Bab 78. Pertempuran yang Mengerikan
Li Sun-Hoan merasa heran mengapa Wang LianHua ingin memusnahkan kitab yang merupakan hasil karya, jerih payah seumur hidupnya.
Tuan Sun menjelaskan, “Kitab itu bukan hanya berisikan teori-teori ilmu silat. Kitab itu juga berisikan ilmu tentang racun, cara mengubah wajah, memanggil dan menjinakkan serangga dari suku Miao, teknik hipnotis dari Persia….” Ia mendesah dan melanjutkan, “Jika kitab seperti itu jatuh ke tangan yang salah, konsekuensinya sangat fatal.”
Kata Li Sun-Hoan, “Ya, sangat menyeramkan.”
Kata Tuan Sun, “Di lain pihak, kitab ini adalah darah dan keringat seumur hidupnya. Ia tidak sanggup memusnahkannya. Jadi sebelum ia mundur dari dunia persilatan, ia menitipkan kitab itu pada seseorang yang betul-betul dapat dipercayainya.”
Setelah mendengarnya, perlahan-lahan Li Sun-Hoan dapat merangkaikan kisah itu dalam benaknya dan menyimpulkan bahwa kitab ilmu silat yang tersembunyi dalam Hin-hun-ceng adalah ‘Ensiklopedi LianHua’.
Namun masih ada beberapa hal yang tidak dapat ia mengerti. Contohnya, kepada siapakah Wang LianHua mempercayakan kitab itu?
“Ia mempercayakannya kepadamu!” kata Tuan Sun. Li Sun-Hoan terperanjat. “Aku?”
Tuan Sun tertawa dan berkata, “Selain Li Tamhoa, siapa lagi dalam dunia ini yang lebih layak menerima kitab seperti itu?”
Lalu Tuan Sun melanjutkan, “Ia mempercayakan ‘Ensiklopedi LianHua’ kepadamu bukan hanya untuk kau jaga, namun ia ingin menyerahkannya kepada seorang murid yang berhati mulia, supaya ilmu warisannya dapat terus hidup dan berkembang.”
“Tapi aku sama sekali tidak tahu akan hal ini.”
“Karena pada saat yang sama, kau memutuskan untuk pergi.”
“Dua belas tahun yang lalu….betul. Saat itu aku harus pergi ke perbatasan dan pulang dengan luka parah. Jika bukan karena Liong Siau-hun menyelamatkan nyawaku, mungkin aku sudah…..”
Saat itu, ia merasa seperti tenggorokannya tersumbat sesuatu dan ia tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
Ini adalah salah satu peristiwa dalam hidupnya yang tidak akan pernah dilupakannya.
Karena peristiwa itulah seluruh hidupnya berubah total….dari kebahagiaan menjadi kenestapaan!
“Walaupun Wang LianHua tidak berjumpa denganmu, ia bertemu dengan Nona Lim. Karena ia harus segera berangkat, ia tidak dapat menunggu lagi dan akhirnya ia terpaksa meninggalkan ‘Ensiklopedi LianHua’ pada Lim Si-im.”
Tidak ada yang lebih memahami hubungan antara pria dan wanita lebih baik daripada Wang LianHua. Ia bisa langsung tahu bahwa ada hubungan yang lebih jauh dari sekedar teman antara Lim Si-im dan Li Sun-Hoan. Namun mengapa Lim Si-im tidak pernah menyampaikan hal ini kepadanya?
“Dari manakah Cianpwe mendengar kisah ini? Apakah sumbernya bisa dipercaya?” tanya Li Sun-Hoan.
“Sangat bisa dipercaya.”
Sun Sio-ang tidak bisa menahan diri untuk diam saja. “Kami mendengarnya langsung dari Jisusiok. Waktu Tuan Wang mengunjungi Hin-hun-ceng dan bertemu dengan Nona Lim, pamanku menunggu di luar.”
Ia mengeluh lalu menambahkan, “Sejak hari itulah, Jisusiok tidak pernah pergi dari tempat itu!”
“Apakah Wang LianHua menyuruhnya untuk mengawasi aku?” tanya Li Sun-Hoan.
Jawab Tuan Sun, “Karena Tuan Wang telah memilih engkau untuk memikul tanggung jawab yang berat itu, sudah pasti ia tidak meragukan engkau. Namun ia tidak merasa yakin dengan kemampuan ilmu silatmu saat itu. Ia kuatir, jika cerita itu sampai tersebar, orang-orang akan berlomba-lomba mencuri kitab itu. Oleh sebab itulah ia menyuruh Jisuheng untuk tinggal di sana, membantumu jika sewaktu-waktu engkau memerlukannya.”
Kata Sun Sio-ang, “Dalam petualangannya di dunia persilatan, Jisusiok pernah ditolong oleh Tuan Wang. Pamanku adalah orang yang selalu ingin membalas budi, jadi ketika Tuan Wang memintanya untuk melakukan hal ini, ia melakukannya dengan senang hati.”
Sambung Tuan Sun, “Namun kemudian, ia mengetahui bahwa Nona Lim tidak pernah memberikan kitab itu kepadamu. Dan karena engkau telah pindah ke perbatasan, ia menjadi sangat kuatir dan tidak berani pergi dari tempat itu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Pendekar Kedua Sun memang seseorang yang sungguh memegang teguh janjinya. Ia menganggap permintaan seseorang sebagai urusan pribadinya. Hanya saja….”
Tambahnya, “Hanya saja, bagaimana dia tahu bahwa Nona Lim tidak pernah memberikan ‘Ensiklopedi LianHua’ kepadaku? Bahkan aku tidak tahu adanya kitab seperti itu.”
Tuan Sun mengisap pipanya sekali, lalu menjawab, “Kau saja tidak tahu, apalagi aku.”
Li Sun-Hoan tidak berbicara lagi.
Ia tidak bisa percaya bahwa Lim Si-im menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Sesuatu yang begitu penting.
Kata Tuan Sun, “Wang LianHua bukan hanya pandai membunuh orang, ia pun sering menolong orang.
Metode penyembuhannya sungguh luar biasa. Bahkan ada yang bilang bahwa ia bisa membuat orang mati hidup kembali, menambahkan daging di atas tulang.” Kata Sun Sio-ang, “Dan Liong Siau-in adalah putra Lim Si-im satu-satunya. Seorang ibu akan melakukan apapun juga demi anaknya. Itulah sebabnya mengapa aku kuatir ia….”
Ia tidak melanjutkan kalimatnya.
Li Sun-Hoan mengerti apa yang hendak dikatakannya…. Siapapun juga mengerti apa yang hendak dikatakannya.
Pasti Lim Si-im telah memberikan ‘Ensiklopedi LianHua’ pada putranya. Selama itu, ia telah menyembunyikannya dan menyimpan rapat-rapat rahasia itu.
Tapi mengapa ia tidak pernah mengatakannya kepada Li Sun-Hoan?
Saat pertama kali Li Sun-Hoan bertemu dengannya, ia adalah seorang gadis kecil.
Hari itu turun salju.
Bunga Bwe di halaman baru saja bermekaran. Salju yang terhampar di bawah pohon-pohon Bwe terlihat begitu putih dan bersih.
Saat itu Li Sun-Hoan sedang berada di bawah pohon Bwe, membuat orang-orangan salju. Ia sedang berjalan ke sana ke mari mencari potongan arang yang paling hitam untuk mata orang-orangan salju itu.
Itu adalah salah satu saat terindah dalam hidupnya. Bukan karena ia suka membuat orang-orangan salju. Ia hanya membuat orang-orangan salju supaya ia bisa memberi mata pada orang-orangan salju itu. Gumpalan salju itu seolah-olah menjadi hidup. Dan ia begitu menikmati dan puas memandangnya.
Ia suka membuat sesuatu. Ia benci merusak. Ia selalu cinta akan kehidupan.
Dan setelah itu, diam-diam ia akan meruntuhkan orang- orangan salju itu, karena ia tidak ingin orang lain mencuri kebahagiaannya. Pada saat itu, ia belum mengerti bahwa ada kebahagiaan yang tidak mungkin dapat direnggut oleh orang lain.
Di kemudian hari, ia baru menyadari bahwa kebahagiaan itu sama seperti sebuah kantong ajaib. Semakin banyak engkau memberi, semakin banyak engkau mendapatkannya.
Demikian pula halnya dengan penderitaan.
Jika kau ingin orang lain ikut merasakan kesulitanmu, penderitaanmu sendirilah yang akan semakin bertambah.
Wajah orang-orangan salju itu itu bundar.
Ia sedang berpikir-pikir, di mana hendak diletakkannya matanya. Tiba-tiba, ibunya yang sedang sakit parah, yang hampir tidak pernah bangkit dari tempat tidurnya, berjalan ke halaman menggandeng seorang gadis kecil berjubah merah. Jubahnya merah terang, lebih cerah daripada bunga- bunga Bwe yang bermekaran di situ.
Namun wajah gadis kecil itu begitu pucat, lebih pucat dari salju yang putih.
Merah dan putih adalah warna kesukaannya. Putih melambangkan kesucian, merah melambangkan semangat.
Saat pertama ia memandang gadis itu, ia merasakan kasih sayang yang besar terhadapnya. Rasanya ia ingin segera menghampirinya dan memegang tangannya erat- erat supaya ia tidak diterbangkan angin.
Kata ibunya, “Ini adalah putri bibimu. Bibimu harus pergi ke tempat yang sangat jauh, jadi mulai sekarang ia akan tinggal bersama-sama dengan kita.
Kau selalu bilang, kau ingin adik perempuan. Nah, ini aku sudah menemukannya untukmu. Kau harus selalu baik padanya, jangan membuatnya sedih.”
Namun seakan-akan ia tidak mendengar perkataan ibunya.
Karena gadis kecil itu telah berlari ke arahnya dan menatap orang-orangan salju buatannya.
Tanya gadis kecil itu, “Mengapa dia tidak punya mata?” Tanyanya, “Kau ingin meletakkan matanya?” Gadis itu mengangguk.
Ia memberikan dua potong arang itu kepadanya.
Inilah pertama kalinya ia membagi kebahagiaannya dengan orang lain.
Sejak saat itu, ia selalu membagi apapun yang dimilikinya dengan gadis itu. Ketika orang memberi biskuit padanya, ia selalu menyimpannya di kantongnya. Ketika ia bertemu dengan gadis itu, barulah ia membelahnya menjadi dua, dan makan bersama dengan dia.
Selama ia dapat melihat sorot mata bahagia di mata gadis itu, kebahagiaan itu tidak dapat digantikan dengan apapun juga di dunia ini.
Ia bersedia membagi hidupnya dengan gadis itu.
Gadis itu pun merasa demikian. Ia tahu. Ia percaya.
Saat mereka berpisah sekalipun, ia selalu merasa di hatinya yang terdalam bahwa ialah satu-satunya yang dapat berbagi kesusahan, kegembiraan, rahasia, segala sesuatu dengan gadis itu.
Bahkan sampai sekarang pun ia masih mempercayainya…..
Gang yang sempit. Salju telah menimbun dari sehari sebelumnya. Salju itu mulai mencair dan tanah menjadi lembab dan berlumpur. Ada bagian tanah yang kering dekat tembok, tapi Li Sun-Hoan sengaja berjalan di salju yang bercampur lumpur. Ia menikmati rasa sejuk saat kakinya masuk ke dalam lumpur yang lembut itu.
Entah mengapa, hal itu dapat menenangkan hatinya.
Dulu, ia benci lumpur. Lebih baik ia mengambil jalan memutar yang jauh daripada harus berjalan lewat lumpur.
Namun kini ia menyadari bahwa lumpur pun ada sisi baiknya. Ia menahan pijakan langkahmu, dan pada saat yang sama melindungi dan menyelimuti kakimu dengan kelembutannya.
Bukankah ada juga orang-orang di dunia ini yang seperti lumpur? Mereka terus menerus melapangkan dada dari rasa benci dan hinaan orang lain, tanpa pernah menyimpan dendam dan menuntut balas….
Jika tidak ada tanah dan lumpur dalam dunia ini, bagaimana biji-bijian bisa tumbuh? Bagaimana pohon yang tinggi besar bisa ada?
Mereka tidak pernah mendendam dan merasa benci karena mereka sadar sepenuhnya akan harga diri mereka.
Li Sun-Hoan menghela nafas panjang dan mengangkat kepalanya. Temboknya tampak baru saja dibersihkan, namun papan nama di depan warung Si Bungkuk Sun sudah tua dan kusam.
Dari tempat ia berdiri, ia tidak bisa melihat siapa pun juga di dalam sana.
Hari belum gelap, sehingga lilin dan lentera pun belum dipasang.
Waktu hari mulai gelap, apakah lentera kecil di pondok kecil itu pun akan dinyalakan?
Benak Li Sun-Hoan berkelana, berpikir tentang hal-hal yang tidak ingin dipikirkannya. Selama dua tahun ia selalu duduk di kursi di sudut sana menunggu dan memandangi lentera kecil itu.
Si Bungkuk Sun dengan setia menemaninya. Ia tidak pernah bicara, tidak pernah bertanya.
Sun Sio-ang pun mendesah dan berkata, “Waktu makan malam belum tiba. Warungnya pasti masih sepi. Apa yang sedang dilakukan Jisusiok sekarang ya? Apakah ia sedang sibuk membersihkan meja?”
Si Bungkuk Sun tidak sedang membersihkan meja.
Ia tidak akan pernah membersihkan meja-meja itu lagi! Mereka melihat tangan di atas meja. Tangan itu menggenggam lap meja. Menggenggamnya erat-erat.
Pintu tertutup rapat. Mereka menggedornya kuat-kuat, namun tidak ada jawaban. Mereka memanggil keras- keras, tapi tidak ada yang menyahut.
Sun Sio-ang tampak lebih kuatir daripada Li Sun-Hoan. Ia mendobrak pintu dan melihat tangan itu.
Tangan itu telah terpotong di pergelangannya.
Sun Sio-ang sangat terkejut dan segera menghampiri meja.
Itu adalah meja tempat Li Sun-Hoan selalu duduk dan minum arak selama dua tahun.
Wajah Li Sun-Hoan menjadi pucat. Ia mengenali tangan itu. Selama dua tahun, tangan itulah yang dengan setia menuangkan arak ke cawannya, tidak terhitung berapa kali banyaknya.
Ketika ia mabuk, tangan itulah yang membimbing dia masuk ke kamarnya.
Ketika ia sakit, tangan itulah yang menyeduhkan obat untuknya.
Tapi sekarang, tangan itu telah berubah menjadi seonggok daging kering yang mati. Darahnya sudah membeku dan otot-ototnya kejang. Jari-jari yang memegang lap meja itu menggenggam begitu kuat seakan-akan berpegangan pada nyawanya.
Apakah ia sedang mengelap meja saat seseorang tiba- tiba menebas tangannya?
Meja itu terlihat bersih mengkilap.
Ketika ia mengelap meja itu, apakah ia teringat pada Li Sun-Hoan?
Tiba-tiba Li Sun-Hoan merasa sakit di dadanya seperti tertusuk sembilu.
Air mata Sun Sio-ang sudah mengalir deras ke pipinya saat ia bertanya, “Apakah kau tahu tangan siapa ini?”
Li Sun-Hoan mengangguk perlahan.
“Di manakah dia….di manakah tubuhnya?” Suara Sun Sio-ang terdengar gemetar.
Tiba-tiba ia berlari ke luar. Warung kecil itu kosong, kosong sama sekali.
Ketika ia masuk kembali, Li Sun-Hoan masih berdiri di samping meja itu. Pandangannya masih tetap tertuju pada tangan itu.
Empat jarinya tertekuk memegang lap itu. Satu jari menunjuk ke arah luar. Lurus bagai anak panah, menunjuk ke arah jendela warung itu. Jendela itu terbuka lebar.
Li Sun-Hoan menengadah dan memandang ke luar jendela.
Sun Sio-ang mengikuti arah pandangannya dan memandang ke luar jendela juga. Tiba-tiba keduanya berlari ke sana dan melompat ke luar secara bersamaan.
Di luar, angin bertiup menembus sumsum. Air di selokan pun sudah membeku.
Di luar sana ada gang kecil yang tidak lebih besar daripada selokan itu. Mungkin juga sebenarnya itu bukan gang, tapi hanya selokan kering.
Mereka menyusuri gang itu sampai ujungnya dan melihat ada sebuah pintu kecil. Mereka tidak tahu rumah siapakah itu. Bahkan mungkin pintu kecil itu tidak pernah digunakan.
Itu hanyalah sebuah gang buntu.
Pintu itu tidak terkunci. Di pegangannya terlihat sebuah cap tangan berwarna merah. Tangan yang berlumuran darah.
Sun Sio-ang segera berlari ke sana dan memeriksanya. Lalu ia menoleh ke arah Li Sun-Hoan.
Bibirnya sudah berdarah karena digigitnya begitu keras. Katanya, “Siangkoan Kim-hong sudah memperhitungkan bahwa kau akan datang ke sini.” Mulut Li Sun-Hoan tetap terkatup.
Lanjut Sun Sio-ang, “Ia tahu bahwa kau tidak akan langsung pergi ke Hin-hun-ceng karena kau tidak ingin bertemu dengan Liong Siau-hun. Ia menduga pasti kau akan menemui Jisusiok terlebih dahulu.”
Li Sun-Hoan tetap diam.
“Ini semua adalah jebakan yang sudah dipersiapkannya bagimu.”
Mulut Li Sun-Hoan masih terkancing. “Jadi kau tidak boleh masuk ke sana.” “Dan kau?” tanya Li Sun-Hoan tiba-tiba.
Sahut Sun Sio-ang, “Bagiku tidak ada masalah. Bukan aku yang ingin dibunuh oleh Siangkoan Kim-hong.”
“Jadi kau boleh masuk.”
“Tidak ada yang bisa menghalangi aku masuk,” kata Sun Sio-ang tegas.
Li Sun-Hoan menghela nafas panjang dan berkata, “Sepertinya kau tidak memahami aku sebaik Siangkoan Kim-hong.”
“Oh?” “Jika ia memang memasang perangkap untukku, ia tahu aku pasti akan masuk melalui pintu ini. Sekalipun ada orang yang menggergaji kedua kakiku, aku tetap akan merangkak masuk ke dalam sana!”
Sun Sio-ang menatapnya. Air matanya yang hangat kembali membasahi wajahnya.
Ia menghampiri Li Sun-Hoan dan memeluknya. Kini air matanya membasahi wajah Li Sun-Hoan.
Ia menyeka wajah Li Sun-Hoan, seolah-olah ia sedang menggunakan air matanya untuk menghapus kelelahan Li Sun-Hoan. Karena memang hanya ada satu hal yang dapat menghapus kelelahan seorang laki-laki, yaitu air mata kekasihnya.
Lengan dan kaki Li Sun-Hoan yang tegang mulai mengendur. Akhirnya ia pun tidak dapat menahan diri dan membalas pelukan Sun Sio-ang.
Keduanya saling berpelukan begitu erat.
Karena inilah kali pertama mereka saling berpelukan, tapi mungkin juga untuk yang terakhir kalinya!
Seakan-akan matahari pun tidak ingin menyinari gang kecil itu. Suasana terasa sangat suram dan keruh.
Di balik pintu, kegelapan lebih pekat lagi. Ketika mereka mendorong pintu itu terbuka, tercium bau busuk yang sangat menusuk yang membuat mereka merasa ingin muntah.
Bau daging dan darah yang membusuk!
Lalu mereka mendengar suara-suara yang sangat aneh. Seperti seekor binatang yang sedang kesakitan menunggu ajalnya. Seperti hantu yang sedang menjerit- jerit minta dilepaskan dari siksaan neraka.
Tapi suara itu memang kedengaran dari bawah tanah!
Ada lebih dari dua puluh orang di bawah sana. Mereka mengertakkan gigi bagaikan binatang yang sedang bertempur hidup dan mati.
Tidak ada yang buka mulut. Diancam dengan pisau sekalipun, tidak ada yang berani buka suara.
Tadinya ada 26 orang. 9 sudah gugur. 17 orang yang tersisa dipisahkan menjadi dua. Kelompok yang lebih kuat jumlahnya lebih banyak daripada kelompok yang lebih lemah.
Mereka berjumlah 12 dan semuanya berpakaian kuning. Mereka semua mempunyai senjata yang tidak lazim, salah satunya bersenjatakan sipoa besi.
Kelompok yang lain awalnya berjumlah 9 orang, namun kini tinggal 5. Salah satunya buta. Ada juga seseorang yang tinggi kekar berikat pinggang merah. Ia tidak bersenjata.
Tubuhnya adalah senjatanya!
Terlihat selarik sinar menyambar, sebuah golok penyisik ikan menyerang bahu kirinya. Seperti sebuah kampak memotong kayu. Golok yang tajam itu membelah dagingnya, namun tertahan oleh tulang bahunya!
Orang berbaju kuning itu berusaha keras menarik goloknya, namun orang tinggi kekar itu sudah menghantam dadanya dengan telapak tangannya. Terdengar suara gemeretak tulang-tulang yang patah.
‘Peng’. Tubuh itu sudah melayang dan jatuh berdebam.
Tapi orang tinggi kekar itu sudah tidak bisa lagi menggerakkan tangan kirinya. Tiba-tiba ia berseru, “Kalian semua pergi dulu, aku akan tinggal dan menahan mereka. Cepat!”
Tidak ada yang bergerak mundur. Tidak seorang pun menjawabnya juga.
Seseorang yang sudah rebah di tanah berusaha berdiri dan berkata dengan suara parau, “Kita tidak bisa mundur. Walaupun mati, kita harus membawanya bersama dengan kita!”
Mereka berada di terowongan bawah tanah. Di sana, lentera menyala sepanjang hari, sepanjang tahun. Lentera itu dipasang di dinding. Dalam cahayanya yang remang-remang terlihat bahwa yang baru saja bicara adalah seorang wanita. Seorang wanita yang tinggi besar dan gemuk. Di wajahnya tampak bekas luka yang memanjang dari mata sampai ke sudut mulutnya.
Mata kanannya buta. Dengan mata kirinya ia sedang memandang orang tinggi kekar itu.
Tatapan itu penuh dengan dendam kesumat. Dendam kesumat yang tidak akan padam, sekalipun dalam kematian.
Si Wanita Tukang Jagal, Ang-toanio!
Dan siapakah orang tinggi kekar itu? Mungkinkah ini adalah orang yang sudah bertahun-tahun tidak didengar kabarnya, Thi Toan-kah?
Saat ini, wanita itu sudah tidak mungkin bangun lagi.
Matanya masih terbuka lebar, masih menatap Thi Toan- kah.
Dia telah mati tanpa kesakitan, tanpa ketakutan sedikit pun.
Karena yang ada di benaknya hanyalah membalas dendam. Selain membalas dendam, ia tidak memikirkan dan tidak merasakan yang lain.
Thi Toan-kah mengatupkan giginya saat sebilah pedang kembali menusuk tubuhnya. Ia menghentakkan kakinya dan berkata, “Kalian benar-benar tidak mau pergi? Jika kalian semua mati, siapa yang akan membawaku pergi?”
Si buta tertawa dingin dan berkata, “Sekalipun kami semua mati, kami tetap akan membawa jiwamu pergi bersama dengan kami!”
Walaupun ilmu silatnya lebih tinggi daripada mereka yang tidak buta, ia tetaplah seorang buta. Ia bergantung sepenuhnya pada telinganya untuk mengetahui gerakan lawan dan menentukan posisi mereka.
Namun jika ada orang yang berbicara, telinganya tidak akan setajam biasanya. Sebelum dua kalimatnya selesai, sebuah kait harimau telah menyambar dan menoreh dadanya.
Kait itu dipuntir dan ditarik ke atas, sehingga daging dan darah menggantung di situ.
Thi Toan-kah hampir tidak tahan dan ingin muntah melihatnya.
Walaupun sudah sering membunuh, ia bukanlah orang yang kejam. Walaupun tubuhnya sangat keras, hatinya teramat lembut.
Namun kini tangannya pun sudah menjadi lembut. Ia tidak lagi mampu membunuh.
Tiba-tiba ia berteriak, “Lalu bagaimana jika aku mati di tanganmu?” Si buta kembali tertawa dan berkata, “Kami tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang terjadi di sini. Kami hanya datang untuk mencarimu.”
Seorang lagi berkata dengan suara kasar, “Jika ‘Tionggoan-pat-gi’ tidak bisa mencabut nyawamu dengan tangan kami, kematian kami akan sia-sia belaka!”
Wajah orang itu burikan dan ia menggunakan dua buah golok, satu pendek satu panjang. Ia adalah keturunan Sekte Utara Si Golok Yin Yang, Kongsun Uh.
Thi Toan-kah pun tertawa. Dalam situasi seperti ini, mengapa seseorang malah tertawa?
Tapi itu adalah tawa yang membuat bulu kuduk orang berdiri. Lalu katanya, “Jadi kalian hanya ingin membunuhku dengan tangan kalian sendiri. Itu gampang saja…..”
Ia melayangkan tangannya ke belakang dan mendorong seseorang berpakaian kuning ke belakang. Lalu tiba-tiba ia berlari cepat, langsung ke arah golok Kongsun Uh.
Kongsun Uh terbelalak, tidak percaya apa yang terjadi, saat golok pendeknya menembus dada Thi Toan-kah!
Darah muncrat membasahi dadanya.
Raungannya terputus saat ia jatuh tersungkur ke tanah. Di punggungnya tertancap tombak berbunga sepanjang satu meter. Rumbai berwarna merah yang menghiasi mata tombak itu masih terayun-ayun.
Thi Toan-kah pun jatuh tersungkur. Dari mulutnya terus- menerus terdengar gumaman.
“Semua hutangku kini sudah terbayar lunas, mengapa kalian belum pergi juga?”
Ia hanya memandang kosong saat sebuah tombak menusuk ke arahnya. Ia tidak berusaha menangkisnya, tidak berusaha mengelak.