Si Pisau Terbang Li Bab 64 : Sumber Segala Masalah

 
Bab 64. Sumber Segala Masalah

Hanya kenangan akan Lim Si-im, sudah membawa rasa sakit yang menusuk hati Li Sun-Hoan.

Tapi ia tidak merasa perlu untuk mencarinya. Karena ia tahu bahwa Liong Siau-hun akan selalu memperlakukannya dengan baik. Walaupun Liong Siau- hun telah banyak berubah, ia tahu bahwa perasaan Liong Siau-hun terhadap Lim Si-im tetap sama.

Selama ia masih setia terhadap Lim Si-im, Li Sun-Hoan dapat mengampuni semua kesalahannya.

Saat ini, tidak ada yang dapat menggambarkan betapa bahagianya perasaan Liong Siau-hun.

Dalam beberapa hari, ia akan menempati posisi Loji (Jisuheng) dalam Kim-ci-pang, menjadi saudara angkat seseorang yang paling kuat dan paling berpengaruh dalam dunia persilatan.

Bahkan wajah anaknya pun tampak begitu cerah. Tapi yang mengecewakan dia adalah istrinya.

Mengapa ia tidak mau ikut bersamaku? Mengapa ia tidak ingin berbagi dalam kejayaan dan keberhasilanku?

Namun ia tidak akan membiarkan hal ini merusak suasana hatinya.

Bagi sebagian orang, keinginan mereka yang terbesar dalam hidup adalah kekayaan. Sebagian yang lain menginginkan kekuasaan.

Jika seseorang bisa mendapatkan salah satu saja, segala penderitaan dan kesakitan dalam kehidupan pribadinya akan terasa lebih ringan.

Liong Siau-in sedang memandang ke luar jendela, namun pikirannya melayang-layang entah ke mana.

Liong Siau-hun menepuk pundak anaknya dan bertanya, “Apakah menurutmu kali ini Siangkoan Kim-hong sendiri yang akan datang dan menyambut kita?”

Anaknya menoleh dan menjawab, “Sudah pasti. Dan upacaranya pun pasti akan sangat mewah.”

Liong Siau-hun pun mengangguk setuju. “Aku pun berpikir begitu. Aku sudah menjadi saudara angkatnya. Kalau ia memberi muka padaku, artinya ia pun mengangkat martabatnya sendiri.”

Suaranya merendah saat berkata, “Ketika ia datang, apakah aku harus menyebutnya ‘Ketua’ atau ‘Toako’?” Sahut Liong Siau-in, “Tentu saja ‘Toako’. Aku pun harus mengubah kebiasaanku dan membiasakan diri memanggilnya ‘Paman’.”

Liong Siau-hun tertawa senang, katanya, “Mempunyai paman seperti dia…. Kau sangat beruntung. Tapi…..”

Tawanya berhenti saat ia melanjutkan, “Li Sun-Hoan masih hidup. Apakah kau pikir Siangkoan Kim-hong akan mengingkari kata-katanya?”

Anaknya tersenyum dan menjawab, “Semua pendekar sudah tahu akan acara ini. Undangan pun telah disebarkan. Jika ia mungkir, ialah yang akan kehilangan kredibilitas dan siapapun tidak akan mempercayai dia lagi.”

Senyum kembali menghiasi wajah Liong Siau-hun. “Kau benar. Reputasinya dalam dunia persilatan tergantung dari ketegasan perkataannya. Jika sudah keluar dari mulutnya, perkataannya tidak mungkin bisa ditarik kembali. Walaupun Siangkoan Kim-hong ingin mengubah keputusannya, sekarang sudah terlambat.”

***

Kertas-kertas di meja luar biasa banyaknya, sepertinya semakin hari bertambah semakin banyak.

Tanggung jawabnya pun semakin hari semakin besar.

Setiap persoalan selalu memerlukan perhatian dan keputusan pribadinya. Ia tidak percaya pada siapapun juga.

Siangkoan Kim-hong berada di mejanya sampai subuh, bekerja tanpa istirahat sejak lama. Tapi ia tidak merasa lelah, bahkan sangat menikmatinya.

Pintu terbuka.

Seseorang melangkah masuk.

Siangkoan Kim-hong tidak perlu menoleh untuk melihat siapa yang masuk. Karena hanya satu orang yang bisa langsung masuk ke dalam kamarnya.

Hing Bu-bing.

Hing Bu-bing berlaku seperti biasa. Setelah masuk ia berjalan menuju ke belakang Siangkoan Kim-hong.

Tanya Siangkoan Kim-hong, “Di mana Li Sun-Hoan?” “Ia sudah pergi.”
Siangkoan Kim-hong menoleh memandang Hing Bu-bing.

Pandangannya langsung tertuju pada lengan Hing Bu- bing yang patah. Lalu ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia tidak berkata sepatah katapun.
Wajahnya pun tidak menunjukkan perasaan apapun.

Di wajah Hing Bu-bing pun tidak tampak ada perasaan apapun. Matanya yang sangat pucat itu hanya memandang ke kejauhan. Seolah-olah tidak ada yang berubah.

Ia tidak dimarahi, tapi ia pun tidak dihibur.

Apakah tangannya yang patah, atau kakinya yang patah, bukan urusan Siangkoan Kim-hong.

Setelah sekian lama, terdengar ketukan pintu. Setumpuk lagi dokumen dibawa masuk.
Semuanya berwarna kuning. Hanya ada satu yang berwarna merah, yang kelihatan sangat menyolok.

Siangkoan Kim-hong langsung membukanya dan membacanya cepat. Hanya tertulis kata-kata singkat, “Datang ke tempat biasa. Lu Hong-sian menunggu.”

Siangkoan Kim-hong berdiri tanpa suara dan seperti sedang berpikir keras. Ia segera membuat keputusan.

Ia pergi ke luar tanpa tergesa-gesa.

Hing Bu-bing mengikutinya di belakang seperti bayangan.

Keduanya keluar dari pintu, melalui jalan rahasia, melalui pekarangan terbuka, melalui seorang penjaga yang membungkuk dalam-dalam, dan sampai ke tempat yang terang, penuh sinar matahari.

Matahari musim gugur bagaikan seorang wanita di masa tuanya. Tidak mampu lagi menggerakkan hati laki-laki. Kedua orang ini masih berjalan beriringan, satu di depan satu di belakang….tapi tiba-tiba Hing Bu-bing merasa bahwa irama langkah Siangkoan Kim-hong telah berubah sedikit.

Hing Bu-bing tidak lagi dapat mengikuti iramanya dengan harmonis.

Walaupun langkah Siangkoan tidak bertambah cepat, namun jarak di antara mereka semakin lama semakin lebar.

Langkah Hing Bu-bing makin lama makin pelan, dan akhirnya berhenti sama sekali.

Siangkoan Kim-hong tidak menoleh. Hanya dari sudut matanya ia melihat bayangan Hing Bu-bing yang makin lama makin jauh.

Mata yang kelabu dan mati itu sedikit demi sedikit memancarkan kepedihan yang mendalam dan tak terkatakan….

***

Hutan pinus yang lebat.

Begitu lebat sampai-sampai sinar matahari tidak dapat menembusnya sepanjang tahun.

Walaupun gelap, udara di situ lembab. Angin sepoi-sepoi membawa wangi daun cemara. Lim Sian-ji sedang bersandar pada sebatang pohon. Tangannya menggenggam erat tangan Lu Hong-sian. Tatapan matanya yang lembut dan merayu itu tidak pernah lepas dari wajah Lu Hong-sian.

Wajah Lu Hong-sian pucat. Keriput mulai tampak di sudut matanya.

Angin musim gugur bertiup melalui hutan itu dan membawa kesejukan yang menentramkan hati.

Dengan suara lembut Lim Sian-ji bertanya, “Apakah kau menyesal?”

Lu Hong-sian menggelengkan kepalanya dan balik bertanya, “Menyesal? Mengapa aku menyesal? Bersama denganmu, tidak ada seorang laki-laki di dunia ini yang merasa menyesal.”

Lim Sian-ji bersandar pada lengan Lu Hong-sian dan bertanya setengah berbisik, “Apakah aku begitu istimewa?”

Lu Hong-sian meraih pinggangnya dan tersenyum. “Tentu saja. Kau jauh melebihi bayanganku sebelumnya, melebihi apa yang dapat diimpikan laki-laki manapun…”

Perlahan-lahan tangannya meraba naik turun tubuh Lim Sian-ji.

Suara nafas Lim Sian-ji terdengar semakin berat dan memekik kecil, “Jangan sekarang….” “Kenapa?” Lu Hong-sian bertanya dengan tidak sabar.

Sambil menggigit bibirnya Lim Sian-ji menjawab, “Kau harus menjaga tenagamu untuk menghadapi Siangkoan Kim-hong.”

Ia melenggokkan tubuhnya, seolah-olah sedang berusaha menghindar dari Lu Hong-sian, namun akhirnya lebih mirip sebagai gerakan yang menggoda Lu Hong- sian.

Lu Hong-sian terdiam sebentar sebelum ia mulai membelai tubuh Lim Sian-ji lagi dan berkata dengan nakal, “Aku bisa ‘bertempur’ denganmu dulu sebelum bertempur dengan Siangkoan Kim-hong.”

Kata Lim Sian-ji, “Kau tidak boleh meremehkan dia. Ia tidak mudah dikalahkan seperti yang kau kira.”

“Kau pikir aku tidak setanding dengannya?” “Bukan….bukan begitu maksudku, hanya saja….”
Lim Sian-ji menggigit mesra telinga Lu Hong-sian, dan berbisik tepat di samping telinganya, “Setelah kau membunuh Siangkoan Kim-hong, seluruh dunia akan menjadi milik kita. Kita akan bisa selalu bersama setiap saat. Kenapa harus terburu-buru sekarang?”

Kata-katanya yang sangat manis di antara angin musim gugur terdengar bagaikan lagu yang sangat merdu. Hati Lu Hong-sian pun terharu dan memeluknya semakin erat. Katanya, “Kau sungguh memperhatikan aku….”

Tiba-tiba ia terdiam.

Lim Sian-ji segera mendorongnya dan melepaskan diri dari pelukannya.

Suara langkah yang unik terdengar memenuhi seluruh hutan raya. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari suara langkah itu. Namun entah mengapa, setiap langkah seakan-akan sedang menginjak-injak hati manusia.

Kini suara langkah itu berhenti.

Siangkoan Kim-hong berdiri di bewah bayangan sebatang pohon pinus di depan mereka. Ia berdiri di situ tanpa bicara, tanpa bergerak. Ia kelihatan seperti sebuah gunung es. Gunung es yang tidak terduga.

Nafas Lu Hong-sian seakan-akan tercekat saat kata-kata ini keluar dari mulutnya. “Siangkoan Kim-hong?”

“Lu Hong-sian?” Siangkoan Kim-hong membalasnya dari bawah sebuah topi bambu yang lebar, yang menutupi matanya. Ia tidak menjawab, malah balik bertanya.

“Ya,” sahut Lu Hong-sian.

Namun sesaat setelah menjawab, Lu Hong-sian merasa sangat menyesal karena ia menjawab. Ia merasa kehilangan kendali. Kini kendali berada di tangan Siangkoan Kim-hong.

Siangkoan Kim-hong tersenyum dingin dan berkata, “Bagus, memang Lu Hong-sian pantas untuk kulayani secara pribadi.”

Lu Hong-sian pun tertawa dingin. “Jika kau bukan Siangkoan Kim-hong, kau pun tidak cukup berharga untuk kubunuh.”

Setelah mengucapkannya, kembali ia merasa menyesal.

Walaupun perkataannya penuh dengan hasrat membunuh, ia kedengaran seperti hanya membeo ucapan Siangkoan Kim-hong.

Siangkoan Kim-hong masih berdiri di sana tidak bergerak sampai cukup lama. Tiba-tiba ia melirik tajam ke arah Lim Sian-ji dari balik topi bambunya.

Lim Sian-ji masih berdiri di samping pohon pinus tadi. Tatapan matanya yang lembut, perlahan-lahan berubah menjadi tajam dan panas.

Ia tahu sebentar lagi darah akan tercurah.

Ia sangat suka melihat laki-laki mencucurkan darah demi dirinya!

“Kemari kau,” perintah Siangkoan Kim-hong pada Lim Sian-ji. Mata Lim Sian-ji memancarkan rasa kuatir. Ia menoleh pada Lu Hong-sian, lalu memandang pada Siangkoan Kim-hong.

Lu Hong-sian tertawa. Katanya, “Ia tidak akan datang padamu.”

Lagi, Lim Sian-ji bolak-balik memandangi Siangkoan Kim- hong dan Lu Hong-sian.

Lim Sian-ji tahu, saat ini ia harus memilih salah satu di antara mereka berdua.

Ia pun tahu siapa pun yang dipilihnya harus menjadi pemenang.

Tapi masalahnya, siapakah yang akan menang?

Siangkoan Kim-hong masih tetap berdiri di situ dengan tenang. Matanya memancarkan rasa percaya diri yang besar.

Nafas Lu Hong-sian sudah menjadi tidak teratur. Ia mulai kelihatan kuatir.

Tiba-tiba Lim Sian-ji menertawainya.

Lu Hong-sian hanya bisa menyumpah-nyumpah dalam hati saat Lim Sian-ji berlari kecil ke arah Siangkoan Kim- hong bagaikan seekor burung walet.

Ia telah menjatuhkan pilihan. Ia tahu bahwa pilihannya tidak mungkin salah! Lu Hong-sian menyipitkan matanya. Hatinya pun mulai mengkerut.

Inilah pertama kali dalam hidupnya ia merasakan hinaan orang. Dan ini pun pertama kali dalam hidupnya ia merasakan kekalahan. Dua rasa sakit hati bergabung, dua kali lipat pula beratnya untuk menanggungnya!

Ia juga merasakan dua pukulan hebat. Rasa percaya diri dan kehormatannya hancur berkeping-keping.

Tangannya mulai gemetar.

Siangkoan Kim-hong memandangnya dingin dan berkata, “Kau sudah kalah!”

Tangan Lu Hong-sian makin gemetaran tidak tertahankan.

Kata Siangkoan Kim-hong, “Kau tidak akan membunuhmu karena kau tidak lagi cukup berharga untuk kubunuh!”

Siangkoan Kim-hong langsung memutar badannya dan melangkah pergi.

Lim Sian-ji mengekor di belakangnya. Setelah beberapa langkah, ia menoleh pada Lu Hong-sian dan berkata sambil cekikikan, “Kurasa kau lebih baik mati saja.”

Lu Hong-sian telah kalah dalam pertempuran ini sebelum bergerak satu jurus pun. Dalam pikirannya pun dia tahu dia sudah kalah telak.

Ia tidak mengucurkan darah setetes pun, namun jiwa dan seluruh kehidupannya sudah hancur lebur. Semangat dan rasa percaya dirinya sudah hilang sama sekali.

Ia hanya bisa memandang Siangkoan Kim-hong berjalan ke luar hutan itu. Ia tidak punya semangat dan keberanian untuk mengejarnya.

Walaupun Siangkoan Kim-hong tidak menyerang sama sekali, ia telah merenggut hidup Lu Hong-sian.

‘Kurasa kau lebih baik mati saja.’

Memang sudah tidak ada lagi gunanya terus hidup.

Tiba-tiba Lu Hong-sian jatuh terduduk dan menangis tersedu-sedu.

Lim Sian-ji berlari ke samping Siangkoan Kim-hong dan menggamit lengannya.

Katanya dengan manis, “Hanya kau yang ada di hatiku sekarang!”

“Aku?”

“Ya. Walaupun Hing Bu-bing dengan pedangnya dapat membunuh paling cepat, kau jauh lebih cepat lagi.
Karena….karena kau dapat membunuh tanpa mengangkat seujung jari pun!” “Itu karena aku belum pernah bertemu dengan siapapun yang cukup berharga bagiku untuk mengangkat seujung jari.”

“Orang di dunia ini yang setanding denganmu jumlahnya sangat sedikit…. Aku pikir hanya ada satu.” Saat mengatakannya, mata Lim Sian-ji bercahaya.

Tanya Siangkoan Kim-hong, “Li Sun-Hoan?”

Lim Sian-ji menghela nafas dan berkata, “Orang itu adalah orang yang dapat menghilang sewaktu-waktu, namun juga orang yang tidak pernah mau pergi. Kadang- kadang aku sendiri tidak tahu orang macam apakah dia. Apakah ia seorang pria sejati? Apakah ia seorang tolol?
Atau seorang pendekar?”

Jawab Siangkoan Kim-hong dingin, “Sepertinya kau selalu memperhatikannya.”

Lim Sian-ji tertawa. “Tentu saja aku harus selalu memperhatikannya, sebab aku tidak ingin mati di tangannya.”

“Hmm?”

Lim Sian-ji menjelaskan, “Terhadap kekasihnya, perhatian seseorang pun semakin lama semakin luntur. Namun terhadap musuhnya, tidak boleh demikian.”

Ia menatap Siangkoan Kim-hong dan melanjutkan, “Aku yakin kau pasti memahaminya lebih daripada siapapun juga.” Sahut Siangkoan Kim-hong, “Ada beberapa jenis perhatian. Apakah kau membencinya? Kau takut padanya? Atau kau mencintainya?”

Lim Sian-ji tertawa merajuk. “Apakah kau mulai cemburu?”

Siangkoan Kim-hong menundukkan kepalanya. “Bagaimana dengan A Fei?”

“Dia jelas cemburu.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Aku hanya ingin tahu mengapa kau belum juga membunuhnya?”

Lim Sian-ji balik bertanya, “Aku pun ingin tahu, mengapa Hing Bu-bing tidak membunuhnya?”

Sahut Siangkoan Kim-hong, “Karena awalnya aku ingin kau yang membunuhnya. Kau tidak tega?”

“Membunuh orang itu gampang. Yang lebih sulit adalah membuat orang menuruti setiap perkataanmu. Sampai sekarang, aku belum pernah bertemu dengan orang yang sepatuh dia.”

Lalu Lim Sian-ji menghambur ke pelukan Siangkoan Kim- hong dan berkata lagi, “Aku datang bukan untuk berdebat denganmu. Jika kau memang ingin aku membunuhnya, masih banyak kesempatan di kemudian hari. Aku pasti akan menuruti keinginanmu.”

Tidak ada seorang pun yang bisa kesal pada Lim Sian-ji. Ia sama halnya seperti seekor kucing yang mahal. Sewaktu ia mencakar wajahmu, sebelum kau merasa sakit, ia sudah menjilatimu dengan sayang.

Siangkoan Kim-hong menatapnya lekat-lekat.

Di bawah sinar matahari terbenam, wajahnya tampak begitu rapuh bagai porseLim. Sentuhan yang paling ringan pun dapat merusaknya. Kelembutan angin musim gugur yang sepoi-sepoi tidak dapat dibandingkan dengan kelembutan nafas yang keluar dari mulutnya.

Perlahan-lahan Siangkoan Kim-hong menundukkan kepalanya.

Bibirnya melekat di bibir Lim Sian-ji. Tiba-tiba Lim Sian-ji mengangkat kepalanya dari dada Siangkoan Kim-hong dan jatuh ke tanah.

Bola mata Siangkoan Kim-hong berputar, namun tubuhnya tidak bergerak. Bahkan ujung jarinya pun masih ada di tempat yang sama.

Ia tidak melirik sedikitpun pada Lim Sian-ji, malah memandangi rumput yang sudah menguning di situ.

Tidak ada sesuatupun di rumput yang menguning itu. Namun setelah beberapa saat, sesosok bayangan terlihat di situ.

Ada yang datang! Bayangan orang itu memanjang akibat sinar matahari sore.

Langkah kakinya tidak bersuara. Langkah kaki orang itu ringan bagaikan seekor rubah.

Siangkoan Kim-hong tetap tidak menoleh. Lim Sian-ji yang masih terbaring di tanah mulai merintih.

Bayangan itu sudah dekat sekarang. Ia berhenti tepat di belakang Siangkoan Kim-hong.

Terdengar suara, “Aku tidak pernah membunuh dari belakang. Tapi kali ini, aku harus membuat pengecualian.”

Suara orang itu dingin dan tegas. Namun karena marah dan kegalauan hatinya, terdengar gemetar.

Nada suaranya memang seperti orang yang sebentar lagi akan membunuh.

Namun Siangkoan Kim-hong tidak bergerak. Ia pun tidak berbicara.

Bayangan itu mengangkat tangannya.

Ada sebilah pedang di tangannya, namun ia tidak menusukkannya. Lagi suara itu bertanya, “Apakah kau tetap tidak mau menoleh?” Siangkoan Kim-hong menjawab dengan tenang, “Aku masih bisa membunuh orang yang berdiri di belakangku. Buat apa repot-repot menoleh?”

Setelah kalimatnya selesai, suara rintihan pun berhenti. Mata Lim Sian-ji terbelalak dan berseru, “A Fei!”
Ia bangkit dari sisi Siangkoan Kim-hong dan menghampiri A Fei. Bayangannya menyatu dengan bayangan di atas rumput kering itu.

Siangkoan Kim-hong menatap dua bayangan di atas tanah itu. Lalu ia mulai berjalan ke depan perlahan- lahan….dan berhenti saat ia berada tepat di atas kedua bayangan itu.

Pedang di tangan A Fei telah jatuh ke tanah.

Lim Sian-ji menggenggam tangannya dan berbisik. “Kau akhirnya datang, aku tahu kau pasti datang….”

Ia mengulanginya sampai beberapa kali. Tiap kali makin halus, makin lembut, makin merdu.

Kelembutan suaranya dapat mencairkan gunung es.

Hati A Fei pun mulai mencair. Kegelisahannya, kegundahannya, kebenciannya, langsung mereda.

Kata Lim Sian-ji, “Aku tahu jika kau tidak menemukanku, kau pasti akan kuatir dan kau pasti akan datang mencariku.” Ia melihat wajah A Fei pucat kehijauan. Matanya menjadi merah dan mulai tersedu-sedu sambil berkata, “Selama mencariku, kau pasti sangat menderita.”

Sahut A Fei, “Kalau bisa menemukanmu, aku sudah sangat puas.”

Apapun resikonya, ia akan mempertaruhkan segalanya demi menemukan Lim Sian-ji.

Apapun yang harus dideritanya, ia akan menanggungnya demi menemukan Lim Sian-ji.

Tiba-tiba, sebilah pedang berkilat!

Pedang yang tadi tergeletak di tanah telah terangkat naik, kilat sinarnya secepat pagutan ular, dan pedang pun kini telah tergenggam.

Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong telah berdiri di depan mereka.

Tatapannya yang tanpa emosi terfokus ke ujung pedang. Pedang ini pedang baja biasa. Sebilah pedang yang ‘dipinjam’ A Fei dari orang yang ditemuinya dalam perjalanan.

Namun kelihatannya Siangkoan Kim-hong tertarik sekali pada pedang itu.

Dengan Lim Sian-ji di sampingnya, tidak ada yang dapat mencuri perhatian A Fei. Baru kini ia menyadari ada orang lain di situ. Orang yang tadinya hendak ia bunuh.

Kini pedangnya sudah berada di tangan orang itu.

Pedang biasa itu kini telah berubah menjadi sebilah pedang yang memancarkan hawa membunuh!

Tanya A Fei tajam, “Siapa kau?”

Siangkoan Kim-hong tidak menjawab. Ia tidak memandang A Fei sedikit pun. Tatapan matanya yang dingin masih terpaku pada ujung pedang itu. Akhirnya senyum enggan tampak di sudut mulutnya. Senyum yang mengejek.

Tanya Siangkoan Kim-hong, “Kau ingin membunuh dengan pedang ini?”

“Memang kenapa pedang itu?” “Pedang ini tidak bisa membunuhku.”
Jawab A Fei, “Semua pedang bisa membunuh.”

Siangkoan Kim-hong tertawa dan menyahut, “Tapi ini bukan pedangmu. Jika kau memaksa ingin menggunakan pedang ini, maka yang akan terbunuh adalah kau sendiri.”

Pedang berkilat lagi, dan berputar. Kini Siangkoan Kim-hong memegang ujung pedang itu di antara kedua jarinya dan menyorongkan gagang pedang itu ke hadapan A Fei.

Katanya sambil tersenyum lebar, “Kalau kau tidak percaya, coba saja.”

Sebelum A Fei mengulurkan tangannya, otot-ototnya telah mengejang.

Ia menyadari bahwa di hadapan orang ini ia merasakan suatu perasaan aneh. Perasaan yang tidak pernah dirasakannya sebelum ini. Perasaan yang membuat hatinya galau, membuat perutnya terasa melilit, membuat dia ingin muntah.

Namun bagaimana mungkin ia tidak mengambil pedang itu?

Akhirnya ia mengulurkan tangan. Sebelum tangannya menyentuh gagang pedang itu, pedang itu telah dirampas oleh tangan yang lain. Tangan yang halus dan lembut.

Mata Lim Sian-ji berkaca-kaca saat memandang A Fei dan berkata, “Apakah kau ingin membunuhnya? Tahukah kau siapa dia?”

Lanjut Lim Sian-ji, “Ia adalah penyelamatku.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar