Jilid-14
Waktu Yap Kay memburu ke sana, hanya melihat bayangannya berkelebat, terus memasuki sebuah pintu sempit pula, daun pintu hanya setengah dirapatkan. Di lihat dari luar, rumah ini hanya tempat tinggal orang awam biasa saja, pintu itu penuh ditaburi debu dan gelagasi (sawang laba-laba), jelas sudah lama tidak dibersihkan.
Begitu tiba di depan pintu, jantung Yap Kay mulai berdetak. Tiba-tiba teringat olehnya bahwa dia pernah datang ke tempat ini, sekarang tak usah dia menerobos masuk, dia sudah tahu siapa orang yang membawanya kemari.
Cui Giok-tin. Di tempat inilah orang tempo hari membawa Yap Kay merawat luka-lukanya di sini. Terbayang akan kejadian hari itu, kembali timbul suatu perasaan yang tak bisa dilukiskan dalam benak Yap Kay. Entah hatinya senang? Hambar? Atau kecewa? Yang menggembirakan adalah bahwa Cui Giok-tin ternyata masih hidup. Hambar karena kejadian manis itu sudah lama berselang, impian manis sudah tak bisa dikejar. Lalu apakah yang dia kecewakan? Apakah relung hatinya yang paling dalam masih mengharapkan dia, yang adalah Ting Hun-pin?
ooo)dw(ooo
Impian lama bukannya tak mungkin di kenang kembali, sedikitnya di dalam hawa sedingin ini dia masih bisa sedikit membayangkannya.
Hembusan angin datang dari pekarangan belakang lewat dapur terus ke depan, di tengah angin lalu ini, lapat-lapat tercium bau masakan bubur ayam harum. Tak urung teringat oleh Yap Kay akan kejadian pagi itu, waktu itu diapun mencium bubur ayam, lamunannya tengah membayangkan suguhan semangkok bubur ayam yang masih panas dengan asap kemepul menimbulkan seleranya, diangsurkan ke hadapannya oleh sepasang tangan yang halus elok. Siapa tahu bubur ayam itu tahu-tahu terbang masuk dari luar pintu. Bukan tangan halus nan lembut yang dia lihat, tapi adalah tangan berlepotan darah yang piranti untuk membunuh orang, Jik-mo-jiu, tangannya Ih-me-gao. Sejak hari itu, dia lantas menghilang tak keruan paran, sungguh tak nyana hari ini dia bisa bertemu lagi.
Dengan menghela napas Yap Kay mendorong pintu, melangkah masuk ke dalam rumah. Almari kecil pendek itu masih tetap berada di tempatnya, sampaipun cahaya matahari yang menyorot masuk dari pojok rumahpun tiada ubahnya dengan tempo hari. Entah kondisi badan Yap Kay masih lemah sehabis dihajar orang, atau memang hatinya lemas, setelah masuk langsung dia merebahkan diri ke atas ranjang. Bantal yang dia tiduri masih berbau wangi dari rambutnya. Betapapun kehidupan dua hari yang tentram itu takkan terlupakan selama hidupnya. Dia jadi berpikir-pikir, jikalau hari itu Cui Giok-tin tidak mengalami sesuatu, apakah sampai sekarang dia masih akan menemani dirinya di sini?
Terdengar derap langkah lirih di luar pintu, tampak dia melangkah masuk dengan membawa sebuah mangkok berisi bubur yang panas kemepul. Dengan senyuman manis mekar dia melangkah mendekati dengan gemulai. Inilah keadaan yang dihadapi Yap Kay pada pagi hari itu, Cuma sekarang entah sudah berapa lama berselang sejak kejadian hari itu? Peristiwa apa pula yang telah dialaminya?
Kalau keadaan sekarang masih tetap seperti tempo hari, namun perasaan masing-masing sudah jauh berbeda. Memangnya siapa dalam dunia ini yang mampu menarik kembali sang waktu yang telah lewat?
Yap Kay unjuk senyum dipaksakan, sapanya: "Selamat pagi?"
"Selamat pagi!", sahut Cui Giok-tin tersenyum lembut, "buburnya sudah matang, apa kau makan sambil tiduran saja?"
Yap Kay manggut-manggut.
Maka bubur panas yang hangat dan wangi itu, sesendok demi sesendok dilolohkan ke dalam mulutnya oleh sebuah jari-jari tangan yang halus elok.
Yap Kay memang amat memerlukan makanan, perutnya sudah berontak, sehingga badannya lunglai. Bubur itu tak ubahnya dengan bubur ayam yang pernah dilalapnya habis tiga mangkok tempo hari, namun sekarang dia hanya mencicipi beberapa sendok lantas dia tidak kuasa menelannya lagi.
Cui Giok-tin menatapnya, katanya lirih: "Semalam tentu kau mabuk tak sadarkan diri. "
Yap Kay tertawa ewa, sahutnya: "Memang, aku mabuk seperti anjing sekarat!"
Lama Cui Giok-tin mengawasinya, akhirnya menghela napas, ujarnya: "Jikalau kau mabuk, akupun akan mabuk."
"Kau tahu akan peristiwa semalam?" "Sebetulnya belum tahu," ujarnya.
Sorot matanya yang indah cemerlang tiba-tiba berubah menunjukkan kepedihan dan duka, pelan-pelan dia mulai menceritakan pengalamannya.
"Pagi hari itu, aku ditangkap Ih-me-gao dan dipaksa pulang ke tempat Giok-siau, dia lantas. aku dilarang keluar
lagi. Kukira hidupku ini pasti akan berakhir. Sungguh tak terpikir olehku, gembong iblis itu akhirnya mampus juga di tangan orang lain."
"Begitu Giok-siau mati, kau lantas kemana?" tanya Yap Kay.
"Begitu mendengar kabar kematiannya, para saudara seperti burung-burung yang terlepas dari kurungan, siapapun ingin terbang bebas ke tempat jauh, setiap orang membagi harta dan uang peninggalan Giok-siau. Dalam jangka satu jam, mereka sudah bubar dan terpencar, hanya aku. "
Sampai di sini Cui Giok-tin menunduk kepala tidak melanjutkan ceritanya.
Hanya dia yang tidak pergi, karena dia masih tak bisa melupakan Yap Kay, maka dia kembali pulang ke tempat ini. Ingin dia menemukan kembali impian lamanya yang semanis madu. Sudah tentu dia tidak utarakan isi hatinya, namun Yap Kay sudah mengetahuinya.
"Seorang diri aku mengeram di dalam rumah ini sehari penuh, bukan saja tidak ingin keluar, juga tidak mau tidur," dia tertawa, tertawa getir, "sebetulnya aku sudah tahu kau tidak akan kembali ke tempat ini."
Betapa hati Yap Kay takkan mendelu mendengar ucapannya ini, tiba-tiba disadarinya bahwa dirinya memang seorang laki-laki yang tak mengenal kasih. Memang tidak pernah terpercik pikirannya untuk kembali ke tempat ini.
"Sampai kemarin pagi, aku mendengar suara petasan yang ramai di luar, baru aku ingat hari itu tanggal satu tahun baru." demikian dia melanjutkan ceritanya, "sudah tentu aku tidak ingin kelaparan di dalam rumah, akhirnya aku keluar juga keluyuran di jalan raya, tapi tak terpikir olehku, begitu aku keluar, lantas aku mendapat kabar yang menakutkan."
"Kabar apa?"
"Kudengar kabar bahwa nona Ting Hun-pin hendak menikah."
"Kabar ini tidak perlu dibuat takut." ujar Yap Kay tertawa dipaksakan. "Tapi...." Cui Giok-tin menunduk, "waktu itu aku kira dia... dia hendak menikah dengan kau."
Bila seorang gadis mendengar laki-laki idamannya hendak menikah, sudah tentu berita ini dianggapnya amat menakutkan.
Yap Kay dapat memaklumi perasaan orang, dia sendiri dulu pernah mengalami kejadian ini, maka dia menghela napas rawan.
"Kudengar pula bahwa nona Ting hendak menikah dengan seorang laki-laki yang terluka, maka aku lebih yakin bahwa pengantin laki-lakinya pasti kau. Waktu itu meski hatiku mendelu, namun aku mengharap bisa melihatmu sekali lagi di perjamuan, maka aku membawa kado, ku antara ke hotel Hong-ping."
Yap Kay tertawa getir, diapun mengirim kado, kado yang luar biasa. Setelah tahu akan kabar pernikahan Ting Hun- pin, maka dia lantas berkeputusan untuk berusaha berdaya mengobati luka-luka Kwe Ting. Sayang dia sendiri tidak punya kemampuan dalam bidang ini, maka di dalam waktu semalam itu, dia berlari tujuh ratus li pulang pergi, mengundang Kek Pin datang.
Cui Giok-tin menggigit bibir, katanya pula: "Tapi setelah malam tiba, aku tak berani hadir dalam perjamuan itu."
"Kau tidak berani?" Yap Kay menegas, "apa yang kau takuti?"
"Aku. mendadak aku takut menemuimu."
"Jadi waktu itu kau belum tahu bahwa pengantin laki-laki bukan aku?" "Belum tahu! Maka aku lantas mengeram diri di dalam rumah. Ku beli sedikit arak, kuminum sendiri di sini, kupikir, bolehlah anggap akupun sedang minum arak perjamuan perkawinan kalian."
Seperti ditusuk hati Yap Kay, katanya: "Jikalau aku tahu kau berada di sini, aku pasti kemari menemani kau."
Cui Giok-tin akhirnya tertawa manis. Lama sekali baru dia menambahkan: "Setelah minum arak, tak tertahan besar keinginanku untuk menengokmu."
"Kau pergi tidak?"
"Lama aku bimbang, pulang pergi tak bisa ambil keputusan, bukan saja aku kuatir aku takkan bisa menahan emosi setelah melihat kalian, namun jikalau untuk selamanya aku takkan melihatmu lagi, akupun tidak rela. Akhirnya aku berkeputusan juga."
"Keputusan apa?"
"Umpama tidak hadir dalam perjamuan pernikahan itu, cukup asal aku mengintip dari luar saja."
"Dan kau pergi juga kesana?"
"Kemarin adalah tanggal satu tahun baru. Setelah hari menjadi gelap, jalan raya menjadi sepi tiada orang lewat, lama aku keluyuran di jalan-jalan raya, baru memberanikan diri, menyusup masuk dari belakang hotel. Tapi begitu aku berada di dalam, aku lantas mendapat firasat jelek karena keadaan teramat ganjil."
"Apanya yang ganjil?" "Hotel sebesar itu dalam suasana perjamuan lagi, kenapa sunyi senyap tak terdengar suara apa-apa? Bukan saja tidak mirip adanya perjamuan pernikahan, umpama keluarga yang sedang berkabungpun tidak sesunyi itu."
Yap Kay merasakan keganjilan ini, tanyanya: "Aku tahu yang hadir dalam perjamuan itu tidak sedikit jumlahnya, bagaimana mungkin tidak terdengar suara apapun?"
"Akhirnya aku sampai ruangan perjamuan di mana upacara sembahyang bagi kedua mempelai diadakan. Waktu aku melongok ke dalam dari luar jendela....." tiba-tiba terunjuk mimik ketakutan yang mengerikan, seperti melihat pemandangan yang seram, ngeri dan menakutkan sekali.
"Apakah yang kau saksikan?" tanya Yap Kay dengan tegang.
"Aku......aku...." suaranya gemetar, lama sekali baru dia kuat melanjutkan, "kulihat ruang perjamuan itu penuh ditaburi darah segar yang muncrat kemana-mana, mayat- mayat bergelimpangan, tiada seorangpun yang ketinggalan hidup."
Yap Kay melongo. Seolah-olah badannya mendadak kejeblos ke dalam jurang neraka yang gelap-gulita.
"Waktu itu aku kira kaupun berada di dalam, maka tanpa hiraukan apa akibatnya, segera aku menerjang masuk," sampai di sini dia menghela napas lirih, katanya menyambung
: "Sampai pada waktu itu, baru aku tahu, nona Ting bukan hendak menikah dengan kau."
"Kau.....kau melihat pengantin prianya?, suara Yap Kay gemetar, "dia sudah mati?" Cui Giok-tin manggut-manggut, sahutnya: "Kematiannya amat mengenaskan."
"Lalu Ting Hun-pin?", walau tidak bertanya, tak tertahan Yap Kay bertanya juga, "apakah dia juga. "
"Dia tidak mati, waktu itu hakikatnya dia tiada dalam ruang perjamuan itu."
Yap Kay menghela napas panjang, sedikitnya lega hatinya, namun dia keheranan dibuatnya. Setelah dia berpisah dengan Ting Hun-pin, apakah dia langsung pulang? Kwe Ting dan lain-lain bagaimana bisa mati seluruhnya? Siapakah pembunuh kejam ini? Orang yang hadir dalam perjamuan itu tidak sedikit jumlahnya, tidak banyak orang yang mampu menurunkan tangan sekeji itu terhadap sekian banyak orang.
"Walau waktu itu aku amat kaget dan mengkirik ketakutan, tapi setelah melihat kau tidak di antara mayat- mayat itu, legalah hatiku."
Tiba-tiba Yap Kay bertanya: "Adakah kau melihat empat orang yang berpakaian kuning emas?"
"Aku tidak memperhatikan orang lain, juga tidak berani menelitinya satu persatu," namun sebentar dia berpikir, lalu berkata pula: "Tapi di antara mayat-mayat yang bergelimpangan itu, memang seperti ada beberapa orang yang mengenakan jubah kuning."
Bertaut alis Yap Kay, katanya: "Kalau merekapun mati, lalu siapakah pembunuhnya?"
"Akupun tidak habis mengerti, dalam dunia ternyata ada manusia seganas ini, yang terpikir olehku hanya lekas-lekas meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Tak nyana baru saja aku hendak berlalu, tiba-tiba kudengar suara lambaian pakaian dari orang-orang yang berjalan malam. Karena tempat itu memang terlalu sunyi, maka aku bisa mendengarnya dengan jelas, bukan saja gerak-gerik para pendatang itu cepat dan tangkas, malah bukan hanya seorang saja."
Terbeliak mata Yap Kay, katanya: "Mungkinkah para pembunuh itu putar balik kembali?"
"Waktu itu akupun menduga demikian, saking ketakutan sampai kakiku terasa lemas lunglai, maka aku tidak berani tinggal lama-lama di sana, jikalau diriku dilihat mereka, celakalah jiwaku, untung aku ada sedikit belajar silat. Dalam gugupku, ilmu silatku naga-naganya jauh lebih maju dari biasanya, sekali lompat, ah, begitu tinggi."
'Apakah kau melompat naik ke atas belandar di tengah ruang perjamuan itu?"
"Aku sembunyi di atas, napaspun kutahan-tahan, namun tak tertahan aku melongok ke bawah."
"Apa yang kau lihat?"
"Kulihat beberapa orang yang berpakaian serba kuning begitu menerjang masuk dari luar, mereka bekerja cepat dan cekatan. Satu-persatu mayat-mayat itu mereka lempar keluar lewat jendela, kelihatannya ada orang yang menampani di luar jendela. Dalam waktu sekejap, mayat- mayat yang memenuhi rumah itu sudah diangkut mereka seluruhnya." Membesi hijau muka Yap Kay, tanyanya: "Kau melihat jelas bila mereka benar-benar mengenakan seragam kuning?"
"Aku melihat dengan jelas, karena warna kuning mereka teramat menyolok di bawah pancaran sinar api, kelihatan kemilau seperti sinar emas murni."
Terkepal tinju Yap Kay, desisnya: "Ternyata memang merekalah yang turun tangan sekeji ini."
"Tapi aku tidak melihat mereka membunuh orang."
"Kalau bukan mereka yang membunuh, buat apa mereka wakili pembunuh mengangkuti mayat-mayat itu?"
"Setelah mereka membunuh orang, apakah hendak melenyapkan mayat-mayat itu?"
"Membunuh orang menutup mulutnya, menghilangkan mayat-mayat melenyapkan jejak, memang merupakan sepak terjang Kim-ci-pang yang paling menonjol."
"Kim-ci-pang?" tanya Cui Giok-tin tidak mengerti, "orang macam apakah Kim-ci-pang itu?"
"Mereka bukan manusia."
Melihat muka orang yang murka, Cui Giok-tin tidak berani bertanya pula. Sesaat dia ragu-ragu, lalu katanya: "Belakangan aku melihat nona Ting pula."
"Dimana kau melihatnya?" hampir berteriak pertanyaan Yap Kay.
"Di sana juga!" "Dia kembali pula?" "Setelah orang-orang jubah kuning membersihkan mayat- mayat itu, dia kembali pula."
"Waktu itu kau belum menyingkir?"
"Aku sudah ketakutan sampai lemas di atas belandar, setengah harian aku menyembunyikan diri di sana, baru saja aku sempat ganti napas, mereka lantas datang."
"Mereka? Jadi dia tidak seorang diri?" "Masih ada seorang lain."
"Siapa orang itu?"
"Seorang tua yang aneh dandanannya, tengah malam kok membawa payung."
"O, kiranya Kek Pin." Yap Kay mengerti. "Kau mengenalnya?"
"Bukan saja kenal, malah dia teman lamaku."
Cui Giok-tin menghela napas, katanya: "Kalau begitu sekarang temanmu berkurang satu lagi."
Berubah muka Yap Kay, serunya: "Diapun mati?" "Kematiannya amat mengenaskan."
"Siapa yang membunuhnya?"
"Merekapun amat heran waktu mendapatkan mayat- mayat itu sudah dipindah bersih, namun mereka tidak berhenti lama, juga tidak menemukan aku yang berada di atas belandar."
"Belakangan bagaimana?" "Begitu mereka pergi, aku lantas melorot turun. Tiba- tiba kudengar ada orang meniup seruling di luar, merekapun mendengar suara seruling ini, segera berlari balik, setelah ubek-ubekan di pekarangan, meraka lantas mengejar ke luar tembok."
"Dan kau?"
"Kulihat sikap mereka amat prihatin dan tegang, timbul juga rasa ketarikku."
"Maka kaupun mengintil di belakang mereka?"
"Aku tidak menguntit mereka, hanya sembunyi di atas tembok mengawasi keluar."
"Apa pula yang kau saksikan?"
"Di luar terdapat sepucuk pohon, kelihatan ada lampion yang tergantung di sana, di bawahnya berdiri satu orang."
"Siapa dia?"
"Jarakku terlalu jauh, tidak melihat jelas, untung waktu itu hening lelap, maka percakapan mereka dapat kudengar jelas sekali."
"Apa saja yang mereka bicarakan?"
"Setelah nona Ting mendekati, kelihatannya dia menjerit kaget, lalu tanya apakah orang itu adalah Pu. "
"Putala?" teriak Yap Kay.
Cui Giok-tin manggut-manggut, "Benar Putala, kudengar nona Ting menyebut nama ini."
"Bagaimana jawaban orang itu?" "Dia mengakui, dikatakan pula bahwa dirinya ibarat sebuah puncak tunggal yang amat tinggi."
"Hu-hong Thian-ong?"
"Belakangan baru aku tahu orang itu ternyata adalah salah satu dari Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau."
"Apakah Kek Pin mati di tangannya?"
"Demi menolong nona Ting, baru Kek-lo-sian-sing terkena sekali pukulan telapak tangannya, tapi orang itupun terkena senjata rahasia Kek-lo-sian-sing. Ku dengar Kek-lo-sian-sing ada memberitahu kepada nona Ting, bahwa senjata rahasianya itu teramat lihay." sampai di sini Cui Giok-tin menghela napas lalu menyambung, "tapi pukulan telapak tangannya itu lebih menakutkan, Kek-lo-sian-sing hanya kena sedikit tepukannya, jiwanya sudah tidak tertolong lagi."
Yap Kay terbeliak lagi. Dia cukup mengerti di mana tingkat kepandaian ilmu silat Kek Pin, juga tahu sampai dimana kelihayan ilmu pengobatan Kek Pin. Dengan bekal ilmu silat dan ilmu pengobatannya, umpama benar ada orang melukai dia, tentunya dia cukup mampu untuk menolong jiwanya sendiri.
Sungguh Yap Kay tidak mau percaya bahwa dalam dunia ini betul-betul ada pukulan telapak tangan selihay itu. Masakah hanya sekali tepuk, jiwa dan sukma Kek Pin terpaksa berpisah.
"Tapi dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan Kek-lo-sian-sing terjungkal roboh, tepat roboh di tempat di mana pengantin pria roboh juga." Ceritanya ini agaknya masih terdapat sisipan yang dipersingkat. Kecuali pengantin pria pertama, apakah masih ada pengantin pria kedua?
Hal ini orang lain mimpipun takkan mengiranya, tapi Yap Kay justru dapat merabanya. Dia cukup memahami hati dan jiwa Ting Hun-pin, seperti pula dia memahami dirinya sendiri. Maka Yap Kay tidak merasa heran atau di luar dugaan setelah mendengar cerita Cui Giok-tin. Malah Cui Giok-tin sendiri merasa di luar dugaan. Dia kira siapapun bila mendengar kejadian ini, sedikit banyak pasti keheranan dan menunjukkan reaksinya.
Tapi Yap Kay hanya menghela napas, katanya: "Aku tahu dia pasti akan berbuat demikian?"
"Kau tidak menyalahkan dia?" tanya Cui Giok-tin.
"Jikalau kau adalah dia, aku percaya kaupun akan berbuat demikian, karena kalian adalah gadis bajik dan bijaksana yang mempunyai ketulusan luhur. Kalian sama-sama rela mengorbankan diri sendiri demi orang lain, betapapun kalian tidak akan tega melihat orang lain menderita."
Suara Yap Kay menjadi lembut dan hangat, karena di dalam hatinya hanya ada cinta kasih dan rasa prihatin, tiada terkandung rasa cemburu dan asal menyalahkan.
Sudah tentu Cui Giok-tin tahu, terhadap siapa rasa prihatin dan cinta kasih itu ditujukan. Tak tertahan dia menghela napas, katanya menunduk: "Sayang sekali aku bukan dia, aku. " Yap Kay tidak biarkan orang bicara lebih lanjut, tanyanya tegas-tegas: "Waktu kau pergi, dia masih berada di tengah kobaran api itu?"
Cui Giok-tin manggut-manggut, katanya dengan tertawa dipaksakan: "Tapi kau boleh tidak usah kuatir, sekarang dia pasti masih hidup segar bugar."
"Karena di dalam puing-puing itu tidak ditemukan mayatnya." ujar Yap Kay.
"Dan karena dia memang gadis bajik yang bijaksana, orang baik pasti dilindungi Yang Kuasa. Aku percaya lekas sekali kalian pasti akan bertemu."
Yap Kay berpaling, dia tidak tega melihat mimik muka orang.
Cahaya surya cemerlang di luar jendela, musim semi kelihatannya sudah akan kunjung tiba. Tiba-tiba dia berdiri melangkah kesana mendorong daun jendela, gumamnya: "Apapun yang terjadi sekarang aku sudah mendapatkan dua kepastian."
Cui Giok-tin diam saja, dia sedang mendengarkan. "Perduli Putala itu siapa, sekarang pasti sudah terluka,
tidak sukar untuk menemukan dia." "Kau ingin mencarinya?"
"Tapi aku akan mencari seseorang yang lain." "Mencari siapa?"
"Pembunuh kejam itu."
"Kau. sekarang juga kau hendak pergi?" "Sekarang juga aku harus pergi," ujar Yap Kay mengeraskan hati, "kau. kau boleh menungguku di sini, aku
pasti kembali."
Sebenarnya hatinya tidak tega, suaranyapun sudah serak.
Cui Giok-tin menunduk mengawasi kakinya, lama sekali baru dia bersuara: "Kau tidak usah kembali kemari."
"Kenapa?"
"Karena aku. tidak akan menunggumu di sini."
Suaranyapun mulai gemetar serak.
Tak tahan Yap Kay berpaling, tanyanya: "Kenapa?"
Semakin dalam kepala Cui Giok-tin, katanya sepatah demi sepatah: "Karena aku bukan dia, aku. "
Dia tidak melanjutkan kata-katanya, kata-katanya menghancurkan sanubarinya sendiri.
Hati Yap Kay seperti ditusuk sembilu.
"Kau hendak kemana?", tanyanya kemudian.
"Banyak tempat bisa kudatangi. Memang aku sudah ada minat untuk pergi kemana-mana, kelak......." dia tahan air matanya, mengunjuk senyuman dipaksakan, "mungkin aku bisa bertemu dengan laki-laki jujur, pandai dan rajin bekerja, menikah sama dia, akan kulahirkan putra-putri yang banyak, mungkin juga aku akan membuka sebuah warung arak. Biarlah aku jadi nyonya majikan yang selalu menunggu tungku menghangatkan arak. "
"Di kala itu pasti aku akan berkunjung ke warung arakmu dan minum sampai mabuk," ujar Yap Kay tertawa. Tawanyapun dipaksakan, karena dia kuatir bila dia tidak tertawa, air mata sendiripun mungkin sudah bercucuran.
Cui Giok-tin tersenyum gembira, katanya: "Tatkala itu aku pasti akan masak semangkok bubur ayam dengan kuah kolesom, atau bubur ayam sarang burung."
Diapun tertawa, tapi air mata sudah meleleh membasahi pipi.
ooo)dw(ooo Cahaya matahari terang benderang.
Yap Kay tengah melangkahkan kakinya di bawah terik matahari ini.
Walau mukanya sudah tiada bekas-bekas air mata, namun dia tahu air mata dan darah segar lekas sekali akan menjadi kering di tingkah terik matahari.
Kalau air mata tidak berbekas, sebaliknya darah tetap meninggalkan noktah-noktah hitam dan noktah-noktah hitam ini akan bisa tercuci bersih kecuali dengan air mata darah pula.
Hutang darah di bayar darah hutang jiwa dibayar jiwa.
Selamanya Yap Kay mengutamakan 'pengampunan' untuk menghadapi dendam kesumat, pisaunya selama ini tak pernah membunuh orang yang tidak perlu di bunuh. Tapi kini sanubarinya dibakar oleh dendam, diliputi amarah sakit hati yang menyala-nyala.
Mendadak dia menyadari bahwa dirinya tak ubahnya seperti boneka kayu yang lucu dan menggelikan, selalu diikat seutas benang yang tidak kelihatan oleh seseorang, dijinjing di tangannya.
Sudah tentu dia tidak sudi dipermainkan begitu rupa, sudah tentu lebih tidak sudi diperalat oleh orang lain. Tiada manusia dalam dunia ini yang sudi dijadikan boneka. Siapapun dan betapapun besar kesabarannya pasti ada batasnya juga, demikian pula Yap Kay adanya.
ooo)dw(ooo
Bumi nan luas yang semula ditaburi bunga salju, kini mulai menunjukkan muka aslinya yang gundul gersang oleh teriknya matahari.
Jalan besar yang becek di luar kota Tiang-an kini sudah kering, namun tetap tidak kelihatan ada orang lewat di jalan raya untuk menempuh perjalanan. Memangnya siapa yang mau tanpa keperluan penting menempuh perjalanan jauh di jalan raya yang kering kerontang di bawah terik matahari?.
Hanya Yap Kay. Dia sudah mendapatkan sebuah kereta, namun tiada orang yang pegang sais. Tapi dia tidak perduli. Dia merebahkan diri di dalam bagasi kereta arang yang terbuat dari kayu keras dan kotor itu.
Keledai dibiarkan jalan sesukanya menuju arah menyusuri jalan raya ke luar kota. Arang yang keras terasa menusuk kulit punggungnya, namun dia tidak memperdulikan juga.
Keledai penarik kereta ternyata jalannya tidak pelan, tanpa sais dan tidak ada orang yang menggebahnya lari dengan cemeti, namun di bawah teriknya matahari ini, dia malah menarik kereta lebih cepat, lebih semangat dan mengerahkan setaker tenaganya. Keledai memang begitulah sifatnya. Anehnya kebanyakan manusia di dalam dunia ini memiliki watak dan karakter yang mirip keledai.
Sebelum berangkat tadi, Yap Kay ada mampir ke sebuah warung membeli sebungkus kacang kulit. Sambil rebah di dalam kereta, satu persatu dia menguliti kacang, setiap butir kacang dia lempar ke atas terus mulutnya terbuka mencaplok kacang yang meluncur jatuh lalu pelan-pelan mengunyahnya. Dia sendiri tidak tahu sejak kapan dia mempunyai kebiasaan seperti ini, mungkin memang benaknya belum melupakan Liok Siau-ka si ahli pedang yang selalu mengunyah beberapa butir kacang lebih dulu sebelum membunuh orang. Sayang sekali tiada arak, tadi dia lupa membeli arak.
Di waktu dia teringat akan arak itulah, di kejauhan depan sana dilihatnya selarik ujung kain hijau, melambai tertiup angin di dedaunan lebat di pinggir hutan. Walau hari itu tanggal dua masih dalam suasana tahun baru, namun masih ada juga yang buka toko atau warung untuk cari untung.
Segera terkulum senyuman puas pada muka Yap Kay, gumamnya seorang diri: "Agaknya nasibku mulai baik kembali."
Bila ingin minum arak segera keinginannya bisa terlaksana, bukankah itu merupakan suatu rejeki dan nasib yang baik?
Bergegas dia lompat bangun dan menghentikan kereta di pinggir jalan. Pelan-pelan dia melangkah ke dalam hutan kurma yang masih ditaburi kembang salju. Betul juga tak jauh dari jalan raya, di tengah hutan kurma itu terdapat sebuah warung arak kecil. Tampak tujuh delapan orang berdiri di luar warung kecil itu tanpa bergerak, mata mendelong mulut melongo, seolah-olah manusia-manusia lempung layaknya. Satu diantaranya ada yang menggubat batok kepalanya dengan selarik kain putih yang terembes darah. Begitu melihat Yap Kay mendatangi, raut mukanya seketika menampilkan rasa ketakutan.
Yap Kay malah tersenyum senang. Dia kenal betul siapa laki-laki yang dibalut kepalanya ini, karena dia inilah bajingan setempat yang semalam mengajak dirinya duel dan akhirnya mengeroyoknya setelah dirinya mabuk.
"To-pau-cu, To-toako," begitu dekat Yap Kay segera menyapa.
Tiba-tiba Yap Kay ingat panggilan temannya kepada laki- laki ini. Dengan tertawa segera dia menghampiri, katanya: "To-toako (engkoh gundul) kau sudah tidak mabuk lagi?"
Menghijau muka To-pau-cu (harimau gundul), ingin dia manggut, namun lehernya seperti mengejang, seluruh badannya seakan-akan sudah keras seperti kayu yang dijemur kering. Bukan saja dia, tujuh temannya yang lainpun sama keadaannya.
Yap Kay semakin lebar senyumannya, katanya: "Orang yang dihajar tidak takut, kenapa orang yang menghajar malah ketakutan? Apakah tulang-tulangku terlalu keras sehingga tangan kalian kesakitan? Kalau demikian, wah, maaf ya!"
Memang benar rekaan Yap Kay, jari-jari tangan dan punggung tangan orang-orang itu memang melepuh bengkak menghijau, rasa sakitnya bukan buatan. Memang, jikalau seseorang sudah berhasil meyakinkan ilmu silat setingkat Yap Kay, walaupun di dalam keadaan mabuk seperti anjing geladak yang tak ingat diri, dia tetap memiliki kepandaian lain untuk melindungi badan.
"Tapi kalian tak usah takut," demikian ujar Yap Kay, "aku kemari bukan mencari perkara dengan kalian, bisa tidur semalam di atas tumpukan sampah, memang rada lucu dan menggelikan juga, seumur hidup baru pertama kali ini. Aku memang ingin mengucapkan terima kasih kepadamu."
Dia tepuk-tepuk pundak To-pau-cu, katanya pula: "Marilah, biar aku traktir kalian minum sepuasnya."
Mimik muka To-pau-cu justru semakin pucat dan lebih menakutkan.
"Apa lagi yang masih kau takuti?" tanya Yap Kay.
"Lotoa," ujar To-pau-cu gemetar dengan suara dipaksakan, "kami sudah tahu kau memang berisi, namun bukan kau yang kami takuti."
Yap Kay melenggong. Baru sekarang dia menyadari, bahwa orang takut kiranya bukan menakuti dirinya. Katanya tertawa getir: "Lalu apa yang kalian takuti?"
To-pau-cu tertawa menyengir, katanya: "Kami hanya takut kau menyentuh barang yang ada di atas kepala kami, kalau sampai barang ini jatuh, kematianlah bagian kami."
Baru sekarang Yap Kay melihat di atas kepala orang- orang ini semuanya ditaruh sekeping uang logam. Uang tembaga ini kelihatan ditingkah sinar matahari, mirip benar dengan uang emas. "Kim-ci-pang?"
To-pau-cu menghela napas lega, katanya:" Kiranya kaupun sudah tahu aturan dari Kim-ci-pang, legalah hatiku."
Yap Kay mengedip-ngedipkan mata, tanyanya: "Aturan apa sih?"
Sebetulnya dia tahu aturan Kim-ci-pang. Uang tembaga di atas kepala mereka ini merupakan lambang mati hidup jiwa mereka, jikalau orang-orang Kim-ci-pang menaruh sekeping uang tembaga ini di atas kepalamu, maka bergerakpun orang tidak akan berani, karena kalau bergerak sampai uang ini jatuh, maka jiwa orang itupun pasti direnggut elmaut.
"Apakah kau tidak tahu, bila kau sentuh uang tembaga di atas kepala kami sampai jatuh, maka matilah kami, demikian pula kaupun harus mati, kita semua harus mati bersama."
Yap Kay tertawa lebar, katanya geleng-geleng: "Ah! Ada- ada saja peraturan ini. Aku tidak percaya!"
Tiba-tiba dia ulur tangan menjemput uang tembaga di atas kepala To-pau-cu, mulutnya mengguman: "Uang seketip ini, entah laku tidak untuk membeli secangkir arak."
Saking ketakutan pucat dan mendelik kaku mata To-pau- cu, seperti badannya tiba-tiba dihajar dengan cambuk, tiba- tiba lemas lunglai kedua kakinya, tanpa kuasa dia lutut menyembah di depan Yap Kay.
Yap Kay seperti tidak melihatnya, katanya pula: "Uang seketip tentunya tidak cukup untuk beli arak, untung di sini masih ada yang lain." Badannya tiba-tiba melambung ke atas, waktu dia meluncur turun pula, uang tembaga di atas kepala ke tujuh orang itu sudah berada di tangannya.
Sudah tentu orang-orang itu ikut ketakutan dan melongo, selama hidup mereka kapan pernah melihat kepandaian silat orang yang begini lihay dan hebat.
Mendadak To-pau-cu yang berlutut di tanah berteriak keras: "Kehendaknya sendiri melakukan pembangkangan ini, sedikitpun tiada sangkut-pautnya dengan kami."
Yap Kay tersenyum, katanya: "Memang, hal ini tiada sangkut pautnya dengan kalian." lalu dijemputnya beberapa butir kacang, diletakkan di telapak tangan To-pau-cu, katanya: "Tahukah kau apakah maksudnya ini?"
Sudah tentu To-pau-cu tidak tahu.
Yap Kay berkata pula: "Itu berarti sekarang kalian boleh berdiri dan masuk ke warung minum arak, atau kemanapun kalian mau pergi terserah. Jikalau orang-orang Kim-ci-pang berani mencari perkara terhadap kalian, suruh mereka kemari memenuhi Pangcu dari Hoa-seng-pang. Katakan saja bahwa Pangcu dari Hoa-seng-pang telah menangani persoalan ini."
Tak mengerti maka To-pau-cu bertanya gugup: "Si. siapakah Pangcu dari Hoa-seng-pang?"
Yap Kay tuding hidungnya sendiri, katanya: "Aku inilah!" To-pau-cu mendelong melongo. Tiba-tiba terdengar seseorang berkata dingin: "Baik sekali! Kalau begitu biar sekarang juga kami mencari perkara kepadamu."
Suara yang dingin, nada yang rendah menggiriskan. Pembicarapun seorang yang memiliki muka kuning dingin, matanya jalang seperti serigala buas, hidung bengkok seperti paruh elang, mukanya dihiasi beberapa baris bekas luka-luka bacokan senjata yang melintang, sehingga kelihatan mukanya yang seram itu lebih menakutkan lagi.
Yap Kay memperhatikan tampang orang. Yap Kay hanya memperhatikan pakaian yang dikenakan orang itu. Pakaian serba kuning yang menyolok pandangan, di bawah terik matahari kelihatan seperti emas yang kemilau. Pembicara ini berdiri di undakan batu di depan warung, masih ada tiga orang yang berseragam sama berdiri di sampingnya.
Yap Kay tertawa pula, katanya: "Pakaian yang kalian pakai ini memang baik, entah boleh tidak ditanggalkan dan diberikan kepadaku. Kebetulan untuk dipakai keledaiku yang kepanasan."
Laki-laki baju kuning menatapnya lekat-lekat, pelan-pelan kelopak matanya memicing, ternyata dia cukup tabah dan sabar, katanya kalem: "Apakah kau belum tahu akan aturan Pang kita?"
"Barusan sudah kudengar."
"Selama empat puluhan tahun, tiada orang Kang-ouw yang berani memandang rendah tata tertib dan aturan Pang kita. Tahukah kau kenapa demikian?"
"Coba kau katakan, kenapa?" "Karena siapapun yang berani melanggar aturan Pang kita, maka dia harus mampus."
Seorang baju kuning yang lain menyambung dingin: "Perduli kau ini Pangcu Hoa-seng-pang atau Kwa-cu-pang, Pangcu lain sama saja, kau harus mampus."
Yap Kay menghela napas, katanya: "Tapi aturan apapun, cepat atau lambat pasti akan dilanggar orang juga, seperti pula seorang gadis pingitan yang perawan ting-ting, akhirnya dia toh harus kawin juga dengan seorang laki-laki."
Orang baju kuning saling pandang, dengan menarik muka, serempak mereka beranjak maju menaiki undakan batu. Langkah ke empat orang sama-sama berat dan tenang mantap, terutama laki-laki yang mukanya penuh codet luka- luka, kedua Thay-yang-hiat di pelipisnya keluar, otot-otot hijau di kedua tangannya merongkol keluar, agaknya dia ini seorang tokoh kosen dari Bu-lim.
Yap Kay mengawasi tangan orang, tiba-tiba dia bertanya: "Apakah tuan ini pernah meyakinkan Tay-lik-eng-jiau-kang?"
Laki-laki yang ditanya hanya menyeringai dingin.
"Kulihat codet di mukamu ini, apakah kau ini Thi-bin-eng (Elang muka besi) dari Hoay-se?"
Laki-laki itu tertawa dingin, katanya: "Ternyata tajam juga matamu."
Tiba-tiba Yap Kay menarik muka, katanya: "Tahukah kau orang macam apa sebenarnya Kwe Ting itu?"
"Agaknya pernah kudengar namanya." "Dia adalah teman baikku." "Memangnya kenapa kalau temanmu?" tanya Thi-bin-eng. "Tahukah kau apa aturan Hoa-seng-pang?"
"Ada aturan apa?"
"Aturan Hoa-seng-pang mengatakan, siapapun dilarang membunuh temanku, kalau tidak. "
"Kenapa?"
"Begini." seru Yap Kay. Mendadak dia turun tangan, tinjunya terkepal keras dan terayun menghajar muka Thi- bin-eng.
Thi-bin-eng bukan kaum keroco, dia cukup mempunyai kepandaian sejati, bukan saja namanya amat tenar dan disegani di daerah Hoay-se, di kalangan Kang-ouw diapun terhitung tokoh kelas satu, karena dia memang memiliki kepandaian asli.
Eng-jiau-kang yang dia yakinkan memang benar-benar sudah mendapat warisan dari Eng-jiau-ong yang tulen. Hoay- se-toa-to yang dulu pernah tercantum di dalam buku daftar alat senjata Pek Hiau-seng, walau berhasil membacok luka- luka mukanya, namun dia tidak terbacok mati, malah Hoay- se-toa-to sendiri akhirnya mati oleh kekuatan Eng-jiau-kang yang hebat. Maka julukan Thi-bin-eng dia peroleh karena kemenangannya yang gemilang itu.
Umumnya, Eng-jiau (Cakar elang) amat cepat, demikian pula matanya amat jeli, tapi begitu dia melihat Yap Kay mengayun tangan, tahu-tahu tinju orang sudah menghajar hidungnya dengan keras. Dia tidak merasakan sakit. Untuk benar-benar merasakan sakit yang luar biasa adalah kejadian selanjutnya. Kini yang dia rasakan hanyalah pandangannya tiba-tiba menjadi gelap, mendadak kunang-kunang bertebaran di depan matanya, pelan-pelan menyebar. Dia tidak segera terjungkal roboh. Setelah badannya melayang setombak lebih menerjang saka salah satu tiang warung kecil itu, baru badannya terpental balik dan roboh terbanting dengan keras. Sampaipun suara remukan dari tulang hidungnya yang terpukulpun dia tidak mendengar, malah orang lain yang mendengar dengan jelas sekali.
Yap Kay awasi muka orang yang hancur, katanya tertawa: "Ternyata bukan muka besi yang asli, kiranya mukamupun bisa ku pukul hancur."
Ketiga temannya sama kertak gigi, melirikpun tidak kepada teman yang dihajar itu. Sekonyong-konyong sinar gemerlap kemilau saling samber, tahu-tahu tiga orang serempak mengeluarkan senjata. Sebilah golok, sebatang pedang, dan sepasang Boan-koan-pit. Dua jurus kemudian Yap Kay sudah tahu, bukan si muka besi yang berkepandaian paling tinggi di antara empat orang lawannya ini, bukan pula si orang tua yang bersenjata sepasang potlot baja, namun justru pemuda yang bersenjatakan pedang.
Ilmu pedang pemuda ini cepat dan ganas, banyak perubahan dan variasinya. Pedang yang dipakaipun terbuat dari baja pilihan. Tiga belas jurus kemudian Yap Kay tetap belum turun tangan, atau balas menyerang sejuruspun kepada lawan. Bila dia mau turun tangan, pasti musuhnya tidak akan luput dari hajarannya yang parah. Saat itulah ia sudah mulai bergerak. Sekonyong-konyong terdengar teriakan kaget disusul tulang rusuk yang remuk, terus suara gebukan yang keras dari jatuhnya sesuatu yang berat. Tahu-tahu si orang tua yang bergaman sepasang potlot telah tertutuk Hiat-tonya, sedangkan laki-laki yang bersenjata golok memeluk dada meringkel rebah di tanah berkelejetan, goloknya patah jadi dua. Hanya pemuda bersenjata pedang yang tidak roboh, namun mukanya sudah pucat pias saking kaget dan ketakutan.
Seenaknya saja Yap Kay lemparkan kutungan golok di tangannya. Mendadak dia bertanya kepada si pemuda: "Tahukah kau kenapa aku harus mengutungi goloknya?"
Pemuda itu geleng-geleng.
Yap Kay berkata tawar: "Karena serangannya terlalu telengas, maksud serangannya amat jahat pula, manusia seperti dia hakikatnya tidak setimpal bersenjatakan golok."
Pemuda itu menggenggam kencang pedangnya, tiba-tiba bertanya: "Kaupun pakai golok?"
Yap Kay manggut-manggut. Mungkin tiada manusia lain dalam dunia yang benar-benar paham cara bagaimana harus menggunakan golok, tiada orang lain yang lebih mengerti dan menyelami betapa besar nilai dari mutu sebuah golok daripada Yap Kay.
"Biasanya aku paling menghargai golok." kata Yap Kay, "jikalau kau sendiri tidak menghargai golokmu, maka tidak setimpal kau pakai golok. Jikalau kau menghargai golokmu, maka dikala kau memanfaatkan nilai-nilainya, maka kau harus hati-hati dan bertindak sesuai dengan penghargaanmu." Pemuda itu menatapnya, sorot matanya berganti dari rasa ketakutan menjadi rasa heran dan tak mengerti. Dia sudah tahu bahwa Yap Kay seorang yang luar biasa, orang biasa tak mungkin bisa mengatakan pengertian sedemikian tinggi dan luas.
Maka tak tahan dia bertanya: "Siapa kau sebetulnya?" "Aku she Yap, bernama Kay."
Seketika berubah pula roman muka si pemuda. "Yap Kay!", jeritnya.
"Benar," ujar Yap Kay, "Yap artinya daun-daun pohon, Kay berarti terbuka, hati riang gembira."
Mendadak si pemuda gunakan gerakan setangkas kera jumpalitan ke belakang dengan badan berputar seperti kitiran terus melambung tinggi melesat ke dalam hutan. Badannya meluncur seperti kera ketakutan dikejar pemburu.
Akan tetapi baru saja kakinya menutul bumi, mendadak dirasakannya sekujur angin kencang menerjang tiba. Tahu- tahu selarik sinar berkelebat laksana kilat menyambar melesat lewat dari batok kepalanya, terbang sejauh 5-6 tombak, begitu hebat dan keras kekuatannya. 'Trap...' pisau itu menancap amblas ke dalam pohon, tinggal gagangnya saja yang masih menongol di luar.
Sudah tentu serasa terbang arwah si pemuda saking kaget, segera dia hentikan aksinya. Tahu-tahu rambutnya sudah terurai awut-awutan, gelang mas yang menggelung rambut panjangnya ternyata sudah terpapas putus jadi dua. Sekujur badan serasa dingin mengejang. Selamanya belum pernah dia melihat sambaran pisau secepat ini. Pisau terbang.
Garan pisau masih bergoyang-goyang, Yap Kay lantas mendekati, mencabutnya. Sekali tangannya terbalik, tahu- tahu pisau itu sudah lenyap.
Baru sekarang pemuda itu menarik napas panjang, rasa tegang hatinya mereda.
"Apa benar kau ini Yap Kay?" tanyanya meyakinkan. "Memangnya siapa lagi kalau aku bukan Yap Kay?
Pemuda itu tertawa getir, katanya: "Kenapa tidak sejak tadi kau katakan?"
Yap Kay tertawa-tawa. Mendadak dia balas bertanya: "Apakah kau murid Kim-tam Toan-sian-sing?"
"Darimana kau bisa tahu?" tanya pemuda itu kaget. "Bukankah Thi-bin-eng tadi sudah bilang, pandanganku
selamanya tidak pernah meleset?"
Pemuda itu manggut-manggut, ujarnya: "Memang tajam pandanganmu."
"Kau murid ke berapa dari Kim-tam Toan-sian-sing?", tanya Yap Kay.
"Murid ke tiga!" "Kau she apa?"
"She sip, bernama Bin." "Pernahkah kau jadi sais kereta?" "Tidak!" "Aku tahu kau tidak pernah," ujar Yap Kay tertawa-tawa, "tapi kerja apapun memang harus ada permulaannya.", lalu lanjutnya: "Bawa aku menemui Siangkwan Pangcu kalian, perduli di manapun dia berada, kau harus membawaku menemukan dia." Itulah permintaan Yap Kay.
Kembali Yap Kay rebah di dalam tumpukan arang, matanyapun sudah terpejam. Dia tahu pemuda ini pasti tiada pikiran untuk melarikan diri, orang pasti patuh mendengar petunjuknya. Memangnya siapapun setelah melihat pisau terbangnya, pasti tidak akan berani melakukan sesuatu yang bodoh, apalagi membahayakan jiwa sendiri.
Ternyata Sip Bin benar-benar pegang sais mengendarai kereta itu menempuh perjalanan. Kerja ini baru pertama kali ini dia lakukan seumur hidup. Kini setelah ada orang pegang kendali dan mengayunkan cambuknya, keledai itu malah menjadi malas dan perlahan-lahan jalannya.
Entah sejak kapan Yap Kay mulai kebiasaannya pula menguliti kacang, biji kacang dia lempar lalu di caplok oleh mulutnya. Mendadak dia bersuara: "Khabarnya Kim-tam Toan-sian-sing adalah seorang yang mengutamakan makanan dan pakaian, apa benar?"
"Ehm," Sip Bin menjawab dengan suara dalam tenggorokan.
"Kabarnya murid-murid yang dia terima, semuanya adalah anak atau putra-putra hartawan yang mempunyai kedudukan tinggi dan disegani."
"Ehm" kembali Sip Bin hanya mengiyakan saja. "Dan kau juga?" "Ehm", agaknya Sip Bin ogah membicarakan riwayat hidupnya sendiri. Yap Kay justru mempersoalkan hal ini.
"Kau tidak senang akan menyinggung persoalan ini, apakah kaupun merasa segan bicara?"
Akhirnya Sip Bin terpaksa bicara: "Kenapa harus segan bicara?"
"Karena kaupun tahu, mengandal perguruan dan keluarga besarmu, tidak pantas kau terima menjadi budak di dalam Kim-ci-pang."
Merah muka Sip Bin, katanya membantah: "Aku bukan budak."
"Akupun tahu bahwa kau masuk ke Kim-ci-pang maksudmu adalah untuk melepaskan diri dari belenggu keluarga, kau ingin berjuang dan mengangkat nama demi kehidupan masa depanmu sendiri, memang setiap pemuda harus mempunyai pambek dan cita-cita." Dengan tertawa-tawa Yap Kay menambahkan dengan tawar: "Tapi apa yang kau lakukan sekarang tak ubahnya seperti budak."
"Ini lantaran kau. " Sip Bin ingin membantah dengan
muka merah.
"Benar, akulah yang suruh kau melakukan." ujar Yap Kay, "tapi menaruh uang tembaga di atas kepala orang lain, apakah itu bukan kerja seorang budak?"
Terkancing mulut Sip Bin, dia tak bisa menjawab. "Apalagi aku suruh kau mengerjakan tugasmu sekarang,
karena kau memangnya sudah jadi budak Kim-ci-pang, kalau tidak kau lebih suka jadi kedelai, biar aku menunggangi di punggungmu saja."
Semakin merah padam muka Sip Bin, sorot matanyapun menampilkan rasa duka dan derita.
Tiba-tiba Yap Kay bertanya pula: "Tahukah kau kenapa tadi aku menimpukkan pisau terbangku?"
Sip Bin ragu-ragu, katanya pelan-pelan: "Akupun pernah mendengar pisaumu jarang membunuh orang, namun untuk menolong sesama umat manusia."
"Benar! Timpukan pisauku tadi adalah supaya kau tahu, di dalam Kim-ci-pang, kau tetap tidak akan bisa melakukan kerja besar."
Sip Bin kertak gigi, katanya: "Mungkin lantaran ilmu silatku. "
Yap Kay segera menukas: "Seseorang apakah dia mendapat kehormatan dari orang lain, bukan tergantung ilmu silatnya. Kedua hal ini hakikatnya tiada sangkut pautnya. Jikalau kau melakukan suatu kerja besar yang terang gamblang, pasti takkan ada yang memandang rendah dirimu. Demikian pula pisauku, tidak akan terbang di atas kepalamu." setelah menghela napas dia menyambung: "Kalau tidak umpama aku tidak membunuhmu, cepat atau lambat kau tetap akan terbunuh oleh orang lain."
Kembali mulut Sip Bin terkancing rapat. Kini dia sudah memaklumi apa maksud Yap Kay dengan uraiannya. Yap Kay pun tahu, dia bukan pemuda yang goblok.
"Aku percaya kau pasti tidak akan bikin aku kecewa." Yap Kay menambahkan. Lalu dia menguliti sebutir kacang dilempar ke atas, menunggunya melayang jatuh. Dia tahu kalau biji kacang itu dia lempar ke atas, akhirnya pasti akan melayang jatuh.
Kereta kedelai itu sudah beranjak di jalan raya yang mirip dengan jalan yang berada di kota Tiang-an. Cuma hotel Hong-ping yang ada di jalan raya ini tidak terbakar seperti yang ada di kota Tiang-an, yang tinggal tumpukan puing.
Sambil mengawasi hotel Hong-ping yang kemilau ditingkah sinar matahari, kembali timbul perasaan aneh dalam benak Yap Kay, seperti melihat seseorang yang sudah ajal tiba-tiba hidup kembali. Kenyataannya dia memang pernah melihat seseorang yang hidup kembali sesudah mati. Ada kalanya segala kejadian di dalam kehidupan manusia bermasyarakat ini memang mirip sebuah impian, entah tulen atau palsu, memang jarang orang bisa membedakannya.
Kalau hati Yap Kay tengah berkeluh-kesah, namun mukanya tengah tersenyum. Dia tahu orang-orang di pinggir jalan tengah mengawasi dirinya. Waktu itu kebetulan tengah hari, jadi orang-orang yang ada di jalan raya tidak banyak, seperti pula keadaan di kota Tiang-an, kebanyakan orang banyak menyekap diri di dalam rumahnya untuk makan dan istirahat.
Tapi orang-orang yang mondar-mandir di jalan raya ini, semua bersikap serius, kelihatannya semua tegang hati, seolah-olah sudah tahu bahwa sesuatu kejadian besar akan terjadi, sehingga sanubari mereka dirundung firasat jelek.
Yap Kay tahu, memang di sini sudah terjadi sesuatu peristiwa besar, malah diapun tahu jelas peristiwa ini terjadi gara-gara dirinya. Kini dia berada di sini, kini dia sudah tidak akan bersikap seperti tempo hari, keluar dari tempat ini dengan selamat dan sehat.
ooo)dw(ooo
Kereta keledai berhenti di depan hotel Hong-ping. Begitu Yap Kay melangkah masuk, lantas dilihatnya Siangkwan Siau-sian tengah duduk di meja kasir, sedang membalik- balik buku daftar. Kelihatannya dia memang mirip kasir atau istri pemilik hotel, cuma usianya terlalu muda dan jauh lebih cantik dari istri para pemilik hotel umumnya.
Mendengar langkah Yap Kay yang mendekati, segera dia angkat kepala sambil berseri tawa, katanya: "Aku tahu kau pasti akan datang, memang aku sedang menunggu kedatanganmu."
Yap Kay tidak ingin berdebat dan ribut dengannya.
Memang tiada tempo buat bertengkar.
Mendadak dia bertanya: "Kau sudah menghitung rekening? Apakah kau sedang menghitung berapa orang yang semalam kau bunuh?"
Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya: "Umpama benar aku membunuh orang, selamanya tidak pernah ku catat di dalam buku."
"Lalu apa yang tercatat di dalam buku daftar ini?" "Inilah buku catatan kado," ujar Siangkwan Siau-sian, "di
sini tercatat banyak nama-nama yang aneh, memberikan
berbagai macam kado yang aneh pula." "Diberikan kepadamu?" "Aku sih belum saatnya mendapat keberuntungan sebesar ini," ujar Siangkwan Siau-sian tertawa, "apa kau ingin ku bacakan satu persatu orang-orang pengirim kado yang tercatat di dalam daftar ini?"
Yap Kay diam saja, namun dia tidak menolak.
Yap Kay berdiri di depan meja, mengawasinya, entah mengapa tiba-tiba hatinya sakit seperti ditusuk-tusuk sembilu. Perduli dia memang bersikap sungguh-sungguh atau pura-pura, yang jelas sikap orang memang tidak jelek terhadap dirinya. Pernah beberapa hari mereka hidup bersama, hal itu takkan bisa dia lupakan. Sebetulnya dia tidak mengharap mereka berhadapan sebagai musuh, apalagi musuh besar yang harus menentukan mati hidup dengan duel. Dari sudut apapun pandangannya, Siangkwan Siau-sian sebetulnya tidak pantas menjadi musuhnya.
"Aku sudah siapkan beberapa macam hidangan yang kau sukai. Kini bukankah saatnya makan siang?"
"Aku kemari bukan untuk makan." kata Yap Kay dingin.
Siangkwan Siau-sian tertawa manis, katanya: "Tapi siapapun toh harus makan. Kaupun tidak terkecuali bukan?"
Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Cui Giok- tin mengirim seekor ayam, sekilo sarang burung, Lamkiong Long menyumbang sebuah gambar, Yap Kay mengirim seorang hidup."
Berubah air muka Yap Kay. Sudah tentu dia sudah tahu dafatr siapa buku kado itu.
Siangkwan Siau-sian cekikikan, katanya: "Kenapa Cui Giok-tin mengirimkan ayam, apa dia kira kaulah yang jadi pengantin prianya, supaya kau memasak bubur ayam untuk makan malam bersama istrimu di kamar pengantin?" tanpa memberi kesempatan Yap Kay bicara segera dia menyambung sambil tertawa: "Kado yang paling aneh di dalam daftar ini kukira adalah sumbanganmu, tapi kado yang termahal kukira kau tidak pernah menduga siapakah pengirimnya."
"Siapa? Dan barang apa sumbangannya?"
"Semuanya ada empat orang," ujar Siangkwan Siau-sian, lalu pelan-pelan dia membaca ke empat nama orang.
"Sialpu, Tolka, Putala dan Panjapana." Berubah rona muka Yap Kay.
"Apa saja barang sumbangan mereka?", tanyanya pula.
"Mereka menyumbang sekantong batu permata, di dalamnya ada terdapat pula sebuah lencana kemala," kata Siangkwan Siau-sian sambil mengacungkan tangan. "Lencana inilah!"
Lalu dari dalam laci meja kasirnya dia mengeluarkan sebuah lencana kemala yang di atasnya terukir empat iblis langit. Agaknya dia memang sudah siap untuk memperlihatkannya kepada Yap Kay. Batu kemala ini mengkilap hijau tua dan indah, ukiran iblis-iblis di atasnya sungguh membuat hati Yap Kay terkejut sekali.
"Tahukah kau apa maksud dari lencana kemala ini?" tanya Siangkwan Siau-sian.
Yap Kay tidak tahu. "Inilah lencana penuntut balas," ujar Siangkwan Siau- sian, "kalau Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau mau menuntut balas, maka lencana seperti ini selalu muncul."
Terkepal tinju Yap Kay, desisnya: "Apakah mereka menuntut balas bagi kematian Giok-siau?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, katanya: "Sekantong permata itu pertanda nilai pembelian jiwa dari orang-orang yang mereka bunuh itu."
"Uang pembelian jiwa, apa maksudnya?"
"Sebelum melakukan pembunuhan, Su-thoa-thian-ong sebelumnya harus membeli dulu jiwa sang korban, karena mereka tidak ingin hutang jiwa pada penitisan yang akan datang," Siangkwan Siau-sian menghela napas, "memang tidak sedikit permata yang mereka kirimkan, maka tidak sedikit pula jumlah orang-orang yang telah mereka bunuh."
"Apakah mereka pembunuhnya?"
"Umpama kau ini bukannya orang pikun, tentunya kau sudah tahu siapa pembunuh sebenarnya."
"Tapi kaulah yang menyingkirkan mayat-mayat itu." "Membunuh orang dianggap kejahatan, namun
membereskan mayat orang adalah kerja mulia." "Apa alasanmu membereskan mayat-mayat itu?" "Karena aku ingin mencari satu hal."
"Hal apa?"
"Aku ingin tahu siapa sebenarnya Tolka dan Putala." "Sayang sekali, orang-orang mati takkan bisa bicara, apalagi memberikan keterangan, apa pula gunanya kau membereskan mayat-mayat mereka?"
"Sudah tentu ada gunanya." "Apa gunanya?"
"Aku sudah memperkirakan dengan tetap bahwa waktu itu merekapun ada hadir dalam perjamuan itu."
Yap Kay berpendapat demikian, jikalau mereka tidak hadir dalam perjamuan itu, masakah begitu gampang sekian banyak orang dibunuh.
"Oleh karena itu jikalau orang yang hadir di dalam perjamuan itu ada 100 orang, maka yang mati pasti ada 98 orang."
"Dua orang yang tidak mati pasti adalah Tolka dan Putala."
"Memang aku tahu kau bukan orang pikun." olok Siangkwan Siau-sian.
"Oleh karena itu maka kau bereskan mayat-mayat itu. Kau ingin tahu siapa saja yang telah mampus? Berapa banyak jumlah orang yang mati?
"Benar!"
"Tapi kau tetap tidak berhasil, kau belum tahu siapa dua orang yang tidak mati itu?"
(Bersambung ke Jilid-15)