Bara Maharani Jilid 13 : Pek Kun Gie..aku benci kau

 
Jilid 13 : Pek Kun Gie..aku benci kau

GiOK TENG Hujien jadi amat gusar ia menyeringai seram. “Rupanya kau benar-benar sudah bosan hidup!” teriaknya, telapaknya diayun kemuka dan perlahan-lahan didorong ke depan.

“Siang Lo-jie, cepat mundur!” bentak Cu Goan-khek, sepasang kakinya disilang ke depan dan menggunakan sepasang telapaknya diapun melancarkan sebuah pukulan.

Hiat-Sat Sinkang merupakan ilmu pukulan yang paling sakti dikalangan kaum sesat, begitu sepasang tenaga saling bertemu Cu Goan-khek segera merasakan telapaknya seperti dihantam oleh segulung tenaga yang berat dan aneh, dadanya jadi sesak dan hidungnya seperti mencium bau amis darah yang memuakkan,Isi perutnya goncang keras, hampir saja muntah darah segar.

Dalam pada itu Hoa Thian-hong pun telah tundukan kepala memeriksa ketiak sendiri ia lihat di atas pakaiannya telah bertambah dengan lima buah lubang kecil yang mengucurkan darah berwarna hitam, walaupun dalam hati merasa amat gusar tetapi karena teringat akan keselamatan diri Chin Giok-liong ia berusaha keras untuk menekan bawa amarahnya itu di dalam hati. “Cici, ayo kita pergi!” serunya.

Di dalam tubuhnya masih bersarang racun Teratai empedu api, semua jalan darah dalam tubuhnya terasa panas, kaku dan gatal seolah olah diterobosi oleh berjuta juta ekor semut, penderitaan yang dirasakannya pada waktu itu benar-benar amat hebat.

Sehabis bicara ia segera putar kepala dan meneruskan kembali pengejarannya ke arah kakek cebol gemuk itu.

Giok Teng Hujien yang berhadapan dengan keadaan seperti ini jadi gugup dan tak tahu apa yang musti dilakukan pada saat ini, hawa pukulan Hiat-Sat sinkangnya segera ditarik kembali, sambil mengejar pemuda itu serunya cemas, “Saudaraku, di atas ilmu cakar Thong-Long Jiauw dari Siang Loo jie mengandung racun keji.”

Belum habis ia berkata, tiba-tiba dari arah belakang berkumandang suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati, cepat ia berpaling ke belakang. terlihatlah sambil menyemburkan darah hitam dari mulutnya Siang Hauw roboh terjengkang ke atas tanah, sekujur tubuhnya mengejang beberapa saat lamanya kemudian matanya melotot besar dan mati binasa.

Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya, ia tetap meneruskan gerakannya lari ke depan. Giok Teng Hujien menyusul dari belakangnya sambil berseru kepada Soat- jie makhluk aneh itu, “Soat-jie, cepat kejar kakek tua tadi.” Rase putih sangat memahami perkataan manusia, mendengar perintah dari majikannya ia berteriak kegirangan, tubuhnya segera meluncur lebih dahulu ke depan dan membuka jalan bagi kedua orang itu.

Sambil berlari Giok Teng Hujien tertawa dan berkata, “Ini hari Cu Goan-khek betul-betul keok di tangan kita!”

Hoa Thian-hong menjawab ia menoleh ke belakang ketika dilihatnya tak ada orang yang mengejar. kakinya segera bergerak semakin cepat lagi meluncurkan ke arah depan.

Haruslah diketahui disaat racun teratainya sedang kambuh, semakin cepat pemuda itu berlari semakin berkurang penderitaan yang sedang dirasakan olehnya, cuma sayang mereka masih berada di dalam kota yang ramai hingga tenaganya tak bisa digunakan sampai pada puncaknya, sekalipun begitu Giok Teng Hujien yang harus mendampingi disisinya sudah merasa kepayahan.

Beberapa waktu kemudian mereka sudah keluar dari kota, tampaklah si kakek cebol gemuk itu sambil memanggul tubuh Chin Giok-liong di atas bahunya sedang berlari mengikuti tembok kota, Soat-jie membuntuti kurang lebih beberapa tombak dibelakangnya, manusia dan binatang itu saling kejar mengejar dengan cepatnya, dalam sekejap mata mereka sudah berada jauh sekali dari pandangan.

Hoa Thian-hong segera berpikir di dalam hati, “Si kakek tua ini entah sahabat atau musuhku? Kalau. ditinjau dari ilmu silatnya yang begitu lihay, andaikata dia adalah musuhku maka amatlah sulit bagiku untuk menghadapinya.

Sementara otak berputar, sepasang kakinya berlari semakin kencang lagi, tubuhnya meluncur ke muka makin tajam hingga badannya berada sepuluh tombak lebih ke depan dari keadaan semula.

Saat ini posisi Hoa Thian-hong sudah maju lebih ke depan dari keadaan semula, dari kejauhan ia dapat saksikan si kakek gemuk cebol itu sedang berlari kencang dipaling depan, Soat-jie si makhluk aneh itu berlari di tengah sedang ia bersama Giok Teng Hujien berada dipaling belakang.

Setelah berlarian beberapa saat lamanya, tanpa terasa sampailah mereka dipintu selatan kota. mendadak kakek cebol gemuk itu turunkan Chin Giok-liong ke atas tanah, lalu seorang diri ngeloyor masuk ke dalam kota dan lenyap dari pandangan.

Dengan cepat Hoa Thian-hong menyusul sampai disitu, ia cekal pergelangan Chian Giok Liong sambil tegurnya, “Giok Liong heng, masih kenalkah kau dengan diri Siauwte?”

Chian Giok Liong tetap berdiri bodoh di tempat semula, wajahnya bingung dan terasa pandangan kosong, walaupun sudah ditegur beberapa kali namun ia tetap bungkam dalam seribu bahasa Akhirnya Hoa Thian-hong menghela napas panjang, ia menoleh ke samping dan berkata, “Cici. pengetahuan serta pengalaman amat luas, apakah kau punya cara untuk menolong sahabat Siauwte ini?”

Giok Teng Hujien tersenyum mania, dari sakunya ia ambil keluar sebuah saputangan dan menyahut, “Aku cuma sudi mengurusi dirimu seorang urusan orang lain ogah untuk mencampurinya.”

Ia merandek sejenak dan memeriksa luka pada ketiaknya, lalu menambahkan, “Darah yang menetes keluar telah berubah jadi merah segar, apakah racun teratai yang sedang kambuh telah tenggelam kembali?”

“Kurang lebih begitulah” jawab Hoa Thian-hong sambil menyeka keringat yang membasahi tubuhnya.”Setiap hari racun itu kambuh, tentu akan makan waktu setengah jam lamanya agar bisa tenggelam kembali, rasanya waktu yang dibutuhkan hari ini jauh lebih pendek.”

Dari sakunya Giok Teng Hujien sambil keluar sebuah botol porselen, sambil mengeluarkan sejumlah bubuk putih untuk dipulaskan ke atas bekas cakar yang membekas di atas ketiak Hoa Thian-hong, katanya sambil tertawa.

“Bagaimana sih Siang Hauw bisa mati secara mendadak? Agaknya kau tidak mempan terhadap racun macam apapun, racun keji dari ilmu cakar Thon-Long- Jiauw dari Siang Hauw sama sekali tidak manjur terhadap dirimu…. Hoa Thian-hong termenung dan berpikir sebentar, lalu jawabnya, “Aku menggunakan serangan sikut untuk membentur patah kuku di jari Siang Hauw, mungkin darah beracun dari tubuhku telah bercampur dengan darah segarnya hingga menyebabkan selembar jiwanya melayang.”

“Ei, makhluk racun cilik!” tegur Giok Teng Hujien sambil tertawa, “Seandainya aku gigit dirimu, bukankah selembar jiwaku juga akan ikut melayang?”

Hoa Thian-hong tertawa geli, ia gandeng tangan Chin Giok-liong dan perlahan-lahan masuk ke dalam kota. ujarnya

“Cici, kau suruh Soat-jie mengejar kakek tua itu, apakah ia tak akan menimbulkan keonaran?”

“Soat-jie amat jinak dan penurut” sahut Giok Teng Hujien sambil tertawa merdu, “Sebelum mendapat perintahku ia tak akan melukai orang secara sembarangan, si kakek tua tadi adalah sisa dari jagoan lihai kalangan lurus yang berhasil lolos dari kematian. aku rasa tindak tanduknya pasti didasarkan oleh rencana yang matang.”

“Ilmu silat yang dimiliki kakek tua itu sangat lihay, gerak-geriknya lincah dan otaknya cerdas” pikir Hoa Thian-hong dalam hati. “Seandainya ia benar-benar adalah jago lihay dari kalangan lurus, kejadian ini betul- betul merupakan suatu keberuntungan bagi kami, aku harus berusaha untuk menjumpai dirinya dan ajak dia berbicara.”

Tiba-tiba satu ingatan berkelebat di dalam benaknya. segera ujarnya, “Cici sewaktu berada ditepi sungai Huang-hoo tempo dulu, kau pernah berkata bahwa dirimu memiliki sebuah Jinsom berusia seribu tahun……”

Berbicara sampai di tengah jalan mendadak ia teringat bahwa hubungan diantara mereka hanya kenalan biasa, sama sekali tiada ikatan yang mendalam, Jinsom berusia seribu tahun yang merupakan obat majsrab sekalipun dimiliki olehnya belum tentu perempuan itu rela menyerahkan padanya.

Karena itu bicara sampai di tengah jalan ia segera membungkam.

Sinar mata Giok Teng Hujien berkilat tajam dengan wajah penuh senyum ia menyahut, “Jinsom seribu tahun sih cici memang mempunyai sebatang, cuma obat mujarab itu sukar didapat bila digunakan secara sembarangan amatlah sayang, penyakit yang diderita Chin Giok-liong tidak sampai mempengaruhi keselamatannya, lain hari bila aku bertemu dengan Jien Hian biarlah cici tegur dirinya sekalian mintakan obat pemunah bagi orang ini.”

Sebenarnya Hoa Thian-hong mengungkap persoalan ini adalah mengingat luka dalam yang diderita ibunya, melihat perempuan itu telah salah artikan perkataannya iapun tersenyum dan tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Mendadak tampaklah Soat-jie si rase putih itu lari kembali, kepalanya celingukan ke kiri ke kanan dengan pandangan tajam, kalau ditinjau dari keadaan itu jelas ia sudah kehilangan jejak dari kakek gemuk cebol itu.

Giok Teng Hujien segera ulurkan tangannya membopong rase putih itu ke dalam pelukannya, sambil tertawa ia berkata, “Licin amat si kakek tua itu, lain kali kalau sampai berjumpa lagi dengan diriku, aku harus coba-coba dulu kelihaiannya!”

“Apakah cici kenal dengan asal usul orang ini?”- Sambil tertawa Giok Teng Hnjiec menggeleng.

“Pokoknya yang jelas dia adalah salah seorang peserta dan pertemuan Pek Beng Hwie, waktu itu usia cici masih muda dan tak sempat ikut menyaksikan keramaian tersebut, jadi akupun tak tahu siapakah nama kakek rua itu?….”

Ketika pembicaraan berlangsung sampai disitu, mereka berdua telah tiba disebuah perempatan jalan, Hoa Thian-hong segera memberi hormat sambil berkata, “Sungguh beruntung dalam peristiwa yang terjadi pada hari ini aku telah mendapat bantuan dari cici, budi ini pasti akan siauwte ingat terus di dalam hati, dilain waktu aku pasti akan membalasnya.”

“Siapa sih yang mengharapkan balas budi darimu?” omel Giok Teng Hujien sambil tertawa. Ia merandek sejenak lalu tambahnya, “Permusuhanmu dengan pihak perkumpulan Hong-im-hwie kian lama kian bertambah dalam, pihak mereka pasti tak akan mengampuni dirimu, menurut nasehatku lebih baik menyingkirlah dahulu ke daerah tenggara. berpesiarlah dahulu di sekitar situ sambil menunggu hingga suasana jadi reda kembali.

Hoa Thian-hong segera menggeleng. “Siauwte masih ada urusan pribadi lain yang belum selesai, bagaimanapun juga aku tetap harus tinggal di kota Cho Chiu!”

“Apakah kau telah mengadakan janji dengan Chin Wan-hong untuk saling bertemu muka di kota Cho Chiu?”

Merah jengah selembar wajah si anak muda itu, dengan cepat ia menggeleng. “Nona Chin telah mendapat guru baru, dalam dua tiga tahun tak mungkin ia lakukan perjalanan diluar. Siauwte sedang menanti seorang angkatan tuaku”

“Serangan secara terang-terangan gampang dihindari, serangan bokongan susah diduga, untuk sementara waktu pindahlah dulu ke dalam kuil It-goan-koan dan tinggal bersama cici.”

“Terima kasih atas perhatianmu, siauwte paling takut segala macam peraturan yang membelenggu kebebasan orang, lagipula masih ada saudara Chin ini. Aku harus berusaha keras untuk menyelamatkan dirinya!”

“Hiih….. hiih…. hiih…. sungguh tak nyana kau suka jual tenaga bagi seorang sahabat.” Hoa Thian-hong mengerti bahwa dibalik ucapan Giok Teng Hujien mengartikan lain, diam-diam ia menyindir pemuda itu sebagai penolong Chin Giok-liong karena memandang di atas hubungannya dengan Chin Wan- hong adiknya, segera ia tertawa hambar, sambil berpura- pura tidak mengarti perkataan itu ia berpamitan dan mohon diri,

Giok Teng Hujien tertawa cekikikan, setelah termenung sejenak ia putar badan dan berlalu. tetapi baru berjalan beberapa langkah tiba-tiba ia putar badan sambil bertanya, “Saudara Hoa tahukah kau cici she apa?”

“Cici tidak bilang siauwte tak berani banyak bertanya,” kata Hoa Thian-hong dengan wajah berubah jadi merah padam.

Giok Teng Hujien tertawa cekikikan. “Cici tidak punya she dan tidak bernama aku tak pernah angkat guru dan ilmu silatku adalah hasil latihan sendiri. percayakah kau?”

Diam-diam Hoa Thian-hong berpikir dalam hati, “Lie Hoa Siancu serta Ci-wi siancu dari Biauw-Nia-Sam-Sian adalah anak buangan yang ditemukan gurunya, merekapun tak bernama. cuma ia bilang tak ada orang yang menurunkan ilmu silat kepadanya, kepandaian itu adalah hasil latihan sendiri, perkataan ini benar-benar sulit membuat orang untuk mempercayainya.”

Dalam hati berpikir demikian, diluar ia menjawab, “Siauwte tentu saja akan mempercayainya, tolong tanya siapakah nama Ciehu atau kakak iparku itu?” “Hiiih…. Hiiih…. Hiiih…. siapa bilang kau sudah punya kakak ipar? Sebutan Nyonya (Hujien) adalah pemberianku sendiri, sampai sekarang cicimu belum pernah kawin!”

“Kurang ajar….” batin Hoa Thian-hong dalam hati, ia segera memberi hormat dan sambil menggandeng tangan Chin Giok-liong berlalu dari situ.

Giok Teng Hujien tertawa cekikikan iapun kembali ke tempat tinggalnya di kuil It-goan-koan.

Dalam pada itu Hoa Thian-hong setelah kembali ke dalam rumah penginapan, tiba-tiba ia temukan Ciong Lian-khek berjalan menghampiri dirinya, si anak muda itu merasa kedatangannya diluar dugaan, dengan cepat ia persilahkan tamunya masuk ke dalam.

“Cianpwee, ada urusan apa secara tiba-tiba kau berkunjung kemari?” sapanya.

“Aku telah pindah ke rumah penginapan ini dan sekarang berdiam di kamar sebelahmu!”

Mendengar ucapan itu Hoa Thian-hong jadi kegirangan, iapun lantas menerangkan asal usul dari Chin Giok-liong serta pertarungannya melawan Cu Goan- khek serta dua bersaudara she-Siang di rumah makan Ci- Eng Loo.

Dengan tenang Ciong Lian-khek mendengarkan kisah itu, kemudian katanya, “Dewasa ini situasimu amat kacau tak karuan, banyak penjahat yang ada maksud mencelakai jiwamu, biarlah untuk sementara waktu Chin Giok-liong berdiam bersama aku sehingga bila terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan kau tak usah cabangkan pikiran untuk memperhatikan dirinya.”

Hoa Thian-hong jadi amat terharu, pikirnya, “Bergaul dengan para ksatria sejati memang sepantasnya terus terang dan bicara blak-blakan, kalau sikapku ragu-ragu dan sangsi malahan rasanya kurang hormat.”

Berpikir demikian iapun mengacapkan rasa terima kasihnya dan serahkan Chin Giok-liong ke tangan pendekar itu, sedang ia sendiri sehabis mandi dan tukar pakaian bersama mereka berdua makan siang dalam kamar.

Tiba-tiba Ciong Lian-khek bertanya, “Ilmu pukulan tangan kirimu itu kau dapatkan dari siapa?”

“Orang itu bernama Cioe It Bong, sekarang terperangkap dalam kurungan perkumpulan Sin-kie- pang.”

“Lalu kepandaian silat tangan kananmu?’ “Mendiang ayahku telah meninggalkan sebilah pedang baja serta enam belas jurus ilmu pedang sederhana kepadaku, sayang aku tak becus dan kehilangan pedang baja itu sewaktu masih ada di dalam markas besar perkumpulan Sin-kie-pang

“Sungguh aneh,” bisik Ciong Lian-khek dengan alis berkerut. “Hoa tayhiap adalah seorang jago kosen, tidak mungkin ia cuma tinggalkan enam belas jurus ilmu pedang yang amat sederhana, menurut penilaianku ilmu pedang itu pasti tak akan sesederhana itu cuma kau belum sampai berhasil menemukan inti sari dari ilmu itu.”

Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong sehabis mendengar perkataan itu katanya, “Sayang pedang baja itu tidak berada disisiku kalau tidak aku pasti akan mainkan jurus-jurus pedang itu sambil memohon petunjuk dari cianpwee, aku percaya banyak manfaat yang bakal kutarik dari diri cianpwee.”

Ciong Lian-khek adalah seorang ahli pedang yang setiap saat menggembol sebilah pedang baja di atas punggungnya, saat itu sambil bersantap katanya, “Coba gunakanlah sumpit itu sebagai ganti pedang dan mainkan salah satu jurus serangan itu!”

Hoa Thian-hong mengangguk, ia gunakan sumpit ditangannya mainkan beberapa gerakan, kemudian sambil gelengkan kepala dan tertawa sahutnya, “Pedang baja milikku itu besar lagi berat, sedang sumpit ini terlalu kecil. Sulit bagiku untuk memperlihatkan gerakan jurus serangan itu.”

Ciong Lian-khek termenung tidak bicara, beberapa saat kemudian katanya, “Selesai bersantap nanti gunakanlah pedangku untuk bermain beberapa jurus serangan itu.”

Tapi Hoa Thian-hong segera menggeleng. “Pedang macam apapun yang berada dalam genggamanku segera akan patah jadi dua bagian bila kugunakan, dahulu sudah begini aku rasa setelah tenaga dalamku memperoleh kemajuan pesat keadaan itu semakin bertambah payah.”

Mendengar perkataan itu kembali Ciong Lian-khek termenung pikirnya sejenak, lalu katanya, “Menurut dugaanku enam belas jurus ilmu pedang yang diwariskan Hoa tayhiap kepadamu itu. Pastilah serangkaian ilmu silat yang maha sakti dan maha dahsyat, mungkin usiamu masih terlalu muda dan pengalamanmu masih amat cetek hingga inti sari dibalik kepandaian itu belum berhasil kau pahami …”

Mula2 Hoa Thian-hong melengak, kemudian pikirnya, “Perkataan ini sedikitpun tidak salah, sewaktu ayah mewariskan kepandaian tersebut kepadaku, beliau pernah berpesan pedang ada manusia hidup, pedang musnah orang mati!”

Berpikir sampai disini ia merasa amat murung dan kesal, dalam hati pemuda inipun mengambil keputusan untuk berangkat ke markas besar perkumpulan Sin-kie- pang guna minta kembali pedang bajanya bila saatnya telah tiba

Selesai bersantap karena terlalu lelah maka sesudah bercakap2 sebentar Hoa Thian-hong naik ke atas pembaringan dan beristirahat sedangkan Ciong Lian-khek sambil membawa Chin Giok-liong kembali ke kamar sebelah, selama bercakap2 tadi meski ia tidak tunjukkan sikap yang hangat tapi jelas terlihat bahwa la amat menyayangi si anak muda itu, Tidur Hoa Thian-hong kali ini benar-benar amat nyenyak, ketika ia mendusin, hari sudah gelap. tampaklah suasana dalam kamarnya sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun, ia segera bangun dan berpakaian lalu menuju ke kamar sebelah,

Di bawah sorot lampu tampaklah dalam kamar Ciong Lian-khek terdapat tiga orang tamu, kecuali Chin Giok- liong dua orang tamu yang lain adalah Si utusan pencabut nyawa Ma Ching-san serta si pelindung hukum dan perkumpulan Sin-kie-pang, Tang Hiong-sim.

Ketika melihat Hoa Thian-hong melangkah masuk ke dalam kamar. Ma Ching-san serta Tang Hiong-sim segera bangkit berdiri dan maju memberi hormat, sapa mereka sambil tertawa, “Oooh! Kongcu telah mendusin, aku….”

Mendengar sebutan mereka berdua terhadap dirinya telah berubah. diam-diam Hoa Thian-hong menaruh curiga, cepat tukasnya, “Aaah, aku tak tahu kalau kalian berdua akan berkunjung kemari. bilamana kalian harus menunggu lama harap suka dimaafkan.”

Si utusan pencabut nyawa Ma Ching-san dari perkumpulan Thong-thian-kauw segera tertawa. katanya, “Pertempuran yang terjadi antara Hoa kongcu melawan Cu Goan-khek dari perkumpulan Hong-im-hwie hari ini telah menggemparkan seluruh kota Cho Chiu, segenap anggota perkumpulan kami dari atas sampai bawah tak ada yang tidak merasa kagum, Untuk kehebatan kongcu sengaja Giok Teng Hujien telah menyiapkan perjamuan untuk merayakan kemenangan itu, harap Hoa kongcu sudi untuk menghadirinya.”

“Ngomong terus tiada hentinya, jadi dia ada maksud mengundang aku pergi makan” pikir Hoa Thian-hong dalam hati. Sambil tertawa segera tukasnya. “Harap Ma- heng tunggu sebentar, aku segera berangkat mengikuti dirimu!….” bicara sampai disini ia lantas berpaling ke samping. “Kedatangan Tang-heng kesini apakah membawa tugas dari perkumpulan?”

Tang Hiong-sim tertawa terbahak-bahak, sekilas cahaya merah melintas di atas wajahnya, ia melangkah maju ke depan dan ambil keluar sepucuk surat dari sakunya lalu diangsurkan ke depan.

“Hoa Thian-hong menerima surat itu dan membaca isinya, ternyata ditulisan tangan dari Pek Kun-gie. terbacalah isi surat itu berbunyi demikian, “Aku telah tiba di kota Cho-Chiu, harap datang untuk berjumpa”

Terdengar Tang Hiong-sim berkata, “Nona kami mendengar bahwa setiap hari Hoa kongcu harus melakukan ‘Lari Racun’ dalam hati merasa amat kuatir. oleh sebab itu ia berharap bisa cepat-cepat berjumpa muka dengan kongcu.”

Diam-diam Hoa Thian-hong tertawa dingin, pikirnya, “Hmmm! Seandainya tempo dulu aku mati sekarat ditepi sungai Huang-hoo, masing-masing pihak tentu tidak akan saling kuatir dan saling mengagumi….” Berpikir demikian tanpa terasa ia terkenang kembali akan Chin Wan-hong, cinta kasihnya yang suci dan murni terasa amat merasuk ke dalam hatinya, ia berharap bisa cepat-cepat berjumpa lagi dengan gadis itu.

Terkenang akan adiknya pemuda itu segera teringat pula akan kakaknya. ia berjalan menghampiri Chin Giok- liong lalu menyapa dengan suara lembut, “Saudara Giok Liong, masih ingatkah dengan siauwte?”

Chin Giok-liong angkat kepalanya dan menatap wajah pemuda itu beberapa saat lama tapi ia tetap bimbang dan kebingungan. jelas terhadap diri Hoa Thian-hong ia merasa tak pernah kenal.

Ciong Lian-khek yang berada disisinya segera menimbrung, “Ia sudah dicekoki obat pemabok dari Jien Hian, kejadian yang lampau sudah terhapus sama sekali dari benaknya. untung selembar wajahnya masih bisa dipertahankan. lain kali kita bisa berusaha secara perlahan-lahan untuk menyembuhkan penyakitnya itu, aku percaya suatu saat dia akan pulih kembali seperti sedia kala.”

Hoa Thian-hong menghela napas panjang, kembali ia berpaling ke arah Tang Hiong-sim dan berkata, “Tang heng, merepotkan dirimu suka memberi kabar kepada nona Pek bahwa besok akan menyambut kedatangannya di rumah makan Kie Eng Leo!”

Mendengar perkataan itu, Tang Hiong-sim melirik sekejap ke arah Utusan pencabut nyawa Ma Ching-san kemudian mohon diri dan berlalu. Ma Ching-san sendiri berdiri sambil tersenyum dikulum, rupanya ia merasa amat bangga dengan keputusan itu.

Sementara itu Hoa Thian-hong telah menoleh ke arah Ciong Lian-khek sambil berkata, “Aku pikir mumpung tak ada urusan maka boanpwee ingin pergi mengunjungi kuil It Goan-Koan, aku ingin lihat manusia macam apa saja yang tergabung di dalam sekte agama Thong-thian- kauw!”

“Pergi berkunjung sih tak mengapa, cuma kau musti perhatikan permainan setan yang mereka siapkan” ujar si jago bercambang memperingatkan.

Utusan pencabut nyawa Ma Ching-san yang mendengar ucapan itu, sepasang matanya kontan melotot.

“Sahabat, kalau berbicara aku minta kau sedikitlah tahu diri…..”

“Siapa yang sudi jadi sahabatmu?” hardik Ciong Lian- khek dengan mata mendelik, Kenapa musti tahu diri terhadap dirimu?”

Air muka Utusan pencabut nyawa Ma Ching-san berubah hebat, tapi dengan cepat pulih kembali seperti sedia kala, ujarnya hambar, “Memandang di atas wajah Hoa kongcu aku orang she-Ma tak ingin ribut-ribut dengan dirimu.” Habis berkata ia putar badan dan berlalu dari ruang kamar. Diam-diam Hoa Thian-hong merasa geli setelah berpamitan dengan jago bercambang ia keluar dari rumah penginapan, disitu tampaklah Ma Ching-san dengan menuntun dua ekor kuda jempolan sedang menunggu diluar pintu, Hoa Thian-hong sambut tali les dan berangkatlah mereka berdua menuju ke arah kuil It- goan-koan.

Kantor cabang dari sekte agama Thong-thian-kauw ini terletak di sudut kota sebelah timur. banyak sekali jemaah yang bersembahyang disitu, tapi bagi mereka hanya boleh mengunjungi batas ruang depan saja, ruang berikutnya merupakan daerah terlarang bagi kaum awam.

Mengikuti di belakang Ma Ching-san, secara beruntun Hoa Thian-hong melewati beberapa buah ruang besar dan tibalah di depan sebuah bangunan loteng yang tinggi.

Suasana di depan loteng sunyi senyap. tak kedengaran sedikit suarapun, delapan orang bocah imam berbaju hijau dengan pedang pendek tersoren di punggung berjaga-jaga di depan pintu. Sambil menggandeng tangan Hoa Thian-hong berjalan masuk ke dalam loteng itu.

Pikirnya, “Ditinjau dari sikap Ma Ching-san rupanya ia merasa agak tegang untuk memasuki tempat ini, dari wajahnya yang serius jelas loteng ini merupakan tempat penting disini. Diam-diam ia perhatikan suasana di sekitar sana tampaklah olehnya pada setiap saat bangunan loteng itu dijaga ketat oleh para penjaga pada tingkat yang paling bawah dijaga oleh delapan orang imam kecil berbaju hijau, pada tingkat kedua dijaga oleh delapan orang toosu muda sedang pada tingkat ketiga dijaga delapan orang pria berbaju hitam, berkerudung hitam dan berbadan kekar.

Menanti ia sudah tiba di loteng tingkat keempat, tampaklah di bawah cahaya lampu yang berkilauan sebuah meja perjamuan telah disiapkan, Giok Teng Hujien dengan sanggul yang tinggi dan dandanan yang agung duduk di meja utama. Soat-jie si rase salju berada dalam bokongannya. Seorang gadis berbaju ungu yang cantik jelita berdiri di belakang tubuhnya, sementara dua orang toosu tua duduk pada kursi samping, delapan orang gadis cantik dan beberapa orang imam kecil berdiri disekeli1ing sana.

Begitu melihat kehadiran Hoa Thian-hong di atas loteng, Giok Teng Hujien segera bangkit dari tempat duduknya dan maju menyambut dengan senyum dikulum.

“Lama benar nih!” serunya, “Aku mengira kau sangat marahnya dan minta dijemput oleh aku sendiri!”

Hoa Thian-hong tersenyum, sesudah menjura dia alihkan sorot matanya melirik sekejap ke arah dua orang toosu tua yang ikut bangkit dan tempat duduknya itu. “Siapakah sebutan dari tootiang berdua? Cici kau harus perkenalkan dulu kepadaku!” serunya.

Giok Teng Hujien tersenyum. “Ayoh duduk dulu, soal itu kita bicarakan nanti saja!” ia tarik tangan pemuda itu dan membimbingnya menuju ke meja perjamuan.

Setelah ambil tempat duduk, Giok Teng Hujien baru menoleh ke arah kedua orang toosu tua itu sambil berkata, “Dialah Hoa kongcu! Kegemilangan serta kecemerlangan nama keluarganya tak perlu dibicarakan lagi kalian musti sudah kenal bukan? pemuda gagah semacam ini harus dihormati harap kalian berdua suka memberi hormat lebih dahulu.”

Kedua orang toosu tua itu tak berani membantah, mereka segera bangkit berdiri sambil memberi hormat.

“Selamat bertemu!” serunya hampir berbareng,

Giok Teng Hujien tuding seorang toosu tua di sudut paling muka, katanya, “Dia adalah Ngo Ing-Cinjin, sekarang menjabat sebagai ketua dari kuil It-goan-koan

“Selamat berjumpa!” seru Hoa Thian-hong sambil menjura.

Dia angkat kepala dan perhatikan toosu itu, tampaklah usia dari Ngo Ing Cinjin kurang lebih lima enam puluh tahunan, jenggot putih terurai sepanjang dada, jubah kuningnya yang lebar bersulamkan sebuah lukisan Pat- kwa dari benang emas, sebilah pedang berbentuk aneh tersoren di atas bahunya dilihat gerak-geriknya ia nampak gagah dan menyeramkan

Sementara itu Giok Teng Hujien telah menuding toosu kedua, ujarnya kembali, “Yang itu adalah Cing-st-cu, jabatannya adalah ketua dari ruangan ini,” ia merandek sejenak lalu sambil tertawa terusnya, “Perkumpulan kami semuanya dibagi jadi tiga sektor atas, tiga sektor tengah dan tiga sektor bawah, kekuasaan kesembilan sektor itu terletak pada sembilan buah kuil, yaitu Sang-goan-koan, Tiong-goan-koan serta He-goan-koan. Kuil It-goan-koan langsung dibawahi oleh ketua kami dan terlepas dari pengawasan sektor2 tersebut. Apabila kau memandang kedudukan Cing-Si-Cu seimbang dengan kedudukan ketua kantor cabang seperti pada perkumpulan lain, maka dugaanmu itu keliru besar”

“Haah…. haaah…… haaaah….. aku mana berani” sahut Hoa Thian-hong sambil tertawa, “Terhadap orang yang bisa duduk sederajat dengan cici, tentu saja aku tak berani bersikap kurang ajar”

Diluaran ia berkata begitu, sementara dalam hati pikirnya, “Entah selain sang ketua serta sembilan orang penjabat kuil apakah masih terdapat kekuasaan yang lain? Apa pula jabatan cici di dalam sekte agama Thong- thian-kauw ini”

Mendadak terdengar Cing Si Cu berkata sambil tertawa, “Dalam pertempuran yang terjadi hari ini Cu Goan-khek kehilangan pamor dan namanya jatuh, pengaruh perkumpulan Hong-im-hwie pun terpukul hebat. sejak kini pandangan sahabat kangouw dalam dunia persilatan terhadap diri Hoa Kongcu tentu akan berubah seratus delapan puluh derajat”

Ia angkat cawan araknya dan menambahkan sambil tertawa, “Aku sebagai tuan rumah tempat ini, dengan menyender di atas kecemerlangan hujien ingin menghormati Hoa kongcu dengan secawan arak, anggap saja penghormatan ini sebagai pengutaraan rasa kagum kami terhadap dirimu!….”

Hoa Thian-hong tersenyum, “Tengah hari tadi kebetulan saja racun keji yang bersarang dalam tubuhku sedang kumat sehingga aku bertempur dalam keadaan setengah tak sadar, seandainya kejadian itu berlangsung di saat2 biasa, aku bukan tandingan dari Cu Goan-khek”

Diapun angkat cawan araknya dan meneguk habis isinya

Selama ini gadis berbaju hijau itu sambil membawa sebuah poci arak berdiam di belakang Hoa Thian-hong, melihat cawannya telah mengering buru-buru ia penuhi kembali cawan tersebut dengan arak.

Merasa hanya dia seorang yang dilayani Hoa Thian- hong curiga. ia segera angkat kepala dan memandang sekejap ke arah gadis itu. Rupanya Giok Teng Hujien mengerti apa yang sedang dipikirkan pemuda itu, sambil tertawa segera ujarnya, “Dia bernama Pui Che-giok seorang dayang kepercayaanku, ketika berada di tepi sungai Huang-ho malam itu, bukankah kau sudah pernah bertemu dengan dirinya!” Hoa Thian-hong mengangguk, sementara dalam hati pikirnya, “Perempuan yang membunuh mati Jin Bong juga mengaku bernama Pui Che-giok, entah saat ini bersembunyi dimana?” Berpikir sampai disitu segera ujarnya, “Kasus pembunuhan terhadap Jin Bong rupanya sudah buyar bagaikan awan di udara, apakah Jin Han telah berhasil menemukan pembunuhnya dan berhasil membunuh orang itu untuk membalas dendam atas sakit hatinya?”

“Aaaah masa urusan bisa beres dengan begitu gampang?” sahut Giok Teng Hujien sambil tertawa, “Dewasa int memang keadaannya kendor diluar tegang di dalam sepintas lalu suasana terasa tenang tak berombak padahal sedari dulu Jin Hian telah meninggalkan propinsi San-Say dan melakukan penyelidikan secara diam-diam untuk membekuk gadis yang mengaku bernama Pui Che-giok itu.”

“Aku lihat nasib perkumpulan Hong-im-hwie di tahun ini kurang begitu mujur” tiba-tiba Ngo Ing Cinjin menyela, “Loo-toa kehilangan putra kesayangannya, Loo- sam terpenggal lengannya dan ini hari Siang Hauw modar secara konyol aku pikir makhluk2 ganas yang selama ini tak pernah mencampuri urusan dunia, sebentar lagi pasti akan bermunculan kembali”

Hoa Thian-hong kerutkan sepasang alisnya ketika mendengar perkataan itu pikirnya, “Ngo Ing Cinjin adalah ketua sektor atas dari sekte agama Thong-thian-kauw, ia sebut orang-orang itu sebagai makhluk ganas, kemungkinan besar mereka memang merupakan manusia yang amat lihay!” “Aaah….! Itu sih belum tentu benar” ujar Giok Teng Hujien sambil tertawa, “aku rasa urusan yang berkembang dewasa ini masih belum sampai menyangkut pokok kekuatan dari perkumpulan Hong-im- hwie seperti Yan-san It-koay, Liong-bun Siang-Sat sekalian hingga kini belum pernah munculkan diri, Tetapi, seandainya Jin Hian temui kesialan lagi maka pada saat itulah si nenek buta itu mungkin akan muncul kembali di dalam dunia persilatan”

“Aku benar-benar sangat bodoh” pikir Hoa Thian-hong dalam hati,” seandainya perkumpulan Hong-im-hwie tidak memiliki kekuatan besar yang menunjang di belakang mereka sedari dulu pihak Thong-thian-kauw serta Sin-kie-pang pasti sudah membagi wilayah utara jadi dua bagian!”

Terdengar Ngo Ing Cinjin berkata lagi, “Selama tiga kekuasaan merajai dunia, aku pikir dunia persilatan tak akan aman dan tenteram. Terutama sekali kaum pedagang, pelancong serta rakyat jelata, beban hidup mereka kian lama kian bertambah berat. Hoa kongcu! Kau adalah seorang pendekar muda yang berjiwa besar, apa pendapatmu mengenai situasi tersebut?”

“Aaah… Kiranya pihak Thong-thian-kauw memang ada maksud meluaskan daerah kekuasaannya, entah dengan cara apa mereka hendak mewujudkan ciia-citanya itu?” pikir Hoa Thian-hong di dalam hati.

Berpikir demikian sambil tersenyum ia lantas menjawab, “Aku masih muda, pengetahuanku amat cetek dan ilmu silatku amat rendah. Terhadap urusan dunia persilatan yang begitu meluas, aku tak berani sembarangan memberi komentar” Habis berkata dia alihkan sorot matanya ke arah Giok Teng Hujien.

Tampak perempuan itu tertawa manis, kepada Ngo Ing Cinjin segera ujarnya, “Saudaraku ini memang masih amat muda, pengetahuannya cetek sekali sedang ilmu silat yang dimiliki tak bisa dikatakan rendah, namun kalau dibandingkan dengan puncak kesempurnaan memang masih terpaut jauh sekali, cuma saja, ia tak doyan yang keras ataupun yang lunak, perkataan siapapun tak sudi didengar, siapa berani menyatroni dirinya maka dia akan hadapi orang itu habis-habisan”

Ngo Ing Cinjin segera tertawa lantang. “Haaah…. Haaah…. Haaah saudara Hoa!” serunya, “Sepanjang hidupnya Giok Teng Hujien selalu memandang tinggi dirinya, menurut apa yang kuketahui belum pernah ada orang yang peroleh perbatian serta kasih sayang dari dirinya”

“Cinjin, jangan kau teruskan perkataan itu,” tukas Giok Teng Hujien sambil goyangkan tangannya berulang kali, “Dia tak sudi menerima kebaikanku, akupun tak mau terlalu banyak tersiksa olehnya,’

“Cici, kapan sih aku menyiksa diri cici?” ujar Hoa Thian-hong sambil tertawa. “Ayoh, kau harus dihukum dengan tiga cawan arak!” Selesai bicara dia angkat Cawan dan teguk isinya sampai ludas Mendadak ia merasakan sesuatu yang aneh, ketika arak tadi mengalir masuk lewat tenggorokannya segera timbullah rasa kaku dan pedas yang amat tak enak dirasakan, sepasang alisnya kontan berkerut. Pikirnya, “Kiu-tok Sianci pernah berkata kepadaku, teratai racun empedu api adalah raja dari segala macam racun, selama racun teratai masih mengeram dalam tubuhku maka aku tak akan mempan terhadap racun keji macam apapun juga seandainya bertemu dengan obat racun yang tak berwujud ataupun berwarna, dalam lidahku malah akan terasa suatu perasaan yang aneh jangan dalam arak tersebut mengandung racunnya?….”

Dalam pada itu ketika Giok Teng Hujien menyaksikan air mukanya menunjukkan suatu perubahan yang sangat aneh, sambil tertawa segera tegurnya, “Kenapa? wajahmu tampak murung dan tidak senang hati, apakah kau salahkan perkataan cici yang kurang sedap didengar”

oooOooo

Hoa Thian-hong kontan tertawa dingin. “Ucapan cici indah didengar, siapa yang bilang kalau kau Sudan salah bicara? Cuma lambung siauwte rada tidak cocok dengan arak yang mengandung racun, harap cici suka memakluminya.”

Air muka Giok Teng seketika berubah jadi pucat pias, ia rebut cawan arak itu dari hadapan Hoa Thian-hong lalu diperiksa di bawah sorot cahaya lampu, sesaat kemudian perempuan itu menoleh ke arah Pui Che-giok dan melotot bulat-bulat. Pui Che-giok yang dipelototi jadi ketakutan setengah mati, ia segera jatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil rengeknya, “Budak…….”

Nafsu membunuh berkelebat memenuhi biji mata Giok Teng Hujien yang indah, mendadak sambil gertak gigi dia ayun telapaknya menghajar ubun-ubun orang.

Disaat yang kritis Hoa Thian-hong ayun tangannya mencengkeram pergelangan Giok Teng Hujien, katanya sambil tertawa, “Aduuuh…. cuma urusan kecil saja, masa cici benar-benar akan bunuh orang untuk melenyapkan bukti?”

Giok Teng Hujien jadi semakin gusar. “Kurang ajar kau memang manusia yang tak berperasaan!”

Melihat perempuan itu mengucurkan air matanya dengan badan gemetar keras saking jengkelnya, dalam hati Hoa Thian-hong segera berpikir, “Kalau dibilang dia ada maksud mencelakai diriku, kenapa ia menjadi mendongkol hingga menangis? Kalau dibilang tak sengaja, kejadian ini amat tak masuk diakal…”

Ngo Ing Cinjin serta Cing Si-cu saling berpandangan dengan wajah kebingungan dan tak habis mengerti, agaknya kedua orang toosu itupun tak tahu duduknya perkara.

Giok Teng Hujien meronta berusaha keras melepaskan diri dari cekalan orang, namun tak berhasil. Tiba serunya kepada Pui Che-giok dengan nada gemas, “Tak ada gunanya membicarakan soal ini kuampuni selembar jiwamu tapi kau harus kutungi sepasang lenganmu itu”

“Budak tahu salah, terima kasih atas kebaikan nyonya tidak membinasakan diriku,” sahut Pui Che-giok dengan air mata berlinang.

Ia letakkan poci arak di atas meja, lalu dari sakunya cabut keluar sebilah pisau belati yang langsung ditebaskan ke arah pergelangan tangan kirinya.

Dengan ketajaman mata Hoa Thian-hong sekilas memandang ia telah mengetahui bahwa pisau belati dalam cekalan Pui Che-giok adalah sebilah senjata mustika, bukan begitu saja bahkan senjata itu terasa sangat dikenal olehnya, seakan-akan ia pernah melihat benda itu disuatu waktu.

Satu ingatan berkelebat dengan cepat di dalam benaknya ia segera menghardik, “Tahan!”

Laksana kilat ia ulurkan tangannya merampas pisau belati itu dari tangan orang.

Oleh peristiwa ini rupanya Giok Teng Hujien merasa kheki bercampur mendongkol dengan gemas teriaknya, “Eeei…,sebetulnya apa maumu? Apakah kau ingin melihat aku mati bunuh diri untuk membuktikan kesucianku?”

Hoa Thian-hong segera tersenyum. “Aku tak pernah menyalahkan diri cici? Kenapa cici musti marah2?” Sorot matanya melirik kembali ke arah pisau belati itu, mendadak ia teringat kembali akan peristiwa yang terjadi dalam perkampungan Liok Soat Sanceng, di masa itu perempuan genit yang mengaku bernama Pui Che-giok pernah menggunakan pisau semacam ini untuk membunuh Jin Bong.

Dalam hati segera pikirnya, “Kejadian ini benar-benar aneh, Pui Che-giok yang berada di depan mata saat ini jelas bukanlah Pui Che-giok yang telah membunuh Jin Bong serta mencuri pedang emas, tetapi mengapa pisau belati tersebut bisa muncul dari sakunya?….”

Ingatan tersebut dengan cepat berkelebat di dalam benaknya, ia ada maksud menjajal kepandaian silat yang di miliki Pui Che-giok tetapi berada di hadapan orang banyak pemuda itu merasa tidak leluasa baginya untuk turun tangan.

Mendadak terdengar Pui Che-giok merengek, “Nyonya pernah berkata bahwa kongcu-ya tidak mempan terhadap obat racun macam apapun, budak tidak percaya perkataan itu maka dalam sangsinya…..”

“Mau menjajal sih tak jadi soal” sambung Hoa Thian- hong sambil tertawa nyaring. “Cuma rasanya berbeda jauh, kalau tidak setelah masuk ke dalam perutku bisa jadi aku akan muntah2”

Berbicara sampai disitu ia kembalikan pisau belati tadi kepadanya. lalu sambil mengambil poci arak dan membuka tutupnya ia berkata lagi sambil tertawa, “Aku akan mohonkan ampun baginya, tentu cici suka mengabulkan bukan?….”

Agaknya Giok Teng Hujien sangat menurut terhadap pemuda ini, mendengar ucapan tersebut segera ujarnya kepada Pui Che-giok dengan suara dingin, “Ayoh cepat ucapkan banyak terima kasih kepada Kongcu-ya, kalau sampai menggusarkan hatinya… Hmm! Jangan salahkan kalau aku bsnar2 akan membinasakan dirimu.”

Buru-buru Pui Che-giok jatuhkan diri berlutut di hadapan si anak muda itu, sambil angguk2kan kepalanya ia berseru, “Terima kasih buat kebaikan kongcu-ya!”

“Sudah…sudahlah…” ujar Hoa Thian-hong sambil tertawa.

Beberapa saat lamanya dia awasi cawan arak sendiri namun tiada pertanda apapun yang menunjukkan suatu keanehan. Sementara pelayannya telah hidangkan kembali arak baru, pemuda itu segera mencicipinya, terasa arak yang diteguk wangi dan enak dirasakan, sedikitpun tiada tanda kaku arau pedas lagi. Terdengar Giok Teng Hujien berseru manja, “Orang bodoh, penyakitnya tidak terletak di dalam poci arak itu”

“Bagaimana sih caranya melepaskan serbuk racun tersebut? Apa aku boleh lihat?”

Merah jengah selembar wajah Pui Che-giok, ia tuang kembali arak dalam poci itu ke dalam cawan Hoa Thian- hong yang awasi terus sepasang tangannya segera menemukan bahwa jari tangan kiri gadis itu mengetuk di ujung cawan, tanpa terasa pemuda itu tertawa tergelak.

“Haaah… haaah….haaah…. kiranya penyakit itu letaknya di ujung jari!”

Sehabis berkata cawan arak tadi disambar dan segera dituang ke dalam mulutnya.

Giok Teng Hujien yang melihat kejadian itu jadi kaget, ia rampas cawan itu dari tangan orang lalu ditumpah ke atas lantai, serunya, “Andaikata aku hendak mencelakai selembar jiwamu, buat apa kugunakan obat beracun?”

“Yang budak gunakan bukan racun!” sola Pui Che- giok.

Merah jengah selembar wajah gadis she-Pui itu, untuk sesaat ia jadi tergagap, “Anu….anu….”

Cing Si-cu yang selama ini membungkam segera tertawa terbahak bahak.

“Haah…. haaah…. haaaah… saudara Hoa tak usah banyak curiga, hujien sangat menyayangi dirimu bagaikan menyayangi diri sendiri, masa Che-giok berani mencelakai jiwamu?”

Hoa Thian-hong segera tersenyum. “Aaaah, kalau begitu pastilah obat pemabok yang dipakai, eemh aku memang kepingin tidur pulas…..” Ia bopong Soat-ji si rase salju itu, tambahnya sambil tertawa, “Sungguh lihay kepandaian yang dimiliki makhluk cilik ini, jago kangouw kelas menengah belum tentu bisa menandingi kelihayannya”

“Sayang kau tak mampu untuk memelihara dirinya,” kata Giok Teng Hujien sambil tersenyum, “Kalau tidak binatang tersebut pasti sudah kuhadiahkan kepadamu!”

“Seorang lelaki sejati tak akan sudi merampas barang kesenangan orang sekalipun aku mampu untuk memeliharanya juga tak mau kuterima,” sorot matanya dialihkan kepada Ngo Ing Cinjin, lalu tambahnya. “Cinjin adalah ketua dari sektor atas, jauh-jauh datang ke kota Cho Ciu, pasti ada urusan yang hendak diselesaikan bukan?”

Sambil mengelus jenggot Ngo Ing Cinjin tertawa, “Dalam kolong langit dewasa ini hanya saudara Hoa seorang yang pernah menyaksikan sendiri wajah pembunuh dari Jin Bong, setelah tempo hari Saudara Hoa dipaksa bunuh diri dengan menelan teratai racun empedu api, Jin Hian mengira saudara Hoa pasti mati dan jejaknya akan putus, sekalipun sudah melakukan penyelidikan selama banyak hari hasilnya tetap nihil. Kini setelah ia mengetahui kalau saudara Hoa berhasil lolos dari kematian ia tentu akan datang ke kota Chu Ciu serta turun tangan terhadap dirimu…..”

Hoa Thian-hong mengangguk. “Dugaan Cinjin sangat tepat dan perkataanmu masuk diakat, tetapi numpang tanya, apakah kedatangan Cinjin kemari memang ada hubungannya dengan kejadian ini?”

“Jin Hian cuma mempunyai seorang putera tunggal, kematiannya merupakan suatu kejadian yang amat iuar biasa, seandainya pembunuh Jin Bong bukan termasuk diantara anggota perkumpulan Sin-kie-pang, atau Thong- thian-kauw mungkin urusannya masih mendingan, tetapi kalau termasuk sebagai anggota salah satu diantara dua perkumpulan ini maka jelaslah sudah dunia persilatan bakal dilanda badai dahsyat yang mengerikan, pertarungan total antara dua perkumpulan besar atau mungkin juga melibatkan pertarungan diantara tiga perkumpulan besar jelas sudah pasti bakal terjadi!”

“Bukan saja sekte agama Thong-thian-kauw telah menaruh perhatian terhadap kejadian ini, sekalipun perkumpulan Sin-kie-pang secara diam-diam juga pusatkan perhatiannya kemari,” kata Giok Teng Hujien sambil tertawa. “Dewasa ini perhatian semua orang telah tertuju ke tubuhmu, setiap perkataan serta tindak tandukmu sangat mempengaruhi perkembangan dari peristiwa itu. “

“Bicara tanpa bukti apa gunanya? Masa Jin Hian suka mempercayai setiap patah kata yang kuucapkan?”

“Tentu saja,” sahut Ngo Ing Cinjin. “Meskipun hanya sepatah kata namun hal itu harus dilihat du!u bagaimana caranya menyampaikan kata-kata tadi, saudara Hoa mempunyai peluang yang amat besar untuk memutar balikkan duduk perkara yang sebenarnya” “Kalau didengar dari ucapannya barusan, rupanya ia ingin aku putar balik dan kejadian dan menimpakan semua kesalahan pada tubuh perkumpulan Sin-kie- pang….” pikir Hoa Thian-hong dalam hati, “Ehmmm…Pui Che-giok gadungan itu mempunyai raut wajah yang rada mirip dengan Pek Kun-gie. kejadian ini memang sangat mencurigakan.”

Sementara itu Cing Si-cu telah berkata, “Saudara Hoa, betulkah satu jurus ilmu pukulan yang kau miliki itu adalah warisan dari Ciu It-bong?”

Sambil tertawa Hoa Thian-hong mengangguk. “Betul, saat ini Ciu It-bong masih terkurung di tengah markas besar perkumpulan Sin-kie-pang, ilmu pukulan ‘Kun-Su-Ci Tau’ tersebut memang berhasil kupinjam dari dirinya”

“Pinjam? Bagaimana caranya meminjam?” tanya Giok Teng Hujien tercengang.

“Dia ingin aku gunakan ilmu pukulan itu membinasakan Pek Kun-gie bila urusan telah selesai maka aku harus kutungi lengan kiriku sebagai tanda mengembalikan jurus pukulan itu kepadanya. Yaaah….. memang orang itu rada aneh, dalam hati kecilnya dia ingin sekali meminjam tenagaku untuk membunuh Pek Kun-gie, tapi ingin pula menggunakan kekuatanku untuk mencari jejak pedang emas dan membantu dirinya lolos dari kurungan. aku jadi tak habis mengerti apa yang musti kukerjakan baginya” “Heeeh,…. heeeh…. heeeeh…….sungguh gegabah dan omong kosong!” seru Giok Teng Hujien sambil tertawa dingin, “membunuh Pek Kun-gie masih boleh saja dilakukan, kutungi lengan kiri sendiri untuk mengembalikan ilmu pukulannya peraturan apakah itu?”

“Aku pribadi memang ada maksud membantu usahanya untuk menemukan pedang emas itu dan membantu dirinya lolos dari kurungan, akan kuanggap perbuatan ini sebagai balas jasaku terhadap dirinya, sedangkan mengenai ilmu silat yang dimiliki Siang Tang Lay pemilik pedang emas itu aku sama sekali tak ada niat untuk mempelajarinya

“Oooh… kau sudah mengetahui cerita tentang Siang Tang Lay?”

“Itupun aku dengar dari mulut Ciu In Bong.”

Ngo In Cinjin angkat cawan araknya dan berkata, “Saudara Hoa, mari kita teguk secawan arak aku masih ada beberapa patah perkataan hendak diucapkan kepadamu.”

Sejak menelan Teratat racun empedu api daya tahan Hoa Thian-hong jauh melebihi orang lain. Terhadap makanan ataupun minuman merangsang macam apapun tiada pengaruhnya sama sekali baginya, semua makanan itu segera lenyap tak berbekas setelah masuk ke dalam lambungnya bagaikan batu tenggelam di dasar samudra, karenanya walaupun sudah bercawan2 arak ia habiskan namun pemuda itu masih tetap segar. “Cinjin, apa yang hendak kau tanyakan?” tanyanya kemudian.

“Selama pengaruh Sin-kie-pang serta Hong-im-hwie masih menguasai kolong langit. anggota mereka tutap melakukan perbuatan-perbuatan bejat yang terkutuk. Mereka sering kali memeras rakyat, membegal pedagang, menodai hukum dan mencelakai orang baik, sungguh jauh berbeda dengan Thong-thian-kauw kami yang khusus melayani para jemaah yang hendak berdoa, kehidupan kami tergantung dari sokongan para penganut agama dan tak pernah melakukan kejahatan di dunia!”

“Pinter amat orang ini berbicara,” batin Hoa Thian- hong, “Sudah terang perkumpulan Thong-thian-kauw adalah aliran sesat tapi ia berani bicara besar dengan membanggakan diri sebagai aliran suci!”

Dalam hati berpikir demikian, diluar ia menjawab, “Perkumpulan Sin-kie-pang serta Hong-im-hwie adalah organisasi yang amat besar dengan akar yang sudah merambat dimana-mana, untuk mengalahkan mereka mungkin saja masih bisa kita lakukan, kalau ingin membasmi mereka keakar2nya., aku pikir itu cuma suatu khayalan kosong belaka!”

“Perkataan dari saudara Hoa memang betul Ngo Ing Cinjin mengangguk tanda membenarkan, “tetapi kita toh bisa bertindak dengan gunakan otak? Asal pemimpin2 mereka berhasil dibasmi, apa susahnya untuk membubarkan antek2 mereka?” “Itulah yang ku-idam2kan selama ini,” kembali Hoa Thian-hong membatin, “Sayang ilmu silat yang kumiliki tak bisa terlalu dipaksakan, aku harus basmi pemimpin perkumpulan itu dengan cara apa?”

Walaupun belum lama pemuda ini terjunkan diri ke dalam dunia persilatan, tapi pengalamannya sudah amat luas, pengetahuannya mengenai kehidupan manusia luas dan terlatih sekali. Saat itu tanpa ia sadari meluncurkan kata-kata dari bibirnya.

“Perkumpulan Sin-kie-pang maupun Hong-im-hwie adalah serang naga harimau yang dipenuhi oleh jago- jago lihay yang maha dahsyat, sebelum anak buah mereka berhasil dibasmi. mana mungkin kita bisa basmi para pemimpinnya?”

“Saudara Hoa bisa mengupas setiap masalah dengan gamblang dan jelas, sungguh membuat aku merasa amat kagum” ia merandek sejenak, lalu sambil menyapu sekejap ke sekeliling perjamuan lanjutnya, “Bicara terus terang saja. selama di kolong langit masih terdapat perkumpulan Sin-kie-pang atau Hong-im-hwie yang pegang kekuasaan maka sekte agama Thong-thian-kauw sulit untuk merentangkan sayapnya memperluas daerah kekuasaannya di kolong langit.”

“Ooo… jadi kalau begitu kekuatan yang di miliki sekte agama Thong-thian-kauw saat ini lebih kalau digunakan untuk menandingi salah satu diantara dua kekuatan itu, dan lemah bila harus menandingi kedua kedua kekuatan itu sekaligus?” Sambil bertepuk tangan Ngo Ing Cinjin tertawa. “Tepat sekali dugaanmu itu, asalkan diantara Sin-kie- pang serta Hong-im-hwie terjadi perselisihan sehingga kekuatan mereka saling bentrok satu sama lainnya maka Thong-thian-kauw akan peroleh kesempatan untuk berkembang dan menunggu saat yang baik untuk membasmi lawan-lawannya”

“Tekebur amat ucapan itu!” batin, Hoa Thian-hong dalam hati, “Jago-jago lihay yang terdapat dalam tubuh Sin-kie-pang maupun Hong-im-hwie banyak laksana awan di angkasa, berapa besar sih kekuatan dalam tubuh Thong-thian-kauw sehingga berani punya angan-angan yang begitu muluk?”

Tiba-tiba terdengar Cing Si-cu berkata, “Saudara Hoa, mumpung usiamu masih muda dan tenagamu masih segar, inilah kesempatan bagimu untuk muncul dalam dunia persilatan dan menjagoi kolong langit. asal kau sukses dan luar biasa maka tidak sulit bagimu untuk menggantikan kedudukan Hoa tayhiap tempo du!u, namamu tersohor dimana mana dan kehebatanmu disegani setiap orang”

Hoa Thian-hong tertawa hambar ia tidak menanggapi perkataan itu sebaliknya alihkan sorot matanya ke arah Giok Teng Hujien, seolah olah ia menghadapi suatu persoalan besar yang tak bisa diputusi sendiri dan kini mohon pendapatnya,

Terdengar Giok Teng Hujien tertawa ringan dan berkata, “Sering kali aku dengar orang berkata bahwa Pek Kuan Gie berulang kali menghina serta mencerca dirimu Pek Siau-thian pun pernah menancapkan jarum beracun pengunci sukmanya di atas tubuhmu, sebagai seorang lelaki sejati, pria tulen. kalau sakit hati semacam Ini tidak dituntut balas, apa gunanya hidup lebih lanjut di kolong langit?”

Ia merendek sejenak, dengan wajah serius terusnya, “Manusia-manusia yang tergabung di dalam perkumpulan Sin-kie-pang maupun Hong-im-hwie. bukanlah termasuk manusia baik-baik bila kau berhasil memancing perpecahan diantara mereka sehingga mengakibatkan terjadinya pertempuran diantara mereka sendiri, itu akan merupakan pahala besar bagimu Dan seandainya pihak Thong-thian-kauw hanya berpelukan tangan menyaksikan hari’mau bertarung kemudian jadi nelayan mujur yang menantikan hasil, apa pula ruginya terhadap dirimu?”

Dalam hati kembali Hoa Thian-hong berpikir, “Mereka mengepung diriku dan selalu menasehati diriku untuk memusuhi pihak Sin-kie-pang serta Hong-im-hwie, bila aku tetap bersikeras menolak kerja sama dengan mereka, orang-orang itu pasti akan berubah sikap dan malahan membenci diriku. Waktu itu musuh akan muncul dari tiga penjuru, sulit bagiku untuk menghadapinya.

Bagaimanapun menyanggupi dulu persoalan ini tak ada salahnya, asal tindakanku selanjutnya benar dan tidak keluar dari pikiran sendiri”

Setelah memutuskan demikian, ia pura-pura berlagak termenung dan berpikir sejenak kemudian sambil tertawa terbahak-bahak sahutnya, “Haah…. haaah…. haaah…. rupanya sikap cici selama ini terhadap diriku adalah didasari tujuan ini, kalau siauwte tolak untuk bekerja sama dengan kalian maka tindakanku ini pasti akan dianggap sebagai tak tahu diri…..”

Sambil tertawa panjang ia memberi hormat kepada semua orang lalu putar badan dan berlalu.

“Kau mau apa?” seru Giok Teng Hujien pura-pura marah, “Malam semakin larut dan perutku sudah kenyang oleh arak dan hidangan, siauwte ingin mohon pamit”

“Huuh….tak usah mangkel dulu, persoalan pokok toh belum selesai dibicarakan”

Hoa Thian-hong tetap menggelengkan kepalanya, dengan wajah serius ia menjawab, “Pembicaraan lebih baik diputus sampai disini dulu, toh masalah ini tidak terlalu penting dan kita tak usah pasang hio, angkat sumpah dan meneguk arak darah” ia menoleh dan menambahkan, “Tootiang berdua aku mobon pamit lebih dulu”

Ngo Ing Cinjin serta Cing Si-cu segera bangkit berdiri dan coba menahan, tetapi karena melihat keputusan pemuda itu sudah bulat maka mereka pun mengantar tetamunya turun dari loteng.

Setelah keluar dari kuil It-goan-koan, Giok Teng Hujien sambil membopong Soat-ji si rase salju itu jalan bersanding disisi Hoa Thian-hong, katanya sambil tertawa, “Bukankah kau sudah berjanji dengan Pek Kun- gie untuk berjumpa di rumah makan Kie Ing-Loe? dalam janjimu itu kau hendak berbicara dari hati kehati, ataukah hendak merundingkan soal penggunaau tentara?”

“Semuanya bukan, aku cuma ingin mencari tahu kabar berita mengenai seseorang”

“Siapa?” tanya Giok Teng Hujien cepat dengan alis berkerut.

Sebenarnya Hoa Thian-hong sangat merindukan ibunya, dia hendak selidiki jejaknya dari mulut Pek Kun- gie, tetapi setelah didesak lebih jauh terpaksa ia berbohong, “Kesadaran Chin Giok-liong terganggu dan tidak waras, aku hendak mencari tahu kabar berita mengenai ayahnya Chin Pek-cuan”

Dengan sorot matanya yang tajam Giok Teng Hujien menatap sekejap wajah si anak muda itu, kemudian sambil tertawa serunya, “Makin lama aku semakin merasa bahwa wajahmu yang jujur bukanlah watakmu yang sebenarnya, kau banyak akal dan licik sekali, mulutnya tajam dan pandai berbicara, kau seorang yang lihay”

Hoa Thian-hong tersenyum, tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya, segera ia berkata, “Sudah lama aku tak pernah bertemu dengan Pek Kun-gie, aku mau menyelinap sejenak ke dalam kantor cabang perkumpulan Sin-kie-pang di kota Cho-Ciu. Cici, kalau tak ada urusan bagaimana kalau jagakan keselamatanku diluar?” “Aaah, di tengah malam menyirepi kamar pribadi anak gadis orang, macam apakah perbuatanmu itu?’“

“Apa sih salahnya, aku sendiripun sudah kenyang menerima penghinaan2 darinya”

“Kalau kau sudah amat rindu kepadanya karena sudah lama tak bertemu, sehingga mau mengintip dirinya sejenak, tentu saja boleh tapi kalau suruh aku menjaga keselamatanmu diluar…… tak usah yaaah!”

Hoa Thian-hong tertawa haha hihi, setengah merayu serunya lagi, “Baiklah, kalau begitu biar aku pergi seorang diri, seandainya jejakku ketahuan dan terbunuh, mengingat pada hubungan kita tolong cici suka balaskan dendam bagi kematianku itu.”

Giok Teng Hujien tertawa cekikikan, sambil berbicara dan melanjutkan perjalanan terasa sampailah mereka di sekitar bangunan kantor cabang perkumpulan Sin-kie- pang.

Hoa Thian-hong segera enjotkan badannya siap meloncat masuk ke dalam Pekarangan orang, tapi dengan cepat Giok Teng Hujien menarik tangannya sambil berseru, “Eeei….kau benar-benar mau cari gara- gara?”

“Pek Kun-gie adalah gadis yang amat lihay, kalau berada di tengah siang hari bolong sulit bagiku untuk mengorek keterangan dari mulutnya, maka dari itu mumpung ia tak menduga akan kutangkap dulu dirinya, kalau suka mengaku tentu saja lebih baik, kalau ia menolak untuk menjawab…. Hmm Hmm…. sampai darah panasku naik ke otak, sekali tebas kucabut selembar jiwanya!”

“Hmm! Masa kau tega?”

“Kenapa tidak tega? diantara kami berdua toh tiada perhubungan persahabatan, malahan aku punya dendam terhadap dirinya?”

Giok Teng Hujien tertawa cekikikan.

“Baiklab aku akan tetap berjaga diluaran sedang kau boleh urusi pekerjaanmu. Tapi kau musti ingat, kalau sikapmu tidak sopan dan menangkap ikan di air keruh aku segera akan lepaskan api untuk membakar habis kantor cabang kota Cho-Ciu ini”

Tertegun Hoa Thian-hong mendengar ancaman itu, dalam keadaan terburu ia tak sempat menangkap maksud yang lebih dalam dari ucapan itu, setelah mengepos tenaga tubuhnya segera meloncat masuk ke dalam pekarangan bangunan itu.

Tenaga dalamnya sudah peroleh kemajuan yang amat pesat dengan enteng sekali dan tanpa menimbulkan sedikit suarapun tubuhnya sudah melayang turun dibalik tembok pekarangan

Hoa Thian-hong sudah agak lama berdiam di kota Cho Ciu ini sekalipun dia belum pernah memasuki bangunan rumah ini tetapi garis besarnya ia sudah mengetahui.

Pemuda itu tahu bahwa Pek Kun-gie pasti beristirahat di ruangan dalam, maka sambil merambat disisi tembok tubuhnya segera menyusup ke arah belakang,

Penjagaan di dalam kantor Cabang sangat ketat, di bawah setiap lampu lentera tampaklah jago-jago lihay dengan senjata terhunus bersiap siaga dimana mana.

Hoa Thian-hong bernyali besar dan berilmu tinggi, ditambah pula pengalamannya yang kian hari kian bertambah, dengan amat mudah sekali si anak muda itu berhasil masuk ke dalam ruang belakang.

Pencarian dilakukan di sekitar kamar2 yang dikelilingi kedua bunga indah. sesudah menyelidiki dua buah kamar akhirnya dia berhasil menemukan kamar tidur dari Siau Leng si dayang cilik itu,

Sesudah mengamati sejenak suasana di sekitar sana, ia tahu Pek Kun-gie pasti berdiam di dalam kamar serambi sebelah kanan, tubuhnya segara berkelebat mendekati pintu kamar disitu ia tak mendengar sedikit suarapun.

Akhirnya setelah sangsi sejenak, ia dorong pintu kamar itu lalu menyelinap masuk ke dalam dan menutup kembali pintu kamar tadi.

Di tengah kegelapan, tiba-tiba rasalah segulung desiran angin tajam meluncur datang mengancam pinggangnya.

Ditinjau dari desiran angin yang mengancam tiba, Hoa Thian-hong segera kenali sebagai. gerakan tangan Pek Kun-gie, dalam hati ia mengagumi atas kesigapan gadis itu.

Telapak kirinya segera diputar membentuk gerakan setengah lingkaran di depan dada, kemudian mengirim satu pukulan k emuka.

“Aaah….” terdengar Pek Kun-gie menjerit tertahan.

Rupanya dari desiran angin pukulan itu ia berhasil membedakan serangan itu sebagai pukulan tangan kiri, daa diapun segera teringat kembali akan diri Hoa Thian- hong.

Dalam gugupnya sang telapak segera diayun ke muka menyambut datangnya serangan tersebut.

“Blaaam…..!” Pek Kun-gie menjerit tertahan tubuhnya segera terlempar hingga mencelat ke belakang.

Ketika masih berada di kota Seng-Ciu tempo dulu, sebuah pukulannya telah merompalkan tiga biji gigi Hoa Thian-hong, peristiwa itu dianggap oleh pemuda tersebut sebagai penghinaan yang paling memalukan selama hidupnya. Karena itu walaupun dalam serangannya barusan ia tiada maksud menghabisi jiwa orang tapi tenaga murni yang digunakan telah mencapai lima bagian, rupanya ia sengaja hendak memberi pelajaran kepadanya.

Seperti layang2 yang putus tali tubuh Pek Kun-gie mencelat ke arah belakang, bagaikan bayangan Hoa Thian-hong segera menyusul dari belakangnya, sepasang lengan digerakkan seketika ia berhasil menangkap pergelangan orang.

“Bruuuk!” di tengah benturan nyaring tubuh Pek Kun- gie terbanting di atas pembaringan. Hoa Thian-hong yang takut gadis itu melancarkan serangan balasan segera cekal sepasang lengannya erat?. dan ikut jatuhkan diri ke atas pembaringan. Dengan begitu tanpa sadar tubuhnya telah menindih di atas badan gadis itu.

Suara langkah kaki yang ramai segera berkumandang diluar ruangan, terdengar seseorang membentak nyaring, “Siauw Leng!”

Hoa Thian-hong semakin tak berani lepas tangan, sambil menindih tubuh Pek Kun-gie semakin rapat bisiknya, “Cepat usir pergi orang-orang yang berada diluar kamar, kalau tidak kupatahkan tengkukmu!”

Pek Kun-gie berbaring di atas ranjang dengan napas tersengal-sengal, ia marah bercampur mendongkol, giginya saling beradu gemerutukan, saking gemasnya ingin sekali gadis itu menggigit tubuh Hoa Thian-hong.

Mendadak…. ia tertegun….

Kiranya ia masih merupakan seorang gadis perawan, berhubung wataknya yang sombong dan tinggi hati, belum pernah ada seorang priapun yang mendapatkan perhatiannya. karena pandangannya yang hambar terhadap hubungan antara muda-mudi inilah selama, hidupnya ia tak pernah bergesekan kulit dengan lawan jenis. Hari ini adalah permulaan bulan enam, udara panas ditambah pula ia baru saja bangun dari tidurnya, karena itu tubuhnya hanya memakai selapis pakaian dalam yang amat tipis.

Setelah tubuh Hoa Thian-hong menindih di atas tubuhnya, segulung bau khas lelaki yang amat tebal segera menyerang ke dalam hidungnya. hal ini membuat jantungnya berdebar keras dan pikirannya termangu- mangu.

Dalam pada itu diluar kamar terdengar suara Siauw Leng menyahut, “Apakah Lie-Ngo? Suara apa barusan itu?”

“Suara itu berasal dari kamar siocia, cepat kau tengok ke dalam apa yang telah terjadi,” kata seorang pria dengan suara berat.

Hoa Thian-hong segera mengerutkan dahinya setelah mendengar perkataan itu, bisiknya kesisi telinga Pek Kun-gie, “Cepat usir mereka pergi dari sini, kalau tidak kujagal dirimu terlebih dulu”

Terdengar Siauw Leng berjalan mendekat pintu luar lalu menegur, “Nona, apakah kau sudah bangun?”

“Usir semua penjaga dan sekitar tempat ini, jangan berbuat kegaduhan yang membisingkan!” teriak Pek Kun- gie gusar. Siauw Leng mengiakan, suara langkahnya makin menjauh dan sampaikan pesan nonanya tadi kepada para peronda.

Sementara itu Pek Kun-gie tidak berbicara lagi, diapun tidak meronta seolah-olah hatinya sudah pasrah dan terserah Hoa Thian-hong mau berbuat apa saja terhadap dirinya.

Siapa sangka si anak muda itu segera menyadari akan kesilafannya setelah berhasil menenangkan hatinya tiba- tiba ia merasa bau harum semerbak tersiar di lubang hidungnya tubuh di bawah tindihannya terasa lunak dan halus, begitu kencang tindihannya membuat napas Pek Kun-gie tersengal, dadanya naik turun bergelombang. suara detak jantungnya yang berdebar pun secara lapat lapat kedengaran,

Sebagai seorang pemuda jujur yang berhati suci, ia segera menyadari akan perbuatannya itu, seketika cekalan pada tangan kanannya dikendorkan dan jari tanganpun berkelebat menotok jalan darah di atas bahu dara tersebut……

Tenaga lweekang yang dimiliki Pek Kun-gie jauh lebih cetek setingkat kalau dibandingkan dengan Hoa Thian- hong, tetapi ilmu silatnya tidak berada di bawah pemuda itu. Di tengah kegelapan tangannya bergerak cepat tahu- tahu ia malah berhasil mencengkeram pergelangan kanan si anak muda she Hoa itu.

Dengan begitu kedua belah pihakpun saling mencekal pergelangan tangan lawannya, diam-diam Hoa Thian- hong merasa jengah sendiri, bisiknya lirih, “Aku ada urusan hendak ditanyakan kepadamu, biarkanlah kutotok sebuah jalan darahmu agar akupun bisa bangun dan duduk”

“Tiada perkataan lain yang akan kubicarakan dengan kau, bunuh saja diriku!” teriak Pek Kun-gie dengan gemas.

Hoa Thian-hong tertawa dingin. “Untuk membunuh dirimu sih gampang sekali, Hmm! Sekalipun kau Pek Kun- gie telah kubunuh, rasa benci dan dendam yang berkecamuk dalam dadaku juga belum bisa buyar”

Sambil menggertak gigi Pek Kun-gie membungkam dalam seribu bahasa, ia tidak mengendorkan tangannyapun tidak meronta dengan tenang tubuhnya tetap berbaring di atas pembaringan.

Lama kelamaan Hoa Thian-hong jadi serba salah sendiri, pikirnya, “Bagaimana jadinya ini? Kalau begini terus keadaannya hingga diketahui orang lain, bukan saja Pek Kun-gie akan jadi malu dibuatnya, akupun akan dianggap orang sebagai pemuda tengik….”

Mendadak dari halaman belakang terdengar seseorang membentak keras, “Ada pencuri… .tangkap…. tangkap!

Ada orang melepaskan api!”

“Siapa? Berhenti!” seseorang yang lain membentak dengan suara nyaring. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar