Si Pisau Terbang Li Bab 74 : Orang yang Paling Murah Hati

 
Bab 74. Orang yang Paling Murah Hati

Api telah padam.

Namun ada kobaran lain yang di sulut dalam rumah itu.

Sepasang tungkai yang panjang dan langsing terjulur di sisi ranjang. Tampak semakin mempesona di bawah sinar bulan yang remang-remang.

Kaki wanita itu sedikit tertekuk saat tubuh sang pria bergetar.

Tubuh A Fei kaku seperti busur yang ditarik.

Anak panah pun sudah siap di atas busur itu untuk dibidikkan.

Seorang yang berpengalaman pasti tahu betapa sulitnya bertahan dalam situasi ketegangan seperti itu.

Lim Sian-ji, tidak perlu diragukan, adalah seseorang yang berpengalaman.

Ia terus menerus menghindar dan mendorong tubuh A Fei, sambil terus berbisik, “Tunggu….tunggu….”

A Fei tidak menjawab dengan kata-kata, namun dengan perbuatan.

Ia tidak bisa lagi menunggu. Lim Sian-ji menggigit bibirnya dan menatap mata A Fei yang merah terbelalak.

“Meng….Mengapa kau tidak pernah bertanya padaku?” “Bertanya apa?”
“Apakah Siangkoan Kim-hong dan aku sudah…..”

Tubuh A Fei mengejang tiba-tiba, seolah-olah seseorang menendangnya di bawah sana.

“Apakah karena hal itu tidak mengganggumu lagi?” tanya Lim Sian-ji

A Fei mulai berkeringat. Keringat menandakan kelemahan seseorang.

Lim Sian-ji mulai melihat kelemahannya.

“Aku tahu, hal itu pasti mengganggumu, karena aku tahu kau sangat mencintaiku.”

Suara Lim Sian-ji terdengar sedih dan tertekan, namun matanya memancarkan kesenangan yang sadis. Ia seperti seekor kucing yang sedang mempermainkan tikus di bawah tangannya. Ia seperti Siangkoan Kim-hong yang memandangnya saat ia berada dalam situasi yang kurang menguntungkan.

“Jadi apakah kau melakukannya atau tidak?” tanya A Fei dengan suara parau. Lim Sian-ji mendesah dan menjawab, “Seekor tikus yang malang dalam genggaman seekor kucing yang kejam.
Kau tidak perlu menanyakan hasil akhirnya.”

Tiba-tiba A Fei tersungkur. Ia merasa sangat marah, seluruh tubuhnya terasa lemas.

Lim Sian-ji memandang wajahnya, air matanya seolah- olah akan menetes.

“Aku tahu, hal ini pasti membuatmu sangat marah, tapi aku tidak dapat menyembunyikannya dari dirimu. Aku ingin mempersembahkan diriku padamu suci dan tidak bernoda, tapi….”

Ia merayap ke atas dada A Fei dengan air mata di wajahnya dan berkata, “Kini aku menyesal menunggu terlalu lama. Walaupun semuanya itu demi engkau, kini aku….”

Tiba-tiba A Fei berseru, “Aku tahu bahwa semuanya itu demi diriku. Oleh sebab itu, aku bersumpah akan mengembalikan kesucianmu kepadamu.”

“Kesucian tidak mungkin didapatkan kembali!” sahut Lim Sian-ji.

“Bisa, aku punya cara.”

Ia mengepalkan tangannya dan berkata dengan tegas, “Jika aku membunuh Siangkoan Kim-hong, jika aku membunuh orang yang telah menodaimu, maka kau akan kembali suci bersih…” Ia berhenti bicara, karena tiba-tiba terdengar suara tawa melengking dari luar jendela.

“Kalau begitu, kau harus siap membunuh banyak sekali orang!”

Terdengar suara lain menambahkan, “P-e-l-a-c-u-r itu selamanya tidak pernah bersih! Selain engkau, semua lelaki yang pernah melihatnya, pernah juga tidur dengan dia!”

Suara yang ketiga menambahkan, “Jika kau ingin membunuh semua orang yang pernah tidur dengan dia, sekalipun kau bunuh 80 orang sehari, sampai tua pun kau belum akan selesai!”

Rumah itu memiliki tiga jendela, dan ketiga orang itu berada di balik tiap-tiap jendela.

Ketiga suara itu berbeda, tapi ada juga kesamaannya yang aneh.

Melengking dan sember. Siapapun yang mendengarnya pasti merasa mual.

A Fei segera bangkit berdiri dan menutupi tubuh Lim Sian-ji dengan selimut. Ia menendang sebuah bantal yang kemudian menggulingkan sebatang lilin di atas meja. Dengan suara tajam ia bertanya, “Siapa kalian?”

Sebenarnya ia ingin segera memburu keluar, namun setelah ia berdiri ia memutuskan untuk tetap berada di samping Lim Sian-ji. Ketiga orang di luar sana kembali tertawa tergelak.

“Jangan bilang bahwa kau kuatir kami akan melihat tubuhnya yang telanjang!”

“Baginya, sudah biasa orang memandang tubuhnya. Ia malah akan merasa tidak nyaman jika orang tidak memandang tubuhnya!”

‘Pang’. Ketiga jendela itu terpentang.

Tiga larik cahaya masuk ke dalam ruangan itu, langsung tertuju pada Lim Sian-ji.

Ketiganya itu adalah Lentera Kongming.

Hanya terlihat cahayanya yang terang, tapi tidak terlihat dari mana datangnya atau siapa yang memegangnya.

Cahayanya begitu terang menyilaukan, sampai-sampai orang sulit membuka mata.

Lim Sian-ji menutup matanya dengan tangannya. Selimut katun yang menutupi tubuhnya perlahan-lahan jatuh, memperlihatkan kakinya, lalu pahanya….

Ia tidak berusaha menarik selimut itu. Ia memang tidak takut dilihat orang.

A Fei mengertakkan giginya. Ia merenggut pakaiannya dan memberikannya kepada Lim Sian-ji. “Pakailah ini.” Lim Sian-ji memutar bola matanya dan tersenyum mengejek, “Kenapa? Apakah kau malu dengan tubuhku?”

Walaupun ia telanjang bulat, ia masih dapat tersenyum penuh percaya diri.

Ia telah menggunakan dua senjatanya yang paling mematikan.

A Fei membanting kursi ke lantai dan mengoyakkan kaki kursi itu. Katanya, “Siapa yang berani masuk ke sini akan mati!”

Terdengar ketiga suara itu tertawa lagi. Kali ini terdengar dari balik pintu.

“Ia masih ingin membunuh.”

“Dalam kondisinya saat ini, lebih baik ia tidak berpikir untuk membunuh orang.”

“Ia masih bisa membunuh satu orang….dirinya sendiri!”

Terdengar suara ‘Pang’ sekali lagi. Kini pintu kayu yang tebal itu telah hancur berkeping-keping.

Serpihan kayu masih beterbangan saat ketiga orang itu masuk ke dalam.

Ketiganya mengenakan jubah kuning.

Ketiganya mengenakan topi bambu yang terikat erat di kepala mereka, menutupi wajah mereka. Ini adalah penampilan khas anggota Kim-ci-pang.

Yang pertama mempunyai rantai emas yang terlibat di tangannya. Cambuk rantai itu terdiri dari dua bagian yang dihubungkan oleh sebuah palu besi yang besar.

Yang kedua bersenjatakan golok, yang ketiga bersenjatakan pedang.

Golok Kepala Setan dan Pedang Pintu Kematian.

Ketiga senjata itu telah siap sedia, seolah-olah mereka kuatir akan melewatkan kesempatan untuk membunuh.

A Fei tiba-tiba berdiri tanpa bergerak. Ia seperti serigala kelaparan yang mencium daging segar.

Walaupun reaksinya sudah banyak berkurang dan kekuatannya sudah melemah, naluri alamiahnya belum menjadi tumpul.

Ia telah mencium bau darah.

Lim Sian-ji terkikik geli saat berkata, “Ah, ternyata Si Meteor Kembar Angin dan Hujan, Ketua Cabang Hiang Siong yang terkenal itu. Sungguh aku merasa terhormat.”

Palu meteor kembar di tangannya terayun ringan ke depan ke belakang. Ia tampak teguh dan kokoh bagaikan gunung batu. “Apakah Ketua Cabang Xiang datang atas perintah Siangkoan Kim-hong untuk membunuhku hari ini?” tanya Lim Sian-ji menantang.

“Tebakanmu memang tepat,” jawab Hiang Siong.

Lim Sian-ji mengeluh dan berkata, “Aku tidak percaya kalau Siangkoan Kim-hong ingin membunuhku sesegera ini.”

Sahut Hiang Siong, “Orang yang tidak berguna lagi, harus mati.”

“Kau salah. Ia tidak ingin membunuhku untuk alasan itu.” “Hmmm?”
“Ia ingin aku mati karena ia kuatir aku akan menemukan laki-laki lain dan menodai reputasinya.”

Hiang Siong menjawab dingin, “Perintah Siangkoan- pangcu tidak perlu penjelasan. Hanya perlu dilaksanakan.”

Lim Sian-ji melirik A Fei sekilas dan berkata, “Kalian bertiga menerobos masuk ke sini untuk membunuhku, karena kalian pikir ia tidak bisa lagi melindungi aku.”

Jawab Hiang Siong, “Dia boleh mencoba.”

“Tidak ada gunanya mencoba,” kata yang bersenjatakan golok sambil tertawa dingin. “Hmmm?”

“Kau sendiri sudah mengatakan di depan mukanya. Kau pun tidak percaya bahwa ia dapat melindungimu. Kita semua pun tahu itu. Apa gunanya mencoba?”

Lim Sian-ji tertawa dan berkata, “Benar. Bahkan saat ini, melindungi diri sendiri saja dia tidak bisa. Aku hanya akan mempersulit dia, kecuali…..”

Perlahan ia bangkit berdiri. Tubuhnya yang telanjang diterangi cahaya lentera dan melanjutkan, “Kalian pikir aku tidak dapat melindungi diriku sendiri?”

Payudaranya tegak menantang, kakinya lurus jenjang.

Di bawah cahaya lentera, kulitnya tampak putih mulus bagaikan kain sutra yang mahal.

Memang pantas ia bangga akan kemolekan tubuhnya.

Wajah A Fei berkerut kesakitan. Keringat dingin, hampir sebesar butiran kacang poLiong mulai mengalir dari dahinya.

Tangan Lim Sian-ji perlahan bergerak turun membelai tubuhnya sendiri. Dengan suara serak ia berkata, “Tidak sayangkah jika kalian bertiga membunuhku?”

Hiang Siong mengeluh dan berkata, “Ada wanita yang menggunakan tubuhnya untuk membeli barang-barang tertentu. Waktu memilih minyak wangi, atau mencoba baju baru, dan mereka tidak malu. Tapi kau sama sekali berbeda.”

“Tentu saja aku berbeda.”

“Kau jauh lebih murah hati dibandingkan mereka. Kau menggunakan tubuhmu untuk membayar hal-hal sepele. Selama hatimu senang, kau akan memuaskan nafsu pegawai rendahan yang membukakan pintu untukmu,” kata Hiang Siong.

“Apakah kau ingin minta bayaran?”

Lim Sian-ji berjalan perlahan ke arahnya dan berkata, “Mari datang dan ambillah. Kalau aku ingin membayar sedikit upah untukmu, tidak ada yang akan bilang itu terlalu sedikit.”

Hiang Siong berdiri tegak seperti sebatang pohon.

Lim Sian-ji berjalan ke hadapannya dan mulai menciumi lehernya.

Namun Hiang Siong menyerang tiba-tiba. Palunya menghantam dada Lim Sian-ji.

Tubuh Lim Sian-ji terpelanting, dan jatuh tepat di atas ranjang!

Topi bambu lepas dari kepala Hiang Siong, dan tampaklah wajahnya. Seraut wajah putih pucat, penuh kerut merut, tapi tanpa sehelai rambut atau bulu di wajahnya.

Tiba-tiba Lim Sian-ji tergelak dan berkata, “Tidak heran kaulah yang dikirim Siangkoan Kim-hong untuk membunuhku. Kau bukan lelaki, bukan juga perempuan! Kau setengah lelaki-setengah perempuan. Dasar orang aneh!”

Hiang Siong menatapnya dingin, tanpa perasaan di wajahnya. Setelah beberapa saat ia berpaling pada A Fei dan berkata, “Lebih baik kau pergi dulu.”

“Pergi?” tanya A Fei.

“Jangan bilang kau masih ingin melindungi p-e-l-a-c-u-r ini.”

A Fei menundukkan kepalanya.

“Sebaiknya kau pergi sekarang. Lebih baik kau tidak berada di sampingnya saat aku membunuh dia.”

“Kenapa?”

“Karena kau pasti ingin muntah waktu melihatnya,” jawab Hiang Siong dengan garang.

A Fei terdiam, lalu kembali menundukkan kepalanya.

Lim Sian-ji pun sudah berhenti tertawa. Saat ini, ingin tertawa pun tidak bisa lagi. Saat itulah A Fei menyerang! Naluri A Fei masih amat tajam.
Ia benar-benar memilih saat yang tepat untuk menyerang.

Sayangnya, gerakannya lambat dan tenaganya lemah.

Selarik cahaya emas berkelebat dan meteor kembar pun menyambar.

Serpihan kayu kembali beterbangan dan kaki kursi di tangan A Fei sudah hancur.

“Perintah yang kuterima adalah membunuhnya, bukan membunuhmu. Kau masih hidup karena aku tidak suka ikut campur,”kata Hiang Siong dingin.

A Fei menggenggam erat dua serpihan kayu di tangannya, bagaikan orang yang sekarat berpegangan pada harapannya yang terakhir.

Tapi harapan apakah ini?

Dulu ia adalah sang pembunuh.

Kini ia tidak bisa lagi membunuh. Bahkan di mata orang lain, ia pun tidak berharga lagi untuk dibunuh.

Ini tandanya ia tidak berguna lagi di mata orang lain. Apakah dia mati atau hidup, tidak ada bedanya. ‘Begitu sulit untuk merangkak ke atas, bergitu mudah untuk jatuh ke bawah’.

Tiba-tiba A Fei teringat saat ia pergi untuk menyelamatkan Li Sun-Hoan. Saat pertama kali ia beradu pedang dengan Hing Bu-bing….

Saat itu, tidak ada yang berani meremehkan dia. Tapi sekarang?
Kejadian itu baru beberapa hari yang lalu saja, namun rasanya seperti kenangan masa silam.

Suara Hiang Siong pun terdengar seperti datang dari kejauhan.

“Kalau mau, kau boleh tetap di sini dan menyaksikannya. Akan kuperlihatkan bagaimana seorang pembunuh membunuh orang.”

Tiba-tiba sebuah suara yang lain masuk ke dalam ruangan itu, “Dan kau adalah ahli dalam hal membunuh? Kurasa kau belum pantas disebut pembunuh!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar