Si Pisau Terbang Li Bab 20 : Hati Manusia Tidak Terselami

 
Bab 20. Hati Manusia Tidak Terselami

Genta di kuil itu terus berkumandang. Tanda bahwa seorang pendeta telah wafat.

Dalam angin musim dingin yang menusuk, Li Sun-Hoan terus terbatuk-batuk. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa marah, menyesal, atau sedih.

Ketika ia berhenti batuk, dilihatnya para pendeta itu memasuki halaman kecil dekat situ. Wajah mereka sedingin es.

Mereka menatapnya dengan mulut terkunci. Suara genta pun telah lenyap. Suasana sungguh hening, kecuali suara langkah kaki di atas salju.

Ketika suara langkah itu akhirnya berhenti, Li Sun-Hoan merasa tubuhnya diselimuti oleh lapisan es yang tebal.

Kata Sim-oh Taysu, “Adakah yang ingin kau sampaikan?” Li Sun-Hoan berpikir lama. “Tidak.”
Kata Pek-hiau-sing, “Seharusnya kau tidak datang ke sini.”

Li Sun-Hoan berpikir lagi, lalu tiba-tiba tertawa. “Mungkin memang seharusnya aku tidak datang. Namun jika aku dapat mengulangnya, aku akan tetap datang.” Ia melanjutkan dengan tenang. “Walaupun aku telah membunuh banyak orang dalam hidupku, aku tidak pernah hanya berpangku tangan melihat orang yang akan mati.”

Sim-oh Taysu berteriak dengan marah, “Jadi kau masih tidak mengaku?”

Kata Li Sun-Hoan, “Pendeta seharusnya dapat mengendalikan perasaannya. Mengapa kau begitu cepat marah?”

Lanjutnya, “Kalau begitu, silakan terus berteriak. Hanya saja, jangan sampai sakit tenggorokan.”

Sim-oh Taysu membentak, “Bahkan sekarang, kau tidak menunjukkan rasa penyesalan sedikit pun. Sepertinya aku harus melanggar aturan untuk tidak membunuh hari ini.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Silakan saja. Engkau bukan satu- satunya pendeta yang pernah membunuh.”

Kata Sin-kam Taysu, “Kami tidak membunuhmu untuk membalas dendam, tapi kami membunuh seorang setan yang keji.”

Lalu terlihat kilatan sebilah pisau. Ia tidak tahu bagaimana pisau itu berada di tangan Li Sun-Hoan. Pisau Kilat si Li! Li Sun-Hoan lalu berkata, “Kusarankan agar kalian tidak membunuh setan keji itu, karena kalian tidak akan bisa mengalahkan dia!”

Kata Sim-oh Taysu, “Maksudmu, sekarang ini pun kau tetap akan melawan mati-matian?”

Li Sun-Hoan mengeluh. “Walaupun hidupku tidak mudah, namun aku belum mau mati sekarang.”

Kata Pek-hiau-sing, “Walaupun pisaumu tak pernah luput, berapa banyak pisau yang kaumiliki? Berapa banyak orang yang bisa kau bunuh?”

Li Sun-Hoan tersenyum, ia tidak menjawab.

Sim-oh Taysu menatap tangan Li Sun-Hoan, lalu tiba-tiba berkata, “Baiklah. Hari ini akan kucoba pisaumu yang legendaris itu!”

Segera ia bersiap.

Namun Pek-hiau-sing menghalanginya. “Pendeta, jangan!”

“Mengapa?”

Pek-hiau-sing mendesah. “Karena tidak seorang pun di dunia ini yang dapat luput dari pisaunya!”

“Tidak seorangpun bisa luput?”

Kata Pek-hiau-sing tegas, “Tidak seorang pun!” Sim-oh Taysu menghirup nafas panjang. “Jika aku tidak pergi ke alam baka, siapakah yang akan pergi?”

Sin-kam Taysu pun maju mendekatinya. “Suheng, kau harus memikirkan kuil kita. Kau tidak boleh menempatkan dirimu sendiri dalam bahaya.”

Kata Li Sun-Hoan, “Betul sekali. Kalian tidak perlu mengambil resiko ini. Kalian memiliki begitu banyak murid. Satu kata saja, dan mereka pun akan rela mati bagi kalian.”

Wajah Sim-oh Taysu berubah, lalu berteriak lantang, “Tanpa perintahku, tidak ada yang bergerak. Yang melanggar akan dihukum. Kalian mengerti?”

Semua pendeta di situ menundukkan kepala mereka.

Li Sun-Hoan tersenyum. “Siau-lim-si memang berbeda dari perguruan lain yang memandang rendah akan hidup manusia. Kalau tidak, bagaimana mungkin tipu muslihat kecilku ini dapat berhasil?”

Pek-hiau-sing berkata dengan dingin, “Pendeta Siau-lim- si mungkin tidak ingin menukar nyawa murid-muridnya dengan nyawamu. Tapi apa kau pikir kau bisa lolos dari sini?”

Kata Li Sun-Hoan, “Siapa bilang aku hendak pergi?” Pek-hiau-sing tergagap, “Kau….kau mau tinggal?” Sahut Li Sun-Hoan, “Kebenaran belum terungkap. Bagaimana mungkin aku pergi?”

Kata Pek-hiau-sing, “Apa kau bermaksud mengundang Ngo-tok-tongcu datang ke Siau-lim-si dan mengakui perbuatannya?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Tidak, karena dia sudah mati.” Tanya Pek-hiau-sing, “Kau yang membunuhnya?”
Li Sun-Hoan menjawab kalem, “Dia kan juga manusia. Oleh karena itu, ia pun tak bisa luput dari pisauku!”

Sim-oh Taysu menyela, “Jika kau bisa menunjukkan mayatnya pada kami, paling tidak kami tahu kau tidak berbohong.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Sayangnya, walaupun kita bisa menemukan mayatnya, tidak ada seorangpun yang akan dapat mengenalinya.”

Pek-hiau-sing pun tertawa dingin. “Jadi kau tidak dapat mengajukan siapapun yang dapat membuktikan bahwa kau tidak bersalah?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Sekarang? Tidak bisa.” “Lalu apa yang hendak kau lakukan?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Saat ini aku ingin minum arak.”

*** A Fei terlihat tidak nyaman duduk di atas kursi. Ia tidak pernah dapat duduk dengan santai seperti Li Sun-Hoan dia atas kursi. Sepertinya ia belum pernah duduk di atas kursi seumur hidupnya.

Lim Sian-ji tidur di sebelah perapian untuk menghangatkan badannya.

Beberapa hari ini, ia tidak dapat beristirahat dengan tenang. Hanya setelah ia pasti bahwa A Fei telah sembuh betul, barulah ia dapat tidur nyenyak.

A Fei memandangnya tanpa suara. Menatapnya seperti seorang tolol.

Hanya terdengar suara nafasnya yang halus di kamar itu. Salju di luar telah mencair. Langit dan bumi penuh damai sejahtera.

Tiba-tiba di mata A Fei terbayang kepedihan.

Ia bangkit berdiri dan mulai mengenakan sepatunya. Ia menarik nafas panjang dan mengambil pedangnya. Diselipkannya pedangnya di pinggang.
Tiba-tiba Lim Sian-ji berbalik dan berkata, “Apa yang kau….kau perbuat?”

A Fei tidak berani menoleh untuk memandangnya. Ia mengatupkan giginya lalu berkata, “Aku hendak pergi.” Lim Sian-ji terperangah, “Pergi?”

Ia segera bangun berdiri. “Kau bahkan tidak mau berpamitan? Kau hendak pergi diam-diam?”

Kata A Fei, “Karena aku tidak akan kembali, buat apa berpamitan.”

Tubuh Lim Sian-ji serasa meleleh dan ia pun jatuh terduduk ke atas kursi. Air matanya bercucuran.

Hati A Fei terasa pedih. Ia tidak pernah mempunyai perasaan seperti ini sebelumnya. Ini tidak menyerupai apapun yang pernah dihadapinya dalam hidupnya.

Apakah ini cinta?

Kata A Fei, “Kau telah menolongku. Aku akan membalas budimu, cepat atau lambat.”

Lim Sian-ji tiba-tiba tersenyum getir. “Baiklah. Balas budiku sekarang juga. Aku hanya menolongmu supaya kau dapat membalas budiku.”

Ia tertawa, namun air matanya keluar lebih banyak lagi.

Kata A Fei, “Aku tahu apa yang kau pikirkan. Namun aku harus menemukan Li Sun-Hoan.”

Sahut Lim Sian-ji, “Mengapa kau pikir aku tidak mau mencarinya juga? Mengapa kau tidak mengajak aku pergi bersama?” Jawab A Fei, “Aku tidak ingin menyeretmu ke dalam persoalan ini.”

Sambil menangis Lim Sian-ji berkata, “Tapi apakah kau pikir aku akan berbahagia jika engkau pergi?”

A Fei ingin mengatakan sesuatu, namun hanya bibirnya yang bergerak-gerak.

Lim Sian-ji memeluk pinggangnya erat-erat, seperti berpegangan pada hidupnya. Ia berteriak keras, “Bawalah aku. Bawalah aku bersamamu. Jika kau tidak membawa aku, aku akan mati di hadapanmu.”

Malam sunyi senyap.

A Fei berjalan keluar pintu. Selama ini ia tinggal di bilik Lim Sian-ji. Sungguh lucu. Mereka mencari A Fei ke segala penjuru beberapa hari terakhir ini. Tapi tidak seorangpun berpikir untuk mencarinya di bilik Lim Sian-ji.

Mengapa mereka begitu percaya pada Lim Sian-ji?

Lim Sian-ji menggenggam tangan A Fei. “Aku harus memberi tahu kakakku bahwa aku akan pergi.”

Sahut A Fei, “Baiklah.”

Lim Sian-ji tersenyum. “Namun aku tidak ingin meninggalkan engkau sendirian di sini. Mari kita pergi bersama.”

Kata A Fei, “Tapi kakakmu….” Kata Lim Sian-ji, “Jangan kuatir. Kakakku adalah sahabat Li Sun-Hoan.”

Di rumah itu hanya ada satu lilin yang menyala di kamar atas.

Lim Si-im duduk termenung, menatap kosong ke kejauhan.

Lim Sian-ji menarik tangan A Fei, menaiki tangga tanpa suara. Lalu ia berbisik, “Kakak, apakah engkau masih terjaga?”

Lim Si-im tetap duduk diam, menolehpun tidak.

Kata Lim Sian-ji lagi, “Kakak, aku datang untuk berpamitan. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu padaku. Aku pasti akan datang mengunjungimu lagi nanti.”

Lim Si-im seakan-akan tidak mendengar apa-apa. Setelah cukup lama, ia perlahan-lahan mengangguk. “Pergilah.
Memang lebih baik kau pergi. Tidak ada apa-apa lagi bagimu di sini.”

Lim Sian-ji bertanya, “Di mana Toaso?” Sahut Lim Si-im, “Toaso? Toaso siapa?” Kata Lim Sian-ji, “Tentunya Toasoku.”
Kata Lim Si-im, “Aku tidak tahu apa-apa lagi tentang Toasomu. Aku tidak tahu….tidak tahu.” Lim Sian-ji tidak tahu harus bicara apa. Setelah pulih dari rasa terkejutnya, ia berkata, “Kami akan pergi melalui jalan pintas ke kuil Siau-lim-si.”

Lim Si-im melompat dari kursinya dan berseru, “Pergi sekarang juga. Cepatlah….jangan katakan apa-apa lagi. Pergi!”

Ia mendorong Lim Sian-ji dan A Fei ke arah tangga. Lalu berjalan lunglai kembali ke cahaya lilin itu. Air mata membasahi pipinya.

Dari dalam muncul seseorang. Liong Siau-hun.

Ia menatap Lim Si-im. Seulas senyum jahat terbentuk di bibirnya. Katanya dingin, “Percuma saja mereka pergi ke Siau-lim-si. Tidak ada seorang pun di dunia yang dapat menyelamatkan Li Sun-Hoan.”

***

Walaupun A Fei makan banyak, ia tidak makan cepat- cepat.

Ia juga tidak makan seperti Li Sun-Hoan, yang suka menikmati kelezatan makanannya. A Fei hanya peduli terhadap gizi dan jumlah makanannya.

Setiap kali selesai makan, ia tidak tahu kapan ia bisa makan lagi. Jadi ia tidak pernah menyia-nyiakan makanan sedikitpun.

Lim Sian-ji menatapnya penuh perhatian. Ia tidak pernah bertemu dengan orang yang begitu menghargai makanannya. Hanya orang yang pernah merasa kelaparan yang tahu betapa berharganya makanan.

Lim Sian-ji tersenyum, “Sudah kenyang?” Kata A Fei, “Kenyang sekali.”
Lim Sian-ji tertawa lalu berkata, “Sangat menarik melihat engkau makan. Sekali kau makan, lebih banyak daripada seluruh makananku dalam tiga hari.”

A Fei tertawa. “Tapi aku juga bisa hidup tiga hari tanpa makan. Kau bisa?”

Lim Sian-ji hanya memandang senyumannya, tak tahu harus menjawab apa.

Setelah beberapa saat, ia tiba-tiba berkata, “Kau lupa sesuatu.”

“Apa?”

“Kim-si-kah mu ada padaku.”

Ia membuka tasnya dan mengeluarkan rompi itu.

Kata Lim Sian-ji, “Untuk merawat luka-lukamu, aku harus mencopotnya. Aku lupa terus mengembalikannya padamu.” A Fei tidak melirik sedikitpun pada rompi itu. “Simpan saja.”

Wajah Lim Sian-ji tampak sangat senang, tapi kemudian digelengkannya kepalanya. “Ini adalah milikmu. Kapan- kapan kau akan memerlukannya. Mengapa semudah itu kau berikan pada orang lain?”

A Fei memandangnya. Suaranya berubah hangat. “Tapi aku tidak memberikannya pada orang lain. Aku takkan pernah memberikannya kepada orang lain. Aku memberikannya kepadamu.”

Lim Sian-ji menatapnya bengong. Matanya penuh rasa terima kasih dan suka cita. Lalu ia menjatuhkan diri dalam pelukan A Fei.

Hati A Fei berdegup kencang tak terkendali.

Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Lim Sian-ji diam-diam tersenyum.
Karena ia tahu, sekarang ia telah memiliki hati pemuda yang kuat dan gagah ini, yang akan selamanya mengikuti semua keinginannya.

A Fei mengangkat tubuhnya dan menggendongnya ke arah tempat tidur. Lalu dengan lembut dibentangkannya selimut tipis menutupi tubuhnya. Dalam hati A Fei, wanita ini adalah wanita yang sempurna. Lim Sian-ji berbaring tenang di atas tempat tidur, masih tersenyum diam-diam.

Tiba-tiba jendela terbuka dan angin dingin pun masuk ke dalam. Lim Sian-ji terkesiap, “Siapa?”

Ketika ia bertanya, ia melihat wajah orang itu. Wajah itu hijau berkilauan, tampak seperti hantu dalam kegelapan.

Lim Sian-ji segera berbaring lagi. Ia tidak terkejut atau pingsan, hanya memandangnya tanpa suara, juga tanpa rasa takut.

Orang ini pun menatapnya. Matanya berkobar-kobar.

Lim Sian-ji tertawa. “Kalau sudah datang, mengapa tidak masuk saja?”

Tubuh orang ini sangat jangkung. Muka dan lehernya juga panjang. Namun sekeliling lehernya diperban, membuat dia terlihat kaku.

Kata Lim Sian-ji, “Apakah kau dilukai Li Sun-Hoan?” Wajah orang ini berubah, “Bagaimana kau bisa tahu?”
Lim Sian-ji mengeluh. “Tadinya kupikir kau akan dapat membunuh dia. Siapa sangka malah dia yang berhasil melukaimu.”

Wajah orang itu bertambah hijau. “Bagaimana kau bisa tahu aku berusaha membunuhnya?” Sahut Lim Sian-ji, “Karena ia telah membunuh Ku Tok. Dan Ku Tok adalah anak harammu.”

In Gok menatapnya dalam-dalam. “Aku juga mengenalimu.”

Lim Sian-ji menjawab dengan tenang, “O ya? Aku sungguh merasa bangga.”

Kata In Gok, “Waktu Ku Tok mati, Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)nya pun menghilang.”

Sahut Lim Sian-ji, “Betul, memang hilang.” Tanya In Gok, “Ia memberikannya padamu?” Sahut Lim Sian-ji, “Kelihatannya begitu.”
In Gok sungguh amat marah. “Jika ia tidak memberikan Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)nya padamu, ia tidak mungkin mati di tangan Li Sun-Hoan!”

Kata Lim Sian-ji, “Kau tidak memberikan Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)mu padaku, namun tetap saja Li Sun-Hoan dapat melukaimu.”

In Gok mengertakkan giginya, dan tiba-tiba menjambak rambutnya kasar.

Lim Sian-ji sama sekali tidak merasa takut. Ia bahkan tersenyum lebih menawan. Ia berkata setengah berbisik, “Ia bangga bisa mati untukku. Ia pikir itu sangat layak.” Cahaya lilin menyapu wajahnya yang putih mulus. In Gok tersenyum kaku. “Aku ingin tahu apakah kau memang layak.”

Tiba-tiba direnggutnya selimut yang menutupi tubuhnya.

Lim Sian-ji terus tersenyum. “Mengapa tidak kau buktikan sendiri apakah aku layak atau tidak?”

Biji leher In Gok tampak naik turun, kerongkongannya serasa kering.

"Bagaimana, berharga tidak?" tanya Sian-ji dengan tertawa genit.

In Gok memuntir rambutnya terlebih kencang, seakan- akan hendak mencabut seluruh rambut dari kulit kepalanya.

Karena kesakitan, Sian-ji mencucurkan air mata, tapi di antara air mata yang berlinang itu juga menampilkan semacam rasa kehausan yang merangsang, ia pandang In Gok dengan mata terpicing, keluhnya dengan napas terengah, "Mengapa engkau cuma berani menjambak rambutku? Memangnya tubuhku berduri?"

Lelaki mana yang tahan oleh kerlingan mata sayu dan ucapan begitu?

Mendadak tangan In Gok membalik dan tepat menampar muka Sian-ji, habis itu lantas mencengkeram erat-erat bahunya serta setengah diangkat. Tubuh Sian-ji lantas gemetar mendadak, entah gemetar tersiksa atau gemetar karena bergairah, mukanya berubah merah lagi.

Lalu In Gok meninju perutnya dan berseru, “Jadi kau suka dipukuli!”

Kembali tubuh Sian-ji melingkar karena pukulan In Gok, keluhnya, "Oo, pukul, pukul lagi, pukul mati saja diriku
...."

Suaranya ternyata tidak menderita sedikit pun, bahkan penuh rasa harap.

Lim Sian-ji tidak menampakkan sedikitpun rupa kesakitan.

Tanya In Gok, “Kau tidak takut padaku?”

Sahut Lim Sian-ji, “Mengapa aku harus takut padamu? Walaupun wajahmu jelek luar biasa, kau tetap seorang laki-laki.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar