Bag 04 : Ku-tojin, si setan judi
Ruangan di bagian belakang pun dipenuhi guci-guci arak yang kasar dan berat, guci itu ditumpuk lapis per lapis , tumpukan yang tinggi sekali. Di bagian tengah tersisa sebuah lorong sampai menuju ke belakang.
Sesudah melalui lorong sempit, kembali harus melewati sebuah pintu, dari luar pintu sudah terdengar suara dadu yang dilempar di atas meja.
Hanya terdengar suara dadu yang dilempar, sementara orang-orang yang sedang bertaruh kelihatan amat tenang.
Ada empat orang sedang bertaruh, seorang hanya membisu.
Keempat orang itu duduk di atas guci arak yang dilapisi papan duduk mengelilingi sebuah gentong arak yang amat besar, rupanya gentong arak itu pun berlapiskan papan kayu.
Rupanya mereka sedang bermain Pay-kiu.
Bandarnya adalah seorang Tojin berlengan tunggal, jubah pendeta berwarna biru yang dikenakan telah berubah jadi putih karena terlalu sering dicuci, tulang pipinya menonjol dengan sepasang mata bersinar tajam. Meski mengocok kartu dengan tangan tunggal, namun kecepatannya justru melebihi mereka yang mempunyai dua tangan.
Toan Giok tahu, dia pastilah Lopan tempat ini, Ku-tojin.
Sementara tiga orang lainnya adalah seorang kakek ceking kecil berwajah cerah dan penuh semangat dengan sepasang tangan berkuku panjang, ia mengenakan cincin kumala hijau sebesar ibu jari di tangannya.
Orang kedua adalah seorang lelaki setengah umur berwajah penyakitan, tiada hentinya ia menutupi mulutnya dengan saputangan putih dan batuk tiada hentinya. Setiap dua kali menggunakan saputangan untuk menutup mulutnya, orang yang berdiri di sampingnya selalu memberikan selembar saputangan baru .untuk menggantikan.
Orang ini bukan saja sangat teliti dalam menggunakanj barang, bahkan suka akan kebersihan.
Sayangnya tempat itu sangat kotor dan lembab, tapi ia sudah sehari semalam duduk di sana bermain judi.
Bagi orang yang suka berjudi, asal bisa main judi, sekalipun harus duduk di tepi jalan, mereka tetap akan bermain judi dengan asyiknya.
Orang berikut adalah seorang lelaki berperawakan tinggi besar, wajahnya penuh cambang dan mukanya kereng, sepasang tangannya kasar sekali, kelima jari tangannya mempunyai ukuran berimbang, jelas dia adalah jagoan yang berlatih ilmu Thiat-sah-ciang atau sebangsanya, bahkan hasil latihannya pasti luar biasa.
Pakaian yang dikenakan ketiga orang ini sangat halus dan mewah. Dari gaya serta tingkah- lakunya, jelas mereka punya kedudukan tinggi dalam masyarakat.
Namun yang mereka pertaruhkan hanyalah puluhan lembar nomor yang terbuat dari kertas karton.
Di atas setiap angka tercantum tiga huruf besar, "Ku-tojin", gaya tulisannya indah menawan, tampaknya merupakan tulisan asli Ku-tojin.
Bagi penggemar judi, asal ada yang dipertaruhkan, kalah menang, besar-kecil sudah bukan masalah bagi mereka.
Oleh karena itu mereka berempat bermain judi dengan konsentrasi penuh, paras muka mereka telah berubah putih pucat, namun tak seorang pun yang buka suara.
Lelaki yang berlatih ilmu Thiat-sah-ciang itu baru saja memenangkan empat angka, peluh mulai membasahi jidatnya, bahkan sepasang tangannya yang tak pernah gemetar sewaktu membunuh orang pun kini mulai tampak bergetar keras. Sambil menggigit bibir, akhirnya ia dorong keempat kartunya ke depan.
Lelaki setengah umur penyakitan itu turut mengucurkan keringat, dia pun mendorong keempat kartunya ke depan.
Kini tinggal si kakek kurus ceking berbaju perlente itu yang masih menghitung angka kartunya dengan perlahan, tiba-tiba dia menghembuskan napas sambil mengeluh, "Hari ini aku tidak kalah, juga tidak menang."
“Buat apa membicarakan kalah menang di saat ini?" tegur lelaki bercambang itu dengan kening berkerut, "Jangan-jangan, kau ingin menyudahi taruhan kali ini?"
Kakek itu manggut-manggut dan berdiri, dengan senyum tak senyum katanya, "Kalian berdua boleh saja melanjutkan permainan, aku masih ada urusan, mohon pamit dulu."
“Hanya tinggal kita bertiga, mau main apaan? Ci-ang, masa kau tak bisa tinggal sejenak lagi?" pinta lelaki bercambang itu dengan paras muka berubah.
Tapi kakek itu sudah membuka tirai pintu dan beranjak keluar dari sana tanpa berpaling lagi. Sambil menggigit bibir, dengan gemas lelaki bercambang itu mengumpat, “Dasar rase tua,
kalau sudah main judi, liciknya melebihi setan…Baiklah ayo kita bertiga lanjutkan pertaruhan ini”
Lelaki setengah umur penyakitan itu masih menghitung angka kartu di hadapannya, lalu sambil terbatuk-batuk katanya,
"Kalau tinggal kita bertiga, bagaimana bisa melanjutkan taruhan ini? Aku rasa hari ini kita bubar sampai di sini saja!"
"Masa sekarang juga bubar?" lelaki bercambang itu semakin panik. "Aku sudah kalah belasan renceng uang logam." Ternyata satu kartu hanya bernilai satu renceng uang logam. Kelihatannya lelaki bercambang itu memiliki watak mencari menang sendiri, dia pantang menyerah begitu saja. Kalau tidak, mana mungkin dia begitu pantang membuang belasan renceng uang logamnya.
Tampaknya selera Ku-tojin bermain judi pun telah sirna. Ketika melihat dalam ruangan telah bertambah satu orang, ia segera mengangkat wajahnya, memandang Toan Giok beberapa kejap, lalu sapanya sambil tersenyum, "Sahabat cilik, apakah kau punya keinginan untuk ikut serta dalam permainan kami?"
Baru saja Toan Giok hendak menjawab "Tidak", lelaki bercambang itu sudah menyerobot bicara lebih duluan, "Bermain kecil-kecilan, tidak masalah! Selesai bertaruh nanti, aku pasti akan mengundangmu minum arak."
"Uang yang mereka pertaruhkan sesungguhnya memang tak terlalu besar," Toan Giok berpikir. "Lagi pula aku datang mencari mereka karena ingin mohon pertolongan, kurang enak rasanya mengganggu kesenangan mereka. Apalah artinya kalau kalah sedikit?"
Berpikir begitu, dia pun menyahut sambil tertawa, "Baiklah, aku akan menemani kalian bertiga bermain sebentar, tapi aku tak pandai berjudi."
Paras muka lelaki bercambang itu kontan berseri, dengan girang ujarnya, "Sobat, ternyata kau cukup menarik."
Dengan sorot matanya yang tajam, Ku-tojin mengamati Toan Giok beberapa saat, tiba-tiba tanyanya sambil tersenyum, "Dari logat bicaramu, rasanya kau berasal dari wilayah utara?"
"Betul aku dari daratan Tionggoan." "Kau she apa?"
“Aku she Toan, bernama Giok."
Semakin mencorong sinar terang dari balik mata Ku-tojin, katanya lagi sambil lertawa, "Sobat Toan, bagaimana kalau kau bertaruh untuk. posisi Thian-bun saja?"
“Boleh!”
Pada posisi Thian-bun masih tersisa setumpuk kartu peninggalan kakek tua tadi, mungkin tumpukan kartunya masih ada empat-lima puluhan.
Terdengar Ku-tojin berkata lagi, "Kita baru akan membuat perhitungan seusai bertaruh nanti, sobat. Kau tidak usah mengeluarkan modal dulu juga tidak masalah."
“Tidak mengapa," jawab Toan Giok sambil tertawa. "Aku masih membawa beberapa tahil." Selama ini lelaki setengah umur penyakitan mengawasi dia tanpa berkedip, tiba-tiba katanya,
"Sobat, boleh tahu berapa banyak yang ingin kau pertaruhkan?"
Toan Giok mengambil semua kartu tinggalan si kakek, lalu mulai menghitung, setelah itu ia berkata, "Sementara aku bertaruh yang ini saja, kalau semisal kalah baru kita bicarakan lagi”
Lelaki berewok tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha, bagus sekali! Kalau ingin berjudi, cara bertaruh semacam inilah baru mantap rasanya, hari ini juga aku Ong Hui memutuskan untuk bersahabat denganmu."
Lelaki setengah umur itu berkata pula sambil tersenyum, “Cayhe she Lu bernama Heng-kiu, sobat-sobat menyebutku sebagai Lu Kiu”
“Syukurlah bisa bersahabat dengan kalian semua," sahut Toan Giok sambil tertawa.
Maka dia pun melempar empat kartu sebagai taruhannya.
Dadu yang dilemparkan Ku-tojin menunjukkan tujuh angka sedang sudut Thian-bun melemparkan dadu mendapat dua angka tiga, berarti enam titik.
Berarti pihak bandar memperoleh angka yang lebih tinggi dan Toan Giok pun kalah. Lemparan dadu kedua dari pihak bandar mendapatkan lagi angka tujuh, sedang pihak Thian- bun memperoleh angka enam.
Lagi-lagiToan Giok kalah.
Lemparan dadu ketiga pihak Bandar mendapat angka dua, sayang dari pihak Thian-bun mendapat angka sepuluh, jeblok.
Akhirnya pihak Bandar memperoleh angka yang hebat. Dalam taruhan kali ini, Toan Giok lagi- lagi kalah enam pasangan.
Anak muda ini memang tegar. Sekali pun sudah kalah banyak, namun paras mukanya sama sekali tak berubah.
Kalau diperhitungkan dengan uangnya, maka enam belas kartu sama nilainya dengan seratus enam puluh tahil perak, tapi Toan Giok masih berlagak seolah tak merasa.
Pada putaran yang kedua, secara beruntun dia kalah lagi empat kali, kembali enam belas lembar kartu harus diserahkan orang.
Sampai di sini paras mukanya tetap belum berubah. Lu Kiu mulai memandang kea rah Ong Hui.
Mimik muka mereka mulai menunjukkan perasaan heran dan tercengang, disamping perasaan kagum yang luar biasa.
Tampaknya Ong Hui semakin menaruh simpatik terhadap anak muda yang baru dewasa itu, tak tahan katanya, “Lote, kalau rezeki kurang bagus, lebih baik kurangi taruhanmu,.”
“Ah, tidak masalah,” jawab Toan Giok sambil tertawa.
Kali ini dia memasang delapan lembar kartu, maksudnya biar cepat kalah dan habis, hingga ia bisa segera membicarakan masalah pokok dengan Ku-tojin.
Baginya kalah berjudi bukan masalah, si raja pendeta Thiat Sui pun belum tentu bisa membuatnnya mundur.
Dia tak ingin mencari masalah, terlebih lagi dia takut ayahnya tahu membuat gara-gara di luaran.
Apabila Ku-tojin dapat membantunya mengubah masalah besar menjadi kecil, masalah kecil jadi tiada urusan sehingga dia bisa secepatnya tiba di Po-cu-san-ceng, baginya biar kalah lebih banyak pun tetap akan dihadapinya dengan perasaan riang.
Siapa tahun pada putaran ketiga, nasibnya mulai berubah lebih mujur.
Pada lemparan dadu pertama ia memperoleh angka satu, sayangnya pihak bandar juga mendapat angka sepuluh alias jeblok.
Maka dari delapan kartu yang dipasang, dia pun mendapat keuntungan enam belas lembar.
Ketika keenam belas lembar kartu itu dipasangkan keseluruhannya, lagi-lagi dia memperoleh angka tinggi.
Tentu saja anak muda ini merasa sangat gembira, tapi dia tak ingin menangkan uang itu, maka ketiga puluh dua lembar kartu itu dipasangkan semuanya, dia ingin secepatnya kalah hingga semua uangnya ludas.
Ku-tojin yang menang kalah tak pernah berubah muka, kali ini terjadi sedikit perubahan pada mimik mukanya.
Apalagi Lu Kiu dan Ong Hui, wajah mereka selain diliputi perasaan tercengang, rasa kagum yang luar biasa pun semakin mengental.
“Lote, masa sekaligus kau memasang taruhan sebesar ini? Lebih baik kita bertaruh secara perlahan-lahan," bujuk Ong Hui.
“Tidak jadi masalah,” sahut Toan Giok sambil tersenyum. Sekali lagi Ong Hui menatapnya, tiba-tiba dia acungkan ibu jari sambil memuji, “Lote, kau memang luar biasa!”
“Luar biasa” kata Lu Kiu pula sambil menghela napas.
“Cara bertaruh Lote memang luar biasa ganasnya, ternyata Enghiong memang tumbuh pada anak muda”
Toan Giok hanya tersenyum, ia merasa kejadian ini lucu dan menarik, bahkan berkesan sedikit menggelikan.
Padahal yang dia pertaruhkan tak lebih hanya tiga puluh dua lembar kartu dari karton tebal, kenapa orang-orang itu memandangnya begitu serius dan bersungguh sungguh?
Padahal baginya hal seperti ini bukan masalah.
Dia pun lagi-lagi menang, dari tiga puluh dua lembar kartu sekarang telah berubah menjadi seratus dua puluh delapan lembar.
Peluh sebesar kedelai mulai bercucuran membasahi jidat Ku-tojin. Sebagai bandar, dia harus mengeluarkan sekian banyak kartu untuk membayar taruhan orang.
Toan Giok tersenyum, kali ini dia dorong seluruh kartu itu ke tengah arena pertaruhan.
"Eh, kau benar-benar hendak bertaruh sebanyak ini?" tegur Ku-tojin dengan wajah berubah. "Betul, sebanyak itu," jawab Toan Giok tersenyum.
Ku-tojin memandang Lu Kiu sekejap, lalu memandang Ong Hui, tiba-tiba ia mendorong balik semua taruhannya dari tengah meja, katanya sambil menghela napas, "Ai, aku menyerah padamu!"
"Lho, kau tak mau bertaruh?" tanya Toan Giok tertegun.
"Anggap saja hari ini aku mengaku kalah," sahut Ku-tojin sambil tertawa getir.
Toan Giok memandang Lu Kiu, lalu memandang pula Ong Hui. Ternyata kali ini Ong Hui pun tidak buka suara.
"Baguslah kalau kita sudahi pertaruhan sampai di sini," kata Toan Giok kemudian sambil tersenyum, "Mari kutraktir kalian bertiga dua-tiga cawan arak."
Diambilnya dua lembar kartu dari tumpukan taruhannya, lalu disisipkan ke tangan seorang pelayan yang berada di sisinya.
"Ambil, tip buatmu."
Pucat-pias wajah pelayan itu, bisiknya tergagap, "Mana.. mana berani kuterima "
"Tidak apa, ambil saja, sana minum arak di luar, rekeningnya biar ditagihkan padaku."
Memegang uang tip pemberian Toan Giok, sekujur badan pelayan itu gemetar tiada hentinya, tiba-tiba ia melompat sambil berjingkrak-jingkrak, lalu lari keluar pintu dan tertawa tergelak
tiada habisnya..
Sambil menghela napas, ujar Lu Kiu, "Tak heran si buta Ciu pernah meramal kalau tahun ini si Phoa kecil bakal kaya, ternyata ramalannya memang tepat."
Ong Hui menepuk bahu Toan Giok kuat-kuat, pujinya pula, “Lote, kau memang sangat royal, aku kagum dan benar-benar takluk.”
Toan Giok sedikit bingung, lamat-lamat ia mulai merasa kalau satu lembar kartu nilainya bukan hanya satu renceng uang logam.
Hingga detik itu paras muka Ku-tojin baru lambat-laun pulih dalam ketenangan. “Coba kau hitung dulu sudah menang berapa?"
“Tak usah dihitung."
Kecuali modal awal, sisanya yang masih berjumlah delapan-sembilan puluh lembar kartu itu dia dorong ke muka dan berkata sambil tersenyum,
”Anggap saja ini semua biaya uang arak kita, kutraktir kalian minum sampai puas." Sekali lagi muka Ku-tojin berubah, entah terkejut atau gembira, lewat beberapa saat kemudian, ia baru berkata, "Aku tak bisa menerimanya."
“Kenapa?”
“Jumlah ini kelewat banyak."
Toan Giok berpikir sejenak, lalu katanya kemudian sambil tertawa, “Baiklah, kalau begitu akan kutarik balik sepuluh lembar, anggap saja uang tip buat aku. Sedang sisanya tolong diterima, kalau tidak, berarti kau pandang hina aku, enggan bersahabat dengan diriku."
Ku-tojin memandangnya tajam-tajam, sampai lama kemudian baru menghela napas panjang, "Di kemudian hari kau pasti akan mempunyai banyak teman."
Sambil mengacungkan jempol, puji Ong Hui pula, "Lote, orang royal macam kau pasti akan banyak mempunyai teman. Apalagi orang yang berjiwa besar macam kau, mungkin susah ditemukan keduanya di wilayah Kanglam saat ini."
"Bila di kemudian hari kau ada waktu, silakan mampir di perkampungan Say-hun-ceng untuk mengobrol," undang Lu Kiu.
“Say-hun-ceng? Jadi kau adalah Miau-jiu-wi-mo (Wi-mo berilmu tinggi) Lu Say-hun, Lu-loyacu?” “Ha ha ha, aku rasa Lote pastilah Toasiauya dari Toan Hui-him, Toan-loyacu, bukan?” balas Lu
Kiu sambil tersenyum.
Sambil bertepuk tangan Ong Hui ikut menimbrung, “Betul, kecuali Kongcu dari keluarga Toan, siapa lagi yang berani begitu royal?”
Toan Giok tertegun, untuk sesaat ia tak mampu berkata-kata.
Say-hun Cengcu Lu Kiu adalah seorang saudagar kaya-raya, dulunya dia adalah seorang Kongcu kenamaan wilayah Kanglam. Bukan saja hebat dalam Bu maupun Bun, bahkan dia pun menguasai ilmu main Khim, catur, menulis, melukis, memetik sitar dan lain-lain.
Tapi hampir semua orang persilatan tahu kalau ilmunya yang paling hebat tetap adalah ilmu bermain judi.
Dengan kedudukannya dalam Bu-lim, dapat dipastikan dia tak akan bertaruh Pay-kiu hanya bermodal beberapa renceng uang logam saja.
Lantas berapakah nilai satu pasangan?
"Sisanya masih ada belasan kartu, boleh tahu Toan kongcu akan mengambilnya dalam bentuk apa?" tanya Ku-tojin.
"Terserah, apa pun mau."
"Bagaimana kalau dibayar dengan emas lantakan?" "Boleh saja."
Meskipun masih tersenyum, namun dalam hati ia berusaha mengendalikan gejolak perasaan yang luar biasa, dia tak ingin orang lain melihat perasaan terperanjatnya.
Sementara itu Ku-tojin telah menyingkirkan penutup guci arak yang didudukinya tadi dan mulai membongkar segelnya.
Temyata isi guci itu bukan arak, melainkan lantakan emas yang sangat banyak.
"Setiap lantakan emas ini nilainya delapan ratus lima puluh tahil," kata Ku-tojin, "karena Kongcu minta dalam bentuk emas, berarti jumlah keseluruhannya adalah delapan puluh laksa tahil, silakan Toan-kongcu menerimanya."
Untuk kesekian kalinya, Toan Giok tertegun.
Ternyata satu kartu pasangan nilainya adalah seribu tahil perak!
Padahal baru saja dia mendorong puluhan laksa tahil perak untuk dijadikan barang taruhan. Selama ini Toan-loyacu selalu mendidik putranya dengan sangat ketat, karena dia berharap putra tunggalnya bisa dilatih menjadi seorang manusia jujur yang berguna, dia tak ingin putranya menjadi seorang Kongcu hidung bangor yang melihat emas bagai sampah.
Oleh sebab itu hingga Toan Giok berusia dua belas tahun, ia baru mulai menerima uang jajan secara rutin.
Pada mulanya uang jajan yang diterima per bulannya hanya satutahil perak, baru setelah menginjak usia empat belas tahun, uang jajannya ditingkatkan menjadi dua tahil.
Ketika mencapai usia enam belas tahun, atas usaha ibunya, ia baru menerima uang jajan sebesar sepuluh tahil.
Keadaan ini berIangsung terus hingga usia delapan belas tahun.
Kali ini untuk pertama kalinya dia meninggalkan rumah, meski Toan loyacu memberi sangu sepuluh lembar uang kertas yang nilai per lembarnya mencapai seratus tahil, namun berulang kali orang tua itu berpesan agar dia tidak memakainyasecara boros, apalagi menghabiskannya.
Seribu tahil uang kertas yang digembolnya sekarang merupakan harta kekayaan paling besar yang pernah dimiliki sepanjang hidupnya.
Biarpun ia termasuk royal, namun semuanya dilakukan dengan sangat hati-hati, bahkan daun emas pemberian ibunya yang dipersiapkan bila keadaan mendesak pun dia sudah berencana untuk sama sekali tidak menyentuhnya.
Dalam anggapannya, bila orang ingin menghamburkan uang, dia harus menghamburkan uang hasil keringat sendiri.
Selama ini dia selalu memandang rendah kawanan manusia yang selalu mengandalkan kekayaan orang-tuanya untuk berfoya-foya.
Kenyataan, belum pemah dia menghambur-hamburkan uang, walau hanya setahil pun.
Tapi barusan, tanpa diketahui apa yang sebenarnya telah terjadi, dia telah menghadiahkan ribuan tahil untuk seorang pelayan muda, kemudian menghadiahkan enam-tujuh puluh laksa tahil perak untuk Ku-tojin.
Toan Giok menarik napas dalam-dalam, lalu duduk kembali, dengan termangu diawasinya tumpukan emas yang berserakan di hadapannya.
Sepanjang hidup, belum pemah dia memiliki uang sebanyak ini.
Kini ia sudah mempunyai sepuluh laksa tahil, apa pun yang dulu mustahil bisa dilakukan, kini dapat dilakukan sepuas hati.
Mau arak wangi, perempuan cantik … apa yang dia inginkan, semuanya akan segera terpenuhi.
Paling tidak ia tak usah berusaha keras 'mengekang diri, paling tidak dia harus mencari kegembiraan selatna beberapa hari, menikmati semua kenikmatan yang belum pernah dicicipi.
Bagi seorang pemuda yang baru keluar rumah, jelas keadaan itu merupakan godaan yang susah dilawan.
Sekali pun bagi seorang kakek tua, siapa bilang hal ini bukan godaan yang merangsang? Ku-tojin menatapnya, kemudian berkata sambil tertawa,
“Menggembol sepuluh laksa tahil, naik bangau pesiar ke Hang-ciu. Setelah mempunyai uang sebanyak ini, mau kemana pun kau bisa bermain dan berpesiar sepuas hati!"
“Betul,” sambung Ong Hui sambil tergelak. "Apalagi kalau uang itu diperoleh dari menang judi, biar habis pun bukan masalah.”
“Padahal di kota Hangciu pun banyak terdapat tempat tempat yang menarik hati, perempuan cantik dari Hangciu juga selama ini tersohor di seantero jagat. Toan-kongcu masih muda dan banyak duit, kenapa tidak kau gunakan kesempatan ini untuk mencari kenikmatan duniawi?" Toan Giok termenung sejenak, tiba-tiba ujarnya, "Sepuluh laksa tahil perak ini pun aku tak bisa menerimanya."
“Kenapa ?" tanya Ku-tojin dengan kening berkerut.
Setelah menghela napas dan tertawa getir, kata Toan Giok, “Aku sama sekali tak tahu kalau sekali pasang adalah seribu tahil perak'"
Tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk buka suara, dengan cepat dia menambahkan, "Seandainya tahu, aku tak bakal ikut bertaruh, sebab kalau aku kalah, dengan uang apa aku mesti membayarnya?"
“Tapi kenyataannya sekarang kau tidak kalah."
“Kalau kalah tak mampu membayar, bila menang pun tidak seharusnya menerima uangnya!"
“Kalau kau tidak bicara, siapa pun tak tahu kalau kau tak mampu membayar bila kalah?" “Tapi aku sendiri tahu dengan jelas, mungkin saja aku bisa membohongi orang lain, tapi tak
mampu membohongi diri sendiri, maka dari itu bila kuambil uang ini, setiap malam pasti tak dapat tidur.”
Ku-tojin segera tertawa, setelah memandang Ong Hui dan Lu Kiu sekejap, tanyanya, "Pernahkah kalian bertemu dengan pemuda segoblok ini?"
"Belum pernah," Lu Kiu menggeleng.
"Ai, aku lihat pemuda masa kini makin lama semakin pintar saja," keluh Ong Hui sambil menghela napas.
Merah jengah wajah Toan Giok.
"Mungkin aku tidak terlalu pintar, tapi masih tahu dengan jelas mana yang boleh diambil dan mana yang tidak boleh," katanya.
Ong Hui segera memandang Toan Giok, lalu Lu Kiu, teriaknya tak puas, "Memangnya uang itu kau peroleh dan mencuri?"
"Tidak," Lu Kiu menggeleng.
Sambil tertawa tergelak, seru Ong Hui, "Setiap orang persilatan tahu, mungkin asal-usul Ku-loto memang kurang begitu jelas, tapi yang pasti dia bukan bandit, apalagi begal."
"Apakah kita main judi juga hanya pura-pura?" Ku-tojin menambahkan.
"Semua orang tahu, main judi di sini paling keras. Kalau tidak, hampir setiap sudut kota Hangciu terdapat rumah perjudian, mengapa kami justru lebih suka main judi di tempat bobrok seperti ini?" sahut Ong Hui.
Kini Ku-tojin baru berpaling, katanya sambil melotot ke arah Toan Giok, "Kalau memang uang itu bukan diperoleh dengan mencuri, main judi pun bukan pura-pura. Setelah menang, kenapa uang itu tidak kau ambil?"
"Aku aku," saking cemasnya, merah padam seluruh wajah Toan Giok, ucapannya pun tergagap. "Seandainya kalah, mungkin kau tak mampu membayar, tapi kenyataannya kau tidak kalah,
karena nasibmu memang mujur. Oleh sebab itu kau sudah sepantasnya memenangkan uang ini dan pantas juga menikmati hidup yang lebih nyaman."
"Tepat sekali," sambil tertawa Ong Hui menambahkan. "Kalau nasib orang lagi mujur, sedang berjalan di jalan raya pun kakinya bisa tersandung Goanpo."
“Memang tak ada nasib mujur lain yang jauh lebih baik daripada kejad ian seperti ini," kata Lu Kiu sambil tersenyum.
“Tapi orang bemasib mujur memang tak banyak di dunia ini” sambung Ong Hui. “Apalagi kau bukan cuma bernasib mujur, jiwamu pun sangat jujur, biasanya Thian akan
memperlakukan orang semacam ini secara istimewa," kata Ku-tojin lagi. "Jadi semua uang itu memang seharusnya menjadi milikmu. Ayo cepat bawa pergi!, kalau tidak, mungkin kami akan ikut sial."
“Tapi aku…”
Ku-tojin segera menukas, malah sambil menarik wajah dia berteriak, “Bila kau masih saja berlagak sungkan, artinya kau tak sudi berkena lan dan bersahabat dengan kami."
ToanGiok masih tampak ragu, akhirnya dia menghela napas, “Ai, kalau memang begitu, akan kuterima uang ini."
Kemudian dengan wajah bersemu merah dan tertawa geli, tambahnya, "Terus terang aku bukannya benar-benar tak mau, hanya saja selama hidup belum pernah kumiliki uang sebanyak ini. Jadi bingung cara bagaimana menghamburkan?"
“Kalau masalah ini tak perlu terburu-buru, kujamin di kemudian hari kau pasti pandai menghamburkannya," seru Ku-tojin tertawa,
Ong Hui ikut tertawa, "Seorang lelaki boleh saja tak sembarangan menghamburkan uang, tapi tak boleh tak mengerti bagaimana menghamburkan uang."
“Ha ha ha, lelaki yang tak paham cara menghamburkan uang dia pasti seorang lelaki tak berguna!"
“Betul, oleh karena itu kau harus mengerti bagaimana menghamburkannya, lalu baru mengerti cara mencarinya."
Toan Giok ikut tertawa.
“Aku berjanji di kemudian hari pasti akan mempelajarinya dengan seksama,” janjinya. “Aku pun menjamin, mempelajari ilmu semacam ini bukan saja jauh lebih cepat daripada
mempelajari ilmu lain, bahkan pasti sangat gembira," tambah Ong Hui sambil tertawa. "Aku percaya."
Selama ini Lu Kiu hanya mengamati dengan seksama, tiba-tiba is bertanya, "Sebetulnya kau datang bukan untuk berjudi, bukan?"
"Bukan!"
"Lantas apakah kau menjumpai kesulitan?"
"Darimana Cianpwe bisa tahu?" Toan Giok balik bertanya dengan tertegun.
Lu Kiu tertawa.
"Kalau bukan sedang menghadapi masalah, siapa bakal mau datang menjumpai Tojin dekil macam dia?"
"Karena sekarang kita sudah menjadi teman, kesulitan apa pun yang sedang kau hadapi, boleh kau utarakan," sela Ong Hui cepat.
"Hahaha, mungkin kau masih belum tahu asal-usul orang ini," seru Ku-tojin sambil tertawa.
"Mohon petunjuk."
"Kalau disinggung asal-usul orang ini, sebetulnya dia amat tersohor di seantero jagat," lanjut Ku-tojin. "Pernah kau dengar Pi-lik-tong yang tersohor di wilayah Kanglam karena senjata apinya?"
"Sudah lama kudengar nama ini."
"Nah, dia adalah Tongcu baru dari Pi-lik-tong, orang persilatan menyebutnya Pi-lik-hwe (Api gedelek)."
Sambil menepuk dada, Ong Hui menambahkan, "Oleh sebab itu, bila kesulitanmu tak bisa diselesaikan kami bertiga, mungkin di wilayah Kanglam tak ada orang lagi yang bisa menyelesaikan masalahmu itu." Toan Giok menghela napas panjang, ujarnya, "Padahal tanpa sengaja aku telah menyalahi seseorang."
"Menyalahi siapa?"
"Orang menyebutnya si Raja pendeta Thiat Sui."
“Bagaimana ceritanya sampai kau menyalahi dia?" tanya Ong Hui dengan kening berkerut. Merah padam wajah Toan Giok lantaran jengah.
“Ai, gara-gara seseorang!" “Siapa?”
“Hoa Ya-lay.”
“Apakah si begal wanita Hoa Ya-Iay?" “Mungkin dia”
Ong Hui menarik muka, tegumya, "Apa hubunganmu dengan perempuan itu? Dia apamu?" “Sesungguhnya aku tak kenal perempuan itu," ujar Toan Giok sambil tertawa getir.
“Tapi gara-gara dia, kau tak segan menyalahi Raja pendeta Thiat Sui?”
“Aku sama sekali tak tahu kalau keempat orang Hwesio itu adalah muridnya,” kembali Toan Giok menghela napas.
“Empat orang Hwesio?”
“Aku sendiri pun tak tahu mengapa Thiat Sui mengirim anak muridnya untuk mencari Hoa Ya- lay. Waktu itu aku bahkan tidak mengetahui asal-usul mereka, juga
Aku tak tahu kalau Hoa Ya-lay sendiri pun seorang bandit. Aku hanya merasa sepak terjang keempat orang Hwesio itu buas dan galak sekali”
“Maka kau merasa tak terima, dan tanpa mencari tahu dulu duduk persoalan langsung ikut campur urusan mereka?” sela Ong Hui
Kembali paras muka Toan Giok berubah merah padam..
“Aku memang kelewat ceroboh dan gegabah, tapi keempat orang Hwesio itu benar-benar kelewat buas.”
Tiba-tiba Ku-tojin menghela napas, katanya, "Thiat Sui sendiri memang seseorang yang tak tahu aturan, tentu saja anak muridnya meniru gaya gurunya, tapi kau…. kenapa kau tidak mencampuri urusan lain, justru mencampuri urusan Hoa Ya-lay?”
Selama ini Lu Kiu hanya mendengarkan dengan seksama, tiba-tiba ia menimbrung, "Tahukah kau mengapa Thiat Sui pergi mencari Hoa Ya-lay?"
Toan Giok menggeleng.
Lu Kiu mengambil dulu saputangan untuk berbatuk beberapa kali, setelah itu perlahan-lahan baru berkata, "Dia berbuat begitu lantaran aku!"
Sekali lagi Toan Giok terperangah.
Terdengar Lu Kiu berkata lebih jauh, "Aku mempunyai seorang putra, bernama Lu Siau-hun." "Aku pernah mendengar nama ini."
"O ya? Selama ini kau berada di daratan Tionggoan bagaimana mungkin bisa mendengar tentang dia?"
"Karena ayah pernah memberitahu kepadaku," sahut Toan Giok tergagap. "Beliau bilang, aku pasti akan bertemu dengannya di Po-cu-san-ceng, bahkan minta aku menyampaikan salam untuk kau orang-tua."
Dia memang tidak berbohong, namun semua jawabannya pun bukan kata sejujurnya.
Toan-loyacu minta dia secara khusus mewaspadai Lu Siau-hun, sebab di antara para pemuda yang datang mencari jodoh di Po-cu-san-ceng, hanya ada dua-tiga orang di antaran yang merupakan musuh tangguh, Lu Siau-hun adalah salah satu di antaranya. Tapi Lu Kiu sangat mempercayai perkataannya itu perlahan dia mengangguk.
"Betul, kali ini aku pun minta dia datang ke Po-cu-sa ceng untuk menyampaikan selamat ulang tahun. Apaka lantaran alasan yang sama kau datang ke wilayah Kanglam ini?"
"Benar."
"Tapi setibanya di kota Hangciu, tiba-tiba ia hilang!" kata Lu Kiu lebih lanjut. "Hilang? Darimana Cianpwe tahu kalau dia hilang?"
"Sebetulnya aku datang bersamanya, karena aku harus pergi menjumpai Thiat Sui. Tapi pada empat hari berselang, setelah bocah itu keluar rumah, dia tak pernah muncul kembali."
Lagi-lagi dia terbatuk beberapa kali, kemudian baru melanjutkan, Pada hari itulah ada orang melihat dia berada bersama Hoa Ya-lay, si bandit wanita itu."
“Oh, jadi Thiat Sui memerintahkan muridnya pergi mencari Hoa Ya-lay karena ia hendak mencari tahu kabar berita tentang putramu?”
“Betul.”
Toan Giok tak dapat bcrsuara lagi.
Tiba-tiba Lu Kiu bertanya lagi, "Tahukah kau mengapa aku datang kemari mencari Ku-tojin?" “Memangnya bukan untuk main judi?"
“Selain main judi, masih ada sebuah alasan penting lainnya” “Alasan apa?”
“Mencari kau”
Sekali lagi Toan Giok tertegun.
Kembali Lu Kiu berkata, "Kemarin aku mendapat laporan kalau ada seorang pemuda yang tak jelas asal-usulnya telah membantu Hoa Ya-lay menghajar keempat Hwesio murid Thiat Sui hingga tercebur ke air, kemudian pemuda itu pergi bersama Hoa Ya-lay dan kabar beritanya lenyap begitu saja."
“Maka kau pun datang ke tempatku untuk mencari tahu jejak pemuda ini?” sambung Ku-tojin. “Untuk wilayah seputar sini, siapa lagi orangnya yang lebih jelas mengetahui berita baru di
tempat ini?"
“Tapi hingga sekarang kau belum buka suara?" Lu Kiu tertawa.
“Siapa pun orangnya, mereka pasti tahu, untuk datang minta bantuan kepadamu paling tidak harus menemanimu bermain judi lebih dulu hingga puas.”
Ku-tojin ikut tertawa.
“Ha ha ha, tak nyana nama besarku sebagai setan judi ternyata sudah tersiar juga sampai ke Say-hun-san-ceng."
Lu Kiu menatap Toan Giok sekejap, kemudian setelah berbatuk katanya, "Tadi, seandainya kau tidak berjudi melawan kami, mungkin sekarang aku telah turun tangan terhadapmu, sebab sewaktu berjudi paling gampang untuk menilai watak seseorang. Oleh karena itu aku percaya kau adalah seorang pemuda jujur, maka aku pun percaya kau sama sekali tidak berbohong."
"Sungguh tak nyana, berjudi pun ada manfaatnya," ujar Toan Giok sambil tertawa getir.
Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia bertanya lagi, "Jadi putramu lenyap sejak empat hari berselang?"
"Benar."
"Selama empat hari Cianpwe tak berhasil menemukan Hoa Ya-lay?"
"Jejaknya memang tak menentu dan sukar dilacak. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa hidup hingga sekarang?" jawab Lu Kiu dingin. "Tapi kenyataan dua hari berselang secara tiba-tiba ia menampakkan diri."
"Itulah, aku sendiri pun tak menyangka, aku tak mengira bandit perempuan itu masih berani muncul dan berpesiar di telaga."
Toan Giok menghela napas panjang.
"Kemarin baru saja aku tiba di telaga Se-ouw, dia pun muncul. Kejadian ini terasa sangat kebetulan."
Ku-tojin ikut menghela napas, katanya pula, "Memang banyak kebetulan yang sering terjadi di kolong langit."
"Mungkin inilah yang disebut orang 'kalau tak ada kebetulan, tak akan jadi cerita'," ujar Ong Hui pula.
"Jadi hingga sekarang belum ada kabar tentang Lu kongcu?" tanya Toan Giok. "Ya, belum ada!" Lu Kiu mengangguk sedih.
"Maka persoalan ini pun belum ada penyelesaian?"