Si Pisau Terbang Li Bab 47 : Budha Perempuan Mahagembira

 
Bab 47. Budha Perempuan Mahagembira

Sahut Li Sun-Hoan, “Gila itu bukan sesuatu yang lucu. Hanya seseorang yang memiliki hasrat yang begitu besar yang bisa belajar menjadi ‘gila’.”

Ling Ling tertawa. “Untuk jadi gila saja harus belajar?”

“Tentu saja. Tidak semua orang bisa belajar bagaimana menjadi gila. Gila tidak sama dengan bodoh. Hanya orang yang gila pedang dapat mempelajari ilmu pedang yang terbaik di dunia ini. Hanya orang yang gila cinta dapat mengecap rasa cinta yang sesungguhnya. Orang yang tidak gila tidak mungkin dapat mengerti hal-hal seperti ini.”

Ling Ling menundukkan kepalanya, berusaha mengerti perkataan ini.

Setelah beberapa lama ia mendesah dan berkata, “Aku belajar begitu banyak darimu. Sayang…sayang sekali, kau akan segera pergi. Dan kau pasti tidak akan membawaku pergi bersamamu.”

Li Sun-Hoan terdiam sejenak, lalu berkata, “Paling tidak akan kuantarkan kau pulang ke rumah.” Kata Ling Ling, “Mengapa kita tidak lewat jalan rahasia saja? Lebih cepat lewat situ.”

Li Sun-Hoan tertawa dan menjawab dengan lembut, “Hanya orang-orang yang takut terang yang menggunakan jalan rahasia. Jika tidak betul-betul terpaksa, seseorang sebaiknya tidak menggunakannya.”

Walaupun hatinya murung, Li Sun-Hoan tetap ingin membuat orang lain bergembira.

Ling Ling terkekeh, katanya, “Baik, akan kuturuti perkataanmu. Di kemudian hari, aku tidak akan bersikap seperti seekor tikus.”

Li Sun-Hoan memandang ke langit dan menghela nafas. Katanya, “Lihatlah tempat ini. Angin yang sejuk, bulan yang bersinar terang di langit, air sungai yang mengalir….Bagaimana seseorang yang berjalan di bawah tanah dapat menikmati pemandangan seperti ini?” 

Kata Ling Ling, “Tapi aku lebih memilih kue bulan yang manis dan arak yang mengalir….”

Ia mengeluh dan menambahkan, “Jujur saja, aku lapar sekali. Setibanya kita di rumah, aku akan langsung menyiapkan makanan….”

Tiba-tiba ia berhenti bicara karena ia mencium wangi makanan dan arak dari kejauhan yang terbawa oleh hembusan angin. Wangi seperti itu tentu saja dapat tercium dari jauh dalam hutan seperti ini. Kata Li Sun-Hoan, “Ayam goreng, sapo babi, paprika….dan arak yang bermutu tinggi.”

Kata Ling Ling, “Kau juga menciumnya?”

“Jika seseorang bertambah tua, telinganya mungkin menjadi tuli, matanya mungkin menjadi lamur, namun hidungnya akan tetap tajam.”

Tanya Ling Ling, “Tahukah kau darimana datangnya bau harum ini?”

Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya. “Aku cuma tahu bahwa warung kecil di sini tidak punya arak sebaik ini.
Makanan mereka pun tidak selezat ini.”

Kata Ling Ling, “Lagi pula warung itu sudah tutup.”

Kata Li Sun-Hoan, “Mungkin ada rumah yang sedang memasak makanan tengah malam mereka.”

Sahut Ling Ling, “Tidak mungkin. Aku tahu tiap keluarga di kampung ini. Tidak seorang pun yang kaya.
Seandainya mereka makan tengah malam sekali pun, pasti hanya berupa semangkuk bakmi.”

Li Sun-Hoan menggumam, “Mungkin ada sanak famili yang berkunjung. Jadi mereka masak masakan yang istimewa….”

Sanggah Ling Ling, “Tidak mungkin juga. Tidak satu pun dari para istri dapat memasak masakan selezat ini.” Ia tersenyum dan menambahkan, “Hanya ada satu orang yang dapat memasak masakan seperti ini.”

Li Sun-Hoan tersenyum dan bertanya, “Siapa?”

Ling Ling tersenyum sambil menunjuk hidungnya sendiri. “Aku.”

Ia terdiam beberapa saat lalu berkata, “Oleh sebab itu aku heran sekali. Jika aku tidak memasak, dari mana datangnya bau harum ini?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Bau harum itu datangnya dari rumahmu.”

***

Jalanan di situ sudah sepi.

Semua orang di kampung itu sudah tidur. Cahaya lilin pun sudah padam semuanya. Namun ketika mereka tiba di hutan maple, cahaya terang terlihat dari rumah Ling Ling.

Bukan hanya bau harum arak dan makanan datang dari arah rumah Ling Ling, tapi juga terdengar suara orang bercakap-cakap.

Tubuh Ling Ling mengejang.

Kata Li Sun-Hoan, “Mungkin Nonamu sudah kembali?” Sahut Ling Ling, “Tidak. Nona bilang ia tidak akan kembali paling tidak selama tiga bulan.”

Kata Li Sun-Hoan, “Kau kan memang sering kedatangan tamu. Mungkin kali ini para tamu ini tidak menemukan tuan rumah dan memutuskan untuk memasak sendiri saja.”

Kata Ling Ling, “Aku akan pergi melihat duluan. Kau….”

Li Sun-Hoan menyela, “Sebetulnya akulah yang harus pergi ke sana duluan.”

“Kenapa? Orang-orang itu makan, minum dan sangat ribut. Pastilah mereka tidak berbahaya. Aku tidak akan mendapat kesulitan.”

Kata Li Sun-Hoan, “Soalnya aku juga jadi lapar.”

Ia segera melangkah ke depan Ling Ling dengan waspada. Ia merasa ada perangkap dalam rumah itu yang sedang menunggunya untuk datang dan terjerat.

Pintu depan terbuka lebar.

Ketika Li Sun-Hoan melangkah masuk, ia tercekat.

Ia belum pernah melihat begini banyak wanita gemuk sebelumnya.

Ada dua kali lebih banyak wanita gemuk dalam rumah itu daripada yang pernah dilihatnya seumur hidupnya. Lebih dari sepuluh wanita duduk di situ. Mereka semua duduk di lantai karena seorang pun tidak akan muat duduk di kursi yang ada. Kalau ada yang mencoba duduk di kursi, kursi itu pasti akan jebol.

Tidak seorang pun dari mereka yang bisa bilang bahwa mereka segemuk babi, karena babi pun tidak ada yang segemuk ini. Dan tidak ada babi yang makan sebanyak para wanita ini.

Waktu Li Sun-Hoan melangkah masuk, mereka sedang mengedarkan sepiring besar ayam goreng. Wanita- wanita gemuk ini duduk di sekeliling meja sambil makan.

Di dekat meja ada selimut sutra yang amat besar. Wanita yang paling gemuk duduk di situ. Enam lelaki mengelilinginya.

Tiap lelaki mengenakan jubah sutra yang berwarna- warni. Mereka kelihatan masih muda dan berwajah ganteng. Beberapa orang bahkan merias wajah mereka.

Para lelaki itu tidak ada yang kurus. Namun dibandingkan dengan wanita itu, mereka kelihatan seperti monyet- monyet kecil.

Seorang lelaki memijat kakinya. Seorang lagi memijat pundaknya. Seorang yang lain mengipasinya. Seorang lagi memegangi cawan dan menyuapkan arak padanya.

Dua orang meringkuk di dekat kakinya. Wanita itu memegang sepotong besar ayam goreng di tangannya. Bila ia sedang gembira, ia akan memberikan sesuap dua suap pada mereka.

Untungnya Li Sun-Hoan sudah lama tidak makan. Kalau tidak, ia pasti sudah muntah saat itu. Li Sun-Hoan belum pernah melihat sesuatu yang lebih menjijikkan dalam hidupnya.

Namun ia tidak pergi. Ia malah melangkah masuk dengan tenang.

Semua suara langsung lenyap. Semua mata tertuju padanya.

Saat itu, orang lain pasti akan merasa tidak nyaman, merasa kecut.

Namun Li Sun-Hoan tidak.

Walaupun hatinya gundah, wajahnya biasa saja.

Ia berjalan dengan tenang. Walaupun ia berjalan di istana raja sekalipun, gayanya akan sama seperti ini. Li Sun-Hoan memang orang semacam ini.

Wanita yang paling gemuk itu memicingkan matanya.

Matanya cukup besar, namun hanya tampak seperti satu garis tipis, karena dikelilingi oleh daging yang begitu tebal. Lehernya pun mungkin memang besar, namun karena saking gemuknya, lehernya bahkan tidak kelihatan lagi. Duduk di situ, ia tampak seperti sebuah gunung, sebuah gunung daging.

Li Sun-Hoan berjalan ke depannya dan tersenyum sambil berkata, “Budha Perempuan Mahagembira?”

Mata wanita itu langsung bercahaya. Katanya, “Kau tahu siapa aku?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku sudah mendengar namamu sejak lama.”

“Namun kau masih tidak melarikan diri.” “Mengapa aku harus melarikan diri?” Budha Perempuan Mahagembira tertawa.
Awalnya tawa itu masih kedengaran normal. Namun tiba- tiba seluruh tubuhnya mulai bergoyang.

Setiap orang dalam ruangan itu ikut bergoyang. Ada seorang laki-laki di punggungnya. Namun goyangannya membuat laki-laki itu terpental.

Piring-piring pun ikut bergetar, seperti sedang terjadi gempa bumi.

Untung saja tawanya segera berhenti. Ia menatap Li Sun-Hoan dan berkata, “Walaupun aku tidak tahu siapa engkau, aku tahu maksudmu.”

“O ya?” “Kau ke sini demi Na Kiat-cu, bukan?” Sahut Li Sun-Hoan, “Betul!”
Budha Perempuan Mahagembira berkata, “Ia telah membunuh murid kesayanganku. Apakah itu karena engkau?”

“Ya.”

“Jadi sekarang kau ingin menolongnya?” “Ya.”
Budha Perempuan Mahagembira tersenyum. Katanya, “Kelihatannya kau cukup baik. Paling tidak cukup berharga baginya untuk membunuh muridku.”

Budha Perempuan Mahagembira mengangkat jempolnya dan melanjutkan, “Na Kiat-cu adalah wanita yang luar biasa. Ia cukup terhormat dan gagah berani. Setelah membunuh muridku, ia bukannya lari, malahan datang menemui aku. Aku belum pernah bertemu wanita seperti dia sebelumnya. Kalian berdua memang pasangan serasi.”

Kata Li Sun-Hoan, “Jika kau merestui perjodohan ini, aku akan berterima kasih padamu selama-lamanya.”

“Kau ingin membawanya pergi?” “Ya.” “Bagaimana jika aku telah membunuhnya?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Kalau begitu….mungkin aku harus membalaskan kematiannya.”

Budha Perempuan Mahagembira mulai tertawa lagi. Katanya, “Kau bukan hanya laki-laki yang baik. Ternyata kau pun gagah berani. Aku sungguh tidak ingin membunuhmu.”

Ia menyelonjorkan kakinya. Lelaki yang tadi duduk di situ segera bangkit berdiri. Katanya pada lelaki itu, “Ayo bawakan arak untuk tamu kita.”

Lelaki itu mengenakan jubah berwarna ungu cerah. Tubuhnya cukup jangkung dan riasan wajahnya cukup tebal.

Melihat postur tubuhnya, juga matanya, tampak jelas bahwa dulunya ia cukup ganteng.

Ia segera kembali dengan cawan di tangannya. Ia tersenyum dan mengulurkan cawan itu pada Li Sun- Hoan, “Ini arak untukmu.”

Dalam keadaan seperti itu lelaki ini masih dapat tersenyum.

Li Sun-Hoan mengeluh dalam hatinya. Diterimanya cawan itu sambil mengucapkan terima kasih.

Li Sun-Hoan selalu sopan terhadap siapa pun juga. Ia menganggap setiap orang adalah manusia, bagaimanapun keadaannya. Ia tidak pernah ingin menyakiti siapapun, sekalipun orang itu membahayakan dia.

Cawan itu besar, lebih besar daripada mangkuk pada umumnya.

Li Sun-Hoan menghabiskannya sekali teguk.

Kata Budha Perempuan Mahagembira, “Hebat! Laki-laki yang bisa minum arak adalah laki-laki yang baik. Tidak seorang pun dari lelakiku bisa menandingi kemampuan minummu.”

Lelaki berjubah ungu itu mengambilkan secawan arak lagi untuk Li Sun-Hoan. Katanya, “Li Tamhoa bisa minum ribuan cawan tanpa menjadi mabuk. Satu cawan lagi?”

Li Sun-Hoan terhenyak.

Lelaki ini ternyata mengenalinya.

Budha Perempuan Mahagembira mengangkat alisnya. “Kau memanggilnya ‘Li Tamhoa’? ‘Li Tamhoa’ yang mana dia?”

Kata si lelaki, “Hanya ada satu Li Tamhoa. Tentunya dia adalah Si Pisau Kilat si Li, Li Sun-Hoan.”

Wajah Budha Perempuan Mahagembira menjadi kaku. Mata setiap orang di ruangan itu berbinar-binar. Si Pisau Kilat si Li!

Dalam beberapa tahun belakangan ini, hanya ada beberapa nama yang bisa menandingi ketenarannya.

Budha Perempuan Mahagembira tertawa lagi. Katanya, “Bagus. Aku sering mendengar bahwa Li Tamhoa bukan saja gagah berani, namun juga seorang peminum jempolan. Kau tidak mengecewakan aku. Selain kau, aku tidak yakin ada orang lain yang berani masuk ke sini.”

Si lelaki berbaju ungu berkata, “Pisau Kilat si Li tidak pernah luput. Orang-orang yang berkemampuan tinggi memang biasanya gagah berani.”

Li Sun-Hoan menatap lelaki ini. Katanya, “Dan kau adalah….”

Si lelaki tersenyum. “Ingatan Li Tamhoa memang sudah mundur. Tidakkah kau mengenali teman lamamu?”

Budha Perempuan Mahagembira berkata, “Mungkin ia tidak mengenali wajahmu, namun ia pasti mengenali jurus pedangmu.”

Kata si lelaki sambil tersenyum, “Jurus pedangku…. Aku tidak yakin aku masih mengingatnya.”

Sahut Budha Perempuan Mahagembira, “Kau tidak mungkin lupa. Ayo cepat ambil pedangmu.” Walaupun lelaki itu agak gempal, namun ia berjalan cukup cepat. Hanya beberapa detik saja ia kembali membawa sebilah pedang.

Kata Budha Perempuan Mahagembira, “Tunjukkan padanya ilmu pedangmu.”

Lalu dilemparnya ayam goreng yang tinggal setengah itu ke arah si lelaki.

Terdengar bunyi ‘Ting’, dan pedang pun berkilat-kilat.

Lelaki itu menggeser tubuhnya dan pedang pun teracung dan berkelebat di udara.

Ayam itu sudah menjadi empat potong. Keempatnya tertusuk oleh pedang.

Li Sun-Hoan kaget. Katanya, “Hebat sekali.”

Ia tidak menyangka lelaki ini memiliki ilmu pedang yang begini lihai, dengan kecepatan yang begitu cepat pula. Anehnya, jurusnya seperti sudah pernah dilihatnya.
Sepertinya pernah digunakan untuk menyerangnya.

Lelaki itu berjalan menghampirinya dan berkata, “Ayam ini cukup lezat. Li Tamhoa silakan mencicipi.”

Potongan ayam yang tertusuk di pedang kumala berwarna gelap itu memang sangat menggugah selera.

Pedang kumala yang berwarna gelap itu berkilauan bagai air di bawah sinar bulan. Li Sun-Hoan tercekat. Ia berteriak, “Toat-ceng-kiam!” Lelaki ini memegang Toat-ceng-kiam!
Li Sun-Hoan bergidik memandang lelaki ini. Katanya, “Yu Liong-sing? Apakah kau adalah Yu-siaucengsu dari Istana Pedang Rahasia?”

Lelaki ini tertawa, sahutnya, “Kita memang kawan lama. Kau ternyata belum melupakan aku.”

Ia tertawa terlalu keras, sampai riasan wajahnya berguguran.

Apakah ia betul-betul Yu Liong-sing? Lelaki yang muda dan gagah dua tahun yang lalu itu?

Tubuh Li Sun-Hoan gemetar. Ia merasa kasihan terhadap anak muda ini.

Namun Yu Liong-sing tidak kelihatan sedih sedikitpun.

Tanya Budha Perempuan Mahagembira, “Bisakah koki di Istana Pedang Rahasia membuat ayam goreng selezat ini?”

Sahut Yu Liong-sing, “Di sana ayamnya terasa seperti sepotong kayu.”

“Kalau tidak ada aku, kau tak akan pernah merasakan ayam goreng selezat ini, bukan?”

“Tentu saja.” “Apakah kau suka hidup bersamaku?” “Aku suka sekali.”
“Jika kau boleh memilih, siapakah yang kau pilih, Na Kiat-cu atau aku?”

Yu Liong-sing hampir merangkak mencium kakinya. Sahutnya dengan mata berbinar-binar, “Tentu saja Budha Perempuanku yang tersayang.”

Budha Perempuan Mahagembira tertawa gembira. Katanya, “Bagus. Kau memang adalah anak muda yang pandai.”

Tiba-tiba ia menunjuk pada lehernya sendiri dan berkata, “Ayo, mari kita buat pertunjukan untuk Li Sun-Hoan.
Tusuk aku tepat di sini.”

Kata Yu Liong-sing, “Aku tidak sanggup. Bagaimana jika aku tidak sengaja melukai Budha Perempuan. Hatiku akan hancur.”

Budha Perempuan Mahagembira merengut manja. “Dasar bocah kecil. Kau pikir kau dapat melukai aku? Jangan banyak omong, tusuk saja aku di sini.”

Ia mengangkat kepalanya dan menunggu Yu Liong-sing bergerak.

Yu Liong-sing terdiam sekejap, matanya melirik ke kiri ke kanan. Tiba-tiba ia berkata, “Baiklah!” Cahaya kumala berkilauan. Pedang berkelebat secepat kilat.

Yu Liong-sing masih belum bisa menandingi kecepatan A Fei, namun ia masih merupakan jago pedang kelas satu di dunia. Li Sun-Hoan cukup tahu akan kemampuannya.

Budha Perempuan Mahagembira tetap duduk di situ, tidak bergerak sama sekali. Jika ia adalah seorang laki- laki, ia sungguh tampak seperti patung Budha raksasa.

Pedang yang melesat secepat kilat itu tertancap di lehernya!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar