Si Pisau Terbang Li Bab 08 : Masa Lalu Tak Mungkin Diubah

 
Bab 08. Masa Lalu Tak Mungkin Diubah

Dulu taman ini adalah milik Li Sun-Hoan. Ia tumbuh di sini. Masa kecilnya menyenangkan dan penuh kenangan indah. Namun demikian, di tempat ini pulalah ia mengantarkan kedua orang tuanya dan kakaknya ke tempat peristirahatan mereka yang terakhir.

Siapa sangka, ia menjadi orang asing di tempat ini.

Li Sun-Hoan tersenyum. Sebuah lagu teringat olehnya, “Lihat dia sedang membangun rumah. Lihat dia sedang menjamu tamu. Lihat rumahnya hancur berantakan.”

Ia sungguh memahami lagu ini sekarang. Memahami pertemuan dan perpisahan dalam hidup, lagu sendu kehidupan.

Sang Kusir berkata pelan, “Siauya, mari kita masuk.”

Li Sun-Hoan menarik nafas panjang, tertawa getir, dan berkata, “Karena kita sudah ada di sini, cepat atau lambat kita harus masuk, bukan?”

Baru saja kakinya melangkah masuk ke pintu depan, seorang laki-laki tiba-tiba berteriak kasar, “Siapa kau? Berani-beraninya kau masuk ke rumah Liong-siya!” Seseorang dengan wajah burik, mengenakan mantel bulu domba, dan tangannya memegang sangkar burung, datang dan menghalangi langkah Li Sun-Hoan.

Kata Li Sun-Hoan, “Kau adalah….”

Si wajah burik berkacak pinggang dan menjawab galak, “Aku adalah Koankeh pengurus rumah tangga di sini.
Anak gadisku adalah adik angkat Nyonya Liong. Apa maumu?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Mmmm…. kalau begitu, aku menunggu di sini saja.”

Si wajah burik tertawa dingin dan berkata, “Kau tak boleh menunggu di sini. Kau pikir pintu depan rumah Tuan Liong ini tempat nongkrong?”

Sang Kusir sangat geram, namun ia berusaha keras menahan diri.

Lalu si wajah burik berteriak lagi, “Aku suruh kalian pergi! Apakah kalian berlagak tuli?”

Li Sun-Hoan masih dapat menahan geramnya, namun Sang Kusir tak tahan lagi.

Baru saja hendak dihajarnya orang burik itu, terdengar suara tergesa-gesa dari dalam, “Sun-huan, Sun-huan, benarkah kau yang datang?”

Seorang laki-laki setengah umur yang gagah dan berpakaian indah keluar, wajahnya penuh dengan kegembiraan dan harapan. Segera setelah dilihatnya Li Sun-Hoan, ia memeluk Li Sun-Hoan erat-erat, katanya, “Aku benar. Betul-betul kau….betul-betul kau….”

Bahkan sebelum selesai berbicara, air matanya telah berLimang-Limang.

Bagaimana mungkin Li Sun-Hoan tidak mempunyai perasaan yang serupa, katanya, “Toako…”

Si wajah burik hanya bisa melongo dan berdiri di situ seperti orang tolol.

Liong Siau-hun terus-menerus berkata, “Toako, aku selalu ingat padamu selama bertahun-tahun ini… ingat padamu….”
Diucapkannya kalimat ini berulang-ulang, dan akhirnya ia tertawa dan berkata, “Kita saudara angkat bertemu kembali adalah peristiwa yang bahagia. Mengapa kita malah menangis seperti nenek-nenek…”

Ia terus tertawa-tawa dan mengajak Li Sun-Hoan masuk. Lalu ia berseru, “Panggilkan Nyonya. Semua orang kemari. Mari kuperkenalkan dengan saudara angkatku.
Kau tahu siapa dia? Hehehe… aku jamin kalian pasti kaget.”

Sang Kusir memandang mereka, di matanya air mata sudah mengambang. Hatinya terasa masam, tak tahu apakah ini kebahagiaan, atau kesedihan.

Baru sekarang si wajah burik bernafas lagi. Sambil dipukul-pukulnya kepalanya ia berkata, “Mati aku, ia adalah Li…. Li Tamhoa. Katanya rumah ini adalah hadiahnya kepada Tuan dan Nyonya. Tapi aku malah menghalangi dia masuk. A…aku pantas mati.”

Ang-hai-ji , Liong Siau-in, duduk di sofa besar di ruang keluarga, dikelilingi beberapa orang. Ia tahu sekarang bagaimana hubungan Li Sun-Hoan dengan ayahnya, sehingga ia jadi merasa sangat takut. Bahkan untuk menangis pun tidak berani.

Namun pada saat Liong Siau-hun membawa masuk Li Sun-Hoan, dua orang yang berdiri dekat Liong Siau-in segera maju. Sambil menuding Li Sun-Hoan, seorang berkata, “Apakah kau yang melukai In-siauya?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Benar.”

Orang itu berkata lagi, “Bagus. Kau memang punya nyali.”

Dua orang, satu dari kiri dan satu dari kanan menyerang Li Sun-Hoan bersamaan.

Li Sun-Hoan tidak bergerak sama sekali, namun Liong Siau-hun menyorongkan telapak tangannya dan menendang sambil melompat, menyelesaikan kedua penyerang itu. Dengan marah ia berteriak, “Berani- beraninya kau menyerang dia! Kalian berdua memang punya nyali. Tahukah kalian siapa dia?”

Kedua penjilat ini tak menyangka bahwa perbuatan mereka menjadi senjata makan tuan. Salah seorang berkata tergagap, “Ka..kami hanya berusaha membantu Siauya…”

Liong Siau-hun berkata dengan penuh wibawa, “Apa maksud kalian? Putra Liong Siau-hun adalah putra Li Sun-Hoan. Ia berhak mendidik anak itu. Jika ia mengambil nyawa setan kecil itu pun, bukan masalah bagiku.”

Tambahnya lagi, “Mulai saat ini, masalh ini tak perlu diungkit-ungkit lagi. Siapa yang berani mengungkitnya, berarti dengan sengaja mencari permusuhan dengan aku!”

Li Sun-Hoan berdiri mematung, tak tahu harus merasa apa.

Jika Liong Siau-hun memaki-maki dia, atau memutuskan persaudaraan mereka, mungkin ia malah merasa lebih lega. Namun sebaliknya, Liong Siau-hun menilai hubungan mereka sangat berharga, membuat Li Sun- Hoan semakin merasa bersalah dan tertekan. “Toako, aku tak menyangka….”

Liong Siau-hun menepuk pundaknya, dan berkata sambil tersenyum, “Toako, sejak kapan kau jadi pemalu? Anak berandalan ini terlalu dimanja oleh ibunya. Tidak seharusnya aku mengajari dia kungfu.”

Lanjutnya, “Ayo, ayo. Ambilkan arak kemari. Siapa yang dapat membuat kami bersaudara mabuk akan kuberi 500 tail perak.” Ketika ia bicara tentang uang itu, siapakah dalam ruangan itu yang tidak menjadi rakus? Semua orang segera berlomba-lomba menyulangi mereka.

Terdengar suara berkata, “Nyonya telah tiba.”

Akhirnya Li Sun-Hoan berjumpa lagi dengan Lim Si-im.

Walaupun Lim Si-im bukan wanita sempurna, kecantikannya pun tak dapat disangkal. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, dan matanya, walaupun sangat cerah, tapi pandangannya dingin. Namun perilakunya, keanggunannya, tak ada bandingannya.

Apapun yang terjadi, ia dapat membuat kehadirannya dirasakan orang. Siapapun yang berjumpa dengannya, takkan dapat melupakannya.

Wajah ini telah hadir dalam benak Li Sun-Hoan ribuan kali. Namun setiap kali selalu tampak sangat, sangat jauh.

Setiap kali Li Sun-Hoan akan memeluknya, ia selalu bangun dari mimpinya, dengan sekujur tubuh berkeringat dingin. Memandangi malam yang kelam dan dingin, menunggu datangnya fajar dengan hati perih. Namun setelah pagi tiba pun, ia tetap merasa hancur, tetap kesepian.

Kini wanita dalam mimpinya berada di depan matanya. Namun kenyataan kadang-kadang lebih kejam daripada angan-angan. Dalam kenyataan, ia tidak punya pilihan untuk melarikan diri. Ia hanya bisa menggunakan senyum untuk menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Ia memaksakan diri untuk tersenyum, sapanya, “Toaso (Kakak ipar), apa kabar?”

‘Toaso’.

Wanita impiannya kini telah menjadi Toasonya. Sang Kusir memaLingkan wajahnya, tak kuasa melihat lebih jauh. Karena hanya dia seoranglah yang tahu bagaimana menyakitkannya bagi Li Sun-Hoan untuk memanggilnya ‘Toaso’.

Jika ia ada di tempat Li Sun-Hoan, ia tidak yakin ia mampu mengucapkannya. Ia tidak tahu, sanggupkah ia menerima kenyataan sepahit itu.

Jika ia tidak memaLingkan wajahnya, air matanya pasti sudah berLimang-Limang.

Namun, Lim Si-im sepertinya tidak mendengar sapaannya.

Kesedihannya tertumpah seluruhnya pada putranya.

Waktu anak ini melihat ibunya, segera ia berlari ke pelukannya, lalu kembali menangis meraung-raung, “Aku tidak bisa lagi belajar kungfu, aku sudah cacad. A…Aku tak mau hidup lagi!”

Lim Si-im memeluknya erat-erat, tanyanya, “Siapa yang melukaimu?”

Ang-hai-ji menjawab cepat, “DIA!” Kepala Lim Si-im berputar ke arah yang ditunjuk oleh putranya, dan matanya bertemu dengan wajah Li Sun- Hoan.

Ia menatap Li Sun-Hoan, seakan-akan menatap seorang asing. Sedikit demi sedikit kebencian merebak di matanya. Ia berkata sekata demi sekata, “Kau….
Benarkah kau yang melukainya?”

Li Sun-Hoan hanya dapat mengangguk cepat.

Tidak tahu tenaga dari mana yang menahan dia tetap berdiri. Lututnya terasa sangat lemas.

Lim Si-im terus menatapnya tanpa berkedip, lalu katanya sambil menggigit bibirnya, “Bagus. Bagus sekali. Aku sudah tahu sejak lama bahwa kau takkan membiarkan aku hidup dengan tenang. Kau bahkan mengambil secercah kebahagiaanku yang terakhir. Kau….”

Liong Siau-hun memotong kata-katanya, “Kau tak boleh berbicara seperti itu padanya. Ini bukan kesalahannya. Semuanya karena Anak In suka mencari masalah.
Sekarang ia bisa berhenti berbuat onar. Dan lagi, pada saat itu ia tidak tahu bahwa anak itu adalah putra kita.”

Ang-hai-ji berteriak, “Dia tahu! Dia sudah tahu. Pada awalnya dia tak sanggup melukai aku. Tapi waktu aku dengar bahwa dia adalah sahabat ayah, aku berhenti. Tapi dia malah mengambil kesempatan dan melukai aku.” Tubuh Sang Kusir hampir meledak mendengar ucapan anak ini, namun Li Sun-Hoan hanya berdiri terdiam, bahkan tidak berusaha membela diri.

Ia telah melewati lembah tergelap dalam hidupnya. Buat apa berdebat dengan anak kecil?

Namun Liong Siau-hun membentak, “Anak kurang ajar, masih berani kau berbohong!”

Ang-hai-ji hanya menangis terus sambil berkata, “Aku tidak bohong, Bu. Sungguh aku tidak bohong!”

Liong Siau-hun dengan marah hendak menarik anak itu, tapi Lim Si-im menghalanginya, dan bertanya keras, “Kau mau apa?”

Liong Siau-hun menghentakkan kakinya, sahutnya, “Anak setan ini sungguh terlalu liar. Aku akan membuatnya cacad sekarang, supaya ia tidak lagi membuat keributan!”

Wajah Lim Si-im yang pucat jadi bersemu merah, dan berkata, “Kalau begitu silakan bunuh aku juga!”

Pandangannya tiba-tiba beralih pada Li Sun-Hoan, dan berkata dengan seringai dingin, “Kalian adalah laki-laki yang gagah perkasa. Pasti mudah bagi kalian berdua untuk membunuh seorang anak kecil. Tambah satu wanita lemah, tak akan jadi soal, bukan?”

Liong Siau-hun mengeluh panjang, katanya, “Si-im, sejak kapan kau jadi ngaco begini?” Lim Si-im tidak menggubrisnya dan segera menggendong anaknya pergi ke kamarnya. Langkahnya ringan, namun sudah cukup untuk meluluhlantakkan hati Li Sun-Hoan.

Liong Siau-hun menghela nafas, katanya, “Maafkanlah dia, Sun-huan. Ia biasanya cukup mau mengerti. Namun waktu seorang wanita menjadi seorang ibu, kadang- kadang ia jadi tidak masuk akal.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tahu. Demi anak, semua yang dilakukan ibu adalah benar.”

Dipaksakannya tersenyum, dan dilanjutkannya, “Walaupun aku belum pernah jadi ibu, aku pernah jadi anak seorang ibu.”

Pameo ‘Jika kau minum untuk mengurangi kesedihanmu, kau malah akan merasa tambah sedih’, tidaklah terlalu tepat. Sedikit arak memang akan membuat seseorang semakin teringat akan masa lalu, masa lalu yang pahit.
Namun jika seseorang mabuk berat, maka ia akan lupa segalanya.

Kelihatannya Li Sun-Hoan paham akan hal ini, oleh sebab itu ia minum sedemikian rupa, seolah-olah hidupnya bergantung pada botol arak itu.

Tidak sulit untuk menjadi mabuk. Namun seseorang yang memiliki begitu banyak persoalan akan minum lebih sering dan lebih banyak. Jadi waktu tiba saatnya ia ingin mabuk, ia tidak bisa mabuk lagi.

Kini hari telah gelap. Begitu banyak arak telah diminumnya, namun Li Sun- Hoan tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda akan mabuk.

Tapi tiba-tiba ia menyadari, tidak ada seorang pun yang mabuk. Hampir 20 orang ada di situ dan mereka telah minum begitu lama. Namun tidak seorang pun mabuk. Sungguh aneh.

Malam telah semakin larut. Wajah setiap orang sungguh kelam. Sepertinya mereka sedang menantikan kedatangan seseorang.

Tiba-tiba terdengar bunyi lonceng. Hari sudah tengah malam.

Wajah semua orang langsung berubah. Salah satunya berkata, “Sudah tengah malam. Mengapa Tio-toaya belum datang juga?”

Li Sun-Hoan mengangkat alisnya dan bertanya, “Siapakah Tio-lotoa ini? Mengapa tidak ada yang minum arak sebelum dia datang?”

Seorang dari mereka tersenyum dan berkata, “Aku tak ingin menyembunyikan ini dari Li Tamhoa, namun sebelum Tio-toaya tiba, kami semua tidak berani minum.”

Seorang yang lain berkata, “Tio-toaya berjulukan Thi-bin- bu-su (Si Wajah Besi Maha Adil), Tio Cing-ngo. Ia pun kakak angkat Liong-siya. Apakah kau tidak tahu?” Li Sun-Hoan tersenyum lebar, katanya, “Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kelihatannya kakak angkatku telah menjaLim persahabatan dengan begitu banyak orang hebat. Aku bersulang untukmu.”

Wajah Liong Siau-hun menjadi merah, ia tersenyum terpaksa dan berkata, “Toako adalah saudaramu juga. Mari, aku pun ingin bersulang untukmu.”

Kata Li Sun-Hoan, “Tidak jelek juga. Tak kusangka aku tiba-tiba mempunyai beberapa orang kakak. Namun aku tidak tahu apakah pahlawan-pahlawan besar ini mau menganggap aku sebagai adik.”

Liong Siau-hun terbahak-terbahak, sahutnya, “Mereka akan gembira luar biasa. Mengapa mereka tidak senang?”

“Tapi….”

Tidak jelas apa yang hendak dikatakannya, tapi tiba-tiba ia mengganti pembicaraannya. “Tio-toaya telah lama berjulukan Thi-bin-bu-su. Katanya ia tidak pernah tersenyum. Jika aku bertemu dengannya, mungkin aku takkan berselera lagi untuk minum. Tak kusangka semua orang di sini menunggunya datang sebelum mulai minum.”

Liong Siau-hun berpikir sejenak, lalu ia tersenyum, katanya, “Bwe-hoa-cat telah muncul lagi….”

Li Sun-Hoan memotongnya dengan cepat, “Aku sudah dengar.” Kata Liong Siau-hun, “Tapi tahukah kau di mana dia berada?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Kudengar orang ini tak pernah menetap.”

Liong Siau-hun menyahut cepat, “Benar. Ia bisa berada di manapun juga. Tapi aku berani jamin, saat ini ia sedang berada di kota ini. Malah mungkin ada dekat rumahku.”

Waktu ia mengatakan hal ini, leher semua orang langsung menciut. Api besar di tengah ruangan seakan- akan tak mampu menghalangi angin dingin dari luar.

Li Sun-Hoan bertanya, “Maksudmu ia telah muncul?”

Liong Siau-hun menjawab perlahan. “Betul. Putra tertua Cin-samko hampir mati di tangannya dua hari yang lalu.”

Li Sun-Hoan bertanya, “Siapa lagi yang dilukainya?”

Jawab Liong Siau-hun, “Aku tak tahu jawabannya. Biasanya orang ini hanya melukai satu orang sekali bertempur. Dan lagi, ia hanya muncul setelah tengah malam!” Lalu lanjutnya sambil terkekeh, “Caranya membunuh sama seperti cara seseorang minum arak. Ia menetapkan waktunya, dan juga dosisnya.”

Li Sun-Hoan ikut terkekeh, namun ia tidak tampak tenang lagi. Tanyanya, “Bagaimana dengan semalam?” Sahut Liong Siau-hun, “Semalam tak ada kejadian apapun.”

Kata Li Sun-Hoan, “Kalau begitu, mungkin tujuannya memang Cin-toasiauya. Ia tak akan muncul lagi.”

Namun jawab Liong Siau-hun, “Ia akan muncul cepat atau lambat.”

“Kenapa? Apakah ia punya masalah denganmu, Toako?”

Liong Siau-hun menggelengkan kepalanya, katanya, “Tujuannya bukan Cin Tiong ataupun diriku.”

“Lalu siapa?”

Liong Siau-hun belum sempat menyelesaikan jawabannya, “Tujuannya adalah Lim….”

Waktu Li Sun-Hoan mendengar kata ‘Lim’, jawahnya langsung berubah. Namun ternyata ia tidak menyebut ‘Lim Si-im’, namun ‘Lim Sian-ji’.

Li Sun-Hoan menghela nafas lega dalam hati, ia bertanya, “Lim Sian-ji? Siapa dia?”

Liong Siau-hun tertawa terbahak-bahak, katanya, “Toako, jika kau tak tahu siapa Lim Sian-ji, maka engkau sudah terlalu tua. Jika ini terjadi sepuluh atau lima belas tahun yang lalu, mungkin kau akan lebih mengenal nama ini dibandingkan dengan orang lain.” 

Li Sun-Hoan juga tertawa. “Ia pasti sangat cantik.” Kata Liong Siau-hun, “Ia tidak hanya cantik, ia disebut sebagai wanita tercantik seluruh jagad persilatan. Jumlah pahlawan muda yang jatuh cinta padanya tidak terhitung.”

Kemudian ia melihat pada orang-orang yang ada di sana, dan dengan geli berkata, “Kau pikir mereka semua ini datang untuk aku? Jika Lim Sian-ji tidak ada di sini, walaupun kusuguhkan makanan dan arak yang terbaik, mungkin tak ada seorangpun yang sudi datang.”

Wajah semua orang di situ bersemu merah. Namun wajah dua orang pemuda menjadi merah padam. Liong Siau-hun menatap mereka berdua dan katanya, “Kalian berdua cukup beruntung. Setidaknya sekarang kalian punya kesempatan. Jika Toako ini masih muda, kalian tak mungkin punya secuilpun harapan.”

Li Sun-Hoan pun tertawa, katanya, “Jadi kakakku menganggap aku benar-benar tua? Tubuhku mungkin tua, namun hatiku tetap muda.”

Mata Liong Siau-hun berbinar-binar, lalu tertawa lagi. “Benar, kau memang benar. Walaupun ia punya begitu banyak pengagum, namun kurasa ia akan tertarik padamu.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Sayangnya aku telah tenggelam dalam arak sepuluh tahun ini. Teknikku sudah ketinggalan jaman.”

Liong Siau-hun memegang tangannya erat-erat, katanya, “Tapi ada suatu hal yang tidak kau sadari. Nona Lim tidak hanya cantik, ia juga sangat berambisi. Ia tidak ingin menikah dengan siapapun. Namun ia telah mengumumkan bahwa siapa pun yang berhasil membunuh Bwe-hoa-cat , sekalipun dia sudah tua atau burikan, ia bersedia menjadi istrinya.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Jadi mungkin karena inilah Bwe- hoa-cat bermaksud membunuh dia.”

Liong Siau-hun menjawab, “Benar.Bwe-hoa-cat pergi ke Leng-hiang-siau-tiok dua hari yang lalu untuk mencari dia. Dia tidak menyangka bahwa Cin Tionglah yang ada di sana, sehingga ia melukai Cin Tiong.

Mata Li Sun-Hoan bercahaya, “Jadi Cin-toasiauya juga adalah salah satu pengagumnya?”

Liong Siau-hun terkekeh, lalu berkata, “Tadinya ia punya kesempatan besar, namun sekarang…”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Leng-hiang-siau-tiok telah kosong sejak lama. Kini, karena wanita itu tinggal di sana, suasananya pasti lebih hangat. Bahkan pemuda- pemuda yang sedang dimabuk cinta pun datang ke sana.”

Wajah Liong Siau-hun menjadi merah, katanya, “Leng- hiang-siau-tiok adalah tempat kau tinggal dulu.
Seharusnya tak kubiarkan orang lain mendiaminya. Tapi… tapi….”

Li Sun-Hoan memotongnya cepat, “Kalau tempat itu dapat merasakan kehadiran seorang yang cantik, itu keuntungan baginya. Jika sang hutan menyadari siapa yang ada di sana, mereka pasti akan bersuka cita.
Mereka takkan membiarkan aku meludah sembarangan lagi di sana.”

“Namun apakah hubungan wanita ini denganmu, Toako?”

Liong Siau-hun terbatuk dua kali, katanya, “Ia bertemu dengan Si-im waktu ia pergi berdoa ke kuil. Mereka langsung cocok dan menjadi saudari angkat. Sama seperti kau dan aku.”

Kata Li Sun-Hoan, “Jadi ayahnya adalah pengurus rumah tangga yang bertemu denganku di pintu depan?”

Liong Siau-hun tertawa, sahutnya, “Tak bisa dipercaya bukan? Sebenarnya tak ada yang percaya orang burik itu memiliki anak seperti dia. Ini yang namanya ‘Dalam sarang gagak lahir burung api (burung phoenix)’.

Lalu kata Li Sun-Hoan, “Tio-toaya sedang mengumpulkan orang untuk melindunginya? Apakah Tio-toaya kini telah menjadi seorang romantis?”

Liong Siau-hun seperti tidak menangkap maksud Li Sun- Hoan, dan ia terus berkata, “Di samping hendak melindunginya, ia juga ingin menangkap Bwe-hoa-cat . Dan lagi, begitu banyak orang telah bersusah-payah mengumpulkan uang untuk hadiah yang dijanjikan.
Seluruh uang itu ada di rumahku sekarang. Jika sesuatu terjadi pada uang itu….” Waktu Li Sun-Hoan mendengar, ia langsung bertanya, “Mengapa Toako bersedia memikul beban yang begitu berat?”

Jawab Liong Siau-hun, “Seseorang harus memikulnya.”

Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu katanya, “Sudah lewat tengah malam. Mungkinkah si bandit tidak akan datang malam ini?”

Ia tiba-tiba bangkit, dan katanya lagi, “Karena Tio-toaya belum juga datang, dan tidak ada yang mau minum, aku pikir aku akan berjalan-jalan. Mungkin aku akan mengunjungi teman-teman lamaku, pohon-pohon Bwe.”

Kata Liong Siau-hun, “Mungkin kau tak hanya akan bertemu dengan pohon Bwe, tapi juga dengan Bwe-hoa- cat .”

Li Sun-Hoan hanya tersenyum.

Liong Siau-hun bertanya, “Mengapa kau pergi menghadapi bahaya sendirian?”

Li Sun-Hoan hanya terus tersenyum.

Liong Siau-hun masih memandangnya, lalu berkata sambil tersenyum, “Baik, baiklah. Aku tahu, kalau kau sudah ingin, tak ada orang yang dapat menahanmu. Lagi pula, jika Bwe-hoa-cat tahu bahwa kau ada di sini, ia pasti tidak akan berani muncul.” Pohon-pohon Bwe di taman masih ada. Tapi apakah yang telah terjadi pada orang dalam taman itu?

Li Sun-Hoan duduk di sana sendirian. Dipandangnya secercah cahaya lilin di kejauhan. Sepuluh tahun yang lalu, rumah itu adalah miliknya. Orang-orang dalam rumah ini adalah pelayannya.

Kini, semuanya telah berlalu. Tak dapat kembali lagi. Hanya mimpi, dan kesendirian yang tinggal tetap.

Mimpi memang menyakitkan. Namun tanpa mimpi itu, bagaimana bisa ia bertahan hidup?

Setelah menyeberangi jembatan di hutan pohon Bwe, ada sebuah bilik kecil di antara pepohonan. Ini adalah tempat Li Sun-Hoan dulu berlatih silat dan membaca buku. Jika ia membuka jendela bilik itu, ia dapat melihat rumah itu, dan melihat orang itu tersenyum manis padanya.

Namun kini……

Waktu cinta makin mendalam, ia menjadi dangkal. Li Sun-Hoan menghela nafas. Dibersihkannya salju di bahunya, dan ia mulai menyeberangi jembatan ini. Tak ada seorang pun di sini. Ia pun tidak mendengar apa- apa. Waktu Bwe-hoa-cat beraksi adalah lewat tengah malam. Tidak ada seorang pun yang berani datang ke sini pada saat itu. Ia tidak berniat menemui Lim Sian-ji. Ia tahu, Lim Sian-ji pun tak akan tinggal di situ lama. Ia hanya ingin melihat bekas biliknya.

Saat itulah terdengar suara tawa halus.

Seluruh tubuh Li Sun-Hoan menegang. Tubuhnya yang biasanya malas-malasan kini penuh dengan tenaga, dan ia segera melesat ke arah suara itu.

Suara tawa itu kedengaran seperti tawa seorang wanita. Dan tawa yang sangat halus.

Lalu dilihatnya sekelebat bayangan putih melarikan lari di belakangnya. Lalu sekelebat bayangan hitam datang menyerangnya.

Tubuh orang ini cukup besar, dan gerakannya cepat. Walaupun jaraknya masih sekitar tiga meteran, Li Sun- Hoan sudah dapat merasakan angin yang kuat dan dingin datang menyambutnya.

Li Sun-Hoan menyadari, ilmu silat orang ini aneh, tapi sangat hebat.

Bwe-hoa-cat ! Mungkinkah memang dia?
Li Sun-Hoan tidak menangkis. Jika tidak benar-benar perlu, ia tidak pernah akan bertempur mati-matian dengan siapapun. Ia merasa, tenaganya jauh lebih penting dari pada tenaga orang lain. Suatu ketika, seorang temannya mendesak dia untuk bertanding tenaga dalam, namun Li Sun-Hoan terus menolak. temannya ingin tahu alasannya.

Li Sun-Hoan hanya menjawab, “Aku kan bukan kerbau. Kenapa aku harus bertarung seperti seekor kerbau?”

Ia menganggap ilmu silat juga adalah ilmu seni. Gerakannya harus luwes. Jika seseorang memaksa berduel dengan orang lain, kedua orang itu pastilah bodoh seperti kerbau.

Karena Deng Lie adalah sahabatnya, ia bisa menolak ajakannya. Namun orang ini menginginkan kematiannya, maka mula-mula ia harus menutup seluruh jalan Li Sun- Hoan untuk melarikan diri.

Selain itu, kedua orang ini sedang berlari saling mendekati. Jika Li Sun-Hoan mengelak, berarti ia sudah kalah selangkah. Ketika musuh menyerang lagi, Li Sun- Hoan akan benar-benar tidak bisa berkutik.

Oleh sebab itu, tiba-tiba Li Sun-Hoan mundur.

Kecepatannya berubah arah, sungguh mengagumkan. Bahkan lebih cepat daripada ikan di air.

Namun orang berbaju hitam itu pun terus merangsak dengan telapak tangan teracung ke arahnya.

Setelah mundur dengan kecepatan bagai kilat, tiba-tiba tubuh Li Sun-Hoan menjadi santai. Tangannya seolah- olah tidak bergerak, namun pisau terbangnya telah melesat!

Orang berbaju hitam itu menjerit kesakitan. Ia melompat, berbalik arah, dan kemudian lari masuk kembali ke dalam hutan.

Li Sun-Hoan tetap berdiri, seolah-olah merasa bosan. Ia tidak mengejar.

Sebelum berhasil keluar dari hutan, orang berbaju hitam itu telah terjerembab.

Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya dan menghela nafas. Diikutinya tetesan darah itu, dan ditemukannya tubuh orang itu.

Tangannya sedang memegangi lehernya, darah masih terus membanjir keluar. Pisau kecil yang berkilat itu telah dicabut, tergeletak di samping tubuhnya.

Li Sun-Hoan memungut pisaunya, dan memperhatikan wajah orang itu yang menggambarkan rasa sakit luar biasa. Tanyanya, “Jikalau kau bukan Bwe-hoa-cat , mengapa kau menyerang aku?”

Orang ini hanya bisa mengertakkan gigi.

Li Sun-Hoan berkata, “Walaupun kau tidak mengenal aku, aku ingat siapa engkau. Kau adalah murid tertua In Gok. Aku bertemu denganmu sepuluh tahun yang lalu. Aku tak pernah lupa pada orang yang pernah kutemui.” Orang itu berusaha sungguh-sungguh untuk berbicara. “Ak….Aku jug…a meng…enalimu.”

“Jika kau mengenaliku, mengapa kau ingin membunuhku? Kau ingin aku tutup mulut? Bahkan jika engkau punya janji kencan dengan seseorang di tempat ini. Itu pun bukan rahasia yang terlalu besar, bukan?”

Orang ini ingin menjawab, tapi tidak bisa.

Li Sun-Hoan hanya bisa menggelengkan kepalanya, katanya, “Aku tahu, kau pasti sedang berbuat sesuatu yang kau tidak ingin orang lain tahu. Maka kau ingin membunuhku. Mungkin pada saat itu kau tidak tahu bahwa orang itu adalah aku.”

Ia mendesah lagi sebelum melanjutkan. “Karena kau ingin membunuhku, maka aku harus membunuhmu. Kau memilih orang yang salah. Demikian pula aku….”

Tiba-tiba orang itu menjerit keras dan menubruk ke arah Li Sun-Hoan.

Li Sun-Hoan berdiri mematung. Sesaat sebelum telapak tangannya menyentuh dada Li Sun-Hoan, ia terkulai, selamanya takkan bangun lagi.

Li Sun-Hoan memandangnya cukup lama. Lalu ia menengadah dan berkata, “Dua malam yang lalu, putra Cin Hau-gi. Malam ini giliran murid In Gok. Sepertinya Lim Sian-ji punya banyak waktu senggang dan punya selera yang cukup baik pula. Kenalannya adalah anak- anak muda kenamaan. Namun adakah anak gadis yang tidak bermimpi bertemu pangerannya? Apa yang dipikir oleh pemuda-pemuda yang dimabuk cinta ini? Ini kan bukan kejahatan. Mengapa mereka menyembunyikannya? Apakah ada rahasia lain di balik semua ini?”

Lilin di Leng-hiang-siau-tiok masih menyala. Ada bayangan seseorang di sana. Tampaknya seperti orang yang pergi melarikan diri tadi. Tubuh itu sangat ramping. Mungkinkah itu Lim Sian-ji?

Sambil berpikir, Li Sun-Hoan berjalan ke sana.

Matanya tiba-tiba berbinar, seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat menarik.

Angin dingin berhembus melewati hutan itu dan salju pun berjatuhan ke tanah.

Tiba-tiba salju itu terhambur, seakan-akan digerakkan oleh kekuatan gaib. Seseorang sedang menyerang dari belakang.

Li Sun-Hoan menegakkan tubuhnya, menyadari sepenuhnya akan adanya tenaga pedang yang sedang terarah padanya.

Pedang itu telah menyayat sebagian jubahnya.

Di malam yang dingin ini, dalam hutan Bwe yang sepi, ada berapa orangkah yang menginginkan nyawanya? Ia telah berkelana selama sepuluh tahun, dan baru hari ini pulang! Mungkinkah ini penyambutan yang telah dipersiapkan untuknya?

Jika Li Sun-Hoan mengelak ke kiri, tangan kanannya pasti buntung. Jika ia mengelak ke kanan, tangan kirinyalah yang akan buntung. Jika ia maju, punggungnya akan ditembus pedang. Ke manapun dia pergi, tak mungkin ia menghindari pedang ini!

Ujung pedang itu telah menembus jubahnya.

Di saat yang tepat, tubuh Li Sun-Hoan berpindah. Dapat dirasakannya dinginnya ujung pedang itu lewat sangat dekat dengan tubuhnya.

Dalam semua pertempurannya, belum pernah ia sedekat ini dengan kematian.

Namun musuhnya lebih terkejut lagi karena serangannya gagal. Tiba-tiba ujung pedang itu berganti arah, menukik ke bawah ke arah Li Sun-Hoan. Tapi pada saat itu pisau Li Sun-Hoan telah menyayat pergelangan tangannya.

Pisau ini sangat sangat cepat, tak ada yang dapat membayangkan kecepatannya.

Orang itu terkejut luar biasa. Ia menjerit keras. Dilepaskannya pedangnya selagi bergerak mundur.

Adakah ilmu silat yang lebih cepat daripada Pisau Terbang Si Li Kecil?

Tiba-tiba seseorang beseru, “Toako, berhenti!” Suara ini milik Liong Siau-hun.

Li Sun-Hoan berusaha menenangkan diri. Liong Siau-hun telah masuk ke dalam hutan. Penyerang Li Sun-Hoan pun unjuk diri. Ia adalah seorang pemuda berwajah gagah dan berpakaian serba putih.

Liong Siau-hun segera berdiri di antara mereka berdua. Ia bertanya, “Bagaimana kalian berdua bisa jadi bertempur?”

Mata anak muda itu bercahaya di tengah malam, seperti mata burung hantu. Ia menatap Li Sun-Hoan dan menyahut dingin, “Aku menemukan orang mati di dekat hutan. Maka aku yakin bahwa orang di dalam hutan pastilah Bwe-hoa-cat .”

Li Sun-Hoan tersenyum, “Mengapa tidak terpikir olehmu bahwa orang mati itu adalah si bandit?”

Anak muda itu tertawa dingin, katanya, “Bagaimana mungkin Bwe-hoa-cat mati dengan sangat mudah?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Maksudmu, Bwe-hoa-cat hanya mungkin terbunuh oleh dirimu? Sayang sekali….”

Liong Siau-hun segera memotong sambil tertawa, “Kalian berdua, tenanglah dulu. Ini hanya suatu kesalahpahaman. Untung saja kami datang cepat. Kalau tidak, mungkin akan ada yang terluka.” Li Sun-Hoan tersenyum sedikit, lalu diambilnya pedang yang masih tersangkut di jubahnya. Ia memandangi pedang itu, lalu pujinya, “Pedang yang sangat bagus!”

Ia mengembalikan pedang itu pada si anak muda, dan berkata, “Pedangnya sangat terkenal. Pemiliknya pun pasti terkenal. Hari ini terjadi salah paham, namun aku gembira bisa bertemu denganmu. Tidak setiap hari seseorang bisa bertemu dengan pedang setenar itu.”

Muka anak muda itu menjadi merah padam. Setelah diterimanya kembali, dijentiknya pedang itu dan patahlah pedang itu menjadi dua.

Li Sun-Hoan mengeluh, katanya, “Pedang yang luar biasa. Sungguh sayang.”

Anak muda itu menatap Li Sun-Hoan sambil berkata, “Tanpa pedang itu pun aku masih bisa membunuh. Kau tidak perlu menguatirkan aku.”

Li Sun-Hoan tertawa. “Kalau saja aku tahu, lebih baik baik kuminta pedang itu untuk ditukarkan dengan jubah yang baru.”

Anak muda itu tertawa mengejek, sahutnya, “Kau tak perlu kuatir akan hal itu juga. Jangankan satu, sepuluh jubah pun akan kuganti.”

Kata Li Sun-Hoan, “Tapi tak ada satu jubah pun seperti milikku.”

“Apa sih istimewanya? Apakah warnanya khusus?” Li Sun-Hoan berkata dengan wajah serius, “Bukan warnanya. Hanya saja, jubahku ini punya mata.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar