Si Pisau Terbang Li Bab 80 : Kesalahan Fatal

 
Bab 80. Kesalahan Fatal

“Ternyata kau tidak begitu setia kawan seperti yang kusangka. Paling tidak, kau lebih setia kawan pada yang hidup daripada yang mati,” ejek Sun Sio-ang nakal.

Tiba-tiba Li Sun-Hoan bertanya, “Kemarin, kapan kita berangkat?”

“Malam hari, seperti sekarang ini.”

“Dan kapan kita tiba hari ini?” tanya Li Sun-Hoan. “Hampir petang, hari belum lagi gelap.” “Dan bagaimana kita bisa sampai ke sini?” tanya Li Sun- Hoan lagi.

“Kita naik kereta untuk beberapa saat, kemudian kita berjalan kaki sampai pagi tadi. Setelah itu kita naik kuda.”

“Jadi jika kita kembali dengan cara yang sama, kita tidak mungkin bisa sampai sebelum matahari terbenam.”

“Betul,” jawab Sun Sio-ang.

“Tapi sekarang, kita sudah terjaga begitu lama. Kekuatan kita tidak sebesar kemarin. Jadi kita tidak mungkin berjalan secepat kemarin.”

Sahut Sun Sio-ang, “Dan lagi kemarin, hampir-hampir aku tidak bisa mengikutimu. Tidak heran kakek bilang bahwa kecepatanmu berjalan hampir sama dengan kecepatan pisaumu.”

“Jadi walaupun kita pergi sekarang, belum tentu aku bisa datang tepat waktu untuk duel dengan Siangkoan Kim- hong?”

Sun Sio-ang terdiam.

Li Sun-Hoan mengangkat kepalanya dan memandang gadis itu. Katanya, “Seharusnya kau mendorong aku untuk segera kembali. Kau kan tahu, aku tidak bisa terlambat untuk duel itu.” Sun Sio-ang memaLingkan wajahnya dan menggigit bibirnya. Seakan-akan ia sedang menghindari tatapan mata Li Sun-Hoan.

Kemudian ia berkata dengan lembut, “Aku ingin kau berjanji padaku.”

“Apa itu?”

“Kali ini, mari kita pulang dengan kereta. Jangan kita berjalan ataupun naik kuda.”

Kata Li Sun-Hoan, “Kau ingin aku beristirahat selama perjalanan.”

“Ya. Jika kau tidak beristirahat, kau akan kehabisan tenaga sebelum menghadapi Siangkoan Kim-hong. Kau tidak akan bisa berduel jika belum apa-apa kau sudah terpuruk ke lantai.”

Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Baiklah, aku menurutimu. Kita pulang dengan kereta.”

Seketika wajah Sun Sio-ang berbinar karena gembira. “Kita bisa membawa arak dalam kereta. Jika kau tidak bisa tidur, aku akan minum bersamamu sepanjang perjalanan.”

“Kalau aku mulai minum, lama-lama aku pasti akan tertidur,” sahut Li Sun-Hoan.

“Bagus. Selama kau bisa beristirahat dalam perjalanan, Siangkoan Kim-hong tidak akan mampu melawanmu.” “Kau sungguh yakin akan diriku,” kata Li Sun-Hoan sambil tersenyum.

Gadis itu menatap Li Sun-Hoan lekat-lekat. Katanya, “Tentu saja aku yakin padamu. Kalau tidak mengapa aku….”

Wajahnya menjadi bersemu merah. Tiba-tiba ia berlari keluar dan berseru dengan riang, “Aku akan pergi mencari kereta. Kau siapkan araknya ya. Dan jika masih ada waktu, pergi dan temuilah dia. Aku berjanji, aku tidak akan cemburu.”

Kuncir rambutnya melambai-lambai saat ia berlari dan dalam hitungan detik, ia sudah tidak kelihatan lagi.

Li Sun-Hoan memandanginya sampai ia tidak terlihat lagi, baru ia bangkit berdiri dan berjalan keluar.

Ia menengadah. Di balik tembok itu, terlihat ruangan kecil di pojok atas.

Cahaya masih tampak bersinar dari kamar itu. Namun bagaimana dengan orang di dalamnya?
Apakah ia sedang sibuk menjahit pakaian untuk putra kesayangannya?

Cinta seorang ibu akan anaknya bagaikan seutas benang yang tiada putusnya. Namun masih belum dapat menandingi panjangnya kesepian. Tidak ada satupun di dunia ini yang dapat menandingi panjangnya kesepian hidup.

Bulan demi bulan, tahun demi tahun. Benang yang tidak habis terjahit. Kesepian yang tidak dapat disembuhkan.

Wanita itu telah mengubur hidupnya, dan ruang kecil itu adalah kuburannya.

Seseorang……seorang wanita…..tanpa masa muda, tanpa cinta, tanpa suka cita. Untuk apa ia hidup?

‘Si-im, Si-im, kau telah menderita begitu banyak.’

Tiba-tiba Li Sun-Hoan membungkuk dan mulai terbatuk. Batuk darah!

Bagaimana mungkin ia tidak ingin menemuinya?

Walaupun tubuhnya masih berdiri di situ, hatinya telah melayang pergi ke ruang kecil itu.

Walaupun hatinya telah melayang ke kamar itu, tubuhnya masih berdiri tidak bergerak di luar.

Ia tidak berani pergi ke sana. Ia tidak sanggup. Walaupun mungkin inilah terakhir kalinya ia bisa bertemu dengannya, ia masih tetap tidak sanggup….. Berjumpa dengannya sama seperti tidak berjumpa. Dan walaupun ia pergi menjumpainya, apakah yang bisa diperbuatnya? Wanita itu bukan lagi miliknya. Ia sudah bersuami, mempunyai seorang anak, hidup dalam dunianya sendiri.

Ia sepenuhnya berada di dunianya sendiri, dunia yang lain.

Li Sun-Hoan menyeka darah dari bibirnya dan mencoba menelan kembali darah yang masih ada dalam mulutnya.

Bahkan darahnya pun terasa pahit, amat sangat pahit.

‘Si-im….Si-im, aku akan merasa puas selama kau hidup damai sejahtera. Apakah itu di surga atau di neraka, suatu hari nanti kita akan bertemu kembali.”

Namun, apakah Lim Si-im hidup damai sejahtera?

Di tengah hembusan angin malam yang dingin, Li Sun- Hoan terlihat lebih lemah daripada setangkai bunga seruni.

Li Sun-Hoan berdiri sendirian di tengah angin barat yang menderu. Apakah ia sedang berharap bahwa angin barat itu akan menerbangkan dirinya pergi?

Akhirnya, Sun Sio-ang pun kembali. Ia memandang Li Sun-Hoan dan bertanya, “Kau….Kau tidak pergi menemuinya?”

Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya. “Kau berhasil menemukan kereta?” “Kereta sudah menunggu di depan sana. Jika kau tidak ingin menemuinya, mari kita segera pergi.”

“Ayo, kita pergi!” jawab Li Sun-Hoan.

Kereta itu berguncang-guncang sepanjang perjalanan. Arak pun bergoyang-goyang dalam cawannya.

Arak yang cukup umur.

Kereta itu sepertinya berusia lebih tua daripada arak itu. Dan kudanya lebih tua lagi.

Li Sun-Hoan menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata sambil tersenyum, “Jika kuda yang menarik kereta ini adalah Si Surai Merah milik Jenderal Guan, pasti kereta ini langsung menjadi barang antik. Hebat juga kau bisa menemukan kereta seperti ini.”

Sun Sio-ang tidak bisa menyembunyikan tawanya. Ia mengangkat dagu sambil berkata, “Kau tidak puas atas persiapanku?”

“Tidak, tidak, aku sangat puas. Sangat sangat puas.”

Li Sun-Hoan memejamkan matanya dan menambahkan, “Saat aku masuk ke dalam kereta ini, aku langsung teringat pada sesuatu di masa lalu.”

“O ya? Apa itu?” “Aku teringat akan kuda kayu mainanku waktu aku masih kecil. Rasanya sama seperti terayun-ayun di atas kereta ini.”

Sebelum ia selesai bicara, ia merasa ada sesuatu yang dijejalkan ke dalam mulutnya.

“Habiskan kurma itu dan cepat tidur,” kata Sun Sio-ang sambil tersenyum.

Sahut Li Sun-Hoan, “Seandainya aku bisa tertidur dan tidak bangun lagi, ah, sungguh menyenangkan.
Sayangnya…..”

Sun Sio-ang segera memotongnya dan berkata, “Aku bersusah-payah mendapatkan kereta ini supaya kau bisa beristirahat. Jika kau bisa tidur nyenyak, besok pagi kita bisa berganti kereta.”

Li Sun-Hoan menghabiskan cawan araknya dan berkata, “Kalau begitu, aku akan minum beberapa cawan lagi supaya aku bisa tidur nyenyak.”

Arak di cawannya bergoyang-goyang. Kuncir Sun Sio-ang pun terayun-ayun ke kiri ke kanan.

Matanya bercahaya dan teduh, seperti sinar bintang yang menerangi langit malam di luar sana.

Cahaya bintang tampak seperti mimpi. Li Sun-Hoan mulai mabuk. Di malam yang begitu indah, ditemani wanita yang begitu cantik, bagaimana mungkin ia tidak mabuk?

Karena ia sudah mabuk, bagaimana mungkin ia tidak jatuh terlelap?

Li Sun-Hoan bersandar pada salah satu sisi kereta dan mengangkat kakinya ke atas kursi kereta itu. Ia bergumam, “Orang bijak dan para pendekar selalu dihantui kesepian dan tidak punya sahabat kecuali guci araknya….. Namun ternyata, minum semalam suntuk pun sama menderitanya.”

Lalu semuanya hening. Hanya kesunyian yang tinggal. Akhirnya ia jatuh terlelap.
Sun Sio-ang memandangnya sampai lama. Lalu ia menjulurkan tangannya dan membelai rambutnya dengan lembut. “Tidur, tidurlah dengan tenang. Setelah kau bangun, segala kesedihan dan persoalan akan berlalu. Dan bila saatnya tiba, aku tidak akan membiarkanmu minum sebanyak ini lagi.”

Mata Sun Sio-ang bersinar semakin terang, penuh dengan harapan dan suka cita.

Ia masih sangat muda.

Orang-orang muda selalu optimis menghadapi dunia ini. Mereka selalu beranggapan bahwa segala sesuatu akan terjadi sesuai dengan rencana mereka. Ia belum mengerti bahwa dunia ini tidak berjalan seperti itu. Apa yang terjadi selalu saja jauh dari bayangan dan rencana kita. Jika saat itu ia tahu seberapa jauhnya kenyataan yang akan terjadi dari bayangannya, bajunya pasti sudah basah kuyup oleh air mata.

Kusir kereta pun sedang menghirup araknya dengan santai.

Ia tidak terburu-buru.

Karena si wanita muda penyewa keretanya telah memerintahkannya begitu!

‘Pelan-pelan saja di jalan. Kami tidak tergesa-gesa pergi.’

Sang kusir tersenyum sendiri. Jika ia sedang naik kereta bersama kekasih hatinya, ia pun tidak akan tergesa-gesa pergi.

Ia sungguh iri pada Li Sun-Hoan. Ia merasa, Li Sun-Hoan adalah orang yang sangat beruntung.

Namun jika ia tahu situasi macam apa yang sebenarnya sedang dihadapi oleh Li Sun-Hoan dan Sun Sio-ang, mungkin ia tidak akan sanggup menelan arak dalam cawannya.

Hari esok telah tiba.

Waktu Li Sun-Hoan bangun, cahaya matahari telah menerangi seluruh kereta dari jendela. Ia tidak tahu berapa lama ia sudah tertidur. Apakah ia sungguh kelelahan? Apakah karena arak?

Li Sun-Hoan memungut cawan arak dan menciumnya, lalu diletakkannya kembali.

Kereta itu masih bergoyang-goyang ke kiri ke kanan selagi melaju di sepanjang jalan itu. Jalan kereta itu sangat lambat, bahkan kadang-kadang berhenti sejenak, seakan-akan kusirnya pun tertidur.

Sun Sio-ang masih tidur di pangkuan Li Sun-Hoan.

Rambutnya yang panjang terurai di atas kaki Li Sun-Hoan bagaikan aliran air.

Li Sun-Hoan melongok ke luar jendela, namun ia tidak bisa melihat bayangan kereta itu.

Matahari tepat berada di atas.

Setelah beberapa lama, Li Sun-Hoan melihat batu penunjuk di sisi jalan. Pada batu itu terukir nama desa yang akan mereka masuki.

Waktu perjanjian dengan Siangkoan Kim-hong tinggal sebentar lagi.

Namun ternyata mereka baru setengah perjalanan.

Dalam sekejap tangan Li Sun-Hoan menjadi dingin dan mulai gemetaran. Ada kalanya ia merasa kuatir, sedih, gelisah. Ada kalanya pula ia merasa bahagia. Jarang sekali ia merasa marah.

Saat ini, ia belum marah betul, namun sudah dekat sekali.

Tiba-tiba Sun Sio-ang terjaga dan merasa tubuh Li Sun- Hoan menggigil. Ia memandang wajah Li Sun-Hoan dan melihat ekspresi kemarahannya. Belum pernah ia melihat Li Sun-Hoan seperti itu.

Ia menundukkan kepalanya. Matanya langsung memerah dan ia bertanya, “Apakah kau marah padaku?”

Mulut Li Sun-Hoan terkatup. Terkatup erat.

“Aku tahu kau akan marah padaku, tapi aku akan tetap melakukannya. Aku tidak peduli apakah kau akan membentakku atau memukul aku. Tapi kau harus tahu bahwa aku melakukannya demi kebaikanmu,” kata Sun Sio-ang.

Li Sun-Hoan mengeluh panjang. Seluruh tubuhnya yang tegang mulai mengendur. Hatinya pun mulai lumer.

Sun Sio-ang melakukan semuanya demi dirinya.

Apa salah Sun Sio-ang? Selama ia sungguh-sungguh menginginkan yang terbaik bagi Li Sun-Hoan, bagaimana mungkin ia menyalahkan gadis itu? Kata Li Sun-Hoan, “Aku mengerti perasaanmu. Aku tidak menyalahkanmu. Tapi, bisakah kau juga berusaha mengerti perasaanku?”

“Kau…..kau pikir aku tidak mengerti perasaanmu?”

“Jika kau sungguh mengerti perasaanku, kau akan tahu bahwa sekalipun kau berhasil mencegah aku bertemu dengan Siangkoan Kim-hong kali ini, bagaimana dengan nanti? Cepat atau lambat, aku harus berhadapan dengannya. Mungkin juga besok,” kata Li Sun-Hoan.

“Kalau besok, semuanya akan berbeda.” “Apa yang akan berbeda besok?”
“Besok, Siangkoan Kim-hong sudah mati. Mungkin ia tidak akan melewati malam ini,” kata Sun Sio-ang.

Caranya berbicara sungguh aneh, seakan-akan ia sudah tahu pasti apa yang akan terjadi.

Li Sun-Hoan tidak bisa menebak mengapa Sun Sio-ang kedengaran begitu pasti. Ia berpikir-pikir sejenak.

Kata Sun Sio-ang, “Tidak akan ada yang menyalahkan kalau hari ini kau tidak hadir. Itu kan semua salah Siangkoan Kim-hong. Jika ia tidak memaksamu pergi ke Hin-hun-ceng, kau tidak mungkin terlambat datang.”

Li Sun-Hoan masih berkutat dengan pikirannya. Wajahnya sedikit demi sedikit berubah. Perasaan Sun Sio-ang semakin ringan saat ia bersandar di lengan Li Sun-Hoan. Katanya, “Kalau Siangkoan Kim- hong sudah mati, tidak ada yang akan bilang bahwa…..”

Tiba-tiba Li Sun-Hoan memotongnya, “Apakah kakekmu yang menyuruhmu berbuat begini?”

Sun Sio-ang mengedipkan matanya dan berkata sambil berkelakar, “Mungkin ya, mungkin tidak.”

“Apakah ia yang pergi menghadapi Siangkoan Kim- hong?” tanya Li Sun-Hoan.

“Betul sekali. Kau pasti tahu, Siangkoan Kim-hong melihat kakek sama seperti seekor tikus kecil melihat kucing. Kurasa, kakeklah satu-satunya orang di dunia ini yang bisa menghadapi Siangkoan Kim-hong.”

Lalu Sun Sio-ang meraih tangan Li Sun-Hoan dan hendak melanjutkan perkataannya. Namun akhirnya ia terdiam, karena ia merasa tangan Li Sun-Hoan begitu dingin seperti es.

Waktu hati manusia diliputi ketakutan, mengapa tangannya selalu dingin membeku?

Namun apakah yang ditakutinya?

Melihat ekspresi wajah Li Sun-Hoan, Sun Sio-ang pun takut bertanya. Akhirnya Li Sun-Hoan bertanya, “Apakah kakekmu sendiri yang ingin pergi, atau engkaukah yang memintanya pergi?”

“Apakah….Apakah itu ada bedanya?” tanya Sun Sio-ang tergagap.

“Ya, sangat jauh perbedaannya.”

“Akulah yang meminta dia pergi. Karena untuk menghadapi orang seperti Siangkoan Kim-hong, tidak jadi masalah siapa yang membunuhnya. Tidak harus kau yang melakukannya.”

Li Sun-Hoan mengangguk, sepertinya ia pun setuju dengan pendapatnya. Namun ekspresi wajahnya tampak berbeda.

Ia bukan hanya kelihatan takut, tapi juga kelihatan sangat berduka.

Sun Sio-ang tidak bisa menahan diri, tanyanya, “Apakah kau kuatir?”

Li Sun-Hoan tidak perlu menjawab. Wajahnya telah menjawab dengan jelas.

“Aku tidak mengerti apa yang kau kuatirkan…. Kau menguatirkan Kakek?” tanya Sun Sio-ang.

Li Sun-Hoan mendesah dan menjawab dengan suara rendah, “Aku menguatirkan dirimu.” “Menguatirkan diriku? Kenapa?” tanyanya tidak mengerti.

“Semua orang pasti pernah membuat kesalahan dalam hidupnya. Ada kesalahan yang bisa diperbaiki, tapi ada juga yang selamanya tidak dapat ditarik kembali.”

Kini dalam pandangan matanya, bukan hanya tampak duka namun juga kepedihan yang begitu mendalam.

Ia menatap lurus pada gadis itu, lalu melanjutkan, “Jika kau membuat kesalahan yang tidak mungkin diperbaiki, apapun juga niatmu, kau harus menanggung beban itu selamanya seumur hidupmu. Walaupun orang lain sudah mengampunimu, kau tidak akan pernah bisa mengampuni dirimu sendiri. Suatu perasaan yang sangat tidak menyenangkan.”

Li Sun-Hoan sangat memahami perasaan ini.

Karena satu kesalahan yang diperbuatnya, ia harus membayar harga yang sangat mahal.

Sun Sio-ang balik menatapnya dan tiba-tiba merasakan suatu firasat buruk. Tanyanya, “Apakah kau kuatir aku akan melakukan suatu kesalahan?”

Setelah lama terdiam, Li Sun-Hoan balik bertanya, “Selama bertahun-tahun ini, apakah kau selalu bepergian dengan kakekmu?”

“Ya.”

“Apakah kau pernah melihat beliau bertempur?” “Mmmm, rasanya tidak pernah….” Jawab Sun Sio-ang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar