Bara Maharani Jilid 15 : Benci menjadi Cinta

 
Jilid 15 : Benci menjadi Cinta

BLAAM…! Sekali lagi terjadi bentrokan dahsyat. Kok See-piauw rasakan kepalanya hampir pecah termakan daya tekanan hawa pukulan tersebut. matanya kontan berkunang-kunang dan tubuhnya mundur ke belakang dengan sempoyongan. Keadaannya saat ini jauh lebih payah dari pertama kali tadi.

Hoa Thian-hong sendiri hanya tergetar sedikit ke samping, lalu seperti tak pernah terjadi apa2 dia loncat ke belakang tubuh Kok See-piauw, telapaknya diayun dan segera menghantam punggung orang sekeras- kerasnya. “Jangan bunuh dia!” mendadak Pek Kun-gie menjerit kaget.

Hoa Thian-hong tertegun mendengar seruan itu tanpa pikir panjang ia kurangi hawa murninya dan ayun telapaknya ke samping.

Weesss! Tubuh Kok See-piauw segera terlempar ke depan

Meskipun pukulan yang bersarang di atas punggung lawan ini cukup ringan, namun bagi Kok See-piauw dirasakan bagaikan terhajar martil seberat seribu kaki, ia menjerit tertahan dan mencelat sejauh beberapa tombak, kemudian tubuhnya terbanting keras-keras di atas tanah.

Kok See-piauw berusaha untuk menahan diri namun gagal, tak bisa dihindari lagi ia muntah darah segar.

“Kok-heng silahkan berlalu dari sini,” kata Pek Kun-gie kemudian. “Dilain hari siaumoay pasti akan minta maaf kepadamu!”

Kok See-piauw merasa malu bercampur gusar, dengan sorot mata penuh kebencian ia melotot sekejap ke arah Hoa Thian-hong kemudian putar badan dan berlalu dari situ.

Hoa Thian-hong sendiri tertawa dingin tiada hentinya, menanti bayangan punggung musuhnya sudah lenyap dari pandangan ia alihkan sorot matanya keempat penjuru. tiba-tiba wajahnya terata panas dan jengah sekali 0000O0000

PARA tamu yang menonton jalannya pertarungan dari sisi kalangan pada menyadari bahwa sepasang laki perempuan yang berada di kalangan bukanlah manusia sembarangan, melihat pertarungan telah berakhir merekapun sama-sama membubarkan diri dan kembali ke tempat masing-masing, suasana tetap sunyi dan tak seorangpun berani membicarakan lagi peristiwa itu.

Dengan sikap seperti gembira seperti gusar, Pek Kun- gie berbisik kepada Siauw Leng, “Bayar rekening kita, kemudian kau boleh pulang lebih dahulu!”

Kemudian sambil menghampiri Hoa Thian-hong ujarnya pula, “Mari kutemani dirimu pergi ke rumah makan lain, bagaimana kalau kita mencicipi sayuran dusun?”

Hoa Thian-hong sendiri sudah sedari tadi ingin tinggalkan tempat itu, maka tanpa banyak berbicara ia berjalan keluar dari rumah makan itu dan menuju ke jalan raya.

“Sst… perlahan sedikit aah” mendadak Pek Kun-gie berbisik. “Langkah kakimu terlalu lebar, aku sampai lelah menyusul dirimu”

Hoa Thian-hong tertegun dan segera berpaling, tampaklah gadis itu dengan senyum dikulum dan biji mata yang bening sedang memandang pula ke arahnya, “cantik jelita nian gadis ini!” batinnya dalam hati. “Seandainya enci Wan-hong secantik dirinya, oooh betapa indahnya suasana itu.”

Keadaan dari Pek Kun-gie be.nar-benar bagaikan berganti orang lain, ini hari wajahnya tidak nampak dingin atau ketus, sebaliknya gerak-geriknya lemah lembut dan penuh kehangatan membuat dia nampak bertambah menarik ibarat sekuntum bunga di pagi hari.

Beberapa waktu kemudian mereka berdua telah tiba di pusat kota, pada suatu persimpangan jalan Hoa Thian- hong segera berhenti dan ia ada maksud mohon diri

Pek Kun-gie tundukkan kepalanya rendah-rendah, terdengar ia berbisik lirih, “Kau masih marah kepadaku?”

“Marah apa,” tanya sang pemuda tertegun.

“Bu-liang Sinkun adalah jago kelas satu dalam dunia persilatan dewasa ini, bila kau bunuh Kok See-piauw maka tindakanmu ini akan mencelakai dirimu sendiri, apa gunanya mengundang bencana bagi diri sendiri?”

“Aaah… siapa sih yang masih ingatan terus urusan sepele itu?” bantah Hoa Thian-hong sambil tersenyum, “Toh urusan itu sudah kita lepaskan, kenapa musti dibicarakan lagi?”

Pek Kun-gie termenung sebentar, kemudian ujarnya lagi, “Umumnya bila kita hadiri suatu pertemuan antara sesama orang kangouw, patut bila kita jangan makan barang makanan yang mereka suguhkan, sekarang mari kita bersantap dulu kemudian baru pergi menghadapi pertemuan itu!”

Hoa Thian-hong tidak tega menampik tawaran orang maka diapun lantas mengangguk dan berjalan ke arah Timur

Di tengah perjalanan, Pek Kun-gie menarik ujung baju si anak muda itu dan berbisik “Bila racun teratai itu kambuh, payah tidak siksaannya?”

Hoa Thian-hong tersenyum. “Payah sekali. rasanya bagaikan otot-otot dalam tubuhku dicabut dan sekujur tubuhku digigit berjuta juta ekor semut!”

Pek Kun-gie tertegun, wajahnya berubah jadi pucat pias bagai mayat, tanya kembali, “Bagaimana caranya menghilangkan racun teratai itu dari dalam tubuhmu?”

“Di kolong langit tak seorang manusiapun mampu menghilangkan racun dari teratai racun empedu api itu dari dalam tubuhku!”

Pek Kun-gie menatap wajah tajam-tajam, kemudian dengan penuh rasa kuatir ia berkata, “Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, katanya Kiu-tok Sianci adalah malaikat dari segala macam racun, apakah dia juga tak mampu menolongi dirimu? Atau ia tak sudi memberikan bantuannya?”

“Kiu-tok Sian-nio sangat sayang kepadaku, ia telah berusaha dengan seluruh pikiran serta tenaganya untuk menolong aku tapi semua usahanya cuma sia-sia belaka,” berhenti sejenak, lalu sambil tertawa sambungnya, “Dalam darahku terkandung sari racun, selama hidup tak mungkin bagiku untuk kawin dan berbini”

Tertegun Pek Kun-gie setelah mendengar ucapan itu, tapi sesaat kemudian dengan suara halus ia telah berkata kembali, “Lalu bagai manakah pendapat Chin Wan-hong tentang musibah ini? Bagiku pribadi asal hatinya sudah penuju kenapa musti dipikirkan lagi persoalan lain yang tak perlu?”

Meskipun perkataan biasa saja kedengarannya, namun Hoa Thian-hong dapat menangkap arti lain dari ucapan tersebut, setelah melengak sejenak ia berkata, “Keadaanmu serta diriku ibarat api dan air. tak mungkin terjalin hubungan persahabatan diantara kita, bila kau adalah seorang yang cerdik maka sejak kini mustinya menyadari akan hal itu.”

Pek Kun-gie tertawa sedih, seolah-olah ia takut pemuda itu mendadak merat dari situ ujung bajunya segera dipegang erat-erat bisiknya lirih, “Aku bukanlah seorang yang cerdik, kalau tidak dahulu akupun tak akan bertindak setolol itu.”

“Bertindak tolol apa?”

Pek Kun-gie tundukkan kepalanya semakin rendah, sahutnya tergagap, “Dahulu sikapku terhadap dirimu….” “Aaai…! Kenapa kita musti ungkap lagi masalah ketidak cocokan diantara pribadi pada masa yang lampau? lupakanlah hal itu.”

Pek Kun-gie jadi girang bercampur malu, ia melengos memandang ke arah lain sedang tubuhnya bergeser lebih dekat lagi dengan pemuda itu, hingga lengan mereka saling bergerak.

Meskipun gerakan itu lirih sekali tapi dapat menggantikan beribu2 patah kata, ucapan yang penuh mengandung rasa cinta yang mendalam.

Beberapa waktu kemudian, kedua orang itu sudah berada di dalam sebuah rumah makan yang memakai merek “King-Pak” setelah pelayan menyodorkan daftar sayur, sambil tersenyum Pek Kun-gie bertanya, “Tempat ini khusus menjual sayur dusun, kau ingin makan apa?”

Sejak kecil Hoa Thian-hong dibesarkan di atas gunung yang sunyi, sejak munculkan diri dalam dunia persilatan walaupun sudah mendekati dua tahun, tapi selama ini kerjanya melulu berjuang diantara hidup dan mati, kini sambil membaca sebentar daftar sayuran itu ia menyahut, “Waaah… begitu tak kenal nama nama sayuran itu, sembarang saja pokoknya kenyang!”

Pek Kun-gie tertawa lebar, ia sambil daftar sayur itu lalu bertanya, “Bagaimana kaiau kita pesan saja sayur Ciong-hau-wi?”

“Baiklah!” Pek Kun-gie membaca lagi daftar menu itu, kemudian kembali ia bertanya, “Atau kau ingin merasakan masakan Angsio-bhe-an-kiau?”

“Meskipun aku orang bangsa Han, bagiku nama sayuran itu asing sekali dalam pendengaran, terserah deh apa pilihanmu itu!”

Pek Kun-gie tersenyum, setelah mempertimbangkan sebentar ia baru pesan beberapa macam sayur, kemudian tanyanya, “Tengah hari ini, kenapa aku tidak melihat kau lari racun?”

“Aku sedang berlatih pedang” “Bukankah siksaannya lebih hebat?” Hoa Thian-hong mengangguk.

“Asal aku bisa bersabar terus. suatu hari hal itu akan jadi biasa dengan sendirinya.”

Ketika dilihatnya gadis itu sedang memandang ke arahnya dengan wajah kasihan, ia segera tertawa nyaring dan bertanya, “Apakah Ciu It-bong masih hidup?”

Pek Kun-gie mengangguk.

“Kalau menurut maksud Tok Cukat, orang itu hendak dibinasakan secepatnya tapi ayahku tidak setuju maka sampai sekarang dia masih berada di tempat semula, bukankah pedang bajamu masih berada ditangannya?” “Ehmm! Yau Sut si bangsat cilik itu benar-benar keji dan telengas perbuatannya, suatu saat terjatuh ke tanganku…. Hmm pasti akan kuhadiahkan sebuah bogem mentah di atas tubuhnya!”

Pek Kun-gie tertawa lirih. “Dalam suatu peperangan, kedua belah pihak sudah tentu akan membantu masing- masing junjungannya, bila kau suka menduduki kursi kebesaran dari perkumpulan Sin-kie-pang kami, tentu diapun akan tunduk dan melindungi dirimu dengan setulus hati.

“Masalahnya bukan mau atau tidak” jawab Hoa Thian- hong setelah tertegun sejenak, “Perkumpulan Sin-kie- pang adalah hasil karya dari ayahmu. Masa ia sudi memberikan kursi kebesarannya kepada orang lain?”

Pek Kun-gie melirik sekejap ke arah pemuda itu mendadak sambil tundukan kepalanya rendah2 ia membungkam.

“Eeei… masa kau masih anggap diriku sebagai anak murid perkumpulan Sin-kie-pang” tanya Hoa Thian-hong kembali.

“Apa salahnya kalau begitu?” sahut Pek Kun-gie sambil tertawa cekikikan, “Ayahku tidak berputra selama hidup belum pernah menerima murid, bila sudah lanjut usia nanti ia pasti akan mengundurkan diri dan kursi Pangcu akhirnya juga harus diwariskan kepada orang lain” “Haaah….. haaah…. haah…. kalau menurut peraturan semestinya warisan itu jatuh ke tanganmu”

Sambil tundukkan kepalanya Pek Kun-gie tertawa lirih. “Aku adalah seorang perempuan kawin dengan ayam ikut ayam, kawin dengan anjing harus ikut anjing……”

Kali ini Hoa Thian-hong dapat menangkap arti lain dari ucapannya itu, ia tersenyum dan menggeleng.

“Perkumpulan itu adalah tempat berkumpulnya manusia durjana tempat untuk menindas dan memeras rakyat jelata, kalau aku mampu maka semua perkumpulan seperti ini akan kurombak dan kulenyapkan dari muka bumi”

Pek Kun-gie sama sekali tidak tersinggung oleh perkataan itu, setelah termenung sejenak ia berkata kembali, “Sekalipun kau hendak basmi atau lenyapkan perkumpulan semacam ini, tidak semestinya kalau kau laksanakan dengan tindak kekerasan. bukankah lebih baik mendapatkannya dengan jalan menipu kemudian baru bubarkan secara gampang?’

“Eeeei……! rupanya kau adalah pagar makan tanaman? Makan di dalam bantu diluar?” teriak Hoa Thian-hong sambil tertawa gelak.

“Perempuan selalu menghadap keluar masa kau juga tak tahu akan ucapan ini?”

Sementara pembicaraan masih berlangsung sayur dan arak telah dihidangkan Pek Kun-gie dengan kehalusannya sebagai seorang gadis segera melayani pemuda itu bersantap dan bercanda, suasana dilewatkan dalam keadaan yang gembira dan penuh rasa persahabatan.

Tanpa terasa senja telah menjelang tiba, pada waktu itulah Pek Kun-gie menemani Hoa Thian-hong hingga tiba di sebuah kantor cabang perkumpulan Hong-im- hwie, katanya, “Tahukah kau mengapa Jin Hian bagi undangan memanggil dirimu menghadap? tujuannya tidak lain pastilah hendak menyelidiki pembunuh dari Jin Bong serta membalaskan dendam bagi kematian putranya, dalam waktu singkat mungkin keadaan ini tak akan membahayakan dirimu, tapi bila pembunuh itu sudah ketahuan maka kau cepat-cepat mengundurkan diri, perhatikanlah serangan bokongan yang bakal dia lancarkan terhadap dirimu.

“Betul, secara tidak langsung aku telah ikut terlibat dalam peristiwa berdarah ini,” sahut Hoa Thian-hong dengan hati terkesiap, “Bila pikiran Jin Hian amat picik, mungkin saja dia akan seret diriku untuk menemani putranya yang telah mati”

“Betulkah pembunuh itu mempunyai wajah yang mirip sekali dengan diriku?”

“Benar memang ada beberapa bagian mirip sekali dengan wajahmu,” sambil berkata ia awasi sekejap raut Wajah gadis itu, tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya, segera ia berpikir, “Pembunuh itu berwajah genit dan merangsang, sedang Pek Kun-gie halus lagi menarik, seharusnya antara kedua orang itu tidak bisa dikatakan mirip” Sementara itu Pek Kun-gie tetap berdiri tegak sambil membiarkan pemuda itu mengawasi wajahnya, kemudian sambil tertawa katanya, “Kita toh bukan saudara kembar, mana mungkin wajahnya bisa mirip bagaikan pinang dibelah dua dengan diriku? Mungkin kau terlalu gugup pada waktu itu sehingga salah melihat!”

Hoa Thian-hong sendiripun merasa agak bingung, maka setelah sangsi sejenak akhirnya ia berkata, “Bila aku dapat bertemu lagi dengan orang itu, maka aku pasti akan kenali kembali dirinya, sulit bagiku untuk menerangkannya pada saat ini”

Habis berkata dia angkat tangan tanda berpisah dan melanjutkan langkahnya dengan tindakan lebar

“Thian-hong……” tiba-tiba Pek Kun-gie berseru lirih. “Ada urusan apa?” tanya pemuda itu dengan wajah

tertegun.

Pek Kun-gie menunduk tersipu sipu, sahutnya setelah sangsi sejenak, “Pohon tinggi gampang terhembus angin janganlah terlalu memperlihatkan kelihayanmu!”

Hoa Thian-hong mengangguk, sambil berlalu pikirnya dalam hati, “Ibu pernah berpesan kepadaku agar jangan mencari isteri sebelum tugas yang dibebankan di atas pundakku selesai dilaksanakan enci Wan-hong menaruh hati kepadaku hal ini tak bisa ditolak lagi, tapi Pek Kun- gie secara tiba-tiba merubah sikapnya terhadap diriku, lebih baik aku bersiap2 diri lebih dahulu dari pada di kemudian hari pusing kepala"

Ketika ia tiba di depan pintu kantor cabang perkumpulan Hong-im-hwie tampaklah Ciau Khong diiringi anak buahnya menyambut kedatangannya di depan pintu.

“Kongcu betul-betul seorang lelaki yang bisa dipercayai,” ujar Ciau Khong sambil maju memberi hormat, “Cong Tang-kee kami telah menunggu di ruang dalam, biarlah aku segera pergi memberi laporan!”

Hoa Thian-hong ambil keluar kartu namanya dan diangsurkan ke depan, ujarnya, “Aku hanya seorang angkatan muda dalam dunia persilatan, tidak berani merepotkan Tang-kee kalian musti menyambut kedatanganku!”

Ciau Khong mengiakan berulang kali, setelah menerima kartu nama itu ia serahkannya ke tangan penerima tamu she-Sun, sambil membawa kartu tadi orang she-Sun itu segera masuk ke dalam ruangan.

Hoa Thian-hong bersama Ciau Khong mengikuti dari belakang. Tampaklah dalam ruangan penuh dengan pria- pria kekar berbaju serba hijau, bersoren golok berdiri berbanjar di tepi jalan. dandanan mereka semua sama senjata yang dipergunakanpun tak ada bedanya, semua berdiri serius dan tak pernah melirik sekejappun ke arah tamu yang sedang lewat dihadapan mukanya. “Luar biasa penjagaan disini dari sorot mata mereka yang tajam jelas menunjukkan bahwa tenaga dalam yang mereka miliki amat sempurna,” pikir pemuda itu dalam hati.

Sementara itu ia telah diajak melewati sebuah jalan kecil yang panjang dan tiba di atas sebuah jembatan kecil yang mungil, diantara bebungahan yang harum semerbak nampak bangunan indah berdiri dengan megahnya disitu, ketika Hoa Thian-hong diam-diam menghitung jumlah penjaga disitu ternyata jumlahnya persis mencapai empat puluh orang.

Mendadak dari dalam bangunan mungil itu muncul seseorang berperawakan tinggi kurus dan memakai baju warna hitam, jenggot hitam terurai sepanjang dada, wajahnya murung dan sorot matanya tajam. Sambil bergendong tangan ia berjalan bolak-balik di muka pintu seperti lagi menantikan kedatangan seseorang.

Hoa Thian-hong segera merasa hatinya tercekat setelah menyaksikan kemunculan orang itu.

Tampak Ciau Khong maju ke muka dan berkata sambil memberi hormat, “Lapor Cong Tang-kee, Hoa Thian- hong kongcu telah tiba!”

Jin Hian angkat kepala dan menyapu sekejap wajah si anak muda itu dengan sorot mata tajam, kemudian sambil memberi hormat dan tersenyum sapanya, “Ooh…. kiranya Hoa kongcu telah datang, maaf bila aku orang she Jin tidak menyambut kedatangan mu dari tempat kejauhan” Seram dan bengis sekali raut wajah oran ini, meskipun cuma beberapa patah kata belaka, namun ucapan yang dingin dan tak sedap didengar itu cukup membuat bulu kuduk di atas tubuh Hoa Thian-hong pada bangun berdiri semua….,

“Dia adalah Cong Tang-kee kami,” terdengar Ciau Khong memperkenalkan.

Dengan cepat Hoa Thian-hong menenangkan hatinya dengan perasaan mendongkol pikirnya, “Ayah dan ibuku adalah jago-jago kenamaan yang disenangi setiap orang Bulim kenapa aku musti takut dengan seorang pentolan dari suatu perkumpulan kecil?”

Berpikir demikian, semangatnya segera berkobar kembali, sambil, menjura ujarnya lantang, “Bila kedatangan dari aku orang she-Hoa sedikit terlambat, harap Jien Tang-kee suka memaafkan!”

Jin Hian tertawa hambar, ia menyingkir ke samping dan mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam, Sambil membusungkan dada Hoa Thian-hong melangkah masuk ke dalam ruangan, ia lihat dikedua belah sisi ruangan telah hadir berpuluh puluh orang manusia, diantara mereka tampak pula Cu Goan-khek, si Malaikat berlengan delapan Cia Kim yang baru saja kehilangan lengan. Seng Sam Hauw si hweesio gemuk serta Siang Kiat yang baru saja kehilangan saudara.

Di tengah ruangan telah tersedia dua buah meja perjamuan, sambil melangkah masuk ke dalam ruangan Jin Hian berkata, “Hoa kongcu, silahkan menempati kursi utama!”

Setelah berada di tempat yang berbahaya, rasa jeri dan kuatir yang semula menyelimuti benak si anak muda itu lenyap tak berbekas, setelah ucapkan terimakasih ia segera ambil tempat duduk di samping, sedang Jin Hian mengiringi duduk di sisinya.

Para jago lain pun segera ambil tempat duduk masing- masing. seorang pria pertengahan bersoren golok besar segera melangkah maju dan berdiri di belakang orang she Jin itu.

Suasana dalam ruangan diliputi keseriusan serta ketegangan. secara tidak sengaja Hoa Thian-hong menemukan bahwa banyak diantara mereka yang menggembol senjata, hal ini membuat hatinya jadi amat terkejut, pikirnya, “Orang-orang itu bisa duduk dalam kedudukan yang seimbang dengan Jin Hian ini menunjukkan bahwa kedudukan mereka tidak rendah. kemunculan mereka semua di tempat ini sungguh mencurigakan sekali, kalau tinjau dari dandanan mereka yang keren, mungkinkah dalam dunia persilatan telah terjadi suatu peristiwa besar?”

“Hoa Kongcu ini hari kau berkunjung kemari sebagai tamu, bila diantara saudara-saudara Hong-im-hwie kami terdapat perselisihan dengan dirimu, sementara waktu persoalan itu tidak kita singgung dulu,” ujar Jin Hian secara tiba-tiba, “Bagaimana kalau dalam pertemuan ini kita ini hanya membicarakan masalah umum dan bukan masalah pribadi?” Hoa Thian-hong alihkan sorot matanya menyapu sekejap wajah Cu Goan-khek serta Cia Kim dua orang, melihat sikap mereka tawar dan sedikitpun tidak menunjukkan suatu reaksi, ia segera tertawa nyaring.

“Bagi aku orang she-Hoa yang belum lama muncu1 diri dalam dunia persilatan, tanpa sebab tentu saja tak akan berani bikin keonaran, bila Jien Tang-kee ada urusan silahkan saja diutarakan.

“Nasib dari aku orang she Jin benar amat jelek, dimasa tua aku musti kehilangan putra tunggalku rasa sedih yang kualami bisa kau bayangkan sampai dimana hebatnya. bila sakit hati ini tidak kubalas. sekalipun harus matipun aku akan mati dengan mata tidak meram”

“Cinta orang tua terhadap putranya memang nomor satu di dunia, aku dapat ikut merasakan kesedihan tersebut.”

Dalam ruangan perjamuan meskipun hadir dua puluh orang lebih, tetapi selama pembicaraan itu berlangsung tak seorangpun diantara mereka yang ikut buka suara, mereka hanya meneguk arak dengan mulut membungkam, hal ini membuat Hoa Thian-hong kian lama kian bertambah curiga.

Mendadak terdengar Jin Hian berkata lagi dengan suara keras, “Apakah ibumu pernah beritahu kepadamu, Hoa tayhiap sebenarnya mati di tangan siapa?” Tergetar keras sekujur badan Hoa Thian-hong mendengar perkataan itu, dengan Sorot mata tajam ia awasi wajah orang, kemudian sahutnya, “Ibuku sudah berhasil menyadari aku artinya hidup, beliau telah melupakan seluruh budi dan dendam dimasa lampau bagaikan awan di angkasa, hingga kini ibuku belum pernah beritahu kepadaku siapakah pembunuh yang telah menghabiskan jiwa ayahku?”

Rupanya Jin Hian agak tertegun oleh jawaban tersebut, alisnya berkerut dan ia menunjukkan sikap seakan akan tidak percaya, setelah berhenti sejenak ujarnya kembali, “Perkataan semacam ini hanya bisa diutarakan oleh ibumu yang berjiwa besar dan berpikiran luas, dendam terbunuhnya seorang ayah lebih dalam dari samudra, hidup sebagai seorang putra sudah sepantasnya kalau dendam itu dituntut balas.”

“Huuuh…… kau anggap aku orang she-Hoa adalah manusia macam apa? Aku tahu diantara kalian tiga golongan saling bermusuhan dan selalu berusaha untuk merobohkan pihak yang lain, kau ingin menggunakan pancingan itu agar aku masuk perangkap dan membantu pihakmu? Aku tak akan setolol itu….” pikir Hoa Thian- hong dalam hati.

Sekalipun dalam hati ia berpikir demikian, namun peristiwa berdarah ini memang sangat menarik hatinya, setelah berhenti sejenak akhirnya ia berkata, “Aku pikir Jien Tang-kee mengungkap persoalan ini pasti ada tujuan tertentu, meskipun aku orang she Hoa tidak tahu terbunuhnya ayahku tak nanti akan kulupakan untuk selamanya. Bila Jien Tang-kee ada persoalan katakanlah secara langsung, bila kau mohon bantuan aku pasti akan berusaha untuk membantu”

Jin Hian tersenyum, “Ehmmm, kau memang tidak malu disebut keturunan seorang pendekar besar, kehebatanmu sulit dibandingkan dengan orang lain”

Ia berhenti sejenak, dengan wajah serius terusnya, “Ayahmu mati di tangan Thian Ik toosu bajingan dari Thong-thian-kauw, ibumu tidak mengungkap soal ini aku duga mungkin ia kuatir apabila kau tak mampu menahan emosi dan langsung menuntut balas kepada toosu itu, akibatnya selembar jiwamu pun ikut melayang”

“Toosu bangsat! Rupanya kaulah yang telah membunuh ayahku!”’ pikir Hoa Thian-hong sambil menggigit bibir.

Jin Hian adalah pentolan dari suatu perkumpulan besar, sekalipun dia bermaksud mengadu domba, tidak mungkin kalau hal itu dilakukan tanpa bukti yang nyata, karena itu Hoa Thian-hong sangat mempercayai ucapannya ini.

Meskipun dalam hati ia menaruh dendam, diluaran wajahnya tetap tenang dan kalem seperti biasa. Ujarnya, “Pendapat ibuku memang jauh lebih hebat dari orang lain, akupun tahu bahwa Thian Ik-cu adalah kaucu dari Thong-thian-kauw ilmu silatnya lihay dan anggota perkumpulannya sangat banyak, senang aku bukan saja seorang diri bahkan ilmu silatnya amat rendah, bila aku harus menuntut balas hanya karena dorong emosi, bukan saja selembar wajah belaka dihantar secara percuma, gagal melukis harimau bukankah aku bakal jadi bangsa anjing yang ditertawakan sahabat kangouw?”

“Huuh…. pengecut takut mati, rupanya cuma seorang manusia bernama kosong belaka, dari meja perjamuan lain berkumandang seruan ketua Hong-im-hwie yang dingin.

Meskipun ucapan itu diutarakan dengan suara yang amat lirih, tapi semua orang dapat mendengar suara itu dengan amat jelas Jin Hian segera berpaling dan mendengus dingin, suasana seketika berubah kembali dalam kesunyian yang mencekam, semua orang bungkam kembali dalam seribu bahasa.

Hoa Thian-hong ikut alihkan sorot matanya ke arah mana berasalnya suara itu, dia lihat orang yang barusan bicara adalah seorang pria berusia pertengahan yang berbadan pendek dan berjenggot lebat, segera pikirnya, “Orang ini berangasan dan tak punya otak bila sampai terjadi suatu peristiwa, pertama-tama akan kuhantam dulu orang itu.”

Tiba-tiba terdengar Jin Hian tertawa kering dan berkata kembali, “Hoa kongcu, bagi orang lain mungkin dendam ini tak akan terbalas lagi, tetapi bagi Hoa kongcu harapannya masih selalu ada!”

“Bila Jien Tang-kee suka membantu usahaku ini, aku tentu akan merasa berterima kasih sekali dan budi tersebut suatu ketika pasti akan kubalas!” Pemuda itu merasa jantungnya berdebar keras, tapi diluar sikapnya tetap tenang dan sama sekali tidak gugup, sepintas lalu keadaannya memang mirip orang yang takut mati.

Tapi Jin Hian adalah seorang jago kawakan yang sudah memiliki banyak pengalaman tentu saja ia dapat meraba pula apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda itu, atas ketenangan serta kepandaiannya melihat gelagat ini, dalam hati diapun merasa kagum.

“Thian Ik toosu bangsat itu berambisi besar dan bercita-cita membasmi seluruh jago di muka bumi serta merajai di dunia,” kata Jin Hian kembali, “Hmm….

Hmm…. ia sudah pandang enteng Pek Siau-thian, juga pandang rendah aku orang she-Jin!”

“Oooh…. rupanya posisi segi tiga yang selama ini nampaknya tenang. sebetulnya dibalik kesemuanya ini sudah mulai terjadi kekalutan, semua orang mulai dengan rencananya masing-masing untuk menjatuhkan pihak lawan” Pikir Hoa Thian-hong dalam hati.

Berpikir begitu, dia lantas berkata, “Pepatah kuno sering berkata. terlalu lama berpisah pisti akan cocok untuk berkumpul, terlalu lama berkumpul pasti akan berpisah, aku rasa hal ini sudah jamak dalam kehidupan manusia!”

“Keparat, rupanya kau pandai sekali berbicara dan terlalu licik pikiranmu,” pikir hati Jin Hian. Diluaran ia tersenyum dan menjawab, “Ucapan Hoa Lo-te sedikitpun tidak salah, Thian Ik Toosu bangsat itu memang terlalu licik dan besar ambisinya, dia menginginkan agar perkumpulan Hong-im-hwie benrok lebih dahulu dengan pihak Sin-kie-pang kemudian ia berpeluk tangan jadi nelayan yang beruntung. Hmmm! Hmmm! Siapa tahu Pek Siau-thian serta aku Jin Hian justru bukan orang bodoh, sengaja kami kesampingkan dahulu semua persengketaan pribadi dan bekerja sama untuk menghadapi toosu bangsat itu terlebih dahulu”

Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya, sengaja ia menyala, “Wilayah kekuasaan Hong-im-hwie serta Sin- kie-pang toh sudah terbagi amat jelas, air sungai tidak melanggar air sumur, sengketa pribadi apa sih yang sudah terjadi antara Jien Tang-kee dengan Pek pangcu?”

Jin Hian tertawa seram nafsu membunuh menyelimuti wajahnya.

“Loo-te, apa kau sudah lupa dengan peristiwa berdarah yang mengakibatkan matinya putraku?”

“Oooh…. maaf, aku memang bodoh dan tak dapat menangkap arti yang .sebenarnya dari ucapan Jien Tang- kee itu”

Jin Hian tertawa seram. “Aku orang she-Jin telah berhasil menyelidiki dengan jelas, pembunuhan yang telah membinasakan puteraku itu bukan anak murid dari pihak Thong-thian-kauw, melainkan dilakukan oleh orang-orang Sin-kie-pang.” Beberapa patah kata ini diucapkan dengan suara tegas dan nyaring, hal ini membuat Hoa Thian-hong jadi terkejut hingga cawan arak dalam genggamannya hampir saja terlepas, dengan cepat dia bangkit berdiri.

“Apakah sampai kini Hoa Loo-te masih beranggapan gadis berkerudung itu adalah anak murid dari Thong- thian-kauw?” seru Jin Hian kembali.

Hoa Thian-hong mengangguk, pikirannya semakin bingung.

“Peristiwa pembunuhan ini betul-betul suatu kejadian yang sangat aneh… ”

Satu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia segera bertanya kembali, “Apakah Jien Tang-kee berhasil menyelidiki siapakah gadis berkerudung itu?”

Gelak tertawa Jin Hian semakin menyeramkan. “Bukankah Hoa Loo-te menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa pembunuh itu mirip sekali dengan wajah Pek Kun-gie?”

“Jien Tang-kee ” seru Hoa Thian-hong dengan

wajah berubah hebat.

Jin Hian segera goyangkan tangannya mencegah pemuda itu bicara lebih lanjut, katanya sambil tertawa, “Aku orang she-Jin tahu bahwa hubungan Loo-te dengan Pek Kun-gie baru-baru ini erat sekali” Ia berhenti sebentar, kemudian tertawa keras terusnya, “Pembunuh itu pernah melakukan hubung gelap dengan puteraku, sedang Pek Kun-gie hingga kini masih perawan suci. karena itu harap Hoa Loo-tee suka berlega hati. aku orang she-Jin tak akan mencampur baurkan urusan ini secara gegabah”

Hoa Thian-hong semakin bingung dibuatnya, rasanya ingin tahu segera muncul dalam hatinya. ia berkata, “Jien Tang-kee, dapatkah kau terangkan ucapanmu itu lebih jauh? Andai kata ada rahasia dibalik hal ini, aku pasti tak akan mengatakannya kepada orang lain”

“Oooh….? Urusan ini sifatnya bukan suatu rahasia,” sahut Jin Hian sambil tertawa hambar, setelah berhenti sejenak terusnya dengan nada serius, “Istri Pek Siau- thian mengasingkan diri di atas bukit Hoan Keng dan Pek Kun-gie mempunyai saudara kembar yang selalu mendampingi ibunya, demikian Hoa Loo-te tentu paham bukan?”

“Oooh…! Kiranya…” mendadak perkataan itu tidak ditanjutkan.

Melihat pemuda itu membungkam Jin Huan meneguk isi cawannya dan mendengus dingin.

“Aku percaya seratus persen kepada diri Loo-te, mengapa sebaliknya Loo-te bersikap ragu-ragu kepadaku? Bila ada ucapan katakanlah secara blak- blakan?” . Hoa Thian-hong tertawa nyaring, “Ketika aku bertemu dengan Pek Kun-gie untuk pertama kalinya, waktu kebetulan bulan satu tanggal satu, dan terjadi diluar kota Keng-ciu aku rasa mungkin ia sedang pergi mengunjungi ibunya, kalau tidak apa sebabnya di hari tahun baru ia berkelian di tempat luaran dan bukannya berpesta dalam markas”

“Pendapat Loo-te mungkin ada benarnya juga,” Jin Hian mengangguk, “Sejak Pek Siau-thian hidup berpisah dengan isterinya Pek Kun-gie terpaksa harus hilir mudik antara kedua tempat itu, saudara kembarnya bernama Soh-gie, jarang sekali ada orang kangouw yang pernah bertemu muka dengan dirinya”

“Oooh tak kusangka masih ada seseorang yang bernama Pek Soh-gie sungguh mencengangkan!”

Sementara itu dalam hati kecilnya dia berpikir, “Badik mustika yang dimiliki Pui Che-giok dayang kepercayaan dari Giok Teng Hujien itu merupakan senjata yang dipergunakan untuk membunuh Jin Bong, seandainya pembunuh itu adalah Pek Soh-gie, kenapa senjata tajam itu bisa berada di tangan Pui Che-giok? peristiwa ini benar-benar membingungkan!”

Ketika dia alihkan sorot matanya memandang sekitar ruangan itu, tampaklah Cu Goan-khek sedang minum arak seorang diri, malaikat berlengan delapan Cia Kim duduk termenung, Seng Sam Hua makan minum dengan lahapnya sedang orang lainpun sibuk dengan caranya sendiri2, tak seorangpun diantara mereka yang menaruh perhatian atas pembicaraan antara Jin Hian dengan dirinya

“Loo-te, kau tak usah risau,” ujar Jin Hian kembali.

Suatu saat urusan ini akan jadi terang dengan sendirinya, hanya saja waktu itu aku harap Hoa Lo-te suka bertindak sebagai saksi, lihatlah aku orang she-Jin akan membedah isi perut pembunuh itu dan hatinya akan kupersembahkan untuk bersembahyang bagi arwah putraku itu”

Hoa Thian-hong mengiakan berulang kali beberapa saat kemudian ia bertanya, “Jien Tang-kee, tahukah kau apa sebabnya Pek Hujien tinggalkan segala kemegahan dan keluarganya untuk mengasingkan diri di tempat yang terpencil….?”

Jin Hian tertawa dingin.

“Menurut berita yang tersiar katanya percekcokan itu terjadi karena urusan pribadi, siapapun tak tahu kejadian yang sesungguhnya!”

“Mengenai peristiwa terbunuhnya putramu itu, mengapa Jien Tang-kee tidak bekuk lebih dahulu gadis yang bernama Pek Soh-gie tersebut?”

“Aku toh tiada bukti yang cukup meyakinkan, sedang dasarku juga hanya perkataan Hoa Loo-te. Aku tahu hubunganmu dengan Pek Kun-gie sangat erat, andaikata kita harus berpadu tiga dan waktu itu Hoa loo-te mengatakan bahwa pembunuhnya bukan orang itu, bukankah nama baik dari aku orang she-Jin bakal hancur di tanganmu”

Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong. “Sejak kecil aku sudah dididik hidup sederhana dan bicara jujur, tentu saja aku tak akan membohong atau berkata yang bukan-bukan….” serunya.

“Ah, aku hanya bergurau saja harap Hoa Loo-tee jangan menganggap sungguhan” kata Jin Hian sambil tertawa ewa, “Menangkap pembunuh sih gampang, pedang emas itulah yang sulit kudapatkan kembali, sedang Pek Soh-gie adalah puteri Siau-thian, urusan yang menyangkut suatu perkumpulan tak berani kulakukan secara gegabah….”

Berbicara sampai disitu dia lantas angkat kepala dan berpaling ke arah meja sebelah muka.

Lima orang yang duduk di meja perjamuan itu segera bangkit dan memberi hormat kepada Jin Hian, tanpa mengucapkan sepatah katapun mereka berlalu dari ruang perjamuan.

Hoa Thian-hong jadi curiga tapi ia merasa tidak leluasa untuk mengajukan pertanyaan secara langsung. maka segera katanya, “Pedang emas yang amat kecil itu secara beruntun dari tangan Ciu It-bong jatuh ke tangan Jien Tang-kee kemudian dirampas pula orang lain, andaikata pembunuh itu adalah Pek Soh-gie, semestinya senjata itu sudah terjatuh ke tangan Pek pangcu. tetapi… apa betul senjata kecil itu mempunyai sangkut pautnya dengan ilmu silat yang diwariskan Siang Tan Lay? Aku rada kurang percaya.”

Jin Hian tertawa ewa. “Dalam pedang emas itu tersembunyi dalam teka teki bisu yang amat ruwet sekali, sekalipun aku serta Ciu It-bong sudah mendapatkannya agak lama tapi sayang teka teki bisu itu belum berhasil juga kupecahkan. Tapi aku yakin bahwa pedang emas itu pasti ada hubungannya dengan ilmu silat yang dimiliki Siang Tang Lay….”

“Sungguh aneh kejadian ini,” pikir Hoa Thian-hong kemudian di dalam hati.

“Bukan saja Ciu It-bong seorang bahkan Ciong Lian- khek serta Jin Hian pun mengatakan secara meyakinkan bahwa pedang emas itu ada hubungannya dengan ilmu silat warisan Siang Tang Lay. Dimana sih sebetulnya letak kunci untuk memecahkan rahasia ini?”

Tiba-tiba Jin Hian tertawa nyaring dan berkata kembali, “Ketika Siang Tang Lay menderita kekalahan hebat setelah kami kerubuti hingga jiwanya terancam, ia berhasil diselamatkan jiwanya oleh ayahmu. Untuk menyatakan terima kasihnya pastilah rahasia pedang emas itu telah diberitahukan kepada ayahmu. Tapi sayang ayahmu telah meninggal dunia, orang yang mengetahui rahasia ini mungkin tinggal ibumu seorang”

Tertegun hati Hoa Thian-hong setelah mendengar perkataan itu, serunya terus terang, “Ibu melarang aku berhati serakah, urusan pedang emas itu belum pernah dibicarakan dengan diriku!” “Aku tahu, aku tahu….” sahut Jin Hian sambil tertawa dan mengangguk. “Kecerdikan ibumu lebih hebat dari ayahmu, setiap orang dalam Bu-lim telah mengetahui akan hal ini”

Dia angkat cawan araknya ke atas menunjukkan sikap hendak menghormati tamunya dengan secawan arak dalam hati Hoa Thian-hong kembali berpikir, “Posisi serta situasi yang kuhadapi saat ini aneh sekali, biarlah aku pura-pura berlagak hendak pamit, aku ingin tahu bagaimanakah reaksinya?”

Berpikir begitu ia segera letakkan cawan araknya ke atas meja dan bangkit berdiri, ujarnya sambit menjura. “Jien Tang-kee maafkanlah daku, takaran arakku terbatas sekali lagipula waktu sudah tidak pagi, dengan ini aku ingin mohon diri lebih dahulu semoga dilain kesempatan kita dapat bertemu kembali”

Serentetan senyuman licik terlintas di atas wajah Jin Hian, ia segera menyahut, “Hoa loo-te, kau toh gagah dan berkepandaian hebat, apa sih artinya beberapa cawan arak bagimu?”

Melihat pihak lawan tiada bermaksud menghantar dirinya keluar, Hoa Thian-hong segera sadar bahwa dibalik kesemuanya itu pasti ada hal-hal yang kurang beres, ia segera mendebrak meja sambil serunya dengan wajah berubah hebat, “Jien Tang-kee, apakah kau ada maksud menahan diriku?” “Hoa loo-te, kau toh tamu terhormatku….” buru-buru Jin Hian berseru setelah menyaksikan tamunya marah.

Belum habis ia mengatakan kata-katanya, dari luar ruangan mendadak berkumandang datang suara bentakan keras, meskipun sayup-sayup sampai namun jelas menunjukkan bahwa diluar telah terjadi pertarungan sengit.

Pria berbaju hijau yang menggembol golok besar dan berdiri di belakang Jin Hian itu segera bertindak keluar dari ruangan, tidak selang beberapa saat kemudian ia sudah masuk kembali sambil memberi laporan, “Diluar kedatangan seseorang yang tak mau menyebutkan namanya, ia bersikeras hendak menyerbu masuk kedalam, sekarang telah bertempur melawan pengawal golok emas.”

Jin Hian mengangguk tanpa mengucapkan komentar apapun rupanya ia tidak menaruh perhatian atas kejadian itu.

Tiba-tiba suara bentakan keras kembali berkumandang datang meskipun suaranya masih sayup-sayup sampai namun semua orang yang hadir dalam ruangan itu dapat membedakan bahwa jarak lerjadinya pertarungan semakin mendekat.,

Dalam sekejap mata kecuali Hoa Thian-hong semua orang yang telah menunjukkan perubahan sikap. bahkan ada diantara mereka yang telah bersiap siap untuk bangkit dari tempat duduknya. Mendadak satu ingatan berkelebatan dalam benak Hoa Thian-hong, segera serunya, “Jin loo-tang-kee, mungkin orang itu adalah Ciong Lian-khek cianpwee yang sengaja datang menjenguk diriku karena aku sudah lama sekali belum juga pulang ke rumah”

Jin Hian mengerutkan alisnya, mungkin la sedang memperhatikan jalannya pertarungan diluar ruangan. setelah itu dengan suara dingin ejeknya, “Kalau dia adalah Ciong Lian-khek, tak mungkin pengawal pribadiku sanggup dilewati….”

Mendadak air mukanya berubah hebat, sambil bangkit berdiri tambahnya, “Atau mungkin ibumu yang telah datang”

Hoa Thian-hong terperanjat sekali mendengar ucapan itu, sementara Cu Goan-khek sekalipun ikut tercekat hatinya, dalam sekejap mata semua orang telah bangkit tinggalkan tempat duduknya.

Jin Hian serta Hoa Thian-hong berjalan lebih duluan keluar dari ruangan itu, para jago yang lain mengikuti dari belakang. Sekeluarnya dari ruang tadi terdengar suara bentrokan senjata tajam berkumandang semakin santar dan ramai, bahkan diiringi bentakan-bentakan yang memekikkan telinga, Setelah keluar dari lorong kecil. para jago sama-sama berdiri tertegun.

Di bawah ruang sebelah barat tampak delapan orang pengawal golok emas dengan membagi jadi dua setengah lingkaran sedang menggencet seseorang, pertarungan berjalan dengan amat seru. sisanya dengan empat orang membentuk satu setengah lingkaran berkelompok di sekitar lapangan itu pada jarak satu tombak.

Tiga rombongan jago berada di depan itu dan tujuh kelompok ada di belakang tubuhnya pemotongan oleh para jago lihay itu membuat jalan mundur orang itu tersumbat sama sekali.

Pengawal2 golok emas itu benar-benar terdiri dari para jago yang sangat lihay, empat orang menyerang dari depan, empat orang menyerang dari belakang terdengarlah suara dentingan nyaring bergema memekikkan telinga sambaran golok emas yang lebarnya mencapai empat senti berkelebat kesana kemari menyiarkan cahaya emas yang menyilaukan mata, ditambah pula desingan suara tajam yang membetot sukma membuat suasa na terasa bertambah mengerikan…..

Ooo)*(ooO

Hoa Thian-hong segera alihkan sinar matanya ke arah jago lihay yang sedang bertempur melawan delapan orang pengawal golok emas itu, ia melihat orang itu mengenakan sepatu tersebut dari rumput, baju pendek dari kain kasar. Wajahnya hitam dengan kerutan yang banyak, rambut yang telah memutih berkibar terhembus angin, meskipun harus menandingi delapan bilah golok emas tetapi orang itu selalu melawan dengan tangan kosong belaka. Terlihatlah jurus-jurus serangannya ganas dan dahsyat meskipun delapan orang musuhnya berusaha keras untuk menciptakan berlapis2 bayangan golok untuk membendung serangan orang itu tetap mereka keteter hebat.

Setelah menonton beberapa jurus serangan yang dipergunakan kakek tua itu, Hoa Thian-hong segera berpikir di dalam hati, “Tidak aneh kalau Jin Hian mengira ibuku yang telah datang, ilmu silat yang dimiliki kakek ini memang luar biasa sekali hebatnya……”

Tiba-tiba kakek tua yang berada di tengah kalangan itu menggeserkan tubuhnya ke samping, sepasang telapak, segera direntangkan ke arah kedua belah samping.

Traaang…. traaang…..! di tengah bentrokan nyaring, dua gulung angin pukulan yang dilancarkan kakek tua itu sudah menumbuk di atas golok emas dari empat jago yang berada di hadapannya, tidak ampun lagi keempat orang itu sama-sama roboh terjengkang ke arah samping kiri serta samping kanan.

Sungguh cepat gerakan kakek tua itu, dalam sekejap mata ia sudah menerjang kehadapan pengawal golok emas itu. Terdengar keempat orang jago itu membentak keras, cahaya golok berkilauan, serentak mereka membacok ke arah tubuh lawan.

Mereka2 yang tergabung dalam kelompok pengawal golok emas rata-rata merupakan jago pilihan diantara seluruh anggota perkumpulan Hong-im-hwie, dimana bukan saja mereka dididik langsung oleh Jin Hian bahkan sim-hoat tenaga dalam yang mereka pelajaripun merupakan basil didikan langsung dari ketua mereka.

Kecuali mempelajari ilmu pukulan dan ilmu senjata merekapun mendapat pendidikan ilmu barisan, maupun ilmu berperang. bukan saja bertempur secara kerja sama maupun bertarung satu lawan satu mereka semua merupakan jago-jago yang luar biasa.

Bacokan dari keempat orang itu seketika berhasil membendung jalan maju kakek tua itu, empat orang yang kena dipukul pental tadi sementara itu telah menyusul datang. Dalam sekejap mata empat depan empat belakang kembali mengurung kakek tua itu di tengah kepungan.

“Kakek tua itu memang lihay dan sakti,” pikir Hoa Thian-hong setelah menyaksikan jalannya pertarungan, “Meskipun ia telah berhasil melampaui tiga kepungan namun masih ada enam babak yang ada di belakang, apalagi pentolan mereka belum turun tangan sendiri, bertarung macam begini betul-betul suatu perbuatan yang tidak cerdik….”

Berpikir demikian ia lantas berpaling ke arah Jin Hian, pada wajahnya sengaja ia perlihatkan sikap mengejek dan pandang rendah, seolah-olah ia Sedang menertawakan pertarungan dengan cara mengerubut itu.

Jin Hian segera mengerutkan dahinya, ia tertawa rendah dan tiba-tiba bentaknya, “Tahan!” Sambil berseru perlahan-lahan ia maju ke dalam gelanggang.

Para jago dan pengawal golok emas yang menghadang di tengah jalan sama-sama menyingkir ke samping, para jago yang sedang bertempur pun sama- sama menarik diri dan loncat keluar dari kalangan.

Jin Hian segera mendekati kakek tua itu sambil tertawa sapanya, “Pengurus keluarga Hoa. sudah sepuluh tahun lamanya kita tak pernah saling berjumpa, masih ingatkah dengan aku orang she Jin?”

Kakek itu alihkan sorot matanya mengamati Jin Hian sekejap, kemudian menjawab, “Anda toh masih ingat dengan aku Hoa In, kenapa Hoa In bisa lupa dengan dirimu?”

Sinar matanya berkeliaran memandang sekeliling tempat itu, lalu serunya lagi, “Majikan kecil kami….”

Belum habis dia berkata, sorot matanya sudah terbentur dengan wajah Hoa Thian-hong tubuhnya segera bergetar keras.

Lampu lentera yang tergantung di bawah serambi itu memacarkan cahaya yang terlalu redup lagipula Hoa Thian-hongpun tidak kenal siapakah kakek tua itu. setelah mendengar Jin Hian menyebut kakek itu sebagai pengurus keluarga Hoa, ia baru tergerak hatinya apalagi setelah kakek itu menyebut dirinya sebagai Hoa In, ia segera teringat kembali akan pelayan ibunya yang telah bekerja selama tiga generasi dengan keluarga mereka. Cepat ia maju menyongsong ke depan dengan serunya, “Hoa In! aku adalah Seng Koan….”

Perlu diketahui nama kecil Hoa Thian-hong adalah Seng jin, ketika ia masih berada di dalam perkampungan Liok Soat Sanceng dahulu, para pelayan dan dayang yang bekerja di keluarganya semua memanggil” Seng koan” kepadanya.

Karena itu setelah mendengar suara tersebut, Hoa In segera membelalakkan matanya lebar2, kemudian jatuhkan diri berlutut di atas tanah, serunya, “Oooh…Siau Koan-jin, sungguh menderita budak mencari jejakmu….!”

Dengan mata terbelalak ia memandang wajah Hoa Thian-hong tanpa berkedip, titik air mata segera jatuh berlinang membasahi seluruh pipinya.

“Hoa Thian-hong sendiripun dengan air mata bercucuran maju membangunkan kakek tua itu, serunya, “Bangunlah dulu sebelum berbicara!”

“Dimanakah majikan perempuan?”

‘Ibu masih berada diluar perbatasan, tempat ini bukan tempat yang cocok untuk berbicara, bangunlah dulu!”

Perlahan-lahan Hoa In bangkit berdiri, setelah memandang sekejap lagi ke atas wajah Hoa Thian-hong, dia menyeka air matanya dengan ujung baju.

“Siau Koan-jin, mari kita pergi!” ajaknya kemudian. Hoa Thian-hong mengangguk, pikirnya, “Sepanjang hari Chin toako selalu berada dalam keadaan tak sadar, bila waktu berlarut, terlalu lama badannya tentu akan menderita gangguan perduli amat dia mau kasih atau tidak aku akan coba untuk memintanya….”

Ia segera memberi hormat kepada Jin Hian sambil ujarnya, “Dapatkah aku mengajukan suatu permintaan kepada Jien Tang-kee?”

“Apakah kau menginginkan obat pemunah bagi Chin Giok-liong?” tanya Jin Hian sambil tertawa ewa. Si anak muda itu mengangguk

“Chin Giok-liong hanya seorang pemuda yang baru saja terjun ke dalam dunia persilatan, ia belum pernah bermusuhan dengan siapapun, sedang Jien Tang-kee adalah seorang jago lihay dari suatu wilayah, enghiong dari dunia ketiga. Apa sih faedahnya bermusuhan dengan anak muda seperti itu?”

“Hoa kongcu,” tiba-tiba Cu Goan-khek menyela dengan suara dingin, Orang itu berhasil kau rampas dari tangan aku orang she Cu. sepantasnya kalau obat pemunah itupun kau dapatkan dari tangan aku orang she Cu!”

“Jien Tang-kee keliru besar” Hoa Thian-hong segera menyabut sambil ulapkan tangannya, “Dalam perkumpulan Hong-im-hwie kedudukan Jien Tang-kee adalah satu tingkat di bawah ketua dan beberapa. tingkat lebih tinggi dari yang lain, kedudukanmu terhormat dan dipuja orang Semasa ayahku masih hidup dahulu, sekalipun dihormati kawanan Bulim itu pun tidak lebih dianggap sebagai enghiong. Sedang aku….. aku tidak lain hanya ingin menyelesaikan budi dan dendam mendiang ayahku, maka aku tiada maksud mencari nama atau kedudukan, semakin tiada bermaksud menjagoi diantara kawanan Bulim”

Cu Guan Kek tertawa mengejek, “Jadi maksud Hoa kongcu, andaikata tiada persoalan kau tak akan bergebrak dengan orang?”

“Sedikitpun tidak salah! aku tidak ingin memburu ambisi serta nafsu angkara murka, tetapi kalau didesak atas dasar keadilan serta kebenaran, sekalipun kepala harus putus badan harus musnah akan kulakukan juga hingga titik darah penghabisan. Jien Tang-kee, bila kau suka beringan tangan dan serahkan obat pemunah itu kepadaku, sekarang juga aku akan berlalu dari sini, sebaliknya kalau kau hendak memaksa untuk mengukur kepandaian, maka aku akan melayani hingga obat pemunah itu berhasil kudapatkan, perduli dalam ilmu silat bisa menang atau kalah”

Maksud dari perkataan itu jelas sekali, bila tidak turun tangan masih mendingan, bila harus turun tangan maka ia akan nekad melawan terus hingga tujuannya tercapai.

Mendadak terdengar Jin Hian tertawa terbahak bahak dan berkata, “Ji-te, ucapan dari Hoa kongcu sedikitpun tidak salah, kalau dibicarakan mengenai ilmu silat belum tentu dia dapat menandingi dirimu, kaupun belum tentu dapat menandingi kepandaian silatku, bila Hoa tayhiap masih hidup di kolong langit akupun belum tentu berhasil menangkan dirinya, dalam kolong langit dewasa ini menang kalahlah yang menentukan Enghiong, aku rasa perebutan satu jurus tak usah dilakukan lagi.”

Selesai berkata dari sakunya dia ambil keluar sebutir pil yang terbungkus dalam lilin kemudian diserahkan ke tangan Hoa Thian-hong.

Sambil menerima obat itu, pemuda she Hoa lantas berkata, “Atas kebesaran jiwa Jien Tang-kee, aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Mumpung hari ini aku serta pelayan tuaku bisa berjumpa kembali terasa banyak persoalan yang harus kusampaikan kepadanya, bila selama ini aku telah melakukan kesalahan, di kemudian hari aku pasti ikan datang berkunjung lagi untuk mohon maaf.”

“Hoa kongcu, kalau kau berbuat begitu maka tindakanmu itu tidak benar!” kata Jin Hian sambil tertawa ringan

“Lalu bagaimana yang benar? harap Jien Tang-kee suka memberi petunjuk!….”

“Kesempatan baik untuk membalas dendam bagi kematian ayahmu telah tiba, kenapa Hoa kongcu malahan hendak buru-buru berlalu dari sini? Masa kau sudah melupakan dendammu itu?”

Hoa Thian-hong merasa hatinya tercekat, segera pikirnya, “Rupanya perkumpulan Hong-im-hwie mempunyai urusan dengan pihak sekte agama Thong Thian Kau, kedua belah pihak belum tahu bahwa tenaga dalam yang dimiliki ibuku telah punah, maka sekarang ingin menyeret aku terjerumus pula di dalam pertikaian ini….”

Bayangan serta cita-citanya untuk membasmi iblis dan membangun kembali dunia persilatan yang aman dan adil selalu melekat di dalam hati kecilnya kini setelah diketahuinya bahwa kedua partai telah terlibat dalam suatu permusuhan, jangan dibilang suruh dia pergipun belum tentu dia mau, apalagi persoalan ini menyangkut soal pembalasan dendam bagi kematian ayahnya?

Otaknya dengan cepat berputar dan ambil keputusan, dia serahkan obat tadi ke tangan Hoa In sambil pesannya, “Bawalah obat ini ke rumah penginapan Seng- Liong disebelah Timur kota, serahkan kepada seorang cianpwee yang bernama Ciong Lian-khek.”

“Budak belum lama berselang baru saja berkunjung ke situ, bagaimana kalau obat ini disampaikan agak belakang saja?” bantah Hoa In sambil menerima obat itu.

Hoa Thian-hong tahu bahwa pelayan tuanya ini tidak rela tinggalkan dirinya dengan begitu saja, segera serunya, “Obat ini biar cepat diminum dan penyakitnya cepat sembuh, mengenai keselamatan diriku kaupun tak usah kuatir. Meskipun banyak orang yang menghendaki jiwaku tetapi saat ini waktunya masih belum tiba.”

Hoa In nampak tertegun, tapi akhirnya tanpa mengucapkan sepatah katapun ia putar badan dan berlalu dari situ, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya telah lenyap dari depan mata.

Diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat kagum atas kecepatan gerakan pelayan tuanya itu, air muka Cu Coan kek sekalipun nampak berubah hebat. hanya Jin Hian seorang tetap tenang dan tidak menunjukkan suatu reaksi apapun juga.

Setelah suasana hening beberapa saat lamanya, Jin Hian kembali ulapkan tangannya memberi tanda kepada Siang Kiat sekalian, kelima orang itu segera memberi hormat dan berlalu dari situ.

Hoa Thian-hong semakin curiga lagi, tak tahan ia menegur, “Jien Tang-kee, tadi kau mengatakan bahwa kesempatan bagus begitu untuk menuntut balas bagi Kematian ayahku telah tiba, padahal Thong-thian-kauwcu jauh berada di kota Leng-An, sebetulnya apakah maksudmu?

Jin Hian tertawa hambar, sambil putar badan tinggalkan tempat itu dia menjawab, “Perkumpulan Hong-im-hwie telah mengerahkan segenap kekuatannya menuju ke selatan, dalam perjalanan ini kalau Hoa kongcu sudi mengiringnya maka kami akan merasa amat bangga”

Terkejut hati si anak muda itu setelah mendengar ucapan tersebut, kembali pikirnya di dalam hati, “Kejadian ini berlangsung amat mendadak tanpa mengeluarkan sedikit suarapun ternyata pertempuran telah berada di samping pintu” Berita ini diketahui olehnya terlalu mendadak, hal itu membuat Hoa Thian-hong merasa agak kelabakan. Untuk beberapa saat lamanya ia membungkam terus sambil berusaha menenteramkan hatinya.

Sekali lagi semua orang balik ke dalam ruangan perjamuan, setelah masing-masing ambil tempat duduk, Jin Hian lantas berkata sambil tertawa, “Perjalanan kita kali ini menuju kota Leng-An bakal waktu beberapa hari perjalanan. sebentar lagi kita akan berangkat Hoa kongcu silahkan bersantap lebih dahulu dari pada di tengah jalan nanti merasa kelaparan!”

Hoa Thian-hong tersenyum, sambil tundukkan kepala ia bersantap dan meneguk arak, dengan menggunakan kesempatan yang sangat baik inilah ia berusaha memecahkan situasi yang sedang dihadapinya sambil berusaha mencari jalan keluar untuk menghadapi segala kemungkinan besar merupakan salah satu pembunuh ayahku…” pikirnya di dalam hati. “Tapi jelas bukan hanya dia seorang saja, dendam terbunuhnya ayahku, aku sebagai putranya bersumpah harus menuntut balas, tapi perbuatan ini tak boleh kulakukan secara gegabah, apa lagi sampai tenagaku dipergunakan oleh Jin Hian Aku harus berusaha mempergunakan sengketa antara pihak Hong-im-hwie dengan Thong-thian-kauw ini sebagai sumbu bahan peledak yang akan memecahkan pertumpahan darah antara ketiga golongan itu….”

Berpikir demikian, dia lantas angkat kepala dan berkata, “Sudah lama aku dengar orang berkata bahwa kekuatan dari ‘Tiga besar’ adalah seimbang, andaikata dalam persengketaan ini pihak kalian harus kerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, menang kalah kekuatanmu pasti akan mengalami kemunduran dan kerugian yang cukup parah, apakah kau tidak takut karena itu posisimu jadi goyah? Dan apakah kau tidak takut pihak Sin-kie-pang akan jadi nelayan beruntung yang tinggal mengeduk keuntungannya saja sambil berpeluk tangan?”

“Perkataan dari Hoa kongcu ini memang tepat sekali,” puji Jin Hian sambil tertawa dan bertepuk tangan,” Dalam pertempuran ini, andaikata aku tidak beruntung dan menderita kekalahan, bukan saja kekuatan inti perkumpulan Hong-im-hwie akan menderita kerusakan hebat, posisi kekuasaanku akan goyah. bahkan kemungkinan besar bakal runtuh dan hancur berantakan”

Dari sikap serta gerak-geriknya yang rileks dan tidak bersungguh hati, Hoa Thian-hong segera mengetahui bahwa dibalik peristiwa itu masih terselip latar belakan g lain, ia segera berkat. “Aku lihat persoalan ini menyangkut posisi kekuasaan pihak kalian serta jauh berbeda dengan permusuhan pribadi antara perorangan mungkinkah Jien Tang-kee sudah mempunyai rencana yang masak serta memegang keyakinan penuh bahwa kemenangan pasti berada dipihak, kalian?”

Jin Hian tertawa gelak, “Hoa kongcu benar-benar amat cerdik sekali dan pandai melihat gelagat, aku orang she Jin benar-benar merasa amat kagum.”

Dari ucapan yang selalu berusaha menghindar dari pokok pembicaraan tersebut, Hoa Thian-hong segera menyadari bahwa banyak bicarapun tak ada gunanya, dengan mulut membungkam ia segera bersantap dan minum arak,

Beberapa saat kemudian Hoa In telah muncul kembali dalam ruangan itu, sambil menghampiri ke sisi Hoa Thian-hong ujarnya, “Siau Koan-jin, obat itu kuserahkan ketahgan Ciong Lian-khek!”

Hoa Thian-hong mengangguk, pikirnya. “Keluarga Hoa kami telah tercerai berai dan berantakan, meskipun sebutan antara majikan dan pelayan tak perlu dihapus, rasanya soal peraturan rumah tangga tak perlu kuperhatikan lagi”

Berpikir demikian, ia lantas menuding ke sebuah kursi kosong sambil katanya, “Malam nanti kita masih akan melakukan perjalanan, duduklah dan bersantap dulu!”

Perlu diketahui Hoa In adalah pengurus dari perkampungan Liok Soat Sanceng, ketika Hoa Goan-siu masih melakukan perjalanan dalam dunia persilatan tempo dulu, Hoa In-pun sering kali munculkan diri pula di dalam Bulim, ilmu silat yang ia miliki belum tentu berada di bawah kepandaian silat dari Jin Hian.

Oleh sebab itu ketika Hoa Thian-hong suruh pengurus perkampungannya itu duduk, para jago dari pihak Hong- im-hwie-pun tak seorangpun yang memberi komentar, bahkan tak ada pula yang menunjukkan sikap tidak puas,

Tetapi Hoa In segera gelengkan kepalanya, “Aku tidak lapar!” Tiba-tiba serunya kembali, “Baiklah…… Aku akan bersantap disitu saja.”

Sepuluh orang yang semua duduk dimeja perjamuan sebelah depan secara beruntun berlalu semua, Hoa In segera menuju ke tempat itu, setelah bersantap ia buru- buru balik lagi ke belakang tubuh Hoa Thian-hong.

Kembali beberapa waktu telah lewat, kali ini Cu Goan- khek sekalian yang bangkit berdiri, katanya, “Toako, kami sekalian akan berangkat lebih dahulu!”

Jin Hian mengangguk. “Ingat baik-baik rencana kita yang sebenarnya, dalam perjalanan berusahalah mengadakan saling kontak antara kedua belah pihak, setibanya di kota Ceng-kang nantikanlah kedatanganku!”

Cu Goan-khek mengiakan dan segera berlalu .

Menanti Hoa Thian-hong menyapu sekejap sekeliling ruangan itu, dia lihat disitu sudah tiada orang lain lagi kecuali Jin Hian, Cia Kim serta tiga orang pria baju hijau yang menyoren golok besar bergagang emas itu.

Rupanya jin Hian tidak dapat membendung rasa girang yang meluap-luap dalam hatinya, setelah meneguk habis isi cawannya ia menghembuskan napas panjang dan berkata sambil tertawa, “Sejak pertemuan besar Pak-Beng-Hwie, dunia persilatan terasa sunyi bagaikan berada di kuburan, setelah sepuluh tahun merana akhirnya ini hari muncul pula setitik napas Perkumpulan Hong-im-hwie bakal merajai persilatan, aku ingin lihat kau si toosu bangsat Thian Ek bakal berubah muka atau tidak?”

Dia buang cawannya ke lantai dan tertawa terbahak- bahak. “Haaa…. haaah…. haaaah…. Hoa Loo-te, mari kitapun berangkat!……”

Sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya, Hoa Thian-hong berpikir, “Rupanya mereka semua terdiri dari manusia-manusia yang tidak menginginkan kesunyian, selama ini tak seorangpun diantara mereka yang berkutik lantaran waktu yang dinanti nantikan belum tiba…..”

Sekeluarnya beberapa orang itu dari ruang perjamuan. tampaklah Ciau Khong serta seorang pembantunya sedang menanti di depan pintu, tujuh delapan ekor kuda jempolan telah disiapkan di samping jalan, sementara keempat puluh orang pengawal golok emas itu tanpa menimbulkan suarapun telah berlalu semua dari situ.

Setelah semua orang naik ke atas panggung kuda. Jin Hian angkat kepala memandang sekejap cuaca di langit, kemudian sambil berpaling ke arah Hoa Thian-hong ia perlihatkan wajahnya yang kegirangan.

Hoa Thian-hong pura pura berlagak pilon sambil menjura serunya, “Jien Tang-kee, silahkan berangkat lebih dahulu!”

Sikapnya yang tegas, mantap dan gagah ini merupakan warisan langsung dari orang tuanya. hal ini menunjukkan pula didikan Hoa Hujien selama sepuluh tahun serta pengalamannya yang dialaminya selama ini telah menimpa pemuda itu jadi semakin matang dan berpengalaman.

Jin Hian yang menyaksikan itu diam-diam merasa kagum, sedang pelayan tua Hoa In merasa girang bercampur bangga.

Suara derap kaki kuda berkumandang memecah kesunyian, Jin Hian menceplak kudanya berlalu lebih dahulu dari pintu besar, malaikat berlengan delapan menyusul dan belakang kemudian pria bergolok emas itu nomor tiga, Hoa Thian-hong nomor empat sedang Hoa In paling buncit.

Lima ekor kuda berlari sepanjang jalan menuju ke pintu kota sebelah utara Setelah kelima ekor kuda itu berlalu dari bawah wuwungan rumah seberang jalan segara berkelebat keluar enam tujuh sosok bayangan manusia. mereka semua tidak menyembunyikan jejaknya lagi, ada yang lari menuju ke pintu barat, ada yang menuju ke pintu selatan. ada yang membuntuti di belakang kuda dan ada pula yang naik ke tembok kota.

Hoa Thian-hong yang melihat arah yang mereka tuju adalah pintu utara, ia nampak agak tertegun. Tapi sebelum ia sempat mengajukan keragu-raguannya itu Jin Hian telah alihkan lari kudanya menuju ke arah Timur. Di bawah cahaya bintang kelima ekor kuda itu nampak mengitari dinding kota itu satu kali, tidak selang sepertanak nasi kemudian mereka telah tiba diluar kota sebelah selatan dan mulai menginjak jalan raya menuju ke arah Wi-Im. Perjalanan dilakukan amat cepat, ketika fajar hampir menyingsing mereka beristirahat sejenak di sebuah dusun kecil di tepi jala ketika itulah Hoa Thian-hong bertanya, “Jien Tang-kee, pergerakan kita kali ini akan dilaksanakan secara terang-terangan ataukah hendak dilakukan secara sembunyi dan diluar dugaan mereka?…….”

“Wilayah Kanglam adalah suatu wilayah yang makmur dan ramai. di dalam setiap kota besar tentu terdapat kantor cabang dari Thong-thian-kauw, gerakan pasukan besar kita tentu akan mengejutkan mereka dan diketahui jejaknya sejak dari permulaan, oleh karena itu gerakan kita kali ini dilakukan setengah terang-terangan dan setengah bersembunyi, asal pada bulan tujuh tanggal tiga kita bisa mencapai kota Ceng-kang, sekalipun Thian Ek si toosu bangsat itu sudah memperoleh berita, belum tentu ia mampu melakukan penjagaan yang ketat terhadap serbuan kita orang”

Hoa Thian-hong yang meninjau persoalan itu dari sudut pandangan ke depan, secara lapat-lapat dapat merasakan pula rumit serta kalutnya persoalan ini, ia tahu bahwa pekerjaan besar semacam ini tak mungkin sungguh dilakukan oleh Jin Hian sekalian beberapa gelintir orang saja, kebanyakan pihak Sin-kie-pang tentu terlibat pula dalam peristiwa ini.

Sekalipun begitu diapun menyadari bahwa banyak bertanya tak ada faedahnya, oleh sebab itu ia segera mengambil keputusan untuk menunggu perubahan dengan sikap tenang. Mulutnyapun membungkam dalam seribu bahasa,. Terdengar Jin Hian bertanya kembali, “Hoa loo-te, untuk setiap kali ‘lari racun’, apakah kau mempunyai saat yang tertentu?”

Pemuda itu mengangguk, “Benar, setiap setengah hari menjelang tiba.”

Jin Hian termenung sebentar, lalu berkata lagi, “Kalau begitu sebelum tengah hari nanti kita beristirahat dulu sebentar di kota Ko-kee-ceng!”

“Jien Tang-kee, janganlah karena urusan ini hingga menunda perjalananmu ini!….” Jin Hian tersenyum. “Kita toh sedang melakukan perjalanan bersama, sudah sepantasnya kalau kami mengimbangi keadaan dari rekan seperjalanan kami, kalau tidak bantu membantu darimana kita bisa kokoh?”

Setelah sang surya menyingsing perjalanan segera dilakukan, tengah hari racun teratai yang mengeram dalam tubuh Hoa Thian-hong kambuh, ia segera turun dari punggung kudanya dan melanjutkan perjalanan dengan jalan berlari.

Makin lari ia semakin cepat hingga dalam sekejap mata rombongan kuda telah ditinggalkan beberapa ratus tombak jauhnya Hoa In tak mau tinggalkan majikan mudanya dengan begitu saja, diapun loncat turun dari kuda dan berlari di sisinya.

“Siau Koan-jin!” serunya kemudian. bila kau tidak tahan, biarlah budak menotok beberapa buah jalan darahmu serta menggendong dirimu untuk melanjutkan perjalanan”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar