakan hendak mengatakan sesuatu.
Apa yang ingin diucapkan akhirnya tak jadi disampaikan, karena secara tiba-tiba ia menjumpai ada seseorang sedang memperhatikan mereka.
Terlepas siapa pun, setelah melihat orang ini, tak tahan mereka pasti akan memandangnya beberapa kejap.
Tentu saja orang ini adalah seorang wanita, seorang perempuan yang lincah, bukan saja cantik, bahkan anggun dan pandai berdandan.
Pakaian yang dikenakan sangat indah dan mewah, sebuah gaun hijau tua yang dikombinasikan dengan gaun sutera yang panjang.
Gaun yang putih bersih bagai salju bukan saja terbuat dari bahan kain berkualitas tinggi, jahitannya pun rajin dan bersih, perpaduan warna yang amat serasi.
Akhirnya Lopannio warung arak itu muncul.
Dandanannya sekarang sama persis seperti dandanannya ketika pertama kali Toan Giok melihatnya.
Hanya saja mimik wajahnya sama sekali berbeda.
Kini wajahnya sudah tak dihiasi senyuman manis dan memikat.
Ia menatap mereka, perlahan-lahan berjalan mendekat. Toan Giok dan Lu Kiu telah bangkit, tapi mereka nampak
sangsi, seakan tak tahu bagaimana harus menyampaikan berita duka ini kepadanya.
Ternyata dia pun tidak membutuhkan pemberitahuan itu, tiba-tiba perempuan itu tertawa, tertawa pilu, katanya lembut,
"Apakah kalian hendak memberitahu kepadaku, mulai sekarang aku telah menjanda?" Toan Giok manggut-manggut.
"Darimana kau bisa tahu?" tak tahan Lu Kiu bertanya.
"Aku bisa melihatnya," sahut Tosu perempuan sambil tertawa pedih. "Kau dapat menebaknya dari perubahan mimik muka kami?"
"Aku telah mengetahuinya sejak awal," sahut Tosu perempuan pilu. "Belakangan ini, dia dia sering uring-uringan dan seperti kehilangan semangat, seolah dia sudah tahu kalau bencana besar bakal menimpa dirinya!"
Meskipun mimik wajahnya masih tetap tenang dan tegar, namun air mata telah membasahi kelopak matanya.
Tiba-tiba ia berpaling, lalu ujarnya, "Kalian cukup beritahu kepadaku, kemana aku harus mengambil jenazahnya. Perkataan lain tak usah dibicarakan lagi!"
Toan Giok sama sekali tak peduli dengan perkataan itu, malah katanya, "Ketika pertama kali melihatmu, kau pun muncul secara tiba-tiba, persis seperti hari ini!"
Tosu perempuan tidak berpaling, hanya dengusnya dingin, "Apakah setiap kali hendak keluar, aku harus menabuh genderang lebih dulu untuk memberitahu kepadamu?"
"Kau sebetulnya bukan keluar, tapi pulang," tugas Toan Giok.
Ditatapnya gaun putih saljunya, kemudian perlahan lahan terusnya, "Peduli siapa pun yang baru keluar dari dalam, tak nanti dia akan sebersih ini."
Mendadak Tosu perempuan berpaling, sambil melotot gusar, katanya, "Sebenarnya apa yang ingin kau sampaikan?"
"Ai, aku hanya ingin memberitahu kepadamu, suamimu tidak seharusnya mati!" kata Toan Giok sambil menghela napas.
"Apakah kau yang seharusnya mati?" Ternyata Toan Giok mengakui.
"Benar, karena aku seharusnya sudah tahu siapakah kau!" "Siapakah aku?"
"Hoa Ya-lay!" jawab Toan Giok sepatah demi sepatah,
"Kau adalah Hoa Ya-lay, kau juga Liong-thau Lotoa tempat ini!" Sekali lagi Tosu perempuan melotot gusar ke arahnya, tiba-tiba ia tertawa, senyumannya berubah jadi begitu cantik dan menawan seperti dahulu.
Sekujur badan Lu Siau-hun tiba-tiba mengejang keras dan berubah jadi kaku.
"Ketika untuk pertama kali melihatmu, dalam hatiku telah muncul semacam perasaan yang sangat aneh," kata Toan Giok. "Aku selalu merasa seolah dahulu pernah bertemu denganmu."
Tosu perempuan hanya mendengarkan, dia seakan sedang mendengarkan orang lain menceritakan suatu kisah yang sangat menarik.
Terdengar Toan Giok berkata lebih jauh, "Setiap kali kau muncul di tempat ini, tampilanmu selalu mirip sekuntum bunga segar yang baru saja dipetik, karena pada malam hari kau tak pernah berada di sini."
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya, "Karena kau adalah Hoa Ya-lay. Begitu malam tiba, kau harus keluar rumah untuk menyebar bau harummu. Di tengah malam buta, di bawah cahaya lentera, tentu saja tak akan ada orang yang bisa mengenali penyaruanmu, semakin tak mungkin ada orang yang menduga kalau di pagi hari kau adalah Lopannio warung arak, apalagi kalau saat itu orang lain sudah keburu dibuat mabuk oleh bau harum semerbak tubuhmu."
"Tampaknya kau sedang mabuk?" tegur Tosu perempuan sambil melirik ke arahnya. Toan Giok tertawa getir.
"Aku memang pemah mabuk, untung saja segera mendusin." "Sejak kapan kau telah mendusin?"
"Mungkin selama ini aku seperti sadar tak sadar, tapi setelah melihat peti mati yang berisikan Thiat Sui, aku langsung setengah sadar, begitu melihat Ku-tojin terkapar bersimbah darah, aku baru benar-benar tersadar." "Kenapa?"
"Karena Thiat Sui tak mungkin mati di tangan Ku-tojin, aku cukup mengetahui ilmu silatnya, Ku- tojin tak nanti bisa melukai seujung rambutnya."
"Memangnya tak mungkin terjadi peristiwa di luar dugaan?"
"Tak mungkin!" jawab Toan Giok, tambahnya, "Thiat Sui memang orang yang besar rasa curiganya, dia tak akan percaya pada siapa pun. Terhadap Ku-tojin pun tidak mempunyai kesan baik, maka Ku-tojin pada hakikatnya tak mungkin bisa mendekati dirinya."
Kalau untuk mendekati pun tak mungkin, tentu saja semakin mustahil untuk membunuhnya secara mendadak, apalagi membokongnya.
Kembali Toan Giok berkata, "Aku pun tahu Lu Siau-hun tidak mungkin dibokong oleh Ku-tojin." "Kenapa?"
"Sebab mata kail bukanlah senjata. Bila ingin melukai orang menggunakan kail ikan, maka di atas kail pasti ada benangnya dan saat itu yang sedang memancing ikan bukan Ku-tojin, melainkan Hoa Ya-lay."
Ternyata pertanyaan yang dia ajukan kepada Lu Siau-hun tadi bukanlah pertanyaan yang aneh, rupanya dia memang mempunyai tujuan tertentu.
"Itulah sebabnya aku tak habis mengerti," kata Toan Giok, "Kalau memang semua perbuatan itu bukan dia yang lakukan, kenapa Ku-tojin harus memikul semua dosa dan tanggung jawabnya?"
"Bukankah kau telah memahami? Bagaimana pula penjelasannya?" tanya Tosu perempuan.
"Dia berbuat begitu tak lain karena ingin mewakili orang lain memikul dosa dan tanggung- jawab itu, seorang lelaki yang romantis memang tak akan sayang mengorbankan diri demi wanita yang disukai dan dicintainya."
Dengan sedih lanjutnya, "Seorang lelaki romantis bila tahu istrinya adalah wanita semacam Hoa Ya-lay, kenyataan ini sudah pasti akan menjadi persoalan yang amat menyakitkan hati. Oleh karena itu dia tak segan mengantar nyawa sendiri guna mengakhiri semuanya ini."
Bukannya terharu, Tosu perempuan malah tertawa, katanya, "Hanya berdasarkan beberapa petunjuk itu, kau sudah menuduh aku adalah Hoa Ya-lay?"
"Aku dapat melihat kalau wanita yang benar-benar dicintainya hanyalah kau, aku pun dapat melihat di dunia saat ini hanya ada semacam orang yang dapat membunuh Thiat Sui."
"Manusia macam apa?"
"Perempuan, perempuan macam kau!" "Tapi kenapa aku harus membunuhnya?"
"Karena kemungkinan besar dia adalah petugas yang dikirim Cing-liong-hwe untuk mengawasi gerak-gerikmu. Kau merasa kehadirannya merupakan sebuah ancaman bagimu, maka kau gunakan kesempatan ini untuk membunuhnya, kemudian melimpahkan semua kesalahan ini kepadaku."
Kembali Tosu perempuan tertawa, hanya kali ini suara tawanya sedikit dipaksakan. "Sebetulnya perangkap ini merupakan sebuah jebakan yang amat rumit. Kau berencana akan
menyeret semua orang yang ada masuk ke dalam perangkap ini, sayangnya setelah dihitung pulang-pergi, kau masih tetap kekurangan satu hal."
"Hal apa?" tak tahan Tosu perempuan bertanya.
"Perasaan," jawab Toan Giok. "Kau tak memperhitungkan perasaan manusia, karena kau sendiri memang hidup tanpa perasaan."
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Justru karena manusia punya perasaan, maka Lu- kiuya baru mempercayai aku, maka Lu Siau-hun berhasil kuselamatkan, maka Ku-tojin matt demi kau, maka aku pun berhasil mengetahui rahasiamu." Waktu itu, seandainya Lu Kiu bekerja sama dengan Thiat Sui, niscaya Toan Giok sudah tewas dalam ruang perahu.
Lu Siau-hun pun ikut tewas di dalam peti kayu.
Kembali Toan Giok menghela napas, katanya, "Ku-tojin ingin aku mati karena dia tahu aku pun pernah mabuk, maka dia cemburu, sama persis seperti perasaan dia ketika menemukan kau berada bersama Lu siau-hun."
Itulah sebabnya, di saat Lu Siau-hun tak sadarkan diri, ia sempat mendengar suara cekcok Ku- tojin dengan Hoa Ya-lay, apa yang didengarnya memang tak salah.
Dengan tenang Tosu perempuan mendengarkan semua uraian itu, sinar matanya seolah sedang memandang tempat kejauhan, tiba-tiba dia menghela napas panjang.
"Aku memang telah salah memperhitungkan satu hal, hanya saja kau tak pernah akan mengira kesalahan apa yang telah kulakukan."
"0, ya?"
Lagi-lagi Tosu perempuan menghela napas panjang.
"Menyaksikan caramu membayar rekening makan sebesar satu tahil tujuh renceng serta sikapmu yang kasar dan serba salah, sebetulnya kusangka kau hanya seorang telur busuk yang suka mencampuri urusan orang lain."
Tentu saja Toan Giok masih teringat jelas kejadian pada hari itu.
Dia terburu-buru mengeluarkan kantung uangnya, lalu dalam gugup dan tergesa-gesanya karena kurang hati-hati, uang kertas serta daun emasnya terjatuh ke atas geladak. Dalam satu hari saja dia sekaligus telah melanggar empat pantangan besar dari Toan-loyacu.
Bukan saja dia telah membuat onar, dia pun bermusuhan dengan kaum pendeta, memamerkan harta kekayaannya, bahkan berhubungan dengan wanita asing.
Mimpi pun dia tak menyangka kalau gara gara-kejadian itu, bencana dapat berubah jadi keberuntungan.
"Karena kau telah menyinggung peristiwa itu, aku pun jadi teringat akan satu hal." "Soal apa?"
"Masa kau tidak tahu? Kau harus mengembalikan uang kertasku senilai seribu tahil perak."
Lalu setelah tertawa lanjutnya, "Kedua orang itu pasti kaulah yang sengaja mengirim ke sana, tujuannya tak lain agar aku menyangka Thiat Sui adalah Lotoa tempat ini, kau ingin aku beranggapan bahwa Liong-thau Lotoa dan Hoa Ya-lay adalah dua orang yang berbeda."
"Darimana kau bisa tahu?" tak tahan Hoa Ya-lay bertanya.
"Bila anggota Cing-liong-hwe adalah setan bodoh yang begitu ceroboh, perkumpulan naga hijau tak akan menjadi organisasi yang sangat menakutkan."
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Hoa Ya-lay mengembalikan seribu tahil uang kertas itu.
Bukan hanya mengembalikan uang kertas, bahkan dia pun menyerahkan setumpuk daun emas. "Inilah hasil kemenanganmu, jadi kau seharusnya membawanya pergi," kata Hoa Ya-lay.
Kemudian setelah berhenti sejenak, tanyanya, "Sekarang kau masih ada pertanyaan lagi?" "Tidak ada."
"Tidak ada?" tanya Hoa Ya-lay tercengang.
"Walaupun kau ingin mencelakai kami, kenyataannya kami masih tetap hidup. Walaupun kau telah melakukan kesalahan, tak perlu kami yang memberi hukuman kepadamu, karena sidang pengadilan dari Cing-liong-hwe mungkin sudah dipersiapkan untuk mengadili dirimu. Sedangkan mengenai Kiau-losam dan Ong Hui apakah merupakan anak buahmu atau bukan, hal ini sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan diriku."
Setelah tertawa, kembali terusnya, "Biarpun aku suka mencampuri urusan orang, namun urusan yang tak sepantasnya kucampuri, tak akan kucampuri." Inilah perkataan terakhir yang dia katakan.
Lu Siau-hun pun tidak berkata apa-apa, karena ayahnya telah menggenggam tangannya erat- erat.
Mereka semua telah pergi, pergi tanpa berpaling.
Hoa Ya-lay hanya memperhatikan mereka, tubuhnya sama sekali tak bergerak, karena dia tahu, pada hakikatnya dia memang tak punya jalan lagi untuk pergi.
Cahaya rembulan bening bagaikan cermin, permukaan air telaga pun bersih bagaikan cermin, di balik cermin terlihat rembulan nan purnama.
Dengan termangu Hoa Hoa-hong mengawasi rembulan di atas permukaan air, tiba-tiba dia menghela napas panjang. "Hari ini sudah tanggal dua belas."
"Ehm?"
"Sebelum tanggal lima belas bulan empat, kau harus sudah tiba di Po-cu-san-ceng?" "Ehm!"
"Oleh sebab itu besok pagi kau harus berangkat."
Kali ini tiada suara yang muncul dari kerongkongan Toan Giok, tiba-tiba saja ia merasa hatinya kecut, tenggorokannya seolah tersumbat oleh sesuatu benda.
Segulung angin berhembus, menggoyang permukaan air, bulan purnama di atas permukaan pun hancur berantakan. "Apakah kau tetap akan mengantar Bi-giok-to itu ke Po¬cu-san-ceng?" tiba-tiba Hoa Hoa-hong bertanya.
Toan Giok mengangguk.
"Bolehkah aku melihatnya sebentar?" pinta Hoa Hoa hong.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Toan Giok melolos Bi-giok-to itu. Di bawah sinar rembulan, golok itu tampak hijau mulus sehijau permukaan air telaga.
Dengan termangu, Hoa Hoa-hong mengawasi senjata itu, kembali tanyanya, "Apakah golok ini akan menjadi tanda pertunanganmu?"
Toan Giok tidak menjawab, dia tak tega untuk menjawab.
Sebenarnya dia ingin berkata, "Walaupun golok ini akan kugunakan sebagai tanda pertunangan, tapi aku belum tentu berminat dengan pertunangan ini."
Sayang sebelum dia mengucapkan perkataan itu, tiba-tiba Hoa Hoa-hong mengayun tangannya dan melempar Bi-giok-to itu ke tengah telaga.
Golok itu merupakan golok mestika keluarga Toan. Bila sampai hilang, akibatnya tak bisa terbayangkan oleh siapa pun, termasuk Toan Giok sendiri.
Maka tanpa pikir panjang, dia terjun ke dalam air telaga. Dia harus menemukan kembali golok kumala hijau itu. Tentu saja ia tak berhasil menemukannya!
Bila ingin menemukan sebilah Bi-giok-to yang begitu kecil di tengah telaga yang luas, pada hakikatnya sama seperti mencari jarum di tengah samudra. Suatu hal yang tak mungkin terjadi.
Menanti dia muncul kembali di atas permukaan, Hoa Hoa-hong telah lenyap.
Perasaannya saat itu benar-benar amat tersiksa, jauh lebih menderita daripada kehilangan golok kumala hijau warisan leluhurnya.
Karena dia tahu, dalam kehidupan berikutnya, tak mungkin ia dapat bertemu lagi dengan gadis itu.
Di tengah kehidupan masyarakat yang begitu luas, harus pergi kemana mencari gadis itu?
Bukankah hal ini sama sulitnya seperti mencari Bi-giok-to di dasar telaga yang luas?
Angin kembali berhembus, menimbulkan riak-riak di atas permukaan telaga.
*** Sejak semula Toan Hui-him Loyacu telah tiba di Po-cu-san ceng. Bagaimana pun dia merasa tak lega membiarkan putranya pergi seorang diri, apalagi kepergiannya kali ini adalah kepergiannya yang pertama.
Saat itu dia sedang duduk bersanding dengan Cu Gwan, Cu-jiya di ruang utama perkampungan.
Menyaksikan putra kesayangannya ini, selembar wajah yang pada dasarnya sudah kereng dan serius, kini seakan berubah hijau membesi.
"Bukankah aku menyuruh kau menyerahkan Bi-giok-to itu ke tangan Jisiokrnu?" "Benar," Toan Giok tertunduk lesu.
"Bukankah aku telah memberitahu kepadamu, lebih baik kehilangan batok kepala daripada kehilangan Bi-giok-to?" kembali Toan loya menegas.
"Benar!"
"Sekarang dimana golok itu?"
Toan Giok bukan saja tak berani mendongakkan kepala, bahkan bemapas keras pun tak berani.
Paras muka Cu Gwan Cu-jiya jauh lebih lembut dan ramah, segera tanyanya, "Bukankah golok itu selalu berada bersamamu, kenapa mendadak bisa hilang?"
"Aku aku aku memang kurang hati-hati, semua ini merupakan kesalahanku." "Bukan kesalahan orang lain?"
"Bukan."
Cu-jiya menatapnya, sorot mata maupun mimik wajahnya kelihatan sangat aneh. Mendadak ujarnya, "Bukankah kau pemah berkata, seorang lelaki, demi perempuan yang sangat dicintainya, tak segan memikul semua dosa dan kesalahannya?"
Dengan terperanjat Toan Giok mendongakkan kepala, dia benar-benar tak habis mengerti darimana Cu-jiya bisa tahu perkataannya itu.
Cu-jiya tertawa, suara tawanya pun sangat aneh, tiba-tiba tanyanya lagi, "Apakah kau benar- benar menyukainya?"
Sambil berkata, dia menunjuk ke arah seseorang yang baru saja muncul dari belakang ruangan.
Seorang gadis bermata besar dan selalu mengernyitkan hidung sebelum tertawa.
"Hoa Hoa-hong!" hampir saja Toan Giok tak kuasa menahan diri untuk berteriak, dia benar- benar tak menyangka Hoa Hoa-hong bisa muncul di tempat itu.
Tampak Hoa Hoa-hong mengernyitkan hidungnya yang kecil, lalu tertawa lebar, ujarnya, "Kalau Tosu perempuan pun bisa menjadi Hoa Ya-lay, kenapa Hoa Hoa-hong tak bisa menjadi Cu Cu?"
Akhirnya Toan Giok mengerti.
Sekarang dia tahu mengapa Hoa Hoa-hong muncul pada saat yang begitu kebetulan, mengapa dia selalu mencampuri urusannya.
Temyata dia secara pribadi sedang pergi menguji dan memeriksa watak calon suaminya, dia ingin tahu orang macam apakah bakal suaminya itu.
Tapi ada satu hal yang Toan Giok tidak mengerti, maka tanyanya, "Mengapa kau membuang Bi-giok-to itu ke dalam telaga?"
Temyata Bi-giok-to tidak berada dalam telaga, tapi masih berada dalam genggaman Cu Cu.
Ternyata golok yang dibuangnya adalah golok palsu. Kontan saja Toan Giok menghela napas panjang, ujarnya sambil tertawa getir, "Mengapa kau harus membuat aku pa nik?"
"Karena aku sedang minum cuka," sahut Cu Cu cemberu t. "Minum cuka siapa?"
"Tentu saja minum cukaku sendiri."
Temyata Cu Cu sedang minum cuka Hoa Hoa-hong, Hoa Hoa-hong pun sedang minum cuka Cu Cu. Kalau sudah begini, bagaimana caramu menyelesaikan hutang-piutang ini? Toan Giok telah menjadi seorang Enghiong yang amat tersohor di wilayah Kanglam, bahkan sudah menikah dengan Cu Cu.
Namun perasaan Toan-loyacu tetap uring-uringan. Setiap hari dia bermuram-durja, bahkan seringkali menghela napas seorang diri.
Tentu saja semua orang merasa keheranan, begitu juga dengan Cu-jiya.
"Aku benar-benar tak habis mengerti, persoalan apakah yang sebenarnya membuat hatimu tak suka?"
"Hanya ada satu hal," jawab Toan Hui-him.
"Kalau begitu cepat katakan, aku benar-benar ingin tahu."
Toan Hui-him menghela napas panjang, katanya, "Sewaktu Toan Giok akan meninggalkan rumah, aku telah memberi tujuh pantangan besar kepadanya, minta dia jangan melanggar ketujuh pantangan itu, tapi kenyataannya dia telah melanggar semua pantangan itu!"
"Tapi aku lihat dia sama sekali tak menderita kerugian, juga tak dipusingkan masalah yang pelik, bahkan karena itu dia berhasil menyingkap rahasia Cing-liong-hwe yang berniat mencelakainya dan mempunyai banyak teman."
Setelah tersenyum kembali, ujarnya, "Lagi pula bila dia tidak berbuat begitu, belum tentu putriku mau menikah dengannya semudah itu."
Toan Hui-him tetap menghela napas, katanya, "Justru karena itu maka aku merasa tak suka!" "Kenapa?" Cu-jiya semakin tak mengerti.
"Coba bayangkan, aku menyuruh dia tidak melakukan hal-hal itu, tapi dia telah melanggar semuanya. Gara-gara itu bukan saja dari bencana dia jadi mujur, bahkan telah menjadi seorang Enghiong besar dan menikahi seorang gadis cantik."
Dia menggeleng kepala berulang kali, terusnya sambil menghela napas panjang, "Coba bayangkan sendiri, apakah selanjutnya dia mau menuruti semua perkataanku?"
Cu-jiya kembali tertawa, tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, bila lantaran persoalan ini kau jadi tak suka, maka tindakanmu itu keliru besar!"
"Aku salah? Aku salah? Kau malah mengatakan aku salah?" Toan-loyacu gusar.
"Ada orang yang sejak lahir sudah pemberani, ada orang yang sejak lahir sudah pintar, Iincah dan cekatan, tapi tak ada yang bisa menandingi orang yang sejak lahir sudah mujur. Putramu adalah orang yang mujur sejak lahir, oleh karena itu selama hidup dia pasti akan lebih gembira dan bahagia daripada orang lain, apalagi yang membuatmu tak gembira?"
Oleh karena itu senjata yang dimaksud bukanlah Bi-giok¬jit-seng-to, tapi kejujuran. Hanya orang yang jujur baru memiliki nasib mujur!
Nasib Toan Giok mujur, karena dia belum pernah membohongi seorang pun, juga belum pemah berbohong satu kali pun, kendati di saat sedang berjudi.
Oleh karena itu dia dapat mengalahkan Cing-liong-hwe. Keberhasilannya bukan lantaran dia memiliki Bi-giok-jit-seng-to, melainkan karena dia memiliki kejujuran.
TAMAT