Si Pisau Terbang Li Bab 68 : Antara Dewa dan Setan

 
Bab 68. Antara Dewa dan Setan

A Fei bangkit dan berjalan menuju ke pintu itu.

‘Bruk’. Pintu segera tertutup rapat kembali dan terdengar suara kunci diselot.

A Fei menggedor-gedor pintu itu sekuat tenaga.

Setelah beberapa saat terdengar suara dari dalam, “Siapa itu?”

“Aku,” jawab A Fei. “Siapa engkau?” “Aku adalah aku.”
Terdengar suara cekikikan di dalam. “Orang ini sudah gila.”

“Dari nada suaranya, seolah-olah ia adalah pemilik tempat ini.”

“Tapi siapa yang kenal padanya?” “Siapa yang bisa menerka orang macam apa dia? Dia kelihatan seperti habis melihat hantu.”

Suara-suara itu sudah dikenalnya. Baru semalam, suara- suara yang sama terus-menerus membisikkan kata-kata yang manis dan merayu di telinganya. Mengapa sekarang mereka berubah?

Tiba-tiba A Fei merasakan kemarahan dalam hatinya. Dalam kemarahannya, ia mendobrak pintu itu sampai terbuka.

Tujuh pasang mata yang cantik sedang menatapnya.

Semalam, ketujuh pasang mata itu tampak seperti air yang sejuk dan tenang, seperti madu yang manis.

Namun kini, rasa sejuk, tenang, dan manis itu telah menguap entah ke mana. Air itu telah membeku menjadi es.

A Fei masuk dan tersandung. Ia langsung menyambar seguci arak. Guci itu sudah kosong.

“Mana araknya?” “Tidak ada arak.” “Cepat ambilkan!”
“Kenapa? Ini bukan pabrik arak!” A Fei berjalan limbung ke arah gadis itu dan memandangnya sambil berkata, “Kalian tidak mengenali aku?”

Sepasang mata yang cantik memandangnya dingin dan menjawab, “Dan apakah kau mengenali aku? Tahukah kau siapa aku?”

A Fei jadi bingung. “Apakah semalam aku tidak di sini?”

Sebuah suara lain menjawabnya, “Ini memang tempat engkau bermalam tadi malam. Tapi kau bukan orang yang sama seperti orang yang semalam berada di sini.”

Suara yang manis itu rasanya sudah sangat dikenalnya. Seluruh tubuh A Fei mulai gemetar lagi.
Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Ia tidak ingin melihat wanita itu lagi. Ia tidak berani melihat wanita itu lagi.

Ia adalah wanita yang tidak dapat pergi dari mimpi- mimpinya. Ia sanggup mengorbankan apapun juga dengan rela hati asalkan dapat memandangnya sekejap saja.

Namun saat ini, rasanya ia lebih suka mati daripada harus melihatnya.

Wanita itu masih seperti dulu.

Namun A Fei tidak seperti yang dulu lagi! ***

Semua orang masih terdiam, segala sesuatu masih tidak bergerak.

Debu dari langit-langit perlahan-lahan melayang turun.

Apakah tertiup angin? Apakah karena suasana yang begitu mencekam di situ?

Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong melangkah maju! Dan Li Sun-Hoan tetap tidak bergerak!
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang memecahkan keheningan, “Bergerak adalah tidak bergerak. Tidak bergerak adalah bergerak. Tahukah kau apa artinya?”

Suara itu terdengar seperti suara orang tua yang bijaksana. Semua orang dalam ruangan itu dapat mendengarnya dengan jelas.

Namun tidak seorang pun tahu dari mana datangnya.

Kini terdengar suara lain sedang tertawa. Lalu katanya, “Kalau begitu, bertempur adalah tidak bertempur. Tidak bertempur adalah bertempur. Lalu apa gunanya bertempur?”

Suara ini masih sangat muda, manis dan penuh semangat Juga tidak ada seorang pun yang tahu dari mana datangnya.

Kata suara yang tua, “Mereka bertempur karena mereka tidak tahu apa inti sebenarnya dari ilmu silat itu.”

Suara gadis muda itu terdengar cekikikan sambil berkata, “Maksudmu mereka berdua sebenarnya tidak mengerti, walaupun mereka menyangka bahwa mereka mengerti segala sesuatu dengan jelas?”

Setelah dua kalimat itu diucapkan, kecuali Li Sun-Hoan dan Siangkoan Kim-hong, wajah semua orang di situ langsung berubah.

Seseorang berkata bahwa dua orang ini tidak mengerti ilmu silat.

Jika dua orang ini tidak mengerti ilmu silat, siapakah di dalam dunia ini yang dapat mengaku mengerti ilmu silat?

Kata suara yang tua lagi, “Mereka berpikir bahwa ‘senjata itu tidak berada di tangan, namun ada dalam hati’ adalah puncak tertinggi dari ilmu silat. Namun sebenarnya mereka salah besar.”

“Salah sebesar apa?” tanya suara yang muda sambil tertawa geli.

“Sedikitnya 1800 li.”

“Lalu apa sebenarnya puncak tertinggi ilmu silat itu?” Sahut suara yang tua, “Ketika tangan sudah menjadi kosong, dan hati sudah menjadi hampa. Senjata dan diri sudah menjadi satu. Jika mereka mengerti sampai di sini saja, mereka tidak akan salah terlalu jauh.”

“Tidak salah terlalu jauh? Maksudmu tingkatan itu pun belum yang tertinggi?” tanya suara yang muda kaget.

“Ya, ada yang lebih tinggi lagi. Tingkatan ilmu silat yang tertinggi adalah ketika segala sesuatu muncul dari ketiadaan. Tidak ada lagi senjata, dan tidak ada lagi diri. Senjata dan diri sudah terlupakan. Ini adalah ketiadabentukan yang sejati, kedigdayaan yang sejati.”

Saat itu, Li Sun-Hoan dan Siangkoan Kim-hong tidak berani berubah ekspresi.

Terdengar suara yang muda berkata lagi, “Setelah mendengarkan penjelasanmu, aku jadi teringat satu cerita.”

“Hmmm?”

“Ada satu cerita dalam agama Budha Zen. Ketika murid utama dari Leluhur Kelima, Shen Hsiu sedang melantunkan sebuah sajak:

‘Tubuh bagaikan pohon bodhi,
pikiran bagaikan cermin yang mengkilat. Tiap saat kita menjaganya tetap bersih Dan tidak sedikit pun ternoda debu’

Ini adalah tingkat pencerahan yang sangat tinggi.” “Ya, ini sama seperti mengatakan ‘senjata itu tidak berada di tangan, namun dalam hati’. Untuk sampai ke tingkat inipun bukan hal yang mudah.”

“Namun kemudian Leluhur Keenam Hui Neng menjawab dengan sajak yang lebih mendalam lagi:

‘Tidak ada pohon bodhi, tidak ada cermin yang mengkilat.
Tidak ada sesuatu pun dan tidak akan ada apa pun. Lalu di manakah debu akan menodai?’

Oleh sebab itulah ia menjadi tokoh agama Budha Zen yang paling dihormati.”

“Betul sekali. Itulah tingkat pencerahan yang tertinggi. Jika seseorang sudah mencapai tingkat itu, orang itu adalah sahabat para dewa.”

“Kalau begitu, teori yang baru saja kau ajarkan padaku sebenarnya adalah ajaran agama Budha Zen?” tanya suara yang muda

“Dalam segala hal di dunia ini, ketika seseorang mencapai tingkat yang tertinggi, teori satu sama lain tidaklah jauh berbeda,” jawab suara yang tua.

“Jadi dalam segala perbuatan, kita harus selalu menuju pada ‘Tanpa benda, tanpa diri’. Hanya dengan begitu kita dapat mencapai puncak kesempurnaan.”

“Tepat sekali.” “Akhirnya aku mengerti!” seru suara yang muda dengan gembira.

“Sayang sekali ada orang-orang yang setelah mencapai tingkat ‘senjata itu tidak berada di tangan, namun dalam hati’ saja sudah menjadi senang luar biasa dan sombong. Sayang sekali mereka tidak menyadari bahwa itu hanyalah kulit luar dari sesuatu yang jauh lebih indah dan mendalam.”

“Jadi kalau orang di tingkat itu sudah merasa berada di puncak, mereka tidak akan mungkin maju lebih jauh,” kata suara yang muda.

“Betul sekali.”

Saat itu, baik Li Sun-Hoan maupun Siangkoan Kim-hong berkeringat dingin pun tidak berani.

Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong berkata, “Tuan Sun yang Terhormat?”

Tidak ada jawaban.

Kata Siangkoan Kim-hong lagi, “Jika Tuan Sun sudah datang, mengapa tidak memperlihatkan diri?”

Masih tetap tidak ada jawaban.

Angin bertiup masuk dari jendela, dan tirai di sisi yang lain pun menjadi tegak. Jika Li Sun-Hoan dan Siangkoan Kim-hong ingin bertempur, tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat menghalangi mereka.

Namun percakapan orang tua dan orang muda tadi telah menyedot seluruh rasa persaingan yang begitu tebal dalam ruangan itu tadi.

Mereka berdua masih saling berhadapan. Keduanya masih berdiri dengan cara yang sama. Namun kini semua orang lain dalam ruangan itu dapat bernafas dengan lega. Suasana mencekam yang merundung ruangan itu kini telah lenyap.

Li Sun-Hoan menghela nafas panjang dan berkata, “Naga hanya menunjukkan kepalanya, tidak menunjukkan ekornya. Sudah tentu Tuan Sun ada di antara kita.”

Kata Siangkoan Kim-hong dingin, “Semua orang bisa menyombongkan teori mereka. Pertanyaannya adalah bisakah mereka mendukung teori mereka dengan perbuatan nyata?”

Sahut Li Sun-Hoan sambil tertawa, “Mengemukakan teori seperti itu pun bukan pekerjaan mudah.”

Sebelum kalimatnya selesai, terdengar suara ribut-ribut di luar.

Empat orang menggotong sebuah peti mati masuk ke dalam pekarangan. Peti mati itu masih baru. Catnya pun seolah-olah masih basah.

Keempat orang itu membawa peti mati itu masuk ke dalam ruang perjamuan.

Seorang penjaga berjubah kuning berjalan menghampiri mereka dan berkata, “Kalian salah alamat. Cepat pergi sekarang juga!”

Salah seorang dari penggotong peti mati itu bertanya, “Apakah di sini ada Tuan Siangkoan?”

“Apa urusanmu dengan Tuan Siangkoan?” tanya si penjaga tajam.

“Kalau begitu kami tidak salah alamat. Peti mati ini adalah untuk Tuan Siangkoan.”

Si penjaga melotot dengan garang. Bentaknya, “Jika kalian mau cari gara-gara, kurasa peti mati ini lebih cocok untuk kalian berempat.”

Jawab si penggotong peti, “Peti mati ini terbuat dari kayu Nanmu yang sangat mahal harganya. Kami tidak pantas dikuburkan dengan peti mati seperti ini.”

Tinju si penjaga sudah hampir melayang ke wajah si penggotong peti.

Siangkoan Kim-hong tiba-tiba menyela, “Siapa yang menyuruh kalian membawa peti mati itu kemari?” Saat si penjaga mendengar suara itu, tinjunya berhenti di udara.

Si penggotong peti kini terlihat sangat ketakutan. Katanya dengan terbata-bata, “Ada seorang Tuan Sung yang memberikan empat tail perak kepada kami dan menyuruh kami mengantarkan peti mati ini ke sini. Ia secara khusus memesan pada kami untuk menyerahkannya kepada Tuan Siangkoan.”

“Tuan bershe Sung? Orangnya seperti apa?” tanya Siangkoan Kim-hong.

Jawab seseorang, “Seorang laki-laki tidak terlalu tua, tidak muda juga. Ia sangat murah hati, tapi sayang kami tidak melihat wajahnya.”

Tambah seorang yang lain, “Ia datang lewat tengah malam kemarin. Waktu datang, ia langsung meniup lilin sampai mati, sehingga kami sama sekali tidak dapat melihat wajahnya.”

Siangkoan Kim-hong menundukkan kepalanya dan berpikir keras. Ia tidak menanyai keempat orang itu lebih lanjut.

Ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan keterangan apapun dari mereka.

“Peti mati ini kelihatannya cukup berat…. mungkin ada seseorang di dalamnya,” kata salah seorang dari mereka.

Kata Siangkoan Kim-hong, “Buka peti ini.” Tutupnya belum dipakukan, jadi bisa dibuka dengan mudah.

Baru saat itu, wajah Siangkoan Kim-hong berubah total.

Wajahnya masih tetap kosong. Bahkan alis dan bibirnya pun tidak bergerak.

Namun air mukanya sudah berubah.

Begitu berubah, sampai-sampai ia terlihat seperti orang lain. Seperti seseorang yang sedang mengenakan topeng.

Ia tidak ingin seorang pun melihat wajahnya saat itu.

Ada begitu banyak orang di dunia ini yang mengenakan topeng seperti itu. Biasanya tidak akan kelihatan, namun di saat-saat genting, topeng itu akan terlihat nyata.

Ada yang mengenakannya untuk menutupi kesedihan, ada yang untuk menutupi kemarahan, memaksakan seulas senyum, atau menghadapi suasana yang menekan.

Dan ada pula yang mengenakannya untuk menutupi rasa takutnya!

Apa alasan Siangkoan Kim-hong mengenakannya? Memang betul ada mayat dalam peti mati itu! Mayat itu tidak lain adalah mayat anak Siangkoan Kim- hong satu-satunya, Siangkoan Hui!

Waktu Siangkoan Hui terbunuh, Li Sun-Hoan menyaksikannya.

Ia tidak hanya menyaksikan Hing Bu-bing membunuh Siangkoan Hui, ia pun melihat Hing Bu-bing menguburkannya.

Bagaimana mayat ini bisa ada di sini sekarang? Siapa yang menggali kuburannya?
Siapa yang mengirimkannya ke sini? Untuk apa?

Mata Li Sun-Hoan mengejap beberapa kali. Ia berpikir keras.

Topeng di wajah Siangkoan Kim-hong seolah-olah makin lama makin tebal. Ia terdiam beberapa saat, lalu menoleh ke arah Li Sun-Hoan.

“Apakah kau pernah melihat orang ini?” “Ya.”
“Apa pendapatmu saat melihatnya sekarang?”

Mayat itu terlihat sudah dibersihkan dengan seksama. Sama sekali tidak terlihat bahwa mayat itu digali dari kuburannya. Ia pun mengenakan jubah yang baru, tidak ada setitik debu pun, sebercak darah pun yang mengotorinya.

Hanya terlihat satu luka.

Luka itu di lehernya. Luka tusukan yang dalamnya tujuh per sepuluh bagian.

Kata Li Sun-Hoan, “Kurasa……ia tidak merasa sakit dalam kematiannya.”

“Maksudmu, kematiannya sangat cepat?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Kematian itu sendiri tidak menyakitkan. Yang menyakitkan adalah saat menunggu kematian datang. Tapi aku yakin ia tidak mengalaminya.”

Wajah Siangkoan Hui terlihat begitu damai, seolah-olah ia hanya tertidur.

Seseorang telah berhasil menghapus wajah ketakutannya sewaktu ia terbunuh.

Walaupun Siangkoan Kim-hong mengenakan topeng di wajahnya, topeng itu tidak dapat menyembunyikan matanya.

Matanya menyala karena marah. Dan mata itu tertuju pada Li Sun-Hoan.

Kata Siangkoan Kim-hong, “Orang yang dapat membunuh dia begitu cepat jumlahnya sangat sedikit.” Jawab Li Sun-Hoan, “Memang sangat sedikit. Mungkin tidak lebih dari lima.”

“Dan kau adalah salah satunya.”

Li Sun-Hoan mengangguk dan berkata, “Benar, aku adalah salah satunya. Demikian juga engkau.”

Tanya Siangkoan Kim-hong, “Dan mengapa aku membunuhnya?”

“Tentu saja kau tidak membunuhnya. Aku hanya ingin kau menyadari bahwa orang yang bisa membunuhnya, belum tentu adalah orang yang ingin membunuhnya. Dan orang yang membunuhnya, belum tentu adalah orang yang dikategorikan bisa membunuhnya.”

Tambah Li Sun-Hoan, “Ada hal-hal yang terjadi di dunia ini yang tidak dapat kita kendalikan, yang tidak pernah kita sangka akan terjadi.”

Kini Siangkoan Kim-hong tidak berbicara lagi. Namun matanya terus memandang Li Sun-Hoan.

Tatapan Li Sun-Hoan menjadi lembut, bahkan hampir memancarkan rasa simpati. Sepertinya ia telah berhasil menembus topeng Siangkoan Kim-hong dan melihat kekagetan dan kesedihan hatinya yang begitu dalam.

Biasanya Siangkoan Kim-honglah yang menyiksa dan mengancam orang lain. Kini ia berada di pihak yang kalah, walaupun ia tidak tahu dari siapa.

Darah lebih kental daripada air. Anak tetap adalah anak.

Siapapun juga dia, rasa sedih kehilangan anak bukan rasa sedih biasa.

Siangkoan Kim-hong terlihat agak gelisah. Perilakunya yang dingin dan tidak berperasaan itu sedikit demi sedikit pudar.

Rasa simpati dalam tatapan Li Sun-Hoan terasa bagaikan palu godam yang sedikit demi sedikit mengikis topeng besi di wajah Siangkoan Kim-hong.

Ia tidak dapat menahan diri lagi dan tiba-tiba berteriak, “Pertempuran antara kau dan aku sudah tidak dapat dihindarkan lagi.”

Li Sun-Hoan mengangguk mengiakan. “Memang tidak terhindarkan.”

“Sekarang…,” kata Siangkoan Kim-hong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar