Si Pisau Terbang Li Bab 31 : Pisau Kilat si Li

 
Bab 31. Pisau Kilat si Li

Ketika Liong Siau-in melihat kemarahan Yan Siang-hui, cepat-cepat ia berkata, “Pisau terbangnya hanya terbuat dari besi biasa. Sama sekali bukan senjata mustika, tapi entah mengapa orang-orang menganggapnya seperti mustika. Kadang-kadang aku pikir itu sangat menggelikan.”

Si jubah hitam berkata dengan tenang. “Kudengar ia sudah memusnahkan ilmu silatmu. Kau pasti masih sangat membencinya, bukan?”

Liong Siau-in tersenyum sambil berkata, “Paman Li adalah seorang Cianpwe. Mana mungkin aku marah terhadap Cianpwe yang memberi pelajaran kepadaku? Lagi pula, seseorang tidak hanya memerlukan ilmu silat untuk menjadi terkenal.”

Si jubah hitam memandanginya, tidak dapat mengerti jalan pikirannya.

Cukat Kang kembali bertepuk tangan. “Bagus sekali! Kau memang betul. Kau memang pantas menjadi anak Liong Siau-hun.”

Liong Siau-in membungkukkan badannya. “Cianpwe, kau sungguh berlebihan.”

Tiba-tiba Siangkoan Hui buka suara, “Katanya Lim Sian-ji juga pernah tinggal di sini, bukan?” Ia benar-benar buka suara. Bahkan Liong Siau-in pun tidak menyangka. “Betul sekali.”

Tanya Siangkoan Hui, “Ke mana dia pergi?”

Jawab Liong Siau-in, “Bibi Lim tiba-tiba menghilang dua tahun yang lalu. Ia bahkan tidak membawa perhiasan ataupun pakaiannya. Tidak seorang pun tahu ke mana dia pergi. Ada yang bilang dia diculik A Fei, ada yang bilang A Fei sudah membunuhnya.”

Siangkoan Hui hanya mengangkat alisnya dan tidak bersuara lagi.

Barisan orang ini terus menyeberangi jembatan dan sampailah mereka di Leng-hiang-siau-tiok.

Mata Cukat Kang bersinar lagi, seakan-akan ia sangat tertarik pada bangunan ini.

Tanya Ko Hing-kong, “Jadi apakah tempat ini? Apakah ibumu tinggal di sini?”

“Ya.”

Kata Ko Hing-kong, “Kami sebenarnya datang untuk memberikan hadiah ulang tahun pada ibumu. Bolehkah kami naik ke atas untuk menemui beliau?”

Mata Liong Siau-in berputar dan ia pun tersenyum. “Ibu tidak biasa menemui tamu. Bolehkah aku naik untuk menanyakannya pada beliau?” Sahut Ko Hing-kong, “Tentu saja.”

Liong Siau-in naik ke atas perlahan-lahan.

Tong Tok tersenyum. “Sangat menakjubkan kalau anak seperti itu dapat berumur panjang.”

Senyum Cukat Kang lenyap dari bibirnya. Dengan wajah serius ia bertanya, “Apa kau yakin ini tempatnya?”

Sahut Ko Hing-kong setengah berbisik, “Telah kupelajari surat itu dengan seksama semalam. Harta karun keluarga Li memang ada di sini. Katanya, sudah beberapa generasi keluarga ini merupakan pejabat kerajaan tingkat tinggi, jadi pastilah kekayaan mereka tidak terkira.”

Sambil bicara, matanya melirik pada si jubah hitam.

Si jubah hitam berdiri di kejauhan sambil mengawasi dua jangkrik yang sedang berkelahi. Seakan-akan ia tidak peduli sama sekali pada orang-orang ini.

Kata Cukat Kang, “Sebetulnya harta karun itu tidak terlalu penting. Yang lebih berharga adalah lukisan- lukisan berharga milik Li Tamhoa dan buku-buku silatnya.”

Ko Hing-kong mengangguk. Pada saat yang sama terlihat Liong Siau-in menuruni anak tangga.

Cukat Kang kembali tersenyum, katanya, “Jadi apa jawaban ibumu?” Liong Siau-in menggelengkan kepalanya. “Ibu tidak ada di atas.”

Tanya Cukat Kang, “Lalu di mana?”

Sahut Liong Siau-in, “Aku pun bingung. Ibu hampir tidak pernah meninggalkan kamarnya.”

Kata Cukat Kang, “Kalau begitu kami akan menunggu beliau di atas.”

Tiga orang berjubah kuning segera menghambur ke atas. “Kami akan membereskan kamar itu lebih dulu.”

Liong Siau-in sepertinya ingin menghalangi langkah mereka, namun ia takut, sehingga akhirnya dibiarkannya mereka pergi ke atas.

Lalu terdengar bunyi ‘Wuuuut’. Cambuk sepanjang lima meter telah membuat tiga Lingkaran, masing-masing di sekeliling leher ketiga orang itu.

Cambuk panjang itu seketika menegang, lalu mengendur.

Orang pertama tidak mengeluarkan suara sedikit pun sebelum jatuh ke tanah, mati.

Orang kedua hanya bersuara ‘Eek’, sebelum tergeletak mati. Orang ketiga memegangi lehernya, terhuyung-huyung ke depan lalu tersungkur. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, ia tidak bisa bicara.

Walaupun ia tidak mati seketika, rasa sakit yang dialaminya sepuluh kali lebih buruk daripada kematian itu sendiri.

Kemampuan merubuhkan tiga orang sekaligus seperti ini sungguh mencengangkan, bahkan bagi Cukat Kang.

Hanya si jubah hitam yang tidak kelihatan terkejut. Katanya, “Ternyata Cambuk Ular itu terlalu dilebih- lebihkan orang.”

Ia menghela nafas dan kelihatan sangat kecewa.

Jikalau ilmu Sebun Yu telah mencapai kesempurnaan, ketiga orang itu akan mati seketika. Tapi karena ketiga orang itu mati tidak bersamaan, bahkan dengan cara berbeda-beda, menandakan bahwa ilmu cambuknya belum sempurna.

Mata Cukat Kang kembali berbinar. “Sebun Yu, kemarin kau masih beruntung bisa kabur. Namun kau pikir kau akan beruntung lagi hari ini?”

Sebun Yu tidak menjawab. Hanya cambuknya yang menerjang.

Cambuknya tidak bersuara sedikit pun. Hanya pada saat cambuk itu terentang, terdengar bunyi letupan kecil, seakan-akan kecepatannya melebihi kecepatan suara. Cukat Kang segera melompat dan tongkat besinya bertemu dengan cambuk itu di udara. Cambuk itu membelit dan meremas tongkat itu seperti ular.

Lalu terdengar dentuman keras, saat tongkat itu menghantam tanah.

Kaki Cukat Kang terarah ke atas, tubuhnya terbalik 180 derajat dan meliuk. Tongkatnya pun ikut meliuk mengikuti gerakan tubuhnya.

Cambuk itu makin membelit tongkat itu dan menjadi semakin pendek. Sebun Yu pun terpaksa bergerak semakin mendekat. Kini cambuk itu hampir seluruhnya terlilit pada tongkat.

Satu tangan Sebun Yu masih memegangi cambuknya, sehingga tenaganya sangat kurang dibandingkan dengan Cukat Kang, yang seluruh kekuatannya sudah terkumpul pada tongkatnya.

Wajahnya berubah dari pucat menjadi merah, dari merah menjadi seputih kertas. Keringat pun mulai membasahi tubuhnya.

Cukat Kang berteriak keras dan tubuhnya yang terbalik itu mencelat.

Gerakan ini mirip dengan jurusnya yang sangat terkenal ‘Sekali Sapu Seribu Tentara’. Hanya saja kali ini, tubuhnya berperan sebagai tongkatnya, dan tongkatnya sebagai tubuhnya. Jika Sebun Yu melepaskan cambuknya, ia pasti dapat menghindari serangan itu. Namun ia terkenal karena cambuknya. Bagaimana mungkin ia melepaskannya?

Jika ia tidak melepaskan cambuknya, ia hanya dapat menghadang tendangan Cukat Kang dengan tangan kirinya, dan sudah dapat dipastikan tangan kirinya pasti patah.

Namun Sebun Yu adalah salah satu jagoan di antara jago-jago silat, sehingga di saat genting seperti ini pun ia tidak kehilangan ketenangannya. Tiba-tiba ia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya dan mulai berputar di sekeliling tongkat itu.

Pastinya, ia ingin melepaskan lilitan cambuknya dari tongkat itu, namun Cukat Kang pun telah menduganya. Ia pun mulai berputar. Kakinya hanya berada sedikit di belakang tubuh Sebun Yu.

Si jubah hitam mengeluh lagi. “Ternyata Tongkat Baja Emas pun dilebih-lebihkan orang.”

Jika perhitungan Cukat Kang lebih akurat, tendangannya pasti sudah dapat membunuh Sebun Yu.

Walaupun jurus itu tidak dilakukannya dengan sempurna, tetap saja kedudukan Sebun Yu ada di ujung tanduk.

Sepertinya ia akan segera mati oleh tendangan Cukat Kang. Tong Tok tertawa. “Mengapa kau terus berusaha kalau sudah pasti mati? Mari, kubantu kau.”

Ia menghunus senjatanya yang unik, Tang-long-to (sabit Belalang). Sekilas cahaya berkelebat, dan sabit itu tertuju ke punggung Sebun Yu.”

Namun baru saja ia melakukannya, tubuhnya telah terjengkang ke belakang, seolah-olah didorong oleh tangan yang tidak nampak. Ia terduduk di tanah.

Sebelum ia dapat berbicara, nafasnya sudah berhenti! Karena sebilah pisau telah tertancap di tenggorokannya!

Pisau yang biasa.

Namun wajah semua orang langsung berubah.

Cukat Kang melihat pisau itu dan menjerit kaget, “Pisau Kilat si Li!”

Pergelangan tangan Sebun Yu langsung mengejang. Cambuk Ularnya meliuk menjauhi tongkat itu.

Cukat Kang bersalto di udara, lalu jatuh ke tanah dan terhuyung sedikit sebelum keseimbangannya pulih. Di kejauhan tampak seseorang muncul.

Pakaian orang ini berantakan, rambutnya pun kusut masai. Wajahnya tampak lemah, namun sinar matanya sangat tajam. Cukat Kang mempererat genggamannya pada tongkatnya. Teriaknya, “Li-tamhoa?”

Orang ini tersenyum, “Kau terlalu berlebihan.”

Cukat Kang berseru lagi, “Mengapa kau melawan kami?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tidak pernah ingin melawan siapa pun, namun aku pun tidak ingin siapa pun menggangguku.”

Ia memutar-mutar pisau di tangannya. “Tidak ada harta karun di sini. Maaf, kalian sudah membuang banyak waktu. Oh, jangan lupa bawa pulang juga hadiah kalian tadi.”

Cukat Kang, Siangkoan Hui, dan Ko Hing-kong hanya menatap pisau di tangannya lekat-lekat. Tenggorokan mereka seakan-akan tersumbat, tidak bisa bicara.

Yan Siang-hui tiba-tiba berteriak marah, “Bagaimana kalau kami tidak mau pergi?”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Sebaiknya kalian mengikuti saranku dan segera pergi.”

Kata Yan Siang-hui, “Aku selalu ingin berduel denganmu. Orang lain boleh takut akan engkau, tapi aku tidak!”

Ia membuka mantelnya dan terlihatlah dua lajur mata tombak.

Li Sun-Hoan tidak meliriknya sedikitpun. Yan Siang-hui berteriak dan kedua tangannya bersamaan menyambitkan sembilan mata tombak. Semuanya jatuh ke tanah sebelum sampai ke tempat Li Sun-Hoan.

Ketika orang-orang melihat ke arah Yan Siang-hui, ia sudah rebah di tanah. Di tenggorokannya telah tertancap sebilah pisau yang berkilauan.

Pisau Kilat si Li!

Tidak ada seorang pun yang melihat kapan pisau itu tertancap di lehernya, mungkin hanya sekejap setelah ia menyambitkan mata tombaknya.

Oleh sebab itu tenaganya pun tidak penuh waktu menyambit, sehingga mata tombak itu tidak sampai ke tempat Li Sun-Hoan.

Pisau yang luar biasa cepat!

Dalam kematiannya sekalipun, Yan Siang-hui tidak percaya ada pisau yang dapat bergerak secepat itu di dunia ini.

Si jubah hitam memandang sekilas ke arah tubuh Yan Siang-hui dan tersenyum. “Sudah kubilang bahwa kau tidak sekelas dengan dia. Kau percaya sekarang?”

Ia mengangkat wajahnya dan memandang Li Sun-Hoan. Katanya sekata demi sekata, “Pisau Kilat si Li tidak mengecewakanku.”

Kata Li Sun-Hoan, “Dan kau adalah….” Si jubah hitam memotongnya cepat. “Aku telah mendengar kemashuran nama Li Tamhoa sejak lama. Sungguh beruntung kita bisa bertemu hari ini….”

Setelah selesai bicara, ia langsung mencelat.

Terdengar bunyi mendesing dan pedang pun keluar dari sarungnya.

Pedang itu seluruhnya hitam legam, tidak berkilau. Sewaktu keluar, Lintasan hitam berkelebat membawa tenaga yang besar.

Ko Hing-kong merinding sewaktu Lintasan pedang hitam itu lewat di depan matanya. Lintasan hitam itu seolah- olah mengiris bola matanya.

Ia menutup matanya dan rasa sakit pun lenyap. Ia jatuh ke tanah.
Cukat Kang hanya melihat pedang hitam itu menyapu ke depan dan tiba-tiba darah sudah muncrat dari tubuh Ko Hing-kong. Ko Hing-kong tidak sempat menangkis ataupun mengelak.

Pedang si jubah hitam berbelok dan menerjang ke arah sebaliknya. Terdengar suara ‘Tang’, dan tongkat seberat 100 kati itu pun patah menjadi dua, namun pedang itu tidak berkurang kecepatannya sedikit pun!

Cukat Kang merasa merinding sedikit, namun hanya sekejap saja. Sekejap berikutnya, ia sudah rebah di tanah.

Semua ini terjadi dalam waktu kurang dari satu menit. Sebun Yu menatap ke langit dan mendesah. “Sepertinya tidak ada lagi tempat bagiku dalam dunia persilatan….”

Ia pun menghilang ke balik atap.

Di saat itu, Siangkoan Hui pun segera melompat dengan ilmu meringankan tubuhnya.

Namun Lintasan pedang hitam itu sudah mengejarnya.

Siangkoan Hui segera mengeluarkan Cincin Baja Ibu- Anaknya dan melingkarkannya pada pedang itu dan menangkisnya.

Si jubah hitam berseru, “Bagus!”

Di saat yang sama, pedangnya bergetar dan membelah cincin itu.

Ujung pedang itu berhenti tepat di depan leher Siangkoan Hui.

Siangkoan Hui memejamkan matanya, namun wajahnya tetap dingin dan tenang. Seolah-olah hati pemuda ini terbuat dari batu.

Si jubah hitam menatapnya dan bertanya dingin, “Apakah kau murid Siangkoan Kim-hong?”

Siangkoan Hui mengangguk. Si jubah hitam berkata, “Pedangku tidak pernah membiarkan siapapun hidup, namun walaupun engkau masih sangat muda, engkau sudah berhasil menangkis seranganku satu kali. Sangat mengesankan.”

Ditariknya kembali pedangnya dan ditepuknya bahu Siangkoan Hui. “Kau boleh pergi.”

Siangkoan Hui tidak bergerak. Ia menatap si jubah hitam dan berkata, “Kau tidak membunuhku, namun aku harus memberi tahu engkau satu hal.”

Sahut si jubah hitam, “Katakan saja.”

Kata Siangkoan Hui, “Walaupun hari ini kau biarkan aku hidup, suatu hari nanti aku akan menuntut balas. Saat itu, aku tidak akan melepaskanmu!”

Si jubah hitam tertawa. “Bagus. Memang pantas kau jadi putra Siangkoan Kim-hong.”

Ia berhenti tertawa, matanya menatap lurus ke arah Siangkoan Hui. “Jika suatu hari nanti aku bisa mati di tanganmu, aku tidak akan menyalahkanmu. Aku malah akan berbahagia, karena aku tidak salah menilaimu.”

Wajah Siangkoan Hui tetap membeku. “Kalau begitu, selamat tinggal.”

Kata si jubah hitam, “Aku akan menunggumu.” Tiba-tiba si jubah hitam berseru, “Tunggu!” Siangkoan Hui memperlambat langkahnya, kemudian berhenti.

Kata si jubah hitam, “Ingat ini baik-baik. Kulepaskan kau hari ini bukan karena kau adalah putra Siangkoan Kim- hong, tapi karena kau adalah kau.”

Siangkoan Hui tidak menjawab. Ia kembali melangkah dan perlahan-lahan hilang dari penglihatan. Si jubah hitam lalu menoleh pada Li Sun-Hoan. “Aku gembira kita bisa bertemu hari ini.

Li Sun-Hoan memandangi pedangnya, lalu bertanya, “Ko- yang-thi-kiam (Pedang Besi Puncak Matahari)?”

Si jubah hitam menyahut, “Aku memang Kwe ko-yang.”

Li Sun-Hoan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ko- yang-thi-kiam memang sehebat apa kata orang!”

Kwe ko-yang memandangi pedangnya. “Namun bagaimana kalau dia melawan Pisau Kilat si Li?”

Li Sun-Hoan terkekeh. “Sebenarnya aku lebih baik tidak tahu jawabannya.”

“Kenapa?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Karena…..jika kita ingin tahu jawabannya, salah satu dari kita akan menyesal.”

Kwe ko-yang mengangkat kepalanya. Sebersit rasa haru tampak di wajahnya. Namun ia berseru, “Namun cepat atau lambat kita hatus tahu, bukan?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku berharap kita tahu selambatnya.”

Kata Kwe ko-yang tegas, “Aku lebih suka tahu secepatnya.”

“O ya?”

Kata Kwe ko-yang, “Sampai hari kita tahu siapa pemenangnya, aku tidak akan dapat tidur nyenyak.”

Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu ia bertanya, “Kapan kau ingin menyelesaikannya?”

Jawab Kwe ko-yang, “Hari ini!” Tanya Li Sun-Hoan lagi, “Di sini?”
Kwe ko-yang memandang sekitarnya lalu tertawa dingin. “Dulunya ini rumahmu. Jika kita bertarung di sini, kau akan untung, sudah tahu keadaannya.”

Li Sun-Hoan terkekeh. “Betul juga. Ditilik dari kalimatmu yang terakhir, kau memang patut disebut jago silat kelas wahid.”

Kata Kwe ko-yang, “Tapi aku sudah menentukan waktunya. Sekarang kau yang menentukan tempatnya.” Sahut Li Sun-Hoan, “Tidak perlu sungkan.”

Kwe ko-yang pun berpikir lama, lalu berkata, “Bagus. Kalau begitu, ikut aku.”

Kata Li Sun-Hoan, “Silakan jalan dulu.”

Li Sun-Hoan berjalan beberapa langkah, lalu tidak tahan untuk tidak menoleh ke belakang, ke arah Leng-hiang- siau-tiok. Dilihatnya Liong Siau-in sedang menatap kepergiannya. Matanya penuh dengan bisa.

Tidak ada sesuatu pun, bahkan jurus pedang Kwe ko- yang yang luar biasa, ataupun kematian Cukat Kang dan yang lain, yang bisa menggerakkan hati anak kecil ini.

Namun begitu pandangannya bertemu dengan pandangan Li Sun-Hoan, seketika ia tersenyum dan membungkuk. “Paman Li. Apa kabarmu?”

Li Sun-Hoan mengeluh dalam hati sambil tersenyum. “Halo.”

Kata Liong Siau-in, “Ibu memikirkan engkau setiap saat. Kau harus datang menjenguk kami lebih sering.”

Li Sun-Hoan pura-pura terkekeh.

Ia selalu mengalami kesulitan menjawab anak kecil ini.

Liong Siau-in datang mendekat. Ia menarik jubahnya dan berbisik, “Orang itu kelihatan seram. Paman, mungkin kau seharusnya tidak pergi dengan dia.” Sahut Li Sun-Hoan, “Kalau kau sudah dewasa nanti, kau akan mengerti bahwa kadang-kadang kau harus melakukan apa yang tidak ingin kau lakukan.”

Kata Liong Siau-in dengan memelas, “Tapi….Tapi…..bagaimana jika paman sampai mati? Siapa yang akan mengurus ibu dan aku?”

Li Sun-Hoan mematung.

Setelah sekian lama, diangkatnya kepalanya. Ia melihat Lim Si-im berdiri di puncak anak tangga, mengawasi mereka berdua.

Ia terlihat kuatir, namun wajahnya juga membayangkan kegembiraan.

Li Sun-Hoan merasa ulu hatinya tertusuk. Ia menunduk lagi.

Seru Liong Siau-in, “Ibu, lihatlah. Paman Li baru saja datang, namun ia sudah akan pergi lagi.”

Lim Si-im memaksakan seulas senyum. “Paman Li ada urusan yang penting. Dia….Dia harus pergi.”

Senyumnya sangat lemah, sangat terpaksa. Jika Li Sun- Hoan melihat senyum ini, hatinya pasti akan hancur lebur.

Kata Liong Siau-in, “Ibu, tidak adakah yang kau ingin bicarakan dengan Paman Li?” Bibir Lim Si-im bergetar. “Itu bisa menunggu sampai dia kembali.”

Bibir Liong Siau-in berkerut. Ia mengejapkan matanya. “Tapi…..kupikir setelah Paman Li pergi hari ini, ia tidak akan pernah kembali lagi.”

Lim Si-im segera menyergah dengan setengah berbisik, “Husss! Sana pergi ke atas supaya Paman Li bisa segera berangkat.”

Liong Siau-in akhirnya mengangguk. Dilepaskannya pegangannya pada jubah Li Sun-Hoan dan berkata, “Paman Li, kau boleh pergi sekarang. Jangan kuatir akan kami. Ibu dan aku sudah terbiasa hidup kesepian. Jangan kuatir.”

Ia mengusap matanya, seakan-akan air mata akan segera keluar….

Kwe ko-yang sudah berada di ujung jembatan. Ia hanya memandangi mereka.

Li Sun-Hoan akhirnya memutar badan.

Ia tidak mengangkat wajahnya, tidak mengatakan apa pun juga.

Dalam keadaan seperti ini, kata-kata tidak akan berarti. Lagi pula, ia memang tidak tahu harus bicara apa.

Waktu seseorang terbawa perasaan, kadang-kadang ia malah jadi terlihat tidak berperasaan. Di luar tembok, tanda-tanda musim gugur lebih nyata.

Kedua tangan Kwe ko-yang terbungkus lengan bajunya. Ia berjalan perlahan di depan.

Li Sun-Hoan mengikutinya dari belakang.

Jalan itu panjang dan agak sempit. Ujungnya tidak kelihatan.

Angin musim gugur bertiup, daun-daun sudah berubah warna.

Walaupun langkahnya perlahan, langkah Kwe ko-yang lebar-lebar.

Tatapan Li Sun-Hoan lekat pada langkahnya.

Tanah yang mereka injak agak empuk, sehingga tiap langkah meninggalkan jejak. Jejak Kwe ko-yang sama jaraknya dan kedalamannya.

Walaupun ia seperti sedang berjalan santai, ia sebenarnya sedang mengumpulkan tenaga dalam yang khusus. Seluruh tubuhnya berirama harmonis, sehingga menghasilkan langkah-langkah yang sama persis.

Ketika ia sudah mengumpulkan seluruh tenaganya, ketika tubuhnya sudah berada dalam harmoni yang sempurna, ia akan berhenti…. Itu adalah ujung jalan ini.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar