Si Pisau Terbang Li Bab 54 : Transaksi

  
Bab 54. Transaksi

Kedua orang ini tentunya adalah Hing Bu-bing dan Siangkoan Kim-hong. Mungkin dalam dunia ini tidak ada orang lain seperti kedua orang ini. Seseorang yang begitu kaya, begitu ternama, begitu berpengaruh, seperti Ketua Kim-ci-pang hidup di tempat yang begitu sederhana seperti ini. Tidak pernah akan pernah ada yang mengira.

Karena dalam pandangan mereka, uang hanyalah sebuah sarana. Demikian pula, wanita adalah sebuah alat.
Semua kemewahan di dunia ini adalah alat bagi mereka. Mereka tidak pernah mempedulikan semuanya itu.
Mereka hanya peduli akan kekuasaan. Kekuasaan. Selain kekuasaan, mereka tidak membutuhkan apa-apa. Mereka hidup untuk kekuasaan, dan bahkan mungkin mati demi kekuasaan.

Suasana hening. Selain suara kertas dilembari, hanya ada kesunyian. Cahaya lilin menerangi mereka. Tidak ada yang tahu sudah berapa lama mereka bekerja, berdiri di situ. Yang terlihat hanyalah terang berubah menjadi gelap, dan gelap berubah lagi menjadi terang. Seolah- olah mereka tidak pernah lelah, tidak pernah lapar. Saat itu terdengar seseorang mengetuk pintu. Hanya satu ketukan, sangat perlahan.

Tangan Siangkoan Kim-hong tidak berhenti bekerja. Mengangkat matanya pun tidak.

Tanya Hing Bu-bing, “Siapa?”

Orang di luar menjawab, “It-jit-kiu )Seratus tujuh puluh sembilan).”

“Apa yang kau inginkan?” “Ada seseorang yang ingin menemui Pangcu.” “Siapa?”
“Ia tidak mau menyebutkan namanya.”

Tanya Hing Bu-bing, “Untuk apa ia hendak menemui Pangcu?”

Jawab orang di luar, “Katanya ia akan menyampaikan langsung pada Pangcu.”

Hing Bu-bing berhenti bicara.

Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong berkata, “Di mana dia?” Sahut orang di luar, “Di pekarangan luar.”
Tangan Siangkoan Kim-hong masih terus membalik lembaran-lembaran buku itu. Ia tidak mengangkat kepalanya sewaktu berkata, “Bunuh dia.”

Sahut orang di luar, “Baik.”

Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong bertanya, “Siapa yang mengantarkan orang itu kemari?”

“Pat-tocu (kepala seksi delapan), Hiang Siong.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Bunuh Hiang Siong juga.” “Baik.” Lalu Hing Bu-bing berkata, “Aku pergi.”

Saat ia mengucapkan perkataan itu, sebelah kakinya sudah berada di luar, dan dalam sekejap saja ia sudah berlalu. Kalau soal membunuh, Hing Bu-bing selalu bersemangat. Lagi pula, julukan Hiang Siong adalah Hong-ih-liu-sing (Si Meteor Angin dan Hujan). Liu-sing-tui (Sepasang Palu Meteor)nya ada di peringkat ke-19 dalam Kitab Persenjataan. Bukan hal yang mudah untuk membunuhnya.

Siapa yang diantarnya untuk menemui Siangkoan Kim- hong? Apa alasannya ia datang? Sepertinya Siangkoan Kim-hong sama sekali tidak ingin tahu.

Orang ini sungguh tidak berperikemanusiaan.

Kepalanya tidak pernah terangkat. Tangannya tidak pernah berhenti bekerja.

Pintu terbuka. Hing Bu-bing sudah kembali.

Siangkoan Kim-hong tidak perlu bertanya ‘Apakah dia sudah mati?’

Karena Hing Bu-bing tidak pernah gagal dalam membunuh.

Siangkoan Kim-hong hanya berkata, “Jika Hiang Siong tidak melawan, berikan 10000 tail emas pada keluarganya. Jika ia melawan, bunuh seluruh keluarganya.” Kata Hing Bu-bing, “Aku tidak membunuhnya.”

Akhirnya Siangkoan Kim-hong mengangkat kepalanya dan melotot pada Hing Bu-bing.

Wajah Hing Bu-bing tetap kosong. Katanya, “Karena orang yang diantarkannya itu tidak dapat kubunuh.”

Suara Siangkoan Kim-hong mengguntur, “Semua orang bisa dibunuh. Mengapa dia tidak bisa?”

Sahut Hing Bu-bing, “Aku tidak membunuh anak kecil.”

Siangkoan Kim-hong tertegun. Perlahan-lahan diletakkannya kuasnya. Katanya, “Maksudmu ada seorang anak kecil yang ingin menemui aku?”

“Ya.”

“Anak macam apa?” “Seorang anak cacad.”
Mata Siangkoan Kim-hong berkilat tajam. Ia berpikir sejenak lalu berkata, “Bawa dia masuk!”

Seorang anak kecil berani menemui Siangkoan Kim- hong? Bahkan Siangkoan Kim-hong pun tidak bisa percaya. Anak ini bukan saja berani mati, mungkin dia sudah gila.

Namun benar-benar seorang anak kecil yang masuk. Wajahnya putih seperti kertas, seperti mayat hidup.

Ia pun tidak berekspresi seperti seorang anak kecil. Wajahnya serius seperti orang dewasa.

Ia berjalan perlahan-lahan, dengan punggung agak terbungkuk.

Anak kecil ini lebih mirip seorang kakek tua. Anak kecil ini bukan lain adalah Liong Siau-in.
Siapapun yang bertemu dengan Liong Siau-in akan memperhatikannya dengan seksama.

Demikian pula Siangkoan Kim-hong. Matanya mengawasi wajah anak kecil ini.
Siapapun yang dipandang seperti ini oleh Siangkoan Kim- hong akan langsung gemetaran. Paling tidak lutut mereka akan merasa lemas dan tersungkur.

Tapi Liong Siau-in adalah perkecualian.

Ia masuk perlahan-lahan, membungkukkan badannya memberi hormat dan berkata, “Aku Liong Siau-in, datang menghaturkan hormat pada Pangcu.”

Tanya Siangkoan Kim-hong, “Liong Siau-in? Liong Siau- hun itu siapamu?”

Jawabnya, “Ia adalah ayahku.” “Apakah ayahmu menyuruhmu datang ke sini?” “Ya.”
“Mengapa ia tidak datang sendiri?”

Sahut Liong Siau-in, “Jika ia sendiri yang datang, belum tentu ia bisa bertemu dengan Pangcu. Malah mungkin ia akan mati terbunuh.”

Siangkoan Kim-hong membentak, “Kau pikir aku tidak akan membunuhmu?”

“Aku hanya seorang anak kecil. Hidupku ada dalam genggamanmu. Bukannya kau tidak akan membunuhku, namun aku tidak cukup berharga untuk dibunuh olehmu.”

Wajah Siangkoan Kim-hong berubah cerah. Katanya, “Kau mungkin sangat muda, dan kau mungkin sakit. Namun kau sungguh berani.”

Kata Liong Siau-in, “Jika seseorang membutuhkan sesuatu, ia pasti akan menjadi lebih berani.”

“Kata-kata yang sangat bagus.”

Tiba-tiba ia terkekeh pada Hing Bu-bing. Katanya lagi, “Jika kau hanya mendengar perkataannya, dapatkah kau tahu bahwa ia hanya seorang anak kecil?” Walaupun kepalanya masih tertunduk, Liong Siau-in mengawasi kedua orang ini baik-baik. Ia merasa bahwa hubungan dua orang ini sangat menarik.

Akhirnya Siangkoan Kim-hong berkata, “Kelebihanmu yang terutama adalah bahwa kau tidak pernah bicara. Namun kelemahanmu yang terbesar adalah bahwa kau tidak pernah mendengarkan orang lain bicara.”

Hing Bu-bing diam saja.

Setelah sekian lama, akhirnya Siangkoan Kim-hong bertanya pada Liong Siau-in, “Apa yang kau inginkan?”

“Ada banyak cara untuk mengatakan sesuatu. Aku dapat menyatakan permohonanku dengan cara berputar-putar. Namun aku tahu, waktu Pangcu sangat berharga. Jadi aku akan menyampaikannya secara langsung, tanpa tedeng aLing-aLing.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Bagus. Aku punya satu cara yang mujarab untuk mengobati orang yang terlalu banyak omong. Dengan memotong tenggorokan mereka.”

Kata Liong Siau-hun, “Aku datang untuk melakukan transaksi.”

“Transaksi?”

Wajah Siangkoan Kim-hong kembali membeku. Lanjutnya, “Banyak orang mau bertransaksi dengan aku. Kau tahu apa yang kulakukan terhadap mereka?” Sahut Liong Siau-hun, “Aku mendengarkan.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Aku punya satu cara yang mujarab untuk menghadapi mereka. Dengan membunuh mereka semua!”

Wajah Liong Siau-in tidak berubah sedikitpun. Dengan tenang ia berkata, “Tapi transaksi ini berbeda. Kalau tidak, aku tidak mungkin berani datang.”

“Transaksi adalah transaksi. Apa yang berbeda dengan yang satu ini?”

“Transaksi ini hanya menguntungkan Pangcu.” “O ya?”
Liong Siau-in berkata, “Pangcu sangat ternama di seluruh dunia. Kekayaanmu pun tidak terhingga. Kau bisa memiliki apapun yang kau inginkan di dunia ini.”

Sahut Siangkoan Kim-hong, “Tepat sekali. Oleh sebab itu, aku tidak bertransaksi.”

Kata Liong Siau-in, “Namun ada sesuatu di dunia ini yang mungkin tidak bisa didapatkan oleh Pangcu.”

“O ya?”

“Barang ini mungkin tidak berharga tinggi. Namun nilainya bagi Pangcu berbeda dari orang lain.”

“Barang apa yang kau bicarakan ini?” Jawab Liong Siau-in, “Nyawa Li Sun-Hoan!”

Siangkoan Kim-hong tiba-tiba merasa sangat tertarik. “Apa kau bilang?”

Sahut Liong Siau-in, “Nyawa Li Sun-Hoan ada di tangan kami. Jika Pangcu berkenan melakukan transaksi, aku akan membawanya kepadamu kapan pun kau inginkan.”

Siangkoan Kim-hong mulai berpikir-pikir.

Setelah cukup lama, wajahnya kembali menegang. Katanya, “Li Sun-Hoan tidak berharga sama sekali. Aku tidak peduli padanya.”

Kata Liong Siau-in, “Jika demikian, maka aku mohon diri.”

Ia tidak berkata apa-apa lagi. Ia memutar badan dan berjalan pergi.

Liong Siau-in berjalan ke arah pintu dan membukanya. Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong berkata, “Tunggu.”
Senyum puas terbayang di bibir Liong Siau-in. Namun pada saat ia memutar badannya, di wajahnya hanya terlihat rasa hormat dan tunduk. Ia membungkukkan badannya dan berkata, “Ada lagi yang Pangcu ingin sampaikan?” Siangkoan Kim-hong tidak memandangnya. Matanya tertuju pada cahaya lilin di atas meja itu. Katanya, “Apa yang ingin kau tukarkan dengan nyawa Li Sun-Hoan?”

Sahut Liong Siau-in, “Ayah telah lama mendengar kebesaran nama Pangcu. Ia sangat bersusah hati karena belum pernah bertemu dengan Pangcu.”

Potong Siangkoan Kim-hong tidak sabar, “Omong kosong. Cepat katakan yang kau inginkan.”

Kata Liong Siau-in, “Ayah berharap untuk dapat mengikat persaudaraan denganmu di hadapan semua pendekar dunia persilatan.”

Mata Siangkoan Kim-hong menyala karena amarah, namun segera padam. Ia berkata dengan tenang, “Sepertinya Liong Siau-hun memang orang yang pandai. Sayangnya ia mengajukan permintaan yang sangat bodoh.”

Kata Liong Siau-in, “Mungkin juga. Namun kadang- kadang cara yang paling bodoh adalah cara yang paling efektif.”

Tanya Siangkoan Kim-hong, “Apakah kau yaking aku akan setuju dengan transaksi ini?”

“Jika tidak, mengapa aku mempertaruhkan nyawaku datang ke sini?”

Tanya Siangkoan Kim-hong lagi, “Kau adalah anak tunggal Liong Siau-hun, bukan?” “Ya.”
“Seharusnya ia tidak menyuruhmu datang ke sini.” Kata Liong Siau-in, “Tapi jika ia menyuruh orang lain,
kemungkinan besar orang itu tidak akan dapat menemui Pangcu.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Pada awalnya ini hanyalah sebuah transaksi. Namun sekarang kau sudah ada di sini. Situasinya pun kini berbeda.”

“Kau berpikir untuk menggunakan diriku untuk menyuruh ayah menyerahkan Li Sun-Hoan padamu, bukan?”

“Tepat sekali.”

Liong Siau-in tiba-tiba terkekeh dan berkata, “Pangcu mungkin tahu segala sesuatu, namun kau salah sangka terhadap ayahku.”

Siangkoan Kim-hong tersenyum mengejek. “Kau pikir ia lebih suka membiarkan aku membunuhmu daripada menyerahkan Li Sun-Hoan?”

“Betul sekali.”

Tanya Siangkoan Kim-hong tidak percaya, “Apa dia bukan manusia?”

Jawab Liong Siau-in, “Dia manusia biasa. Namun ada bermacam-macam jenis manusia.” “Jenis yang mana dia?”

“Sama dengan engkau. Segala sesuatu bisa dimanfaatkan, bisa dikorbankan, demi mencapai suatu tujuan.”

Siangkoan Kim-hong mengatupkan mulutnya.

Setelah sekian lama akhirnya ia berkata, “Selama dua puluh tahun ini, belum pernah ada seorang pun yang bicara seperti ini kepadaku.”

Sahut Liong Siau-in, “Oleh sebab itulah aku mengatakannya padamu. Untuk dapat membangkitkan perasaanmu dengan perkataanku.”

Siangkoan Kim-hong melotot padanya dan berkata, “Jika aku tidak setuju, apakah kalian akan melepaskan Li Sun- Hoan begitu saja?”

“Ya.”

Siangkoan Kim-hong tertawa dingin. Katanya, “Kalian tidak kuatir ia akan membalas dendam?”

Jawab Liong Siau-in, “Ia bukan orang semacam itu. Ia tidak akan pernah berbuat seperti itu.”

Ia tertawa dan melanjutkan, “Jika ia seperti itu, ia tidak mungkin terjerat dalam situasi seperti ini.” Siangkoan Kim-hong membentak, “Jika kalian melepaskan dia, kalian pikir aku tidak sanggup membunuhnya dengan tanganku sendiri?”

Liong Siau-in tersenyum dan menjawab dengan tenang, “Pisau Kilat si Li tidak pernah luput.”

“Kau pikir aku tidak dapat menghindar dari pisaunya?” “Paling tidak kau tidak yakin betul, bukan?”
Siangkoan Kim-hong hanya mendengus.

Kata Liong Siau-in, “Mengingat kedudukan dan keberhasilan Pangcu, mengapa harus mengambil resiko yang tidak berguna seperti itu?”

Siangkoan Kim-hong tidak menyahut.

Kata Liong Siau-in lagi, “Lagi pula, walaupun ilmu silat dan ketenaran ayahku biasa-biasa saja, ia adalah salah satu orang terpandai di dunia ini. Pangcu pasti hanya akan mendapatkan keuntungan jika memiliki saudara angkat seperti dia.”

Siangkoan Kim-hong merenung sejenak, lalu tiba-tiba bertanya, “Li Sun-Hoan pun adalah saudara angkatnya, bukan?”

“Ya.”

“Jika ia dapat mengkhianati Li Sun-Hoan, mengapa ia tidak akan mengkhianati aku?” Sahut Liong Siau-in, “Karena Pangcu bukan Li Sun- Hoan.”

Siangkoan Kim-hong tertawa terbahak-bahak. “Kau betul sekali. Walaupun Liong Siau-hun berani mengkhianati aku, ia tidak akan bisa.”

Tanya Liong Siau-in, “Apakah ini berarti bahwa Pangcu telah setuju?”

Siangkoan Kim-hong berhenti tertawa. “Bagaimana aku bisa yakin bahwa kalian memang sudah mendapatkan Li Sun-Hoan?”

Sahut Liong Siau-in, “Jika Pangcu mengirimkan pemberitahuan kepada para pendekar dunia persilatan dan mengundang mereka menghadiri upacara pengangkatan saudara antara Pangcu dengan ayahku….”

Potong Siangkoan Kim-hong, “Kau pikir mereka berani datang?”

“Itu tidak jadi soal. Yang penting semuanya tahu.”

Siangkoan Kim-hong tersenyum sinis. “Rencana yang sangat rapi.”

Kata Liong Siau-in, “Aku tahu Pangcu membutuhkan waktu untuk berpikir. Aku tinggal di Ji-in-kek-can (Hotel Awan Rejeki), menunggu jawaban Pangcu.” Lalu tambahnya, “Setelah pemberitahuan disebarkan dan diterima oleh para pendekar, aku akan mengantar Li
Sun-Hoan ke sini.”

Siangkoan Kim-hong mengejek. “Mengantar dia ke sini…. Hmmmh. Mana kalian sanggup?”

Kata Liong Siau-in, “Sudah tentu kami menyadarinya. Jika Sim-bi Taysu dari Siau-lim-si dan Dian-jitya tidak dapat melakukannya, bagaimana mungkin aku dapat melakukannya. Akan tetapi….”

“Teruskan.”

“Jika Hing-siansing dapat membantu mengawal, pasti tidak akan ada masalah.”

Siangkoan Kim-hong diam saja.

Tiba-tiba Hing Bu-bing berkata, “Aku akan pergi.”

Untuk pertama kalinya, seulas senyum tersungging di bibir Liong Siau-in. Ia segera berlutut dan menyembah. “Terima kasih.”

Siangkoan Kim-hong masih terdiam sampai lama. Tiba- tiba ia bertanya, “Apakah ilmu silatmu sungguh punah untuk selama-lamanya? Apakah Li Sun-Hoan yang melakukannya?”

Wajah Liong Siau-in berubah. Ditundukkannya kepalanya dan menjawab pendek, “Ya.” Siangkoan Kim-hong mengawasi wajahnya dan bertanya, “Apakah kau membencinya?”

Liong Siau-in berpikir lama sebelum menjawab, “Ya.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Sebetulnya kau seharusnya membenci dia, malah seharusnya kau berterima kasih padanya.”

Liong Siau-in mengangkat kepalanya sedikit karena kaget, “Berterima kasih?”

Sahut Siangkoan Kim-hong dingin, “Jika ia belum memusnahkan ilmu silatmu, hari ini kau pasti mati di ruangan ini.”

Liong Siau-in menundukkan kepalanya semakin dalam.

Sambung Siangkoan Kim-hong, “Kau sudah begitu licik di usiamu yang sangat muda. Dalam dua puluh tahun kau pasti bisa menandingi aku. Jika kau tidak cacad, mungkinkah aku membiarkanmu hidup?”

Liong Siau-in mengertakkan giginya kuat-kuat. Begitu kuat sampai gusinya berdarah.

Namun kepalanya tetap tertunduk.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar