Si Pisau Terbang Li Bab 61 : Permintaan

 
Bab 61. Permintaan

Tiba-tiba di wajah Lu Hong-sian terbayang kesepian yang mendalam….. Jika seseorang merasa kesepian, ia pasti sangat merindukan persahabatan. Sayangnya, persahabatan sejati tidak dapat dimiliki setiap orang.

Lu Hong-sian berkata dingin, “Jadi maksudmu, kau sanggup mati demi dia, dan dia sanggup mati demi engkau?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Betul sekali.”

“Tapi kau tahu bahwa aku tidak akan membunuh engkau. Paling tidak aku tidak akan membunuhmu dengan cara ini.”

Li Sun-Hoan diam saja. Lu Hong-sian melotot ke arah Li Sun-Hoan, namun akhirnya ia menghembuskan nafas lega. Katanya, “Aku sungguh-sungguh tidak akan membunuhmu…. Kau tahu sebabnya?”

Li Sun-Hoan tetap diam. Lanjut Lu Hong-sian, “Karena aku ingin kau selama-lamanya berhutang budi padaku. Selamanya merasa berhutang padaku….”

Ia tersenyum sambil terus bicara, “Jika aku ingin membunuhmu, masih ada banyak kesempatan di kemudian hari. Tapi kesempatan yang ini tidak akan datang lagi.”

Apa maksudnya? Apakah ia ingin bersahabat dengan Li Sun-Hoan?

Li Sun-Hoan berpikir cukup lama. Lalu ia pun tersenyum dan berkata, “Sebenarnya akan ada kesempatan lagi.”

Lu Hong-sian terkejut. “O ya?”

“Aku ingin kau melakukan satu hal lagi.”

Lu Hong-sian menatapnya seperti tidak mengenalnya sampai sekian lama. Akhirnya ia berkata, “Kau belum lagi membayar kesepakatan kita yang pertama. Kini kau sudah minta aku melakukan tugas lain?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Ini bukan kesepakatan. Kali ini aku mohon bantuanmu.” Wajah Lu Hong-sian menjadi suram, namun matanya berbinar-binar. Katanya, “Jika tidak mendapat apa-apa, buat apa aku melakukannya?”

Li Sun-Hoan tersenyum. Senyumnya tenang dan tulus.

Ia menatap Lu Hong-sian lekat-lekat. Sahutnya, “Karena ‘aku’ yang meminta bantuanmu.”

Perkataannya terdengar janggal. Juga terkesan sombong.

Tidak disangka kata-kata ini keluar dari mulut Li Sun- Hoan.

Namun Lu Hong-sian tidak marah. Ia malah merasakan suatu kehangatan dalam dadanya. Karena ia merasa bahwa Li Sun-Hoan sedang mengulurkan persahabatan kepadanya.

Mungkin persahabatan seperti inilah yang dapat menyinari hidup manusia yang sepi.

Cahayanya tidak akan pernah padam. Selama masih ada kehidupan, masih akan terus ada persahabatan yang menghiasinya.

Sahut Lu Hong-sian, “Semua orang bilang bahwa Li Sun- Hoan tidak pernah minta bantuan. Namun hari ini ia minta bantuan kepadaku. Mungkin aku harus merasa terhormat.” Li Sun-Hoan tersenyum. “Aku kan sudah berhutang padamu. Tidak ada masalah berhutang sedikit lagi, bukan?”

Lu Hong-sian tertawa. Kali ini, tertawa lepas.

Katanya, “Ada yang bilang bahwa hal yang terpenting untuk seorang pedagang adalah belajar untuk bisa mendapatkan bantuan orang lain. Kelihatannya kau ini pedagang yang hebat.”

Tanya Li Sun-Hoan, “Jadi kau bersedia?”

Lu Hong-sian mengeluh. Katanya, “Aku tidak punya alasan yang cukup kuat untuk menolakmu. Cepat katakan permintaanmu sebelum aku berubah pikiran.”

Li Sun-Hoan terbatuk-batuk beberapa kali, lalu wajahnya menjadi serius. Katanya, “Jika kau bertemu dengan A Fei beberapa tahun yang lalu, ia pasti akan mengalahkanmu tanpa aku harus memohon padamu untuk mengalah.”

Lu Hong-sian terdiam. Apakah ia setuju dengan pernyataan ini?

Lanjut Li Sun-Hoan, “Jika kau bertemu dengannya saat itu, kau akan melihat orang yang sangat berbeda.”

“Bagaimana ia bisa berubah begitu banyak hanya dalam waktu dua tahun?”

“Karena ia bertemu dengan seseorang.” Tanya Lu Hong-sian, “Seorang wanita?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Sudah pasti seorang wanita. Hanya seorang wanitalah yang dapat mengubah pria 180 derajat.”

Kata Lu Hong-sian, “Kalau begitu ia tidak betul-betul berubah. Ia hanya sedang mabuk. Orang yang mabuk karena seorang wanita patut dikasihani. Patut ditertawakan.”

Li Sun-Hoan mendesah. “Mungkin kau benar. Namun kau belum pernah bertemu dengan wanita ini.”

“Apa bedanya?”

“Jika kau bertemu dengannya, mungkin kau juga akan menjadi seperti A Fei.”

“Kau pikir aku bocah kecil yang belum pernah melihat wanita?”

Kata Li Sun-Hoan, “Mungkin kau pernah bertemu dengan bermacam-macam wanita. Namun dia….dia sungguh berbeda dari yang lain.”

“O ya?”

“Ada orang yang menggambarkan dia dengan tepat…. Ia serupa dewi kahyangan namun ia menyeret laki-laki ke neraka.” Mata Lu Hong-sian berbinar. Katanya, “Aku tahu siapa dia.”

Kata Li Sun-Hoan, “Memang kau pasti bisa menerka. Hanya ada satu wanita seperti itu dalam dunia ini.
Untung saja hanya satu. Kalau tidak, aku bergidik membayangkan apa jadinya dunia ini.”

Kata Lu Hong-sian, “Aku mendengar banyak cerita tentang wanita ini.”

Li Sun-Hoan kembali pada pokok pembicaraan. “Akhirnya A Fei telah menemukan dirinya kembali. Aku tidak tega melihatnya terjerumus lagi. Oleh sebab itulah…..

“Kau ingin aku membunuh wanita itu?”

“Aku hanya ingin A Fei tidak bertemu dengan dia lagi. Jika ia bertemu dengan wanita itu, ia tidak akan dapat menolaknya.”

Lu Hong-sian berpikir sejenak, lalu berkata, “Kau kan bisa melakukannya sendiri.”

“Aku tidak bisa.” “Kenapa?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Karena jika A Fei sampai tahu, ia akan membenciku seumur hidup.”

Kata Lu Hong-sian, “Namun ia harus menyadari bahwa kau melakukannya demi kebaikannya sendiri.” Sahut Li Sun-Hoan, “Betapapun pandainya seseorang, ia akan menjadi orang tolol jika sedang dimabuk cinta.”

Lu Hong-sian berpikir lagi. “Mengapa tidak kau minta orang lain? Mengapa kau minta aku?”

“Karena jika orang lain dapat mengalahkannya sekalipun, mereka pasti tidak akan tega membunuhnya. Karena…..”

Ia mengangkat kepala dan memandang Lu Hong-sian. Lanjutnya, “Lagi pula aku pun sulit menemukan orang yang bisa kumintai bantuan.”

Dua pasang mata itu kembali bertemu. Kembali hati Lu Hong-sian penuh dengan kehangatan.

Ia dapat melihat dari mata Li Sun-Hoan seluruh kesedihannya, seluruh kesepiannya.

Kesepian dan kesedihan seorang pendekar. Hanya dapat dipahami oleh para pendekar.
Tiba-tiba Lu Hong-sian bertanya, “Di mana wanita itu?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Ling Ling tahu di mana dia berada. Tapi….”

Ling Ling sudah tertidur.

Li Sun-Hoan memandangnya sekilas, lalu berkata, “Mungkin kau tidak bisa memaksanya memberitahu di mana lokasi persisnya.” Lu Hong-sian tersenyum. “Jangan kuatir. Aku punya cara tersendiri.”

***

A Fei terbangun. Li Sun-Hoan sudah terlelap.

Dalam tidur pun ia terus menerus terbatuk-batuk. Setiap kali terbatuk, tubuhnya terguncang karena kesakitan.

Matahari mulai beranjak naik perlahan-lahan di luar jendela.

A Fei tiba-tiba menyadari bahwa kini ia punya lebih banyak rambut putih, lebih banyak keriput.

Hanya matanya yang masih berjiwa muda.

Dalam tidurnya Li Sun-Hoan selalu tampak sangat tua, sangat lemah.

Jubahnya pun kotor.

Siapa yang bisa mengira bahwa dalam kulit seperti itu terdapat hati yang begitu kuat, karakter yang begitu agung, dan semangat yang begitu membara?

A Fei memandangnya. Setitik air mata jatuh ke pipinya.

Ia hidup hanya untuk melewati penderitaan demi penderitaan… dalam berbagai bentuk, kepedihan. Namun ia tidak jatuh! Ia pun tidak pernah merasa hidup itu suram dan murung.

Selama ia masih hidup, ia selalu menebarkan kehangatan, cahaya terang.

Ia selalu membagi kebahagiaan dengan yang lain, dan menyimpan kesedihan untuk dirinya sendiri.

Air mata A Fei terus menetes.

Li Sun-Hoan terus tertidur pulas.

Baginya, tidur merupakan suatu kemewahan.

Tiba-tiba A Fei merasa ingin pulang. Ingin cepat-cepat bertemu dengan wajah manis itu. Namun ia tidak ingin membangunkan Li Sun-Hoan. Maka A Fei membuka pintu perlahan-lahan dan pergi tanpa suara.

Hari masih pagi. Matahari baru saja melewati atap rumah. Orang-orang yang terburu-buru pergi sudah berangkat dari penginapan itu, jadi pekarangan sudah lengang. Hanya terlihat sebatang pohon yang rindang, berdiri sendirian di tengah-tengah angin musim gugur yang dingin.

Li Sun-Hoan bisa diibaratkan seperti pohon ini. Walaupun ia tahu bahwa musim gugur hampir berlalu dan musim dingin sebentar lagi akan tiba, ia tidak mau menyerah, sampai pada detik terakhir. A Fei mendesah. Perlahan-lahan ia berjalan ke luar pekarangan itu.

Daun-daun di pohon rindang itu sudah mulai layu. Satu per satu berguguran. Di depan matanya, jatuh ke tubuhnya….
***

Api masih menyala. Sup kacang sudah mendidih.

A Fei tidak pernah makan terburu-buru. Ia menyuap sup ke dalam mulutnya dan menelannya perlahan-lahan. Jika perut seseorang kenyang, ia akan merasa lebih bersemangat.

Ia suka perasaan ini.

Seorang pegawai jaga malam akhirnya mempunyai sedikit waktu senggang. Ia duduk dekat api unggun dan minum arak perlahan-lahan.

Arak ini arak sisa, sudah dingin. Namun pegawai itu merasa cukup puas.

Ia berbahagia karena ia merasa puas.

Hanya orang yang sungguh merasa puas dapat merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

A Fei selalu mengagumi orang seperti ini. Ia ingin minum bersama dengan orang ini.

Namun ia berusaha menahan diri. ‘Mungkin aku akan segera bertemu dengannya…..’

Ia tidak ingin si dia mencium bau alkohol di tubuhnya.

Sebagian besar orang di dunia ini hidup demi orang lain….. Sebagian untuk orang yang mereka cintai, sebagian untuk musuh mereka. Keduanya sama-sama hidup menderita.

Sangat sedikit orang di dunia ini yang sungguh-sungguh berbahagia.

Angin bertiup sangat kencang. Debu ikut menari-nari mengikuti tiupan angin. Tidak banyak orang berjalan di luar sana.

A Fei mengangkat kepalanya dan melihat ke luar pintu. Kebetulan dua orang sedang lewat.

Dua orang ini tidak berjalan cepat, namun kelihatannya mereka sedang terburu-buru. Pikiran mereka terpusat pada jalan di hadapan mereka, tidak menghiraukan yang lain.

Orang yang berjalan di depan adalah seorang tua bertubuh kecil dan berambut putih. Ia memegang pipa di sebelah tangannya. Jubahnya yang berwarna biru sudah sangat pudar, hampir kelihatan putih.

Seorang gadis muda berjalan mengiringinya. Matanya besar dan rambut panjangnya dikuncir ekor kuda. A Fei mengenali dua orang ini. Ia pernah melihat mereka dua tahun yang lalu. Mereka adalah si tua tukang cerita dan cucunya. Ia juga ingat bahwa nama mereka adalah Sun.

Namun mereka tidak melihat A Fei.

Jika mereka melihatnya, mungkin kejadiannya akan menjadi lain.

A Fei menghabiskan supnya. Ia mengangkat kepala lagi dan melihat seorang lain yang sedang lewat.

Orang ini sangat jangkung. Ia mengenakan jubah berwarna kuning, topi bambu yang lebar dan ditarik ke bawah dalam-dalam sehingga wajahnya tidak kelihatan. Cara berjalannya sungguh janggal. Kelihatannya ia juga sedang terburu-buru dan tidak menoleh untuk melihat A Fei.

Hati A Fei melonjak. Hing Bu-bing!
Mata Hing Bu-bing tertuju lurus ke depan. Sepertinya ia sedang menguntit si tukang cerita. Ia pun tidak melihat A Fei.

Namun A Fei melihatnya, juga melihat pedang di pinggangnya. Namun A Fei tidak melihat tangan yang buntung, yang dibalut kain. Karena jika A Fei sudah melihat pedangnya, ia tidak bisa melihat yang lain.

Karena pedang inilah yang telah membuatnya mencicipi pahitnya kekalahan.

Karena pedang inilah yang hampir saja menghancurkan hidupnya.

A Fei mengepalkan tangannya. Luka di tangannya terbuka kembali. Darah mengalir keluar. Tubuhnya mengejang karena rasa sakit itu.

Ia lupa akan tangan Hing Bu-bing yang buntung.

Ia hanya ingin menantang Hing Bu-bing sekali lagi. Hanya itu yang diinginkannya.

Hing Bu-bing cepat berjalan lewat depan pintu itu.

A Fei bangkit berdiri. Ia mengepalkan tangannya lebih kuat lagi.

Semakin sakit rasanya, semakin tajam kewaspadaannya.

Tiba-tiba pegawai itu merasa dingin di sekitarnya. Ia menoleh kiri-kanan dan bertemu dengan mata A Fei.

Sepasang mata yang berkobar-kobar, namun membuat orang yang melihatnya merasa dingin sekujur tubuh.
Cawan arak yang sedang di pegang pegawai itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah. Namun cawan itu tidak sampai menyentuh tanah. Tiba- tiba A Fei mengulurkan tangannya dan menangkapnya.

Tidak ada yang bisa melihat bagaimana ia menangkap cawan itu.

Pegawai itu ketakutan setengah mati.

Perlahan-lahan diletakkannya cawan itu di atas meja. Lalu ia mengisinya dengan arak dan minum secawan penuh.

Rasa percaya diri bergolak memenuhi hatinya. Saat itu, seorang lagi berjalan lewat depan pintu.
Orang inipun berjubah kuning, dengan topi bambu yang lebar dan ditarik ke bawah dalam-dalam. Ia pun berjalan dengan gaya aneh.

Siangkoan Hui!

A Fei tidak kenal Siangkoan Hui. Namun ia bisa merasakan bahwa hubungan orang ini dan Hing Bu-bing cukup dekat. Dan ia sedang berjalan menguntit Hing Bu- bing.

Siangkoan Hui sedikit lebih pendek daripada Hing Bu- bing, dan juga lebih muda. Namun ekspresi wajah mereka yang kaku, gaya berjalan mereka yang aneh. Seakan-akan mereka bersaudara!

Mengapa ia menguntit Hing Bu-bing? Tempat ini desa yang terpencil.

A Fei berjalan cepat, namun tetap menjaga jarak aman di belakang Siangkoan Hui.

Si tukang cerita sudah lama berlalu. Hing Bu-bing terlihat bagaikan bayangan kuning. Namun Siangkoan Hui berjalan lambat, tidak terburu-buru.

A Fei menyadari bahwa anak muda ini pun pandai menguntit orang.

Menguntit seseorang diam-diam memerlukan banyak kesabaran.

Ada sebuah bukit di depan sana. Hing Bu-bing baru setengah jalan mengitarinya.

Siangkoan Hui mempercepat langkahnya. Sepertinya ia ingin menyusul Hing Bu-bing di balik bukit itu.

Ketika ia sudah menghilang di balik bukit, A Fei segera berlari sekencang-kencangnya. Ia tahu dari puncak bukit itu, ia akan bisa melihat sesuatu yang menarik.

Ia pun tidak kecewa.

Hing Bu-bing tidak pernah merasa takut sebelumnya…. Apa lagi yang kau takuti jika terhadap kematian sekalipun kau tidak takut?

Namun kini, entah mengapa, mata Hing Bu-bing memancarkan sedikit rasa takut. Apa yang ia takuti?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar