Si Pisau Terbang Li Bab 30 : Malam yang Sangat Sangat Panjang

  
Bab 30. Malam yang Sangat Sangat Panjang

Kabut menyelimuti keheningan malam. Di dahan hanya terlihat satu dua lembar daun. Kolam teratai pun penuh dengan daun-daun kering yang gugur. Rumput di jalan setapak sudah menjadi coklat. Dulu, bunga-bunga berwarna merah, pohon-pohon penuh dengan daunnya yang hijau lebat, harum bunga Bwe semerbak ke seluruh paviliun. Tapi kini semua telah tiada. Di ujung jembatan itu ada sebuah bangunan kecil, Leng-hiang-siau-tiok.

Di sini pernah tinggal pahlawan gagah dunia persilatan. Pernah juga tinggal wanita tercantik di seluruh dunia.
Saat itu, bunga-bunga Bwe masih bermekaran dan keharumannya sungguh menawan hati.

Namun kini, sarang laba-laba terlihat di tiap sudut ruangan. Debu tebal melapisi jendela. Tidak ada keindahan yang tersisa. Bahkan pohon Bwe pun sudah menjadi kering.

Dalam kegelapan malam, sesosok bayangan muncul.

Rambutnya acak-acakan, pakaiannya kusut. Ia kelihatan seperti gembel jalanan, namun wajahnya tampak gagah, matanya bersinar terang bagai bintang.

Ia berjalan melewati jembatan sambil memandangi pohon-pohon Bwe. Ia menghela nafas. Pohon-pohon Bwe itu adalah sobat lamanya. Namun kini, mereka sudah layu, sama seperti dirinya sendiri.

Tapi tiba-tiba ia melayang terbang ke sana bagai seekor burung!

Jendela di tingkat atas tertutup rapat.

Namun ada banyak guratan di jendela itu. Dari sela-sela guratan itu, terlihatlah wajah seorang wanita yang kesepian. Ia menghadap ke arah cahaya lilin, menjahit. Wajahnya pucat. Matanya yang dulu menarik bagai magnet kini tampak sayu.

Wajahnya tampak dingin, tidak berperasaan. Seakan- akan ia sudah lupa arti kebahagiaan ataupun kesedihan.

Ia duduk di sana menjahit, dan layu sedikit demi sedikit.

Lubang di baju dapat ditambal, namun lubang di hati tidak dapat ditutup….

Di sisi lain ruangan itu, tampak seorang anak lelaki berusia 13 atau 14 tahun.

Wajahnya kelihatan sangat pandai. Matanya yang bersinar membuat dia tampak semakin pandai. Namun wajahnya pucat, sangat pucat sampai orang akan lupa bahwa ia masih kanak-kanak.

Ia sedang berlatih menulis.

Walaupun ia sangat muda, ia sudah belajar hidup dalam kesepian.

Lelaki tua itu mengawasi mereka dari luar. Air mata meleleh, membasahi pipinya.
Setelah sekian lama, anak itu berhenti menulis. Ia mengangkat kepalanya dan menatap api lilin.

Si wanita pun berhenti menjahit dan memandangi putranya. Wajahnya penuh lelembutan seorang ibu dan bertanya dengan halus, “Siau-in, apa yang sedang kau pikirkan?”

Anak itu menggigit bibirnya dan berkata, “Aku hanya sedang berpikir kapan ayah akan kembali?”

Tangan si wanita gemetar hebat, jarumnya menusuk salah satu jarinya. Namun sepertinya ia tidak merasa kesakitan, karena semua rasa sakitnya sudah terkumpul dalam hatinya. Kata anak itu lagi, “Ibu, kenapa ayah tiba-tiba pergi? Sudah dua tahun dan sama sekali tidak ada kabar.”

Si wanita hanya terdiam lama. Ia mendesah dan menjawab, “Aku pun tidak tahu mengapa ia pergi.”

Tiba-tiba wajah anak itu menyiratkan kebencian yang mendalam. Katanya, “Aku tahu kenapa ia pergi.”

Ibunya berkata dengan lembut, “Kau kan masih anak- anak. Kau tahu apa?”

Sahut anak itu, “Tentu saja aku tahu. Ayah pergi karena ia takut Li Sun-Hoan akan datang untuk membalas dendam. Setiap kali ia mendengar nama Li Sun-Hoan diucapkan, wajahnya langsung berubah.”

Si wanita tadinya ingin menjawab, tapi diurungkannya. Ia hanya menghela nafas.

Ia menyadari bahwa anaknya memang tahu banyak hal, mungkin terlalu banyak. Anak itu melanjutkan, “Namun Li Sun-Hoan tidak pernah datang. Mengapa ia tidak pernah menjengukmu, Bu?”

Tubuh si wanita bergetar. Ia berseru, “Mengapa ia harus datang untuk menjengukku?”

Anak itu tersenyum. “Aku tahu ia dan Ibu adalah sahabat karib, bukan?”

Wajah ibunya putih seperti kertas. Keningnya berkerut. “Sudah hampir fajar, mengapa kau belum pergi tidur?”

Si anak mengejapkan matanya, katanya, “Aku tidak mau tidur. Aku ingin menemani Ibu, sebab dalam dua tahun ini Ibu tidak pernah tidur nyenyak.”

Ibunya memejamkan matanya, dan air matanya meleleh turun.

Anak itu bangkit dan tersenyum. “Tapi aku memang harus tidur sekarang. Besok adalah hari ulang tahun Ibu. Aku mau bangun pagi-pagi…..”

Ia menghampiri ibunya dan mengecup keningnya. Katanya lagi, “Ibu juga harus tidur. Sampai jumpa besok.”

Ia tersenyum sambil melangkah keluar. Di luar ruangan, senyumnya langsung lenyap dan berganti dengan wajah yang penuh kelicikan, “Li Sun-Hoan, semua orang takut padamu, namun aku tidak. Cepat atau lambat, kau pasti mati di tanganku.” Mata si wanita mengiringin kepergian anaknya. Mata itu penuh dengan kesedihan dan kelembutan. Putranya memang adalah anak yang pandai.

Ia hanya memiliki seorang putra.

Putranya adalah seluruh hidupnya. Walaupun ia melakukan perbuatan yang membuatnya sedih atau marah, ia tetap akan mencintainya sepenuh hati.

Kasih seorang ibu terhadap anaknya selalu tidak terbatas, selalu tidak bersyarat.

Ia kembali duduk dan menyalakan lilin yang lain.

Setiap malam menjelang fajar, perasaan hatinya selalu teramat muram.

Suara batuk terdengar dari luar jendela. Wajah si wanita langsung berubah.
Seluruh tubuhnya menjadi kaku seperti sebatang kayu. Ia tidak dapat bergerak, hanya matanya yang memandang cepat ke arah jendela. Dalam matanya terbersit kegembiraan, namun juga kesedihan….

Setelah sekian lama, akhirnya ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ke jendela. Dengan tangan gemetar dibukanya daun jendela itu perlahan-lahan. Ia berseru, “Siapa di situ?”

Tidak ada setitik bayangan pun di luar sana. Si wanita memandang ke sekelilingnya, lalu berkata, “Aku tahu kau ada di sini. Kalau sudah datang, mengapa tidak menemuiku?”

Tidak ada suara, tidak ada jawaban.

Si wanita mengambil nafas dalam-dalam, lalu berkata, “Aku tidak menyalahkanmu jika kau tidak ingin bertemu. Aku sudah bersalah padamu….”

Suaranya semakin lemah, dan akhirnya ia hanya berdiri di situ, tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ditutupnya kembali daun jendela itu.

Bumi diselimuti kegelapan.

Sesaat sebelum fajar adalah saat yang paling gelap.

Namun kegelapan pasti akan berlalu, seiring dengan munculnya secercah sinar dari arah timur. Sesosok bayangan muncul dari balik pepohonan.

Ia telah berdiri tidak bergerak di sana cukup lama. Rambutnya, pakaiannya, semua basah kuyup oleh air mata.

Matanya tidak pernah lepas dari jendela itu. Ia kelihatan sangat tua, sangat kuyu, sangat lemah….

Ia adalah orang yang sama yang datang ke situ tadi malam. Orang yang sama dengan si pemabuk daro warung Si Bungkuk Sun! Ia tidak berbicara, namun hatinya menggapai-gapai.

Si-im, Si-im, kau tidak melakukan kesalahan apa-apa. Akulah yang bersalah padamu….

Walaupun aku tidak melihat wajahmu selama dua tahun ini, aku selalu berada di sisimu sepanjang waktu, menjagamu. Tahukah engkau?

Langit semakin terang.

Tangan orang ini membekap mulutnya, berusaha keras untuk tidak terbatuk.

Lalu ia berjalan menuju ke pintu. Pintu itu tidak dikunci. Didorongnya pintu itu.

Sewaktu pintu itu terbuak bau arak langsung menyengat hidungnya. Kamar itu kator dan bernatakan. Seorang laki-laki tidur di atas meja. Tangannya menggenggam sebotol arak.

Seorang pemabuk lagi.

Ia tersenyum dan mengetuk pintu.

Si pemabuk terbangun. Diangkatnya kepalanya dan tampaklah wajahnya burik.

Tidak akan ada yang menyangka bahwa ia adalah ayah Lim Sian-ji. Masih setengah mabuk, ia memandang sekelilingnya. Katanya, “Mengapa ada yang datang pagi-pagi buta begini? Habis bertemu setan atau hantu?”

Setelah ia menyelesaikan kalimatnya, barulah dilihatnya laki-laki setengah baya berdiri dekat pintu. “Siapa kamu? Apa kerjamu di sini?”

Si lelaki setangah baya tersenyum. “Kita bertemu dua tahun yang lalu. Kau sudah lupa?”

Si burik menatap orang itu lekat-lekat, lalu dengan tercekat ia berkata, “Kau Li….”

Ia bermaksud akan berlutut, namun sebelum lututnya menyentuh lantai, Sun-hoan mengangkat tubuhnya. “Bagus juga kau masih mengenaliku. Ayo, mari kita duduk-duduk dan berbincang-bincang sejenak.”

Si burik tersenyum. “Bagaimana mungkin aku tidak mengenalimu, Tuan. Aku berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi. Namun, Tuan, kau kelihatan bertambah tua dalam dua tahun ini.”

Sun-hoan merasa hangat di dadanya. “Kau pun bertambah tua. Semua orang juga bertambah tua. Apa kabarmu dua tahun ini?”

Sahut si burik, “Di depan orang lain aku bisa menyombong, tapi di hadapanmu, Tuan, aku….”

Ia menghela nafas, lalu melanjutkan, “Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati dua tahun ini. Hari ini aku menjual lukisan, besok aku menjual perabot,…..”

Si lelaki setangah baya mengangkat alisnya. “Apakah seburuk itu keadaannya, sampai tidak ada uang sama sekali di sini?”

Si burik hanya menunduk.

Sun-hoan bertanya lagi, “Maksudmu, waktu Liong-siya pergi, ia tidak meninggalkan sepeser pun untuk menunjang rumah tangga ini?”

Si burik menggelengkan kepalanya. Matanya merah.

Wajah Sun-hoan pun menjadi pucat lesi, dan ia mulai batuk-batuk tidak berhenti.

Si burik pun berkata, “Pada awalnya, Nyonya memiliki banyak perhiasan. Namun hatinya sungguh mulia. Ia memberikan uang pesangon pada para pelayan, supaya mereka bisa membuka usaha sendiri di luar…. Nyonya lebih baik menderita daripada melihat para pelayan menderita.”

Ia mengatakannya dengan suara serak.

Sun-hoan hanya terdiam sampai beberapa lama. Lalu ia berkata, “Namun kau tidak pergi. Kau adalah orang yang setia.”

Si burik tersenyum kecut. “Aku hanya tidak punya tempat tujuan lain.” Sahut Sun-hoan, “Kau tidak perlu menjelaskan. Ada orang yang perangainya kasar, namun hati mereka baik. Hanya sedikit orang saja yang dapat mengerti mereka.”

Wajah si burik menjadi merah. Ia memaksakan seulas senyum. “Arak ini tidak lezat, namun jika Tuan tidak keberatan, mari kita munm bersama.”

Ia hendak menuangkan isi botol itu ke dalam cawan, dan baru disadarinya bahwa botol itu sudah kosong.

Sun-hoan pun tersenyum. “Aku tidak ingin minum arak saat ini, teh saja. Tidakkah kau heran bahwa aku ingin minum teh? Sudah lama aku tidak melakukannya.”

Si burik pun ikut tersenyum. “Aku akan menjerang air untuk membuat teh.”

Kata Sun-hoan, “Siapa pun yang kautemui, jangan katakan bahwa aku ada di sini.”

Si burik pun menjawab, “Jangan kuatir, Tuan. Rahasiamu aman padaku.”

Ia keluar dengan hati riang, sampai lupa mengunci pintu.

Sun-hoan mengerutkan keningnya sambil menggumam, “Si-im, Si-im, kau telah mengalami begitu banyak penderitaan karena aku. Aku harus menjagamu. Takkan kubiarkan siapapun menyakitimu.”

Sinar matahari telah menembus melewati jendela. Hari sudah siang. Tehnya sama sekali tidak sedap.

Namun selama teh itu kental, orang dapat meminumnya. Sama seperti seorang wanita. Selama ia masih muda, tidak akan ada yang menolaknya.

Sun-hoan minum tehnya perlahan-lahan, lalu tiba-tiba tertawa. “Dulu aku punya teman yang pandai, kata- katanya selalu tepat mengenai sasaran.”

Si burik tertawa juga. “Tuan, Anda pun pandai juga.”

Kata Sun-hoan, “Dia pernah bilang, ‘Tidak ada arak yang tidak memabukkan, dan tidak ada gadis muda yang jelek’. Kemudian dia berkata, ‘Karena dua hal inilah aku bertahan hidup’.”

Matanya penuh dengan tawa. Sambungnya, “Namun sebenarnya, arak yang baik adalah arak yang sudah disimpan lama, demikian juga wanita yang lebih tua sesungguhnya lebih baik karena mereka lebih berpengalaman.”

Si burik tidak mengerti secara keseluruhan, jadi dia tidak menyahut. Ia hanya menuangkan teh ke dalam cawan lagi. “Mengapa Tuan kembali lagi?”

Sun-hoan terdiam beberapa saat sebelum menjawab, “Katanya di sini ada harta karun….”

Si burik tertawa. “Harta karun? Ya, aku juga berharap ada harta karun di sini.” Tiba-tiba tawanya berhenti. Matanya menatap Sun-hoan lekat-lekat. “Jika di sini ada harta karun, Tuan pasti tahu, bukan?”

Sun-hoan hanya mendesah. “Walaupun kau dan aku tidak percaya kabar burung ini, kelihatannya banyak orang yang percaya.”

Si burik bertanya, “Siapa yang menyebarkan kabar burung itu? Kenapa?”

Jawab Sun-hoan, “Ada dua alasan. Yang pertama, untuk mengundang orang-orang yang rakus datang dan saling membunuh, supaya pada akhirnya ialah yang mengeruk keuntungan.”

Tanya si burik, “Alasan yang lain?”

Sahut Sun-hoan, “Sudah lama aku tidak muncul. Banyak orang ingin tahu di mana keberadaanku. Siapa pun yang menyebarkan kabar burung itu, pasti ingin aku segera muncul.”

Kata si burik, “Apa salahnya? Mereka akan tahu betapa hebatnya Anda.”

Kata Sun-hoan, “Namun kali ini ada beberapa orang yang tidak mampu kuhadapi.”

Si burik sungguh terkejut. “Maksudmu, ada orang di dunia ini yang kautakuti?” Sebelum pertanyaannya sempat dijawab, terdengar bunyi orang mengetuk pintu dengan keras. Lalu terdengar suara lantang berseru, “Apakah betul ini tempat tinggal Liong-siya? Kami datang untuk bertamu.”

Kata si burik, “Sungguh aneh. Kami tidak pernah kedatangan tamu dua tahun terakhir ini. Siapakah mereka itu?”

Setelah hampir satu jam, si burik kembali sambil terkekeh-kekeh. “Hari ini adalah hari ulang tahun nyonya. Aku saja lupa, tapi orang-orang itu ingat. Mereka bahkan membawa hadiah.”

Sun-hoan berpikir sesaat, lalu bertanya, “Siapakah mereka?”

Jawab si burik, “Ada lima orang yang datang. Seorang tua yang sangat modis, seorang pemuda gagah, seorang bermata satu, seorang yang sangat jelek dengan wajah hijau,….”

Sun-hoan memotong, “Dan yang kelima adalah seorang berkaki satu, bukan?”

Si burik mengangguk. “Betul…. Bagaimana kau bisa tahu? Tahukah kau siapa mereka itu?”

Sun-hoan terbatuk. Matanya bersinar tajam, setajam pisau.

Namun si burik tidak memperhatikan, dan ia terus tersenyum. “Walaupun orang-orang ini kelihatan aneh, hadiah mereka sungguh luar biasa. Kami tidak pernah mendapat hadiah seperti itu, bahkan waktu Liong-siya masih ada di sini.”

“O ya?”

“Salah satu dari hadiah itu adalah sebatang emas murni yang beratnya paling tidak 4 atau 5 kati. Aku belum pernah melihat orang begini royal sebelumnya.”

Sun-hoan mengangkat alisnya dan bertanya, “Nyonya berkenan menerima hadiah ini?”

Sahut si burik, “Awalnya beliau tidak mau, tapi orang- orang itu terus duduk di ruang tamu dan tidak mau pergi. Mereka berkeras hendak bertemu dengan nyonya, karena mereka adalah sahabat Liong-siya. Nyonya tidak tahu harus bagaimana, jadi disuruhnya Siauya untuk melayani mereka.”

Ia tersenyum. Lanjutnya, “Tuan, walaupun Siauya masih sangat muda, ia sungguh tahu bagaimana melayani tamu, kadang-kadang lebih mahir daripada kita yang sudah dewasa. Para tamu semuanya memuji-muji kepandaiannya.”

Sun-hoan hanya memandangi cawan tehnya. “Apakah masih ada orang yang akan datang lagi, apakah masih ada orang yang berani datang?”

Cukat Kang, Ko Hing-kong, Yan Siang-hui, Tong Tok, dan Siangkoan Hui, mereka semua duduk di ruang tamu yang luas. Mereka sedang berbicara dengan seorang anak berjubah merah.

Walaupun mereka ini adalah jago-jago silat kenamaan, mereka tidak memandang rendah pada anak ini sama sekali.

Hanya Siangkoan Hui yang duduk diam di situ, tidak berbicara sepatah katapun. Seolah-olah tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat membuat dia bicara.

Cukat Kang tersenyum sambil berkata, “Siauya sungguh hebat sekali. Potensimu tidak terbatas. Di kemudian hari, sewaktu engkau menjadi pahlawan yang terkenal, aku harap engkau tidak akan melupakan kami yang tua-tua.”

Anak itupun tersenyum dan berkata, “Kalau nanti aku bisa mencapai setengah kesuksesanmu saja, aku sudah sangat puas. Yang pasti, aku membutuhkan pengarahan para Cianpwe di kemudian hari.”

Cukat Kang bertepuk tangan. “Siaucengcu sungguh pandai bicara. Tidak heran Liong-siya….”

Tiba-tiba ia berhenti bicara dan memandang ke luar, ke halaman di depan.

Si burik masuk lagi mengantar seseorang yang berpakaian serba hitam. Jubah hitam, celana hitam, sepatu hitam, dan menyandang sebilah pedang panjang berwarna hitam di punggungnya. Orang ini besar dan berotot, hampir dua kali lipat besar si burik. Wajahnya menyiratkan hawa membunuh.
Matanya tajam, dan jenggotnya menari-nari ditiup angin.

Ia tampak angkuh, namun gagah dan tegas, juga terlihat agak liar.

Setiap orang yang melihatnya pasti sadar bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan.

Kelima orang ini saling pandang, seakan-akan berusaha menebak identitas tamu yang baru datang ini.

Ang-hai-ji bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah orang itu, lalu membungkuk. “Senang sekali Tuan mau berkunjung. Cayhe Liong Siau-in….”

Si jubah hitam menatapnya. “Jadi kau ini anak Liong Siau-hun?”

Jawab Ling Siau-in, “Ya. Cianpwe pasti sahabat lama ayah. Bolehkah aku mengenal namamu?”

Si jubah hitam menjawab, “Walaupun kuberi tahu, kau juga tidak akan kenal.”

Ia melangkah masuk ke dalam ruangan.

Cukat Kang bangkit berdiri dan membungkuk. “Aku adalah….” Baru dua kata diucapkannya, si jubah hitam sudah memotongnya. “Aku tahu siapa engkau. Kalian tidak perlu repot-repot berusaha mengetahui siapa diriku.”

Kata Cukat Kang, “Tapi….”

Si jubah hitam memotongnya lagi. Katanya dengan nada sedingin es, “Aku datang untuk alasan yang berbeda dengan kalian. Aku hanya ingin menonton.”

Cukat Kang tersenyum. “Aku sangat senang mendengarnya. Setelah kami selesai dengan urusan kami di sini, kami pasti sangat berterima kasih kepadamu.”

Sahut si jubah hitam, “Aku tidak mencampuri urusan kalian. Kalian jangan ikut campur urusanku. Kita urus saja urusan kita masing-masing. Tidak perlu berterima kasih.”

Ia menarik sebuah kursi, duduk, dan memejamkan matanya, beristirahat.

Kelima orang itu hanya bisa saling pandang.

Ko Hing-kong tersenyum. “Katanya halaman belakang rumah ini sangat terkenal. Apakah Siauya sudi mengajak kami berjalan-jalan.”

Liong Siau-in hanya mendesah. “Sayangnya, halaman belakang kini sudah tidak terpelihara…”

Kata Ko Hing-kong, “Ah, tidak apa-apa. Kami hanya ingin melihat-lihat.” Sahut Liong Siau-in, “Kalau begitu, mari kutunjukkan.”

Orang-orang itu berbaris keluar ke arah halaman belakang.

Yang paling depan adalah Liong Siau-in, yang paling belakang adalah si jubah hitam. Matanya setengah terbuka, setengah terpejam, seakan-akan ia sedang menghemat tenaganya.

Liong Siau-in menunjuk ke arah hutan yang dipenuhi oleh pohon Bwe yang sudah mengering. Katanya, “Di sana itu adalah Leng-hiang-siau-tiok (Villa Keharuman Sejuk).”

Mata Yan Siang-hui berbinar-binar. “Katanya dulu Li Tamhoa tinggal di sana?”

Liong Siau-in menundukkan kepalanya. “Ya, betul.”

Yan Siang-hui menggenggam mata tombaknya dan tertawa dingin. “Ia punya pisau terbang, aku punya tombak terbang. Jika kita berdua bisa berduel suatu hari nanti, pasti sangat menyenangkan.”

Si jubah hitam menyahut dari kejauhan, “Jika kau bisa berduel dengan dia, itu baru namanya mujizat.”

Yan Siang-hui menoleh cepat ke arahnya dan menatapnya dengan sangat marah. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar