Jilid 24 : Nenek dewa bermata buta
KETIKA sorot matanya membentur dengan sorot mata Thong-thian Kaucu disisi pintu, senyuman dingin segera tersungging di ujung bibir mereka.
Suasana dalam ruangan itu sunyi senyap, kecuali Thong-thian Kaucu serta Cing Lian, hanya seorang tosu cilik pemegang pedang saja yang masih ada disana.
Ciu It-bong segera duduk di atas sebuah bantal semedi, sambil menatap tajam wajah kaucu itu serunya, Thian Ik-cu, aku dengar di tempat ini sudah kedatangan beberapa orang tua bangka dari Thong-thian-kauw, mengapa tidak kau undang mereka untuk unjukkan diri?”
“Hmm…. tidak ada manfaatnya bila kau berjumpa dengan mereka,” sahut Thong-thian Kaucu sambil tersenyum. “Hmm! aku si Ciu tua merasa berumur panjang…. kalau engkau tak tahu diri jangan salahkan kalau sahabat lama tak kenal adat.
Thong-thian Kaucu tertawa, ia tidak menggubris ocehan manusia aneh itu, sambil berpaling tiba-tiba tegurnya, “Hoa Thian-hong kau celingukan sedari tadi…. apa sih yang sedang kau cari?”
“Kau bawa kemana Pek Soh-gie?” bentak pemuda itu sambil melirik sekejap ke arah kedua belah sisi pintu.
Thong-thian Kaucu mengerutkan dahinya. “Huuu…. Pek Siau-thian memandang tinggi dirimu,
tapi dalam pandangan pun-kaucu, engkau bukanlah seorang manusia yang luar biasa,” jengeknya ketus.
“Kalau memang begitu, aku menantikan petunjuk darimu!”
“Oooh….! jadi kau belum takluk?” “Tentu saja!”
Suatu perasaan memandang hina pada lawannya terlintas di atas wajah Thong-thian Kaucu ,ia berkata, “Pek Soh-gie adalah putri sulung dari Pek Siau-thian, aku hendak membunuh atau memperkosa dirinya itu bukan urusanmu dan sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan dirimu, Pek Siau-thian bisa datang untuk bikin perhitungan sendiri dengan diriku. Perkumpulan Sin-kie- pang toh tiada bubungan dengan engkau, sedang Pek Soh-gie pun bukan sanak keluargamu…. kenapa kau musti mencampuri urusan ini?”
“Tepat sekali ucapan itu!” teriak Ciu It-bong dengan suara keras, Hoa Thian-hong, budi kebaikan apa sih yang telah diberikan Pek Lo ji kepadamu? Kenapa kau musti kuatirkan bagi keselamatan putrinya? Bila perkumpulan Sin-kie-pang sampai bentrok dengan Thong-thian-kauw bukanlah yang bakal mengeruk keuntungan adalah dirimu sendiri?”
Air muka Hoa Thian-hong berubah jadi merah darah bagaikan babi panggang, pikirnya, Mencampuri urusan orang serta memberantas ketidakadilan adalah tugas utama kaum pendekar, meskipun Pek Soh-gie adalah orang gadis yang baik hati akan tetapi ayahnya Pek Siau- thian adalah seorang gembong iblis dari kalangan hitam, tidak aneh kalau orang akan salah paham terhadap tindak tandukku…. .apalagi kalau bisa memancing terjadinya bentrokan kekerasan antara pihak Sin-kie- pang dengan Thong-thian-kauw, hal itu merupakan suatu perbuatan yang luar biasa sekali…. jika kutolong putri dari Pek Siau-thian ini, bukankah berarti merusak suasana yang menguntungkan bagi pihakku?”
Berpikir sampai disini ia jadi ragu-ragu dan untuk beberapa saat lamanya ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Melihat keraguan pemuda itu, Thong-thian Kaucu jadi amat bangga, ia segera berpaling ke arah Ciu It-bong dan berseru, “Ciu heng, kau telah melukai Ang Yap toojin dari perkumpulan kami kemudian membinasakan pula seorang muridku, bagaimana pertanggungan jawabmu atas hutang ini?”
Ciu It-bong menengadah memandang seangkasa, lalu dengan sombong menjawab, “Kapan sih Thian Ik-cu pernah menangkan Ciu It-bong?”
“Diantara kita berdua belum pernah saling bertempur satu sama lainnya, sudah tentu menang kalah sukar untuk dikatakan”
“Hmmm! aku rasa sekarang bertarungpun belum terlambat!” habis berkata dia ayun telapaknya melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah imam tua itu.
Hoa Thian-hong memahami sampai dimanakah kelihaiannya dari jurus pukulan Kun-siu-ci-tauw tersebut, melihat Ciu It-bong telah turun tangan ia segera pusatkan perhatiannya untuk melihat bagaimana caranya Thong-thian Kaucu menangis datangnya serangan tersebut.
Rupanya Thong-thian Kaucu tidak menyangka kalau Ciu It-bong segera melancarkan serangannya setelah habis bicara, melihat datangnya ancaman tersebut buru- buru ia letakkan senjata kebutannya ke atas tanah, lalu mendorong sepasang telapaknya ke depan untuk membendung datangnya ancaman tersebut.
“Ciu Loji, jangan bertindak gegabah!” teriaknya. Blaaaam….! di tengah benturan keras, sepasang telapak kedua orang itu telah bertemu satu sama lainnya.
Dalam perkiraan Hoa Thian-hong kedua orang tokoh sakti itu tentu akan beradu tenaga dalam setelah terjadi bentrokan kekerasan itu, dan akibatnya seluruh ruangan itu tentu akan bergoncang keras atau bahkan roboh sama sekali.
Siapa tahu kecuali terjadi bentrokan yang begitu dahsyat, tidak nampak sesuatu yang luar biasa lagi.
Terdengar Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak dan berseru, “Ciu heng, selama sepuluh tahun terakhir ini ternyata engkau tidak buang waktu dengan percuma, sungguh luar biasa…. sungguh luar biasa….!”
“Hmm! engkau Thian Ik-cu pantas lebih hebat dari aku si Lo Ciu….” seru Ciu It-bong ketus.
Hoa Thian-hong menyaksikan jalannya bentrokan itu dari samping, diam-diam merasa terperanjat, pikirnya, “Thian Ik-cu saja sudah begitu hebatnya apalagi ketiga orang cou sunya, tentu semakin luar biasa. Aaaaai….! rupanya untuk menumpas kaum iblis dan manusia- manusia laknat itu dari muka bumi, aku harus berusaha untuk memancing bentrokan serta pertikaian diantara mereka sehingga saling bunuh membunuh”
Karena pikiran yang kusut tanpa terasa semangat bertempuran-nyapun semakin berkurang, dia merasa kepalanya pusing tujuh keliling dan dadanya yang terluka terasa panas menyengat badan, sakitnya bukan kepalang.
“Thian Ik-cu!” tiba-tiba terdengar Ciu It-bong membentak keras” ayoh cepat kembalikan pedang emas itu kepadaku”
“Ciu-heng, engkau benar-benar tak tahu aturan!” tegur Thong-thian Kaucu dengan alis berkerut, “hutang ada pemiliknya kalau mau tagih pergilah cari orangnya yang benar…. orang yang merampas pedang emas itu toh Jin Hian, kenapa kau menagihnya kepada pinto?
Apakah tidak salah cari orang….?”
“Hmm….Hmm….!kau tahu bahwa pedang emas itu berada ditanganmu, maka aku datang menagihnya kepadamu, ayoh cepat kembalikan pedang emas itu kepadaku dan akupun akan memetikkan batok kepala Jin Hian untukmu, tukar menukar ini tidak merugikan kedua belah pihak…. kau suka mengerjakannya atau tidak?”
“Apa gunanya batok kepala Jin Hian bagi ku?” Ciu It-bong tertawa dingin.
“Heeeh…. heehh…. heehh…. hidung kerbau tua, buat apa engkau berlagak pilon? jengeknya, sekarang Sin-kie- pang telah bekerja sama dengan Hong-im-hwie untuk menghantam perkumpulanmu, sebentar lagi perkumpulan Thong-thian-kauw bakal mengalami kehancuran total dan musnah dari muka bumi…. haaahh…. haaahh…. haaahh…. jangan dibilang ketiga orang Cou su ya mu, sekalipun locou yang mendirikan perkumpulanmu diundang turun ke atas bumi pun tak bisa kau selamat kan perkumpulanku ini dari lembah kehancuran.
“Setelah Jin Hian dibunuh, apakah situasinya bisa dirubah dan perkumpulanku tertolong?” tukas Thong- thian Kaucu sambil tertawa.
Ciu It-bong melototkan sepasang matanya bulat-bulat. “Apa yang musti dikatakan lagi?” sahutnya, setelah Jin
Lo-ji mati konyol maka perkumpulan Hong-im-hwie akan
buyar bagaikan buyarnya mega terhembus angin, sekalipun Cong Tang-kee lain bisa segera dipilih tapi apakah orang lain sudi menuruti perintahnya? dan anak buah dari Jin Hian apakah mudah diperintah orang dengan begitu saja? Asal Hong-im-hwie batalkan perjanjiannya untuk bersekutu dengan Sin-kie-pang, maka apa yang ditakuti lagi oleh perkumpulan Thong- thian-kauw?”
“Ehmmm! pendapat yang tinggi…. pendapat yang tinggi….” puji Thong-thian Kaucu sambil mengelus jenggotnya, “cuma…. ilmu silat yang dimiliki Jin Hian tidak berada di bawah kita berdua, siasat bagus apa yang dimiliki Ciu beng untuk memenggal batok kepalanya?”
“Tentang soal itu kau tak usah tahu dan tak perlu kuatir. kembalikan pedang emas itu kepadaku maka kutanggung batok kepalanya berhasil kupetik untukmu!”
Thong-thian Kaucu tersenyum. “Kalau memang begitu, silahkan Ciu heng pergi memenggal batok kepalanya Jin Hian lebih dahulu, setelah kau berhasil maka pinto akan kembalikan pedang emasmu itu kepadamu!”
Hoa Thian-hong yang mendengar perkataan itu, dalam hati jadi curiga bercampur ragu, pikirnya, “Menurut Giok Teng Hujin, pedang emas itu semuanya terbagi jadi dua yakni pedang jantan dan pedang betina, pedang jantan berada ditangannya sedang pedang betina tersimpan di dalam pedang mustika milik Thong-thian Kaucu , menurut Thong-thian Kaucu sama sekali tidak tahu akan persoalan ini”
Mendadak satu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia berpikir lebih jauh, “Ia mengaku dirinya bernama Siang Hoa apakah dia punya hubungan yang erat dengan pemilik pedang emas itu? Aaah….! benar, jangan-jangan dia memang punya hubungan yang istimewa dengan ‘It kiam kay-tionggoan’ pedang sakti penyapu daratan Tionggoan, Sang Tay Lay!”
Berpikir sampai disini jantungnya terasa berdebar keras ia ingin bertemu segera Giok Teng Hujin serta menanyakan persoalan ini kepadanya.
Sementara itu Ciu It-bong telah berkata kembali. “Sebenarnya boleh saja kalau suruh aku bunuh Jin
Hian lebih dahulu baru minta kembali pedang emas itu, tetapi bila aku kekurangan sebilah senjata tajam yang akan kugunakan untuk memenggal batok kepala Jin Hian itu, keberhasilanku dalam usaha ini jadi agak meragukan!”
“Haaah-haaah…. siasat disusun oleh manusia dan keberhasilan ditentukan Thian, bila cara yang satu tak bisa digunakan apa salah nya kalau mencoba dengan cara yang lain”
“Jin Hian bukan manusia sembarangan, bila seranganku gagal maka sulitlah bagiku untuk mengulangi kembali pembunuhan itu”
“Jika sampai begitu keadaannya, maka Ciu heng harus menunggu sampai bulan tujuh tanggal lima belas nanti, dalam pertemuan besar Kian ciau Tay hwee itu kau boleh berduel melawan Jin Hian disaksikan oleh para enghiong dari seluruh kolong langit, asal Ciu heng berhasil membinasakan Jin Hian maka pintopun akan serahkan kembali pedang emas itu kepadamu”
“Hidung kerbua tua, apakah kau bersikap keras tak akan serahkan pedang emas itu kepadaku sebelum kubunuh Jin Hian?”
Thong-thian Kaucu tertawa.
“Kalau pedang emas itu kukembalikan ke padamu lebih dulu. kemudian Ciu heng tak mau membunuh Jin Hian, apa yang bisa pinto lakukan?”
“Hihi! Sebaliknya kalau kubunuh Jin Hian lebih dahulu kemudian kau mengingkari janji dan tak mau serahkan pedang emas itu ke padaku, apa yang bisa aku lakukan?” “Haaaah…. haaaahh…. haah….” Thong-thian Kaucu tertawa terbahak bahak, bila pinto berani mengingkari janji, maka dipersilahkan Ciu heng sekalian untuk memenggal batok kepalaku ini!”
“Hmm, kau anggap aku tak berani melakukannya?” teriak Ciu It-bong penuh kegusaran.
Tubuhnya mendadak mencelat keudara dan langsung menerjang ke arah Tnian Ik-cu.
Thong-thian Kaucu tak berani bertindak gegabah, sepasang kakinya menjejak tanah lalu loncat bangun dari atas kasur, sepasang telapaknya disilangkan di depan dada siap menghadapi segala kemungkinan,
Terdengar Ciu It-bong mendengus dingin dengan gunakan jurus Kun-siu-ci-tauw ia kirim satu pukulan yang maha dahsyat bagaikan tindihan gunung Thay san ke atas batok kepala Thian Ik-cu.
Serangan yang dilancarkan oleh Ciu It-bong sendiri ini benar-benar luar biasa sekali, melihat datangnya ancaman itu Thong-thian Kaucu tahu bahwa tak mungkin bagi dirinya untuk memunahkan serangan tadi, sepasang bahunya segera bergerak, tubuhnya merandek setengah depa ke belakang dan dalam sekejap mata dia meloloskan diri dari kepungan angin pukulan lawan.
Sreeet! Senjata hud-timnya yang langsung dibahat kemuka. Ciu It-bong putar badannya di tengah udara untuk meloloskan diri dari babatan senjata hud-tim tersebut, kemudian rentangkan lengannya dan melakukan terjangan untuk kedua kalinya.
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, tubuhnya melayang keudara dan hinggap di atas tempat duduk dimana Ciu It-bong berada tadi, katanya sambil tertawa, “Tidak aneh kalau ketiga orang Cousu perkumpulan kami selalu memuji akan kehebatan Ciu heng, jurus pukulanmu ini memang betul-betul luar biasa dan cukup untuk menjagoi kolong langit”
Ciu It-bong yang bergebrak satu jurus melawan kaucu dari Thong-thian-kauw dengan hasil kedua belah pihak saling bertukar tempat belaka kontan melototkan matanya sesudah mendengar perkataan itu, serunya sambil tertawa dingin, “Heehhh…. heeehhh…. heeehhh dari perkumpulan Thong-thian-kauw masih ada berapa orang tua bangka yang berani mengejek kemampuan dari aku orang she Ciu? Kalau engkau tidak undang mereka untuk tampil ke depan lagi, jangan salahkan kalau aku akan mulai memaki!”
“Dimaki juga tak ada gunanya,” jawab Thong-thian Kaucu sinis, ketika engkau berada di dalam penjara batu tadi, ketiga orang Cou-su kami berada tepat di belakang tubuhmu, tapi sekarang mereka telah berlalu semua dari tempat ini.”
Ciu It-bong berkaok-kaok aneh, mendadak ia tutup mulut dan gelengkan kepalanya berulang kali. “Hidung kerbau tua, kau ngaco belo dan bicara tak karuan, aku percaya di kolong langit belum ada orang yang mampu mengutil di belakang punggungku tanpa diketahui!”
Thong-thian Kaucu tersenyum, dia alihkan pembicaraan ke soal lain dan bertanya, “Engkau dengar dari siapa kalau pedang emas itu berada di tanganku….?”
“Bocah itu yang bilang!” jawab Ciu It-bong sambil menuding ke arah Hoa Thian-hong.
“Hey, bocah keparat, kau dengar dari siapa kalau pedang emas itu berada disini?” tegur kaucu itu kemudian sambil berpaling.
Sejak dadanya tertusuk oleh ujung pedang Ang Yap toojin, mulut luka didada Hoa Thian-hong telah melebar sampai dua cun panjangnya, meskipun tidak sampai melukai otot dan tulangnya namun karena tidak dibalut maka darah mengalir keluar tiada hentinya, hal ini sangat merugikan kesehatan tubuhnya.
Ditambah lagi pikirannya sedang kusut dan hatinya terasa berat, maka wajah pemuda itu kelihatan lesu dau kacau sekali.
Ketika Thong-thian Kaucu ajukan pertanyaan tadi, ia gerakan bibirnya hendak menjawab, tapi secara tiba-tiba timbul keseganan untuk buka suara, maka akhirnya tetap ia membungkam dalam seribu bahasa. Melihat pemuda itu tetap membungkam dan tidak menggubris pertanyaan, air muka Thong-thian Kaucu berubah hebat, sambil mengebaskan senjata Hudtimnya kemuiian dia membentak, Bocah keparat. Engkau melongo dan duduk termangu-mangu seperti orang bodoh, apa sedang bermimpi?”
Sejak ia bertukar tempat dengan Ciu It-bong, jaraknya dengan Hoa Thian-hong jadi lebih dekat lagi, kebasan senjata hudtim nya itu kelihatan akan segera mengenai tubuhnya…. buru-buru ia angkat pedang untuk menangkis.
Thong-thian Kaucu amat benci dan mendendam karena murid didikannya dibunuh orang, dia ingin sekali membinasakan Ciu It-bong dan Hoa Thian-hong pada saat itu juga, namun karena situasinya tidak mengijinkan maka niat tersebut untuk sementara tak dapat dilaksanakan.
Sekarang melihat pemuda itu menangkis serangannya dengan angkat pedang, pergelangan segera digetarkan dan senjata Hudtim menggulung ke arah depan, tiba-tiba pedang lawan dijangkau dan di tengah sentakan iman tua itu membentak keras.
“Enyah kau dari sini!”
Hoa Thian-hong merasa telapaknya jadi kaku, pedang bajanya seketika terlepas dari cekalan dan meluncur ke arah Ciu It-bong. Hoa Thian-hong menjadi gusar bercampur malu, ia takut Ciu It-bong tak mau mengembalikan ketangannya, sambil menahan sakit tubuhnya segera meluncur keudara dan menubruk ke arah pedang bajanya.
Thong-thian Kaucu menyeringai seram, hud tim nya kembali dikebut kemuka….Weess! dengan telak bersarang di atas lutut pemuda itu.
Sambil menggertak gigi Hoa Thian-hong mendengus berat, celananya robek dan kakinya berdarah, sementara tubuhnya segera terbanting jatuh di atas tanah.
Dua orang iman cilik baju merah yang berdiri disisi arena segera tertawa cekikikan karena geli ketika melihat Hoa Thian-hong roboh dalam keadaan yang mengenaskan.
Si anak muda itu sendiri walaupun badannya terbanting ke tanah, namun pedang bajanya berhasil dirampas kembali, dia loncat bangun ke atas dan menyilangkan pedangnya di depan dada dengan mulut membungkam.
Sepasang matanya berubah jadi merah berdarah, rasa benci dan dendam berkecambuk dalam dadanya, ia sadar bahwa kepandaian silatnya masih jauh ketinggalan kalau dibandingkan dengan Thian Ik-cu, karena itu untuk beberapa saat lamanya ia tak berani bergerak secara sembarangan.
Ciu It-bong jadi iba dan kasihan melihat pemuda itu terluka di ujung senjata Thong-thian Kaucu , apalagi setelah dilihatnya darah masih mengucur keluar dari dada dan kakinya, bagaimanapun ia pernah mewaris-kan ilmu silatnya kepada pemuda itu, maka dengan suara dalam ia berseru, “Hidung kerbau tua, kalau engkau teruskan perbuatanmu yang brutal dan tak tahu malu itu, maka kesulitan akan kau hadapi dengan segera…. ayoh cepat ambil keluar obat luka luar untukku, akan kubalutkan luka bocah itu. Apalagi sekarang tengah hari sudah lewat, perutku sudah harus diisi….”
“Oohoo…. kau tak usah kuatir, selamanya keparat ini tak pernah mendendam kepada orang, aku dengar orang berkata tempo hari Pek Siau-thian ayah dan anak pernah menghina dan menyiksa dirinya habis-habisanan, ternyata di kemudian hari bukan saja ia tidak mendendam terhadap mereka malah rela tenaga buat keluarga Pek, karena itulah walaupun sekarang pinto sudah kasih pelajaran yang berat kepadanya, lewat beberapa waktu toh dia akan melupakannya kembali!”
Tertegun Hoa Thian-hong mendengar perkataan itu, kemudian pikirnya lebih jauh, “Aku mengira jika menghadapi manusia dengan kebajikan maka dunia akan jadi aman, tak tahunya justru perbuatanku ini maka sampai pihak musuh pun memandang rendah diriku!”
Berpikir sampai disitu ia jadi kecewa dara menyesal sekali…. tiba-tiba ia teringat akan sesuatu, wajahnya seketika berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, sekujur tubuhnya gemetar keras.
Ciu It-bong yang melihat keadaanya itu segera mengira kalau pemuda itu telah naik pitam dan siap beradu jiwa dengan Thian Ik-cu, buru-buru teriaknya dengan suara lantang, “Hoa Thian-hong, hidung kerbau itu ini sudah duapuluh tahun lamanya memegang pucuk pimpinan perkumpulan Thong-thian-kauw, bapakmu sendiri pun tak berani pandang enteng dirinya, kalau engkau tak tahu diri maka itu berarti mencari penyakit buat diri sendiri”
Hoa Thian-hong menggelengkan kepalanya, ia tetap membungkam.
“Ciu heng!” terdengar Thong-thian Kaucu mengejek.” rupanya kesanmu terhadap bocah keparat itu tidak terlalu jelek!”
“Hmm! Kalau tidak terlalu jelek lantas kenapa?” teriak Ciu It Boug dengan nada ketus, “kalau engkau tidak puas, silahkan cari aku orang she Ciu untuk bikin perhitungan”
00000O00000
33
Thong-thian Kaucu tertawa, katanya, “Kau repot benar untuk melakukan pembalasan dendam sedang pinto repot untuk pukul mundur musuh tangguh, boleh dibilang kita punya persoalan yang sama-sama re- potnya…. kalau ingin bertempur aku rasa lebih baik ditunda saja sampai diselenggarakannya pertemuan besar Kian ciau Tay hwee!”
“Hmm! Siapa yang takut terhadap dirimu?” “Locianpwee, aku ingin mohon diri terllebih dahulu,” tiba-tiba Hoa Thian-hong berseru sambil memberi hormat, kemudian dengan langkah lebar ia berlalu dari sana.
Cing Lian siauto jadi naik pitam menyaksikan pemuda itu hendak berlalu dengan seenaknya, ia melesat ke depan dan menghadang di depan pintu, hardiknya, “Hoa Thian-hong, siapa yang suruh engkau pergi?”
Dia adalah murid tertua dari Thong-thian Kaucu , sejak Hoa Thian-hong membinasakan seorang imam cilik baju merah serta Ciu It-bong membunuh pula seorang imam cilik dan menguntungi kaki Ang Yap toojin, ia catat semua hutang tersebut atas nama si anak muda itu, maka setelah menyaksikan Hoa Thian-hong hendak berlalu, ia bersikeras menghalanginya.
Hoa Thian-hong segera membentuk keras, pedang bajanya diayun kemuka melancarkan sebuah bacokan.
Sreeet. .! desiran angin tajam menyapu ke muka, sebelum pedang itu tiba, segulung hembusan hawa pedang yang dahsyat telah mennyambar datang lebih dahulu.
Cing Lian siauto amat terperanjat, buru-buru ia jejak kakinya ke atas tanah dan menyingkir kesamping
Thong-thian Kaucu merasa terkejut bercampur gusar, dia putar badan dan berseru sambil menyeringai seram, “Keparat cilik, lihat dulu dimanakah saat ini engkau berada…. berani benar main kasar disini…. Hmm….! Nyalimu benar-benar tidak kecil….!”
Senjata Hud-timnya diputar ke depan, tiba-tiba ia totok jalan darah Gi cung hiat di tubuh Hoa Thian-hong.
Mendengar muncilnya desiran angin tajam dari arah belakang, pemuda itu segera putar badan, tanpa memandang barang sekejappun pedangnya dibacok ke belakang.
Serangan itu tajam dan cepat sekali, kendati Thong- thian Kaucu mempunyai ilmu silat yang maha tinggipun tak berani menangkis dengan keras lawan keras, buru- buru ia mengepos tenaga dan tarik lambungnya ke belakang.
Weeees….! Ujung pedang itu diiringi desiran angin tajam menyambar lewat di atas dadanya dan hampir saja merobek jubah pertapaan yang dia kenakan.
“Hidung kerbau tua!” teriak Ciu It-bong dengan cepat, dia hendak pergi ‘lari racun’ mau apa kau tahan dirinya?”
“Keparat itu merupakan satu-satunya saksi hidup yang mengetahui peristiwa pembunuhan atas diri Jin Bong aku ada persoalan yang hendak ditanyakan kepadanya”
Sambil menerjang kemuka, lengannya di rentangkan, dengan gagang Hudtimdnya sodok perut pemuda itu.
Hoa Thian Hone membentak keras, pedang bajanya ditekan ke bawah dan langsung membacok musuhnya. Setelah hawa amarah menyelimuti wajahnya, keadaan pemuda itu boleh dibilang sudah berubah sama sekali, matanya melotot alisnya berkerut seolah-olah malaikat bengis yang sedang mencari mangsa.
Ruangan itu merupakan tempat Thian Ik-cu berlatih tenaga dalam, setelah Hoa Thian-hong menghadang di depan pintu sambil mengirim bacokan-bacokan mautnya, sulit bagi imam tua itu untuk menerjang ke depan, beberapa kali ia terdesak mundur kembali ke belakang.
Melihat serangannya berulang kali digagalkan oleh pemuda itu, Thong-thian Kaucu jad i gusar dan marah sekali, senjata hud-timnya dipindahkan ke tangan kiri lalu dengan telapak disilangkan di depan dada perlahan-lahan ia maju ke depan.
Ciu It-bong takut si anak muda itu tak tahu lihay, buru-buru bentaknya keras, Hoa Thian-hong, cepat mundur ke belakang!”
Bersama itu pula terdengar teriakan seoang perempuan dengan suara yang gelisah, “Kaucu…. jangan turun tangan keji!”
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, Giok Teng Hujin diiringi Hoa In telah muncul di atas loteng.
Semua peristiwa itu berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan begitu menyaksikan keadaan dari majikan kecilnya, Hoa In jadi amat terperanjat, bagaikan hembusan angin puyuh dia meloncat ke muka dan membentak keras, “Siau Koan-jin, cepat menyingkir!”
Setelah dada dan kakinya terluka sehingga darah banyak yang hilang, Hoa Thian-hong sadar bahwa ia tak mampu membendung datangnya angin pukulan dari Thong-thian Kaucu , mendengar Hoa In sudah datang cepat-cepat ia menyingkir ke samping.
Thong-thian Kaucu bermata tajam, sekilas memandang dia sudah mengenali orang itu sebagai Hoa In, ditambah pula dari laporan Ang Yap toojin ia sudih tahu kalau ilmu pukulan Sau yang ceng ki nya lihay sekali, maka dalam keadaan itu terpaksa ia manambahi tenaganya menjadi sepuluh bagian dan mengirim satu pukulan gencar.
Setelah mengetahui majikan mudanya terluka parah, Hoa In sudah diliputi oleh hawa gusar yang memuncak, ketika menerjang ke depan pintu hawa sakti Sau yang ceng ki nya telah dihimpun sampai sepuluh bagian, dengan cepat dia lancarkan satu pukulan untuk menyambut datangnya ancaman tersebut.
Blaaam….! Ketika sepasang telapak saling beradu satu sama lainnya, terjadilah ledakkan dahsyat yang menggetarkan seluruh ru angan, gulungan angin tajam memancar keempat penjuru, pintu depan ruangan itu seketika ambruk dari tempatnya, lukisan di atas dinding terlempar jauh ke belakang dan separuh bagian diantaranya tersayat robek. Tong Thiao Kaucu berdiri saling berhadapan dengan Hoa In pada jarak kurang dari lima langkah, dada mereka bergelombang dan empat mata bertemu jadi satu memandangkan rasa gusar, kaget dan tercengang.
“Loo koankee, harap tahan dulu….” teriak Giok Teng Hujin dengan alis berkerut.
Sejak lenyap Hoa Thian-hong ketika keluar rumah bersama perempuan itu, Hoa In sudah merasa amat tidak puas terhadap Giok Teng Hujin, bila ia tidak membuka suara mungkin masih mendingan, ucapan itu seolah-olah api bertemu dengan bensin, kegusaran Hoa In semakin memuncak.
Dengan mata melotot besar, Hoa In berteriak keras, “Thian Ik-cu, dengarkan baik-baik…. barang siapa berani melukai majikan muda dari perkumpulan Liok Soat Sanceng, maka Hoa In akan mempertaruhkan selembar jiwanya untuk melukukan membalasan!”
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, sepasang telapak diayun berbareng ke depan dengan gunakan tenaga sebesar duabelas bagian.
Thong Thian Kjucu merasa terkejut bercampur gusar, makinya, “Tua hangka sialan….!”
Kakinya melangkah ikuti gerak pat kwi, sepasang telapak didorong kemuka dan menyambut datangnya ancaman itu dengan keras lawan keras. Blaaam….! Suara yang menggelegar kembali bergema di angkasa, kali ini masing-masing pihak mundur beberapa langkah ke belakang dengan sempoyong, di atas lantai lonteng tertera bekas-bekas telapak kaki yang dalam.
Adu kekuatan yang berlangsung saat itu betul-betul mengerikan sekali, seluruh ruangan dalam bangunan loteng itu bergoncang keras, keadaan mengerikan sekali.
Sau yang ceng ki adalah kepandaian ampuh yang diandalkan Hoa Goan-siu sewaktu berkelana di dalam dunia persilatan tempo dulu, meskipun Thong-thian Kaucu memiliki tenaga dalam sebesar enam puluh tahun hasil latihan, akan tetapi setelah bertanding dengan Hoa In keadaan ternyata seimbang.
Setelah dua kali bentrokan kekerasan itu lewat, diam- diam Thong-thian Kaucu merasakan isi perutnya tergoncang dan darah dalam tubuhnya tergolak keras, hal itu menunjukkan hawa isi perutnya sudah terluka, sebaliknya Hoa In sendiri walaupun merasakan pula golakan darah dalam tubuhnya, namun isi perutnya tidak sampai terluka.
Suasana hening untuk beberapa saat lama nya, tiba- tiba Giok Teng Hujin menggoyang bahu Hoa Thian-hong sambil serunya, “Adik Hong kalau ada persoalan kita bicarakan secara baik-baik, cepat perintahkan pengurus tuamu untuk mengundurkan diri”
“Thian Ik-cu adalah salah seorang pembunuh ayahku,” pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, “sudah sepantasnya kalau kubereskan jiwanya, apalagi ia mentertawakan aku lupa akan dendam….Hmm! Sekarang juga aku akan menuntut balas….”
Berpikir demikian selangkah demi selangkah ia segera maju menuju ke tengah gelanggang.
Hoa In yang menyaksikan tingkah laku majikannya jadi gelisah, buru-buru teriaknya, “Siau Koan-jin, jangan ikut campur! engkau berdiri disisi arena saja….”
Ia takut kalau Hoa Thian-hong turut campur dalam pertarungan itu, belum habis perkataannya diucapkan ia sudah menghimpun segenap kekuatan yung dimilikinya dan langsung disodokan ke tubuh Thian Ik-cu.
Thong-thian Kaucu jadi terkejut bercampur gusar, bentaknya dengan hati mendongkol, “Tua bangka sialan, kau benar-benar cari mati?”
Dari perubahan wajah iman tua itu, rupanya Ciu It- bong sudah tahu kalau ia tak mampu melanjutkan pertarungan itu dengan adu kekerasan, tanpa terasa sambil tertawa terbahak-bahak jengeknya, “Haaah…. haaah…. haaah…. hidung kerbau tua gunakan pedangmu, kalau tidak maka pertemuan Kiau ciau tay hwee yang akan diseleng garakan pada bulan tujuh tanggal lima belas bakal gagal dilang-sungkan!”
Iman cilik pembawa pedang yang berdiri disisi kalangan buru-buru loncat maju ke depan setelah mendengar perkataan itu, pedang pusaka digenggamannya langsung diangsurkan ke depan. Thong-thian Kaucu jadi bergirang hati, dia pegang gagang pedangnya dan pencet tombol disana….Crriing….! cahaya tajam berkilauan di angkasa dan muncullah sebilah pedang pusaka di depan mata.
“Pedang bagus!” puji Ciu It-bong dengan suara keras. Thong-thian Kaucu tidak mengubris seruan orang,
dengan wajah hambar katanya, “Hoa In, tempat ini tidak cocok untuk digunakan sebagai gelanggang pertempuran, ayoh kita cari tempat yang lebih lebar untuk menentukan siapa menang siapa kalah diantara kita berdua!”
Sebelum Hoa In sempat menjawab, Ciu It-bong telah berteriak kembali, “Hidung kerbau sialan, kalau kau pingin mati, serahkan dulu pedang emas itu kepada ku”
Hoa Thian-hong yang melihat hal itu segera berpikir di dalam hati, “Ciu It-bong gembar gembor sedari tadi, rupanya ia memang sengaja mengacau terus agar pertarungan tak bisa dilangsungkan. Aa ai….! bagaimana baiknya….”
Sementara itu Giok Teng Hujin sudah maju ke depan, katanya, “Pengurus tua, racun teratai dalam tubuh majikan mudaku sebentar lagi bakal kambuh, sekalipun kau tangguh dan hebat tidak seharusnya kalau berkeras kepala terus…. aaah!” Mendadak dengan air muka berubah, teriaknya, “Adik Hong cepat balut mulut lukamu itu! jangan biarkan darah mengalir tiada hentinya!”
Teringat akan luka yang diderita majikan mudanya, Hoa In jadi amat terperanjat, buru-buru ia dekati Hoa Thian-hong sambil tegurnya, “Siau Koan-jin, apakah racun teratai yang mengeram dalam tubuhmu sudah mulai bekerja?”
Hoa Thian-hong sudah tahu bahwa racun teratai itu bila kambuh maka darah yang mengalir dalam tubuhnya akan bergolak keras, mulut luka akan merekah semakin besar mengakibatkan darah mengalir makin deras.
Dengan mempertahankan ketegangannya ia menjawab sambil tertawa, “Racun teratai baru saja kambuh, untuk beberapa waktu sih tak menjadi soal, perhatikan sekeliling tempat ini baik-baik, hati-hati terhadap serangan bokongan orang!”
Hoa In mengangguk tanda mengerti, setelah menyambut pedang baja itu dia belalakan matanya bulat-bulat, sambil melotot ke arah Thong-thian Kaucu tanpa berkedip ia berjaga-jaga atas serangan yang mungkin dilakukan oleh lawan.
Dari dalam sakunya Giok Teng Hujin ambil keluar sebuah botol porselen, setelah membubuhkan obat luka luar dimulut luka Hoa Thian-hong, dirobeknya pakaian sendiri untuk membungkus dada orang, sikapnya yang gugup dan cemas menunjukkan betapa kuatirnya hati perempuan ini. Thong-thian Kaucu jadi sangsi dan ragu-ragu melihat tingkah laku perempuan itu, beberapa kali dia hendak bicara namun niat itu selalu dibatalkan, sepasang alisnya berkerut kencang…. kalau ditinjau dari keadaan itu, jelas sekali menunjukkan bahwa ia sangat gusar.
Setelah merawat mulut luka Hoa Thian-hong di atas dada, Giok Teng Hujin berjongkok kembali untuk merawat luka disepasang kakinya, waktu itu tengah hari sudah tiba, kadar racun teratai dalam tubuh si anak muda itu mulai membubung naik dari atas pusar dan bercampur dengan darah dalam nadinya, dalam waktu singkat darah yang mengucur keluar dari mulut lukanya berubah jadi hitam pekat bagaikan tinta.
Terdengar Ciu It Boag menghela napas panjang dan berkata, “Aaai….! Keajaiban alam, sungguh tak nyana luar biasa sekali….” setelah berhenti sebentar, teriaknya kembali, “Hoa Thian-hong, totoklah jalan darah pingsanmu…. bagaimana kalau beristirahat sejenak?”
Hoa Thian-hong segera menggeleng.
“Setelah racun teratai itu kambuh, cara apapun tak bisa menolong diriku, apa lagi menotok jalan darah….”
Mendadak pemuda itu merasa bahwa banyak bicara akan merugikan diri sendri, buru-buru ia tutup mulut dan tidak membocorkan rahasia itu lagi….
Tindak tanduk Giok Teng Hujin sungguh cekatan, dalam waktu singkat ia telah membalut luka yang diderita pemuda itu pada sepasang kakinya, hanya darah masih belum berhenti maka sebentar saja kain pembungkus luka itu telah berubah jadi hitam karena darah mengandung racun, terutama sekali luka didadanya membuat orang yang memandang jadi ngeri dan bergidik sekali.
Hoa Thian-hong merasakan sekujur badannya gatal seperti dirambat oleh berjuta-juta ekor semut, rasanya amat tersiksa, menanti lukanya telah dibalut ia segera berkata, “Terima kasih atas bantuan dari cici, siaute ingin mohon diri terlebih dahulu”
“Kau hendak pergi kemana?” tanya perempuan itu sedih.
“Aku sudah tidak tahu dan ingin berlari-lari sebentar….”
Sambil berpaling teriaknya, “Ciu Locianpwse….! Thian Ik su….! Sampai jumpa lain waktu….” tanpa menanti jawaban dia lari lebih dahulu tinggalkan tempat tersebut.
Giok Teng Hujin segera menyusul dari belakangnya, ia berteriak, “Adik Hong, jangan terlalu cepat…. tunggu aku sebentar, ada urusan penting hendak kusampaikan kepadamu!”
Thong-thian Kaucu amat gusar melihat perbuatan perempuan itu, bentaknya nyaring, “Hujien…. berhenti!”
Tapi Giok Teng Hujin tidak menggubris teriakan tersebut, sambil mendampingi Hoa Thian-hong dia lari turun dari loteng, Hoa In berjalan dipaling belakang dan bersama-sama tinggalkan istana Yang sim tian.
Sepanjang jalan walaupun ada orang yang melakukan penjagaan, tapi berhubung Giok Teng Hujin berada bersama mereka, maka siapapun tak berani menghalangi kepergian beberapa orang itu.
Dalam waktu singkat mereka bertiga sudah berada diluar kuil.
Setelah racun teratainya kambuh, rasa sakit didada dan kaki pemuda itu sudah tidak terasa lagi, tetapi setelah menyaksikan darah yang mengucur keluar dari dadanya tidak berhenti, ia jadi gugup sekali.
Sambil lari ia tutup mulut lukanya dengan sepasang tangan, teriaknya, “Cici…. benarkah engkau she Siang?”
Giok Teng Hujin tertegun lalu mengangguk, “Benar aku bernama Siang Hoa, tetapi kecuali engkau seorang tak ada yang tahu tentang namaku ini”
“Apa hubunganmu dengan Pedang sakti yang menyapu daratan Tionggoan, Siang Tang Lay?”
Air muka Giok Teng Hujin berubah hebat setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu ia menjawab sambil tertawa….
“Si Tolol…. akhirnya engkau berhasil menebaknya juga dengan jitu,” setelah berhenti sebentar, dengan wajah sedih lanjutnya, “Pedang sakti yang menyapu daratan Tiong goan Siang Tang Lay bukan lain adalah ayah enci, sekarang kau tentu sudah mengerti bukan?”
Meskipun Hoa Thian-hong telah menebaknya sejak semula, namun setelah mendengar pengakuan dari perempuan itu tak urung hatinya merasa terperanjat juga, teringat bahwa dia adalah putri dari Siang Tang Lay maka bisa diduga maksudnya perempuan itu jadi anggota perkumpulan Thong-thian-kauw tentu mengandung rencana tertentu.
Terdengar Giok Teng Hujin berkata lagi, “Adik Hong, persoalan yang paling menyedihkan hati cici selama ini adalah peristiwa ditepi sungai Huang-ho tempo hari, aku menyesal mengapa tidak tampilkan diri untuk menyelamatkan jiwamu….”
“Ketika itu kita tak pernah saling kenal mengenal, mau menolong atau tidak bukanlah suatu masalah yang penting, toh sekarang aku masih hidup segar bugar?
Buat apa kau ungkap kembali peristiwa yang sudah lewat itu….?”
Giok Teng Hujin meagbela napas panjang. “Engkau adalah pendekar sejati yang berhati bajik,
kau hanyalah tahu menyalahkan diri sendiri tak tahu
menyalahkan orang. Aaaaai….! ayahmu pernah melepaskan budi pertolongan kepada ayahku, aku hanya ingin membalas dendam dan tak tahu membalas budi…. sekarang keadaan berubah jadi begini inilah dosa yang harus kupikul” “Bagaimana sih keadaan cici pada saat ini?” tanya Hoa Thian-hong tidak habis mengerti, “apakah Thian Ik-cu sudah menaruh curiga terhadap dirimu?”
“Huuuh….! Siapa sih yang ajak engkau bicarakan tentang persoalan itu?” tukas Giok Teng Hujin sambil tertawa, “Coba pikir lah, seandainya pada tempo hari akulah yang menolong dirimu, maka sekarang orang yang selalu kau ingat dan kau bayangkan adalah diriku, dan bukan Chin Wan-hong”
Hoa Thian Hang tersenyum mendengar perkataan itu. “Cici, pikiranmu terlalu picik” serunya, tiba-tiba ia
menghela napas dan melanjutkan, “Pek Soh-gie yang melakukan perjalanan bersama aku kini ditawan oleh Thian Ik-cu, bagaimanakah nasibnya hingga kini belum diketahui, bila berbicara tentang soal setia kawan, sudah sepantasnya kalau aku harus berusaha menolong dirinya lebih dahulu, tetapi….”
Mula-mula Giok Teng Hujin tertegun, kemudian serunya dengan nada agak mendongkol, “Pek Siau-thian adalah pangcu dari perkumpulan Sin-kie-pang, siapa suruh engkau mencampuri urusannya?”
“Kita sebagai manusia harus berbuat kebajikan dan kebaikan tanpa memandang bulu dan memilih orang. Aaai….! Mungkin saja aku adalah orang yang terlalu memandang penting persoalan yang remeh….” Buru-buru Giok Teng Hujin tertawa ketika melihat pemuda itu mengeluh dan tiba-tiba tidak senang hati, ujarnya, “Kau tak usah berpikir yang bukan-bukan…. ketahuilah jago lihay yang dimiliki perkumpulan Thong- thian-kauw banyak sekali, sekali pun engkau pertaruhkan selembar jiwamu belum tentu gadis itu berhasil kau selamatkan”
Bicara sampai disitu kembali ia berpaling memandang sekejap sekeliling tempat itu, melihat disitu tak ada orang, lanjutnya, “Adik Hong, bersabarlah sedikit…. coba berhentilah sebentar, akan kuperiksakan lukamu itu”
Hoa Thian-hong berhenti berlari, ketika melihat darah racun telah membasahi seluruh dadanya, ia menghela napas panjang.
“Waaah…. kalau begitu terus keadaannya darahku akan mengalir sampai habis dan akhirnya aku tentu akan mati kekeringan,” keluhnya.
Hoa In sudah cemas sekali sedari tadi, keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya, mendengar perkataan itu ia berseru, “Siau Koan-jin, mari kita menuju keutara kita coba minta pertolongan dari Dewa suka pelancongan Cu tayhiap”
Namun Hoa Thian-hong segera gelengkan kepalanya. “Cu locianpwee suka berpesiar kemana-mana,
sekarang dia entah berada dimana? Sekalipun kita
berhasil temukan dirinya juga belum tertu ada gunanya” “Kalau begitu kita cari Cu Im taysu saja.”
“Penyakitku adalah penyakit yang sangat aneh, percuma…. mereka tak mungkin bisa mengobatinya,” jawab pemuda itu sambil tertawa.
Sementara pembicaraan itu masih berlangsung, Giok Teng Hujin telah putar badan melepaskan jubah luarnya, dari saku dia ambil keluar sebuah kotak kumala yang panjangnya empit cun dengan tebal delapan dim, ujarnya sambil tertawa, “Adik Hong, coba tebak api isi kotak ini.
“Coba kulihat dulu….!” seru Hoa Thian-hong dengan wajah tercengang.
Giok Teng Hujin tertawa, dengan sangat hati-hati ia membuka kotak kumala itu, sambil diangsurkan kehadapan pemuda itu serunya manja, “Coba lihatlah….Leng-ci berusia seribu tahun ini sudah disimpan ayahku selama sebelas tahun lamanya, kemudian aku pun menyimpan kembali selama belasan tahun…. obat ini merupakan obat mujarab yang bisa digunakan untuk menolong orang yang hampir mati, perduli obat ini bisa memunahkan racun dari Teratai empedu api atau tidak, makanlah lebih dahulu!”
Hoa Thian-hong jadi sangat kegirangan, ketika ia periksa isi kotak itu maka tampaklah dalam kotak berisikan sebatang rumput aneh yang bentuknya luar biasa, separuh bagian kotak itu berisikan tanah berwarna hitam, rumput mujarab itu tertanam di atas tanah yang lembab dan seolah-olah baru saja digali dari atas tanah, bau harum semerbak yang menyegarkan badan segera tersiar ke luar. Hoa Thian-hong yang mencium bau harum itu merasakan badannya nyaman dan segar sekali.
Melihat pemuda itu menunjukkan rasa kejut bercampur girang, Giok Teng Hujin jadi amat senang, katanya, “Aku sendiripun tak tahu bagaimanakah cara menggunakan obat Leng-ci ini, telan saja seakar- akarnya…. aku rasa tak mungkin bisa terlalu salah….!”
Melihat perempuan itu hendak mencabut obat, buru- buru Hoa Thian-hong mencegahnya, sambil berseru, “Cici…. jaa…. jangan kau sentuh….”
“Kenapa? tumbuhan yang ada di kolong langit adalah diberikan kepada umat manusia kalau manusia tak mau memakainya maka semuanya akan jadi barang yang tak berguna”
“Siaute hendak….”
“Kau hendak berbuat apa?” tanya Giok Teng Hujin dengan halus bercampur sayang, “berada dihadapan cici, utarakan saja semua perkataanmu itu….!”
Titik air mata tiba-tiba jatuh berlinang di atas wajah Hoa Thian-hong, ujarnya, Sejak termakan oleh sebuah pukulan dahsyat waktu menghadiri perempuan besar Pek Beng Tay hwee, ibuku menderita luka dalam yang amat parah…. hingga kini keadaannya belum sembuh benar…. selama belasan tahun selalu menderita dan tersiksa….!” pemuda itu berhenti sebentar, dengan wajah menyesal, serunya, “Bila cici suka menghadiahkan Leng- ci ini kepadaku maka penyakit yang diderita ibuku tentu akan sembuh…. budi dari cici ini.”
“Apa itu budi?” tukas Giok Teng Hujin cepat, “Lengci berusia seribu tahun ini toh sudah kuhadiahkan kepadamu, benda itu hendak kau pergunakan untuk apa adalah urusanmu sendiri….”
Berbicara sampai akhirnya, suara perempuan itu berubah jadi ketus dan keras.
“Persoalan ini menyangkut tentang kesehatan ibuku, terpaksa aku harus tebalkan muka.” pikir Hoa Thian-hong di dalam hati.
Berpikir demikan ia segera menerima kotak kumala itu dari tangan Giok Teng Hujin kemudian dengan sangat hati-hati menyimpannya ke dalam saku.
“Terima kasih cici!” serunya dengan hati kegirangan.
Giok Teng Hujin jadi serba salah dan tak bisa berbuat apa-apa kecuali berdiri melongo, walaupun hatinya merasa kecewa namun perasaan tersebut tak berani diutarakan ke luar.
Hoa In tak bisa menahan diri, ia segera melangkah maju ke depan dan berseru, “Siau Koan-jin, Teratai racun empedu api adalah racun yang tak bisa dipunahkan…. sedangkan Leng-ci berusia seribu tahun merupakan obat mujarab di kolong langit, inilah berkat perlindungan dari sukma toa ya serta, cinta kasih nona Siang, engkau harus….”
Hoa Thian-hong amat cemas, tidak menunggu perkataannya selesai diucapkan, dengan lagak tuan mudanya ia membentak dengan suara gusar, “Teratai racun empedu api tak akan meracuni diriku sampai mati. kau tak usah berpikir yang bukan-bukan lagi, kalau berani mem-bangkang maka aku tak sudi melakukan perjalanan bersama dirimu!”
Tertegun hati Hoa In mendengar perkataan itu, tanpa terasa air matanya jatuh berlinang membasahi pipinya, ia mengeluh, “Siau Koan-jin, dari keluarga Hoa tinggal sau ya seorang yang masih hidup….”
“Apa ibuku bukan orang? Apa engkau bukan orang?
Bentak Hoa Thian-hong dengan gusar, sehabis berkata ia putar badan dan segera berlalu dari sana.
Tertegun hati Giok Teng Hujin menyaksikan kesemuanya itu, setelah berpikir sebentar, tiba-tiba ia tertawa lalu membisikan sesuatu kesisi telinga Hoa In.
Pelayan tua itu segera mengangguk berulang kali dan buru-buru menyusul majikan mudanya.
Setelah berlarian beberapa saat lamanya Hoa Thian- hong berpaling, ketika dilihatnya hanya Hoa In seorang yang menyusul dirinya ia jadi tak tenang, segera tegurnya, “Dimanakah enci Siang?”
“Nona Siang telah kembali ke kuil It-goan-koan!” “Thian Ik-cu adalah seorang manusia yang cabul dan berhati kejam” pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, “lain kali kalau bertemu lagi, aku akan menasehati dirinya untuk cepat-cepat lepaskan diri dari perkumpulan Thong- thian-kauw!”
Tiba-tiba terdengar Hoa In berseru, “Siau Koan-jin, darah di atas dadamu masih mengalir terus, bagaimana baiknya?”
“Tidak menjadi soal, perlahan-lahan toh akan sembuh dengan sendirinya….!”
“Sekarang kita akan pergi kemana?”
Hoa Thian-hong berpikir sebentar, lalu menjawab, “Aku hendak mencari sesuatu tempat yang tersembunyi letaknya di sekitar sini, di samping merawat luka aku hendak berlatih ilmu pedang, sedang engkau boleh berangkat ke kota Ceng kang dan beri tahu kepada Pek Siau-thian kalau putri sulungnya Pek Soh-gie telah diculik oleh Thian Ik-cu, setelah itu pergilah mencari Cu Im taysu serta Ciong Lian-khek cianpwee, kalau bisa berangkatlah secara berombongan menuju ke gunung See thian pada tanggal limabelas nanti, aku sendiri akan langsung pergi menghadiri pertemuan Kian ciau Tay hwee tersebut!”
Dengan tenang Hoa In mendengarkan perkataannya itu hingga selesai, kemudian menggeleng dan menjawab, “Siau Koan-jin boleh menyusun rencana lain, sekalipun budak akan dibunuh tak nanti akan kutinggalkan diri Siau Koan-jin lagi”
Perkataannya begitu tegas dan keras membuat Hoa Thian-hong jadi tertegun.
“Tapi urusan ini penting sekali….” serunya.
“Perduli urusan ini penting atau tidak, sekalipun budak dibunuh juga tak akan kutinggalkan Siau Koan-jin barang selangkah pun”
Hoa Thian-hong jadi amat terharu mendengar keputusan pelayan tuanya, ia tidak ingin mengecewakan hati orang itu lagi, setelah tertegun sebentar, katanya, “Kalau begitu mari kita pergi mencari Chin Locianpwee lebih dahulu, ooh yaa…. masih ada si pahlawan tua berkerudung itu, kitapun harus saling berkenalan”
Yang dipikirkan Hoa In adalah jangan sampai berpisah dari sisi majikan mudanya, tentang soal lain dia tidak menaruh perhatian.
Begitulah setelah mengambil keputusan maka berangkatlah kedua orang itu dengan kecepatan bagaikan hembusan angin, ketika tengah hari sudah lewat racun teratai dalam tubuh Hoa Thian-hong pun tenggelam kembali ke dasar pusar, tetapi karena terlalu banyak darah yang mengalir keluar, wajahnya kelihatan lesu dan layu.
Beberapa waktu kemudian, sampailah kedua orang itu diluar sebuah kota. Hoa Thian-hong menghentikan langkah kakinya, sambil menghembuskan napas panjang katanya, “Aku sudah lelah sekali, mari kita bersantap sambil beristirahat sebentar!”
“Leng-ci berusia seribu tahun itu adalah satu benda yang mujarab sekali, cuma dicium saja sudah mendatangkan manfaat yang besar…. Siau Koan-jin! Kalau badanmu merasa kurang enak, ciumlah beberapa kali agar kesehatanmu segar kembali!!”
Hoa Thian-hong menggeleng.
“Benda mustika akan memancing keserakahan orang, benda itu mempunyai hubungan yang erat sekali dengan diriku, mulai hari iui janganlah sekali-kali kau sebut lagi tentang obat itu, kalau sampai kabar ini bocor di tempat luaran…. waah! bakal banyak kerepotan yang akan kita jumpai”
Hoa In menyanggupinya tanpa membantah maka masuklah kedua orang itu ke dalam sebuah rumah makan dan bersantap sampai kenyang.
Baru saja mereka selesai bersantap, tiba-tiba dari luar rumah makan berkumandang datang suara seseorang yang serak dan tak aneh didengar sedang berkata, “Seng sam ko, kita harus mencari satu akal untuk menyingkirkan nenek tua itu, kita musti lihat macam apa sih goa malaikat yang dia katakan hebat itu….” Hoa Thian-hong merasa suara itu sangat dikenal olehnya, ia segera menengadah ke atas dan memandang ke depan…. tapi sebentar saja ia telah berdiri tertegun.
Rupanya dari luar rumah makan telah muncul tiga orang jago. ketika mereka bertiga menjumpai Hoa Thian- hong pun berada disitu orang-orang itu nampak melengak dan ragu-ragu untuk masuk ke dalam ruangan.
Kiranya tiga orang yang baru saja munculkan diri itu bukan lain adalah jago-jago lihay dari perkumpulan Hongg In Hwee, salah satu diantaranya berpotongan hwesio dengan badan yang gemuk bulat, dia bukan lain adalah Seng Sam Hau, orang yang barusan bicara adalah seorang pria berbadan pendek, sedang orang ketiga berbadan tinggi kurus dengan muka hijau menyeramkan, dia bukan lain adalah Siang Kiat.
Orang ini mempunyai saudara bernama Siang Hau, ketika melancarkan serangan bokongan dengan ilmu cakar walangnya sewaktu berada di rumah makan Kie ing loo di kota Cho ciu tempo hari, telah menemui ajal nya di tangan Hoa Thian-hong.
Dalam pada itu si anak muda tersebut pun diam-diam berpikir setelah menyaksikan kehadiran ketiga orang itu, “Ketiga orang itu masih bukan tandingan dari Hoa In, aku benar- benar sudah teramat payah…. aaai….! Segala macam kurcaci macam dia, lebih baik dilepaskan saja!”
Berpikir demikian ia segera memberi tanda kepada Hoa In kemudian bangkit tinggalkan tempat duduknya. Pemuda itu segan mencari gara-gara, pada dasarnya ia sudah bersantap kenyang dan hendak berlalu maka tanpa banyak bicara pemuda itu berjalan menuju keluar.
Hoa In tak tahu maksud hati majikannya melihat ia bangkit dan berlalu pelayan tua ini segera menyambar pedang bajanya dan mengikuti dengan langkah lebar.
Waktu itu Seng Sam Hau bertiga masih berdiri di depan pintu, ketika menyaksikan kemunculan Hoa In mereka jadi terperanjat tanpa banyak bicara ketiga orang itu segera loncat mundur ke belakang dan berdiri di tengah jalan raya.
Hoa In tertegun, dengan langkah lebar ia berjalan keluar dari ruang rumah makan, setelah menyorenkan pedang bajanya di atas punggung, ia menegur dengan suara dingin, “Hmm! Mau turun tangan? Majulah bertiga…. daripada aku musti buang waktu dan tenaga dengan percuma”
Dengan Cepat ketiga orang itu saling bertukar pandangan sekejap, tiba-tiba Seng Sam Hau tertawa terbahak-bahak.
“Haaah haaah….Hoa In, kau benar-benar ingin bertarung….?” serunya.
Hoa In tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya, “Ciong Lian-khek toako apakah masih berada di dalam perkumpulanmu?” “Ciong Lian-khek telah dibunuh oleh sam ko kami,” jawab Seng Sam H&u, ketika dilihatnya dada dan kaki si anak muda itu penuh dengan darah berwarna hijau, ia jadi curiga, tegurnya lebih jauh, “Hoa Thian-hong, siapa yang melukai dirimu hingga menjadi begitu rupa….?”
Hoa Thian-hong mendengus dingin pikirnya, “Perkataan orang ini ngawur dan tidak katuan, kalau dilihat keadaannya yang tidak tenang rupanya ada satu kejadian sedang ber langsung….”
Dalam hati ia herpikir demikian, sedang diluaran ia segera bertanya, “Dimana Cia Kim? dan Jien Tang-kee kalian kini berada dimana?”
Jejak dari Cong-Tang-kee kami tidak jelas sebaliknya Cia Samko berada di sekitar tempat ini, kalau kau punya nyali, ayoh ikut kami pergi kesitu….” teriak Seng Sam Hau dengan mata melotot.
Hoa Thian-hong tertawa, ia ulapkano tangannya dan berseru, “Bawa jalan, kalau Cia Kim tidak berhasil ditemukan….Hmm! akan kusuruh engkau rasakan kelihayanku!”
Seng Sam Hau mendengus dingin, dia ulapkan tangannya dan segera berangkat lebih dahulu.
Siang Kiat serta pria pendek itu buru-buru menyusul di belakang rekannya, Hoa Thian-hong pun menggape ke arah Hoa In kemudian mengikuti di belakang ketiga orang itu. Sebentar saja mereka sudah keluar dari kota itu dan berlarian menuju ke arah selatan.
“Siau Koan-jin, permainan setan apa yang sedang dilakukan bajingan itu….?” tanya Hoa In dengan wajah bingung.
Hoa Thian-hong tertawa.
“Seng Sam Hau adalah seorang hweesio yang tidak pantaDg arak dan daging, sudah terlalu banyak perbuatan jahat yang dia lakukan, tadi ia ketakutan karena mengira kau hendak turun tangan…. dalam keadaan begini tak mungkin dia bisa bermain setan….”
“Tadi mereka membicarakan tentang gua malaikat dan nenek tua…. permainan apa pula yang sedang berlangsung?”
“Ikuti saja jejak mereka! Sekarang adalah saatnya banyak urusan, mereka bisa berkeliaran di tempat luaran itu berarti bahwa orang-orang itu sedang melakukan tugas!”
Sementara itu Seng San Hau sekalian yang menyaksikan Hoa Thian-hong berdua menguntil terus di belakang mereka, buru-buru mem percepat larinya dan berbelok ke tempat yang terpencil kemudian menuju kederetan bukit disebelah Barat daya.
Setengah jam sudah lewat, namun mereka masih juga berlarian di tempat yang sunyi itu…. lama sekali belum sampai juga di tempat tujuan, baru saja Hoa Thian-hong merasa curiga, tiba-tiba Hoa In menuding ke depan sambil berteriak, “Siau Koan-jin, coba lihat! disana ada orang sedang bertempur….!”
Hoa Thian-hong segera alihkan sorot matanya kemuka, tampaklah dihadapan mereka terbentang dua buah bukit yang dipisahkan oleh sebuah jurang, di atas jurang terbentang sebuah jembatan batu yang luasnya beberapa depa tapi terpatah-patah, dua orang nenek tua berambut putih duduk berhadapan muka di tengah jembatan batu itu. pukulan demi pukulan dilancarkan tiada hentinya satu sama lain…. pertarungan sedang mencapai pada keadaan yang amat seru.
Sementara itu Seng Sam Hau bertiga telah tiba di ujung jalan, dikedua belah sisi jurang, tampaklah serombongan jago sedang menyaksikan jalannya pertarungan itu.
Orang pertama yang kelihatan paling menonjol adalah seorang kakek tua berwajah persegi dengah mata yang gede dan alis yang tebal, dia adalah Tang-kee kedua dari perkumpulan Hong-im-hwie yakni Cu Goan-khek, di samping itu nampak delapan sembilan orang jago mengerubungi di sekitarnya, kebanyakan terdiri, dari jago-jago lihay perkumpulan Hong In Im Hwee.
Diantara mereka bukan saja tidak nampak Jin Hian, bahkan malaikat berlengan delapan Cia Kim pun tidak kelihatan batang hi dungnya.
Setibanya ditepi jurang, Hoa Thian-hong saling menyapa sekejap dengan Cu Goan-khek kemudian seluruh perhatiannya terhisap oleh jalannya pertarungan yang sedang berlangsung di atas jembatan batu itu.
Kiranya telapak kiri kedua orang nenek tua itu telah saling menempel satu sama lainnya beradu tenaga dalam, sementara tangan kanannya yang bebas secara beruntun melancarkan serangan-serangan dahsyat dengan tujuan untuk merobohkan, pelbagai jurus ampuh yang lihay dan aneh dilancairkan tiada hentinya kedua belah pihak berusaha untuk merebut posisi yang lebih menguntungkan.
“Nenek tua yang duduk disebelah sana adalah seorang nenek buta, “tiba-tiba Hoa In berbisik dengan suara lirih,” semua orang menyebut dirinya sebagai nenek dewa bermata buta, ia merupakan salah seorang tulang punggung dari perkumpulan Hong-im-hwie, bukan saja nenek ini berhati kejam dan telengas sekali bahkan hatinya sangat licik dan banyak akal, bila Siau Koan-jin bertemu dengan orang itu di kemudian hari, engkau harus berhati-hati sekali”
Hoa Thian-hong mengangguk.
“Nenek tua baju abu-abu yang duduk dihadapannya pernah kutemui,” katanya, separuh bagian kitab catatan Ci yu jit ciat milIk-cu locianpwee telah dirampas olehnya.
“Oooh….! dia bernama Tio Tiang Geng” ujar Hoa In dengan nada tercengang hubungannya dengan ibu majikan tidak jelek, sepantasnya ia tidak mungkin akan merampas kitab pusaka ilmu silat milikku!” Teringat akan gaplokan yang pernah diterima olehnya, Hoa Thian-hong berseru gelagapan, “Oooh…. mungkin saja ia hanya bergurau!”
Tiba-tiba dari dinding bukit sebelah depan berkumandang datang suara rentakan seorang perempuan dengan nada yang rendah tapi berat, “Tio Sam kau, tak usah bertempur lagi, biarkan dia datang kemari!”
Perkataan itu seolah mendengung keluar dari balik awan membuat orang tak bisa menebak dengan tepat berasal dari manakah suara tadi, Hoa Thian-hong jadi tercengang dan keheranan, sepasang matanya dipentang lebar-lebar dan mengawasi dinding tebing disebelah depan sana tanpa berkedip.
Terdengar nenek baju abu-abu Tio Tiang Geng berseru, “Nenek buta sudah dengar belum?”
Sambil berkata tangan kanannya melancarkan beberapa serangan, telapak kirinya tiba-tiba digetarkan dan tubuhnya laksana kilat meloncat pergi dari atas jembatan batu itu.
Nenek dewa bermata buta ikut bangkit berdiri, sambil memegang sebuah bambu ramping berwarna hijau yang panjangnya empat depa dengan besar sepertiga jari kelingking, perlahan-lahan ia maju ke depan, katanya, “Tio Tiang Geng sekalipun ada malaikat yang bertindak sebagai tulang punggungmu, ini kali aku si nenek buta tetap akan mencabut selembar jiwamu.” “llmu silat yang dimiliki kedua orang ini boleh dibilang sudah mencapai taraf yang luar biasa sekali pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, sekalipun ada orang yang memiiiki kepandaian silat lebih lihaypun aku rasa tak akan lebih lihay berapa banyak!”
Sementara ia masih termenung, nenek buta itu sudah melewati jembatan batu dan tiba ditepi seberang saja, Cu Goan-khek sekalian buru-buru loncat naik pula ke atas jembatan batu itu.
“Cepat ikut menyeberang kesitu!” serunya kemudian kepada Hoa In, “ayoh kita tengok apa yang telah terjadi di tempat itu!”
Sambil berkata ia loncat lebih dahulu ke atas jembatan dan buru-buru lari ke depan.
Dengan perasaan ingin tahu, Hoa Thian-hong bagaikan sambaran kilat cepatnya menerjang lebih dahulu ke atas jembatan batu itu.
Hoa In dengan kencang menyusul di belakang majikan mudanya, dengan demikian maka Seng Sam Hau sekalian yang menyeberang lebih dahulu telah tiba ditepi seberang jauh lebih lambat daripada pemuda itu berdua.
Sementara itu dengan bambu kecil ditangannya sebagai pencari jalan, dengan gerakan yang amat gesit nenek buta itu sudah berada dua tiga tombak tingginya dari permukaan tanah, tubuhnya bergerak terus naik ke atas puncak bukit itu tanpa berhenti barang sekejappun. 0000O0000
34
Hoa Thian-hong amat terperanjat melihat kegesitan orang itu, pikirnya dalam hati, Nenek buta itu bisa mendaki ke atas gunung yang licin bagaikan berjalan ditanah datar belaka, ia betul-betul luar biasa sekali, ka lau orang tidak tahu tentu tak akan percaya kalau dia adalah seorang nenek buta….”
Bukit itu tingginya mencapai seratus tombak, kurang lebih belasan tombak dari puncak bukit tersebut terdapat sebuah gua karang, perkataan yang berkumandang di angkasa barusan bukan lain berasal dari balik gua itu, rupanya nenek buta itu mengandalkan ketajaman pendengarannya untuk menentukan arah yang benar.