Si Pisau Terbang Li Bab 02 : Teman Akrab Tersimpan dalam Lautan

 
Bab 02. Teman Akrab Tersimpan dalam Lautan

Kereta kuda kini penuh dengan botol-botol arak. Arak ini dibeli oleh si anak muda, jadi ia minum sebotol demi sebotol, menikmati kelezatannya.

Li Sun-Hoan memandangnya dengan gembira. Jarang sekali ia bertemu seseorang yang menarik perhatiannya, tapi anak muda ini sungguh-sungguh menarik.

Tiba-tiba si anak muda meletakkan botol araknya dan menatap Li Sun-Hoan. „Mengapa kau mengundangku ke dalam keretamu untuk minum?“

Li Sun-Hoan tertawa. „Karena penginapan itu bukan tempat yang baik untuk kita duduk lama-lama.“

“Kenapa?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Siapa pun juga yang membunuh orang, ia akan terlibat dalam persoalan. Aku tidak takut membunuh, tapi aku benci persoalan.”

Anak muda ini berpikir sejenak, lalu mulai minum lagi. Li Sun-Hoan tersenyum sambil memadang si anak muda, mengagumi wajahnya saat ia minum.

Tak selang berapa lama, anak muda ini pun mengeluh. “Membunuh memang bukan pekerjaan yang menyenangkan. Tapi ada beberapa orang di dunia ini yang harus dibunug. Jadi aku harus membunuh mereka!”

Li Sun-Hoan tertawa. “Benarkah kau membunuhnya untuk 50 tail perak?”

Anak muda itu menjawab, “Walaupun tanpa uang, aku pasti membunuhnya. Tapi mendapatkan 50 tail kan lebih baik lagi.”

Li Sun-Hoan bertanya, “Mengapa 50 tail?”

Jawabnya, “Karena harganya memang sebegitu.”

Li Sun-Hoan tersenyum. ”Banyak orang di kalangan persilatan yang sepantasnya mati. Dan beberapa berharga lebih dari 50 tail perak. Kau mungkin bisa jadi kaya raya nantinya.”

Kata anak muda itu, ”Sayangnya aku sangat miskin. Kalau tidak, seharusnya kuberikan kepadamu 50 tail itu.”

”Kenapa?”

”Karena kau bantu aku membunuh orang itu.”

Li Sun-Hoan tertawa senang ”Kau salah. Orang itu tidak berharga 50 tail. Sebenarnya ia tidak berharga sepeserpun.”

Tiba-tiba ia bertanya, ”Taukah kau mengapa ia ingin membunuhmu?” ”Tidak.”

”Karena walaupun Si Ular Putih tidak membunuhnya, ia telah membuat Cukat Liu kehilangan muka di dunia persilatan. Kau membunuh Si Ular Putih. Hanya dengan membunuhmu, ia bisa mendapatkan kembali kehormatannya. Itulah mengapa ia harus membunuhmu. Orang-orang kalangan persilatan sangat licik, jauh di luar bayanganmu.”

Anak muda itu tenggelam dalam pikirannya. Lalu berkata, ”Kadang-kadang hati manusia lebih kejam daripada hati harimau. Setidaknya, jika harimau itu ingin memakanmu, ia akan memberitahukan kepadamu lebih dulu.”

Ia meneguk araknya, lalu melanjutkan. ”Tapi yang kudengar hanyalah manusia mengatakan harimau itu kejam. Tidak pernah harimau berkata bahwa manusia kejam. Kenyataannya, harimau membunuh untuk bertahan hidup. Tapi manusia membunuh untuk alasan- alasan lain. Dan sejauh pengetahuanku, jauh lebih sering manusia mati dibunuh sesamanya, daripada dibunuh harimau.”

Li Sun-Hoan menatapnya. ”Itukah sebabnya kau lebih suka bergaul dengan harimau?”

Anak muda itu berpikir lagi, dan tiba-tiba tertawa. ”Masalahnya cuma satu, mereka tidak minum arak.” Inilah kali pertama Li Sun-Hoan melihat senyumannya. Sebelumnya ia tidak sadar bahwa senyum dapat mengubah seseorang begitu rupa.

Wajah anak muda itu selalu kesepian, selalu keras, membuat Li Sun-Hoan berpikir ia seperti serigala di tengah salju.

Namun waktu ia tersenyum, kepribadiannya berubah total. Ia menjadi sangat hangat, sangat akrab, sangat manis.

Li Sun-Hoan belum pernah melihat seorang pun yang dapat tersenyum begitu memikat.

Tiba-tiba anak muda ini bertanya, ”Apakah kau sungguh- sungguh orang terkenal?”

Li Sun-Hoan tersenyum. ”Kadang-kadang jadi orang terkenal tidak menguntungkan.”

”Tapi aku ingin sekali jadi orang terkenal. Aku ingin jadi orang yang paling terkenal di seluruh dunia.”

Dia mengucapkannya dengan sangat lugu.

Li Sun-Hoan tertawa lagi. ”Setiap orang ingin terkenal. Hanya saja kau lebih jujur dari kebanyakan orang.”

Kata anak muda itu, ”Aku berbeda dari kebanyakan orang. Aku HARUS terkenal. Jika aku tidak terkenal, aku harus mati.” Li Sun-Hoan terbelalak mendengar kata-katanya. ”Mengapa?”

Anak muda itu diam saja. Tapi dapat terlihat kepedihan yang dalam di matanya.

Li Sun-Hoan baru menyadari bocah lugu ini ternyata menyimpan banyak rahasia. Masa kecilnya pastilah penuh dengan kesedihan dan kesengsaraan.

Maka Li Sun-Hoan berkata dengan hangat, ”Jika kau ingin terkenal, paling tidak beri tahu aku namamu.”

Anak muda itu terdiam cukup lama, lalu menjawab, ”Orang-orang biasa memanggilku A Fei.”

”A Fei?”

Li Sun-Hoan tertawa. ”Jadi shemu adalah ‘Ah’? Tidak ada orang di dunia ini yang bershe itu.”

Anak muda itu menjawab keras, ”Aku TIDAK punya she!” Kobaran api muncul di matanya. Li Sun-Hoan menyadari bahwa air mata pun takkan sanggup memadamkan api ini. Tapi ia tidak sanggup untuk bertanya lagi. Tidak disangkanya bahwa anak muda itulah yang melanjutkan, ”Waktu aku benar-benar terkenal, mungkin akan kuberitahukan sheku. Tapi sekarang...”

Li Sun-Hoan berkata dengan suara lembut. ”Sekarang aku panggil kau A Fei.” Anak muda itu girang, ”Baiklah, sekarang kau panggil aku A Fei. Sejujurnya, kau boleh memanggilku apa saja.” Kata Li Sun-Hoan, ”A Fei, mari bersulang.”

Baru habis setengah cawan, Li Sun-Hoan mulai batuk- batuk lagi. Wajahnya yang pucat menandakan ia punya penyakit berat. Namun tetap dihabiskannya cawan itu.

Ah Fe menatapnya bingung, bagaimana orang seterkenal itu sangat buruk kesehatannya. Tapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Dihabiskannya cawannya sendiri.

Li Sun-Hoan tersenyum. ”Tahukah kau mengapa aku suka kau menjadi sahabatku.”

A Fei diam saja, maka Li Sun-Hoan melanjutkan. ”Karena dari semua teman-temanku, hanya engkaulah yang melihatku terbatuk-batuk tapi tidak menyuruhku berhenti minum.”

Kata A Fei, ”Apakah tidak boleh minum kalau sedang batuk?”

”Sebenarnya menyentuh alkohol pun tak boleh.”

Maka tanya A Fei, ”Lalu mengapa kau minum terus? Apakah kau punya masa lalu yang menyedihkan?”

Mata Li Sun-Hoan langsung meredup, dan memandang A Fei. ”Apakah aku bertanya sesuatu yang tidak ingin kau jawab? Apakah aku bertanya di mana orang tuamu?
Siapa gurumu? Dari mana asalmu? Hendak pergi ke mana?”

”Tidak.” ”Lalu mengapa kau tanyakan itu padaku?”

A Fei duduk terdiam. Lalu tersenyum. ”Takkan kutanyakan lagi.”

Li Sun-Hoan juga tersenyum. Tampaknya ia ingin bersulang lagi, namun waktu diangkatnya cawannya, ia mulai batuk-batuk lagi.

A Fei membuka jendela kereta, tapi tiba-tiba kereta berhenti.

”Apa yang terjadi?” tanya Li Sun-Hoan.

Sang kusir menjawab, ”Seseorang menghalangi jalan.” ”Siapa?”
”Orang-orangan salju.”

Mereka turun dari kereta. Li Sun-Hoan bernafas pelan, tapi A Fei menatap orang-orangan salju seperti baru pertama kali melihat dalam hidupnya.

Li Sun-Hoan berpaling padanya dan bertanya, ”Kau belum pernah melihat orang-orangan salju?”

Jawab A Fei, ”Aku hanya tahu bahwa salju sangat menjengkelkan.Ia tidak hanya membawa hawa dingin, tapi juga membuat tanaman mati, binatang bersembunyi, orang-orang kesepian dan kelaparan.” Ia membuat bola salju dan melemparkannya. Bola salju itu jatuh di tempat yang cukup jauh, pecah, dan kemudian hancur. Matanya pun menerawang jauh. ”Bagi mereka yang cuku makan dan cukup pakaian, mungkin salju adalah hal yang indah. Bukan hanya mereka dapat membuat orang-orangan salju, mereka pun dapat menikmati pemandangan indah padang salju seperti ini. Tapi bagi orang seperti aku. ”

Tiba-tiba ditatapnya Li Sun-Hoan. ”Apakah kau tahu bahwa bagi seseorang yang tumbuh di alam bebas seperti aku, angin, salju, es, dan hujan adalah musuh terbesar?”

Li Sun-Hoan juga membuat sebuah bola salju dan berkata, ”Aku tidak benci salju, tapi aku benci orang yang menghalangi jalanku.”

Dilemparnya bola salju itu ke arah orang-orangan salju. Anehnya, orang-orangan itu tidak jatuh. Hanya saljunya menjadi retak, sehingga terlihat sesuatu di dalamnya.

Ada manusia asli dalam salju! Tapi sudah mati.
Wajah orang mati tidak pernah rupawan, tapi wajah ini sungguh mengerikan.

”Si Ular Hitam!” jerit A Fei. Mengapa Si Ular Hitam mati di sini? Mengapa pembunuhnya membuatnya sebagai orang- orangan salju?

Sang kusir menarik mayat itu dari salju dan memeriksanya dengan teliti. Mencoba menemukan penyebab kematiannya.

Li Sun-Hoan bertanya, ”Kau tahu siapa pembunuhnya?” Jawab A Fei, ”Aku tidak tahu.”
Kata Li Sun-Hoan, ”Barang itu.” ”Barang apa?”
Li Sun-Hoan melanjutkan, ”Barang itu berada di atas meja, sehingga aku tidak memperhatikannya. Tapi sewaktu Si Ular Hitam pergi, barang itupun lenyap. Oleh sebab itu kupikir ia berlagak gila untuk mengalihkan perhatian orang banyak, dan kabur dengan barang itu.”

”Oh, begitu.” sahut A Fei.

”Namun takkan pernah disangkanya bahwa barang itu akan mengakibatkan kematiannya. Pembunuhnya juga menginginkan barang itu.”

Tidak ada seorang pun yang tahu kapan pisau itu kembali ada di tangannya. ”Benda apakah itu? Mengapa begitu banyak orang menginginkannya? Mungkin seharusnya aku mencuri lihat.” A Fei mendengarkan dengan seksama, tapi tiba-tiba ia memotong, ”Jikalau pembunuh itu menginginkan barang itu, mengapa harus membuat dia sebagai orang-orangan salju dan menghalangi jalan kita?” Li Sun-Hoan terkejut. Walaupun anak muda ini tidak berpengalaman dalam hidup, sangat lugu, namun pikirannya sangat pandai. Tak bisa dibandingkan bahkan dengan orang-ornag berpengalaman di dunia persilatan.

A Fei melanjutkan, ”Orang itu pasti telah memperhitungkan bahwa tidak ada orang lain yang melewati jalan ini. Hanya engkau. Maka orang-orangan salju itu ditaruhnya untuk menghalangi jalanmu.”

Li Sun-Hoan tidak menjawab, hanya bertanya, ”Apakah kau temukan lukanya yang mematikan?”

Namun sebelum sang kusir sempat menjawab, Li Sun- Hoan menyambung, ”Tak usahlah.”

A Fei menambahkan, ”Betul sekali. Orang-orang itu sudah ada di sini, kenapa harus dicari lagi.”

Ketajaman pendengaran dan penglihatan Li Sun-Hoan dianggap paling hebat di dunia. Dia tidak percaya, anak muda pendengaran anak muda ini pun sama baiknya.

Anak muda ini memiliki kemampuan alami binatang buas, dapat menangkap hal-hal yang tidak bisa ditangkap orang biasa. Li Sun-Hoan memberinya tawa puas, ”Karena kalian semua sudah tiba, mengapa tidak keluar dan minum bersama?” Salju di atas pohon di tepi jalan tiba-tiba luruh.

Seseorang tertawa senang, ”Sudah sepuluh tahun tidak berjumpa. Tak disangka Li-tamhoa masih tetap muda. Harus diberi selamat.”

Saat itu seseorang berlengan satu dengan pandangan bagai elang muncul dari dalam hutan.

Seseorang yang lain muncul juga dari sisi lain jalan. Orang ini kurus kecil. Tubuhnya seperti tulang belulang dengan sedikit gumpalah daging di sana-sini. Mungkin angin sepoi-sepoi pun dapat meniupnya pergi.

A Fei langsung menyadari bahwa orang ini tidak meninggalkan jejak secuil pun di atas salju.

Untuk seseorang dapat tidak meninggalkan jejak, walaupun ia beruntung memiliki badan yang ringan, ia tetap harus memiliki tenaga dalam yang hebat.

Li Sun-Hoan tersenyum. ”Aku baru saja kembali dari perbatasan setengah bulan. Namun Cah-congpiauthau (ketua) Kim-say-piaukiok (jasa ekspedisi Singa Emas) dan Sin-heng-bu-eng (Si Pengelana Tanpa Bayangan) Ki- jisiansing, berdua datang menemui aku. Reputasiku pasti cukup baik.”

Orang tua yang kecil itu tersenyum licik. ”Tampaknya ketenaran Li-tamhoa bukan bualan saja. Ingatanmu baik sekali. Kita bertemu hanya satu kali tiga belas tahun yang lalu, namun kau masih ingat aku, orang tua yang tidak berguna ini.” ['Tamhoa' adalah gelar dalam kerajaan Cina kuno, yang diberikan kepada orang yang menempati urutan ke-3 dalam ujian kerajaan. Ujian ini adalah untuk menyaring pejabat negara.]

Baru sekarang A Fei menyadari bahwa kaki orang tua itu pincang. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana seorang pincang dapat menjadi ahli kungfu meringankan tubuh.

Ia tidak tahu bahwa karena cacad sejak lahir, ia melatih kungfunya lebih giat untuk menutupi kekurangannya.

A Fei tidak bisa tidak menghormati orang ini.

Li Sun-Hoan terkekeh. ”Kau sudah susah-payah mengundang teman-teman lain. Apakah tidak akan kau perkenalkan mereka pada kami?”

Ki-jisiansing menjawab dingin. ”Benar. Mereka juga mendengar ketenaranmu dan ingin bertemu.”

Saat ia berbicara, muncullah empat orang dari dalam hutan. Walaupun hari masih siang, Li Sun-Hoan bergidik melihat keempat orang ini.

Empat orang ini tampak dewasa, tapi berpakaian seperti anak-anak. Mengenakan pakaian warna cerah dengan motif bunga-bunga. Sepatu mereka pun sepatu anak- anak dengan gambar harimau di depan. Tatakan liur pun terikat di pinggang. Sorot mata mereka menggambarkan kedewasaan, namun tingkah laku mereka seperti bocah. Orang yang melihat pasti merasa muak, ingin muntah. Yang paling menarik adalah gelang yang mereka kenakan di tangan dan kaki ada kerincingannya, sehingga ribut sekali waktu mereka berjalan.

Waktu sang kusir melihat empat orang ini, ia langsung berkata, ”Si Ular Hitam tidak dibunuh oleh seseorang.”

Li Sun-Hoan mendengus, ”Heh?”

Kata sang kusir, ”Ia terbunuh oleh racun kalajengking.”

Roman wajah Li Sun-Hoan berubah. ”Kalau begitu, empat orang ini pastilah murid Ngo-tok-tongcu (Si Anak 5 Racun).”

‘Anak’ berbaju kuning tertawa. ”Kau menghancurkan orang-orangan salju yang kami buat susah-payah. Kau harus membayarnya.” Sambil mengatakan ‘membayarnya’, ia meloncat ke arah Li Sun-Hoan, namun kerincingannya tidak berbunyi.

Li Sun-Hoan hanya tersenyum padanya, tidak bergerak sama sekali.

Tapi Ki-jisiansing juga meloncat, menghalangi ‘anak’ berpakaian kuning itu. Menariknya ke samping.

’Singa Emas’ berdiri tiba-tiba dan tertawa keras. ”Li- Tamhoa ini kaya raya. Jangankan orang-orangan salju, orang-orangan emas pun sanggup dibayarnya. Kalian berempat jangan gegabah. Aku akan memperkenalkannya pada kalian.” ‘Anak’ berpakaian merah menambahkan. ”Aku tahu ia juga ahli makan, minum, wanita, dan judi. Maka aku selalu berharap ia dapat membantu kami mencari kesenangan.”

‘Anak’ berpakaian hijau berkata, ”Aku juga tahu dia cukup berpendidikan, bahkan mendapat gelar Tamhoa dalam ujian kerajaan. Kudengar ayahnya dan kakeknya pun semua bergelar Tamhoa.”

‘Anak’ berpakaian merah itu terkikik, ”Sayangnya Li kecil yang satu ini tidak ingin jadi pejabat pemerintah, malah lebih senang jadi maLing.”

Walaupun yang lain tampak tidak peduli akan apa yang sedang dibicarakan, A Fei melongo mendengar informasi ini. Tidak disangkanya bahwa sahabat barunya memiliki hidup yang sangat menakjubkan.

Ia tidak tahu bahwa orang-orang ini hanya memilih cerita yang spektakuler dari kehidupan Li Sun-Hoan. Kisah hidup Li Sun-Hoan yang lengkap, tak akan selesai dalam waktu tiga hari tiga malam.

A Fei juga tidak melihat bahwa walaupun tersenyum, mata Li Sun-Hoan menggambarkan kepedihan yang mendalam. Seakan-akan hatinya akan terkoyak mendengar orang membicarakan masa lalunya.

Tiba-tiba Ki-jisiansing berkata dengan wajah serius, ”Kalian memang tahu banyak tentang Li Tamhoa. Tapi pernahkah kalian dengar Siau Li Sin To (Pisau Kilat si Li Ajaib), Tak ada bandingannya di koLiong langit, sekali lempar, TIDAK PERNAH luput!”

‘Anak’ berpakaian kuning pun tertawa. ”Sekali pisau itu dilempar, tidak pernah luput. Pantas saja kau takut aku mati oleh pisaunya, dan kau tak bisa menjelaskannya pada Tuanku. Itu sebabnya kau menghalangiku.”

Li Sun-Hoan berkata sambil tersenyum, ”Tapi semua orang boleh tenang. Pisauku yang kedua tidak sehebat itu. Dan pisauku yang pertama tak akan mampu membunuh enam orang sekaligus.”

”Jika semua mau menuntut balas untuk Cukat Liu, silakan maju.”

‘Singa Emas’ tertawa dua kali. ”Cukat Liu tidak pantas hidup. Mengapa harus merepotkan Li-heng ?”

Jawab Li Sun-Hoan, ”Jika tidak ada yang mau menuntut balas, apakah kalian memang datang untuk menemaniku minum?”

Ki-jisiansing menjawab dingin, ”Kami hanya ingin barang itu.”

Li Sun-Hoan mengernyitkan keningnya. ”Barang?”

”Ya, barang itu harus dikirim oleh jasa ekspedisi. Kalau tidak, reputasi Kim-say-piaukiok (jasa ekspedisi Singa Emas) akan hancur.” Li Sun-Hoan menoleh pada mayat Si Ular Hitam. ”Maksudmu barang itu tidak ada padanya?”

Jawab ‘Singa Emas’, ”Li-heng memang pandai berkelakar. Dengan adanya Li-heng di tempat itu, bagaiman Si Ular Hitam dapat mengambil barang itu?”

Li Sun-Hoan menghela nafas. ”Aku paling benci persoalan dalam hidup. Mengapa persoalan selalu berhasil menemukanku?”

‘Singa Emas’ seolah-olah tidak mendengarnya. Ia terus bicara, ”Li-heng hanya perlu menyerahkan barang itu dan aku akan segera pergi dan akan kuberikan arak juga pada Li-heng .”

Li Sun-Hoan memainkan pisau di tangannya. Tiba-tiba ia tersenyum. ”Kau benar. Barang itu ada padaku. Tapi aku tidak tahu apakah aku harus menyerahkannya padamu atau tidak. Beri aku waktu untuk berpikir.”

Ki-jisiansing bertanya, ”Berapa lama?”

Sahut Li Sun-Hoan, ”Dua jam saja. Setelah dua jam, kita bertemu lagi di sini.”

Ki-jisiansing tidak ragu-ragu menjawab, ”Jadi!” Ia tidak berkata apa-apa lagi sebelum pergi.
‘Anak’ berbaju kuning itu terkikik. ”Dalam waktu satu jam saja kau sudah bisa menghilang. Mengapa perlu dua jam?” Kata Ki-jisiansing, ”Sejak Li Tamhoa masuk dunia persilatan dan sebelum ia mundur, ia telah bertanding lebih dari 300 kali. Tidak pernah sekali pun ia menghindar.”

Mereka datang dengan cepat dan pergi dengan lebih cepat. Sekejap saja, mereka telah menghilang ke dalam hutan.

A Fei memecahkan keheningan, ”Kau tidak mempunyai barang itu.”

”Betul.”

”Lalu mengapa kau berbohong?”
Li Sun-Hoan tersenyum. ”Walaupun aku tidak mengambilnya, mereka tidak akan percaya. Pertarungan tak bisa dielakkan lagi. Lebih baik mengaku saja, daripada berdebat panjang.”

”Jika pertarungan pasti terjadi, mengapa harus menunda?”

Jawab Li Sun-Hoan, ”Kita harus menemukan seseorang dalam dua jam ini.”

”Siapa?”

”Orang yang mencuri barang itu.”

Lalu sambung Li Sun-Hoan, ”Malam itu, ada tiga orang di meja itu. Dua sudah mati. Kita harus menemukan orang yang ketiga.” A Fei berpikir dalam-dalam. ”Kau maksud orang yang mengenakan mantel warna ungu, dengan cambuk di pinggangnya, dan bulu di telinganya?”

Li Sun-Hoan tersenyum. ”Kau hanya melihatnya sekejap saja, tapi kau bisa mengingat begitu detil!”

”Aku memang melihatnya untuk sekejap. Sekejap saja sudah cukup.”

”Kau benar. Dialah orangnya. Dari semua orang di rumah makan malam itu, hanya dia seorang yang tahu betapa berharganya barang itu. Ia berdiri di samping agar tidak ada orang yang memperhatikan. Maka ia punya kesempatan untuk membawanya pergi. Dan karena barang itu sangat berharga, ia ingin memilikinya. Tapi ia takut ketahuan, maka dilaporkannya bahwa akulah pencurinya.”

Sambil tersenyum simpul ia lanjutkan. ”Untung bukan baru kali ini aku difitnah.”

Kata A Fei, ”Itulah sebabnya mereka bisa tahu di mana engkau berada.”

”Betul sekali.”

”Tapi supaya ‘Singa Emas’ tidak mencurigainya, ia pasti masih ada di sekitar sini.”

”Betul lagi.” ”Oleh sebab itu, pastilah ia bersama-sama dengan orang- orang ‘Singa Emas’. Jadi kita hanya perlu menemukan mereka, untuk menemukan pencuri itu!”

Li Sun-Hoan menepuk bahunya. ”Kau hanya perlu berkelana di dunia persilatan 3-5 tahun, dan semua orang jahat pasti akan sulit hidup. Kuharap waktu kita bertemu lagi, kita masih bersahabat.”

Ia tertawa keras sambil melanjutkan, ”Karena aku sungguh tidak ingin menjadi musuhmu.”

A Fei terdiam memandangnya. Lalu katanya, ”Kau ingin aku pergi sekarang?”

Kata Li Sun-Hoan, ”Ini urusanku sendiri. Tak ada sangkut-pautnya dengan kau. Mereka tidak mencari engkau? Jadi buat apa kau terus di sini?”

A Fei bertanya lagi, ”Kau tidak ingin aku terlibat persoalan yang ruwet ini? Atau kau hanya tidak ingin bepergian denganku?”

Li Sun-Hoan memandangnya sedih, walaupun senyum tetap tersungging di bibirnya. ”Di dunia ini, tidak ada pesta yang tidak selesai. Akhirnya kita tetap harus berpisah. Mengapa harus kita permasalahkan sekarang atau nanti.”

Wajah A Fei menjadi suram. Lalu diambilnya dua cawan arak dari dalam kereta. ”Mari kita bersulang sekali lagi.” Li Sun-Hoan minum cawan itu sekali teguk. Ia ingin tersenyum, tapi malah jadi terbatuk-batuk.

A Fei memandangnya tanpa berkata-kata, lalu dengan cepat berbalik dan pergi.

Saat itulah, mulai lagi turun salju. Suasana begitu sunyi, sampai terdengar bunyi butiran salju menyentuh tanah.

Li Sun-Hoan menatap punggung A Fei yang menghilang di antara salju dan angin. Pandangannya beralih ke tanah yang mulai tertutup salju, pada sepasang jejak yang kesepian.

Segera dituangnya lagi secawan arak. Katanya, ”Anak muda. Aku bersulang untukmu sekali lagi.”

”Aku yakin kau tahu, sebenarnya aku tak ingin kau pergi. Hanya saja masa depanmu sangat cerah. Bersamaku, hanya kesulitan yang akan kau dapatkan. Aku adalah seseorang yang sudah berkawan erat dengan persoalan, kesialan, mara bahaya, dan kesedihan.  Aku  tak mampu. punya kawan lagi.”

Namun A Fei tidak dapat mendengar perkataan ini.

Sang kusir masih berdiri mematung di situ. Ia tidak berkata-kata, dan walaupun tubuhnya penuh salju, ia tidak bergerak.

Li Sun-Hoan minum lagi. Lalu berpaling padanya. ”Tunggu aku di sini. Lebih baik kau kuburkan tubuh Si Ular. Aku akan kembali dua jam lagi.” Sang kusir menundukkan kepalanya. ”Aku tahu telapak Singa Emas sangat terkenal, tapi itu dilebih-lebihkan saja. Kau hanya perlu 40 jurus untuk mengalahkannya.”

Sahut Li Sun-Hoan, ”Mungkin tak lebih dari 10 langkah.” ”Bagaimana dengan Ki-jisiansing?”
”Ilmu meringankan tubuhnya cukup baik, dan ia pun ahli senjata rahasia. Tapi aku rasa, tak akan ada kesulitan menghadapinya.”
Kata sang kusir, ”Kudengar murid-murid Ngo-tok-tongcu (Si Anak 5 Racun) memiliki kungfu yang sangat aneh.
Dari yang aku lihat, kungfu mereka memang berbeda dari kebanyakan orang.”

Li Sun-Hoan memotong ucapannya dengan tawa. ”Jangan kuatir. Aku tidak takut pada orang-orang ini. Mereka sama sekali bukan masalah.”

Sang kusir masih tegang. ”Kau tak perlu berbohong. Aku tahu perjalanan kita kali ini sangat berbahaya. Siauya, tak seharusnya engkau membiarkan Fei-siauya (tuan Fei) pergi.”

Li Sun-Hoan menjadi sedikit berang. ”Sejak kapan kau mulai omong kosong?” semburnya.

Mulut sang kusir langsung terkatup, dan menunduk semakin dalam. Selang beberapa saat, diangkatnya wajahnya. Li Sun-Hoan telah pergi, suara batuknya sayup-sayup terdengar. Siapa pun yang mendengar suara batuk yang terus- menerus di tengah padang salju, tak bisa tidak merasa iba. Sampai akhirnya, deru angin menutupi suara batuk itu.

Setetes air mata jatuh di pipi sang kusir. Ia berkata pada dirinya sendiri, ”Siauya, kita hidup dengan tentram di perbatasan. Mengapa kau ingin pulang ke tempat yang penuh kesedihan dan duka ini? Tak dapatkah kau melupakannya setelah 10 tahun? Masihkah kau ingin berjumpa dengannya? Namun setelah kau berjumpa dengannya pun, kau tak ingin berbicara padanya.
Mengapa kau timpakan penderitaan ini pada dirimu sendiri?”

Ketika masuk ke dalam hutan, wajah Li Sun-Hoan yang riang dan cakap tiba-tiba berubah, berubah menjadi seorang pemangsa. Telinganya, hidungnya, tiap lajur otot dalam tubuhnya menyisir setiap inci hutan, tak meluputkan apa pun juga. Selama 20 tahun ini, belum pernah ada seorang pun yang lolos dari kejarannya.

Walaupun gerakannya gesit seperti seekor kelinci, ia tidak terburu-buru. Seperti penari yang hebat, dalam situasi apa pun ia tetap dapat mempertahankan keanggunan dan kemantapannya.

Sepuluh tahun yang lalu, waktu ia menyerahkan segala miliknya dan pergi ke perbatasan, ia pun lewat jalan ini. Waktu itu, bunga musim semi mulai bermekaran.

Ia ingat, ada warung arak kecil di sekitar sini. Ia selalu mampir ke situ untuk minum. Walaupun araknya mungkin bukan yang terbaik, pemandangannya tak disangkal lagi. Gunung di sebelah sananya, dan air terjun. Waktu itu banyak pelancong. Ia mengawasi pasangan-pasangan pelancong itu sambil minum araknya yang terasa pahit, secawan demi secawan. Berpikir ia akan pergi untuk selamanya. Kenangan ini tak akan pernah dilupakannya.

Tapi kini, tak disangkanya ia datang kembali. Sepuluh tahun. Pastilah semuanya orang-orang baru. Pelayan kecil itu telah menikah. Pasangan yang saling mencintai itu telah tiada. Bahkan pohon persik itu, kini terbenam dalam salju.

Oh, betapa dirindukannya, bahwa warung kecil itu masih ada.

Ia berpikir demikian bukan karena kenangan lama, tapi karena ia rasa orang yang dicarinya ada di sana.

Walaupun dunia dalam salju sungguh berbeda dengan dunia angin musim semi, pemandangan itu masih menusuk hatinya.

Uang, kekuasaan, ketenaran, status sosial, itu semua mudah dilepaskan. Namun kenangan indah, kenangan yang manis itu. Bagai jerat yang membelenggunya, sehingga ia tidak bisa lepas. Tak pernah merasa bebas.

Li Sun-Hoan mengambil sebotol arak dan minum seluruhnya. Ia baru mulai berjalan lagi setelah selesai batuk-batuk yang panjang. Ia benar-benar menemukan warung kecil itu.

Ia teringat, di musim semi bunga-bunga liar tak bernama mekar di mana-mana. Ia biasa minum arak di situ sambil menikmati indahnya bunga-bunga liar.

Kini semua telah berubah.

Ia melihat sebuah kereta kuda, dan mendengar suara kuda di belakang.

Li Sun-Hoan tahu tebakannya benar. Mereka memang ada di sini! Karena dalam cuaca seperti ini, di daerah seperti ini, tak mungkin ada tamu lain.

Ia mempercepat langkahnya, menjadi lebih waspada, dan memicingkan telinga sejenak. Tak ada suara apa pun dari dalam warung. Segera ia melesat ke arah warung itu.

Waktu ia sudah sangat dekat, ia tak dapat percaya. Selain suara kuda dari belakang, tak ada suara lain.

Li Sun-Hoan menuju ke arah pintu dan lantai kayu menderik. Ia terkejut dan mundur selangkah.

Tetap sunyi senyap.

Li Sun-Hoan mengindap-indap ke belakang, berpikir, ”Mungkin mereka tidak di sini.” Namun kemudian terlihat olehnya ‘Singa Emas’, yang sedang menatapnya lekat-lekat. Tidak bergerak, seperti patung.

Li Sun-Hoan menghela nafas. ”Sungguh tak kusangka.” Hanya tiga kata itu yang terucap.
Karena kemudian ia menyadari bahwa ‘Singa Emas’ tak akan pernah lagi mendengar suara apa pun.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Puas