Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 19 (Tamat)

 
Jilid-19 TAMAT

Oleh karena itu bukan saja ambisi ini bisa menghancurkan orang lain, sekaligus ambisi itupun bisa menghancurkan diri sendiri.

Malah sering terjadi sebelum kau bisa menghancurkan orang lain, kau sendiri sudah hancur lebur.

Akan tetapi bila seseorang sedikitpun tidak mempunyai ambisi, bukankah hidupnya akan tawar, tiada artinya lagi? Bukankah ini merupakan salah satu tragedi yang mengenaskan pada kehidupan manusia?

Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Sekarang analisamu seakan-akan sudah mendekati kesempurnaannya."

"Tapi belum sempurna seluruhnya." "O, jadi kau sendiripun tahu?"

"Apa yang ku tahu, mungkin jauh lebih banyak dari apa yang kau duga."

"Sampai sejauh mana kau sudah mengetahuinya?" "Sekarang analisaku masih terdapat beberapa

kekurangan."

"Coba kau katakan."

"Sejak lama Nyo Thian ragu-ragu untuk turun tangan membunuhmu, kenapa mendadak dia mempunyai keberanian?" "Itulah yang pertama."

"Yang kutunggu sebetulnya adalah Hu-hong si Puncak Tunggal, kenapa kebetulan diapun masuk ke kota pada waktu yang sama?"

"Itulah yang ke dua."

"Jikalau Nyo Thian bukan Hu-hong? Lalu siapakah Hu- hong sebenarnya?"

"Inilah yang ke tiga."

"Jikalau Hu-hong tidak berjanji lebih dulu dengan Tolka untuk bertemu di Wan-ping-bun, darimana mungkin surat berdarah itu bisa berada di badan Tolka?"

"Itulah yang ke empat."

"Bak Kiu-sing sebenarnya adalah seorang pengasingan, kenapa begitu tiba di Tiang-an lantas bisa menemukan jejak Tolka?"

"Inilah yang ke lima."

"Kalau Bak Kiu-sing setiap hari biasa makan Ngo-tok, bagaimana mungkin segampang itu mati keracunan?"

"Inilah yang ke enam."

"Goh-cu sebenarnya orang di luar kalangan dalam persoalan ini, kenapa mendadak diapun menjadi korban secara konyol?"

"Sekarang analisamu agaknya terdapat tujuh kekurangan."

"Ya, hanya tujuh kekurangan saja." "Analisa siapapun andaikata dia seorang kritikus, bila terdapat tujuh titik kekurangan, maka analisanya itu hakikatnya tidak boleh diterima."

"Tapi lain lagi dengan analisaku, analisaku justru bisa diterima secara logis."

"Apanya yang logis?"

"Karena aku bisa menjelaskan satu persatu ke tujuh kekuranganku itu."

"Nah, sekarang coba kau jelaskan satu persatu."

"Kalau kekurangannya ada tujuh titik persoalan, namun jawabannya justru hanya ada satu, cukup asal kuterangkan dengan dua buah kalimat saja."

"Aku sedang mendengarkan."

"Hu-hong adalah kau, demikian pula Bak Kiu-sing adalah duplikatmu."

Siangkwan Siau-sian tertawa lebar.

Jikalau kau menyukai seseorang, dan sering menemuinya, ciri-ciri kekurangannya pasti akan menular kepadamu.

Naga-naganya Siangkwan Siau-sian sudah ketularan akan kebiasaan Yap Kay, di kala dia kepepet dan tak bisa berbuat apa-apa, maka setiap menghadapi persoalan yang rumit dan bahaya yang mengancam, diapun bisa tertawa, cuma tawanya sudah tentu lebih manis dibanding Yap Kay.

Berkata Yap Kay lebih lanjut: "Justru kau ini adalah Hu- hong, maka Nyo Thian berani turun tangan, karena belakangan dia tahu bila kau sudah terluka." "Inilah penjelasan pertama, kedengarannya memang masuk akal."

"Dan karena kau adalah Hu-hong, maka kau jadikan Nyo Thian sebagai kambing hitammu."

"Inipun bisa diterima dengan pikiran sehat."

"Hanya kau yang tahu bahwa Lu Di adalah Tolka, dan hanya kau saja yang bisa mengundangnya bertemu di Cu-lim- si."

"Oleh karena itu, Bak Kiu-sing pun adalah aku?"

"Sengaja kau tempatkan sembilan bintang di mukamu, sejak mula tidak mau menurunkan topi rumputmu, karena betapapun lihay tata riasmu, kau tetap kuatir kukenali."

"Akan tetapi kenapa aku harus menyaru menjadi Bak Kiu- sing?"

"Karena kau ingin membunuh Tolka."

"Aku ingin membunuhnya? Kenapa mengundangmu juga ke sana?"

"Karena kau ingin supaya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri akan kematian Tolka yang mati di tangan Bak Kiu-sing." sampai di sini Yap Kay merandek menelan ludah, lanjutnya: "Kemungkinan sekali Tolka memang sudah tahu bahwa yang menyaru menjadi Bak Kiu-sing adalah kau. Oleh karena itu jurus serangan yang mematikan terakhir itu tidak dia lancarkan sesungguh hati, tak nyana kau justru memanfaatkan kesempatan ini untuk membunuhnya."

Siangkwan Siau-sian diam, dia pasang kuping mendengarkan. "Yang benar, kalian memang sengaja bermain sandiwara untuk ku tonton, sebelumnya Tolka sudah berintrik dengan kau untuk memerankan lakonnya itu, sampaipun dialog kalian waktu itupun sebelumnya sudah dirangkai sedemikian rupa olehmu sebagai sutradaranya."

"Kenapa dia harus ikut memerankan lakon dalam sandiwara ini?"

"Karena tujuan dari permainan sandiwara ini adalah untuk membunuhku, oleh karena itu sengaja dia wanti-wanti janji kepadaku, melarang aku turun tangan dengan pisau terbangku, supaya kau mempunyai kesempatan membunuhku."

"Tapi aku tidak membunuhmu."

"Kau tidak membunuhku, karena benar-benar yang harus dibunuh bukan aku, tapi adalah Tolka, sampai matipun dia tidak pernah sangka bahwa akhir dari permainan sandiwara itu berubah seratus delapan puluh derajat, lebih celaka lagi karena dia sendiri yang menjadi korban malah."

Membayangkan mimik muka Tolka yang kelihatan kaget, heran, menderita serta mendelik penasaran itu, tak urung Yap Kay menghela napas, katanya: "Kematiannya sungguh penasaran."

"Kau kasihan kepadanya?"

"Aku hanya kasihan akan kematiannya."

"Setiap orang akhirnya kan harus mati, matinyapun penasaran, lantaran dia memang seorang yang bodoh."

"Dia bodoh?" "Bodoh banyak ragamnya, congkak dan sombong, bukankah merupakan salah satu penyebabnya?"

Yap Kay tak kuasa mendebat.

Congkak dan sombong merupakan suatu kebodohan, malah kemungkinan merupakan salah satu penyebab yang paling berat akibatnya.

"Tapi aku tidak bodoh, sekarang aku akhirnya mengerti juga akan maksudmu."

"Memang kau harus mengerti."

"Maksudmu bahwa setelah aku menyaru jadi Bak Kiu-sing lalu menemui Tolka dan mengundangnya untuk bertemu di Cu-lim-si serta membuat rencana untuk membunuhmu, belakangan malah dia sendiri yang menjadi korban."

"Kedengarannya memang terlalu mustahil, namun rencana itu amat berhasil."

"Mungkin lantaran terlalu luar biasa, maka hasilnyapun memuaskan sekali."

"Surat berdarah sudah tentu juga merupakan salah satu dari rencana itu."

"Bagaimana bisa?"

"Sudah tentu Nyo Thian sendiri sudah tahu cepat atau lambat rahasia dirinya pasti bisa diketahui orang, maka dia berkeputusan untuk melarikan diri."

"kekuatan Kim-ci-pang dengan kaki tangannya tersebar di seluruh pelosok dunia, kemana dia bisa melarikan diri?" "Dia sudah pernah mengalami sekali pelajaran, maka langkah geraknya kali ini sudah tentu harus amat hati-hati, oleh karena itu setelah pilih pergi datang, akhirnya dia memilih suatu tepat yang terang tidak pernah kau duga."

"Tempat apa?" "Kota Tiang-an."

"Di sini adalah kota Tiang-an."

"Dia sudah memperhitungkan dengan tepat bahwa kau pasti mengira dia sudah lari ke tempat jauh, oleh karena itu dia justru mencari tempat yang paling dekat."

Siangkwan Siau-sian manggut-manggut bahwa pilihan tempat untuk menyembunyikan diri ini memang tepat.

Yap Kay berkata: "Sayang sekali dia tuturkan rencananya ini kepada janda Ong."

"Tidak mungkin dia tidak memberi tahu kepada janda Ong. Seorang yang telah terluka parah ingin melarikan diri, dia harus dan memerlukan bantuan orang lain."

"Dia memberitahu kepada janda Ong, secara tidak langsung berarti memberitahu kepadamu."

"Setelah aku tahu rencananya untuk melarikan diri, lalu aku memalsu surat berdarah itu."

"Kaupun sudah perhitungkan dengan tepat, begitu aku membaca surat berdarah itu, pasti akan menunggu di Wan- ping-bun."

"Lalu bagaimana surat berdarah itu bisa berada di badan Lu Di?" "Surat berdarah memangnya tidak berada di tangan Lu Di, Goh-cu lah yang sengaja mengantarnya."

"Jadi Goh-cu juga ikut sekongkol di dalam peristiwa ini?"

"Oleh karena itu pula maka kau membunuh dia untuk menutup mulutnya. Semua orang yang tersangkut paut dengan peristiwa ini semuanya kau bunuh supaya tidak membocorkan rahasia ini."

"Bagaimana dengan Song Lopan dan si raksasa itu?" "Mereka adalah teman baik Nyo Thian, melihat aku ada di

Wan-ping-bun,    sengaja    merekapun    bermain sandiwara,

maksudnya untuk melindungi Nyo Thian masuk kota. Bagaimana Nyo Thian bisa terluka, sudah tentu merekapun tahu jelas."

"Sudah tentu kau tidak boleh tahu akan rahasia ini, maka akupun membunuh mereka untuk menutup mulutnya."

"Aku sudah menduga kau akan bertindak demikian, maka sedikitpun aku tidak jadi heran akan kematian mereka."

"Kalau demikian tidak sedikit orang yang telah kubunuh." "Memang tidak sedikit!"

"Malahan mungkin aku bisa membunuh diriku sendiri." ujar Siangkwan Siau-sian menghela napas, "jikalau aku adalah Bak Kiu-sing, bukankah aku sudah membunuhku sendiri?"

"Bak Kiu-sing yang mati bukan dirimu." "Hah, bukan aku?" "Kau tahu tentunya aku takkan ada selera menemani kau makan hidangan semacam itu, maka sebelumnya kau sudah mempersiapkan orang lain untuk kau jadikan kambing hitam. Begitu aku pergi, kau lantas membunuhnya dengan racun."

"Karena begitu Bak Kiu-sing mati, peristiwa ini takkan terbongkar oleh siapapun yang bisa jadi saksi."

"Memang, rencana itu teramat teliti dan baik sekali." "Juga merupakan suatu cerita yang menarik." "Akupun mengharap ini hanya sebuah cerita saja."

Siangkwan Siau-sian seperti kaget, serunya: "Apakah ini bukan cerita?"

"Kejadian yang kebetulan di dalam peristiwa ini terlalu banyak, dan hanya kejadian yang sesungguhnya saja baru bisa terjadi 'kebetulan' seperti itu."

"Apakah kejadian yang sesungguhnya jauh lebih aneh dan ceritanya menakjubkan?"

"Biasanya memang demikian."

"Mendengar ceritamu, aku sendiri sampai percaya bahwa kejadian itu memang peristiwa sesungguhnya." Tawa Siangkwan Siau-sian masih manis dan murni, bukan tawa palsu yang dibuat-buat, "tapi kalau rencanaku itu sempurna dan terperinci ketat sekali, cara bagaimana dapat kau ketahui?"

"Betapapun sempurna sesuatu, pasti ada lubang kelemahannya."

"Demikian pula rencana itu?" "Tujuh kekurangan yang terdapat di dalam analisaku itu, justru merupakan kelemahan pula di dalam rencanamu itu."

"O," Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.

"Karena jikalau kau bukan Hu-hong si Puncak Tunggal, jelas tidak akan terjadi semua kebetulan itu."

"Sekarang kau yakin semua itu pasti benar?"

"Setelah aku memeriksa semua luka-luka mereka, baru aku berani memastikan seluruhnya."

"Mereka? Siapa yang kau maksud dengan mereka?"

"Nyo Thian, Song Lopan, si raksasa dan Goh-cu. Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang tiada sangkut pautnya satu sama lain, sebetulnya tidak mungkin mereka mati di tangan seorang dalam keadaan yang sama, luka-luka yang mematikan di badan mereka satu sama lain tidak berbeda."

"Ya, sungguh kebetulan sekali."

"Kebetulan itu juga merupakan lubang kelemahan."

"Oleh karena itu, bukan saja aku ini Kim-ci-pang Pangcu, aku pula salah satu dari Su-toa-thian-ong dari Mo Kau."

"Kau adalah Hu-hong?"

"Jangan lupa Mo Kau dan Kim-ci-pang merupakan musuh yang tidak mau hidup berdampingan."

"Aku tidak melupakannya."

"Kalau demikian mana mungkin Kim-ci-pang Pangcu sudi menjadi anggota Mo Kau?" "Karena Kim-ci-pang Pangcu ini seorang pandai, maka dia tahu menghancurkan dan memberantas habis musuh, secara kekerasan dengan kekuatan bukanlah suatu cara yang baik."

"Lalu cara apa yang boleh dikata paling baik?" "Menundukkan nya serta merangkulnya   dan  memperalat

dia. Gunakan kekuatan  musuh  menjadi alat kepentingan diri

sendiri."

"Cara ini memang baik sekali."

"Akan tetapi struktur pengurusan Mo Kau yang besar lingkupnya terlalu rahasia, kekuatannya terlalu besar dan luas, sudah berakar lagi. Untuk menundukkan dan merangkulnya hanya ada satu cara."

"Cara apa?"

"Menjadi Mo Kau Kaucu."

"Untuk menjadi Mo Kau Kaucu, maka harus menjadi anggota Mo Kau lebih dulu."

"Oleh karena itu maka kau sudah menjadi orang Mo Kau."

"Sejak Kaucu tua dari Mo Kau meninggal, kekuasaan di dalam Mo Kau lantas tersebar berada di tangan Su-toa- thian-ong yang saling membagi rata, siapapun tiada yang sudi memilih Kaucu baru, karena itu berarti menyerahkan kembali kekuasaan yang berada di tangannya sendiri."

"Tapi jikalau tiga di antara Su-toa-thian-ong itu sudah mati?"

"Kalau demikian sisa satu yang ketinggalan hidup.

Umpama tidak mau jadi Kaucu pun tak mungkin lagi." "Sayang sekali orang-orang seperti Tolka itu sebetulnya mereka tidak seharusnya mati begitu cepat."

"Sudah tentu."

"Sudah tentu kau sendiri tidak mungkin turun tangan menghadapi mereka secara terang-terangan."

"Di dalam setiap melaksanakan pekerjaan, biasanya aku tidak suka menyerempet bahaya."

"Kemungkinan sekali sampai mereka mati, masih belum tahu bahwa Pangcu dari Kim-ci-pang adalah kau."

"Mimpipun mereka tidak pernah menduga."

"Oleh karena itu hanya dengan satu cara saja kau dapat membunuh mereka."

"Coba kau katakan pakai cara apa yang paling baik?" "Meminjam senjata orang lain."

"Betul!", seru Siangkwan Siau-sian tepuk tangan, "untuk membunuh orang-orang seperti mereka harus tangan orang lain, malah harus pinjam pisau orang yang luar biasa."

"Tapi kau juga tahu, walau pisauku cepat, namun jarang membunuh orang."

"Oleh karena itu aku terpaksa memeras keringat mengatur tipu daya menggunakan akal yang putar-putar."

"Tentunya mimpipun kau sendiri tidak pernah menyangka, akhirnya ada seseorang yang berhasil membongkar rahasia dan menelanjangi kedokmu."

"Aku.......terhadapmu aku benar-benar suci atau palsu?

Memangnya sedikitpun kau tidak bisa merasakannya?" Sorot matanya yang jeli bening kembali menampilkan perasaan sedih pilu dan rawan.

Sebetulnya tulen atau palsukah perasaannya?

Kembali Yap Kay melengos, menghindari bentrokan tatapan mata.

Perduli tulen atau palsu, sekarang sudah tidak penting lagi.

Akhirnya Yap Kay pun menghela napas panjang, katanya: "Waktu aku datang, sebetulnya aku masih belum ingin menelanjangi kedokmu."

"Kenapa?" "Karena. "

"Apakah karena kau kurang tega?" Yap Kay menyengir tawa.

Dia tidak bisa menyangkal. Bukannya dia tidak tahu dan tidak bisa merasakan cinta orang terhadap dirinya.

"Bukan saja kau tidak tega, kaupun tidak berani." ujar Siangkwan Siau-sian.

"Tidak berani? Kenapa?"

"Karena sedikitpun kau tidak punya bukti-bukti yang nyata, hanya mengandalkan analisa dan rekaan saja belum bisa menjatuhkan hukuman dosa kepada seseorang."

Yap Kay tidak bisa menyangkal.

"Tapi begitu Ting Hun-pin mengalami sesuatu, kau lantas panik dan nekad." sorot matanya yang sedih kini berubah jadi jelas, "sebetulnya apakah yang pernah dia lakukan untukmu sehingga kau sudi rela bersikap setia terhadapnya begitu rupa? Dalam hal apa pula aku bukan bandingannya?"

Yap Kay tidak memberi tanggapan.

Siangkwan Siau-sian menyeringai sinis, katanya mencibir bibir: "Di mana-mana dia menimbulkan keonaran, membuat banyak kesulitan, malah menusuk pisau ke dadamu sehingga kau hampir mati, di waktu tak bersama kau, seharipun dia tidak sabar menunggu, terus tergesa-gesa ingin kawin dengan orang lain, belum cukup sekali, dalam satu malam sudi merelakan diri kawin dengan dua orang laki-laki, perempuan seperti ini di dalam hal apa  kebaikannya sehingga kau patut dan sudi berkorban demi dirinya?"

"Aku sendiripun tidak habis pikir." "Lalu kau. "

"Aku hanya tahu," tukas Yap Kay, "umpama dia hendak membunuhku pula sepuluh kali, lalu menikah sekaligus dengan 10 laki-laki, aku akan tetap bersikap demikian terhadapnya."

"Kenapa?"

"Karena aku tahu, terhadapku cintanya suci dan murni.

Aku percaya kepadanya."

Siangkwan Siau-sian sudah berjingkrak berdiri, namun pelan-pelan dia duduk pula. Waktu dia duduk tidak lagi sebagai perempuan yang terlalu hanyut oleh emosinya yang lemah. Waktu dia berdiri perasaannya seolah-olah sudah remuk redam, namun begitu dia terduduk kembali, dia sudah berubah sedingin puncak gunung es, tajam dan runcing, laksana sebatang golok dari Pangcu Kim-ci-pang.

Mungkin perempuan itu memang sering berubah, hanya perubahan yang terjadi pada gadis yang satu ini mungkin jauh lebih cepat dari orang lain, atau mungkin pula dia tidak berubah, yang berubah hanyalah kedok samarannya belaka.

"Sekarang masih ada omongan apa lagi yang ingin kau katakan?", kata Yap Kay.

"Tiada lagi!"

"Tapi aku masih ada satu hal yang belum ku mengerti." "Boleh kau tanyakan."

"Memang sedikit buktipun aku tidak punya, semua hal yang ku tuduhkan tadi sebenarnya boleh saja kau sangkal atau tolak."

"Akupun tidak perlu menyangkal." "Kenapa?"

"Karena bukan saja aku ini Pangcu dari Kim-ci-pang, aku pula Mo Kau Kaucu. Bukan saja aku sudah menguasai dan menggenggam dua pang dan aliran agama yang terbesar di seluruh jagat ini, akupun menggenggam jiwa Ting Hun-pin. Perduli aku mengakui atau menyangkal, kau tetap harus tunduk kepada setiap perintahku."

Yap Kay benar-benar terlongong. Dia mendadak sadar bahwa dirinya memang tidak punya akal sehat dan cara apapun untuk melawan atau menghadapi gadis jelita yang satu ini, sedikitpun tidak mampu berbuat apa-apa. "Masih ada omongan apa pula yang ingin kau katakan?", Siangkwan Siau-sian balas bertanya.

Memang Yap Kay sudah tidak habis pikir dan tiada omongan yang perlu dibicarakan lagi.

"Ting Hun-pin sekarang masih hidup, kau pingin dia tetap hidup?"

"Sudah tentu pingin."

"Kalau begitu apa yang kukatakan kau harus mematuhi dan menurut, setiap patah kataku harus kau perhatikan dengan baik."

Tapi Yap Kay tak perlu mendengar dan tidak usah memperhatikan, karena mendadak dia sudah mendengar suara orang lain.

"Apa yang dia katakan, sepatah katapun tak usah kau dengar, karena dia sebenarnya sedang mengentut!"

Suara ini keluar dari bawah ranjang. Jelas di bawah ranjang tadi hanya ada satu mayat orang.

Orang mati masakah bisa bicara?

Siangkwan Siau-sian adalah gadis yang teramat cerdik pandai, demikian pula Yap Kay, namun merekapun tidak tahu menahu apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Bilamana sesuatu hal tidak sampai mereka ketahui, memangnya orang mana yang bisa memecahkan teka-teki ini?

Jelas hanya ada satu mayat di bawah ranjang, hal ini sudah mereka buktikan waktu mereka mengangkat ranjang itu memeriksanya, kini ranjang ini kembali terangkat naik dan dipindah ke samping, tapi bukan Siangkwan Siau-sian atau Yap Kay yang mengangkat. Ranjang itu diangkat dan dipindah oleh seseorang dari bawah.

Seketika hati Siangkwan Siau-sian tersirap, jantungnya seketika dingin seperti tenggelam dalam air.

Orang yang barusan bicara jelas adalah suaranya Ting Hun-pin. Dia kena betul suara Ting Hun-pin. Tapi bagaimana mungkin Ting Hun-pin bisa muncul dari bawah ranjang? Han Tin yang sudah mati dan mayatnya sudah dingin, kenapa kok tiba-tiba berubah menjadi Ting Hun-pin yang hidup segar?

Siangkwan Siau-sian geleng-geleng kepala, otaknya serasa tumpul, namun tetap dia tidak bisa memberi jawaban.

Yap Kay juga tidak mengerti.

Jikalau mereka berdua tidak bisa memecahkan teka-teki suatu persoalan, memangnya siapa orang di dunia ini yang bisa menyimpulkan jawabannya.

Hanya ada satu orang saja, yaitu Ting Hun-pin sendiri.

Hakekatnya Ting Hun-pin tidak gila benar-benar. Orang yang pandai bersandiwara dan pura-pura menjadi gila, pikun atau linglung bukan hanya Siangkwan Siau-sian saja, kini Ting Hun-pin membuktikan bahwa diapun bisa.

"Apa yang kau bisa, akupun bisa," kata Ting Hun-pin setelah keluar dari bawah ranjang.

Mengawasi Siangkwan Siau-sian, sorot matanya menyala terang bergairah.

"Kau bisa menipu orang, akupun bisa. Kau pandai membunuh orang, akupun tidak kalah pintarnya." "Kau suruh Han Tin kemari untuk membunuhku, lalu berdaya supaya Siau Yap menyangka aku mati karena gila."

"Kau pasti tidak menduga bahwa aku yang  membunuh dia."

"Kau bisa menaruh obat bius di dalam bubur ayamku, akupun bisa menaruh racun di dalam arak yang dia minum."

"Sudah tentu dia tidak akan berjaga-jaga dan waspada terhadap perempuan yang sudah gila, seperti juga kita waktu menghadapi dulu tanpa pernah berpikir untuk hati- hati dan mengawasimu."

"Jadi cara ini aku mempelajari dari kau."

"Han Tin yang asli kini masih rebah di bawah kolong ranjangku, kali ini tak perlu diragukan akan kematiannya."

"Di waktu aku menyembunyikan mayatnya ke bawah ranjang, baru aku temukan pintu rahasia dari lubang kamar di bawah tanah, kamar bawah tanah untuk menyimpan arak."

"Ternyata seluruh simpanan arak di Leng-hiang-wan ada disimpan di dalam kamar bawah tanah ini, oleh karena itu, hari itu kami mencari sebotol arakpun tidak bisa mendapatkannya."

"Aku tahu kalian pasti akan kembali, maka aku lantas sembunyi di kamar bawah tanah, namun mayat Han Tin ku letakkan di luar."

"Sudah kuperhitungkan dengan tepat begitu kau melihat mayat Han Tin pasti amat terkejut, pasti tidak akan memperhatikan bahwa di sebelahnya ada pintu rahasia yang menembus ke kamar di bawah tanah. Aku masih ingin mendengar apa yang kalian percakapkan di sebelah atas, ingin aku melihat apakah dia betul-betul dapat kau tipu dan memincutnya pergi."

Mengawasi Yap Kay, biji matanya penuh diliputi rasa bahagia dan kemenangan yang cemerlang, katanya lembut: "Sebetulnya akupun sudah tahu, kali ini kau pasti tidak akan kena ditipunya lagi, ternyata kau tidak membikin aku kecewa."

Kata-katanya sederhana.

Betapapun berbelitnya suatu persoalan, setelah dijelaskan dan tertembus segala rintangan, kau pasti akan mendapatkan persoalan itu hakikatnya tidak serumit dan sesukar yang kau pikirkan sebelumnya.

Memang banyak persoalan dalam dunia ini terjadi seperti itu.

Siangkwan Siau-sian terus mendengarkan tanpa memberi komentar, mukanya yang pucat pasi sedikitpun tidak menunjukkan perasaan hatinya.

Setelah Ting Hun-pin mengoceh panjang lebar, baru pelan-pelan dia angkat kedua tangannya, diletakkan di atas meja.

Tangan putih yang semula berjari-jari runcing halus lembut itu, kini tiba-tiba berubah sekeras logam. Lampu berada di atas meja di depannya.

Tampak kedua tangannya itu mengkilap mengkilau ditingkah sinar lampu. Bukan tangannya bercahaya, namun sebuah tangan yang putih bening laksana es batu berkaca yang keras tajam terbuat dari logam. Malam hari itu, waktu berada di belakang tembok rendah di hotel Hong-ping, yang terlihat oleh Ting Hun-pin adalah tangan ini.

Yang pernah dilihat oleh Cui Giok-tin yang sembunyi di belakang tembokpun adalah kedua tangan ini.

"Inilah Kim-kong-put-hoay Toa-siu-sin-jiu yang didongengkan orang secara luas."

Yap Kay manggut-manggut.

"Semula aku mempersiapkan diri untuk menghadapi Lu Di dan Kwe Ting."

"Aku bisa menebaknya."

"Sayang mereka bikin aku kecewa."

Bahwasanya kedua orang ini tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menjajal dengan senjatanya ini yang ampuh.

Terbuka lebar dan teracung kedua telapak tangannya itu. Tampak di telapak tangannya ada beberapa batang jarum hitam legam yang lebih kecil dari jarum jahit biasa.

"Inilah Toa-siu-hun-ciam yang bisa naik ke langit menembus bumi."

Yap Kay manggut-manggut pula dengan melongo.

"Nyo Thian dan empat orang lainnya semua mampus oleh jarum ini."

"Aku sudah memeriksanya."

"Bwe-hoa-ciam milik Bwe-hoa-to dulu sudah cukup menggetarkan nyali setiap insan persilatan." "Aku pernah mendengarnya."

"Tapi aku berani tanggung, jarumku yang ini pasti jauh lebih lihay, hebat dan menakutkan dari Bwe-hoa-ciam itu."

Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Jarum yang kau latih dan kau persiapkan ini tentunya khusus akan kau gunakan di waktu menghadapi aku."

Siangkwan Siau-sian mengakui.

"Mana pisaumu?" tanyanya dengan menatap Yap Kay. "Ada di sini," sahut Yap Kay.

"Di mana?"

Yap Kay tidak menjawab.

Di langit dan di bumi tiada seorangpun yang tahu di mana pisau terbangnya di simpan, juga tiada orang pernah tahu cara bagaimana dia menyambitkan pisaunya itu.

Sebelum ditimpukkan, siapapun tiada yang pernah membayangkan betapa cepat dan besar kekuatannya. Khalayak ramai hanya tahu satu hal, pisau itu pasti berada di mana dia harus berada.

Siangkwan Siau-sian berkata pelan-pelan: "Aku tahu di manapun pisaumu bisa berada dan tiada sesuatu yang tidak mungkin dicapai olehnya."

Untuk ini Yap Kay tidak perlu merendahkan diri. Hal itu memang kenyataan, karena meski pisau itu miliknya, walau berada di badannya, namun kehebatan, kemurnian serta kebesaran dari pisau itu tergantung dan berada pada diri orang lain. Seseorang yang digdaya, perkasa dan sakti mandraguna.

Entah di langit atau di bumi, jelas takkan ada orang lain yang bisa menempati kedudukannya ini sama tinggi dan jaya. Apalagi jikalau tidak bisa menyelami dan memahami kebesaran kekuatan dan semangatnya, jelas takkan mungkin bisa cukup diri untuk melepaskan pisau sakti yang bisa mengejutkan dan menggetarkan bumi.

Pisau Terbang Li kecil.

ooo)dw(ooo

Pisau terbang itu belum dikeluarkan, namun semangat kebesaran pisau itu sudah terasa.

Ini bukan hawa membunuh, namun jauh lebih menakutkan dan menciutkan nyali orang daripada hawa yang menggetarkan sanubarinya setiap insan persilatan.

Pelan-pelan tapi pasti kelopak mata Siangkwan Siau-sian mulai mengkeret memicing, katanya: "Pisaumu dapat berada di manapun dan bisa mencapai ke sasaran mana juga, demikian pula jarumku."

"Jarummu bagaimana?"

"Selamanya kaupun takkan bisa membayangkan darimana arah datangnya jarumku, terutama tidak bisa kau jajaki cara bagaimana jarum-jarumku itu dilepaskan."

"Aku tidak akan berpikir dan tidak perlu kupikir."

Siangkwan Siau-sian tertawa dingin, jengeknya: "Jikalau kau beranggapan kau bisa menyetop aku turun tangan, kau salah besar!"

Yap Kay diam saja, entah termakan oleh provokasi? "Jarumku laksana pasir di sungai yang tak terhitung banyaknya, sebaliknya jumlah pisaumu terbatas."

"Aku hanya sebatang saja sudah cukup."

Ujung mata Siangkwan Siau-sian berkerut-kerut. Lama sekali akhirnya dia menghela napas: "Mungkin inilah dinamakan nasib."

"Nasib?"

"Mungkin hidupku sudah ditakdirkan cepat atau lambat harus berduel melawanmu."

Bola matanya menyorotkan kedukaan yang sangat. "Seperti  juga  Siangkwan  Pangcu  yang  dahulu,  sudah

ditakdirkan untuk berduel melawan Siau-li Tham-hoa Li Sin-

hoan".

Tak urung Yap Kay menghela napas juga, katanya: "Siangkwan Pangcu dahulu memang tidak malu diagungkan sebagai gembong persilatan yang tiada taranya. Dia cukup kuat dan mampu bersimaha-rajalela di seantero dunia ini, sayang sekali sekarang. "

Siangkwan Siau-sian tidak biarkan orang bicara lebih lanjut.

"Walau Siangkwan Pangcu yang dahulu sudah tiada,  namun Siangkwan Pangcu generasi muda masih digdaya."

"Pisau terbangku masih ada."

"Duel kedua tokoh besar pada waktu itu, walau cukup menggetarkan bumi mengejutkan langit, setanpun kaget ketakutan dan menangis, namun tiada seorangpun yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri." Tak tahan Ting Hun-pin menyeletuk: "Duel kalian hari ini pasti ada orang lain yang menyaksikan."

"Takkan ada!" sentak Siangkwan Siau-sian. "Ada saja!" sahut Ting Hun-pin ketus.

Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian berpaling menatapnya, katanya dingin: "Kau ingin menyaksikan?"

"Aku pasti bisa menyaksikan"

"Kalau begitu kau hanya akan menunggu Yap Kay mampus di depanmu."

Ting Hun-pin membalas dengan seringai hina dan merendahkan.

"Jikalau kau berada di sini, begitu jarumku kusambitkan, sasaran pertama yang ku arah adalah kau. Jikalau dia harus memencarkan perhatiannya demi keselamatanmu, maka diapun pasti mampus."

Ting Hun-pin tertegun, mulutnya melongo, matanya terbeliak.

Siangkwan Siau-sian tidak berkata sepatah katapun lagi, diapun tidak meliriknya lagi, namun Ting Hun-pin dipaksa untuk beranjak keluar.

Waktu kaki Ting Hun-pin melangkah keluar, sekujur badannya dingin dan basah oleh keringat dingin yang gemerobyos.

ooo)dw(ooo

Pintu tertutup dan dipalang serta terkunci dari dalam. Segala sesuatu yang tercakup di dalam kehidupan manusia seluruhnya terkunci di dalam pintu. Hanya kematian yang masih tersisa di dalam pintu.

Tapi siapakah yang akan mati?

Ting Hun-pin sudah terbungkuk-bungkuk, rasanya ingin muntah dan tak tertahankan lagi. Kembali rasa apa boleh buat menjalari sanubarinya dan perasaan yang menjalari sanubarinya inilah yang dahulu pernah menyebabkan dia hampir gila.

Tapi menjadi gilapun tiada gunanya.

Duel kedua tokoh besar pada masa silam dia tidak menyaksikan, namun dia dengar dari cerita orang yang dapat dipercaya.

Sampai Siau-li Tham-hoa Li Sin-hoan sendiri mengakui, Siangkwan Kim-hong memang memiliki banyak kesempatan menamatkan jiwanya, malah dirinya dipojokkan sedemikian rupa sampai tak mampu balas menyerang lagi. Tapi Siangkwan Kim-hong memang sengaja menyia-nyiakan semua kesempatan baik itu, karena sudah lama dalam sanubarinya ingin bertaruh dengan jiwanya sendiri  melawan keyakinannya akan kepandaian silatnya sendiri yang tinggi tiada taranya, apakah dia mampu meluputkan diri atau menghindarkan sambitan atau serangan pisau terbang Li Sin-hoan yang sudah disohorkan tak pernah meleset setiap kali mengincar sasarannya.

Sudah tentu untuk kali ini Siangkwan Siau-sian tidak akan sudi melakukan kesalahan yang sama seperti ayahnya dulu.

ooo)dw(ooo Perut Ting Hun-pin seperti dipelintir dan air asam sudah bergolak di tenggorokkannya.

Mungkin Yap Kay tengah berada di balik pintu ini sedang mengalami siksaan batin di dalam menghadapi elmaut yang bakal merenggut jiwanya, dan dia dipaksa untuk menunggunya di luar pintu.Tak ubahnya seperti Sun Siau- hong dan Ah Hwi waktu menunggu Li Sin-hoan dulu. Tapi mereka masih dua orang, berteman di luar kamar rahasia Siangkwan Kim-hong yang pintunya terbuat dari papan besar baja. Diterjang dan ditumbukpun tidak akan bobol.

Lain halnya keadaan yang dia hadapi sekarang, di depannya ini kalau mau sembarang waktu dia mampu menendangnya roboh, namun dia justru tidak berani  berbuat demikian. Sekali-kali dia tidak berani bergerak secara gegabah sehingga memencarkan perhatian dan mengganggu konsentrasi Yap Kay.

Sungguh besar harapannya pintu di depannya inipun terbuat juga dari papan baja yang sudah kokoh kuat. Hal itu sedikit banyak akan mengurangi tekanan hatinya yang harus ditekan dan ditahan oleh kesadaran dan derita.

Orang yang tidak pernah mengalaminya sendiri, pasti tidak akan bisa membayangkan betapa menakutkannya derita dan tekanan batin yang berat ini. Sungguh ingin sekali bila bisa dia memaku ke dua kakinya di atas tanah supaya tidak bisa bergerak.

ooo)dw(ooo

Malam semakin larut. Ting Hun-pin masih menunggu terus, karena menunggu ini sekujur badannya sudah luluh sama sekali dan yang harus dibuat sedih adalah dia sendiri tidak tahu sebetulnya apa yang sedang dia nantikan? Mungkin hanya kematian Yap Kay saja yang sedang dia tunggu.

Teringat betapa cerdik pandai dan tinggi ilmu silat Siangkwan Siau-sian, sungguh dia tidak tahu betapa persen keyakinan Yap Kay bisa mengalahkan musuh dan bertahan hidup serta keluar dengan selamat dan segar bugar.

Oleh karena itu di kala daun pintu itu tampak terbuka perlahan-lahan, detik-detik yang dia nanti-nantikan itu seakan-akan menyetop denyut jantungnya sama sekali.

Sampai matanya melihat Yap Kay pula, baru jantungnya berdetak secara normal kembali seperti kereta api selesai memburu waktu.

Kelihatannya Yap Kay amat lelah, namun lebih penting bahwa dia masih hidup.

Hidup dan selamat tak kurang suatu apa. Itulah yang terpenting bagi Ting Hun-pin.

Menyongsong kedatangan orang, Ting Hun-pin mematung di tempatnya, tak tertahan air mata pelan-pelan meleleh membasahi mukanya, tentunya air mata kegirangan yang keliwat batas.

Saking kegirangan dan terlalu berduka sama-sama mendatangkan air mata, kecuali menangis, orangpun tak bisa mengeluarkan suara karena tenggorokan tersumbat oleh rasa haru, segala persoalan sudah tidak diperdulikan lagi, sampaipun untuk bergerak kadang-kadang sulit. Lama sekali baru Ting Hun-pin kuasa bertanya dengan lirih.

"Di manakah Siangkwan Siau-sian?"

Jawaban Yap Kay hanya tiga huruf: "Dia sudah kalah."

Dia sudah kalah? Betapa gampangnya jawaban tiga huruf ini.

Penentuan kalah menang memang hanya terjadi dalam kilasan waktu belaka.

Tapi siapakah yang bisa membayangkan di dalam waktu sekilas itu betapa tegang dan tertusuk perasaan orang?

Betapa besar dan mendalamnya akibat dari penentuan waktu yang sekilas itu bagi dunia persilatan. Sekejap mata atau sepercikan api.

Sebatang pisau.

Sekilas dari samberan cahaya pisau, betapa pula besar akibatnya.

Begitu mengejutkan dan amat gagah perkasa.

Boleh dikata tidak usah melihat dengan matamu sendiri, cukup asal kau bisa membayangkan, maka jantungmu takkan terasa akan berhenti berdenyut.

Akan tetapi Ting Hun-pin tidak berpikir demikian. Segala persoalan sudah tidak penting bagi dia, yang penting sekarang ini bahwa Yap Kay masih hidup.

Asal Yap Kay masih hidup, maka hatinya sudah cukup daripada puas yang paling puas.

ooo)dw(ooo Di belakang pintu terdengar isak tangis sesenggukan. Orang mati jelas takkan bisa menangis.

Apakah Siangkwan Siau-sian belum mati?

Pisau Yap Kay memang bukan senjata pembunuh. Dia beri kesempatan orang bertahan hidup.

Apakah lantaran dia sudah tahu bahwa selanjutnya dia sudah tidak lagi sama seperti Siangkwan Siau-sian yang satu dulu itu?

Pengampunan itu jauh lebih suci dan agung daripada dendam kesumat.

Hutang darah bayar darah, hutang jiwa bayar jiwa.

Pameo ini sudah tidak berlaku bagi Yap Kay, karena dia menggunakan Siau-li si Pisau Terbang. Kekuatan pisau seperti ini adalah cinta kasih, bukan kebencian.

Ting Hun-pin tidak mengajukan pertanyaan, karena di dalam sanubarinya hanya ada cinta kasih, tiada kebencian.

Dia sedang mengawasi bola mata Yap Kay. Kehidupan begini indah.

Cinta itu adalah sedemikian elok, begitu harmonis.

Jikalau seseorang tidak bisa melupakan dendam sakit hati, bukankah dia itu manusia bodoh?

- TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar