Bab 38. Nenek dan Cucunya
Angin musim gugur menerpa wajahnya. Cuaca sudah seperti musim dingin.
Sisa-sisa musim gugur hanya terasa sedikit saja.
Hati Li Sun-Hoan pun seperti musim gugur, sedikit demi sedikit layu. “Kau hanya memperkeruh suasana jika kau tinggal….”
Kata-kata si orang tua terus berdengung di telinganya.
Ia menyadari bahwa ia tidak hanya tak boleh menemuinya lagi, ia tak boleh berpikir tentang Lim Si-im.
Si orang tua adalah orang yang sungguh bijaksana. Ia juga seorang yang misterius. Seorang pesilat tangguh. Ia pun tahu segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.
Tapi siapakah dia sebenarnya? Apakah yang disembunyikannya?
Li Sun-Hoan mengagumi Si Bungkuk Sun.
Siapa saja yang bersedia mengelap meja selama lima belas tahun untuk membalas budi, ia patut dikagumi.
Tapi apakah yang sebenarnya dikerjakannya? Apa yang dijaganya?
Dan tentang Sun Sio-ang…. Bagaimana mungkin ia tidak tahu perasaan gadis itu?
Namun ia tidak dapat menerimanya. Ia takut untuk menerimanya.
Satu keluarga ini sungguh penuh dengan misteri. Penuh rahasia sampai terasa menakutkan….
*** Sebuah desa di atas gunung.
Di kaki gunung itu ada sebuah warung arak.
Araknya tidak lezat, namun sangat menyegarkan. Pasti dibuat dengan air dari sumber mata air dekat situ.
Mata air itu ada di balik gunung, sangat jernih. Li Sun- Hoan tahu, jika ia mengikuti aliran air itu, ia akan sampai di sebuah rumah kayu di dalam hutan.
A Fei dan Lim Sian-ji tinggal di rumah itu.
Muka Li Sun-Hoan berseri-seri saat ia membayangkan wajah A Fei yang rupawan. Matanya yang tajam Tan Okkspresi wajahnya gagah.
Dan yang lebih tak terlupakan adalah senyumannya yang jarang terlihat, kehangatan yang tersembunyi di balik sikapnya yang dingin.
Ia tidak tahu seberapa banyak A Fei sudah berubah dalam dua tahun ini.
Ia tidak tahu bagaimana Lim Sian-ji telah memperlakukan A Fei.
Walaupun wajahnya bagaikan malaikat, ia hanya tahu cara menarik laki-laki ke lembah neraka yang paling dalam.
Jadi apakah kini A Fei sudah jatuh ke neraka? Li Sun-Hoan tidak ingin memikirkan hal itu, karena ia memahami A Fei. Ia tahu bahwa A Fei tidak akan keberatan hidup di neraka demi cintanya.
Hari telah mulai senja.
Li Sun-Hoan duduk di sudut gelap warung arak itu.
Ini sudah menjadi kebiasaannya, karena dari situ ia dapat melihat dengan jelas siapa yang masuk, namun orang lain tidak dapat melihatnya dengan jelas.
Ia tidak dapat mempercayai matanya, sebab yang pertama masuk adalah Siangkoan Hui.
Ia duduk di meja yang paling dekat dengan pintu. Matanya menatap ke luar, sepertinya ia sedang menunggu seseorang. Ia menunggu dengan tidak sabar.
Ini sungguh berbeda dari penampilannya yang dingin dan tenang saat terakhir kali Li Sun-Hoan melihatnya.
Kelihatannya ia akan menemui seseorang yang cukup penting. Ia juga datang sendiri, tanpa satu orang pun pelayan, yang artinya, pertemuan ini adalah pertemuan yang rahasia.
Sepertinya tidak ada orang yang begitu penting yang tinggal di tempat terpencil seperti ini.
Lalu siapakah yang dinanti-nantikannya?
Apakah ada hubungannya dengan A Fei dan Lim Sian-ji? Li Sun-Hoan menangkupkan tangan menutupi wajahnya.
Sebenarnya itu tidak perlu, karena mata Siangkoan Hui tidak pernah lepas dari pintu itu.
Akhirnya si penjaga warung menyalakan lilin.
Sikap Siangkoan Hui makin tidak sabar, semakin tampak kesal.
Saat itulah, dua buah tandu muncul di depan pintu. Orang-orang yang mengangkat tandu itu adalah beberapa pemuda gagah.
Seorang gadis yang berusia 13 atau 14 tahun yang sangat menarik turun dari tandu yang pertama. Ia mengenakan jubah berwarna merah.
Siangkoan Hui baru saja mengangkat cawannya, lalu segera diletakkannya kembali.
Gadis muda ini berjalan menuju Siangkoan Hui dan berkata, “Maaf, sudah membiarkan kau menunggu.”
Mata Siangkoan Hui berputar. Ia bertanya, “Di manakah dia? Apakah ia tidak bisa datang?”
Si gadis berjubah merah tersenyum dan menjawab, “Jangan kuatir. Mari ikut aku.”
Siangkoan Hui keluar dari warung itu dan naik ke tandu yang kedua. Li Sun-Hoan mengawasi kepergian mereka dan merasa ada sesuatu yang aneh. Pemuda-pemuda pengangkat tandu itu berbadan kekar. Mereka tidak kesulitan sama sekali mengangkat tandu yang pertama.
Namun para pemikul tandu yang kedua sangat bersusah- payah mengangkat tandu itu.
Li Sun-Hoan segera membayar dan pergi.
Biasanya ia tidak suka ikut campur urusan orang, namun kali ini ia merasa perlu untuk membuntuti Siangkoan Hui, untuk mengetahui siapakah yang akan ditemuinya.
Perasaan Li Sun-Hoan, ini pasti ada hubungannya dengan A Fei.
Tandu-tandu itu masuk ke dalam hutan maple. Tiba-tiba terdengar suara tawa dari tandu itu.
Suara tawa itu sangat halus dan merdu. Setiap laki-laki yang mendengarnya pasti akan tergerak hatinya.
Jika orang yang berada di dalam tandu adalah Siangkoan Hui, mengapa suara tawa yang terdengar adalah suara tawa seorang wanita?
Selang sejenak, kembali tersiar suara genit yang menggetar sukma, "Jangan, Hui cilik ... jangan begini ... tidak boleh di sini "
Lalu terdengar suara Siangkoan Hui dengan napas terengah, "Sungguh aku tidak tahan lagi, aku aku tidak sanggup menunggu, kau tahu betapa kurindukan dirimu?"
"Kiranya kau pun serupa lelaki lain, merindukan diriku adalah karena ingin menganiaya diriku."
"Betul juga ucapanmu, aku justru ingin menganiaya dirimu, sebab kutahu kau suka dianiaya lelaki, betul tidak
... betul "
Sengal napas bertambah keras, tapi suara ucapannya tambah rendah, "Ya, ya, boleh boleh kau aniaya diriku
...."
Suara itu terdengar makin lama makin halus, sampai Li Sun-Hoan tidak dapat mendengarnya lagi.
Tandu itu sampai di puncak bukit. Li Sun-Hoan mendesah.
Jadi ada dua orang dalam tandu itu. Yang satu adalah Siangkoan Hui.
Tapi siapakah sang wanita?
Ia cukup berpengalaman dalam hal wanita. Ia tahu banyak wanita yang suka bicara, namun hanya sedikit yang dapat merayu pria dengan cara itu.
Ia hampir dapat meneriakkan nama wanita dalam tandu itu. Namun sekarang belum bisa, karena ia belum begitu yakin.
Ia memang tidak pernah gegabah, karena ia tidak ingin membuat keputusan yang salah lagi. Satu saja keputusan yang salah rasanya sudah terlalu banyak.
Satu keputusannya yang salah, dan ia telah merusak hidupnya, dan hidup orang lain juga.
Tandu itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil. Pemuda-pemuda pengangkat tandu yang kedua, menyeka keringat yang membasahi wajah mereka.
Gadis muda dari tandu yang pertama turun dan berjalan ke arah pintu rumah itu.
Tok, tok, tok. Ia mengetuk tiga kali dan pintu itu pun dibuka.
Seseorang turun dari tandu yang kedua. Seorang wanita.
Li Sun-Hoan tidak dapat melihat wajahnya, namun pakaian dan rambut wanita itu kusut. Tubuhnya sungguh elok dan gerakannya gemulai.
Sepertinya Li Sun-Hoan kenal dengan wanita ini. Ia berjalan ke arah pintu, lalu melambai ke arah
Siangkoan Hui yang masih berada di tandu sebelum masuk ke dalam rumah itu. Li Sun-Hoan melihat separuh dari wajah itu. Kini dia yakin siapa wanita ini.
Memang betul, dia adalah Lim Sian-ji!
Kalau Lim Sian-ji tinggal di sini, di manakah A Fei?
Li Sun-Hoan ingin segera memburu dan menanyakannya, namun ia menahan diri.
Ia bukan laki-laki yang baik, namun ia akan melakukan apa yang tidak akan atau tidak ingin dilakukan oleh ‘lelaki baik-baik’.
Caranya menghadapi masalah kadang-kadang tidak dapat dimengerti banyak orang.
Walaupun banyak orang di dunia ini yang menginginkan kematiannya, tidak sedikit pula orang yang bersedia kehilangan nyawa mereka untuk menyelamatkannya.
Kini hari sudah gelap.
Li Sun-Hoan masih menanti di luar.
Selama menunggu, ia berpikir akan banyak hal. Ia teringat saat pertama berjumpa dengan A Fei.
Ia tidak kesepian saat itu karena Thi Toan-kah ada bersama dengan dia. Lalu ia pun teringat pada Thi Toan-kah. Wajahnya yang begitu setia dan lembut hati, juga tubuhnya yang sekuat baja….
Sayangnya, walaupun dadanya sekuat baja, hatinya begitu lembut, begitu mudah tersentuh. Oleh sebab itulah, ia lebih sering merasa sedih daripada bahagia.
Selagi berpikir dan berpikir, Li Sun-Hoan tiba-tiba ingin minum arak lagi.
Ia mengeluarkan botol araknya dan minum sampai habis. Lalu ia mulai terbatuk-batuk.
Saat itu pintu rumah terbuka lagi. Siangkoan Hui keluar dengan wajah berseri-seri bahagia, namun tampak agak lelah.
Sebuah tangan keluar dan menggapai tangan Siangkoan Hui.
Terdengar suara berbisik-bisik, mungkin bisikan selamat tinggal.
Sampai cukup lama, akhirnya kedua tangan yang bertaut itu pun terlepas.
Siangkoan Hui berjalan perlahan-lahan, sebentar- sebentar menoleh ke belakang. Sepertinya ia tidak rela pergi dari situ.
Pintu pun tertutup. Siangkoan Hui menengadah menatap langit. Langkahnya menjadi semakin cepat, wajahnya terlihat aneh, kadang tersenyum, kadang mengeluh.
Apakah ia pun sudah jatuh ke neraka?
Cahaya dalam rumah remang-remang, membuat jendela kertas berwarna kemerahan.
Akhirnya Siangkoan Hui pergi dari situ. Li Sun-Hoan merasa sangat prihatin terhadap pemuda ini.
Li Sun-Hoan menghela nafas dan berjalan ke arah rumah itu.
Tok. Li Sun-Hoan mengetuk sekali. Tok,tok, lalu ia mengetuk lagi dua kali berturut-turut, sama seperti cara gadis berjubah merah tadi mengetuk pintu.
Pintu memang dibuka. Seseorang berkata, “Kau….”
Ia hanya mengatakan sepatah kata itu sebelum melihat Li Sun-Hoan. Lalu ia segera berusaha menutup pintu itu kembali.
Namun Li Sun-Hoan telah menghalangi pintu itu.
Orang yang membuka pintu bukanlah Lim Sian-ji, bukan juga si gadis berjubah merah, namun seorang nenek berambut putih. Ia memandang Li Sun-Hoan dengan ketakutan dan bertanya, “Si…Siapakah engkau? Apa yang kau kerjakan di sini?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku datang untuk bertemu teman lama.”
Si nenek bertanya, “Teman lama? Siapakah teman lamamu?”
Li Sun-Hoan tersenyum dan menjawab, “Ia akan tahu kalau ia melihatku.”
Seraya berbicara, ia masuk ke dalam kamar.
Si nenek takut menghalanginya, namun ia berteriak, “Tidak ada temanmu di sini. Yang ada di sini hanya aku dan cucuku.”
Ada tiga kamar di rumah itu,. Lim Sian-ji tidak tampak di ketiga kamar itu.
Si gadis berjubah merah menggigil ketakutan dan wajahnya pucat seperti kertas. Ia berseru, “Nenek? Apakah dia perampok?”
Si nenek pun sangat ketakutan dan tidak bisa menjawab.
Li Sun-Hoan tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis. Ia akhirnya bertanya, “Apakah aku kelihatan seperti seorang perampok?” Si gadis menggigit bibirnya dan berkata, “Kalau kau bukan perampok, mengapa kau memaksa masuk rumah kami malam-malam buta seperti ini?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku datang untuk menemui Nona Lim.”
Setelah melihat Li Sun-Hoan bicara baik-baik, si gadis pun berkurang ketakutannya. Ia mengejapkan matanya dan berkata, “Tidak ada Nona Lim di sini. Yang ada Nona Ciu.”
Apakah itu nama samaran Lim Sian-ji?
Li Sun-Hoan segera bertanya, “Di manakah Nona Ciu?”
Si gadis menuding hidungnya sendiri dan berkata, “She ku Ciu. Maka sudah tentu akulah Nona Ciu.”
Li Sun-Hoan pun tersenyum. Ia merasa seperti orang tolol.
Si gadis pun kelihatannya menikmati pertunjukan ini. Katanya lagi, “Namun aku tidak mengenalmu sama sekali. Mengapa kau datang untuk mencariku?”
Li Sun-Hoan tersenyum getir, katanya, “Aku mencari seorang gadis dewasa, bukan gadis kecil.”
Sahut si gadis, “Tidak ada gadis dewasa di sini.” Tanya Li Sun-Hoan, “Maksudmu tidak ada orang yang baru saja datang ke rumah ini?”
Kata si gadis, “Tentu saja, ada beberapa orang pernah datang….”
Li Sun-Hoan langsung memotong, “Siapa?”
Sahut si gadis, “Nenek dan aku. Kami baru saja kembali dari kota.”
Si gadis memutar matanya, dan menambahkan, “Hanya kami berdua yang tinggal di sini. Aku adalah yang kecil, nenek adalah yang dewasa. Namun sudah lama nenek bukan gadis lagi. Jadi kau tak mungkin mencari beliau bukan?”
Li Sun-Hoan tersenyum lagi.
Ia merasa, ia banyak tersenyum kalau ia merasa tolol. Ia merasa yakin bahwa Lim Sian-ji masuk ke rumah itu. Apakah ia hanya bermimpi?
Apakah wanita dalam tandu itu adalah si nenek ini?
Si nenek tiba-tiba berlutut dan memohon-mohon, “Kami hanya orang miskin dan tidak ada barang berharga di sini. Jika kau menginginkan sesuatu, cepat ambillah dan tinggalkan kami.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Baik.” Ada sebotol arak di atas meja.
Disambarnya botol itu dan segera melangkah ke luar.
Terdengar suara gadis itu menggumam, “Oh, jadi dia memang bukan perampok. Hanya seorang pemabuk.”