Bab 76. Taktik yang Cemerlang
Jawab Tuan Sun dengan suara rendah, “Siangkoan Kim- hong pasti datang awal esok hari.”
“Mengapa begitu?” tanya Sun Sio-ang.
“Karena siapa yang datang lebih awal, punya kesempatan untuk memilih lokasi yang paling menguntungkan. Tidak mungkin Siangkoan Kim-hong menyia-nyiakan kesempatan ini.”
“Lalu mengapa Li Sun-Hoan tidak datang lebih awal lagi saja?”
“Mungkin dia tidak ingin berlomba datang lebih awal. Atau mungkin juga ia punya alasan yang lain sama sekali.”
Tuan Sun terkekeh pelan dan menambahkan, “Li Tamhoa bukan orang biasa. Kadang-kadang aku pun dibuatnya bingung, tidak mengerti apa maksud perbuatannya.”
Kata Sun Sio-ang, “Dalam pandanganku, seluruh tempat ini tampak sama saja. Aku tidak bisa menentukan tempat mana yang paling menguntungkan.” “Tempat di mana ia berdiri saat ini,” kata Tuan Sun. “Apa istimewanya tempat itu?”
“Jika Siangkoan Kim-hong berdiri di situ, Li Sun-Hoan pasti harus berdiri tepat di depannya.”
“Mmmm.”
“Waktu berduel telah ditentukan, yaitu pada saat matahari terbenam.”
“Aaah, sekarang aku mengerti. Jika seseorang berdiri di situ, punggungnya akan tepat menghadap cahaya matahari terbenam, jadi cahaya itu tidak akan mempengaruhinya sama sekali. Namun, orang yang berada tepat di depannya, akan silau oleh cahaya itu.
Dan jika sekali saja kau berkedip, lawanmu akan mempunyai kesempatan yang sempurna untuk menyerangmu.”
“Tepat sekali.”
“Namun mengapa Siangkoan Kim-hong memilih untuk berdiri di situ?”
“Hanya dengan cara berdiri di situ, baru ia tahu kelemahan tempat itu. Lalu ia dapat mencari tempat yang lain,” kata Tuan Sun. “Jika kau melihat hutan di sana, sinar matahari senja pun dipantulkan oleh embun yang membeku di atas dedaunan. Jadi berdiri di situ pun akan silau juga.” Kini Li Sun-Hoan berjalan menuju sebatang pohon tepat di hadapan mereka.
Mata Sun Sio-ang terus mengikuti gerakannya. Tiba-tiba selarik sinar menyilaukan matanya…. Pohon itu mempunyai paling banyak embun yang membeku, dan sinar matahari yang dipantulkannya pun paling banyak.
Tanya Tuan Sun, “Kini kau mengerti?”
Sun Sio-ang tidak menjawab. Tiba-tiba tubuh Li Sun- Hoan melesat ke atas pohon dan dengan cepat mengitari pohon itu.
“Semua orang tahu bahwa ‘Pisau Kilat si Li tidak pernah luput’. Namun ilmu meringankan tubuhnya pun ternyata sangat tinggi. Tidak banyak orang di dunia ini yang dapat menandinginya,” seru Tuan Sun.
“Tapi, apa yang sedang dilakukannya di pohon itu?” tanya Sun Sio-ang.
“Ia sedang memeriksa tiap ranting dan cabang pohon itu, berapa kuatnya mereka itu. Ada dua alasan mengapa ia melakukannya.”
“Dua alasan?”
“Yang pertama, ia ingin memastikan bahwa pohon itu belum ‘dikerjai’ oleh Siangkoan Kim-hong.”
“Dikerjai?” “Ketika ia sedang berhadapan dengan Siangkoan Kim- hong, apa yang akan terjadi jika tiba-tiba ranting-ranting pohon itu patah?”
“Kalau patah yang pasti akan jatuh ke bawah.” “Jatuh ke mana?”
“Ke tanah.” Tiba-tiba Sun Sio-ang jadi mengerti maksudnya. “Atau di depannya, sehingga menghalangi pandangannya. Atau mungkin di atas kepalanya. Yang pasti, itu akan memecahkan konsentrasinya dan memberikan keuntungan bagi Siangkoan Kim-hong.”
“Lagi pula, jika ia tidak punya pilihan lain, ia bisa naik ke atas pohon itu. Apa yang akan terjadi jika tiba-tiba pohon itu berubah menjadi medan laga?” tanya Tuan Sun.
“Oleh sebab itulah, ia harus memeriksa segala sesuatu dengan seksama. Pohon itu dan juga segala sesuatu di sekitar sini,” jawab Sun Sio-ang.
“Akhirnya kau mengerti.”
“Ya, kini aku mengerti. Siapa sangka ada begitu banyak persiapan sebelum berduel.”
“Apapun yang kau kerjakan, jika kau telah mencapai tingkatan yang tertinggi, selalu akan lebih rumit dan mendetil. Bahkan dalam hal menyulam atau memasak sekalipun.” Tuan Sun melirik pada Li Sun-Hoan dan melanjutkan, “Walaupun waktu duelnya ditentukan esok hari, sebenarnya duel itu telah dimulai sejak pertama kali mereka bertemu. Yang diuji adalah perhatian mereka akan hal-hal yang mendetil, kesabaran mereka, dan pengetahuan mereka. Kesempatan mereka menang telah ditentukan sejak saat itu, namun pemenang akhirnya baru ditentukan esok hari saat berduel.”
“Namun apa yang dilihat orang adalah apa yang terjadi di saat yang sangat singkat itu. Ada pepatah, ‘Menang kalah dalam pertarungan antara dua jagoan ditentukan oleh satu langkah saja’. Namun siapa yang dapat membayangkan betapa banyak persiapan di balik satu langkah itu,” kata Sun Sio-ang.
Wajah Tuan Sun menjadi muram. Ia memantik api dan menyalakan pipanya. Matanya tertuju pada api dalam pipa itu. Katanya, “Seorang ahli silat yang sejati selalu hidup kesepian. Orang hanya melihat mereka dalam kejayaan dan kesuksesan mereka. Tidak ada yang melihat betapa banyak pengorbanan mereka. Karena itulah, tidak ada orang yang dapat memahami mereka.”
Sun Sio-ang menundukkan kepalanya dan bermain-main dengan ujung lengan bajunya. Katanya, “Tapi apakah mereka tidak ingin dimengerti oleh orang lain?”
Sementara itu, Li Sun-Hoan mengencangkan ikat pinggangnya dan dengan sedikit tekanan di kakinya ia melompat ke atap paviliun itu. Tuan Sun menghembuskan asap dan berkata, “Semua orang selalu menganggap Li Sun-Hoan sebagai orang yang berantakan dan sembarangan. Siapakah yang pernah melihat sisi kerapiannya? Namun untuk hal-hal yang penting, ia tidak melewatkan satu detil yang terkecil sekalipun.”
Sun Sio-ang mendesah dan berkata, “Mungkin karena ia telah membiarkan begitu banyak hal berlalu…..”
Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya dan bertanya, “Tadi Kakek bilang pertempuran ini sudah berlangsung sejak lama. Dalam pandanganmu, siapakah yang saat ini berada di atas angin?”
Jawab Tuan Sun, “Sepertinya tidak ada yang tahu jawabannya.”
Ia menggigit-gigit bibirnya lagi.
Jika pikirannya sedang kusut, ia selalu menggigit-gigit bibirnya. Semakin kusut pikirannya, semakin kuat gigitannya.
Saat ini, ia hampir menggigit bibirnya sampai lepas. “Apa pendapatmu?” tanya kakeknya.
“Mmm…. Siangkoan Kim-hong terlihat begitu percaya diri.”
“Betul. Dan ini karena pada tahun-tahun terakhir ini ia selalu berhasil dalam usahanya. Hanya saja, mungkin kematian anaknya bisa mempengaruhi sedikit konsentrasinya.”
Kata Sun Sio-ang, “Juga Hing Bu-bing. Kepergiannya bisa dianggap sebagai kehilangan yang besar bagi Siangkoan Kim-hong.”
Kata Tuan Sun, “Inilah sebabnya ia ingin segera berduel dengan Li Sun-Hoan, karena ia takut rasa percaya dirinya sedikit demi sedikit mulai berkurang.”
Tuan Sun mengeluh dan melanjutkan, “Itulah sebabnya, duel ini bukan hanya menyangkut hidup Siangkoan Kim- hong dan Li Sun-Hoan, tapi juga menyangkut seluruh dunia persilatan.”
Sun Sio-ang tampak kaget. “Apa betul pengaruhnya sedemikian besar, Kek?”
“Yang pertama, jika Siangkoan Kim-hong menang, rasa percaya dirinya pasti akan melambung semakin tinggi. Perbuatannya pasti akan semakin berani dan aku kuatir, tidak akan ada yang dapat menghalanginya.”
Mata Sun Sio-ang berkejap-kejap. “Sebetulnya, kurasa tidak mungkin Siangkoan Kim-hong bisa menang.”
“Kenapa begitu?”
“Pisau Kilat si Li tidak pernah luput! Pisaunya tidak pernah gagal!” seru Sun Sio-ang. “Tapi Siangkoan Kim-hong pun tidak pernah kalah,” kata Tuan Sun lirih.
Sun Sio-ang tertawa keras dan berkata, “Apakah Kakek sudah lupa? Siangkoan Kim-hong pernah kalah sekali.”
“Oh?”
“Hari itu, di paviliun di luar kota Lokyang. Bukankah Kakek mengalahkannya?”
Tuan Sun diam saja.
“Kakek, sebelum ini, aku belum pernah minta apapun darimu. Tapi kali ini, aku minta tolong satu saja.”
“Apa itu?” tanya Tuan Sun sambil meniup pipanya dan menyelubungi dirinya sendiri dengan asap putih.
Kata Sun Sio-ang, “Aku mohon Kakek memastikan Li Sun-Hoan tetap hidup, bagaimanapun caranya….”
Tiba-tiba ia berlutut di hadapan kakeknya dan berkata, “Kakek adalah satu-satunya orang di dunia ini yang dapat mengatasi Siangkoan Kim-hong. Kakeklah satu-satunya yang dapat menolong Li Sun-Hoan. Dan Kakek pasti tahu bahwa jika Li Sun-Hoan mati, aku sungguh tidak sanggup hidup tanpa dirinya.”
Lautan asap itu telah lenyap.
Namun asap tebal seolah-olah membayangi mata Tuan Sun. Kabut musim gugur, muram dan sedih….. Namun secercah senyum menghiasi wajahnya.
Matanya menatap ke kejauhan, dan dengan lembut tangannya membelai rambut cucunya. Katanya, “Dari semua cucu-cucuku, kaulah yang paling nakal. Kalau kau mati, siapa yang akan mencabuti jenggotku dan menjambak rambutku?”
Sun Sio-ang bangkit perlahan. “Jadi Kakek berjanji?”
Tuan Sun menganggukkan kepalanya dan berkata, “Selama ini kau hanya menunggu aku mengatakannya, bukan?”
Pipi Sun Sio-ang bersemu merah dan ia pun menyahut, “Kakek kan tahu setelah seorang gadis menjadi dewasa, ia tidak bisa terus tinggal di rumah. Hatinya akan berpaling ke tempat lain.”
Tuan Sun tertawa dan berkata, “Namun kulitmu masih tebal. Aku tidak tahu, apakah ada orang yang menginginkanmu atau tidak.”
Sun Sio-ang beringsut dan mendekatkan bibirnya ke telinga kakeknya. Ia berbisik, “Aku tahu. Dan jika ia tidak menginginkan aku, aku punya cara untuk membuatnya menginginkan aku.”
Tuan Sun memeluknya, seolah-olah ia kembali menjadi seorang gadis kecil dan berkata dengan lembut, “Kau adalah cucu kesayanganku, tapi kau terlalu nakal dan terlalu berani. Tadinya aku sungguh kuatir kau tidak akan menemukan jodohmu, tapi kini paling tidak kau telah menemukan orang yang betul-betul kau sukai. Aku hanya bisa berbahagia untukmu.”
Kata Sun Sio-ang sambil cekikikan, “Aku memang sungguh beruntung bertemu dengan dia. Tapi ia juga beruntung bertemu dengan aku. Dalam dunia ini, tidak banyak orang yang seperti aku.”
Tuan Sun tersenyum. “Memang kau adalah satu-satunya dalam dunia ini.”
Ia duduk di pangkuan kakeknya dengan hati ringan dan gembira.
Karena ia bukan saja memiliki kakek yang hebat, namun ia juga memiliki orang yang sangat mengagumkan dalam hatinya.
Keluarga, kekasih, ia punya keduanya. Apalagi yang diinginkan seorang gadis?
Ia merasa ialah orang yang paling berbahagia di seluruh dunia.
Ia merasa, masa depannya sungguh gilang gemilang.
Kini hari sudah mulai malam. Kegelapan telah menelan habis sinar matahari yang cerah.
Tapi seakan-akan ia tidak menyadarinya. ‘Cinta dapat membutakan mata manusia’.
Walaupun ini adalah perkataan kuno, kebenarannya tidak pernah berubah.
Jika Sun Sio-ang dapat membuka matanya sekarang, ia akan melihat betapa dalam kesedihan dan kepedihan dalam sorot mata kakeknya. Walaupun orang lain dapat melihat kesedihan itu, tidak akan ada yang bisa menebak apa sebabnya.
Malam semakin dekat, hembusan angin semakin dingin.
Suasana begitu hening, hanya suara dahan dan dedauLam-yang-hu berdansa mengikuti irama angin.
Di manakah Li Sun-Hoan?
Sun Sio-ang sudah tidak sabar. Ia berjalan keluar dan berseru, “Apa yang kau lakukan di atas sana? Mengapa kau belum turun juga?”
Tidak ada jawaban.
Ke mana perginya Li Sun-Hoan?
Apakah ada jebakan licik di atas atap paviliun itu? Apakah Li Sun-Hoan sudah terjebak?
Atap paviliun itu terbuat dari genteng berwarna merah dengan hiasan keemasan di puncaknya. Di atas puncak itu ada sebuah kotak hitam terbuat dari besi.
Kotak besi hitam yang sederhana, sama sekali tidak ada hiasannya. Tidak juga ada jebakan yang akan melontarkan panah beracun pada orang yang membukanya.
Tapi, apa maksudnya kotak besi itu berada di atas puncak atap paviliun itu?
Dalam kotak besi itu ada sehelai rambut.
Sehelai rambut yang hitam panjang. Tidak ada istimewanya.
Namun entah berapa lama Li Sun-Hoan terpekur memandangi sehelai rambut itu. Ketika Sun Sio-ang berseru memanggilnya, seolah-olah ia tidak mendengar apa-apa.
Apa istimewanya sehelai rambut ini? Sun Sio-ang tidak habis pikir.
Tidak ada seorang pun yang habis pikir.
Wajah Li Sun-Hoan tampak begitu mendung, matanya mulai kelihatan merah.
Sun Sio-ang belum pernah melihat dia seperti ini sebelumnya. Bahkan ketika mereka minum begitu banyak arak, mata Li Sun-Hoan selalu segar dan terang. Apa yang mengakibatkan perubahan yang begitu tiba- tiba ini?
Mereka meletakkan sehelai rambut itu di meja batu dalam paviliun.
Sun Sio-ang tidak tahan untuk tidak bertanya, “Rambut siapa ini?”
Tidak ada jawaban. Tidak ada yang bisa menjawab.
Kelihatannya mirip dengan rambut siapapun juga di dunia ini.
Kata Sun Sio-ang, “Rambut sepanjang ini, pastilah rambut seorang wanita.”
Ia tahu bahwa pernyataannya tidak sepenuhnya betul karena laki-laki pun bisa berambut sepanjang itu.
Memotong rambut dapat diartikan tidak hormat terhadap orang tua.
Dalam cerita-cerita, selalu dikisahkan anak-anak gadis yang berdandan seperti pria akan segera ketahuan jika rambut mereka yang asli terlihat.
Namun cerita itu hanya dapat menipu anak-anak kecil. Anehnya, cerita-cerita semacam itu masih juga diceritakan sampai saat ini. Sun Sio-ang menghentakkan kakinya dan berkata, “Rambut siapapun juga, ini kan cuma sehelai rambut saja. Apa sih anehnya?”
“Ada,” kata Tuan Sun singkat. “Ada apanya?” tanya Sun Sio-ang.
“Ada yang aneh. Ada yang sangat aneh tentang rambut ini.”
“Apa anehnya?”
“Segalanya aneh,” jawab Tuan Sun. “Mengapa sehelai rambut berada dalam kotak besi? Bagaimana kotak besi itu berada di atas puncak atap paviliun ini? Siapa yang meletakkannya di sana? Apa alasannya?”
Sun Sio-ang terkesima.
Tuan Sun menghela nafas dan berkata, “Jika tebakanku tepat, ini adalah perbuatan Siangkoan Kim-hong.”
Tanya Sun Sio-ang, “Siangkoan Kim-hong? Mengapa ia melakukannya?”
“Karena ia ingin Li Sun-Hoan melihat sehelai rambut itu.” “Tapi…tapi dia….”
“Ia pasti telah mengira bahwa Li Sun-Hoan pasti datang sebelumnya untuk memeriksa keadaan tempat ini.
Mungkin ia telah mengira bahwa Li Sun-Hoan pasti akan memeriksa atap paviliun ini, sehingga dengan sengaja ia meletakkan kotak besi ini di atas sana.”
“Tapi apa istimewanya sehelai rambut ini? Memangnya kenapa kalau Li Sun-Hoan melihatnya? Bukankah ini sungguh bodoh?” tanya Sun Sio-ang tidak mengerti.
Namun saat ia mengatakan kalimat itu, ia merasa memang ada yang salah, ada yang betul-betul salah.
Siangkoan Kim-hong bukanlah orang melakukan hal-hal bodoh yang tidak berguna.
Mata Tuan Sun tertuju pada Li Sun-Hoan dan bertanya, “Apakah kau tahu rambut siapa ini?”
Li Sun-Hoan terdiam beberapa saat. Akhirnya ia mendesah dan menjawab, “Aku tahu.”
“Tapi apakah kau sungguh-sungguh yakin?” tanya Tuan Sun.
Nada suaranya tajam dan tegas.
Li Sun-Hoan hanya dapat menjawab, “Aku…..” “Kau tidak yakin, kan?”
Ia tidak menunggu jawaban Li Sun-Hoan. Segera ia menambahkan, “Siangkoan Kim-hong melakukannya karena ia ingin kau percaya bahwa sehelai rambut ini adalah milik Lim Si-im, dan bahwa ia telah jatuh ke dalam tangannya. Ia ingin kau terganggu, sehingga ia berkesempatan untuk membunuhmu. Mengapa kau jatuh dalam jebakannya?”
“Betul. Jika Nyonya Lim telah jatuh ke dalam tangannya, mengapa ia tidak membawanya saja ke sini untuk mengancammu?” tambah Sun Sio-ang.
Jawab Li Sun-Hoan, “Karena ia tidak bisa melakukannya….. Orang lain mungkin bisa, namun dia tidak bisa.”
“Mengapa?”
“Karena jika ada orang yang tahu ia menggunakan cara serendah itu untuk mengalahkan Li Sun-Hoan, ia akan menjadi bahan tertawaan seluruh dunia.”
“Namun ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya membiarkan engkau melihat sehelai rambut.”
“Karena itulah, taktiknya sungguh cemerlang,” sahut Li Sun-Hoan.
Sun Sio-ang masih terus mendebatnya, “Tapi rambut ini belum tentu miliknya.”
“Mungkin juga, mungkin juga tidak…. Tidak ada yang bisa memastikan,” kata Li Sun-Hoan.
“Lalu mengapa tidak kau lupakan saja, dan anggap saja kau tidak pernah melihat rambut itu. Dengan begitu, jebakannya gagal total.” “Sayang sekali, aku sudah melihatnya.”
Kata Sun Sio-ang, “Karena ia tidak mengatakan apa-apa, maka kau malah menjadi curiga. Karena ia tahu bahwa kau akan menjadi curiga, maka ia membuat rencana seperti ini. Walaupun kau tahu maksud yang sebenarnya, kau tetap memilih untuk terjebak dalam permainannya.”
Li Sun-Hoan menghela nafas panjang dan berkata, “Mengapa aku selalu dihadapkan pada situasi seperti ini?”