Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 15

 
Jilid-15

"Maka sekalian aku bawa pula daftar kado ini, ingin kuperiksa siapa saja orang-orang yang mengirim kado."

"Orang yang mengirim kado belum tentu hadir di dalam perjamuan itu, demikian pula orang yang hadir di dalam perjamuan itu belum tentu menyumbang."

"Sedikit banyak dari sini aku akan bisa menyimpulkan sesuatu yang tidak mungkin dimengerti orang lain. Aku toh bukan orang linglung."

"Lalu kau sudah berhasil menyimpulkan apa?"

"Begitu kau tiba, hatiku jadi kusut, masakah ada selera aku memeriksa lebih lanjut?" dia berdiri dan keluar dari belakang meja kasir, tiba-tiba berkata pula: "Ada sepatah pertanyaan ingin kuajukan kepadamu."

Terpaksa Yap Kay biarkan orang bertanya. "Apakah manusia itu harus makan?"

Yap Kay diam saja, dia mengakui. "Dan kau ini manusia bukan?"

Kembali Yap Kay diam saja, dia harus mengakui juga.

Siangkwan Siau-sian sudah menarik tangannya, katanya berseri tawa: "Kalau begitu, hayolah kita mengisi perut."

ooo)dw(ooo

Yap Kay sedang makan. Tiba-tiba disadarinya setiap kali berada di depan Siangkwan Siau-sian, dirinya lantas menjadi laki-laki pikun yang terima dituntun hidungnya saja. Tapi perutnya memang kosong, sudah keroncongan sejak tadi. Setelah menempuh perjalanan setengah hari, selera makannya tentu amat besar. Begitu duduk menyanding meja, sepasang sumpitnya bekerja dengan gesit, sulit dia bisa menenteramkan diri menghadapi hidangan serba lezat ini. Apalagi semua masakan justru menempati seleranya, terutama kuah tahu kacang yang terasa pedas kecut, bukan saja mencocoki perutnya, juga bisa menyadarkan pikirannya dari mabuk arak.

Siangkwan Siau-sian berkata lembut: "Aku tidak menyediakan arak bagi kau karena aku tahu perutmu sedang kosong. Setelah makan, boleh kuiringi kau minum sepuasmu."

Siapapun yang menghadapi, melihat serta dilayani perempuan selembut dan secantik ini, kesannya adalah dia gadis periang yang halus, prihatin dan pintar meladeni.

Bila seorang laki-laki berhadapan dengan perempuan macam ini, apa pula yang dapat dia lakukan? Sebetulnya Yap Kay sudah berkeputusan dalam hati tidak perdulikan orang. Umpama orang bisa bicara semanis madu dan kata-katanya bisa menciptakan sekuntum bunga, dia tetap tidak mau percaya dan tidak mau perduli.

Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Aku tahu dalam hatimu tentu membenci aku, tidak seharusnya aku menahanmu di sini tempo hari, kalau tidak, nona Ting pasti tidak akan menikah dengan Kwe Ting, jikalau dia tidak menikah dengan Kwe Ting, maka peristiwa malam itupun tidak akan terjadi."

Memang itulah unek-unek hati Yap Kay yang ingin dia utarakan. Kalau dia belum sempat mengutarakan, kini Siangkwan Siau-sian sudah membebernya secara gamblang. "Tapi kau harus memikirkan diriku. Aku inipun seorang perempuan, aku bukan siluman," dengan suara lembut, aleman dan rawan dia menyambung, "bila seorang perempuan betul-betul jatuh hati kepada seorang laki-laki, pasti takkan bisa menahan diri untuk tidak menahannya. Perduli perempuan macam apa dia, keinginan seperti itu sama saja."

Yap Kay tertawa dingin, tapi dalam lubuk hatinya dia tidak bisa tidak mengakui, bahwa apa yang dikatakan Siangkwan Siau-sian memang beralasan.

Cinta itu sendiri tidak salah, cinta itu pula adalah murni suci, bukan kejahatan. Adalah jamak dan sudah menjadi suratan takdir bahwa seorang perempuan mencintai seorang laki-laki, sedikitpun tidak akan salah. Bila hatinya benar- benar kepincut, cinta kepati-pati, sudah tentu dia tidak akan mengharap dirinya ditinggal pergi pujaan hatinya seorang diri. Untuk ini tiada orang yang berani mengatakan bahwa apa yang dia lakukan salah.

Tiba-tiba Yap Kay menyadari bahwa tekadnya mulai goyah, perasaannya tergerak dan terketuk sanubarinya. Segera dia bangkit, katanya: "Sudah selesai belum perkataanmu?"

"Belum! Masih banyak lagi," sahut Siangkwan Siau-sian. "Nasi sudah ku gares habis."

"Kau tidak ingin minum arak?" "Tiada selera lagi."

"Kau tidak ingin mencari tahu siapa sebetulnya Tolka dan Putala?" "Aku bisa mencarinya sendiri."

"Umpama kau bisa menemukan dia, memangnya apa yang dapat kau lakukan? Memangnya seorang diri kau mampu menghadapi seluruh Mo Kau?" setelah menghela napas Siangkwan Siau-sian menambahkan, "tahukah kau berapa banyak anak murid Mo Kau? Tahukah kau berapa besar kekuatan yang mereka milik?"

Yap Kay tahu. Betapa menakutkan Mo Kau, tidak seorangpun di dalam dunia ini yang lebih jelas daripada dirinya.

"Oleh karena itu kaupun harus tahu, untuk menghadapi Mo Kau hanya ada satu cara."

"Cara apa?" tanya Yap Kay.

Senyuman lembut dan manis yang menghiasi muka Siangkwan Siau-sian sudah sirna, sorot matanya yang bening jeli tiba-tiba memancarkan cahaya terang yang menekan perasaan orang. Kini dia bukan lagi nyonya pemilik hotel yang telaten dan prihatin meladeni tamunya, namun dia adalah Kim-ci-pang Pangcu yang ditakuti seluruh dunia.

Katanya dengan menatap Yap Kay bulat-bulat: "Di seluruh kolong langit ini yang bisa bertanding dan adu kekuatan dengan Mo Kau hanya Kim-ci-pang kita."

Yap Kay bersuara dalam tenggorokan.

"Setelah mengalami persiapan dan perencanaan yang bertahun-tahun dengan pengerahan segala kekuatan, sekarang perduli di dalam tenaga manusia atau kekuatan keuangan, Kim-ci-pang sudah betul-betul mencapai to[p, mencapai tingkat tertinggi," ujar Siangkwan Siau-sian lebih lanjut, "Siau-lim, Bu-tong, Kun-lun, Go-bi, Hoa-san, Tiam- jong, Kay-pang, Khong-tong dan banyak lagi perguruan silat besar dan kecil di seluruh dunia, sekarang sudah ada orang- orang kita yang menyusup ke dalamnya. "

Yap Kay tiba-tiba menukas perkataannya: "Oleh karena itu sekarang kaupun hendak menghasut aku."

"Bukan menghasut," kata Siangkwan Siau-sian tegas, "hanya untuk menghadapi Mo Kau, kau harus kerja sama dengan Kim-ci-pang kita."

Yap Kay tertawa dingin, katanya: "Apakah kau masih ingin mengangkatku menjadi Hu-hoat dari Kim-ci-pang mu?"

"Asal kau suka, malah aku boleh memberikan kedudukan Pangcu Kim-ci-pang kepadamu."

Siangkwan Siau-sian menghela napas. Kerlingan matanya selembut riak air tenang, lembut hening, katanya pelan: "Seorang perempuan demi laki-laki yang dia cintai, memang tidak segan-segannya mengorbankan segala miliknya, apalagi. "

"Apalagi Mo Kau memangnya musuh tangguh Kim-ci-pang kalian."

"Bukan saja musuh bebuyutan kita, malah dua musuh yang takkan bisa  hidup  berdampingan,  terutama  belakangan  ini. "

"Kenapa belakangan ini?"

"Belakangan ini umpama aku tidak mencari perkara dengan mereka, merekapun akan meluruk mencari aku." Yap Kay tahu orang bukan membual. Kim-ci-pang dan Mo Kau kedua-duanya belakangan ini sama-sama mau menegakkan wibawa dan mengerahkan kekuatan serta mengumpulkan tenaga serta mengisi keuangan, tujuannya adalah berkuasa dan bersimaharajalela di Kang-ouw. Bentrokan ke dua belah pihak demi kepentingan masing- masing tentu semakin besar dan meruncing. Kerang dan bangau saling berebutan, akhirnya nelayanlah yang memungut keuntungan.

Sebetulnya situasi ini merupakan kesempatan baik bagi Yap Kay, walau dia tidak ingin jadi nelayan yang memungut keuntungan tanpa membuang tenaga, namun sedikitnya dia bisa menggunakan kesempatan ini untuk melakukan banyak pekerjaan yang ingin dia lakukan, pekerjaan yang sebetulnya sudah dia selesaikan sejak dulu.

Siangkwan Siau-sian berkata pula: "Keadaanmu sekarangpun sama, 2 diantara Su-thoa-thian-ong kini sudah berada di Tiang-an, maksudnya terang bukan selalu menghadapi Kim-ci-pang kami, sekaligus merekapun hendak hadapi kau."

"Oleh karena itu umpama aku tidak mencari mereka, merekapun tetap tidak akan berpeluk tangan terhadapku."

"Mereka adalah musuhmu, sedikitnya aku ini masih temanmu, perduli untuk pribadi atau untuk kepentingan umum, adalah pantas kalau kau kerja sama dengan kita."

Yap Kay sudah duduk kembali di kursinya.

"Mungkin dalam hatimu kini masih mengira aku hendak memperalat kau." "Apa tidak?"

"Umpama aku ingin bantuan tenagamu, bukankah kaupun bisa memperalat diriku? Inilah kesempatan terbaik untuk kerja sama melenyapkan Mo Kau."

Yap Kay tiba-tiba menghela napas, katanya: "Kau memang perempuan yang pandai bicara."

"Apakah aku sudah berhasil membujukmu?" "Agaknya memang demikian."

Berseri muka Siangkwan Siau-sian, senyuman yang berubah lembut aleman dan genit, katanya: "Lalu, apakah sekarang kita perlu minum secangkir arak?"

"Kini aku masih merasakan heran akan satu hal."

"Hal apa yang kau herankan?" tanya Siangkwan Siau-sian, matanya berkedip-kedip.

"Kerja apapun yang kau suruh aku lakukan, kenapa selalu aku tak bisa menolaknya?"

Arak sudah siap di atas meja. Arak itu sendiri tidak memabukkan, malah Siangkwan Siau-sian yang membuatnya kasmaran. Kelembutannya, telaten meladeni, kerlingan matanya serta senyumannya yang menggiurkan, setiap laki- laki pasti akan kepincut kepadanya.

Apakah Yap Kay sudah jatuh mabuk? Betapapun dia adalah laki-laki sejati, malah bukan laki-laki yang tidak mengenal kasih seperti yang pernah dia bayangkan sendiri. Kini dia mulai curiga terhadap dirinya malah, apakah dia sudah kelelap dan terbuai oleh kehalusan dan kehangatan orang? Siangkwan Siau-sian memang perempuan tulen. Tiada laki-laki yang bisa menolak diajak kencan oleh perempuan seperti ini. Mungkin Siangkwan Siau-sian tidak seelok rupawan seperti Ting Hun-pin, tidak aleman dan lemah seperti Cui Giok-tin, tapi gadis yang satu ini jauh lebih unggul di dalam menyelami hati laki-laki. Dia lebih tahu cara bagaimana untuk menangkap dan menambat lubuk hati seorang laki-laki. Apakah Yap Kay sudah tertambat olehnya? Entahlah!

"Kau sudah mabuk belum?" tanya Siangkwan Siau-sian. "Sekarang memang belum, namun cepat atau lambat, aku

akan mabuk juga."

"Jadi kau sudah siap untuk mabuk?"

"Asal mulai minum, memang harus siap untuk mabuk." "Oleh karena itu bila aku ingin bicara, lebih baik lekas

kukemukakan sebelum kau mabuk."

"Sedikitpun tidak salah."

"Kau sudah memeriksa buku daftar kado ini?" "Sudah kuperiksa."

"Apa yang dapat kau lihat?"

"Kudapati setiap Kim-ci-pang turun tangan, tidak seroyal pihak Mo Kau."

Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya kalem: "Kim-ci- pang tidak ingin membeli jiwa orang lain, oleh karena itu tidak perlu mengantar kado yang begitu tinggi nilai harganya." Yap Kay menatap arak di cangkirnya, katanya pelan-pelan: "Mungkin kau sendiri sudah melihatnya, kado yang betapa tinggi harganya, mereka tidak akan bisa menerimanya."

"Jikalau aku bisa melihat jelas, mungkin aku bisa memberikan lebih banyak."

"Kenapa?"

"Karena perduli berapapun yang kuberikan, sekarang sudah kurampas seluruhnya."

"Lalu, apa pula yang kau temukan?"

"Aku hanya menemukan kau, seorang laki-laki yang benar- benar romantis," ujar Siangkwan Siau-sian, "oleh karena itu kau jelas bukan satu di antara Su-thoa-thian-ong Mo Kau. Orang-orang Mo Kau semuanya tidak kenal cinta kasih."

"Masa, baru sekarang kau menyadari hal ini?" "Sekarang juga belum terlambat."

"Jadi dulu kau pernah mencurigai aku?"

"Karena hanya sedikit jumlah orang yang setimpal menjadi Mo Kau Thian-ong."

"Kecuali aku, berapa banyak pula orang di dalam kota Tiang-an ini yang setimpal?"

"Paling hanya empat atau lima saja." "Pertama sudah tentu adalah Lu Di." "Tidak salah!"

"Kedua adalah Han Tin." "Sudah tentu!" "Dan siapa lagi?"

"Masa kau sudah lupa akan temanmu itu?" "Nyo Thian?"

"Rase yang tak bisa terbang sudah cukup menakutkan, apalagi rase yang pandai terbang."

"Bukankah dia salah seorang kepercayaanmu?"

"Aku tidak punya orang kepercayaan." ujar Siangkwan Siau-sian, lalu angkat kepala menatap Yap Kay, katanya: "Orang satu-satunya yang dapat kupercaya hanya kau, sayang sekali. "

"Sayang sekali sebaliknya aku tidak percaya kepadamu, mungkin orang yang tidak bisa kupercaya hanya kau seorang."

"Tapi aku tidak akan menyalahkan kau, akan datang suatu ketika, kau akan tahu bahwa sikapmu salah betul."

Yap Kay tidak membantah, dengan tersenyum dia alihkan pembicaraan: "Lu Di, Han Tin dan Nyo Thian, jumlahnya baru tiga orang."

"Masih ada satu, diapun kemungkinan sekali." "Siapa?"

"Seseorang yang baru kemarin tiba di Tiang-an." "Kau mengenalnya?"

"Tidak kenal!" "Kau tahu siapa?" "Tidak tahu." Yap Kay tertawa pula.

Sikap Siangkwan Siau-sian sebaliknya serius, katanya: "Tapi aku tahu jelas, dia cukup setimpal untuk menjadi salah satu Thian-ong (Raja langit) dari Mo Kau."

"Kenapa kau berkesimpulan demikian?"

"Karena orang-orang yang kuutus untuk menyelidiki jejak dan asal-usulnya tiada satupun yang pulang memberikan laporan. Semuanya menghilang."

"Apa maksudnya menghilang."

"Maksudnya menghilang adalah setiap orang yang kuutus keluar, tidak pernah lagi kembali, malah kabar yang seharusnya dia sampaikan ke cabang-cabang tertentu pun tidak diperoleh, lalu kuutus orang untuk mencarinya, orang- orang yang mencarinya inipun tidak kembali."

"Berapa banyak orang yang telah kau utus untuk tugas ini?"

"Seluruhnya tiga kali, pertama dua orang, kedua empat orang dan ketiga enam orang."

"Jadi jumlah total adalah 12 orang?"

"12 orang jago-jago pilihanku semua, enam yang terakhir itu malah jago-jago top."

"Jago-jagomu semuanya lenyap?"

"Setelah mereka berangkat, lantas lenyap tanpa meninggalkan bekas, seolah-olah mereka ditelan bumi." "Umpama mereka itu adalah manusia kayu, mencari tempat untuk menyembunyikan diri kedua orang itupun bukan suatu kerja gampang."

"Oleh karena itu, aku berpendapat kemungkinan orang ini jauh lebih menakutkan dari Lu Di dan lain-lain."

Kini sikap Yap Kay pun sungguh-sungguh.

"Sampai detik ini kau masih belum tahu siapa dia sebenarnya?"

"Aku tahu dia kemari, di dalam cuaca sedingin ini, dia hanya mengenakan pakaian yang tipis, kepalanya malah ditutupi topi rumput yang lebar besar."

"Masih ada lagi?"

"Sudah habis bahan-bahan yang kuperoleh." "Masakah darimana dia datang, kaupun tidak tahu?"

"Tidak tahu!", ujar Siangkwan Siau-sian, "justru karena aku tidak tahu, maka kuperintahkan orang mencari tahu."

Yap Kay menghela napas, katanya: "Agaknya ada juga persoalan yang belum kau ketahui."

"Memangnya apa yang kau ketahui bisa lebih banyak dari apa yang ku tahu?"

"Hanya lebih sedikit saja." "Apa pula yang kau ketahui?"

"Sedikitnya aku sudah punya sumber untuk menyelidiki, aku pasti bisa menemukan Putala."

"Hu-hong-thian-ong maksudmu?" Yap Kay manggut-manggut.

"Kau sudah tahu orang macam apa dia sebenarnya?" "Ilmu telapak tangannya teramat lihay, malah diapun

sudah terluka."

Cemerlang biji mata Siangkwan Siau-sian, katanya: "Ilmu yang lihay telapak tangannya adalah Lu Di, namun kurang dimengerti apakah kini dia terluka?"

"Untuk mencari tahu hal ini kurasa tidak sulit." "Kau ingin mencarinya?"

"Kau menentang?"

Siangkwan Siau-sian geleng-geleng,  katanya:  "Aku hanya. "

Yap Kay tertawa, katanya mewakili: "Hanya menguatirkan diriku tahu-tahu menghilang seperti anak buahmu yang  tidak becus bekerja itu."

Siangkwan Siau-sian cekikikan manis, katanya: "Kali ini aku pasti tidak akan berpeluk tangan membiarkan kau menghilang tanpa bekas, aku. "

Kini Yap Kay tidak meneruskan kata-katanya, tiba-tiba dia berdiri, katanya: "Oleh karena itu aku ingin segera bergerak mumpung aku belum mabuk."

"Sekarang juga kau ingin pergi?"

"Orang yang harus kucari bukan hanya Lu Di saja, ilmu kepandaian Han Tin dan Nyo Thian pun lihay sekali."

"Jangan lupa laki-laki yang mengenakan topi rumput lebar itu." "Di mana kira-kira orang ini berada?"

"Tahukah kau di belakang Tay-siang-kok-si masih terdapat Cap-hong-cu-lim-si?"

"Katanya makanan vegetarian di sana lumayan enaknya." "Kemarin malam dia menetap di sana."

"Nyo Thian tinggal di mana?"

"Kau hendak mencarinya lebih dulu?" "Jangan lupa dia adalah teman baikku."

"Kau memang teman lamanya, maka kau harus tahu apa yang menjadi hobby-nya."

"Perempuan?" "Perempuan macam apa?" "Janda"

ooo)dw(ooo

Jalan raya yang di sini mirip sekali dengan jalan di kota Tiang-an.

"Apakah disinipun ada penjual wedang kacang yang diusahakan oleh Ong-koahu (Janda Ong)?"

"Janda Ong yang jual wedang tahu di sini adalah perempuan genit yang romantis juga."

Yap Kay menghela napas, katanya: "Sayang Nyo Thian sudah berada di sana lebih dulu."

"Oleh karena itu tiada gunanya sekarang kau buru-buru ke sana. Kenapa tidak kau mampir dulu ke warung wedang di sebelah sini untuk melihat-lihat dulu?" "Ada tontonan baik apa yang patut dilihat di dalam warung wedang?"

"Ada sebuah gurdi yang elok sekali."

Dengan tersenyum Yap Kay melangkah masuk, katanya: "Aku hanya mengharap gurdi yang satu ini tidak mengebor badanku sampai berlubang besar."

Betapapun eloknya gurdi, kalau mengebor badanmu, kau pasti tidak akan merasakan keelokannya.

Han Tin memang gurdi yang baik, diapun bukan laki-laki yang tampan. Memangnya hidung siapapun kalau sudah dipukul ringsek menjadi pesek, mukanya tidak akan menjadi tampan lagi. Tapi sikap dan hatinya hari ini kelihatannya cukup senang dan riang. Bukan saja selebar mukanya mengulum senyum dan air mukanya merah bergairah, semangatnya pun menyala-nyala. Siapapun akan bisa merasa bahwa Han Tin bukan seorang yang telah terluka berat.

Begitu melihat Yap Kay segera dia bangkit menyambut, sapanya dengan tertawa: "Silahkan duduk. Bagaimana kalau mencicipi arak di sini dulu?"

Yap Kay geleng-geleng.

"Kau tidak ingin minum arak?"

Yap Kay geleng-geleng kepala pula.

"Jajanan di sinipun lumayan, apa kau tidak ingin mencicipi kue-kue?"

Yap Kay tertawa, katanya: "Sekarang yang ingin kumakan hanya satu, wedang kacang!"

ooo)dw(ooo Ternyata warung wedang janda Ong tidak hanya jual wedang saja, di sini diapun jual wedang tahu, wedang kacang ijo dan bubur tahu.

Janda Ong adalah seorang perempuan usia semasa, janda Ong ini masih berparas ayu dan genit. Seorang janda setengah baya yang masih berparas ayu menjual wedang, sudah tentu usahanya cukup laris.

Hari ini janda Ong mengenakan seperangkat pakaian warna hitam ketat dengan kancing berderet putih dari  leher menurun ke samping kanan terus ke pinggang. Rambutnya yang mengkilap hitam tersisir rapi, dengan sanggul melambai kendor, menambah kecantikan potongan mukanya yang bundar telur. Di dalam kulit mukanya yang putih halus kelihatan semua merah, merah di antara putih.

Dasar wanita pandai bersolek, dalam usia setua ini dia kelihatan belum terlalu tua, malah kelihatan genit dan sempurna dari gadis-gadis remaja umumnya. Lebih menggiurkan lagi sepasang biji matanya yang dinaungi sepasang alis lentik melengkung seperti bulan sabit, kalau tertawa bibirnya nan tipis merekah seperti delima, seakan- akan laki-laki yang memandangnya pasti bisa tersedot sukmanya.

Kini biji matanya mengerling tajam tengah  mengawasi Yap Kay, katanya berseri tawa: "Wedang tahu tuan ingin dicampuri nyamikan apa?"

"Aku tidak makan wedang tahu." "Apa wedang tahuku tidak enak?" "Wedang tahumu enak sekali. Akupun ingin jajal tahu petismu, sayang aku tidak berani."

Semakin genit janda Ong tertawa, katanya: "Laki-laki segede ini kok takut makan tahu, takut pedas?"

"Tahu orang aku berani makan, tapi tahumu aku tidak berani." kata Yap Kay.

Tiba-tiba janda Ong tidak tertawa lagi, katanya dingin: "Kau kemari mau cari Nyo Thian?"

Jari-jari janda Ong yang runcing dengan kuku panjang dipolesi warna-warni menuding ke belakang, seolah-olah dia sudah malas melayani Yap Kay.

Memang banyak perempuan yang menyukai laki-laki yang punya maksud tertentu, menaksir dirinya. Jikalau kau tidak menaksir dirinya, maka diapun tidak akan ketarik kepadamu.

Yap Kay tertawa menghadapi sikap orang, dengan tersenyum dia melangkah masuk. Tiba-tiba dia  berpaling dan berkata: "Sebetulnya nyaliku tidak sekecil yang kau kira."

Janda Ong melirik kepadanya, katanya gigit bibir: "Kenapa hari ini nyalimu menjadi begitu kecil?"

"Karena aku tidak ingin digigit oleh rase," ujar Yap Kay dengan suara rendah seperti berbisik.

ooo)dw(ooo

Kelihatannya Nyo Thian tidak mirip rase yang bisa menggigit.

Manusia liar, jahat segalak binatang buaspun, di kala sedang mandi, pasti berubah lebih ramah dan lunak. Nyo Thian sedang mandi. Dia merendam diri di dalam sebuah baskom besar terbuat dari kayu dengan air panas yang masih mengepul. Sedapat mungkin dia lemaskan dan luruskan ke empat kaki tangannya. Kelihatannya mirip benar dengan lembu yang malas merendam diri di kubangan. Kulit badannya kelihatan mengkilap merah, seluruh badannya dari atas sampai ke bawah tidak kelihatan bekas-bekas luka sedikitpun.

Tak tertahan akhirnya Yap Kay menghela napas.

Menyongsong kedatangan orang, Nyo Thian menyambut dengan senyuman, sapanya: "Teman baik bertemu, kenapa kau menghela napas malah?"

"Karena kau tidak terluka."

"Kalau aku terluka, baru kau senang?"

Tiba-tiba Yap Kay tertawa, katanya: "Karena aku ingin makan tahu."

Nyo Thian tertawa besar, serunya: "Aku sedang mandi, bukankah kesempatan baik bagi kau?"

"Kesempatan baik apa?"

"Sekarang terserah apapun yang ingin kau lakukan di luar. Memangnya aku harus memburu keluar dengan telanjang bugil begini?"

"Sayang sekali istri teman sendiri tidak boleh dipermainkan."

"Untuk mempermainkan istri teman, harus tunggu setelah teman itu mampus."

"Sayang sekali kau belum lagi mampus." "Kalau begitu jadi kita sekarang masih teman?"

"Sebetulnya bukan, sekurangnya bolehlah dianggap teman."

Nyo Thian menatapnya tajam, sorot matanya semakin cemerlang, setajam pisau, katanya dingin: "Kaupun sudah turun ke air?"

"Kau tidak menduga?" "Kenapa kaupun turun ke air?"

"Tidak pantas kau bertanya ini kepadaku. Bukankah kau sendiri sedang merendam dalam air?"

"Lantaran aku sudah tidak bisa keluar?" "Kalau ada orang mau menarikmu keluar?" "Siapa sudi menarikku?"

"Aku!"

Betul juga segera Yap Kay ulurkan tangannya.

Tapi Nyo Thian tidak menyambut tangannya, katanya tertawa: "Terlalu dingin hawa di luar, lebih nyaman aku merendam diri di air hangat ini."

"Betapapun panasnya air itu, akhirnya akan jadi dingin juga."

"Kalau demikian, lebih baik kau lekas lari keluar saja." "Kau sedang bujuk aku? Atau sedang mengusirku?" "Menurut pendapatmu?"

"Apa kau rasakan orang yang ada di dalam air terlalu banyak dan berdesakan?" "Mau pergi tidak, terserah! Kau hanya kita termasuk kawan, ada sepatah kata terpaksa harus ku utarakan kepadamu," ujar Nyo Thian dingin.

"Boleh kau katakan."

"Jangan kau pergi menemui laki-laki yang mengenakan topi rumput itu."

"Kenapa?"

Nyo Thian sudah memejamkan mata, menutup mulut.

Yap Kay bertanya pula: "Darimana kau tahu bila aku hendak mencari dia?"

Nyo Thian tetap tidak bersuara.

Air itu panas sekali, uapnya kemebul seperti kabut saja.

Tiba-tiba Yap Kay tertawa pula, katanya: "Memang lebih baik kau merendam diri dalam air saja, keluar dari air sepanas itu, kau pasti kedinginan."

ooo)dw(ooo

Yap Kay sudah pergi.

Nyo Thian tetap pejamkan mata, merendam diri. Setelah suhu air panas itu menurun dan rada dingin, baru terlihat air mukanya lambat laun menjadi pucat pias, seolah-olah dia benar-benar sudah tidak bertenaga lagi untuk keluar dari tempatnya merendam. Tapi air sudah dingin, tidak bisa tidak dia harus keluar.

Waktu air mengalir dari pundaknya ternyata air itu berwarna merah, air bercampur darah. Darimanakah darah itu keluar? Diam-diam dengan langkah lembut janda Ong berlari masuk, mengawasinya, sorot matanya penuh diliputi rasa iba dan kasih sayang.

Waktu Nyo Thian berdiri, mukanya yang pucat berkerut- kerut saking menahan kesakitan, mulutnya menggerung menahan sakit, katanya: "Adakah orang bisa menerjang masuk dari luar?"

Janda Ong geleng-geleng, tiba-tiba dia bertanya: "Sebetulnya bagaimana luka-lukamu? Kenapa takut dilihat orang?"

Nyo Thian kertak gigi, dia tidak menjawab pertanyaan orang, namun jarinya menjawab ke pundaknya, dari sana dia mencomot turun selapis kulit. Kulit tipis yang berwarna mirip dengan kulit badannya, begitu kulit tipis tercopot, darah dan air nanah segera bercucuran di dadanya.

ooo)dw(ooo

Sebuah kereta besar berhenti di ujung jalan.

Siangkwan Siau-sian menggelendot di dinding kereta sambil menunggu. Waktu dia melihat Yap Kay mendatangi, mukanya yang ditingkah sinar matahari berwarna merah itu kelihatan mekar laksana sekuntum bunga.

Setiap kali kau melihat wajahnya nan cerah, selalu kau akan merasa musim semi sudah menjelang.

Yap Kay menghela napas, karena tiba-tiba dia teringat akan ucapan orang banyak waktu menilai dan menjuluki Lim Sian-ji, ibunya, perempuan secantik bidadari, namun khusus memancing laki-laki masuk ke neraka. Kalau kata-kata ini sekarang dilukiskan untuk Siangkwan Siau-sian, apakah tepat dan cocok?

"Kau sudah menemukan mereka?" tanya Siangkwan Siau- sian dengan senyuman manis.

"Ya!," pendek jawaban Yap Kay. "Mereka sama-sama tidak terluka?"

"Tidak!," ujar Yap Kay menghela napas, "sedikitnya aku tak bisa melihatnya."

"Oleh karena itu, mereka tidak mungkin adalah Hu-hong si puncak tunggal?"

Yap Kay manggut-manggut. Memang dia tidak melihat luka-luka Nyo Thian, kulit tipis yang melekat di pundak Nyo Thian, terendam di air kelihatannya seperti daging yang dimasak. Tak pernah pula terpikir olehnya, seorang yang sudah terluka parah kok merendam diri dalam air.

"Namun umpama benar mereka tidak terluka," ujar Siangkwan Siau-sian, "belum membuktikan bahwa mereka bukan orang-orang Mo Kau."

"Benar!"

"Tapi kau sudah siap untuk menyelidiki lebih lanjut?" "Mereka adalah orang-orangmu, untuk menyelidiki pula

adalah urusanmu."

"Maka kau hendak tinggal pergi?"

"Bukankah kau sudah persiapkan sebuah kereta untukku?" Siangkwan Siau-sian tertawa, tawa yang syahdu: "Karena aku tahu takkan bisa menahanmu."

Yap Kay lompat naik ke atas kereta, tiba-tiba dia berkata pula: "Nyo Thian tadi memberi advis kepadaku."

"Apa yang dia katakan?"

"Dia menganjurkan kepadaku supaya jangan pergi menemui orang bertopi rumput lebar itu."

Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Bujukan orang lain, kenapa selalu tidak kau turuti?"

Yap Kay menutup pintu kereta, namun dia menongolkan kepalanya keluar dari jendela, katanya tertawa: "Karena aku ini biasanya dihinggapi penyakit."

"Penyakit apa?" "Penyakit goblok!"

ooo)dw(ooo

Lari kereta itu menimbulkan debu yang tinggi di belakangnya. Cepat sekali laju kereta, sudah hampir jauh, hampir tidak kelihatan lagi.

Roman muka Siangkwan Siau-sian masih mengulum senyuman mekar yang menggiurkan karena kepala Yap Kay masih menongol keluar mengawasi dirinya. Dia tertawa riang, tiba-tiba dia lambaikan sapu tangan yang ada di tangannya.

Di saat dia mengangkat tangan inilah senyumannya tiba- tiba sirna, mukanya yang merah di tingkah sinar matahari tiba-tiba berubah pucat, mengernyit menahan sakit. Sayang sekali tatkala itu kereta Yap Kay sudah membelok di pengkolan gunung sana, tidak kelihatan lagi.

ooo)dw(ooo

Di dalam bilangan kelenteng itu, suasana sepi nyaman dan menyegarkan, pekarangan penuh ditumbuhi pohon bambu. Hutan bambu. Pekarangan yang ditumbuhi hutan bambu biasanya memang membawakan suasana nyaman, segar dan tentram.

Terutama pada saat magrib, angin lalu menghembus daun-daun bambu, suaranya kedengarannya mirip deru gelombang ombak lautan yang mengalun kalem.

Yap Kay tengah mondar-mandir di hutan bambu ini.

"Kalau aku tahu di kota Tiang-an ada tempat sesepi dan nyaman tentram seperti ini, aku pasti akan menetap di sini." demikian dia bicara seorang diri, "sayang sekali orang-orang yang tahu adanya tempat ini agaknya tidak banyak."

Agaknya dia tidak mengoceh seorang diri, kelihatannya dia tujukan kata-katanya kepada Goh-cu.

Goh-cu adalah pendeta penerima tamu dari Cap-hong-cu- tim-si ini. Sesuai dengan namanya, Goh-cu berbadan kurus lencir seperti galah. Walau badannya kurus kering, namun sikapnya amat ramah. Dia sedang tersenyum dan membantah: "Memang jarang Sicu yang berkunjung kemari, tapi tidak sedikit juga jumlahnya."

Yap Kay tertawa, sejak dari luar sampai di sini matanya melihat ada orang berkunjung ke tempat ini, memasang hio, menaikkan dupa. Demikian pula bilangan luar dan dalam ruang sembahyang kosong. "Ke tujuh kamar ini semua diperuntukkan kamar tamu, sebetulnya tidak kosong lagi," demikian pula kata Goh-cu, "semalam ada beberapa Sicu menetap di sini, mereka adalah orang-orang yang suka keindahan alam dan ketentraman hidup."

"Sekarang di mana mereka?" tanya Yap Kay. "Kini berada di Tay-siang-kok-si."

"O, jadi mereka semalam baru pergi?"

Goh-cu manggut-manggut, katanya: "Begitu Pek Sicu yang mengenakan topi rumput itu datang, yang lain-lain segera pergi."

"Apakah dia yang mengusirnya?"

"Dia sih tidak mengusir orang, namun begitu dia datang, orang lain tak betah tinggal di sini."

"Lho? Kenapa?"

Goh-cu menghela napas, mukanya yang kurus kering tiba- tiba menampilkan mimik yang aneh. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Yap Kay, namun menepekur.

"Marilah ku ajak kau masuk ke kamar, kau akan segera mengerti."

Kamar tidur itu empat dinding kosong memutih, tiada gambar tiada lukisan. Ternyata tiada meja kursi, juga tiada ranjang. Kamar tidur (biasanya kamar semedi) sebesar ini hanya terdapat dua batang paku, satu di paku di dinding kanan, yang lain di paku dinding kiri. Tak tertahan Yap Kay tertawa pula, sekarang dia mengerti, kenapa orang lain tidak betah tinggal di sini lama- lama.

"Agaknya akupun takkan betah tinggal di sini." katanya tersenyum, "aku bukan lalat, juga bukan nyamuk, masakah harus tidur di atas paku?

"Di sini ada dua paku."

"Satu paku atau dua paku apa bedanya?" "Ada saja bedanya."

"Aku sih tidak bisa membedakan, coba kau katakan di mana bedanya."

"Tapi sebetulnya kau bisa memikirkannya. Dua paku kau bisa untuk mengikat seutas tali."

Yap Kay masih belum mengerti, katanya: "Gunanya tali?" "Tapi itu bisa untuk gantung pakaian, juga bisa untuk

tidur."

"Jadi Pek Sicu yang pakai topi rumput itu kalau malam tidur di atas tali?"

"Malah tali kecil yang lembut sekali." Yap Kay melongo.

Bila seseorang suka tidur di atas seutas tali, bukan saja watak orang itu aneh, ilmu silatnya tentu aneh dan tinggi.

"Kamar ini semula tidak kosong melompong seperti ini," kata Giok-cu lebih lanjut, "bukan saja ada meja kursi dan ranjang, di sinipun banyak cecak." "Jadi meja kursi dan ranjang dia yang minta di pindah ke lain tempat? Lalu cecak?"

Kembali terunjuk mimik aneh pada muka Goh-cu. "Cecak itu semuanya dia makan habis."

Kembali Yap Kay melongo.

Memang aneh orang itu, di musim dingin suka pakai topi rumput, suka tidur di atas tali, suka makan cecak pula.

Belum pernah Yap Kay melihat atau bertemu dengan orang seaneh ini. Tak urung terunjuk mimik seaneh mimik Goh-cu di muka Yap Kay, katanya kemudian dengan tertawa getir: "Agaknya selera makannya tidak terlalu besar, hanya makan beberapa ekor cecak, masakah bisa kenyang?"

"Kecuali cecak, sudah tentu dia masih makan barang- barang lain."

"Makan apa lagi?"

"Para Sicu yang tinggal di sini, begitu makan tiba, biasanya mereka tidak berani keluar kalau tidak ada keperluan penting, karena disekitar sini banyak ular berbisa."

"O, jadi ular-ular beracun itupun habis dia makan." "Kecuali ular, masih ada kelabang, ketunggeng

(kalajengking) dan lain-lain."

"Agaknya takaran makannya cukup besar."

"Oleh karena itu aku sudah mulai kuatir akan satu hal." "Apa pula yang kau kuatirkan?" "Kalau cecak, ular dan binatang-binatang beracun lainnya sudah habis dia makan, makanan apa pula yang dapat dia makan?"

"Apa kau takut dia bakal makan dirimu?"

Goh-cu menghela napas. Belum sempat dia membuka suara, tiba-tiba seseorang berkata dingin: "Manusia ada kalanya kumakan juga, namun jarang aku makan Hwesio."

ooo)dw(ooo

Entah kapan seseorang yang bertopi rumput lebar berdiri di luar hutan bambu, Di dalam cuaca sedingin ini, ternyata dia hanya mengenakan kain katun tipis warna putih mangkak, bentuk topi rumput di kepala rada aneh, kelihatannya mirip kepis tempat ikan yang dibawa orang mancing. Topi selebar itu dia pakai begitu rendah lagi, hampir seluruh mukanya tertutup tidak kelihatan, hanya kelihatan mulut dan bibirnya yang tipis kalau tidak bicara tertutup rapat, seolah-olah rangkapan dari bibir pisau.

Tiba-tiba Yap Kay tertawa. Di saat orang lain tidak bisa tertawa, dia malah ingin tertawa, katanya: "Kau jarang makan Hwesio atau tak pernah makan?"

"Biasanya aku hanya makan satu macam manusia." ujar laki-laki bertopi rumput lebar.

"Orang macam apa?" "Orang yang patut mati." Yap Kay menyengir getir. Memang dalam dunia ini ada semacam manusia yang mirip ular beracun, jikalau kau tidak ingin dilalap olehnya, maka kau harus mencaploknya lebih dulu.

"Tapi orang yang benar-benar patut mampus tidak banyak." ujar Yap Kay.

"Benar, memang tidak banyak."

"Kalau demikian kenapa tidak kau tiru orang lain, mengganyang makanan yang lebih gampang diperoleh?"

"Kau makan apa?" tanya orang bertopi rumput berbaju putih mangkak.

"Aku suka makan daging babi, juga suka daging sapi, terutama daging sapi yang dipanggang dengan saus tomat, dengan abon sapi juga tidak kurang sedapnya."

Laki-laki baju putih tiba-tiba berkata: "Thio Sam adalah manusia kerdil yang jahat, keji dan telengas. Li Su sebaliknya seorang Kuncu yang mau kerja giat dan rajin berusaha, berhati jujur polos. Jikalau kau harus memilih satu di antaranya untuk kau bunuh, siapa yang kau bunuh?"

"Sudah tentu Thio Sam."

"Tapi yang kau bunuh sekarang justru Li Su." "Aku sudah membunuh Li Su?"

Laki-laki baju putih manggut-manggut.

Yap Kay tertawa getir, katanya: "Sayang sekali, dimanakah dia orang toh aku tidak tahu."

"Seharusnya kau sudah tahu, karena dia sudah berada di dalam perutmu." Yap Kay tidak mengerti. Ucapan laki-laki baju putih putar balik tiada juntrungannya, sungguh mengherankan.

Kata laki-laki baju putih sambil tertawa dingin: "Ularlah yang beracun, bukan sapi, tapi kau membunuh sapi, setelah kau membunuhnya, malah kau simpan mayatnya ke dalam perutmu."

Kontan terasa kecut dan mual perut Yap Kay, seakan- akan dia ingin muntah-muntah.

Memang dalam perutnya masih terdapat daging sapi, daging yang dia makan tadi siang, tentunya belum hancur oleh karena pencernaan dalam perutnya.

Lain kali bila ada orang menyuguhkan masakan daging sapi lagi, pasti dia sukar untuk menelannya.

Mata laki-laki baju putih menatapnya dari bawah topi: "Sekarang apa kau sudah paham akan maksudku?"

Yap Kay menghela napas, katanya tertawa getir: "Kedengarannya ucapanmu memang beralasan dan masuk diakal."

"Memangnya kau belum pernah mendengar pengertian tentang semua ini?"

"Jangan kata mendengar, berpikirpun belum pernah." ujar Yap Kay menghela napas. Menyimpan daging sapi di dalam perut sungguh jenaka dan ganjil juga kedengaran kata-katanya ini.

"Agaknya walau kau bukan seorang Kuncu yang giat dan rajin bekerja, lugu dan jujur, namun kaupun bukan manusia rendah yang jahat dan telengas." "Apa kau bisa meramalkan diriku?"

"Justru aku bisa meramalkan keadaan dirimu, maka sekarang kau masih tetap hidup."

"Dan kau? Kau orang macam apa?" "Kau tidak bisa meramal diriku!"

Yap Kay tertawa, katanya: "Yang terang kau bukan she Pek. Kau datang dari Cheng-shia." Dengan tatapan tajam Yap Kay menambahkan: "Khabarnya di dalam Ceng-shia-san ada seorang tokoh kosen, namanya Bak Kiu-sing."

"Agaknya tidak sedikit urusan yang kau ketahui." sela laki-laki baju putih dingin.

"Walau tidak terlalu banyak, tapi juga tidak sedikit." "Sayang sekali, apa yang harus kau ketahui sekarang, kau

justru tidak tahu."

"Ah, apa iya?"

"Tahukah kau siapakah Tolka sebenarnya?" "Ya, memang aku belum tahu."

"Tahukah kau siapakah Putala?"

"Agaknya memang tidak banyak urusan yang kuketahui." "Kau ingin tidak bertemu dengan mereka?"

"Apa aku bisa bertemu dengan mereka?"

"Asal kau menunggu di sini, kau akan bisa menemuinya."

Bersinar biji mata Yap Kay. Sudah tentu dia rela menunggunya di sini. "Umpama aku harus menunggu tiga hari tiga malam, akupun akan menunggunya dengan senang hati."

"Tidak perlu kau menunggu tiga hari tiga malam, kedatanganmu amat kebetulan."

Terbangkit semangat Yap Kay, katanya: "Apakah hari ini mereka akan datang ke sini?"

"Kalau kau sudah mau menunggu, tak usah banyak tanya, kalau tidak mau menunggu, akupun tidak menahanmu."

Yap Kay segera tutup mulut, tapi matanya malah dipentang lebar. Memang dia bukan laki-laki cerewet.

Laki-laki baju putih tiba-tiba berkata pula: "Hwesio seharusnya tidak cerewet."

Goh-cu lantas menundukkan kepala.

"Hwesio seperti kau ini sudah terlalu banyak kau pentang bacot."

Maka Goh-cu tutup mulut kencang-kencang, sepatah katapun dia tidak berani bercuit lagi.

"Seorang Hwesio bukan saja harus tahu kapan dia harus tutup mulut, diapun harus tahu kapan menutup matanya."

Goh-cu segera pejamkan matanya juga, dengan menggeremet dan tangan menggapai-gapai, dia beranjak pergi.

Tak tahan Yap Kay tertawa, katanya: "Kelihatannya dia memang Hwesio yang tahu diri."

"Hwesio yang benar-benar tidak tahu diri hanya satu." "Hwesio macam apa itu?" "Hwesio yang harus mampus."

"Dalam pandanganmu, manusia dalam kolong langit ini agaknya hanya ada dua macam saja."

"Memang hanya ada dua macam, yang harus hidup dan yang harus mati."

"Lalu orang macam apa yang akan datang kemari nanti malam?"

"Mereka termasuk orang yang harus mati."

ooo)dw(ooo

Tabir malam sudah menyelimuti jagat raya.

Laki-laki baju putih mengeluarkan sebuah botol  kecil yang terbuat dari kayu, lalu menuang sedikit bubuk warna putih mengkilap seperti perak di atas tanah. Kelihatannya seperti kapur, tapi begitu sinar bintang di langit mulai kelap-kelip, bubuk putih seperti kapur di tanah itupun mulai memancarkan sinar kemilau.

Kata Yap Kay: "Malam nanti apakah kau sudah siap hendak menelan pekarangan ini, sampai perlu kau membubuhi merica lebih dulu?"

Laki-laki baju putih menjengek, sentaknya: "Mulutmu terlalu cerewet."

Yap Kay melongo dan bersuara dalam mulut. "Kaupun terlalu banyak tawa."

"Ya, soalnya aku ada melihat suatu hal." "Hal apa?" "Aku bisa merasakan kau bukan manusia yang dingin kejam, ada kalanya kaupun ingin tertawa, namun selalu kau berusaha untuk menahannya."

"Kenapa aku harus menahannya secara paksa?" "Karena kau ingin supaya orang lain takut kepadamu."

Laki-laki baju putih memutar badan, dia dorong jendela. Lama sekali baru dia bersuara pula: "Apa pula yang dapat kau lihat?"

"Jikalau kau mengijinkan aku melihat mukamu, aku pasti bisa melihat banyak persoalan."

Laki-laki baju putih tiba-tiba berpaling seraya mengangkat topi rumputnya.

Sebetulnya muka orang ini tak ubahnya seperti muka orang lain, namun dia hanya kelebihan sembilan buah bintang di atas jidatnya.

Sembilan bintang warna hitam mengkilap.

ooo)dw(ooo

Pada malam musim dingin seperti saat itu, sinar bintang yang menyendiri di atas angkasa raya, biasanya kelihatan lebih menyolok, kelihatannya lebih cemerlang. Tapi bintang- bintang di muka laki-laki baju putih ini rasanya malah lebih dingin, lebih terang. 

Ke sembilan bintang ini berderet menggambarkan sebuah bentuk aneh yang sukar diraba juntrungannya, setiap bintang-bintang itu seperti melekat kencang di dalam kulit dagingnya. Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Apakah kau sedang menghukum dan menyiksa dirimu sendiri?"

Ternyata laki-laki baju putih manggut-manggut, katanya: "Setiap orang kan punya dosa."

"Dan kaupun tidak terkecuali?" "Akupun manusia."

"Apa dosamu?"

"Aku hanya gegetun kenapa aku tidak mampu memberantas manusia-manusia kerdil, jahat dan kejam."

"Itu belum bisa dianggap berdosa, siksaan yang kau alami kurasa terlalu berat."

"Tapi bila aku berhadapan dengan manusia yang berdosa besar, maka bintang ini merupakan alat senjata yang ampuh untuk merenggut jiwanya."

"Senjata untuk membunuh?" "Masa kau tidak bisa melihatnya?"

Yap Kay geleng-geleng, katanya tertawa getir: "Memikirkanpun aku tidak pernah."

Kembali laki-laki baju putih turunkan topinya, katanya dingin: "Tidak banyak orang yang bisa melihat muka asliku ini, terutama yang hidup hanya beberapa gelintir saja."

"Bukankah di atas mukamu semula hanya ada lima buah bintang?", tanya Yap Kay.

Laki-laki baju putih manggut-manggut membenarkan. "5 buah bintang kenapa sekarang berubah menjadi 9 bintang?"

"Karena manusia yang berdosa dalam jagat ini semakin banyak, maka dosaku pun semakin bertumpuk."

"Oleh karena itu Bak Ngo-sing menjadi Bak Kiu-sing." "Sekarang tiada Bak Ngo-sing, yang ada adalah Bak Kiu-

sing."

"Kalau begitu tak heran kalau dia bisa salah duga." "Dia siapa yang kau maksudkan?"

"Masa kau tidak tahu?" "Apakah Siangkwan Siau-sian?" "Kau tahu tentang dirinya?" Bak Kiu-sing tertawa dingin.

"Kau tahu orang macam apa dia sebenarnya?"

"Orang yang akan kubunuh kali ini semuanya ada tiga." "Salah satu adalah dia?"

"Semula memang dia satu di antaranya." "Sekarang?"

"Baru sekarang ku sadari, bahwa manusia yang lebih jahat dan harus diganyang melebihi dia tidak sedikit jumlahnya."

"Yang harus mati ada berapa orang?" "Tolka dan Putala." "Untuk membunuh ke dua orang ini, kukira bukan soal gampang."

"Memangnya aku sudah siap untuk tidak kembali dengan jiwa segar." kata Bak Kiu-sing tegas dan mantap. Lalu pelan- pelan dia melanjutkan: "Bila masih ada satu di antara Su- thoa-thian-ong dari Mo Kau hidup dalam dunia ini, maka aku pasti tidak akan kembali ke Ceng-shia."

"Tapi umpama kau berhasil membunuh yang dua ini, toh masih ada dua yang lain."

"Sudah tiada lagi!"

"Lho, kenapa tiada lagi?"

"Panjapana sudah mampus di tangan Kwe Ting." "Masih ada Sialpu, bukan?"

Tiba-tiba Bak Kiu-sing merogoh keluar sebuah lencana kemala terus dilempar kepada Yap Kay.

Di atas lencana batu kemala yang mengkilap bening itu terukir malaikat - iblis yang menjunjung sebuah tongkat batu pertanda kepintaran.

"Itulah tanda pengenal milik Sialpu, di kala dia masih hidup, barang itu pasti digembol di badannya."

"Sekarang kenapa berada di tanganmu?" "Karena dia sekarang sudah menjadi mayat."

"Kaukah yang membunuhnya?", berjingkat kaget Yap Kay. Bak Kiu-sing manggut-manggut.

"Di mana kau kesamplok dengan dia?" "Di luar kota Tiang-an."

"Jadi diapun sudah turun dari gunung iblis?"

"Gunung iblis mereka memangnya berada di dalam pengembaraan yang tidak menentu tempatnya, di mana orang-orang mereka berada di situlah letak gunung iblis mereka."

"Oleh karena itu gunung iblis mereka sekarang berada di kota Tiang-an."

"Jikalau mereka belum mampus, di dalam jangka waktu 8x8 sama dengan 9 hari, kota Tiang-an ini akan menjadi kota iblis."

"Hah, kota iblis?"

"Di dalam Mo Kau juga hanya ada dua kelas manusia." "Apa saja kedua kelas mereka?"

"Kelas pertama adalah murid-murid Mo Kau, kelas ke dua adalah orang-orang yang sudah mampus."

"Untung rahasia mereka sudah kau bongkar dan kau ketahui."

"Bagi aku, hakekatnya tiada sesuatu yang terahasia di dalam dunia ini."

"Agaknya memang tidak sedikit yang kau ketahui?", ujar Yap Kay.

Bak Kiu-sing tidak menyangkal.

"Aku hanya heran, dari mana kau bisa tahu begini banyak, bukankah kau seorang yang lama mengasingkan diri?" "Kau salah!. Semangat keluarga Bak kita bukan keluar dunia, namun masuk dunia, demi menolong kepentingan orang banyak, murid-murid keturunan keluarga Bak kita takkan segan-segan mengorbankan jiwa raga sendiri untuk menegakkan kebenaran dengan keberanian nan suci, bijaksana dan tahu cinta kasih."

Yap Kay mengawasi orang, sorot matanya menampilkan perasaan hormat. Kelihatannya orang ini dingin kaku dan aneh, yang benar hatinya suci, luhur budi dan bajik. Tiada banyak manusia yang benar-benar sudi berkorban demi kepentingan orang lain, selamanya Yap Kay paling hormat dan salut terhadap orang-orang macam ini.

Gelap gulita. Kamar itu dipasang pelita.

Biji mata Bak Kiu-sing tetap memancarkan sinar kemilau dari bawah topi rumputnya, namun sulit ditentukan apakah itu sinar matanya atau cahaya bintang-bintang di mukanya.

Dengan menatap Yap Kay tiba-tiba ia berkata: "Sejak lama akupun sudah tahu akan dirimu."

"Tahu apa tentang diriku?" "Kau she Yap, bernama Kay."

"Benar! Yap daun dan Kay riang." "Kau selalu periang?"

"Karena aku jarang memikirkan urusan yang membuat hati duka-lara."

"Khabarnya pisau terbangmu sudah boleh diagulkan nomor satu di seluruh jagat raya" "Akupun pernah dengar orang bilang demikian, oleh karena itu kesulitan yang selalu melilit diriku juga nomor satu di seluruh dunia."

Memang tiada orang yang bisa menandingi Yap Kay di dalam menghadapi setiap kesulitan yang selalu merecoki dirinya.

Bak Kiu-sing diam saja. Lama sekali baru dia bersuara kalem: "Akan datang suatu hari akupun pasti tahu."

"Tahu apa?"

"Apakah benar pisau terbangmu nomor satu di seluruh jagat?"

"Jikalau kau benar-benar ingin tahu, itu berarti kesulitan bertambah satu lagi."

"Apa kau tidak ingin tahu, benarkah bintangku ini bisa membunuh orang?"

"Aku tidak ingin tahu." "Kenapa?"

"Karena sekarang kita sudah boleh dianggap teman." "Mungkin kawanmu sudah terlalu banyak."

"Banyak kawan kurasa lebih baik daripada tidak punya teman sama sekali."

"Mungkin lantaran kawan yang kau kenal terlalu banyak, maka kesulitanpun lebih banyak dari orang lain. Karena orang yang benar-benar tidak mempunyai kesulitan pun hanya ada satu saja."

"Orang mati?" tanya Bak Kiu-sing. Yap Kay manggut-manggut dengan tersenyum.

Sekonyong-konyong 'Blang....' tembok rendah di pekarangan diterjang jebol berlubang besar, seseorang dengan menggendong ke dua tangan di punggung beranjak masuk pelan-pelan.

(Bersambung ke Jilid-16) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar