Golok Kumala Hijau Bag 07 : Memancing naga hijau di bawah sinar rembulan.

Bag 07 : Memancing naga hijau di bawah sinar rembulan.

Tidak banyak manusia yang pernah dimasukkan ke dalam peti, lebih sedikit lagi yang bisa lobos dan peti dalam keadaan selamat. Orang itu dapat bertemu Toan Giok, boleh dibilang merupakan nasib mujurnya.

Sekarang ia sudah bisa duduk, tapi sepasang matanya sedang mengawasi kertas pengumuman di meja dengan mata melotot.

Paras muka Hoa Hoa-hong ikut berubah, tapi Toan Giok masih tersenyum, malah tanyanya, "Menurut kau, apakah dia mirip seorang pembunuh?"

"Tidak mirip!" jawab orang itu. Akhimya orang itu buka suara juga!

Tampaknya Toan Giok semakin kegirangan, lagi-lagi ujarnya sambil tertawa, "Aku pun merasa tidak mirip."

"Orang lain menuduh dia membunuh siapa?" tiba-tiba orang itu bertanya lagi.

"Seseorang yang sama sekali belum pernah dijumpainya, orang itu she Lu bemama Siau-hun."

"Padahal Lu Siau-hun bukan mati dibunuh olehnya."

"Tentu saja bukan," sahut Toan Giok sambil tertawa getir. "Akan tetapi bila ada sepuluh orang mengatakan kau telah membunuh orang, maka secara tiba-tiba kau pun akan berubah menjadi seorang pembunuh."

Perlahan-lahan orang itu mengangguk.

"Aku bisa merasakan bagaimana rasanya menerima tuduhan semacam itu, karena aku pun pernah dimasukkan orang ke dalam peti," katanya.

"Tapi sekarang kau berhasil lobos dari dalam peti dan dialah yang telah menyelamatkan jiwamu," tak tahan Hoa Hoa-hong menimbrung.

Sekali lagi orang itu mengangguk, mengangguk perlahan.

"Oleh karena itu, meski kau tak berdaya menyelamatkan dirinya, paling tidak kau pun tidak seharusnya menginginkan lima ribu tahil perak itu," kata Hoa Hoa-hong lagi.

Tiba-tiba terlintas perasaan pedih dan menderita di wajah orang itu, sahutnya dengan sedih, "Aku memang tak mampu menyelamatkan dia, sekarang aku hanya ingin minum arak."

"Oh, jadi kau pun pandai minum arak?" tegur Toan Giok sambil tertawa.

Orang itu tertawa, senyumannya amat getir, sahutnya, "Buat orang yang pernah dimasukkan ke dalam peti, paling tidak dia pasti pandai minum."

Ternyata arak yang diteguknya tidak sedikit.

Kenyataan dia minum arak begitu cepat dan banyak, cawan demi cawan sambung menyambung. Pada hakikatnya dia tak pernah berhenti meneguk.

Semakin banyak yang diteguk, semakin pucat paras mukanya, mimik penderitaan pun makin lama semakin menebal.

Toan Giok memandangnya sekejap, kemudian setelah menghela napas, katanya, "Aku tahu, kau ingin sekali membantu diriku, namun sekalipun kau tak bisa membantu pun tak perlu sedih dan menderita, karena sekarang memang tak ada orang yang bisa menyelamatkan aku dari dalam peti besar."

Mendadak orang itu mendongakkan kepala dan menatap pemuda itu, tanyanya, "Bagaimana rencanamu?"

"Mungkin saja saat ini tinggal sebuah jalan yang dapat kutempuh," jawab Toan Giok setelah berpikir sejenak.

"Jalan yang mana?"

"Temukan dahulu Hoa Ya-lay, sebab hanya dia seorang yang dapat membuktikan kalau kemarin malam aku memang berada di dalam rumah itu. Siapa tahu hanya dia pula yang tahu siapakah pembunuh Lu Siau-hun yang sebenarnya."

"Kenapa?" tanya orang itu.

"Sebab hanya dia pula yang tahu jejak Lu Siau-hun selama beberapa hari belakangan ini." "Atas dasar apa kau berkata begitu?"

"Selama beberapa hari ini Lu Siau-hun pasti berada bersamanya, karena itu untaian mutiara serta lencana Giok-pay dari keluarga Lu terjatuh ke tangannya."

"Kau dapat menemukan dirinya?" tanya orang itu. "Hanya ada satu cara bila ingin menemukan dirinya." "Cara apa?"

"Dia bagaikan seekor ikan. Bila ingin memancing ikan besar, kau harus menyiapkan dulu umpannya."

"Kau hendak menggunakan apa sebagai umpan?" "Menggunakan diriku sendiri!"

"Menggunakan dirimu sendiri? Tidak kuatir tertelan olehnya?" tanya orang itu dengan kening berkerut.

Toan Giok tertawa getir.

"Kalau sudah dimasukkan ke dalam peti besar, apa bedanya dimasukkan ke dalam perut ikan?" katanya.

Orang itu termenung, kembali dia habiskan tiga cawan arak, kemudian baru ujamya, "Padaha] tidak seharusnya kau ucapkan perkataan itu kepadaku, karena aku tak lebih hanya seorang asing. Kau sama sekali tidak mengetahui asal-usulku."

"Tapi aku mempercayaimu!"

Orang itu segera mendongakkan kepala. Dan balik matanya yang sayu segera terpancar perasaan terharu dan terima kasihnya.

Bila tanpa sengaja kau menyelamatkan seseorang, hal semacam ini bukanlah suatu kejadian yang mengharukan, tapi bila kau dapat memahami perasaannya, dapat mempercayainya, maka hal ini jelas berbeda sekali.

Tapi bila secara kebetulan Toan-loyacu berada di situ, dia pasti akan marah besar.

Sebab Toan Giok kembali melupakan nasehat dan pesannya, "Jangan bersahabat dengan seorang asing yang tak jelas asal-usulnya".

Tiba-tiba Toan Giok membalikkan tubuh, mengambil sebuah cawan arak dari sisi jendela.

Dalam cawan itu tak ada arak, hanya ada sebuah benda yang berkilat tajam, bentuknya mirip kait ikan, tapi di atas kait masih tersisa noda darah yang belum mengering.

"Inilah senjata rahasia yang berhasil kukorek keluar dari tubuhmu," ujar Toan Giok kemudian. "Tak ada salahnya kau simpan sebagai kenang-kenangan."

"Kenang-kenangan apa?"

"Kenang-kenangan untuk pelajaran kali ini," sahut Toan Giok sambil tertawa, "agar di kemudian hari tidak membiarkan orang lain membokongmu dari belakang, atau paling tidak memperkecil peluangnya untuk berbuat demikian."

Orang itu masih meneguk arak tiada hentinya, jangankan menerimanya, berpaling untuk melihat sekejap pun malas.

"Kau tak ingin melihat senjata rahasia macam apakah ini?" tanya Toan Giok. Dengan malas orang itu mendongakkan kepala dan memandang sekejap. "Kelihatannya mirip sebuah pancing ikan."

"Ya, memang agak mirip," sahut Toan Giok sambil tertawa.

Tiba-tiba orang itu ikut tertawa, ujarnya, "Oleh sebab itu tak ada salahnya memakai kail itu untuk memancing ikan."

"Memangnya benda ini bisa dipakai untuk mengail ikan?"

"Bukan hanya bisa mengail ikan, terkadang malah bisa memancing seekor naga besar." Toan Giok mulai tertawa, dia menganggap orang itu sudah mulai mabuk. Namun orang itu kembali berkata, "Di dalam air bukan saja ada ikan, juga ada naga. Ada naga besar, juga ada naga kecil, ada naga betulan, ada juga naga gadungan, ada naga putih, naga merah, bahkan naga hijau."

"Naga hijau?"

"Naga hijau adalah sejenis naga yang paling susah dihadapi. Bila kau ingin memancing naga hijau, lebih baik pergilah pada malam ini, karena malam ini adalah malam bulan dua tangggal dua, saat naga mendongakkan kepala."

Dia memang sudah mabuk, karena semua perkataannya adalah kata-kata orang mabuk.

Hari ini jelas sudah lewat bulan tiga, kenapa dia mengatakan masih bulan dua tanggal dua saat naga mendongakkan kepala?

Kini dia tak bisa lagi mengangkat kepala, kemudian bukan saja mulutnya tak bisa bicara lagi, tangannya gemetar, mendadak cawan dalam genggamannya terjatuh ke tanah, jatuh dan hancur berantakan.

"Ah, ternyata dia adalah orang macam begini," seru Hoa Hoa-hong tak tahan untuk tertawa. "Tak heran ia dimasukkan orang ke dalam peti besar."

Namun Toan Giok tidak menjawab, dia hanya mengawasi mata kail dalam cawan dengan termangu, dia seolah tidak mendengar apa yang barusan dikatakan gadis itu.

Bakpao buatan rumah makan Yu-it-cun memang amat tersohor. Oleh sebab itu harganya sedikit lebih mahal daripada bakpao buatan tempat lain, selain rasanya memang luar biasa lezat, tak pernah ada pembeli yang protes ataupun menggerutu. Tapi bila dimakan setelah bakpaonya dingin, rasanya jadi tak keruan, bahkan terkadang jauh lebih tak enak ketimbang bakpao hangat buatan tempat lain.

Toan Giok sedang mengunyah bakpao dingin, tiba-tiba ia menemukan sebuah teori yang dulunya belum pernah terpikir olehnya.

Dia menganggap tak ada kejadian yang "pasti" di dunia ini. Kalau memang tak ada bakpao yang "pasti" enak, berarti tak ada pula bakpao yang "pasti" tak enak. Enak tidaknya sebiji bakpao tergantung pada saat apa kau memakannya dan berada dimana.

Sebuah benda yang sama, bila berganti waktu atau dipandang dan sudut yang berbeda, kemungkinan besar akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.

Oleh sebab itu bila kau ingin mencari tahu duduk persoalan yang sebenarnya dari suatu masalah, cobalah memandang dan menganalisa dan sudut pandang yang berbeda.

Paling baik bila satu per satu dipilah dan diurai sebelum satu per satu disambung dan disatukan kembali.

Tampaknya teori ini telah memberi banyak masukan dan petunjuk bagi Toan Giok, dia seakan- akan terpesona, saking kesemsemnya sampai bakpao yang sudah dikunyah dalam mulut pun lupa ditelan.

Pintu di seberang sana dilapisi sebuah tirai kain, tirai itu bersulamkan sebuah lukisan bunga di malam musim semi.

Hoa Hoa-hong telah berjalan masuk ke dalam, tampaknya ruangan itu adalah kamar tidurnya.

Lelaki asing yang keluar dari dalam peti itu telah dipapah Toan Giok untuk dibaringkan dalam sebuah ruangan lain.

Tampaknya dia mabuk berat. Saat ini dalam keadaan tak sadarkan diri. Takaran arak tidak selalu menunjukkan kemampuan minum seseorang.

Sekalipun kondisi tubuhmu kuat, bila pikiran dan perasaanmu sedang kalut, sedikit saja minum arak, kadangkala sudah cukup membuat dirimu mabuk. Toan Giok menghela napas, dia memenuhi cawan sendiri dengan arak. Rencananya sehabis minum secawan, dia akanpergi memancing ikan.

Siapa tahu ia benar-benar berhasil mendapatkan seekor naga, bukankah tak ada kejadian yang tak mungkin di dunia ini? Pada saat itulah dari balik tirai kamar muncul sebuah tangan.

Tangan yang halus dan lembut, sedang menggapainya agar dia masuk ke dalam. Mana boleh seorang lelaki sembarangan masuk ke kamar tidur seorang gadis?

Toan Giok agak sangsi. "Ada apa?" tanyanya. Tiada jawaban.

Tiada jawaban terkadang merupakan jawaban yang paling baik.

Meski dalam hati kecilnya Toan Giok masih penuh diliputi kesangsian, namun sepasang kakinya telah bangkit dan berjalan menghampiri ruang kamar itu.

Pintu berada dalam keadaan terbuka, bau harum semerbak terendus dan balik ruangan, menyusul di atas ranjang berkelambu teronggok beberapa stel pakaian, salah satu di antaranya adalah pakaian yang baru saja dikenakan Hoa Hoa hong.

Jelas baru saja dia mencoba beberapa stel pakaian sebelum akhirnya memutuskan mengenakan salah satu di antaranya.

Tapi sekarang dia telah melucuti kembali pakaiannya dan berganti dengan satu stel pakaian hitam yang sangat ketat, rambutnya dibungkus pula dengan kain hitam, dandanannya sekarang tak berbeda dengan dandanan bandit wanita yang siap melakukan pencurian.

"Eh, apa yang hendak kau lakukan?" tegur Toan Giok dengan kening berkerut.

Hoa Hoa-hong berputar beberapa kali di depannya, kemudian bertanya, "Menurutmu, aku mirip orang yang mau kemana?"

"Kau lebih mirip bandit wanita."

Hoa Hoa-hong segera tertawa, tertawa manis.

"Jika bandit wanita pergi bersama seorang pembunuh, orang yang melihatnya pasti akan gempar."

"Jadi kau hendak mengajak aku keluar?"

"Kalau tidak keluar, buat apa aku mesti mengenakan pakaian macam begini?" "Tapi aku hanya ingin pergi memancing ikan."

"Kalau begitu kita pergi memancing ikan."

"Kau tak boleh ikut," cegah Toan Giok. "Kenapa?"

"Orang yang memancing ikan terkadang bisa juga dilarikan ikan yang hendak dipancing, kau tidak kuatir ditelan ikan besar?"

"Baguslah kalau begitu, setiap hari aku makan ikan, apa salahnya kalau sekali-kali aku merasakan dimakan ikan?"

"Kau sangka aku sedang bergurau? Tahukah kau betapa berbahayanya masalah ini?"

"Kalau aku tidak melihatnya, lantas buat apa mesti pergi menemanimu?" jawab Hoa Hoa-hong santai.

Biarpun jawaban itu disampaikan amat ringan dan tanpa beban, namun dari sorot matanya dapat terlihat betapa perhatian dan rasa kuatirnya atas keselamatan Toan Giok, bahkan dia menunjukkan pula sikap dan tekadnya untuk mati-hidup, gembira-susah bersama anak muda itu.

Luapan perasaan semacam ini seharusnya bisa dirasakan setiap pria yang mendengamya, kendatipun dia adalah manusia yang terbuat dari balok kayu.

Toan Giok bukan manusia yang terbuat dari balok kayu, perasaan hatinya telah berubah menjadi segumpal bola gula yang tercebur ke dalam air. Tampaknya ia sudah tak berani memandangnya lebih Ianjut, kini dia alihkan sorot matanya mengawasi gaun hijau apel yang tergeletak di atas ranjang.

"Pakaianmu ini sungguh indah," katanya.

Hoa Hoa-hong mengerlingnya sekejap, tak tahan serunya sambil tertawa, "Apakah kau tidak merasa, sejak tadi aku sedang menunggu perkataanmu itu? Apakah perkataanmu sekarang tidak kelewat terlambat untuk disampaikan?"

Toan Giok pun tak tahan ikut tertawa.

"Disampaikan sedikit terlambat jauh lebih mendingan daripada sama sekali tidak dikatakan, bukan begitu?"

Kembali Hoa Hoa-hong tersenyum, ia membalikkan badan dan segera menutup pintu kamar. Bukankah sudah siap pergi dari situ? Mengapa secara tiba-tiba ia menutup pintu kamar?

Tiba-tiba jantung Toan Giok mulai berdebar, berdebar kencang sekali. Kini Hoa Hoa-hong telah mengunci pintu kamar tidurnya..

Jantung Toan Giok berdebar begitu keras hingga nyaris melompat keluar dari rongga dadanya.

Sejak kecil hingga dewasa, belum pernah ia jumpai situasi seperti ini.

Apakah dia benar-benar tak tahu bagaimana harus bersikap?

Hoa Hoa-hong telah membalikkan badan, ujarnya sambil tersenyum, "Sekarang, biarpun orang yang berada di kamar sebelah mendusin pun, dia tak bakal tahu apa yang sedang kita lakukan."

Senyumannya tampak sangat manis, sangat indah menawan.

Merah padam wajah Toan Giok, tanyanya agak tergagap, "Apa yang hendak kita lakukan?"

"Bukankah kau mengatakan akan pergi memancing ikan?" "Masa memancing ikan dalam kamar?"

Hoa Hoa-hong tertawa cekikikan, tiba-tiba saja paras mukanya berubah merah padam. Akhirnya dia mengerti juga apa yang sedang dipikirkan Toan Giok.

Apalagi bagi muda-mudi yang mulai menginjak dewasa.

Hoa Hoa-hong menyerahkan sebuah dayung kepada Toan Giok.

Tanpa bicara Toan Giok menerima dayung itu dan duduk di sampingnya, maka dua buah dayung pun mulai mendayung di atas permukaan air, mendayung bersama.

Di bawah cahaya rembulan, butiran air yang gemercik tampak bagaikan perak yang berserakan.

Air telaga telah pecah, pecah menjadi pusaran air yang melingkar, lingkaran demi lingkaran membentur pusaran yang lembut.

Siapakah yang sedang meniup seruling di kejauhan sana?

Mereka menikmati suara seruling itu dengan tenang, mendengarkan suara dayung-mereka dengan seksama.

Ternyata suara dayung terdengar jauh Iebih merdi , daripada suara seruling, Iebih berirama, dua pasang tangan seakan telah berubah menjadi satu tubuh.

Mereka berdua tak ada yang bicara.

Tapi kedua orang itu dapat merasakan, belum pernah mereka seakrab dan serapat ini dengan orang lain.

Bila dua hati telah tertaut menjadi satu, buat apa banyak bicara?

Entah berapa lama sudah lewat, akhimya Toan Giok menghela napas sambil berkata, "Betapa nikmatnya bila aku tidak direcoki berbagai persoalan yang memusingkan kepala."

Hoa Hoa-hong tidak langsung menjawab, dia termenung sampai lama sekali sebelum menyahut, "Bila tiada berbagai kesulitan yang menimpa dirimu, di atas perahu sekarang tiada kau, juga tak akan ada aku." Toan Giok menatap wajahnya, begitu pula gadis itu pun menatap Toan Giok, tangan mereka telah dijulurkan ke depan saling bersentuhan, tapi dengan cepat ditarik kembali. Meski hanya sentuhan yang amat singkat, namun jauh lebih berarti daripada beribu patah kata.

Sampan kecil telah merapat ke tepian.

Pohon Liu tumbuh rimbun sepanjang pantai. Di sinilah Toan Giok bertemu dengan Kiau-losam.

Sambil meletakkan dayungnya, kata Hoa Hoa-hong, "Kau minta aku membawamu kemari, apa yang harus kita lakukan sekarang?

"Sekarang kita mendarat, aku ingin melakukan pencarian sekali lagi." "Menyatroni rumah itu?"

"Aku tetap tak percaya telah mendatangi tempat yang salah”

"Di dunia ini banyak terdapat orang yang salah mengetuk pintu, karena mereka pun tidak percaya kalau dirinya telah mendatangi tempat yang salah."

"Itulah sebabnya aku harus mencarinya sekali lagi."

Kali ini dia bertindak lebih hati-hati, nyaris setiap sudut rumah dan tempat diperiksa dan diamati cukup lama.

Beruntung malam kelam, tiada orang yang menyaksikan perbuatan mereka. Kalau tidak, sudah pasti perbuatannya akan dianggap sebagai usaha begal akan mencuri atau merampok.

Cukup lama mereka berdua melakukan pencarian dan penggeledahan, sudah

puluhan rumah disatroni. Kesimpulan terakhir, tempat yang didatangi Toan Giok siang hari tadi memang tidak salah.

"Apakah tempat ini yang kau datangi bersama Ku-tojin sekalian pada siang tadi?" tanya Hoa Hoa-hong.

Toan Giok manggut-manggut.

"Tempat ini juga rumah yang kau datangi bersama Hoa Ya-lay pada kemarin malam?" "Rasanya tak mungkin salah."

"Lalu mengapa Thiat Sui bisa muncul di sini? Bahkan sudah menempatinya cukup lama?" "Inilah persoalan pertama yang harus kuselidiki hingga tuntas."

Dalam halaman tiada cahaya lentera, juga tak terdengar suara apa pun. "Kau ingin masuk ke dalam?" tanya Hoa Hoa-hong.

"Kalau tidak masuk, bagaimana bisa menyelidiki hingga jelas?"

Hoa Hoa-hong menghela napas panjang, bisiknya, "Tapi kali ini bila kau tertangkap Thiat Sui lagi, aku tak akan mampu membebaskan dirimu."

"Oleh karena itu jangan sekali-kali kau ikuti aku masuk ke dalam." Hoa Hoa-hong tertawa, dia hanya tertawa dan tidak berkata apa -apa.

Toan Giok sendiri pun tak berdaya untuk bicara lebih jauh, sebab gadis itu sudah masuk lebih dulu, ternyata ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya terhitung cukup Iihai.

Suasana di dalam halaman gedung amat sepi, bunga-bunga mawar yang berada di bawah cahaya rembulan meski tidak sesegar siang hari, namun terlihat lebih lembut dan menggoda.

Setelah berada di situ, mereka baru tahu bahwa dalam ruangan terlihat ada secercah cahaya lentera.

Cahaya lentera yang redup memancar dari balik jendela, membiaskan bayangan tiga pot bunga yang berada di atasnya. Sambil merendahkan suaranya, Toan Giok berbisik, "Dalam ruangan itulah kemarin malam aku tidur."

"Hoa Ya-lay?"

"Dia pun berada di sana."

Begitu ucapan itu diutarakan, pemuda itu segera sadar kalau dirinya telah salah bicara. Seketika itu juga paras muka Hoa Hoa-hong berubah bagaikan wajah tukang tagih hutang.

Sambil tertawa dingin, ejeknya, "Hm, kalau begitu, nikmat benar tidurmu semalam." Merah padam wajah Toan Giok.

"Aku aku "

"Kalau kau sudah merasakan kenikmatan, apa salahnya sekarang merasakan sedikit penderitaan?" teriak Hoa Hoa-hong dengan suara keras.

Dia seolah lupa kalau saat ini masih berada dalam halaman rumah orang lain, dia pun seperti lupa apa maksud kedatangannya.

Konon bila seorang perempuan sedang minum cuka (cemburu), biar kaisar pun tidak dipedulikan, apalagi hanya Toan Giok.

Dalam keadaan begini, Toan Giok hanya bisa tertawa getir, hatinya panik bercampur gelisah.

Siapa sangka sama sekali tiada gerakan apa pun dari dalam ruangan itu, seakan-akan penghuninya sudah terlelap seperti babi mampus.

Terlepas mau dipandang dari sudut mana pun, mustahil Thiat Sui bisa tertidur begitu nyenyak seperti babi mampus.

Beda dengan Hoa Ya-Iay, konon perempuan jalang biasanya amat gemar tidur. Apakah malam ini dia tidak berada di sini? Mungkinkah Hoa Ya-lay telah balik kemari?

Sambil menggigit bibir, Hoa Hoa-hong merangsek maju, kemudian dengan kuku jarinya ia lubangi kertas jendela.

Perempuan ini memang tak punya bakat menjadi pencuri, dia tak tahu membasahi jari tangannya lebih dulu dengan air ludah hingga ketika merobek kertas jendela tak menimbulkan suara.

"Kres!", dengan cepat dia telah membuat sebuah lubang besar di kertas jendela.

Kini paras muka Toan Giok telah berubah sedikit pucat. Siapa tahu dari dalam ruangan tetap tak terdengar sedikit suara pun.

Mungkinkah ruangan itu tanpa penghuni? Ternyata benar, rumah itu memang kosong tanpa penghuni.

Bukan saja tanpa penghuni, bahkan semua barang yang berada dalam ruangan itu pun telah dipindah keluar, kini rumah itu telah berubah menjadi sebuah rumah kosong, hanya tersisa tiga buah pot bunga di luar jendela yang lupa dibawa pergi.

Toan Giok tertegun, begitu juga dengan Hoa Hoa-hong.

Lama sekali kedua orang itu berdiri termangu-mangu, akhirnya Hoa Hoa-hong berkata, "Mungkin bukan tempat ini yang kau datangi siang tadi."

Toan Giok manggut-manggut.

"Sepeninggalmu, Hoa Ya-lay pasti takut kau datang lagi mencarinya, maka cepat ia pindah dari sini," kata Hoa Hoa-hong lagi.

"Lalu dimanakah letak rumah yang kudatangi siang tadi?" tanya Toan Giok ragu-ragu. "Mungkin saja berada di seputar sini, tapi sekarang kau pun gagal menemukannya kembali."

Toan Giok menghela napas, ujarnya sambil tertawa getir, "Mungkin aku telah bertemu setan hidup."

"Hm, kau memang telah bertemu setan, bahkan setan perempuan," ejek Hoa Hoa-hong sambil tertawa dingin.

Toan Giok tak berani menjawab dan beruntung dia tidak menjawab lagi.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara suitan yang sangat aneh berkumandang dari luar sana. Biasanya suara suitan semacam ini merupakan kode rahasia bagi mereka yang sedang melakukan perjalanan malam. Benar saja, di luar sana terdapat orang yang sedang melakukan perjalanan malam, terdengar ada dua ora ng sedang bercakap-cakap di luar sana.

"Kau yakin di sini tempatnya?"

"Tak mungkin salah, aku baru saja kemari satu bulan berselang." "Tapi mengapa tak ada orang yang keluar dari rumah itu?" "Mungkin saja sudah tertidur."

"Sekalipun sudah tidur, masa mereka tidur seperti orang mati?" "Jago silat mana yang berani mencari gara-gara di sini?

Orang yang sudah terbiasa hidup tenang, biasanya akan tidur jauh lebih nyenyak." "Tapi "

"Bagaimana pun juga aku tak bakal salah tempat. Ayo, lebih baik kita masuk dulu." "Masuk begitu saja?"

"Kita adalah orang sendiri, apa yang mesti ditakuti?" Biarpun ucapan itu muncul dari luar dinding pekarangan,

namun di tengah malam yang hening dapat terdengar sangat jelas. Toan Giok segera memandang Hoa Hoa-hong sekejap,

kemudian bisiknya, "Kelihatannya kedua orang itu adalah sahabat pemilik rumah ini."

"Oleh sebab itu kita harus menanyai mereka. Paling tidak harus tahu siapa sebenarnya tuan rumah tempat ini."

Tidak menunggu persetujuan dari Toan Giok, ia sudah melompat keluar lewat jendela.

Kebetulan kedua orang di luar itu sedang melompat

masuk melalui tembok pekarangan; ternyata mereka berdua

sama-sama mengenakan pakaian ringkas. Jelas merupakan jago silat yang sedang menempuh perjalanan malam.

Begitu bertemu Hoa Hoa-hong, kedua orang itu segera membalikkan sebelah tangan menghadap langit sementara jari

tangan yang lain menuding ke bumi, memperagakan sebuah gerakan yang aneh sekali.

Temyata Hoa Hoa-hong segera memperlihatkan pula gerakan tangan yang aneh.

Menyusul terdengar kedua orang itu mengajukan sebuah

pertanyaan yang sangat aneh, "Hari ini bulan berapa tanggal berapa?" Hoa Hoa-hong memutar biji matanya, lalu menjawab,

"Bulan dua tanggal dua."

Kedua orang itu segera menghembuskan napas lega,

sekulum senyuman pun tersungging di ujung bibirnya, serentak mereka menjura sambil memberi hormat.

Salah seorang di antaranya yang berperawakan tinggi

segera menjura sambil berkata, "Siaute Ciu Lim adalah bulan tiga tanggal tiga, sedang menjalankan tugas menuju kota Tin-kang. Karena kebetulan lewat di sini, maka kami sengaja datang berkunjung."

"Bagus, bagus!"

"Apakah Liong-lotoa sudah tidur?" kembali Ciu Lim bertanya.

"Dia sedang keluar daerah karena ada urusan. Bila kalian berdua ada masalah, katakan saja kepadaku."

Ciu Lim kelihatan agak sangsi, tapi kemudian katanya sambil tertawa paksa, "Kebetulan nasib kami kurang mujur, waktu tiba di sini kami kehabisan bekal. Sudah lama kami dengar Liong-lotoa sangat memperhatikan saudara sendiri, oleh sebab itu kami bermaksud mencari sedikit sangu untuk melanjutkan perjalanan." Hoa Hoa-hong segera tertawa tergelak.

"Kita memang orang sendiri. Bila kalian tidak mampir dan sampai ketahuan Liong-lotoa, dia justru akan marah."

Ciu Lim ikut tertawa.

"Seandainya kami tidak tahu kalau Liong-lotoa sangat royal, tak nanti berani datang mengganggu."

Hoa Hoa-hong segera berpaling. Sambil menggapai ke arah Toan Giok yang berada dalam ruangan, katanya, "Ambilkan lima ratus tahil perak dan berikan kepada dua Toako ini untuk sangu."

"Baik," jawab Toan Giok cepat.

Dia terpaksa melompat keluar dan jendela. Baru saja akan mengambil lima lembar uang kertas dari sepuluh lembar yang dikeluarkan dari dalam saku, Hoa Hoa-hong telah merampasnya dan berkata sambil tertawa, "Sedikit hadiah, silakan Toako menerimanya."

Dengan wajah berseri-seri Ciu Lim menerima lernbaran uang itu sambil berulang kali mengucapkan terima kasih.

"Sungguh tak disangka nona Hoa jauh lebih royal daripada Liong-lotoa." "Ah, terhadap orang sendiri kenapa mesti pelit?" Ciu Lim tertawa.

"Sudah lama kami dengar nama besar nona Hoa, sungguh beruntung hari ini kami bisa bertemu."

"Bila kalian tidak terburu-buru, bagaimana kalau tinggal barang dua hari di sini sambil menunggu kedatangan Liong-lotoa?"

"Kami tak berani mengganggu, lagi pula kami berdua harus segera kembali untuk memberi laporan. Bila Liong-lotoa kembali, tolong sampaikan salam kami kepadanya, katakan saja kami bulan tiga tanggal tiga mengucapkan terima kasih

padanya, semoga semua usahanya lancar dan cepat punya anak."

Hoa Hoa-hong tertawa tergelak, sahutnya, "Aku pun berharap Ciu-toako mendapat nasib mujur, sekali lempar dadu langsung memperoleh angka empa lima enam."

Ciu Lim tertawa tergelak. Kedua orang itu mengucapkan terima kasihnya berulang kali, bahkan setelah beranjak pergi pun masih memuji tiada hentinya kalau nona Hoa sangat royal.

"Sekarang meski dia belum lama bergabung dengan perkumpulan, tapi suatu hari nanti dia pasti bisa naik menjadi Tongcu. Sungguh beruntung bila kita bersaudara dapat bekerja di bawah perintahnya."

Menanti suara mereka sudah pergi jauh, Toan Giok baru menghela napas panjang, ujarnya sambil tertawa getir, "Kau memang benar-benar royal! Sekali menyumbang, seluruh harta kekayaanku sudah kau berikan orang hingga ludes."

"Ah, bukankah kau masih memiliki sepuluh laksa tahil perak hasil menang judi yang masih dititipkan di warung arak Ku-tojin?"

"Darimana kau bisa tahu kalau dalam sakuku selalu tersedia uang perak?"

Hoa Hoa-hong tertawa.

"Ketika berada di atas perahu Hoa Ya-lay tempo hari, kau sempat memperlihatkan harta kekayaanmu. Tidak sekalian kuberikan daun emasmu kepada mereka pun sudah terhitung cukup sungkan terhadapmu."

Toan Giok tertawa getir.

"Harta kekayaan tak boleh diperlihatkan orang, ternyata perkataan ini memang tepat sekali," keluhnya. Setelah menghela napas panjang, tak tahan kembali tanyanya, "Tapi hingga sekarang aku tetap tak habis mengerti, sebenamya apa yang telah terjadi?"

Tiba-tiba paras muka Hoa Hoa-hong berubah jadi series, katanya, "Pernahkah kau mendengar tentang Cing-liong-hwe (Perkumpulan Naga hijau)?"

Tentu saja Toan Giok pernah mendengamya. Belakangan ini ketiga huruf itu sudah berubah menjadi semacam mantera setan yang paling misterius dalam dunia persilatan, nama itu seolah sudah berubah menjadi semacam kekuatan. Bisa membuat orang mati, juga bisa membuat orang hidup.

Kembali Hoa Hoa-hong menerangkan, "Konon Cing¬liong-hwe memiliki tiga ratus enam puluh lima kantor cabang, kebetulan sehari terdiri dari tiga ratus enam puluh lima hari, maka begitu mereka bertanya kepadaku hari ini bulan berapa tanggal berapa, aku segera teringat perkataan saudara yang baru keluar dari dalam peti besar itu."

Berkilat mata Toan Giok, ujarnya, "Ya, betul. Dia bilang dalarn telaga terdapat naga, dia pun bilang hari ini adalah bulan dua tanggal dua."

"Waktu itu aku pun merasa perkataannya sangat aneh. Di balik ucapan itu pasti mengandung makna yang dalam."

"Oleh sebab itu kau mengatakan kalau hari ini adalah bulan dua tanggal dua?" Hoa Hoa-hong tertawa.

"Padahal aku sendiri pun hanya bermaksud mencoba-coba, siapa sangka apa yang kulakukan ternyata benar dan tepat sasaran."

"Jadi menurutmu, mereka adalah anggota perkumpulan Cing-liong-hwe?" "Tentu saja."

"Dan tempat ini merupakan kantor cabang rahasia Cing liong-hwe?"

"Pemilik tempat ini adalah bulan dua tanggal dua, kantor cabang Cing-liong-hwe. Rasanya mereka menggunakan tanggal dan bulan sebagai pengganti nama cabang rahasia mereka."

Berkilat sepasang mata Toan Giok.

"Jangan-jangan si Raja pendeta Thiat Sui adalah Liong¬lotoa tempat ini?" "Besar kemungkinan memang begitu."

"Tapi bukankah Thiat Sui adalah seorang Hwesio? Kenapa orang she Ciu itu mendoakan agar dia cepat punya anak?"

"Seorang Tosu saja boleh berbini, kenapa seorang Hwesio tak boleh punya anak?"

"Tapi bukankah mereka belum pernah berjumpa denganmu, mengapa begitu mempercayai perkataanmu?"

Berkedip mata Hoa Hoa-hong, tiba-tiba tanyanya, "Tadi kau mengatakan dandananku ini mirip apa?"

"Mirip bandit perempuan!"

Hoa Hoa-hong segera tertawa.

"Karena itulah mereka pun menganggap diriku sebagai bandit perempuan, masa kau tidak mendengar mereka menyebutku sebagai nona Hoa?"

"Ah, ternyata mereka telah menganggap dirimu sebagai Hoa Ya-lay," kata Toan Giok seolah baru sadar.

"Oleh karena itu kau tidak salah tempat, Hoa Ya-lay dan Thiat Sui sama-sama adalah tuan rumah di sini. Mereka pada

dasarnya memang berasal dari satu keluarga."

Toan Giok menatap tajam wajah gadis itu, tak tahan ia

menghela napas panjang, tiba-tiba saja ia menemukan kalau gadis ini ternyata jauh lebih cerdas daripada penampilannya. "Padahal teori itu seharusnya sudah dapat kau duga jauh sebelumnya," ujar Hoa Hoa-hong lagi, "Hanya saja karena kau

sudah ditangkap ekornya lebih dulu oleh orang lain, maka pikiranmu jadi bingung." "Sejak kapan kau belajar memuji orang lain?" tegur Toan Giok sambil tertawa getir. "Baru saja belajar."

Kenyataan, persoalan ini memang kelewat rumit, persis seperti sebuah barisan pemtringung sukma. Bila sejak awal kau sudah salah melangkah, maka kemana pun kau pergi, semua

jalan yang kau lalui adalah jalan penuh persimpangan.

Than Giok yang semula berdiri, tiba-tiba duduk kembali, duduk di atas lantai. "Kau lelah?" tegur Hoa Hoa-hong dengan kening berkerut.

"Tidak lelah, aku hanya masih mempunyai beberapa pertanyaan yang ingin kutanyakan pada diriku sendiri."

Hoa Hoa-hong ikut duduk, duduk di sampingnya, lalu dengan lembut dia bertanya, "Mengapa kau tak bertanya kepadaku?"

Dua orang berpikir bersama memang jauh lebih baik daripada hanya seorang yang berpikir.

Toan Giok menatapnya. Dari balik sorot matanya terselip perasaan terima kasih, tanpa terasa dia mengulurkan tangan.

Gadis itu pun mengulurkan tangan.

Tapi begitu tangan mereka berdua saling bersentuhan, cepat ditarik kembali.

Toan Giok menundukkan kepala, lewat lama kemudianperlahan-lahan baru berkata, "Bila Thiat Sui benar-benar adalah Liong-thau, maka peristiwa ini pastilah merupakan salah satu siasat busuk yang direncanakan Cing-liong-hwe."

"Betul."

"Tapi apa tujuan mereka? Kenapa harus aku yang dihadapi?"

"Kemungkinan besar yang mereka kehendaki adalah dirimu, tapi bisa juga mereka menghendaki sesuatu benda yang berada dalam sakumu."

Toan Giok manggut-manggut, dia jadi teringat kembali Bi-giok-to.

"Mereka secara khusus menyiapkan perangkap ini, jelas tujuannya adalah ingin mencelakaimu, memaksa kau agar terpojok dan tak ada jalan lagi," kata Hoa Hoa-hong.

"Lalu siapa yang telah membunuh Lu Siau-hun?" "Tentu saja mereka juga."

"Tapi Lu Kiu adalah sahabat Thiat Sui."

"Cara kerja orang-orang Cing-liong-hwe kebanyakan keji dan menghalalkan segala cara, terkadang bapakmu sendiri pun . bisa dijual apalagi cuma teman."

"Dengan ilmu silat Thiat Sui ditambah kekuatan Cing liong-hwe, bukankah mereka seharusnya bisa membunuh aku secara langsung?"

"Tapi di dunia persilatan, keluarga Toan selain punya nama dan kedudukan yang sangat tinggi, temannya pun banyak sekali. Bila mereka membunuhmu secara langsung, pasti akan timbul banyak masalah di kemudian hari. Selama ini cara kerja Cing-liong-hwe memang lebih suka meminjam golok untul membunuh orang."

"Meminjam golok untuk membunuh orang?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar