Si Pisau Terbang Li Bab 86 : Menebus Dosa dengan Darah

Bab 86. Menebus Dosa dengan Darah

Sebuah halaman yang luas dan lega.

Halaman itu tidak jauh berbeda dari halaman rumah keluarga-keluarga kaya yang lain. Namun sekali orang menjejakkan kaki di tangga yang menuju ke pintu utama, orang itu pasti akan merasakan kekelaman dan aura kematian yang menyelimutinya.

Liong Siau-hun menapaki anak tangga itu.

Di halaman depan, suasana begitu hening, tidak seorang pun nampak di sana. Namun begitu ia melangkahkan kaki di anak tangga itu, sekelompok orang segera mengepungnya.

Delapan belas orang yang berjubah kuning. Liong Siau- hun tidak bisa melihat wajah mereka.

Tapi itu memang tidak penting. Memang tidak penting tahu siapakah mereka satu per satu. Anggota Kim-ci- pang semuanya sama saja.

Mereka tidak punya mulut, karena mereka tidak perlu bicara. Sekalipun mereka bicara, yang keluar adalah suara Siangkoan Kim-hong.

Mereka tidak punya mata, karena mereka tidak perlu melihat. Apa yang mereka lihat adalah apa yang diinginkan oleh Siangkoan Kim-hong untuk mereka lihat.

Mereka hanya memiliki sepasang telinga kecil, karena satu-satunya suara yang perlu mereka dengar adalah suara Siangkoan Kim-hong.

Kelihatannya mereka pun tidak punya lagi jiwa. Itulah yang membuat mereka selalu bekerja dengan cepat. Oleh sebab itu, dalam sekejap saja, mereka telah mengelilingi Liong Siau-hun.

Liong Siau-hun menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Ah, jadi memang di sinilah Markas Besar Kim-ci-pang.”

“Siapa kau? Apa kerjamu di sini?” “Aku mencari seseorang.”
“Siapa yang kau cari?”

“Apakah Siangkoan Kim-hong pangcu telah kembali?” tanya Liong Siau-hun.

Nama ‘Siangkoan Kim-hong’ sepertinya dapat memcengkeram jiwa mereka. Ketika mereka mendengar nama itu disebut, langsung berubahlah perangai mereka.

“Pangcu belum kembali. Dan kau adalah…..”

“Aku harus menemui dia. Ada sesuatu yang harus kuberikan kepadanya.”

“Tunggulah sebentar. Pangcu sedang menemui tamu saat ini.”

Liong Siau-hun kembali mendesah. “Apakah saat ini ia sedang bersama dengan Li Sun-hoan?”

“Ya.”

“Kalau begitu, aku harus menemuinya sekarang juga.” “Bolehkah kami mengetahui nama Tuan yang terhormat?”

“Margaku Liong, dan aku mempunyai sesuatu yang sangat penting yang harus kuberikan kepadanya sekarang juga. Jika kalian berani mencampuri urusan yang maha penting ini, apakah bahu kalian cukup kuat untuk menanggung akibatnya?”

“Jadi margamu Liong….. Apakah kaulah yang mengangkat saudara dengan Pangcu beberapa hari yang lalu?”

“Ya.”

Ketika kata ‘Ya’ itu keluar dari mulutnya, kilatan pedang yang dingin segera menyambar.

Sebilah pedang dan dua golok menyerang ke arahnya secara bersamaan.

Liong Siau-hun berseru, “Apa-apaan ini?”

Walaupun suaranya keras dan jelas, tidak ada seorang pun yang mengindahkannya. Tidak ada seorang pun yang menjawabnya.

Liong Siau-hun pun mengaum dan meninju ke depan.

Ilmu silatnya tidak lemah, tinjunya sangat cepat dan penuh tenaga. Satu tinju yang membawa keganasan seekor macan. Namun ia hanya memiliki sepasang tinju.

Musuhnya memiliki dua puluh dua macam senjata, termasuk kait, pedang kembar, cambuk ganda, sepasang potlot.

Potlot adalah senjata yang terpendek, namun juga yang paling berbahaya. Orang yang menggunakannya adalah murid ‘Si Pedang Hidup dan Mati’ yang legendaris, seorang ahli jalan darah. Dalam Kitab Persenjataan orang ini tidak berada di bawah ‘Si Palu Hujan dan Angin’, Xiang Song.

Pedangnya adalah Pedang Pinus Menyambar. Arahnya selalu tersembunyi di balik jurus-jurusnya. Serangannya selalu fatal, dan kekuatannya bergerak mendahului pedangnya.

Di antara para ahli pedang di dunia, tidak lebih dari sepuluh orang yang dapat menandinginya.

Tapi yang paling ganas adalah golok.

‘Golok Sembilan Cincin’. Gema dari cincin-cincin yang saling bertabrakan itu dapat mengguncangkan jiwa. Liong Siau-hun segera tersekap dalam libatan angin golok itu.

Potlot Sang Hakim pun berhasil menutup salah satu jalan darah Liong Siau-hun.

Tidak ada suara nafas, yang terdengar hanya jerit kesakitan. Karena leher Liong Siau-hun telah tertembus. Suara yang akan keluar pun jadi tertahan dan putus.

Hanya ada darah.

Darah yang muncrat dari lehernya bagaikan anak panah mencelat ke atas.

Ia langsung tumbang ke tanah. Darah membasahi seluruh tubuhnya.
Ia sudah mati sebelum sempat memejamkan matanya.

Matanya masih menatap orang-orang itu. Bola matanya melotot.

Walaupun ia memang datang untuk mati, mengapa mereka tidak membiarkannya bertemu dengan Siangkoan Kim-hong walau sebentar saja?

Karena perintah yang mereka terima adalah ‘Bunuh Liong Siau-hun di tempat’!

Dan ini adalah perintah Siangkoan Kim-hong!

Perintah Siangkoan Kim-hong kokoh bagaikan gunung.

Kini ‘Ensiklopedi LianHua’ tergeletak begitu saja, basah oleh darah.

Tidak seorang pun meliriknya. Siapa yang akan tertarik oleh benda yang dimiliki Liong Siau-hun?

Jadi inilah nasib akhir ‘Ensiklopedi LianHua’ yang begitu misterius itu. Berakhir sama seperti banyak kitab ilmu silat hebat yang lain, hilang untuk selama-lamanya.

Apakah ini kemalangan umat manusia? Atau malah keberuntungannya?

Kitab itu dibawa pergi bersama dengan jenazah Liong Siau-hun.

Anggota Kim-ci-pang memang sangat lihai dalam melenyapkan tubuh orang mati. Mereka punya cara tersendiri yang unik untuk melenyapkan jenazah itu.

Manusia itu memang unik.

Mereka bisa mengorbankan banyak hal untuk mencapai sesuatu, namun hal-hal yang berada di depan hidung mereka sendiri, terkadang tidak terlihat.

Apakah ini kebodohan manusia? Atau malah kebijakannya?

***

A Fei tidak punya pedang lagi.

Namun itu tidaklah penting, karena tiba-tiba saja ia dipenuhi oleh rasa percaya diri dan semangat yang membara. Di tepi jalan ada sebuah hutan bambu kecil. Dan dari tempat ia berdiri saat itu, ia dapat melihat halaman Markas Besar Kim-ci-pang.

A Fei mematahkan satu cabang bambu dan membelahnya menjadi tiga bagian memanjang. Ia mengasah salah satu ujungnya dan membalutkan kain di ujung yang lain.

Gerakannya sungguh cepat dan akurat. Tidak ada tenaga yang terbuang percuma.

Tangannya pun kokoh dan kuat.

Sun Sio-ang memandanginya dari samping. Ia merasa sangat aneh, tapi sangat tertarik juga.

Tapi mau tidak mau ia mulai merasa ragu. Ia memungut salah satu pedang bambu itu dan merasakan ringannya, bagaikan selembar daun willow.

Lalu ia berseru tertahan, “Apakah pedang semacam ini cukup untuk menghadang Siangkoan Kim-hong?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar