Si Pisau Terbang Li Bab 16 : Kebaikan Hati yang Palsu

 
Bab 16. Kebaikan Hati yang Palsu

Tidak ada orang yang menjaga di depan pintu. Mungkin tidak ada yang menyangka A Fei akan datang di siang hari bolong. Atau mungkin mereka ingin tidur siang hari itu.

Di gudang itu ada satu jendela kecil. Di dalam sangat gelap, seperti sebuah penjara. Di dekat gundukan kayu bakar seseorang tergolek.

Sewaktu A Fei melihat mantel bulu itu, darah di dadanya langsung bergolak. Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ia merasakan persahabatan yang begitu dalam dengan orang ini.

Ia melangkah mendekat dan berkata, “Kau…”

Pada saat itulah, sebilah pedang berkilat dari bawah jubah itu!

Sambaran pedang yang secepat kilat ini sungguh mengagetkan A Fei.

Sangat tidak terduga. Dan sangat sangat cepat. Untungnya pedang A Fei masih tergenggam di tangannya. Pedangnya lebih cepat lagi, kecepatannya tak terbayangkan. Walaupun orang itu menyerang lebih dulu, A Fei masih lebih cepat.

Pedang A Fei mengenai pegangan pedang orang itu.

Pergelangan tangan orang itu langsung kesemutan dan pedangnya terlepas dari tangannya.

Orang ini pun ahli pedang tingkat tinggi. Dalam keadaan seperti inipun ia tidak lengah. Ia berguling dan menjauh beberapa meter. Saat itulah A Fei melihat wajahnya. Ia adalah Yu Liong-sing.

Namun A Fei tidak tahu siapa dia, sehingga konsentrasinya tidak terganggu. Ia menyerang lagi sambil keluar dari tempat itu. Walaupun gerakannya sangat cepat, tapi sudah terlambat.

Sebuah golok emas dan tongkat telah menghadang langkahnya. Juga beberapa orang muncul dari balik gundukan kayu bakar itu. Tiap-tiap orang dengan busur dan anak panah yang terbidik padanya. Pada jarak sedekat ini, anak panah sangatlah mematikan.

Betapa pun kuat dan hebatnya seseorang, jika ia berharap bisa keluar hidup-hidup dari tempat itu, ia sedang bermimpi.

Dian-jitya tertawa, “Adakah yang ingin kau sampaikan, Sobat?” A Fei mendesah. “Silakan saja.”

Dian-jitya berkata, “Kau tidak mau membuang-buang waktu. Baik, akan kukabulkan keinginanmu.”

Ia melambaikan tangannya dan anak-anak panah itu datang menghujaninya.

Saat itulah A Fei berguling di tanah. Tangannya meraih pedang yang jatuh dari tangan Yu Liong-sing. Dalam tangannya, pedang itu seakan-akan menari-nari menahan anak-anak panah yang berhamburan datang. Sekejap saja, ia telah sampai di pintu.

Tio Cing-ngo mengaum keras dan golok emasnya menusuk ke arah A Fei.

Sebelum jurusnya selesai, ia melihat kilatan cahaya di depannya.

Jurus pedangnya bukan main cepatnya.

Waktu Tio Cing-ngo berusaha mengelak, sudah terlambat baginya. Pedang A Fei telah menembus tenggorokannya. Darah pun muncrat keluar.

Dian-jitya tercekat.

Namun A Fei sudah meninggalkan tempat itu.

Tian Ki-hondak mengejar A Fei, namun diurungkannya. Tio Cing-ngo masih memegangi lehernya. Sungguh ajaib, dia masih belum mati. A Fei melayang meninggalkan taman itu. Sebelum pergi, dilemparkannya pedang Yu Liong-sing ke arah Dian-jitya.

Dian-jitya ingin mengejar, namun tidak jadi.

Yu Liong-sing mengeluh panjang. “Anak muda itu sungguh luar biasa cepat!”

Dian-jitya pun terkekeh, “Peruntungannya pun tidak jelek.”

Yu Liong-sing bertanya, “Peruntungan?”

Kata Dian-jitya, “Tak kau lihatkah dua anak panah yang menembus tubuhnya?”

Sahut Yu Liong-sing, “Kau benar. Jurus pedangnya belum sempurna benar, sehingga ia masih belum dapat menahan seluruh anak panah itu. Namun ia bisa melindungi dirinya begitu rupa sampai tidak terluka.”

Kata Dian-jitya, “Itu karena ia mengenakan Kim-si-kah . Aku memperhitungkan segala sesuatu, namun aku lupa akan hal ini. Kalau tidak, tidak mungkin ia bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup.”

Yu Liong-sing memandang pedang itu dan mengeluh lagi. “Tidak seharusnya ia datang kembali hari ini.”

Dian-jitya tertawa. “Jangan terlalu memikirkan kekalahanmu. Lagi pula, walaupun ia berhasil lolos dari perangkap kita, belum tentu ia bisa meninggalkan Puri ini.” Saat A Fei keluar dari pintu, ia mendengar lantunan lagu Buddha. Lagu itu terdengar sangat keras dan sepertinya bersumber dari segala arah.

Lalu lima orang pendeta mengelilinginya. Yang pertama adalah Sim-bi Taysu.
A Fei segera melihat ke sekelilingnya dan berusaha tetap tenang. Ia hanya berkata, “Jadi sekarang pendeta pun menjebak orang.”

Sim-bi Taysu menjawab dengan tenang. “Aku tidak bermaksud melukai siapapun. Kata-katamu sangat tajam. Namun kata-kata tidak dapat melukai siapapun juga, kecuali dirimu sendiri.”

Ia berbicara dengan nada datar. Namun ketika kata-kata ini sampai ke telinga A Fei, suara itu bergetar dengan kuat.

Kata A Fei, “Kelihatannya ada juga yang dapat menggunakan kata-kata sebaik aku.”

Ia tahu, jika ia ingin melarikan diri ke atas, tasbih pendeta itu akan dapat melukai kakinya. Jadi kesempatannya hanyalah dengan meloloskan diri dari antara dua pendeta.

Namun ketika ia bergerak sedikit, pendeta-pendeta itu telah berputar mengelilingi dia. Kelimanya bergerak sangat cepat, A Fei tak mungkin meloloskan diri. Begitu A Fei berhenti, pendeta-pendeta itu pun berhenti.

Sim-bi Taysu berkata, “Sebagai pendeta, kami tidak ingin membunuh. Kau mempunyai pedang di tanganmu dan sepatu di kakimu. Jika kau dapat memecahkan formasi Lo-han-tin kami, kau boleh pergi.”

A Fei mulai bernafas dalam-dalam. Tubuhnya diam tidak bergerak.

Ia bisa melihat bahwa ilmu silat pendeta-pendeta ini sangat tinggi, dan kerja sama mereka sangat baik. Formasi mereka tidak punya kelemahan sama sekali.

Ketika A Fei berusia sembilan tahun, ia melihat seekor burung bangau dikelilingi oleh seekor ular besar.
Walaupun burung bangau itu berparuh tajam, ia diam saja tidak bergerak.

Awalnya ia tidak mengerti apa sebabnya. Belakangan ia tahu bahwa ternyata si bangau mengerti perangai si ular. Setelah mengelilingi si bangau, si ular dapat menyerang dengan kepala atau dengan ekornya. Jika si bangau menyerang kepalanya, ekor si ular akan menjerat. Jika si bangau menyerang ekornya, kepala si ular akan memagut.

Oleh sebab itu, si bangau hanya berdiri di situ. Si ular menjadi tidak sabar, dan menyerang lebih dulu. Hanya dengan cara itulah si bangau dapat menghadapi serangan dengan sigap dan mengalahkan ular itu.

Mengalahkan kecepatan dengan ketenangan. Oleh sebab itu, selama para pendeta itu tidak bergerak, ia pun tetap diam.

Setelah beberapa saat, tampak para pendeta itu menjadi tidak sabar. “Apakah engkau sudah menyerah.”

“Belum.”

Sim-bi Taysu bertanya, “Lalu mengapa engkau tidak berusaha pergi?”

Sahut A Fei, “Kalian tidak ingin membunuh aku dan aku tidak bisa membunuh kalian. Jadi aku tidak bisa pergi.”

Sim-bi terkekeh. “Jika kau bisa membunuhku, aku tidak akan menyesal.”

Sahut A Fei, “Bagus.”

Dengan kilatan pedang yang sangat tiba-tiba, A Fei menyerang Sim-bi.

Pendeta Siau-lim-si ini segera menyerang balik.

Namun tiba-tiba A Fei mengubah gerakannya. Tidak seorang pun tahu bagaimana ia melakukannya. Mereka hanya tahu, tiba-tiba ia berbalik ke arah lain.

Awalnya jurus itu diarahkan ke Sim-bi, namun kini terarah pada tangan salah seorang pendeta yang lain.

Kata Sim-bi, “Bagus sekali.” Sambil berbicara, ia menggulung lengan bajunya. Lengan baju pendeta Siau-lim-si sangat tajam, setajam pisau. Ia bersiap-siap menyerang A Fei.

Walaupun keempat pendeta yang lain sedang diserang, ia tidak perlu membantu mereka mempertahankan diri. Inilah kelebihan formasi Lo-han-tin.

Tidak ada yang menyangka bahwa saat itu A Fei kembali mengubah gerakannya lagi.

Ketika ahli pedang yang lain berganti jurus, mereka hanya mengubah asal arah serangan atau tujuan arah serangan. Namun A Fei dapat mengubah arah seluruh tubuhnya.

Jurus yang tadinya mengarah ke timur, bisa berubah tiba-tiba ke barat.

Tidak ada yang berubah, hanya gerakan kakinya saja yang secepat kilat.

Di detik berikutnya, pedangnya telah merobek lengan baju Sim-bi. Pedang dan tubuh telah menyatu. Jika pedang lolos, tubuh pun lolos.

Sim-bi lalu berkata, “Hati-hati di jalan. Kuantarkan kau keluar.”

A Fei lalu merasa serangkum tenaga di belakangnya, seolah olah batang besi yang besar memukul punggungnya. Walaupun ia memakai Kim-si-kah , ia masih merasa sangat kesakitan. Salah seorang pendeta itu berseru, “Kejar dia!” Namun Sim-bi berkata, “Tidak perlu.”
Kata pendeta itu, “Ia tak mungkin pergi terlalu jauh. Mengapa membiarkan dia lolos?”

“Jika ia tidak mungkin pergi jauh, buat apa susah-susah mengejarnya?”

Pendeta itu berpikir sejenak, lalu berkata, “Susiok memang benar.”

Sim-bi memandang ke arah A Fei pergi, lalu berkata, “Seorang pendeta tidak boleh melukai orang, sebisa mungkin.”

Dian-jitya pun mengawasi kejadian itu dari kejauhan. Ia terkekeh. “Pendeta-pendeta ini memang pandai. Jika orang lainlah yang membunuh orang itu untuk mereka, mereka tidak akan peduli.”

Tenaga yang disalurkan melalui tapak tangan pendeta Siau-lim-si itu memang benar-benar kuat. A Fei perlu cukup lama untuk mengembalikan keseimbangannya.

Ia tahu ia telah terluka dalam cukup parah. Namun paling tidak ia bisa sembuh dari luka seperti ini.

Setelah bertahun-tahun menjalani latihan dan penderitaan, ia menjadi sangat tahan bantingan. Tubuhnya seperti terbuat dari baja. Jika A Fei bisa lolos, ia memang sungguh seorang yang beruntung. Sangat sedikit orang yang dapat lolos dari serangan bersama lima pesilat tangguh Siau-lim-si.

Hanya saja, A Fei tidak ingin lolos.

Di manakah mereka menyembunyikan Li Sun-Hoan?

Bagaikan elang, mata A Fei memantau sekelilingnya. Ia segera berlari menuju ke halaman belakang. Di sana lebih bayak tempat untuk bersembunyi.

Tiba-tiba terdengar suara tawa.

Di depan sana terlihat sebuah paviliun. Orang yang tertawa itu sedang duduk di sana, membaca buku. Sepertinya ia sangat asyik dengan bacaannya.

Ia mengenakan baju yang biasa, bahkan agak lusuh. Wajahnya kurus, berwarna kuning, dengan jenggot panjang. Ia tampak seperti seorang pelajar tua yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri.

Namun hanya pesilat tangguhlah yang dapat membuat suara tertawanya terdengar begitu jelas dari jarak yang begitu jauh.

A Fei berhenti. Dipandangnya orang itu menyelidik.

Orang tua itu seperti tidak melihat A Fei. Ia membalik halaman bukunya terus membaca dengan serius. A Fei melangkah mundur. Setelah sepuluh langkah, ia memutar badan dan melayang pergi. Dalam dua langkah ia sudah ada dalam hutan Bwe.

A Fei menarik nafas panjang, menelan darah di kerongkongannya.

Lukanya ternyata lebih parah daripada sangkaannya. Ia tidak dapat bertempur lagi dengan keadaannya sekarang.

Pada saat itulah terdengar suara seruling.

Suara seruling itu sangat jernih dan keras. Kelopak- kelopak bunga Bwe berjatuhan di sekeliling A Fei.

Lalu dilihatnya seseorang sedang meniup seruling di bawah pohon Bwe di belakangnya. Orang itu adalah Siucai itu tua yang dilihatnya semenit yang lalu.

Kali ini, A Fei tidak menghindar. Sambil memandang orang tua itu dan menyapa, “Thi-tiok Siansing?”

Suara seruling itu perlahan-lahan lenyap.

Ia memandang A Fei cukup lama, lalu tiba-tiba bertanya, “Kau terluka?”

A Fei sangat terkejut. Penglihatan orang ini sangat tajam.

Thi-tiok Siansing bertanya lagi, “Terluka di punggungmu?”

Sahut A Fei, “Kalau sudah tahu, mengapa bertanya lagi?” “Sim-bi melukaimu?”

A Fei hanya menggeram, “Hmmmmh.”

Thi-tiok Siansing menggelengkan kepalanya. “Sepertinya pendeta Siau-lim-si itu tidak sungguh-sungguh hebat.”

A Fei bertanya, “Mengapa?”

Thi-tiok Siansing menerangkan. “Untuk orang setingkat dia, tidak seharusnya dia menyerangmu dari belakang. Dan jika dia melakukannya, seharusnya dia tidak membiarkanmu hidup cukup lama dan bertemu dengan aku.”

Ia tiba-tiba tersenyum. “Mungkinkah pendeta tua itu ingin menggunakan tangan orang lain untuk membunuhmu?”

Kata A Fei, “Aku akan memberi tahu engkau tiga hal. Pertama, jika ia tidak menyerangku dari belakang, ia tidak mungkin bisa melukaiku. Kedua, walaupun dia memukulku, dia tetap tidak bisa membunuhku. Ketiga, kau pun tak mungkin dapat membunuhku!”

Thi-tiok Siansing tertawa terbahak-bahak. “Kau sombong sekali, anak muda.”

Tiba-tiba ia berhenti tertawa. “Karena kau terluka, aku tidak seharusnya menantangmu. Namun karena engkau begitu sombong, aku harus memberimu pelajaran.” A Fei merasa ia sudah terlalu banyak bicara. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi.

Thi-tiok Siansing berkata lagi, “Karena kau sudah terluka, kau boleh mulai tiga jurus lebih dulu.”

A Fei memandangnya, lalu terkekeh.

Sambil terkekeh ia menyelipkan pedangnya kembali ke pinggangnya. Ia berbalik dan berjalan pergi.

Thi-tiok Siansing berkata, “Kau sudah bertemu denganku. Kau pikir kau bisa pergi hidup-hidup?”

A Fei tidak menoleh. Ia menyahut dingin, “Jika aku tidak pergi, maka kau pasti mati.”

Thi-tiok Siansing tak bisa menahan tawanya. “Siapa yang mati? Kau atau aku?”

Kata A Fei, “Tidak ada seorangpun yang bisa memberikan aku keuntungan tiga jurus awal.”

“Jadi kalau aku memberi, aku akan mati?” “Ya.”
Kata Thi-tiok Siansing, “Mengapa tidak kita coba saja?”

A Fei diam saja. Dibalikkannya tubuhnya dan ditatapnya orang itu dalam-dalam.

Thi-tiok Siansing belum pernah melihat mata seperti itu. Sepasang mata ini tidak berperasaan. Seperti terbuat dari batu. Jika mata itu menatapmu, mata itu seperti seorang dewa yang menatap mahluk ciptaanya.

Tanpa disadarinya, Thi-tiok Siansing mundur beberapa tindak.

Saat itulah A Fei memulai serangannya.

Sekali pedangnya menyerang, tidak akan luput.

Ini adalah filosofi A Fei. Jika ia tidak yakin akan menang, ia tidak akan menghunus pedangnya!

Butiran salju dan bunga-bunga Bwe beterbangan di udara, sungguh pemandangan yang sangat cantik. Tubuh Thi-tiok Siansing pun melayang-layang menari di tengah-tengahnya.

A Fei tidak melihat ke atas. Ia hanya menarik kembali pedangnya.

Thi-tiok Siansing melayang turun. Mengapung perlahan- lahan seperti kertas yang tertiup angin. Terlihat genangan darah di atas salju.

A Fei memandangi darah di tanah, katanya, “Tidak ada seorangpun yang dapat memberikan aku keuntungan tiga jurus awal. Satu jurus pun tidak!”

Thi-tiok Siansing bersandar pada sebatang pohon. Wajahnya sangat pucat. Dadanya penuh dengan noda darah. Ia tidak sempat menggunakan suling besinya yang terkenal sedunia itu!

A Fei berkata lagi, “Namun kau tidak mati, karena kau memegang kata-katamu.”

Ia terkekeh. “Paling tidak kau lebih baik dari Sim-bi.”

Sim-bi berkata bahwa ia tidak akan melukai A Fei. Jikalau A Fei bisa lolos dari formasi mereka, ia boleh pergi.
Namun ia malah membokong A Fei. Ini adalah pelajaran yang sangat berharga, yang tak akan pernah dilupakan A Fei.

Thi-tiok Siansing kemudian berkata, “Kau masih punya dua jurus lagi.”

“Dua lagi?”

A Fei memandangnya sesaat, lalu menjawab, “Baik.”

Ia menyerang perlahan dan ringan. Dua tinju yang hampir tidak menyentuh tubuh Thi-tiok Siansing. “Nah, aku sudah memberimu tiga….”

Saat itulah terdengar suara mendesing pelan, Sepuluh ‘Jarum Bintang Beku Badai Hujan’ melesat keluar dari suling besi!

Wajah Thi-tiok Siansing yang mucat, kini berbinar-binar. Katanya, “Hari ini aku mendapat sebuah pelajaran berharga. Jangan pernah memberi keuntungan tiga jurus awal pada siapapun. Kau pun harus belajar satu hal. Jika kau sudah menyerang, lebih baik kau bunuh musuhmu. Kalau tidak, lebih baik tidak menyerang sama sekali!”

A Fei mengertakkan giginya sambil memandang jarum- jarum di kakinya. Ia menjawab sekata-demi sekata, “Aku tak akan pernah melupakannya!”

Thi-tiok Siansing berkata, “Bagus. Sekarang, pergilah.”

Sebelum A Fei sempat menjawab, terdengar seruan dari jauh.

“Cianpwe…. Cianpwe Suling Besi…. Apakah kau telah menangkapnya?”

Thi-tiok Siansing segera mendesak A Fei, “Cepatlah. Aku tak dapat membunuhmu, tapi aku pun tak ingin kau mati di tangan orang lain!”

A Fei segera berguling pergi.

Kakinya tak dapat bergerak, namun tangannya masih Lincah.

Ia merasa darah naik ke kerongkongannya. Walaupun dia mati-matian menahannya, ia tidak berhasil.

Walaupun tidak ada yang mengejar, dia tidak yakin bisa hidup lebih lama. Ia hanya ingin bertemu dengan Li Sun- Hoan, dan mengatakan padanya bahwa ia telah berusaha sekuat tenaga. Sebelum ia jatuh pingsan, ia melihat sesosok bayangan menghampirinya.

***
Hanya ada satu lilin dalam ruangan.

Liong Siau-hun sedang memandangi Li Sun-Hoan. Dibiarkannya Li Sun-Hoan selesai batuk-batuk, lalu diberinya minum secawan arak.

Setelah ia menghabiskan cawan itu, Li Sun-Hoan tersenyum. “Toako, lihatkah engkau bahwa tak ada setetes pun yang tumpah.? Walaupun aku digantung terbalik seperti ini, aku masih bisa minum arak dengan baik.”

Liong Siau-hun pun ingin tersenyum, namun tidak bisa. “Mengapa tak kau biarkan aku membuka Hiat-to (jalan darah)mu?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tak bisa menahan godaan. Jika kau membuka Hiat-to (jalan darah)ku, aku pasti akan kabur.”

Liong Siau-hun berkata, “Nam….namun sekarang tidak ada siapa-siapa. Tidakkah kau mengerti apa yang sedang kulakukan?”

Li Sun-Hoan menjawab cepat, “Toako, tidakkah kau mengerti apa yang sedang kulakukan?”

Sahut Liong Siau-hun, “Aku tahu, tapi…..” Li Sun-Hoan tersenyum. “Aku tahu apa yang hendak kau katakan. Tapi kau tidak berbuat kesalahan apapun. Dan hanya untuk secawan arak itu, aku tak akan pernah menyesali persahabatan kita.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar