Si Pisau Terbang Li Bab 58 : Pendekar

  
Bab 58. Pendekar

Pedang Hing Bu-bing telah menusuk bahu kanan A Fei. Namun hanya satu inci saja.

Pedang A Fei masih terpaut beberapa inci dari leher Hing Bu-bing. Darah mengalir dari bahu A Fei, membuat bajunya menjadi merah.

Mengapa pedang Hing Bu-bing berhenti sampai di situ saja?

Di bahu Hing Bu-bing telah tertancap sebilah pisau! Pisau Kilat si Li!
Kekuatan dari mana yang membuat Li Sun-Hoan sanggup menyambitkan pisaunya?

Wajah Liong Siau-hun ayah dan anak menjadi pucat pasi. Tangan mereka langsung gemetar, dan sedikit demi sedikit mereka melangkah mundur. Mereka berdua sungguh tidak tahu dari mana Li Sun-Hoan mendapatkan tenaga.

Li Sun-Hoan bangkit berdiri!

Hing Bu-bing memutar badannya dan mengawasi Li Sun- Hoan. Wajahnya tetap kosong. Setelah sekian lama, akhirnya ia berkata, “Pisau yang hebat!”

Li Sun-Hoan terkekeh. Katanya, “Ah, tidak juga. Hanya saja kau terlalu meremehkan aku. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku dapat melukaimu?”

Sahut Hing Bu-bing dingin, “Kau telah berhasil memperdayai aku. Itu tandanya kau lebih hebat daripada aku.” “Aku tidak memperdayaimu. Aku juga tidak pernah bilang bahwa aku tidak punya tenaga untuk menyambitkan pisau. Kaulah yang berpikir demikian. Matamu sendiri yang telah menipumu.”

Hing Bu-bing berpikir sejenak. “Kau benar. Akulah yang salah. Tidak ada hubungannya denganmu.”

Kata Li Sun-Hoan, “Bagus. Kau mungkin adalah pembunuh, namun kau bukan orang licik.”

Hing Bu-bing melirik pada Liong Siau-hun dan putranya, lalu berkata dingin, “Orang yang licik tidak pantas menjadi pembunuh.”

Kata Li Sun-Hoan, “Kau boleh pergi sekarang.”

Tanya Hing Bu-bing, “Mengapa kau tidak membunuh aku?”

“Karena kau tidak bermaksud untuk membunuh sahabatku.”

Hing Bu-bing menundukkan kepalanya dan memandang pisau di bahunya. Katanya, “Namun aku berniat untuk membuat tangannya cacad.”

“Aku tahu.”

“Tapi luka di bahuku sangat sangat ringan.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Jika seseorang memberiku sepeser, aku akan membayar kembali tiga peser.” Hing Bu-bing mengangkat kepalanya lagi dan menatap Li Sun-Hoan. Walaupun ia tidak mengatakan apa-apa, suatu perubahan aneh terjadi di matanya. Ia memandang Li Sun-Hoan seperti ia memandang Siangkoan Kim-hong.

Kata Li Sun-Hoan, “Aku juga ingin memberi tahu padamu dua hal.”

“Apa?”

“Walaupun aku telah melukai 67 orang, 28 dari mereka tidak mati. Mereka yang mati, memang pantas mati.”

Hing Bu-bing terdiam.

Li Sun-Hoan terbatuk-batuk kecil beberapa kali. Lalu lanjutnya, “Aku belum pernah salah membunuh orang dalam hidupku! Oleh sebab itulah….kuharap kau pun berpikir dua kali sebelum membunuh orang.”

Hing Bu-bing terdiam cukup lama. Lalu katanya, “Aku pun ingin mengatakan sesuatu.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku mendengarkan.”

“Aku tidak pernah menerima kebaikan orang lain, ataupun pengajaran orang lain!”

Pada saat yang sama ia menghunjamkan pisau itu dengan tangannya.

Pisau itu menembus tubuhnya sampai ke belakang. Darah pun tersembur keluar. ‘Tang’, pedang pun jatuh ke tanah.
Tubuh Hing Bu-bing gemetar beberapa saat, namun wajahnya tetap kosong. Ia tidak menunjukkan rasa sakit sedikitpun. Tidak di wajahnya, tidak di tubuhnya.

Ia tidak mengatakan sepatah katapun, dan tidak memandang kepada siapapun. Ia hanya melangkah keluar ruangan.

Pendekar?. Seperti apakah pendekar itu? Apakah arti
seorang pendekar?

Seorang pendekar biasanya menggambarkan seorang yang dingin, brutal, kesepian, tanpa perasaan.

Seseorang pernah berkata begini tentang pendekar: ‘Membunuh orang seolah-olah mereka hanya rumput kering, berjudi seperti tidak ada hari esok, minum arak yang terlezat, mengambil tanpa penyesalan’.

Tentu saja tidak semua pendekar seperti ini. Ada juga yang berbeda.

Namun ada berapa banyak pendekar semacam Li Sun- Hoan?

Mungkin hanya ada satu hal yang pasti ditemukan dalam semua pendekar. Hidup mereka sungguh menyedihkan. A Fei menghela nafas panjang. Katanya, “Mungkin ia tidak akan bisa menggunakan pedang lagi dalam hidupnya.”

Kata Li Sun-Hoan, “Ia masih punya tangan kanan.”

Sahut A Fei, “Tapi ia sudah terbiasa menggunakan tangan kirinya. Tangan kanannya pasti jauh lebih lambat.”

Ia mendesah lagi dan menambahkan, “Bagi ahli pedang, ‘lambat’ berarti ‘mati’.”

Padahal biasanya A Fei tidak pernah mendesah.

Namun kini, ia bukan hanya mendesah bagi Hing Bu- bing, namun juga bagi dirinya sendiri.

Li Sun-Hoan mengawasinya, lalu berkata, “Jika seseorang punya kemauan kuat, walaupun ia tidak punya tangan, ia masih bisa memainkan pedang dengan mulutnya. Tapi jika ia patah semangat, walaupun ia punya dua tangan, keduanya tidak berguna sama sekali.”

Ia terkekeh dan melanjutkan, “Banyak orang di dunia ini memiliki dua tangan yang sehat. Namun berapa dari tangan-tangan itu yang memiliki kecepatan kilat?”

A Fei mendengarkan dengan seksama. Setelah beberapa saat matanya mulai berbinar-binar. Tiba-tiba ia berlari ke samping Li Sun-Hoan dan mencengkeram lengannya. Katanya, “Aku mengerti maksudmu.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tahu kau pasti mengerti.”

Saat ia mengatakannya, air mata mengalir membasahi wajah kedua laki-laki itu. Jika ada orang lain yang melihat adegan ini, hati mereka pun pasti tergerak.

Sayang sekali Liong Siau-hun dan putranya bukan orang semacam ini. Diam-diam mereka berusaha kabur.

Li Sun-Hoan memunggungi mereka. Sepertinya ia tidak tahu apa yang mereka lakukan.

A Fei memandang mereka sekilas saja, dan tidak berkata apa-apa.

Setelah mereka keluar, A Fei baru mendesah dan berkata, “Aku tahu kau pasti melepaskan mereka pergi.”

Li Sun-Hoan terkekeh. Katanya, “Ia pernah menyelamatkan aku satu kali.”

“Ia menyelamatkanmu sekali, namun ia telah menyakitimu berkali-kali.”

Li Sun-Hoan terkekeh lagi. “Bukannya aku lupa. Tapi lebih baik aku tidak mengingat-ingatnya, karena ia pun memiliki kesusahannya sendiri.” A Fei berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Akhirnya aku menyadari bahwa ada begitu banyak ketidakadilan dalam dunia ini.”

“Ketidakadilan?”

“Ya, ketidakadilan. Misalnya, ada orang yang selalu melakukan kebajikan dalam hidupnya, namun melakukan satu kesalahan. Satu kesalahan inilah yang akan mengikuti dia seumur hidupnya. Orang lain tidak bisa mengampuninya, dia pun tidak bisa mengampuni dirinya sendiri.”

Li Sun-Hoan terdiam.

Ia tahu, kata-kata A Fei sungguh benar adanya.

A Fei melanjutkan, “Namun ada juga orang-orang seperti Liong Siau-hun. Mungkin hanya satu kali ia berbuat kebaikan dalam hidupnya, yaitu dengan menolongmu satu kali itu. Dan kau tidak pernah berpikir bahwa dia orang jahat.”

Kini Li Sun-Hoan menyadari maksud A Fei mengatakan semuanya itu.

Ia sedang membela Lim Sian-ji.

Ia merasa Lim Sian-ji hanya melakukan satu kesalahan dalam hidupnya, namun Li Sun-Hoan tidak dapat memaafkannya. Memang cinta itu luar biasa. Kadang manis, kadang pahit, kadang mengerikan…. Ia bisa membuat pikiran orang menjadi bodoh, membuat mata menjadi buta.

Tiba-tiba Li Sun-Hoan tertawa sumbang. Katanya, “Ada kenangan yang begitu mudah terlupakan, namun ada juga yang teringat sampai selama-lamanya.”

A Fei menghela nafas. Katanya, “Itu karena kau menolak untuk mengingat kenangan-kenangan tertentu.”

A Fei memang masih muda, namun pandangannya tentang hidup terkadang lebih dalam daripada orang- orang yang lebih tua.

Kata Li Sun-Hoan, “Jika kau berusaha melupakan hal-hal tertentu, pikiranmu malah akan terus memikirkan tentang hal itu. Seseorang tidak bisa memilih apa yang ingin diingatnya. Mungkin ini adalah salah satu duka kehidupan.”

Tanya A Fei, “Bagaimana dengan engkau? Apakah kau secara jujur hanya mengingat bahwa ia telah menyelamatkanmu? Apakah kau sungguh melupakan perbuatannya yang lain?”

***

Ketika Liong Siau-hun dan putranya berhasil lolos, mereka berdua sungguh merasa puas.

Liong Siau-hun tidak dapat menahan senyumnya dan berkata, “Ingat, kau harus selalu memanfaatkan kelemahan orang lain. Jika kau bisa memanfaatkan lawanmu, kau tidak akan pernah kalah.”

Anaknya menjawab, “Aku sudah tahu semua kelemahan Li Sun-Hoan.”

Sahut ayahnya, “Jadi kita pasti akan mengalahkannya, cepat atau lambat.”

Tiba-tiba terdengar suara tawa.

Suara itu datang dari sisi atap yang lain.

Seseorang sedang duduk di atas atap sambil makan sepotong ayam. Tidak lain adalah Oh si gila.

Matanya memandang pada paha ayam yang sedang dimakannya, bukan pada Liong Siau-hun atau putranya. Seolah-olah paha ayam itu lebih menarik baginya.

Katanya, “Kalian tidak perlu buru-buru kabur. Li Sun- Hoan tidak akan mengejar. Kalau tidak, mana mungkin ia membiarkan kalian keluar dari sana?”

Wajah Liong Siau-hun berubah bengis.

Kini ia tahu bagaimana Li Sun-Hoan mendapatkan tenaga.

Namun ia tidak bisa menuduh Oh si gila. Liong Siau-hun terpaksa terkekeh dan berkata, “Aku minta maaf kalau kau harus mengurus Toako beberapa hari ini.”

Sahut Oh si gila, “Tidak jadi soal. Li Sun-Hoan tidak makan banyak. Ia hanya makan dua paha ayam dan sekerat roti setiap hari. Lagi pula, kau menempatkan orang tolol untuk menjaga pintu. Aku hanya perlu menutup Hiat-to (jalan darah) tidurnya dua kali sehari, dan ia benar-benar menyangka bahwa ia ketiduran sebentar.”

Liong Siau-hun mengertakkan giginya. Ia ingin memastikan bahwa penjaga pintu itu akan tidur selama- lamanya secepat mungkin.

Oh si gila melanjutkan, “Yang pasti, aku sudah membayar lunas hutang-hutangku. Kita impas sekarang. Dan aku tidak sudi berbicara dengan orang semacam dirimu lagi.”

Liong Siau-hun cuma bisa pura-pura tersenyum.

Kata Oh si gila, “Tapi ada satu hal yang ingin kusampaikan sebelum pergi.”

“Aku mendengarkan.”

“Kau memang orang busuk, namun Siangkoan Kim-hong lebih busuk lagi. Jika kau ingin menjadi saudara angkatnya, kusarankan lebih baik kau mencari tali untuk menggantung diri saja.” Ini memang perkataannya yang terakhir. Waktu kalimatnya selesai, orangnya pun telah pergi.

Liong Siau-hun tersenyum, katanya menggumam, “Aku tidak menyangka begitu banyak orang yang tahu bahwa Siangkoan Kim-hong dan aku akan mengangkat saudara.”

***

Mereka berjalan perlahan-lahan.

Li Sun-Hoan dan A Fei tidak berbicara.

Mereka tahu bahwa kadang-kadang diam itu lebih berharga daripada banyak kata-kata.

Senja.

Terdengar bunyi seruling. Musiknya pun bersenandung lagu-lagu musim gugur.

Irama semacam ini mudah membuat orang teringat akan masa lalu, mengingatkan pada orang yang dikasihinya.

Tiba-tiba A Fei berkata, “Aku harus pulang.” Tanya Li Sun-Hoan, “Apakah dia menantikanmu?” “Ya.” Li Sun-Hoan diam saja. Tapi tidak berapa lama, ia tidak dapat menahan pertanyaannya. “Apakah kau yakin ia sedang menantikanmu?”

Wajah A Fei memucat. Setelah beberapa saat akhirnya ia menjawab, “Dialah yang menyuruhku pergi untuk menyelamatkanmu.”

Li Sun-Hoan terdiam, tidak tahu harus bilang apa.

Ia cukup memahami jalan pikiran Lim Sian-ji. Namun kali ini, ia tidak mengerti mengapa Lim Sian-ji berbuat seperti itu.

Kata A Fei, “Ada dua orang yang begitu berharga dalam hidupku. Kuharap….kau bisa berkawan dengannya.”

Ia mengatakannya sepatah demi sepatah, dengan sangat lambat, dengan kepedihan di hatinya.

Melihat duka di wajahnya, hati Li Sun-Hoan pun sama pedihnya.

Hanya orang yang pernah mencintai sepenuh hati, tahu betapa besar kuasa cinta, betapa mengerikannya cinta.

Kata Li Sun-Hoan tiba-tiba, “Aku pun ingin menemuinya.” Bibir A Fei terkatup rapat.
Kata Li Sun-Hoan, “Tapi jika kurang enak, tolong sampaikan saja terima kasihku padanya.” Akhirnya A Fei menjawab, “Aku….Aku hanya berharap kau tidak akan menyakitinya.”

Sebenarnya A Fei tidak perlu mengatakannya. Karena ia tahu bahwa Li Sun-Hoan tidak pernah menyakiti orang lain….hanya menyakiti dirinya sendiri saja.

Namun ia tetap mengatakannya, demi Lim Sian-ji.

Ketika mereka mengangkat kepala, sejuta cahaya lilin menyambut mata mereka.

Entah bagaimana, mereka sudah berada di jalan besar yang ramai.

Jalan ini lebih ramai dan sibuk di malam hari daripada siang hari. Ada banyak warung kecil di situ, dengan begitu banyak lilin yang menerangi barang-barang dagangan.

Sederetan gulali berkilauan di bawah cahaya lilin. Tiba-tiba langkah Li Sun-Hoan terhenti.
Seraut wajah seakan-akan tergambar di permukaan gulali itu.

Wajah seorang gadis muda berbaju merah, dengan mata besar dan senyum ceria.

Lalu dilihatnya rumah makan yang menjual pangsit itu. Apakah Ling Ling masih di sana? Li Sun-Hoan merasa sangat malu karena ia sudah melupakan gadis itu sama sekali.

Ia melihat wajah A Fei sama persis seperti wajah Ling Ling ketika mereka pertama kali tiba di situ…. A Fei belum pernah mengunjungi tempat seperti ini.

Li Sun-Hoan tertawa.

Ia merasa bahagia karena sahabatnya ini ternyata belum kehilangan jiwa kanak-kanaknya.

Tiba-tiba A Fei berkata, “Sudah lama kita tidak minum arak bersama.”

“Apakah kau ingin minum sekarang?”

“Entah mengapa, kalau bersama denganmu, aku jadi ingin minum.”

Lalu A Fei pun tertawa.

Perasaan Li Sun-Hoan pun menjadi gembira. Katanya, “Bagaimana kalau kita pergi ke restoran pangsit di depan sana?”

A Fei tersenyum dan menjawab, “Boleh juga. Lagi pula aku memang tidak mampu membayar yang lebih mahal.”

Ada hal-hal yang aneh dalam hidup ini. Makin jelek seorang wanita, semakin aneh tindakannya. Makin miskin seseorang, semakin sering ia menjamu sahabatnya.

Memang menjamu seseorang adalah hal yang menyenangkan. Sayang sekali, tidak banyak orang yang tahu bagaimana menikmatinya.

Di meja sudut itu duduk seseorang berjubah putih. Waktu masuk, Li Sun-Hoan langsung melihatnya. Siapapun akan tertarik melihat orang itu.
Walaupun tempat ini penuh minyak dan asap, pakaiannya tampak begitu indah dan bersih. Jubahnya seperti baru saja dicuci.

Jubahnya tampak sederhana, namun sangat mewah. Tapi yang paling menarik adalah gayanya.
Ia memiliki karisma yang luar biasa.

Meja-meja di sekelilingnya kosong. Karena semua orang merasa tidak pantas duduk bersebelahan dengan dia.

Ia adalah orang yang menggunakan sekeping perak untuk mematahkan pikulan si lelaki kekar berjubah hijau tempo hari. Orang yang memotong-motong kepingan perak menjadi serpihan kecil. Mengapa ia masih di sini? Apakah ia sedang menantikan seseorang?

Ia sedang mengangkat cawannya. Pada saat Li Sun-Hoan masuk, tangannya berhenti di udara. Matanya langsung tertuju pada wajah Li Sun-Hoan.

Di depannya duduk seseorang. Seorang gadis berbaju merah dengan kuncir panjang.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar