Si Pisau Terbang Li Bab 72 : Sifat Dasar Manusia, Tidak Bagus Tidak Juga Jelek

 
Bab 72. Sifat Dasar Manusia, Tidak Bagus Tidak Juga Jelek

Walaupun kedua wanita ini tidak menggerakkan jari mereka sedikit pun, Lim Sian-ji dan Sun Sio-ang telah melewati dua pertarungan besar.

Ini adalah adu kecerdikan, bukan adu otot.

Lim Sian-ji telah memenangkan pertarungan yang pertama.

Ia memahami kelemahan seorang wanita, dan ia tahu bagaimana cara memanfaatkannya demi keuntungannya.

Pertarungan yang kedua jelas dimenangkan oleh Sun Sio-ang. Ia pun menang dengan cara yang sama.

Ia tahu bahwa wanita itu selalu curiga, curiga akan segala sesuatu.

Kecurigaan akan berbuah ketakutan.

Jika Sun Sio-ang adalah seorang laki-laki, ia pasti langsung membunuh Lim Sian-ji begitu saja.

Jika Lim Sian-ji adalah seorang laki-laki, apapun yang dikatakan Sun Sio-ang tidak akan digubrisnya, dan dia sudah pergi sejak lama.

Hanya karena keduanya adalah wanita, maka inilah yang terjadi.

Jika seorang wanita dan seorang pria bermaksud mengerjakan hal yang sama, apapun juga itu, cara yang mereka pilih selalu akan berbeda. Hasilnya pun akan berbeda.

Sama halnya dengan duel.

Ketika dua wanita berduel, duel itu tidak akan berlangsung berat, bertenaga dan penuh semangat seperti duel laki-laki. Duel wanita lebih kompleks, penuh gaya, dan menarik.

Karena itulah, pasti juga lebih banyak kejutan dan variasinya. Perubahan dan variasi dalam duel mereka tidak sama dengan ilmu silat. Perubahan dan variasinya lebih cepat dan lebih rumit.

Sayang sekali perubahan dan variasi ini tidak kasat mata.

Jika seseorang dapat melihat variasi yang begitu kompleks dalam pikiran seorang wanita, orang itu baru akan menyadari bahwa duel wanita jauh lebih menarik daripada duel laki-laki.

Wanita memanglah wanita, dan mereka akan selalu berbeda dari laki-laki.

Siapapun yang mengingkarinya adalah orang bodoh.

Ini adalah pemikiran yang begitu logis, juga sangat sederhana.

Anehnya, masih banyak orang di dunia ini yang belum juga memahaminya.

Sun Sio-ang terus menarik tangan Li Sun-Hoan. Lim Sian-ji mengikuti mereka dari belakang.
Kata Sun Sio-ang, “Kami punya tujuan sendiri, kau punya tujuan sendiri. Mengapa terus mengikuti kami?”

“A….Aku juga ingin menjumpai A Fei,” sahut Lim Sian-ji terbata-bata. “Buat apa kau menemuinya? Apa belum cukup kau menyakitinya?”

“Aku hanya ingin…..”

Sun Sio-ang memotong cepat, “Kami tidak akan membiarkanmu menemuinya.”

Sahut Lim Sian-ji, “Aku hanya akan melihat dari jauh. Terserah apakah dia mau menemui aku atau tidak.”

“Keputusannya ada padamu. Jika kau memang ingin mengikuti kami, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya saja….karena kaulah yang memilih untuk mengikuti kami, jangan menyesal kemudian.”

“Aku tidak pernah menyesali perbuatanku.”

Sun Sio-ang tertawa tiba-tiba dan berkata, “Lihat, bukankah tadi aku sudah bilang bahwa ia pasti akan mengikuti kita. Tebakanku selalu tepat.”

Ia berbicara pada Li Sun-Hoan.

Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Kau memang ingin dia mengikuti kita.”

“Sudah tentu.” “Kenapa?”
“Tadi aku tidak menemukan cara untuk mengatasinya. Aku hanya bisa menunggu kesempatan berikutnya. Jika ia tidak mengikuti kita, bagaimana aku bisa mendapatkan kesempatan itu?”

Kata Li Sun-Hoan, “Kau tidak perlu menunggu. Seharusnya sejak tadi kau serang saja dia. Apapun yang dikatakannya, tidak usah kau pedulikan.”

Sahut Sun Sio-ang, “Biasanya lelaki berkata ‘Janji itu harganya lebih dari segunung emas’. Apa kau pikir wanita bisa ingkar janji begitu saja seperti kentut?”

“Namun bagaimana kau bisa tahu kalau ia pasti akan mengikuti kita?”

“Karena ia ingin perLindungan kita. Ia tahu, dengan berada dekat Li Tamhoa, siapapun yang ingin membunuhnya harus berpikir dua kali.”

Sun Sio-ang tersenyum dan menambahkan, “Inilah yang disebut ‘Rubah pura-pura jadi harimau’. Atau dengan kata lain, ‘Anjing bersembunyi di belakang manusia’.”

Kata Li Sun-Hoan, “Keduanya tidak kedengaran enak di telinga.”

Kata Sun Sio-ang datar, “Jika orang memilih untuk berbuat begini, bagaimana pun tidak enak kedengarannya, dia hanya bisa mendengarkan.”

Sudah tentu, Lim Sian-ji dapat mendengar percakapan mereka.

Sun Sio-ang sengaja membiarkan dia mendengarnya. Namun Lim Sian-ji pura-pura tidak dengar. Ia pun tidak berkata apa-apa.

Seolah-olah tiba-tiba ia menjadi bisu-tuli. Tidaklah mudah berpura-pura menjadi bisu-tuli.
Tiba-tiba Sun Sio-ang mengganti pembicaraan. Katanya, “Tahukah kau apa yang terjadi di antara Liong Siau-hun dan Siangkoan Kim-hong?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Aku mendengarnya….kau dan kakekmu datang karena peristiwa itu.”

“Betul. Karena kami tahu kami bisa bertemu dengan banyak orang di sana.”

Ia menoleh, memandang Li Sun-Hoan dan berkata, “Namun yang paling utama, aku tahu bahwa kau pasti datang.”

Li Sun-Hoan balas memandangnya. Tiba-tiba rasa hangat menjalari hatinya, seolah-olah ia baru saja minum arak yang terlezat.

Sudah sangat lama ia tidak pernah merasa seperti ini.

Sun Sio-ang merasa seakan-akan berada di kahyangan saat Li Sun-Hoan memandang langsung ke bola matanya.

Lalu Li Sun-Hoan berkata, “Jika bukan karena kau dan kakekmu, mungkin aku sudah….” Sun Sio-ang memotong dengan cepat, “Siangkoan Kim- honglah yang pasti berakhir dalam peti mati itu.”

Li Sun-Hoan tertawa kecil, dan tidak melanjutkan pembicaraan ini lagi.

Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus berhadapan dengan Siangkoan Kim-hong. Namun ia tidak suka membicarakannya.

Ia tidak suka memikirkannya terlalu sering. Karena jika ia sering-sering memikirkannya, ia akan menjadi kuatir, konsentrasinya akan terbelah, dan kemungkinannya untuk menang menjadi lebih tipis lagi.

Kata Sun Sio-ang, “Waktu berhadapan dengan orang seperti Siangkoan Kim-hong, jangan pikirkan masalah kehormatan. Jika kau menyerangnya saat ia baru saja melihat mayat Siangkoan Hui, kau pasti sudah membunuhnya.”

“Belum pasti,” kata Li Sun-Hoan.

“Belum pasti? Kau pikir pikirannya tidak terpecah saat melihat anak tunggalnya sudah menjadi mayat?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Darah memang lebih kental daripada air. Siangkoan Kim-hong masih punya rasa kemanusiaan dalam dirinya.”

“Lalu mengapa kau tidak menyerangnya saat itu? Kau kan tahu ia belum tentu akan membalas rasa hormat dan keadilanmu dengan cara yang sama.” “Aku dan dia tidak dapat hidup bersama dalam dunia ini. Tentu saja tidak perlu ada rasa hormat di antara kami berdua.”

“Lalu mengapa….”

Li Sun-Hoan segera memotongnya dengan tertawa, “Aku tidak menyerangnya karena aku masih menunggu kesempatan yang baik.”

Kata Sun Sio-ang, “Namun kesempatan itu adalah kesempatan yang terbaik yang akan pernah ada.”

“Kau salah.” “Hah?”
“Walaupun pikirannya terpecah saat melihat anaknya mati, kesedihan dan kemarahan pun pasti meluap-luap dalam hatinya. Jika aku menyerangnya saat itu, ia pasti melampiaskan seluruh kesedihan dan kemarahannya padaku!”

Li Sun-Hoan mendesah dan melanjutkan lagi, “Ketika seseorang merasa sangat berduka, kekuatan mereka bukan saja akan bertambah, semangat dan keberanian mereka pun akan lebih dari biasanya. Jika saat itu Siangkoan Kim-hong balas menyerang, aku tidak yakin aku mampu menahan serangannya.”

Sun Sio-ang tersenyum padanya dan berkata, “Jadi ternyata kau tidak begitu terhormat seperti yang kupikir. Kau bisa juga main curang.” Li Sun-Hoan pun tersenyum. “Jika aku begitu terhormat dan gagah seperti yang dipikir orang-orang, aku mungkin sudah mati delapan kali.”

“Jika Siangkoan Kim-hong tahu maksudmu yang sebenarnya, ia pasti menyesal telah minum cawan arak itu bersamamu.”

“Ia tidak akan menyesal.” “Mengapa?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Karena ia mengerti maksudku yang sebenarnya.”

“Lalu mengapa ia mau minum bersamamu?”

“Ia minum bersamaku bukan untuk menghormati keadilan. Dalam pandangannya, orang yang terhormat dan orang yang adil hanyalah orang-orang tolol.”

Tanya Sun Sio-ang, “Lalu apa alasannya?”

“Karena ia tahu maksudku yang sebenarnya, ia tahu bahwa aku bukan orang tolol.”

“Ia tahu bahwa kau pun seperti dia. Kau bisa menunggu, menunggu untuk saat yang baik, menunggu kesempatan yang sempurna. Itukah sebabnya ia minum bersamamu?”

“Ya.” Kata Sun Sio-ang lagi, “Ia merasa bahwa kalian berdua sebenarnya sangat mirip, maka ia mengagumimu.
Biasanya kita mengagumi orang yang mirip dengan kita, karena jauh dalam lubuk hati kita, kita mengagumi diri kita sendiri.”

“Uraian yang sangat bagus. Aku kagum kau dapat memahami hal-hal seperti ini dalam usiamu.”

Tanya Sun Sio-ang, “Namun, benarkah antara kau dan dia ada banyak kesamaan?”

“Dalam hal-hal tertentu, ya. Namun karena kami berdua tumbuh dalam Lingkungan yang berbeda dan kami pun menjumpai orang-orang yang berbeda, mengalami peristiwa yang berbeda, kami menjadi dua pribadi yang sangat berbeda pula.”

Ia mendesah dan menambahkan, “Ada orang yang bilang bahwa sifat dasar manusia itu baik, ada yang bilang jahat. Menurutku, kita tidak dilahirkan baik atau jahat.
Siapa diri kita, dan apakah kita ini baik atau jahat, ditentukan oleh apa yang kita perbuat dalam hidup ini.”

Kata Sun Sio-ang, “Sepertinya kau bukan hanya mengerti tentang orang lain, namun kau pun mengerti mengenai dirimu sendiri dengan baik.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Bukan hal yang mudah untu mengerti diri kita sendiri seutuhnya.”

Wajahnya menjadi sedikit muram. Secercah rasa pedih dan duka terbayang di matanya. Sun Sio-ang mengeluh dan berkata, “Jika seseorang ingin memahami dirinya sendiri baik-baik, mereka harus melewati lautan kesedihan dan kesengsaraan. Benarkah begitu?”

“Betul sekali.”

“Kalau begitu, aku tidak ingin memahami diriku sendiri. Semakin aku mengerti diriku sendiri, semakin banyak duka dan derita yang harus kulalui. Jika aku tidak memahami diriku sama sekali, aku pasti adalah orang yang paling berbahagia.”

Kali ini, Li Sun-Hoanlah yang mengganti pembicaraan.

“Waktu Siangkoan Kim-hong bersulang untukku, apakah kau dan kakekmu masih di sana?”

“Tidak, kami sudah pergi. Kami mendengar ceritanya dari orang lain.”

Ia tersenyum dan melanjutkan, “Kau dan Siangkoan Kim- hong sudah menjadi orang terkenal sekarang. Apapun yang kau lakukan akan menjadi berita besar. Dalam kota ini saja, aku berani bertaruh ada ratusan ribu orang yang sedang membicarakanmu pada detik ini. Kau percaya?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Itulah sebabnya aku sangat mengagumi kakekmu. Perbuatannya seperti awan yang melayang, pikirannya seperti air yang mengalir. Ia bebas melakukan apapun yang diinginkannya dan tidak pernah dibebani oleh segudang kekuatiran. Orang semacam itu sungguh mengagumkan.” Kata Sun Sio-ang, “Ia memang bisa melihat jauh ke depan.”

Kembali Sun Sio-ang bertanya hal yang lain, “Tahukah kau siapa yang mengirim peti mati itu?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Aku tidak bisa menebak.” “Bukan orang yang membunuh Siangkoan Hui?” Sun Sio-ang tahu siapa pembunuh Siangkoan Hui.
Namun Lim Sian-ji tidak tahu. Ia diam saja selama itu, namun ia mendengarkan pembicaraan ini dengan seksama. Ia sangat berharap salah satu dari mereka akan menyebutkan siapa pembunuhnya.

Jawab Li Sun-Hoan, “Mungkin juga orang yang sama. Hanya beberapa orang saja yang tahu di mana mayat Siangkoan Hui dikuburkan.”

Tanya Sun Sio-ang, “Menurutmu, mengapa orang itu berbuat demikian?”

“Karena ia ingin menakut-nakuti Siangkoan Kim-hong.” “Orang itu juga membenci Siangkoan Kim-hong?”
Li Sun-Hoan terdiam sesaat, lalu berkata, “Mungkin saja orang itu tidak membenci Siangkoan Kim-hong. Mungkin orang itu melakukannya untuk memberi bantuan Siangkoan Kim-hong setelah ia jatuh.” “Aku tidak mengerti. Jika orang itu ingin membantu Siangkoan Kim-hong, mengapa ia harus menakut- nakutinya terlebih dahulu?”

Kata Li Sun-Hoan, “Mungkin juga orang itu ingin Siangkoan Kim-hong menyesali keputusannya.”

Sun Sio-ang mengeluh dan berkata, “Maksud hati manusia sungguh sulit dipahami, lebih rumit daripada apapun juga di muka bumi ini.”

“Betul. Pikiran manusia dan sifat dasar manusia adalah dua hal yang paling sulit dimengerti dalam hidup ini.
Lebih rumit daripada ilmu silat yang paling hebat sekalipun.”

Lalu Li Sun-Hoan menambahkan lagi, “Namun jika kau mengerti sifat dasar manusia, kau bisa mencapai puncak ilmu silat. Karena semua hal dalam dunia ini berhubungan dengan sifat dasar manusia. Demikian juga ilmu silat.”

Kalimat yang bijak ini terlalu dalam untuk dapat dimengerti sepenuhnya oleh Sun Sio-ang.

Entah ia mengerti perkataan Li Sun-Hoan atau tidak, namun ia terdiam cukup lama. Akhirnya ia berkata, “Aku tidak peduli apakah aku mengerti akan ini dan itu. Aku hanya ingin mengerti tentang dirimu.”

Matanya tertuju pada Li Sun-Hoan. Dalam tatapannya, terkandung rasa kagum dan kepercayaan yang penuh. Seakan-akan berkata bahwa Li Sun-Hoanlah satu-satunya orang tempat ia membuka hatinya lebar-lebar.

Kembali Li Sun-Hoan merasa hatinya dipenuhi kehangatan. Ia sungguh ingin membelai wajahnya yang cantik.

Namun tentu saja ia tidak melakukannya. Ia tidak bisa.
Perlahan dipalingkannya wajahnya, dan mulai terbatuk kecil.

Sun Sio-ang masih menatapnya lekat-lekat, menunggu jawabannya. Sedikit demi sedikit, harapan mulai pupus dari matanya. Katanya, “Tapi kelihatannya kau takut membiarkan orang mengerti akan dirimu. Kau terus- menerus berusaha menggagalkannya.”

“Takut? Takut apa?” tanya Li Sun-Hoan.

“Takut kalau ada orang lain yang jatuh cinta padamu.”

Dan Sun Sio-ang menambahkan, “Karena siapapun yang sungguh-sungguh memahamimu pasti akan jatuh cinta padamu. Bagimu, lebih baik orang membencimu daripada jatuh cinta padamu. Benar kan?”

Sahut Li Sun-Hoan sambil tertawa, “Jaman memang sudah berubah. Gadis-gadis muda dulu tidak pernah bicara tentang ‘cinta’.” Kata Sun Sio-ang, “Dan mungkin gadis-gadis sekarang pun tidak. Tapi aku tidak peduli di jaman apa aku dilahirkan, apakah seratus tahun yang lalu atau seribu tahun yang akan lalu. Apa yang kurasakan dalam hatiku, akan kunyatakan dengan mulutku.”

Di jaman apapun juga, pasti ada orang-orang seperti dia.

Orang-orang ini tidak takut berbicara, tidak takut bertindak, mencintai, membenci.

Mungkin karena mereka sedikit lebih maju dari jamannya, maka orang lain menganggap mereka aneh atau bahkan sedikit tidak waras.

Namun mereka tidak akan peduli. Apapun pendapat orang lain akan mereka, tidak pernah mereka pusingkan.

Malam itu malam yang berkabut.

Walaupun masih musim dingin, kabut tipis membuat seolah-olah musim semi telah tiba.

Sun Sio-ang berharap bahwa jalan berkabut ini tidak akan pernah berakhir.

Awalnya Li Sun-Hoan sangat berharap bisa segera bertemu dengan A Fei, namun kini rasanya tidak begitu mendesak lagi.

Dua tahun belakangan ini, perasaannya sungguh tertekan. Seakan-akan ada belenggu yang tidak kasat mata yang mengungkung dirinya, sampai-sampai bernafas pun terasa sulit.

Hanya beberapa hari belakangan saja, saat bersama Sun Sio-ang, ia merasa lega.

Ia mulai merasa bahwa gadis ini memahami dirinya, lebih daripada yang dapat dibayangkannya.

Jika bisa melewatkan waktu dengan seseorang yang bisa memahami diri kita, inilah waktu yang sangat berharga.

Namun Li Sun-Hoan sudah ingin lari lagi.

‘Kau lebih suka orang membencimu daripada jatuh cinta padamu. Benar kan?’

Hati Li Sun-Hoan mulai terasa perih. Bukannya ia tidak mau, tapi ia tidak bisa.
Setiap orang punya masalah emosional. Tidak ada orang lain yang bisa membuatnya dapat mengatasi masalah itu, kecuali dirinya sendiri.

Itulah problem Li Sun-Hoan. Dan itulah problem A Fei.

Apakah masalah emosional ini akan terus menghantui mereka selama-lamanya? Apakah mereka akan terus membawa kenangan pahit dalam hidup mereka sampai ke liang kubur? Tiba-tiba Sun Sio-ang berhenti mengoceh dan berkata singkat, “Sudah sampai.”

Jalan itu seakan-akan tidak berujung. Ada sebuah pondok kecil di tepi jalan. Cahaya lentera terlihat dari jendela kecil di sisi pondok itu.

Cahaya lentera itu sangat terang. Pondok sekecil itu biasanya tidak diterangi oleh lentera sebesar itu.

Sun Sio-ang menoleh ke arah Lim Sian-ji dan bertanya, “Kau pasti tahu tempat ini, bukan?”

Tentu saja dia tahu tempat itu. Itu adalah rumahnya dan A Fei.

Ia menggigit bibirnya dan mengangguk, lalu berjalan malu-malu ke sana.

Katanya, “A Fei sudah kembali ke sini?”

Tanya Sun Sio-ang, “Kau masih ingin masuk dan menjumpainya?”

“Bo….Bolehkah aku masuk?”

“Ini kan rumahmu. Jika kau ingin masuk, kau tidak perlu minta izin orang lain.”

Lim Sian-ji menundukkan kepalanya. “Tapi sekarang…..”

Sun Sio-ang tersenyum dingin. “Tapi sekarang memang tidak seperti dulu. Kau pasti tahu salah siapa.” Lalu ia melanjutkan, “Sebenarnya dulu kau bisa hidup dengan damai dan sejahtera, tapi kau tidak mau. Rumah ini tidak cukup indah untukmu, lelaki itu tidak cukup baik untukmu.”

Lim Sian-ji masih menunduk. “Aku tahu bahwa akulah yang salah. Kalau aku bisa bertahan hidup sampai sekian lama, itu karena dialah yang melindungi aku. Jika bukan karena dia, aku pasti sudah lama terbunuh.”

Tanya Sun Sio-ang dingin, “Kau pikir sekarang ia akan melindungimu seperti dulu?”

Air mata Lim Sian-ji mulai menggenang, katanya, “Aku tidak tahu, aku tidak akan menyalahkan dia….”

Lalu ia mengangkat kepalanya dan berkata dengan tegas, “Aku ingin menjumpainya dan mengatakan dua hal saja. Lalu aku akan pergi. Permintaanku tidak berlebihan, bukan? Maukah kalian berdua berjanji mengabulkannya?”

Jawab Sun Sio-ang, “Bukan aku tidak mau berjanji. Hanya saja janjimu itu sangat sulit dipercaya.”

“Jika aku tidak pergi setelah mengatakan dua kalimat itu, silakan kalian mengusirku.”

Sun Sio-ang terdiam. Ia memandang Li Sun-Hoan.

Selama itu, Li Sun-Hoan hanya berdiri tanpa suara. Air mukanya pun terlihat kosong. Namun pikirannya sungguh porak-poranda.

Kelemahannya yang utama adalah bahwa ia terlalu pemaaf. Walaupun sering kali ia merasa bahwa ia tidak seharusnya mengalah, rasa simpatinya tidak dapat terbendung.

Banyak orang tahu kelemahannya ini. Dan mereka suka memanfaatkannya.

Ia sendiripun menyadarinya, namun entah mengapa, ia tidak bisa berubah.

Walaupun seseorang menyakitinya sepuluh ribu kali, ia tetap tidak ingin menyakitinya sekali pun juga. Kadang- kadang ia tahu orang itu menipunya, namun ia tetap membiarkan dirinya ditipu.

Karena ia sungguh yakin bahwa kalau sekali saja, seseorang berkata jujur padanya, seluruh pengorbanannya ini tidak sia-sia.

Li Sun-Hoan adalah orang semacam itu. Ada yang menganggap dia pria sejati, ada yang menganggapnya tolol sekali. Tapi paling tidak, semua orang setuju, ia adalah pribadi yang unik.

Paling tidak, ia tidak menyesali perbuatannya.

Ia hampir-hampir tidak pernah membuat orang berkeringat dingin, sangat jarang membuat orang mengucurkan darah. Lebih baik keringat dan darahnya sendirilah yang terkucur. Namun hal-hal yang dilakukannya selalu membuat orang mencucurkan air mata.

Air mata kekaguman. Air mata terima kasih. Sun Sio-ang mengeluh dalam hati.
Ia tahu Li Sun-Hoan tidak akan tega menolak permintaannya. Mungkin ia tidak pernah menolak permintaan siapapun dalam hidupnya.

Kata Lim Sian-ji, “Ini adalah terakhir kali aku menemuinya. Jika ia tahu kalian berdua menghalangi aku menemuinya untuk terakhir kali, ia akan membenci kalian berdua seumur hidupnya.”

Sun Sio-ang menggigit bibirnya dan berkata, “Kau hanya akan mengatakan dua kalimat saja, bukan? Setelah selesai, kau akan segera pergi?”

“Aku tidak akan tinggal lebih lama. Akankah kubiarkan kalian mengusirku keluar? Berjanjilah padaku sekali ini saja, baru aku bisa meninggal dengan tenang.”

Li Sun-Hoan menghela nafas dan berkata, “Biarkanlah dia masuk. Dua kalimat tidak akan membahayakan dia.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar