Si Pisau Terbang Li Bab 65 : Manipulasi

 
Bab 65. Manipulasi

Tanya A Fei, “Penyelamat?” Jawab Lim Sian-ji, “Lu Hong-sian telah……memaksaku, menyiksaku. Aku ingin mati, tapi tidak dapat. Jika bukan karena dia, aku tidak tahu apa yang…..” Air matapun membasahi wajahnya.

A Fei sungguh terkejut.

Lim Sian-ji masih terisak-isak waktu berkata, “Aku berharap kau dapat membalas kebaikannya, tapi sekarang kau malah…..”

Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong menyela, “Membunuh seseorang juga bisa menjadi salah satu cara untuk membalas budi.”

Lim Sian-ji menoleh dan bertanya, “Kau….kau ingin dia membunuh seseorang untukmu?”

Jawab Siangkoan Kim-hong, “Karena ia berhutang satu nyawa padaku, mengapa tidak membiarkannya membalas dengan satu nyawa lain?”

Kata Lim Sian-ji, “Tapi akulah yang kau selamatkan, bukan dia.”

“Hutangmu adalah hutangnya. Benar kan?” tanya Siangkoan Kim-hong pada A Fei.

Lim Sian-ji memandang wajah A Fei.

A Fei mengertakkan giginya dan menjawab, “Aku akan membayar lunas hutangnya!” Tanya Siangkoan Kim-hong, “Pernahkah kau berhutang?” Jawab A Fei tegas, “Tidak pernah!”
Siangkoan Kim-hong tersenyum kecil. “Dengan nyawa siapa kau akan membayarnya?”

Jawab A Fei, “Siapa saja yang kau inginkan, kecuali satu orang.”

“Satu orang siapa?” “Li Sun-Hoan.”
Siangkoan Kim-hong tersenyum mengejek. “Apakah kau takut padanya?”

Mata A Fei penuh dengan kesedihan saat menjawab, “Aku tidak akan membunuhnya, karena aku berhutang padanya lebih banyak lagi.”

Siangkoan Kim-hong tertawa, katanya, “Baik. Kalau kau mengingat hutangmu padanya, kaupun akan mengingat hutangmu padaku.”

Tanya A Fei datar, “Nyawa siapa yang kau inginkan?”

Perlahan-lahan Siangkoan Kim-hong memutar badannya dan berkata, “Ikut aku.”

Hari mulai gelap. A Fei tidak menggandeng tangan Lim Sian-ji karena ia merasakan kegalauan dalam hatinya. Hanya saja ia tidak tahu apa yang mengganggu perasaannya.

Siangkoan Kim-hong yang berjalan di depan tidak pernah menoleh.

Namun, entah bagaimana A Fei merasa bahwa Siangkoan Kim-hong sedang mengawasinya sepanjang waktu. Ia merasakan tekanan yang begitu kuat mengganduli hatinya.

Semakin jauh mereka berjalan, semakin berat tekanan itu.

Bintang-bintang mulai bermunculan di langit malam. Padang luas itu bagaikan kehampaan yang tidak terbatas. Suara anginpun tidak terdengar lagi.

Tidak ada secuilpun suara yang terdengar. Bahkan serangga yang biasanya berdengung dengan giat di malam musim gugur pun tidak bersuara.

Seakan-akan satu-satunya suara di alam semesta ini adalah suara langkah kaki mereka.

A Fei baru menyadari bahwa langkahnya yang biasanya tidak terdengar kini bersuara. Terlebih lagi, suaranya seirama dengan suara langkah Siangkoan Kim-hong. Satu setelah yang lain, membuat langkah-langkah mereka melebur menjadi suatu ritme yang aneh.

Seekor jangkrik yang baru saja melompat dari rumput kering dekat situ seakan-akan ketakutan mendengar ritme langkah mereka, dan melompat balik ke dalam rerumputan itu. Bahkan derap langkah mereka mengandung hawa membunuh.

Apa yang menyebabkannya?

A Fei tidak pernah bersuara saat berjalan. Tapi mengapa tiba-tiba kakinya terasa amat berat?

Apa penyebabnya?

A Fei memandang ke bawah dan baru tahu apa sebabnya. Langkahnya tepat jatuh di antara dua langkah Siangkoan Kim-hong.

Waktu ia melangkah, Siangkoan Kim-hong akan melangkah yang kedua. Waktu ia melangkah ketiga, Siangkoan Kim-hong akan melangkah yang keempat. Tiap langkah sangat teratur dan tanpa cela.

Jika ia mempercepat langkahnya, Siangkoan Kim-hong pun akan mempercepat langkahnya. Jika ia memperlambat, Siangkoan Kim-hong pun akan memperlambat.

Dari semula, Siangkoan Kim-honglah yang mengkoordinasi langkah mereka.

Namun kini, ia baru menyadari bahwa waktu Siangkoan Kim-hong mempercepat langkahnya, secara otomatis kaki A Fei pun akan mempercepat langkahnya juga.
Waktu Siangkoan Kim-hong memperlambat langkahnya, kaki A Fei akan memperlambat langkahnya. Seolah-olah Siangkoan Kim-hong mengendalikan gerakan kakinya dan ia tidak mampu melepaskan diri dari kendalinya!

A Fei mulai berkeringat dingin.

Namun entah mengapa, ia merasa bahwa berjalan seperti ini terasa menenangkan. Ia merasa tiap inci otot- ototnya menjadi rileks.

Seakan-akan seluruh jiwa dan raganya terhipnotis oleh ritme langkah ini.

Derap langkah ini dapat menggetarkan sukma manusia.

Lama-kelamaan, Lim Sian-ji pun merasakannya. Matanya yang indah itu menjadi awas dan waspada, memancarkan kekejaman.

A Fei adalah miliknya.

Hanya dia yang boleh mengendalikan A Fei.

Ia tidak akan pernah membiarkan siapapun merampas A Fei dari genggamannya!

Matahari sudah mulai condong ke barat. Malam akan segera tiba. Bintang-bintang akan segera menghiasi langit malam….

*** Hing Bu-bing masih berdiri di situ. Masih berdiri di tempat yang sama tempat jejaknya yang terakhir.

Tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Pandangan matanya pun tidak berganti. Namun bayangan Siangkoan Kim-hong yang tadi nampak di atas tanah sudah menghilang untuk selamanya.

Tapi kini, sosok Siangkoan Kim-hong tiba-tiba muncul kembali.

Mula-mula Hing Bu-bing melihat pucuk topi bambunya, lalu jubah kuningnya, lalu pedangnya yang berkilauan diterpa cahaya bulan.

Lalu ia melihat A Fei.

Jika seseorang melihat mereka sepintas saja dari kejauhan, pasti mereka mengira Hing Bu-binglah yang berjalan bersama Siangkoan Kim-hong, karena irama langkah mereka begitu unik dan serasi.

Siapa sangka kini A Fei telah mengambil posisi Hing Bu- bing?

Mata Hing Bu-bing kelihatan lebih gelap daripada abu. Sangat gelap, sampai cahaya bulan dan bintang- bintangpun kelihatan redup. Kegelapan yang dapat menyedot fajar yang akan tiba menjadi suatu kehampaan, kesia-siaan hidup; yang membuat ‘kematian’ pun menjadi tidak berarti apa-apa.

Kehampaan total. Ekspresi wajahnya lebih kosong lagi daripada sorot matanya.

Siangkoan Kim-hong berjalan mendekatinya dan berhenti tepat di hadapannya.

Langkah A Fei pun berhenti.

Tatapan Siangkoan Kim-hong terfokus pada sesuatu di kejauhan. Tidak sedikitpun ia melirik Hing Bu-bing. Tiba- tiba tangannya terulur ke arah pinggang Hing Bu-bing dan diambilnya pedang Hing Bu-bing.

Katanya dingin, “Kau tidak akan bisa lagi menggunakan pedang ini.”

“Ya,” jawab Hing Bu-bing pendek.

Suaranya pun mengandung kehampaan. Bahkan dirinya sendiri pun tidak yakin bahwa perkataan itu keluar dari mulutnya.

Siangkoan Kim-hong masih memegang pedang baja biru itu di antara jemarinya. Ia menyerahkan gagang pedang itu pada Hing Bu-bing. Katanya, “Pedang ini untukmu.”

Perlahan-lahan tangan Hing Bu-bing terulur untuk menerimanya.

Kata Siangkoan Kim-hong lagi, “Pedang apapun sekarang tidak ada bedanya bagimu.” Walaupun ia begitu dekat dengan Hing Bu-bing, tidak sekalipun Hing Bu-bing dipandangnya.

A Fei pun berada dekat situ dan ia pun tidak memandang Hing Bu-bing sama sekali.

Lim Sian-ji tersenyum nakal padanya dan berkata, “Apakah matipun jadi begitu sulit?”

Segumpal awan melayang menutupi langit.

Tiba-tiba suara guntur menggelegar memecahkan kesunyian dan hujan pun turun.

Hing Bu-bing tetap tidak bergerak, dan berdiri mematung dalam hujan.

Kini badannya sudah basah kuyup. Titik-titik air mengumpul di sudut matanya. Apakah itu air hujan? Atau air mata?

Namun bagaimana mungkin Hing Bu-bing bisa meneteskan air mata?

Orang yang tidak pernah mengucurkan air mata, biasanya hanya mengucurkan darah!

Pedang itu. Setipis kertas dan setajam belati.

Cahaya pelita tampak tenang. Terlihat kilatan pedang. Kilatan biru.

*** Jendela itu tertutup rapat. Hujan begitu lebat di luar. Hawa dalam rumah sangat sejuk.

Di bawah cahaya pelita yang tenang A Fei dapat meneliti pedang itu. Matanya terpaku sangat lama pada pedang itu.

Siangkoan Kim-hong menatapnya lekat-lekat dan bertanya, “Apa pendapatmu tentang pedang ini?”

“Bagus. Sangat bagus.”

“Dibandingkan dengan yang biasanya kau gunakan?” “Terasa lebih ringan.”
Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong merebut pedang itu dengan dua jarinya dan membengkokkan ujungnya, sampai menyentuh badan pedang, sehingga membentuk Lingkaran. Terdengar bunyi ‘Wung’ yang keras.

Suaranya seperti naga mengaum.

Mata A Fei yang dingin menjadi tertarik.

Siangkoan tersenyum dan bertanya, “Dalam hal ini, bagaimana jika dibandingkan dengan pedangmu?”

“Pedangku akan patah jika dibengkokkan seperti itu.”

Lalu Siangkoan Kim-hong melepaskan jarinya dan pedang itu pun melesat kembali. Cawan teh yang berada di atas meja terbelah menjadi dua, seakan-akan terbuat dari kayu yang sudah lapuk.

A Fei tidak dapat menahan rasa kagumnya dan berseru, “Pedang yang luar biasa!”

Siangkoan Kim-hong menjelaskan, “Memang pedang yang sangat baik. Sangat ringan dan tidak tumpul.
Sangat ringan tapi tidak ringkih. Kuat dan sangat fleksibel. Walaupun terlihat biasa dan tidak menarik, pedang ini adalah karya agung seorang ahli pembuat pedang nomor satu di dunia, Tuan Gu. Dan lagi, pedang ini khusus dibuat untuk mengakomodasi gaya permainan pedang Hing Bu-bing.”

Sambung Siangkoan Kim-hong sambil tertawa, “Memang pedang ini sangat mirip dengan Hing Bu-bing, bukan?”

Sahut A Fei, “Sangat mirip.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Walaupun serangan Hing Bu- bing sangat kejam dan mematikan, seranganmu lebih tepat dan akurat. Karena kau jauh lebih sabar dari dia.
Mungkin pedang ini lebih cocok untukmu.”

A Fei terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Pedang ini bukan pedangku.”

Sahut Siangkoan Kim-hong, “Pedang tidak punya pemilik khusus. Siapa pun yang bisa, dapat menggunakannya.” Ia meletakkan pedang itu ke samping A Fei dan dengan sorot mata sinis ia berkata, “Dan kini, pedang ini sudah menjadi milikmu.”

Kembali A Fei terdiam lama. Kata-kata yang keluar dari mulutnya masih sama. “Ini bukan pedangku.”

“Dengan pedang ini, pedang manapun juga bisa menjadi milikmu. Dengan pedang ini, kau dapat membunuh siapapun juga.”

Lalu dengan tersenyum ia menambahkan, “Bahkan kau dapat membunuhku.”

Kali ini A Fei diam saja.

Lanjut Siangkoan Kim-hong, “Kau berhutang padaku. Kau harus membunuh untukku. Maka aku memberikan senjatanya kepadamu. Cukup adil, bukan?”

A Fei mengulurkan tangannya dan mengambil pedang itu.

Kata Siangkoan Kim-hong, “Bagus! Bagus sekali! Dengan pedang ini, hutangmu dapat terbayar lunas besok.”

“Siapa yang kau ingin aku bunuh?”

“Jangan kuatir. Aku tidak akan menyuruhmu membunuh seorang sahabat….”

Sebelum kalimatnya selesai, Siangkoan Kim-hong sudah keluar dari ruangan itu dan menutup pintu. Mereka dapat mendengar suaranya di luar. “Kedua orang dalam kamar ini adalah tamu-tamuku. Sebelum tiba besok pagi, jangan biarkan siapapun mengganggu mereka.”

Kini hanya A Fei dan Lim Sian-ji yang berada di kamar itu.

Lim Sian-ji dari tadi hanya duduk tenang, tidak mengangkat kepalanya sama sekali.

Ketika Siangkoan Kim-hong masih berada di sana, ia pun tidak melirik sedikitpun pada Lim Sian-ji.

Selama itu, ia pun tidak berbicara. Hanya sewaktu A Fei mengulurkan tangannya untuk mengambil pedang itu, mulutnya tampak bergerak sedikit, seakan-akan ingin mengatakan sesuatu, namun tidak jadi.

Kini setelah tingga mereka berdua di sana, barulah ia bicara, “Apakah kau benar-benar akan membunuh untuk dia?”

A Fei mendesah. “Aku berhutang padanya, dan aku sudah berjanji padanya.”

“Tahukah kau siapa yang harus kau bunuh?” “Ia belum bilang.”
“Apakah kau belum bisa menerka?”

A Fei balik bertanya, “Apakah kau sudah tahu?” Sahut Lim Sian-ji, “Jika tebakanku benar, orang itu adalah Liong Siau-hun.”

“Liong Siau-hun? Mengapa?”

Lim Sian-ji tersenyum dan menjawab, “Karena Liong Siau-hun bermaksud untuk memanfaatkan dia. Tapi ia tidak akan membiarkan orang memanfaatkannya. Hanya dialah yang boleh memanfaatkan orang lain.”

“Liong Siau-hun seharusnya sudah dibunuh dari dulu.” “Tapi sebaiknya kau tidak melakukannya.”
“Kenapa?”

Lim Sian-ji tidak menjawab, malah balik bertanya, “Tahukah kau mengapa Siangkoan Kim-hong menyuruhmu membunuh Liong Siau-hun, dan tidak melakukannya sendiri?”

“Lebih mudah menyuruh orang lain daripada melakukannya sendiri.”

“Namun jika Siangkoan Kim-hong menginginkan kematian Liong Siau-hun, itu bukan hal yang sulit. Lagi pula, pesilat tangguh dalam Kim-ci-pang jumlahnya tidak sedikit. Jangankan seorang Liong Siau-hun, seratus atau seribu Liong Siau-hun pun tidak sulit dibasmi. Jika Siangkoan Kim-hong tidak ingin membunuhnya dengan tangannya sendiri, ia cukup mengucapkannya dan semua bawahannya siap melakukannya.” Tanya A Fei, “Jadi tahukah kau maksud sesungguhnya?”

“Sudah pasti aku tahu….dua hari lagi adalah tanggal satu.”

“Ada apa dengan tanggal satu?”

Jawab Lim Sian-ji, “Semua orang dalam dunia persilatan tahu bahwa pada tanggal satu, Liong Siau-hun dan Siangkoan Kim-hong akan mengangkat persaudaraan.”

A Fei tercengang. “Apakah mata Siangkoan Kim-hong sudah lamur?”

“Sudah tentu ia tidak ingin menjadi saudara angkat Liong Siau-hun. Namun ia pun tidak ingin orang menganggapnya sebagai orang yang tidak pegang janji. Jadi satu-satunya jalan adalah dengan membunuh Liong Siau-hun.”

Lim Sian-ji tersenyum sambil menambahkan, “Orang mati kan tidak bisa menjadi saudara angkat orang hidup.”

A Fei terdiam.

Kata Lim Sian-ji lagi, “Tapi karena mereka sudah menyebarkan pemberitahuan bahwa mereka akan mengangkat persaudaraan, Siangkoan Kim-hong tidak dapat turun tangan padanya lagi. Ia pun tidak dapat menyuruh bawahannya untuk membereskannya. Maka ia harus menggunakan tanganmu.” Tambahnya lagi sambil tersenyum lebar, “Lagi pula, kau memang orang yang paling cocok untuk membunuh Liong Siau-hun.”

Tanya A Fei, “Kenapa?”

“Karena kau sama sekali tidak terkait dengan Kim-ci- pang. Dan juga karena Li Sun-Hoan adalah sahabatmu. Semua orang tahu Liong Siau-hun pernah mengkhianati Li Sun-Hoan.”

Lim Sian-ji menghela nafas panjang dan melanjutkan, “Oleh sebab itu, jika kau membunuh Liong Siau-hun, semua orang akan menyangka bahwa kau membunuhnya demi Li Sun-Hoan. Tidak ada yang akan tahu bahwa ini semua dirancang oleh Siangkoan Kim- hong.”

Kata A Fei dingin, “Walaupun bukan demi siapapun juga, aku tidak ingin membiarkan orang semacam itu hidup lebih lama di dunia ini.”

“Akan tetapi, setelah kau membunuh Liong Siau-hun, Siangkoan Kim-hong akan membunuhmu.”

A Fei terdiam.

Lanjut Lim Sian-ji, “Ia akan membunuhmu bukan saja untuk menutup mulutmu, tapi ia akan membunuhmu supaya semua orang mengira bahwa ia melakukannya sebagai pembalasan kematian saudara angkatnya. Dan semua orang akan memuji perbuatannya.” Mata A Fei beralih ke arah pedang di tangannya.

Kata Lim Sian-ji, “Ilmu silat Siangkoan Kim-hong sangat dalam dan hebat, kau….kau tidak berpikir untuk…..”

I tidak menyelesaikan perkataannya. Ia menghambur ke dalam pelukan A Fei dan berbisik perlahan, “Ia tidak ada di sini. Mari kita melarikan diri saja.”

“Melarikan diri?”

“Aku tahu bahwa kau tidak pernah melarikan diri dari apapun juga. Tapi kali ini, hanya sekali ini saja, bisakah kau melakukannya demi aku?”

“Tidak,” jawab A Fei datar.

“Tidak juga demi aku?” Suara Lim Sian-ji menjadi sangat lembut, dan air mata mulai mengalir dari matanya.

Ia telah menggunakan senjatanya yang paling mematikan.

A Fei tidak memandangnya. Matanya memandang ke kejauhan. Ia menjawab perlahan, “Demi dirimulah, aku tidak dapat melakukannya.”

“Kenapa?”

“Demi dirimu, aku tidak akan menjadi pengecut dan ingkar janji.”

“Ta…tapi….” Lim Sian-ji meringkuk di dada A Fei dan menangis tersedu-sedu.

Katanya, “Aku tidak peduli apakah kau seorang pengecut atau pemberani. Kau adalah orang yang kucintai, dan aku hanya ingin kau tetap hidup dan berada di sisiku.”

Wajah A Fei yang tegang kembali melemah. Katanya dengan lembut, “Bukankah aku ada di sisimu sekarang?”

Lim Sian-ji terus menangis. “Kadang-kadang aku tidak mengerti jalan pikiranmu.”

“Jalan pikiranku sangat sederhana, dan tidak akan pernah berubah.”

Memang semakin sederhana pikiran manusia, ia pun semakin teguh dan tidak mudah berubah.

Lim Sian-ji menatapnya dengan air mata berLimang- Limang. “Apakah prinsipmu tidak akan pernah berubah?”

“Tidak akan.”

Jawabannya pun sangat sederhana.

Lim Sian-ji bangkit dan perlahan-lahan berjalan menuju ke jendela. Tidak ada sedikit pun suara yang terdengar di luar. Bahkan tidak terdengar suara dengung serangga ataupun kicau burung. Mahluk hidup apapun yang datang ke tempat ini tiba-tiba merasa bahwa hidup ini sungguh sia-sia. Satu-satunya yang pati di tempat ini adalah rasa ‘kematian’. Berdiri atau duduk. Di luar atau di dalam. Perasaan itu terus membuntutimu.

Setelah sekian lama, akhirnya Lim Sian-ji mendesah dan berkata, “Aku baru menyadari bahwa hubunganmu dengan Li Sun-Hoan sangat mirip dengan hubungan Siangkoan Kim-hong dengan Hing Bu-bing.”

“Hmm?”

“Tujuan hidup Hing Bu-bing adalah mengikuti perintah Siangkoan Kim-hong. Maka sudah tentu Siangkoan Kim- hong memperlakukannya dengan baik, sampai hari ini…..”

Senyum pahit terbayang di wajahnya saat ia melanjutkan, “Kini, Hing Bu-bing tidak berguna lagi, sehingga Siangkoan Kim-hong mengusirnya begitu saja seperti seekor anjing liar. Kurasa, ia tidak pernah menyangka bahwa semua akan berakhir seperti ini.”

Kata A Fei, “Seharusnya ia sudah menyadari sejak lama.”

“Kalau ia sudah menyadarinya, apakah ia akan terus melakukannya?”

“Ia melakukannya karena tidak ada pilihan lain.”

Tanya Lim Sian-ji tajam, “Lalu bagaimana dengan engkau?”

A Fei kembali terdiam. Kata Lim Sian-ji, “Li Sun-Hoan memperlakukanmu dengan baik karena kaulah satu-satunya orang di dunia ini yang dapat membantunya. Tanpa dirimu, ia sebatang kara. Tapi jika kau sudah tidak berguna lagi baginya, tidakkah iapun akan memperlakukanmu sama seperti Siangkoan Kim-hong memperlakukan Hing Bu-bing?”

Tidak terdengar suara apapun sampai lama. Lalu A Fei tiba-tiba berkata, “Lihatlah ke sini.”

Ia berkata dengan perlahan namun tegas.

Ia tidak pernah bicara seperti ini terhadap Lim Sian-ji sebelumnya.

Tangan Lim Sian-ji yang masih memegang daun jendela mempererat pegangannya.

Tanyanya, “Untuk apa?”

“Karena aku ingin menjelaskan dua hal kepadamu.”

“Aku dapat mendengar dengan baik dari sini.”

“Karena aku ingin kau melihat mataku. Ada perkataan yang harus kau dengarkan dengan telingamu dan kau lihat dengan matamu. Kalau tidak, kau tidak akan mengerti artinya.”

Ia mempererat pegangannya lagi, tapi akhirnya ia menolehkan wajahnya. Setelah ia melihat sorot mata A Fei, ia langsung mengerti apa maksudnya.

Matanya sudah berubah menjadi sama seperti mata Siangkoan Kim-hong.

Jika sorot mata seseorang terlihat seperti ini, artinya apapun yang dikatakan orang itu harus didengarkan baik-baik dan dipatuhi dengan seksama.

Kalau tidak, kau pasti akan menyesal!

Pada saat itulah Lim Sian-ji tahu bahwa ia salah.

Ia mengira bahwa A Fei sepenuhnya berada di dalam kendalinya, bahwa A Fei akan memenuhi semua permintaannya. Baru sekarang ia tahu bahwa ia salah sangka.

A Fei memang sangat mencintainya. Tergila-gila padanya.

Namun dalam hidup seorang laki-laki, ada yang lebih penting daripada ‘cinta’, bahkan lebih penting daripada hidup itu sendiri.

A Fei selalu mematuhi permintaannya, karena sebelum ini ia belum pernah menyinggung tentang hal ini.

Ia memang bisa meminta A Fei mati demi dirinya, tapi ia tidak dapat menepis persoalan ini begitu saja. Tanya Lim Sian-ji sambil memamerkan senyumannya yang termanis, “Apa yang hendak kau katakan? Aku mendengarkan.”

Walaupun senyuman itu memang manis, tapi terasa dipaksakan.

“Aku ingin kau memahami bahwa Li Sun-Hoan adalah sahabatku. Dan aku tidak akan membiarkan siapapun menghina dia…SIAPAPUN!”

Lim Sian-ji menundukkan kepalanya. “Dan…..”

Kata A Fei, “Apa yang kau katakan tadi….bukan hanya merendahkan diriku, tapi kau pun merendahkan Hing Bu- bing.”

“Hah?” Mata Lim Sian-ji terbelalak.

“Ia pergi karena ia memang ingin pergi. Bukan karena seseorang mengusirnya pergi.”

Kata Lim Sian-ji, “Tapi aku tidak mengerti….”

Potong A Fei cepat, “Kau tidak perlu mengerti. Kau hanya perlu mengingatnya.”

“Aku akan mengingat setiap perkataanmu. Tapi aku berharap kau tidak lupa bahwa kau pernah berkata….bahwa perasaanmu terhadap aku tidak pernah akan berubah,” kata Lim Sian-ji sambil menundukkan kepalanya. A Fei menatap mata Lim Sian-ji. Menatap dan terus menatapnya.

Walaupun hatinya seperti gunung es, namun gunung es itu sedang mencair dengan sangat cepat.

A Fei berjalan perlahan ke arah Lim Sian-ji. Tubuh Lim Sian-ji seakan-akan memancarkan gaya magnet yang menarik A Fei terus mendekat. Seolah-olah A Fei tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri.

Lim Sian-ji meliuk menghindari pelukannya dan pura- pura enggan. Katanya, “Jangan hari ini….”

Tubuh A Fei langsung menegang.

Lim Sian-ji cekikikan dan berkata, “Hari ini kau harus banyak istirahat dan tidur lebih awal. Aku akan berjaga di sampingmu.”

***

Siangkoan berdiri tidak bergerak. Matanya tertuju ke arah pintu. Ia sedang menunggu.

Siapakah yang ditunggunya?

Penjaga di depan pintu telah undur karena Siangkoan Kim-hong telah memberi perintah, “Hari ini aku akan kedatangan tamu dan aku tidak ingin diganggu.”

Siapakah yang akan datang? Mengapa Siangkoan Kim-hong sangat memperhatikan orang ini?

Setiap perbuatan Siangkoan Kim-hong pasti ada tujuannya. Kali ini, apa tujuannya?

***

Hari bertambah malam. Suasana pun bertambah sunyi.

Mata A Fei terpejam. Suara nafasnya teratur. Seakan- akan ia tidur lelap.

Sebenarnya, ia masih terjaga. Betul-betul terjaga dan awas.

Biasanya ia tidak pernah susah tidur. Karena jika ia tidak betul-betul lelah, ia tidak akan pergi tidur. Dan di hari- hari sebelum itu, sekali kepalanya menyentuh bantal, ia pasti langsung terlelap.

Tapi sekarang, ia tidak bisa tidur.

Di sampingnya, Lim Sian-ji sudah terlelap. Nafasnya pun terdengar sangat teratur.

Jika A Fei mau, ia tinggal membalikkan badannya dan memeluk tubuhnya yang hangat dan lembut.

Namun A Fei berusaha menahan hasratnya. Ia tidak memandangnya sedikitpun. Ia kuatir jika ia memandangnya sedikit saja, pertahanannya akan runtuh. Lim Sian-ji selalu mempercayainya sepenuh hati. Bagaimana mungkin ia mengkhianatinya?

A Fei dapat mencium keharuman nafas Lim Sian-ji. Ia memusatkan konsentrasinya dan memusatkan pikirannya untuk mengendalikan hasratnya.

Bukan hal yang mudah untuk dilakukan.

Hasrat adalah seperti gelombang lautan. Sedetik ia diam dan tenang, detik berikutnya ia bergelora dengan kekuatan penuh.

Terus-menerus ia harus mengendalikannya. Ia mulai menjadi serupa ikan dalam penggorengan.

Bagaimana mungkin ia bisa tidur?

Nafas Lim Sian-ji terdengar makin berat. Namun matanya sedikit demi sedikit terbuka.

Matanya yang bercahaya tajam memandangi A Fei dalam kegelapan.

Rambutnya terlihat acak-acakan di dahinya. Ia terlihat sangat lelap seperti seorang bayi.

Lim Sian-ji baru menyadari bulu mata A Fei yang lentik. Ia ingin sekali mengulurkan tangan dan membelainya.

Saat itu, jika ia sungguh-sungguh mengulurkan tangannya, A Fei akan menjadi miliknya untuk selama- lamanya. Ia akan meninggalkan segala sesuatu demi Lim Sian-ji.

Saat itu, tatapan matanya sungguh lembut dan tulus. Namun saat itu berlalu sekejap saja. Ia menarik tangannya kembali. Tatapannya yang lembut dan tulus telah berubah dingin dan kejam.

Ia berbisik, “Fei sayang, apakah kau sudah tidur?”

A Fei tidak menjawab. Ia pun tidak membuka matanya. Ia sungguh tidak berani.
Ia takut ia akan…..

Lim Sian-ji menanti sebentar lagi. Lalu tiba-tiba ia turun dari tempat tidur tanpa suara dan mengambil sepatunya.

Dengan sepatu di tangannya, ia membuka pintu diam- diam dan keluar.

Malam selarut ini, ke manakah dia pergi?

A Fei merasa hatinya begitu sakit seperti ditusuk beribu- ribu jarum.

‘Apa yang kau tidak ketahui tidak akan merisaukanmu. Dalam hidup ini ada hal-hal yang lebih baik tidak kita ketahui.’

A Fei sungguh memahami hal ini. Kenyataan memang kejam, memang menyakitkan. Akan tetapi, ia tidak bisa menahan diri lagi.

***

Pintu pun terbuka.

Seulas senyum terlihat di bibir Siangkoan Kim-hong. Sebenarnya ia tampak lebih menakutkan saat tersenyum.
Lim Sian-ji membuka pintu dan berdiri di situ. Matanya menatap Siangkoan Kim-hong. ‘Pluk’, sepatu di tangannya jatuh ke lantai.

Ia mendesah dan berkata, “Kau sudah tahu bahwa aku akan datang?”

“Ya.”

Lim Sian-ji menggigit bibirnya, katanya, “Aku sendiri tidak tahu mengapa aku datang ke sini.”

“Aku tahu kenapa.”

Tanya Lim Sian-ji dengan mata besar, “Kau tahu?”

“Kau datang karena kau sudah tahu bahwa A Fei tidak begitu penurut seperti yang kau sangka. Jika kau ingin tetap hidup, kau harus bergantung padaku.”

“Dan aku…..dapatkah aku bergatung padamu?” Siangkoan Kim-hong tertawa. “Itu, kau sendiri yang harus menjawabnya.”

Tidak ada seorang laki-laki pun di dunia ini yang dapat sungguh-sungguh dipercaya.

Seorang wanita dapat bergantung padanya selama wanita itu memperlakukannya dengan baik.

Tentu saja Lim Sian-ji memahaminya sungguh-sungguh.

Ia tertawa dan menjawab, “Kalau begitu, aku pasti dapat bergantung padamu, sebab aku tidak akan pernah mengecewakanmu.”

Matanya pun mulai tertawa.

Lalu tangannya, pinggangnya, pahanya….

Ia telah berkeputusan bulat. Bagaimanapun caranya, ia harus mendapatkan laki-laki ini.

Dalam tempo yang singkat, ia harus menggunakan senjatanya yang paling ampuh.

Di mata seorang pria, tidak ada wanita yang lebih memukau daripada wanita tanpa sehelai benang di tubuhnya. Dan wanita ini bukan sembarang wanita, wanita ini adalah Lim Sian-ji.

Anehnya, mata Siangkoan Kim-hong masih tertuju ke arah pintu. Seakan-akan pintu itu lebih menarik daripada Lim Sian-ji yang telanjang bulat.

Lim Sian-ji terengah-engah dan berkata, “Dukunglah aku. Aku….aku hampir tidak bisa bergerak lagi.”

Siangkoan Kim-hong menggendongnya, namun matanya masih melihat ke arah pintu.

‘BLANG’. Pintu pun terbuka lebar.

Seseorang meluruk masuk ke dalam kamar seperti sebuah bola api.

Bola api yang berkobar-kobar! A Fei!
Tidak dapat dibayangkan kemarahannya saat ini.

Seulas senyum kembali terbayang di wajah Siangkoan Kim-hong.

Apakah ia sudah mengira bahwa A Fei akan datang? A Fei tidak melihatnya.
Ia tidak melihat seorang pun di situ. Apa yang dilihatnya adalah mimpi buruknya.

Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Lim Sian-ji tidak berkedip. Ia mengalungkan tangannya pada leher Siangkoan Kim-hong.

Katanya dingin, “Orang yang datang ke sini tidak pernah mengetuk ya?”

Tangan A Fei terkepal dan ditinjunya pintu itu. Pintu besi itu!
Darah mengucur dari tinju A Fei. Rasa sakit bergelora di sekujur tubuhnya dan bibirnya menjadi pucat pasi.

Tapi rasa sakit macam apa yang dapat dibandingkan dengan rasa sakit dalam hati?

Lim Sian-ji tertawa. Katanya, “Ternyata orang ini sudah gila.”

A Fei meraung dan berseru, “Jadi kau memang wanita semacam ini!”

Lim Sian-ji menjawab dengan ringan, “Kau baru tahu? Aku memang seperti ini. Dari dulu sampai sekarang, tidak berubah. Kau tidak menyadarinya karena kau begitu bodoh.”

Ia tertawa dingin dan menambahkan, “Jika kau lebih pintar sedikit saja, kau tahu lebih baik kau tidak datang ke sini.”

“Tapi aku sudah di sini.” “Apa untungnya kau datang? Supaya kau bisa memaki aku? Ada hubungan apa di antara kita? Kau pikir kau bisa mencampuri urusanku? Kau pikir kau kau harus menjagaku?” tanyanya dengan nada mengejek.

Air mata membasahi mata A Fei. Namun air mata itu membeku.

Matanya menjadi kelabu dan mati.

Warna kelabu yang habis harapan. Sama seperti mata Hing Bu-bing.

Saat itu, ia merasa ia sudah mencucurkan air mata darahnya yang terakhir. Saat itu, hidupnya sudah berakhir.

Ia sudah berubah menjadi orang mati.

‘Seharusnya aku tidak datang, seharusnya aku tidak datang…..’

Jika ia tahu seharusnya ia tidak datang, mengapa ia tetap datang?

Orang selalu melakukan hal-hal yang menyakiti dirinya sendiri, walaupun mereka tahu bahwa seharusnya mereka tidak melakukannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar