Si Pisau Terbang Li Bab 55 : ****

  
Bab 55. ****

Kegelapan. Dalam kegelapan itu terdengar suara nafas merintih. Lalu sunyi senyap.
Setelah sekian lama, terdengar suara seorang wanita. Ia berbisik, “Tahukah kau, aku selalu ingin menanyakan satu hal saja.”

Suara wanita ini sangat lembut dan menggoda. Jika seorang laki-laki tidak ingin digoda oleh suara ini, ia sebaiknya menjadi tuli saja.

Seorang laki-laki berbicara, “Apa yang ingin kau tanyakan?”

Suara laki-laki ini sangat aneh. Jika engkau berada di dekatnya, suaranya terasa datang dari jauh. Jika engkau berada di kejauhan, suaranya seakan-akan berada di sampingmu.

Tanya wanita itu, “Apakah kau benar-benar laki-laki? Atau kau terbuat dari besi baja?”

Sahut sang pria, “Kau tidak tahu?”

Suara wanita itu terdengar semakin lembut. Katanya, “Jika engkau adalah seorang laki-laki, mengapa kau tidak pernah merasa lelah?”

Tanya sang pria, “Kau perlu istirahat?”

Si wanita mengikik manja. Katanya, “Kau pikir aku tidak bisa mengiringimu? Bagaimana kalau kita coba lagi?” Kata sang pria, “Tidak sekarang!” “Kenapa?”
“Karena aku memerlukan engkau untuk berbuat sesuatu.”

Sahut si wanita, “Akan kulakukan apapun yang kau minta.”

Kata sang pria, “Bagus. Pergilah sekarang membunuh A Fei.”

Si wanita seperti terhenyak mendengarnya. Setelah beberapa saat, ia menghela nafas dan berkata, “Telah kukatakan padamu. Belum saatnya membunuh dia.”

Kata sang pria, “Saat ini saat yang tepat.” “Kenapa? Apakah Li Sun-Hoan sudah mati?” “Belum. Tapi sebentar lagi.”
Tanya si wanita tidak sabar, “Di mana… Di mana dia?” Sahut sang pria, “Dalam genggamanku.”
Si wanita tersenyum dan berkata, “Aku ada bersamamu setiap malam beberapa hari terakhir ini. Bagaimana kau dapat menangkapnya? Kau bisa terbelah menjadi dua?” Sahut sang pria, “Jika aku menginginkan sesuatu, aku tidak harus melakukannya sendiri. Orang lain akan membawanya kepadaku.”

Kata si wanita, “Siapa yang membawanya kepadamu? Siapa yang sanggup menangkap Li Sun-Hoan?”

Sahut sang pria, “Liong Siau-hun.”

Si wanita tercekat. Namun ia segera tersenyum dan berkata, “Ah, sudah tentu Liong Siau-hun. Hanya sahabat karib Li Sun-Hoanlah yang dapat mencelakai dirinya. Ia sepertinya kebal akan segala senjata, kecuali perasaan.”

Sang pria berkata dingin, “Sepertinya kau sangat memahami dirinya.”

Si wanita tertawa, katanya, “Aku memang memahami lawanku lebih baik daripada sahabatku. Contohnya, aku sama sekali tidak memahami dirimu.”

Segera si wanita mengalihkan pembicaraan, dan menyambung, “Aku pun mengenal Liong Siau-hun. Tidak mungkin ia akan memberikan Li Sun-Hoan kepadamu tanpa alasan.”

“O ya?”

“Ia tidak ingin membunuh Li Sun-Hoan dengan tangannya sendiri. Ia hanya ingin memanfaatkan dirimu untuk melakukan pekerjaan itu.”

Tanya sang pria, “Kau pikir hanya itu tujuannya?” “Apa lagi yang dia inginkan?”

“Ia ingin menjadi saudara angkatku.”

Si wanita mendesah, katanya, “Dia benar-benar tahu caranya tawar-menawar. Apakah kau sudah menyetujuinya?”

“Ya.”

“Apakah kau tidak menyadari bahwa ia hanya ingin memanfaatkanmu?”

Sang pria tersenyum sinis.

Tiba-tiba ia tertawa bengis. Katanya, “Sayang sekali rencananya terlalu polos.”

Tanya si wanita, “Terlalu polos?”

“Ia pikir jika ia menjadi saudara angkatku, maka aku tidak akan mencelakainya. Hmmmh, sekalipun ia adalah saudara kandungku, tidak akan ada perbedaan.”

Si wanita terkekeh. Katanya, “Kau benar. Jika ia bisa mengkhianati Li Sun-Hoan, pasti ia akan mengkhianatimu juga.”

Kata sang pria, “Walaupun Liong Siau-hun tidak berarti apa-apa di mataku, anaknya cukup menarik juga.”

“Kau sudah bertemu dengan setan cilik itu?” Kata sang pria, “Liong Siau-hun tidak datang sendiri menemui aku. Anaknyalah yang datang.”

Si wanita menghela nafas, katanya, “Kau benar. Anaknya adalah seorang setan cilik yang sudah matang.”

Sang pria berpikir sejenak lalu tiba-tiba berkata, “Kau boleh pergi sekarang.”

Kata si wanita, “Kau tidak ingin aku menemanimu lebih lama sedikit?”

“Tidak.”

Si wanita berkata dengan lembut, “Laki-laki lain selalu tidak rela ketika mereka harus berpisah denganku.
Mereka ingin berada di sampingku selama mungkin. Hanya engkau. Hanya engkaulah yang menyuruhku pergi setelah kita selesai.”

Sang pria menyahut dingin, “Karena aku bukan laki-laki lain. Akupun bukan sahabatmu. Kita hanya saling memanfaatkan. Kita berdua tahu akan hal ini, mengapa harus berpura-pura akrab?”

Ruangan itu gelap gulita, namun ada cahaya dari luar. Remang-remang, cahaya bintang.
Di bawah cahaya bintang berdirilah seseorang. Ia berdiri di luar ruangan itu. Matanya yang kelabu dan mati menatap ke kejauhan. Tubuhnya tegak seperti patung. Namun kini, dalam mata yang kelabu dan mati itu terbayang suatu penderitaan yang dalam.

Ia tidak tahan berdiri di situ.

Ia tidak tahan mendengar suara yang terdengar dari ruangan itu.

Namun ia harus bertahan.

Dalam hidupnya, ia hanya setia kepada satu orang….Siangkoan Kim-hong.

Hidupnya, jiwa raganya, adalah milik Siangkoan Kim- hong.

Pintu terbuka.

Sesosok bayang-bayang muncul di balik punggungnya.

Cahaya bintang menyinari wajahnya. Kecantikan, keayuan, kepolosannya….siapapun yang melihatnya tidak akan menyangka apa yang baru saja diperbuatnya.

Seorang dewi dari luar, seorang iblis di dalam…. Siapa lagi kalau bukan Lim Sian-ji?

Hing Bu-bing tidak berpaling.

Lim Sian-ji mengitari tubuhnya dan berhenti di hadapannya, menatapnya. Matanya menatap lembut, selembut cahaya bintang di langit.

Pandangan Hing Bu-bing tetap tertuju pada kegelapan di kejauhan sana. Seolah-olah wanita itu tidak ada.

Tangan Lim Sian-ji menyentuh bahunya, membelai tubuhnya.

Hing Bu-bing tidak bereaksi. Seolah-olah sekujur tubuhnya sudah mati rasa.

Lim Sian-ji tersenyum. Dengan lembut ia berkata, “Terima kasih karena kau telah menjaga pintu untuk kami. Ketika aku tahu kau berada di luar, aku merasa aman, merasa lebih bergairah melakukan apapun juga.”

Lalu ia mendekatkan bibirnya ke telinga Hing Bu-bing dan berbisik, “Aku juga akan memberi tahu padamu sebuah rahasia. Ia mungkin sudah tua, tapi ia masih hebat di atas ranjang. Mungkin karena ia lebih berpengalaman daripada yang lain.”

Lalu ia segera melenggok pergi dengan senyum lebar di bibirnya.

Hing Bu-bing masih berdiri di situ. Namun sekujur tubuhnya gemetar hebat.

***

Ji-in-kek-can adalah hotel terbesar di kota itu. Di situlah orang-orang kaya menghamburkan uang mereka. Jika seorang pelanggan punya uang, ia dapat menikmati segala kemewahan tanpa harus keluar dari kamarnya.

Di sini ia hanya menjentikkan jari dan para pelayan akan membawakan makaLam-yang-hu terlezat, penyanyi dan penari yang terbaik, bahkan pelacur yang paling hebat ke kamarnya.

Di sini, sepanjang hari kamar-kamar tertutup, seperti kota mati.

Tapi di malam hari, semua pintu terbuka.

Pertama-tama terdengar bunyi air mengalir. Lalu para pengangkut barang berteriak-teriak, para pelayan sibuk mengucapkan terima kasih. Terdengar pula suara cekikikan para wanita dan sapaan-sapaan seperti ‘Tuan Zhang’ atau ‘Tuan Ketiga Wang’.

Lalu terdengar suara denting cawan orang bersulang, wanita-wanita menyanyi dan tawa genit mereka, suara para pria menyombongkan diri….

Di tempat ini, di tengah malam, akan terdengar segala macam suara yang tidak pantas.

Hanya satu kamar yang tidak bersuara.

Hanya kadang-kadang terdengar satu dua suara rintihan, lalu jerit kesakitan.

Pintu kamar itu selalu tertutup. Tiap malam, jika senja sudah tiba, seorang gadis akan masuk ke sana. Gadis-gadis ini sangat cantik, sangat muda, dan sangat lembut.

Ketika mereka memasuki kamar itu, mereka berdandan cantik sekali. Senyum lebar menghiasi wajah mereka.
Walaupun senyuman itu palsu, senyuman itu tetap menggairahkan.

Namun ketika mereka keluar dari kamar itu di pagi harinya, semua telah berubah.

Rambut yang tersisir rapi akan berantakan, kadang- kadang malah terjambak sana-sini. Mata mereka yang berbinar-binar akan menjadi lesu dan kuyu. Wajah mereka yang cerah dan berdandan rapi terlihat berantakan dan basah oleh air mata.

Tujuh hari. Setiap kali kejadiannya sama selama tujuh hari.

Awalnya, tidak seorangpun memperhatikan. Namun lama-kelamaan orang-orang mulai curiga.

Di tempat orang lain mencari kebahagiaan, kejadian seperti ini cepat terlihat.

Orang pun mulai kasak-kusuk.

Tapi setiap orang terkesiap mendengar jawabannya.

“Orang di kamar itu sebenarnya belum benar-benar dewasa!” Ketika ditanyai, beberapa orang gadis langsung gemetar. Air mata langsung meleleh, dan mereka tidak berani mengatakan apa-apa.

Sewaktu terus didesak, mereka hanya bisa bilang, “Ia….bukan manusia….bukan manusia.”

Senja sudah turun lagi.

Pintu kamar itu masih tertutup.

Di seberang pintu ada sebuah jendela. Seorang anak berwajah pucat duduk dekat jendela itu, memandang ke luar. Ia tidak bergerak sedikit pun. Termenung sangat, sangat lama.

Kadang-kadang di matanya terpancar suatu kilatan yang berbisa.

Liong Siau-in.
Makanan di meja hampir-hampir tidak disentuh. Ia makan sangat sedikit. Ia sedang menunggu.
Menunggu kenikmatan yang lebih besar. Ia memang tidak suka makan. Ia merasa, jika seseorang makan terlalu banyak, kepalanya akan menjadi tumpul.

Akhirnya, terdengar suara ketukan pintu.

Liong Siau-in tidak menoleh. Ia hanya berkata dingin, “Pintu tidak dikunci. Masuklah.” Pintu terbuka. Suara langkah yang ringan dan perlahan terdengar.

Satu lagi gadis kecil yang lemah dan sedikit pemalu. Ini adalah tipe gadis kesukaan Liong Siau-in.
Karena fisiknya sendiri lemah, ia ingin bersikap ‘gagah’. Hanya di hadapan gadis-gadis semacam inilah ia bisa berpura-pura ‘gagah’.

Langkah itu berhenti dekat meja.

Tanya Liong Siau-hun, “Apakah orang yang membawamu ke sini sudah memberitahukan harganya?”

Jawab si gadis malu-malu, “Ya.”

“Harga itu tiga kali lipat harga biasa, bukan?” Lagi-lagi si gadis mengiakan.
Kata Liong Siau-hun, “Jadi kau akan menuruti perkataanku, bukan? Kau tidak akan melawan, bukan?”

“Betul.”

“Bagus. Sekarang tanggalkan pakaianmu. Semuanya.”

Gadis itu diam saja. Setelah beberapa saat ia berkata, “Kau tidak ingin melihatku menanggalkan pakaianku?”

Suara itu merdu, sangat sangat merdu. Liong Siau-in tertegun.

Gadis itu tertawa merdu dan berkata, “Tahukah kau bahwa melihat seorang gadis menanggalkan pakaiannya itu sangat menggairahkan. Mengapa tidak kau coba?”

‘Gadis’ itu adalah Lim Sian-ji!

Lim Sian-ji memamerkan senyuman dewinya. Liong Siau-in seolah-olah berubah menjadi batu.
Namun hanya sekejap saja. Segera ia tertawa dan berdiri, katanya, “Ah, ternyata Bibi Lim yang datang untuk bercanda denganku.”

Lim Sian-ji memandangnya mesra dan berkata, “Kau masih memanggilku bibi?”

Liong Siau-in tersenyum dan menyahut, “Bibi tetap adalah bibi.”

Tanya Lim Sian-ji, “Tapi kau sekarang sudah dewasa, bukan?”

Ia mendesah lembut dan menggumama, “Aku baru pergi tiga tahun saja, dan lihatlah kau sudah begini gagah.”

Liong Siau-in segera mengalihkan pembicaraan. “Kami tidak pernah berhasil menemukan Bibi Lim selama tiga tahun ini.” Kata Lim Sian-ji, “Tapi aku tahu banyak tentang engkau. Kudengar…..terhadap wanita, kau jauh lebih hebat daripada orang-orang yang jauh lebih tua.”

Liong Siau-in menundukkan kepalanya malu-malu. Katanya, “Tapi di hadapan Bibi Lim, aku masih anak- anak.”

Lim Sian-ji mengangkat alisnya. Ia merengut dan berkata manja, “Masih juga kau panggil aku bibi? Apakah aku sudah setua itu?”

Lim Sian-ji berdiri di depannya dengan santai. Namun keanggunannya, ekspresi wajahnya, senyumnya yang begitu menggoda, tidak dapat ditemukan pada wanita lain.

Mata Liong Siau-in mulai berbinar.

Lim Sian-ji menggigit bibirnya, katanya, “”Kudengar kau suka gadis muda. Aku…Aku hanya seorang wanita tua.”

Liong Siau-in merasa jantungnya berdegup makin kencang. Ia tidak bisa tidak berkata, “Ah, kau sama sekali belum tua.”

“Benarkah?”

Kata Liong Siau-in, “Jika seseorang mengatakan bahwa kau sudah tua, ia pasti seorang tolol, atau seorang buta.”

Lim Sian-ji terkekeh. “Jadi apakah kau adalah orang tolol? Atau orang buta?” Sudah tentu Liong Siau-in bukan orang tolol, bukan pula orang buta.

Ketika Lim Sian-ji meninggalkannya, ia merasa agak kesakitan.

‘Anak’ ini bukan seorang anak, bukan juga seorang tolol, karena ia adalah seorang gila!

Orang gila yang mengerikan.

Bahkan Lim Sian-ji sekalipun belum pernah bertemu dengan orang segila ini.

Namun di matanya terbayang suatu kepuasan.
Akhirnya ia mendapatkan informasi yang diinginkannya. Dalam urusan tentang laki-laki, ia tidak pernah gagal.
Apakah orang itu seorang tolol, seorang pria baik-baik, ataupun seorang gila!

Walaupun hari sudah mulai fajar, terlihat beberapa orang yang masih minum.

Seseorang berseru, “Jika kau ingin minum, minumlah sampai fajar tiba, atau sampai kau jatuh rebah ke tanah….” Sepertinya, sebelum kalimatnya selesai, ia pun sudah rebah ke tanah.

Mendengar kata-kata itu, Lim Sian-ji teringat pada seseorang. Bahkan serasa suara batuknya pun dapat terdengar.

Setiap kali ia ingat akan orang ini, kemarahannya memuncak.

Karena ia tahu bahwa ia dapat menaklukkan semua pria di dunia ini, tapi bukan dia.

Dan karena ia tidak dapat memiliki pria itu, maka ia harus menghancurkannya!

Jika ia tidak dapat memiliki seseorang, siapapun tidak boleh memilikinya.

Ia mengertakkan giginya dan berpikir, “Walaupun aku menginginkan engkau mati, kau belum boleh mati sekarang. Lebih-lebih lagi, aku tidak dapat membiarkanmu mati di tangan Siangkoan Kim-hong. Jika ia membunuhmu, tidak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat menghentikannya.”

“Namun suatu hari nanti kau pasti mati di tanganku. Mati perlahan-lahan….oh, sangat perlahan-lahan….”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar