Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 13

 
Jilid-13

"Giok-siau adalah salah satu dari Su-thoa-thian-ong itu?" "Dialah yang dijuluki Panjapana, Thian-ong asmara, raja

langit yang cabul."

Terkepal kencang jari-jari Ting Hun-pin, namun badannya masih gemetar keras, katanya: "Kwe Ting membunuh Giok- siau karena hendak menolong aku."

"Aku tahu!"

"Kalau aku tidak mengejar keluar, Yap Kay pun tidak akan pergi." ujar Ting Hun-pin menangis pula.

"Kalau Yap Kay tidak pergi, tragedi ini mungkin tidak akan terjadi."

Kek Pin geleng-geleng kepala, katanya: "Jangan kau menyalahkan diri sendiri, semua ini memang sudah dalam rencana mereka."

Ting Hun-pin tidak mengerti.

"Laki-laki baju hitam itu bukan Lamkiong Long, aku kenal Lamkiong Long."

"Lalu siapa dia kalau bukan Lamkiong Long?" tanya Ting Hun-pin kaget. "Diapun orang dari Mo Kau."

"Dia muncul mendadak, memang bermaksud memancing Yap Kay turun tangan?"

"Mereka memang sudah memperhitungkan dengan cermat, bahwa Yap Kay pasti akan menolong jiwa Kwe Ting, merekapun sudah menduga begitu jejak Yap Kay kelihatan, kau pasti akan mengejarnya keluar."

Sudah tentu merekapun sudah memperkirakan, bila Ting Hun-pin keluar, Yap Kay pasti menyingkir.

"Memang, sebelum Su-thoa-thian-ong menunjukkan aksinya, sebelumnya mereka sudah mengadakan persiapan dengan rencana yang rapi dan sempurna, oleh karena itu begitu mereka turun tangan, jarang gagal."

"Kalau demikian orang yang sengaja membongkar kedok muslihat laki-laki baju hitam itu sengaja mengatakan dia adalah Lamkiong Long, kemungkinan adalah salah satu Su- thoa-thian-ong."

"Ya, mungkin sekali!", ujar Kek Pin, tiba-tiba dia bertanya: "Kau bisa tidak membedakan suaranya?"

Ting Hun-pin tidak bisa membedakan.

"Kurasa suara orang itu runcing dan tajam seperti jarum menusuk kuping."

"Masa kau tidak bisa membedakan dia laki-laki atau perempuan?"

"Jelas laki-laki."

"Seseorang bicara mengeluarkan suara dari tenggorokan," demikian kata Kek Pin, "laki-laki setelah tumbuh dewasa, suaranya akan menjadi kasar dan berat, oleh karena itu suara laki-laki biasanya lebih rendah, berat dan kasar serak."

Ting Hun-pin tidak tahu akan seluk beluk ini, belum pernah dia mendengar akan hal-hal seperti ini, tapi dia percaya sepenuhnya. Karena dia tahu Kek Pin adalah seorang tabib sakti yang tiada bandingannya di kolong langit, mengenai ilmu tubuh manusia sudah tentu dia jauh lebih tahu dari orang biasa. Apalagi dia pernah dengar, bahwa di dalam Mo Kau ada semacam ilmu, yang dapat merubah suara tenggorokan orang mengecil dan melengking tajam, berubah dari suara aslinya.

"Oleh karena itu, laki-laki yang normal, suara pembicaraannya tak menjadi tajam merinding, kecuali. "

"Kecuali dia bicara menggunakan suara palsu yang ditekan dari tenggorokan."

Kek Pin manggut-manggut, "Coba kau pikirkan lagi, kenapa dia harus bicara dengan suara palsu?"

"Karena dia kuatir aku mengenali suaranya?"

"Karena aku pasti pernah melihatnya, pernah mendengar suaranya."

"Di antara orang-orang yang hadir memberi selamat pernikahan itu, ada berapa orang yang pernah kau lihat atau kau kenal sebelumnya?"

Ting Hun-pin tidak tahu. "Yang terang aku tidak punya kesempatan untuk meneliti mereka." katanya gigit bibir, "orang-orang yang sempat kulihat sekarang sudah terbunuh semua."

Tak tahan Kek Pin mengepal kedua tinjunya. Setiap langkah kerja Mo Kau yang sudah direncanakan, bukan saja amat teliti dan cermat, merekapun menggunakan cara yang keji.

"Tapi mereka masih meninggalkan sebuah sumber penyelidikan untuk kita." ujar Kek Pin setelah termenung sebentar.

"Sumber penyelidikan apa?"

"Orang utama yang pegang peranan di dalam melaksanakan kerja ini pasti hadir juga di dalam ruang perjamuan itu."

"Ya, pasti ada!", Ting Hun-pin memperkuat keyakinan ini. "Orang yang waktu itu berada di ruang perjamuan dan

kini masih hidup, maka dia itulah orangnya, atau biang keladi dari pembunuhan besar-besaran ini. Bukan mustahil pembunuhnya adalah Su-thoa-thian-ong."

Bercahaya biji mata Ting Hun-pin, "Oleh karena itu bila kita bisa menyelidiki siapa saja orang-orang yang hadir di dalam ruang perjamuan, berhasil menemukan siapa-siapa yang sekarang masih hidup, maka kita akan segera tahu siapa sebetulnya Su-thoa-thian-ong itu."

Kek Pin manggut-manggut, namun sorot matanya tidak bercahaya, karena dia tahu persoalan ini bukan urusan yang gampang diselesaikan, untuk melaksanakan sungguh teramat sukar. "Sayang sekali kita tidak tahu siapa saja tamu yang hadir di dalam ruang perjamuan dan tidak tahu siapa kiranya yang sekarang masih hidup."

"Paling tidak sekarang kita bisa mencari tahu lebih dulu, siapa-siapa saja yang pernah mengirim kado? Lalu siapa saja yang sudah meninggal."

Sekarang berkilat biji mata Kek Pin.

"Nama-nama dan kado yang kita terima ada catatannya di dalam buku daftar tamu."

"Lalu dimanakah buku catatan itu?"

"Tentunya masih berada di dalam hotel Hong-ping." "Cuaca belum terang, mayat-mayat itu pasti masih

berada di ruang perjamuan."

"Tempat apa ini, di mana letaknya?"

"Suatu tempat yang tidak jauh dari hotel Hong-ping."

Ting Hun-pin segera berjingkrak bangun, serunya: "Apa lagi yang kita tunggu?"

Mengawasi orang, sorot mata Kek Pin menunjuk kekuatiran, pukulan batin yang dialami gadis ini bertubi-tubi dan teramat berat, kalau kini kembali pula ke tempat pembunuhan yang seram itu, melihat mayat-mayat dan darah yang berceceran, kemungkinan bisa menjadi gila. Ingin dia membujuknya supaya istirahat, namun belum sempat dia buka bicara, Ting Hun-pin sudah menerjang keluar. Gadis ini ternyata jauh lebih kuat dan keras dari apa yang dia kira semula.

ooo)dw(ooo Ruang perjamuan itu sudah kosong melompong, tanpa seorangpun, sesosok mayatpun tiada lagi.

Kekuatiran Kek Pin atas Ting Hun-pin ternyata berkelebihan, baru saja dia tiba di hotel Hong-ping, lantas didapatinya seluruh mayat-mayat yang bergelimpangan itu sudah diangkut bersih. Hotel sebesar itu sudah kosong tanpa dihuni seorangpun, demikian pula kado-kado itu sudah lenyap seluruhnya, sudah tentu buku catatan itupun sudah lenyap.

Ting Hun-pin menjublek di pinggir pintu. Malam sudah berlarut, mereka belum lama meninggalkan tempat ini, tindak tanduk pihak Ma Kau sungguh teramat cepat dan menakutkan.

Tiba-tiba Kek Pin bertanya: "Kado pertama yang dikirim Su-thoa-thian-ong itu, bukankah berada di kamar kasir juga?"

Ting Hun-pin manggut-manggut.

"Kalau demikian yang mengadakan pembersihan ini pasti bukan kawanan Mo Kau."

"Darimana kau bisa berkesimpulan demikian?"

"Karena permata itu mereka kirim kemari untuk membeli jiwa para korban, jiwa-jiwa para korban sudah mereka beli, tak mungkin permata itu mereka ambil kembali."

"Oleh karena itu mayat-mayat itu pasti bukan mereka yang menyingkirkan."

"Pasti bukan kerja orang-orang Mo Kau." "Lalu siapa kalau bukan mereka? Kecuali mereka, siapa pula yang punya kecepatan kerja?"

Untuk menguras semua kado dan mayat-mayat itu bukanlah suatu kerja enteng dan gampang. Apalagi apa gunanya mereka mengangkut mayat-mayat itu? Ting Hun-pin tidak habis mengerti. Kek Pin pun tidak mengerti.

Angin malam menghembus dari luar jendela, tiba-tiba Ting Hun-pin bergidik kedinginan. Sayup-sayup didengarnya irama seruling yang mengalun, terbawa angin lalu. Suara seruling yang merdu menyedihkan.

Seketika teringat oleh Ting Hun-pin akan peniup seruling yang bermuka pucat kaku itu. Tak tertahan dia bertanya: "Tadi kau tidak membawanya menyingkir?"

Kek Pin geleng-geleng.

"Kenapa dia tetap tinggal di sini?" ujar Ting Hun-pin, "apa pula yang dilihatnya?"

Kek Pin dan Ting Hun-pin serentak menerobos keluar jendela, mereka tahu hanya peniup seruling ini saja yang mungkin bisa menjawab pertanyaan mereka. Mereka harus menemukan peniup seruling ini.

ooo)dw(ooo

Tiada orang. Orang mati atau orang hidup sudah tiada lagi. Kemanakah peniup seruling itu?

Suara seruling seperti kumandang terbawa hembusan angin, kedengarannya dekat sekali, namun tahu-tahu seperti berada di tempat jauh. Waktu mereka di dalam rumah, suara seruling itu sudah terdengar di luar tembok. Tabir malam di luar tembok amat gelap pekat. Mereka melompati pagar tembok yang penuh dilumuri salju. Di tengah kegelapan malam yang tak berujung pangkal, tampak hanya setitik sinar pelita yang kelap-kelip seperti api setan. Di bawah pelita samar-samar seperti ada sesosok bayangan orang tengah meniup seruling.

Siapa orang itu? Apakah peniup seruling tadi? Kenapa seorang diri meniup seruling di bawah pelita gantung? Mungkinkah sengaja menunggu mereka? Malam seseram ini, dia masih seorang diri berada di tempat ini, apa pula tujuannya? Semua pertanyaan ini hanya dia seorang yang bisa menjawabnya.

Pelita itu tergantung pada sebatang dahan pohon yang kering, kontal-kantil dihembus angin lalu.

Masih segar dalam ingatan Ting Hun-pin, lampion ini semula tergantung di luar pintu hotel Hong-ping untuk menyambut kedatangan para tamu. Tapi dia belum melihat jelas orang itu.

Ingin dia memburu ke sana, namun Kek Pin segera menariknya, terasakan olehnya telapak tangan orang tua ini dingin berkeringat.

Seseorang yang mulai menanjak tua usianya, semakin mendekati kematian, kenapa nyalinya semakin kecil? Kenapa semakin takut mati?

Dengan kertak gigi Ting Hun-pin berkata menekan suaranya: "Kau pulanglah dulu ke hotel, biar aku saja yang memeriksanya ke sana." Kek Pin menghela napas. Dia tahu orang salah paham akan maksudnya, bukan dia menguatirkan keselamatan dirinya, namun dia menguatirkan keselamatan jiwa Ting Hun-pin malah.

"Aku sudah berusia lanjut, tiada yang perlu kutakuti, hanya. "

"Aku tahu maksudmu," tukas Ting Hun-pin, "tapi aku harus kesana."

Suara seruling tiba-tiba terputus dan berhenti.

Di kegelapan tiba-tiba terdengar seseorang berkata dingin: "Aku tahu kalian sedang mencariku, kenapa tidak lekas kalian kemari?"

Suara itu tajam meruncing dari ujung jarum sampai rasanya menusuk kuping.

Basah telapak tangan Ting Hun-pin oleh keringat dingin. Dia pernah mendengar suara ini, meski hanya sekali, selamanya dia tidak akan melupakannya. Apakah dia ini salah satu dari Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau?

Berubah muka Kek Pin, tanyanya dengan suara lirih: "Siapakah kau sebetulnya?"

Seseorang tertawa dingin di bawah lampu, katanya: "Kenapa tidak kau kemari untuk menyaksikan siapa aku sebenarnya?"

Ting Hun-pin memang hendak maju mendekat, walau tahu bahayanya besar, mungkin jiwa bisa melayang juga tidak terpikir lagi olehnya, dia tetap akan melihat dengan mata kepalanya sendiri. Tapi Kek Pin tetap menggenggam erat tangannya, katanya lebih dulu: "Cepat atau lambat aku akhirnya akan tahu siapa dia, aku tidak perlu tergesa-gesa."

"Tapi aku perlu segera tahu." sela Ting Hun-pin.

Mendadak dia membalik badan menumbuk ke belakang serta menyodok dengan sikutnya ke tulang rusuk Kek Pin, dan tahu-tahu dia sudah menubruk ke sana.

Tak nyana lampu itu tiba-tiba padam. Alam semesta menjadi gelap gulita. Tapi Ting-hun-pin sudah menerjang ke muka orang itu, sudah melihat jelas muka orang itu. Itulah seraut wajah yang sudah mengkerut, matanya yang melotot keluar menandakan ketakutan dan kaget, seperti mata ikan mas menatap kepada Ting Hun-pin.

Ting Hun-pin pernah melihat muka ini,  pernah berhadapan dengan orang ini.

Dialah laki-laki peniup seruling yang menjadi gila karena ketakutan berdiri di antara mayat-mayat yang bergelimpangan di ruang perjamuan. Satu-satunya orang yang masih hidup di dalam perjamuan itu. Apakah dia ini pembunuh dari sekian banyak kurban itu?

Terkepal kencang tinju Ting Hun-pin, tiba-tiba dilihatnya setetes darah segar telah mengalir keluar dari ujung mata orang, mengalir membasahi muka orang yang memutih pucat. Angin malam nan dingin membuat dia bergidik kedinginan dan seram.

Tiba-tiba didapatinya bahwa orang ini ternyata sudah putus nyawa. Orang mati mana bisa bicara? Mana mungkin bisa meniup seruling? Kini tangannya tidak memegang seruling lagi, lalu darimana datangnya suara seruling tadi? Ting Hun-pin menyurut mundur selangkah. Baru dua langkah mendadak sebuah tangan terulur keluar, secepat kilat sudah menggenggam tangannya.

Tangan yang dingin seperti es, dingin kaku. Orang mati mana bisa menggerakkan tangan?

Seketika sekujur badan Ting Hun-pin ikut dingin, hampir saja dia kelenger, namun dia tidak semaput, karena didapatinya tangan yang menangkap pergelangannya ini terulur keluar dari balik mayat peniup seruling ini. Tapi tangan itu sungguh teramat dingin, lebih dingin dari mayat manusia. Dingin dan keras, lebih keras dari besi. Ting Hun- pin sudah kerahkan setaker tenaganya, namun dia tidak berhasil meronta lepas.

Maka kumandang pula suara runcing tajam itu dari balik mayat peniup seruling: "Apakah kau benar-benar ingin melihat siapa aku sebenarnya?"

Ting Hun-pin gigit bibir, bibirnya sampai pecah dan berdarah.

"Jikalau kau tahu siapa aku, maka kau harus mampus," genggaman orang itu semakin kencang, "sekarang kau tetap ingin melihat aku?"

Mendadak Ting Hun-pin manggut-manggut dengan sekuat tenaganya. Dalam keadaan seperti ini matipun sudah tidak dia takuti lagi. Dia awasi tangan itu, meski di malam gelap, namun tangan itu memancarkan sinar mengkilap seperti logam. Lengan baju orang kelihatan berwarna hijau tua, bagian atas disulami sebuah puncak gunung yang menghijau. Itulah Putala Thian-ong, lambang dari puncak tunggal.

Serasa hampir membeku jantung Ting Hun-pin, dia malah mengharap yang dihadapinya ini adalah setan. Memang, didalam pandangan setiap insan persilatan, Su-thoa-thian- ong dari Mo Kau dipandangnya sebagai gembong iblis yang lebih menakutkan dari setan jahat. 

Dia tidak takut mati, tapi dia insaf, seseorang yang terjatuh ke tangan orang-orang Mo Kau, maka pengalamannya pasti amat menakutkan, amat mengerikan.

Dari tangan orang, dia melihat lengan bajunya terus naik ke atas, akhirnya dia melihat mukanya.

Itulah seraut muka orang yang kaku dingin tak ubahnya seperti mayat hidup. Dalam pandangan Ting Hun-pin, muka ini jauh lebih menakutkan dari muka orang mati biasa. Akhirnya dia berteriak juga: "Kiranya kau!"

"Kau tidak mengira kalau aku?" "Kau. kau adalah Putala?"

"Benar! Putala adalah aku, itulah raja puncak tunggal yang tingginya tak bisa dijajaki, bertengger tinggi menembus mega, siapapun yang melihat muka asliku, hanya ada dua jalan bisa dia pilih."

"Dua jalan? Kecuali mati, kiranya masih ada jalan lain?" "Kau tidak perlu harus mati, asal kau mau masuk jadi

anggota Mo Kau. Hanya orang kita sendiri yang selamanya boleh bertahan hidup." "Bertahan hidup untuk selamanya?" Ting Hun-pin mengejek dingin, "sedikitnya aku pernah melihat tujuh delapan puluh orang-orang Mo Kau kalian yang mati dipenggal kepalanya seperti orang menggorok leher anjing liar."

"Umpama benar mereka mati, mereka mati dengan gembira."

"Gembira? Apanya yang dibuat gembira?"

"Karena orang-orang yang membunuh mereka juga sudah mempertaruhkan imbalannya."

Terbayang akan mayat-mayat yang bergelimpangan di perjamuan itu, hampir saja Ting Hun-pin muntah-muntah.

Berkata Putala atau Hu-hong Thian-ong: "Sekarang kau memang hidup, namun hidup tidak lebih baik daripada mati, namun asal kau mau masuk Mo Kau, perduli kau mati atau hidup, takkan ada orang berani menganiaya kau."

Ting Hun-pin kertak gigi, bujukan ini agaknya sudah melembekkan hatinya. Belakangan ini pukulan lahir batin yang menimpa dirinya memang teramat banyak.

Sambil mengawasinya, Hu-hong (Puncak gunung) menampilkan sorot menghina dan mencemoohkan, katanya dingin: "Aku tahu! Kau bukan ingin mati betul-betul, tiada orang yang ingin mati."

Ting Hun-pin tunduk kepala. Dia masih muda, belum pernah menikmati kehidupan kaum remaja yang benar-benar nikmat, kenapa dia harus mati semuda ini?. Seorang gadis yang sudah kenyang dianiaya, menderita dan disiksa, kalau ada kesempatan untuk menyiksa dan menganiaya orang lain, bukankah hal ini cukup mengenyangkan?. Bujuk rayu ini sungguh teramat besar pengaruhnya. Memang tidak banyak gadis yang bisa menolak bujukan halus ini, apalagi Ting Hun- pin memang gadis yang suka menang dan membawa adatnya sendiri.

Sudah tentu Hu-hong Thian-ong tahu akan dirinya ini, katanya tawar: "Tiada jeleknya kau mempertimbangkannya, hanya aku memperingatkan dua hal kepadamu."

Ting Hun-pin tengah mendengarkan.

"Untuk masuk Mo Kau, bukan suatu hal yang gampang, kau punya kesempatan sebaik ini, sungguh merupakan keberuntunganmu." lalu dengan suara kalem Hu-hong Thian- ong menambahkan, "soalnya Mo Kau kita belakangan ini kembali membuka pintu menegakkan dan menyebarkan ajaran kita. Kalau kau sia-siakan kesempatan baik ini, kelak kau akan menyesal seumur hidup."

Tiba-tiba Ting Hun-pin bertanya: "Apakah kau ingin aku mengangkat guru kepadamu?"

Sombong sekali sikap Hu-hong Thian-ong, katanya: "Bisa menjadi muridku, merupakan keberuntungan yang terbesar bagi dirimu."

"Apakah aku berguna bagi kau?" tanya Ting Hun-pin. Hu-hong Thian-ong tidak menyangkal.

"Apa gunanya aku ini bagi dirimu?" "Kelak kau tentu akan tahu sendiri." "Sekarang. " Hu-hong Thian-ong menukas: "Kau berguna bagi diriku, aku lebih berguna bagi dirimu. Di antara sesama manusia, memangnya satu sama lain saling memperalat diri, justru kau mempunyai harga diri untuk diperalat orang lain, maka kau masih tetap hidup sampai sekarang."

Ting Hun-pin ragu-ragu, tanyanya: "Katamu kau masih hendak memperingatkan suatu hal kepadaku?"

"Tak usah kau tunggu Kek Pin untuk menolongmu, dia tidak akan menolongmu, dia tidak akan berani."

"Kenapa?"

"Karena diapun murid anggota Mo Kau kita. Beberapa tahun yang lalu dia sudah masuk Mo Kau."

Ting Hun-pin mendelik. "Kau tidak percaya?"

Memang Ting Hun-pin tidak percaya. Walau lama dia kenal Kek Pin, namun biasanya dia amat patuh dan hormat kepada orang lain, karena dia tahu Kek Pin adalah teman baik Yap Kay, seorang cerdik pandai yang serba bisa, namun juga tinggi hati. Sekali-kali dia tidak akan mau percaya bahwa teman baik Yap Kay, ternyata adalah manusia bermartabat rendah dan hina dina.

Tapi kenyataan Kek Pin memang maju menghampiri, lurus tangan kepala tunduk, berdiri di samping Hu-hong, seperti budak berdiri di samping majikannya.

Mencelos dan putus asa hati Ting Hun-pin.

"Sekarang kau percaya tidak?", tanya Hu-hong Thian- ong. Walau Ting Hun-pin dipaksa untuk percaya kepada kenyataan, tak urung dia masih bertanya kepada Kek Pin: "Apa benar kau murid anggota Mo Kau?"

Ternyata Kek Pin mengakui.

Terkepal jari-jari Ting Hun-pin, katanya tertawa dingin: "Kukira selama ini kau amat memperhatikan keselamatanku, membantuku, ku anggap kau adalah teman baik. Tak nyana kau adalah manusia rendah yang tidak tahu malu."

Muka Kek Pin tidak menunjukkan perubahan apa-apa, seperti orang tuli saja.

"Tahukah kau biasanya aku amat menghormati dan menyeganimu, bukan saja mengagumi ilmu pengobatanmu, akupun menghormatimu sebagai seorang kuncu. Kenapa kau rela menjebloskan diri ke dalam dunia nista ini?"

"Masuk anggota Mo Kau bukan masuk ke dunia nista." sentak Hu-hong Thian-ong.

"Baiklah!," ujar Ting Hun-pin menghela napas panjang, "baik sekali, lekaslah kau bunuh aku."

"Kau sudah berkeputusan dan rela mati?" Ting Hun-pin mengiyakan.

"Kenapa?" kelihatannya Hu-hong Thian-ong amat heran.

Ting Hun-pin beringas, teriaknya: "Karena sekarang aku sudah tahu, siapapun asal dia masuk Mo Kau, maka dia akan menjadi manusia kerdil yang rendah martabat, hina dina dan malu dilihat orang."

Mengkeret kelopak mata Hu-hong Thian-ong, katanya kalem: "Kau tidak ingin mempertimbangkan?" "Tiada yang perlu kupertimbangkan."

Hu-hong Thian-ong menghela napas, tiba-tiba dia berseru heran: "Kek Pin?"

"Apa?", Kek Pin segera menyahut.

"Agaknya baru saja kau yang menolong jiwanya?" ujar Hu-hong Thian-ong.

"Benar!", jawab Kek Pin.

"Maka kau tidak perlu membeli jiwanya lagi." Kek Pin mengiyakan.

"Sekarang boleh kau merenggut jiwanya pula."

Sambil mengiyakan, kek Pin menurunkan Ban-po-siang dan Kan-kun-san. Pelan-pelan dia tudingkan ke tengah alis Ting Hun-pin.

Kalau Ban-po-siang itu piranti menolong jiwa orang, sebaliknya Kan-kun-san khusus untuk membunuh orang, cepat dan telak.

Kek Pin sedikitpun tidak mirip seorang tua yang ayal- ayalan. Dia jauh lebih mengerti dari kebanyakan orang di mana tempat berbahaya yang benar-benar merupakan titik mematikan di tubuh manusia. Titik di tengah-tengah alis orang adalah salah satu tempat penting yang mematikan jiwa orang. Tiada orang yang kuat menahan pukulan atau serangan. Tapi Ting Hun-pin bukan saja tidak berusaha meluputkan diri malah menyongsong maju dengan tertawa dingin. Dia tahu dirinya tidak akan bisa lolos.

Pergelangan tangannya masih digenggam erat oleh Hu- hong Thian-ong yang mempunyai jari-jari seperti jepitan besi. Sementara itu ujung payung sengkala itu sudah menutuk ke jidatnya. Dilihatnya sinar dingin berkelebat, tiba-tiba 'Trap...' suaranya lirih, seolah-olah ada dua batang jarum saling bentur. Begitu cepat kejadian selanjutnya sampai dia tidak melihat jelas.

Dia hanya merasakan pegangan tangan Hu-hong Thian- ong yang keras laksana jepitan besi itu tiba-tiba terlepas, mendadak orangnya melambung tinggi bersalto di udara. Kelihatannya diapun seperti melihat di kala badan Hu-hong Thian-ong mencelat naik itu, tangannya yang lain terulur menepuk ke punggung Kek Pin. Tepukan ini cepat laksana samberan kilat. Dia sendiripun tidak melihatnya jelas. Yang menjadi kenyataan baginya bahwa Hu-hong Thian-ong tahu- tahu sudah menghilang pergi, sementara Kek Pin sudah roboh menggelepar di tanah. Sedangkan dirinya masih tetap berdiri tak kurang suatu apa. Sungguh dia tidak mengerti, apakah yang terjadi barusan?

Malam semakin larut, angin menghembus semakin  kencang nan dingin, lampion yang sudah luntur warnanya itu masih kontal-kantil di atas dahan. Demikian pula mayat peniup seruling itu masih bergoyang gontai tertiup angin di atas dahan pula.

Kek Pin rebah tengkurap dengan dengus napas tersengal- sengal berat seperti dengus sapi, terus batuk tak berhenti. Setiap kali batuk darah menyembur dari mulutnya. Waktu angin menghembus punggungnya, baju di bagian punggungnya tiba-tiba tertiup beterbangan seperti kupu-kupu terbang, tampak bekas tapak tangan membekas tepat di tengah punggungnya. Tapak tangan warna merah darah. Selamanya belum pernah Ting Hun-pin saksikan ilmu pukulan telapak tangan sehebat dan begini menakutkan, tapi akhirnya dia menyadari juga apa yang telah terjadi. Dia masih hidup, masih berdiri segar bugar, karena Kek Pin bukan saja tidak membunuhnya, malah menolong jiwanya. Menolong dirinya dengan menyerempet bahaya, dan sekarang orang malah tengah empas-empis meregang jiwa. Budi besar pertolongan ini laksana jarum tajam menusuk ulu hatinya.

Perduli sedih atau haru dan terima kasih, sesuatu perasaan kalau terlampau panas, terlalu emosi, bisa juga berubah laksana tajamnya jarum mencocok jantung hati.

Lekas dia berjongkok memeluk Kek Pin, tak tertahan air matanya bercucuran, dia kehabisan akal dan tak tahu bagaimana dia harus memberi pertolongan kepada orang yang telah menyelamatkan jiwanya.

Dengan napas memburu, Kek Pin menahan batuknya, tiba- tiba berkata: "Lekas. buka peti itu."

Cepat Ting Hun-pin menarik petinya itu serta membukanya.

"Di dalam bukankah ada sebuah botol kayu warna hitam?".

Memang ada.

Baru saja Ting Hun-pin menjemputnya, lekas-lekas Kek Pin merebutnya, langsung dia gigit putus leher botol itu, seluruh isi obat dalam botol itu dia tuang seluruhnya ke dalam mulut. Lambat-laun baru napasnya yang memburu mulai reda. Ting Hun-pin baru bisa menghela napas lega juga.

Ban-po-siang, Kan-kun-san, raja akhiratpun kewalahan.

Jikalau orang yang tak kuasa dikendalikan oleh raja akhirat tentunya takkan bisa mati. Kalau dia bisa menolong jiwa orang lain, sudah tentu bisa juga menolong jiwa sendiri. Akan tetapi rona muka Kek Pin kelihatan masih begitu mengerikan, sorot matanya yang cemerlang tadi sudah pudar, raut mukanya sekarang tidak akan lebih elok dari muka peniup seruling itu.

Ting Hun-pin menjadi kuatir dan was-was, katanya: "Bagaimana kalau ku papah kembali ke hotel?"

Kek Pin manggut-manggut. Baru saja hendak berdiri, tahu-tahu meloso jatuh pula, darah kembali menyembur dari mulutnya.

Ting Hun-pin kertak gigi, katanya penuh kebencian: "Kenapa dia begitu keji menurunkan tangan jahat?"

Tiba-tiba kek Pin tertawa-tawa, katanya: "Karena akupun turun tangan jahat kepadanya."

Ting Hun-pin tidak tahu, bahwasanya dia tidak melihat kapan Kek Pin pernah turun tangan kepada Hu-hong Thian- ong.

"Cobalah kau periksa payungku," kata Kek Pin, "bagian garannya."

Baru sekarang ditemui oleh Ting Hun-pin, kiranya garan payung itu bolong bagian tengahnya. Tepat pada ujungnya yang lancip masih terdapat sebuah lubang sebesar ujung jarum. Akhirnya dia mengerti, tanyanya: "Di dalam garan payung ini ada menyimpan senjata rahasia."

Kek Pin tengah tertawa, derita membuat tawanya kelihatan menyedihkan dari isak tangis.

"Bukan saja ada senjata gelap, malah senjata rahasia yang paling jahat di seluruh jagat."

Kan-kun-san atau Payung sengkala miliknya ini memang senjata piranti menghabisi jiwa orang.

"Waktu aku mengincar kau dengan ujung payungku, garan payung kebetulan tertuju kepadanya pula." demikian Kek Pin menerangkan.

Ting Hun-pin sudah paham seluruhnya.

"Waktu kau menusukku dengan ujung payungmu, senjata rahasia yang berada di garannya lantas melesat keluar."

Kek Pin manggut-manggut, agaknya dia ingin tawa gelak- gelak.

"Mimpipun dia tidak akan mengira bahwa aku bakal turun tangan kepadanya, betapapun dia sudah kena tipuku."

Bercahaya sorot mata Ting Hun-pin, tanyanya: "Dia terkena senjata rahasiamu?"

Kek Pin manggut-manggut, katanya: "Oleh karena itu, walau pukulannya amat menakutkan, kitapun tidak perlu gentar terhadapnya."

ooo)dw(ooo

Dalam ruang perjamuan masih terdapat sebuah pelita yang memancarkan sinar remang-remang. Memang seluruh hotel Hong-ping gelap pekat, hanya di sini saja yang masih ada penerangan, maka Ting Hun-pin terpaksa membawa Kek Pin kemari, di sini tiada ranjang, tapi banyak meja. Ceceran darah sudah dibersihkan, dari kamar sebelah dia mendapatkan kemul tebal untuk mengemuli Kek Pin.

Muka Kek Pin masih pucat menakutkan, setiap kali batuk, darah lantas merembes dari ujung mulutnya. Untung dia mempunyai Ban-po-siang, peti wasiat piranti menolong jiwa orang.

Melihat mimik orang yang menahan sakit, tak tega Ting Hun-pin, tanyanya: "Adakah obat lain dalam peti untuk mengurangi rasa sakitmu?"

Kek Pin geleng-geleng, katanya tertawa getir: "Obat untuk merenggut jiwa ada banyak macam, tapi obat yang benar-benar bisa menolong jiwa orang, biasanya hanya ada satu macam."

Ting Hun-pin tertawa dipaksakan: "Apapun yang terjadi kau sudah berusaha menolong jiwaku."

Sekilas Kek Pin mengawasinya, pelan-pelan dia pejamkan mata, seperti hendak bicara, namun tidak jadi dia utarakan.

"Aku tahu kau akan lekas sembuh, karena kau memang orang baik.", kata Ting Hun-pin.

Kek Pin tertawa. Namun Ting Hun-pin malah mengharap dia tidak tertawa, orang lain akan ikut merasakan penderitaannya bila melihat dia tertawa.

Angin dingin terlalu keras di luar, lekas Ting Hun-pin tutup rapat semua jendela, namun angin dingin setajam pisau itu masih meniup masuk dari sela-sela pintu atau jendela. Tiba-tiba dia berkata: "Kau tahu apa yang kupikirkan?"

"Kau ingin minum arak?", Kek Pin balas bertanya.

Ting Hun-pin tertawa, kali ini dia tertawa benar-benar, karena dia melihat di pojok ruangan masih menggeletak sebuah guci arak. Segera dia menjinjingnya sebuah lalu menepuk pecah sumbatnya. Bau arak amat wangi. Begitu mencium bau arak, seketika hati Ting Hun-pin seperti disayat-sayat.

Arak ini sebenarnya disediakan untuk perjamuan pernikahannya. Dan sekarang? Apakah dia tega minum arak wangi ini? Terbayang Kwe Ting, teringat kepada Yap Kay  dan ingat akan Han Tin yang pergi mencarikan arak buat Yap Kay. Sudah tentu diapun tidak tahu kalau Han Tin hakikatnya belum mati. Dia hanya tahu kalau dia tidak menusuk Yap Kay, maka Han Tin tidak akan mati. Diapun tahu jikalau bukan karena ilmu sihir dari Mo Kau, matipun dia tidak akan sudi menusuk Yap Kay.

"Mo Kau. " tiba-tiba tercetus pertanyaan dari mulutnya,

"kenapa orang-orang macam kalian juga sampai masuk Mo Kau?"

Sesaat Kek Pin menepekur, akhirnya dia menghela napas panjang, katanya tertawa getir: "Justru karena aku ini orang macam beginian, maka aku bisa masuk Mo Kau."

"Jadi kau masuk secara sukarela?" "Ya." sahut kek Pin.

"Aku tak habis mengerti," ujar Ting Hun-pin, "sungguh aku tidak mengerti." "Mungkin karena kau belum tahu orang macam apa sebetulnya aku ini."

"Tapi aku tahu kau pasti bukan manusia jahat seperti mereka itu."

Lama sekali Kek Pin termenung-menung, katanya pelan- pelan: "Aku belajar ilmu pengobatan, tujuanku hanya untuk menolong diriku, karena kutemui semua tabib-tabib kenamaan di dalam dunia ini, sembilan diantara sepuluh adalah orang-orang goblok."

"Aku tahu," ujar Ting Hun-pin.

"Tapi belakangan aku belajar ilmu bukan untuk mengobati diriku sendiri, juga bukan untuk menolong orang lain."

"Jadi apa tujuanmu?"

"Belakangan aku terus memperdalam ilmu pengobatan karena aku boleh dikata sudah kesetanan."

Memang di dalam mempelajari atau mengerjakan sesuatu, kalau terlalu tekun dan tumplek seluruh perhatian, akhirnya orang jadi gila, orang akan kesetanan oleh pekerjaan atau ilmu yang dia pelajari.

"Oleh karena itu, maka kau lantas masuk jadi orang Mo Kau?"

"Di dalam Mo Kau memang banyak sekali ilmu-ilmu setan yang menakutkan untuk membunuh orang, namun banyak juga cara-cara rahasia yang serba aneh untuk menolong orang, umpamanya ilmu Sip-hun-tay-hoat (sebangsa ilmu sihir) mereka, jikalau digunakan secara halal, di waktu memberikan penyembuhan kepada pasien dapat menimbulkan hasil yang luar biasa yang tak pernah terduga sebelumnya."

"Tapi apa manfaatnya Sip-hun-tay-hoat mereka untuk penyembuhan sakit?" Ting Hun-pin tetap tidak mengerti.

"Mengobati orang harus mengobati hatinya, kau paham maksudnya?" tanya Kek Pin, "maksudnya tekad seseorang apakah teguh, kadang kala merupakan titik tolak untuk menentukan mati hidupnya."

Penjelasan ini bukan saja amat mendalam, juga masih terlalu baru bagi Ting Hun-pin yang tetap belum mengerti. Maka dia memberi penjelasan lebih lanjut: "Itu berarti seseorang yang sakit keras, apakah dia kuat bertahan hidup lebih lanjut sedikitnya tergantung pada dia sendiri, apakah masih mempunyai tekad untuk hidup."

Ting Hun-pin baru mengerti, karena dia teringat akan cara yang pernah dia praktekkan sendiri. Jikalau bukan dia yang membakar tekad hidup Kwe Ting, tak perlu dia dibunuh orang-orang Mo Kau, sejak lama dia sudah meninggal. Hatinya seperti diiris-iris, tak tertahan dia angkat guci arak itu terus tuang ke dalam mulutnya.

"Berikan aku seteguk." pinta Kek Pin.

Tahu-tahu mukanya yang semula pucat kini berubah merah membara, seperti kepiting yang direbus.

Agaknya obat di dalam botol tadi bukan untuk menolong jiwanya, paling hanya mempertahankan napasnya sementara.

Mengawasi muka orang yang semakin menakutkan, saking gelisah ingin Ting Hun-pin menangis tersedu-sedu. "Kau bagaimana perasaanmu?"

"Aku baik sekali." ujar Kek Pin memejam mata, "aku pernah bilang, aku sudah tua, tiada yang perlu ditakuti untuk mati.". Sedikitpun dia tidak takut mati.

Baru sekarang Ting Hun-pin sadar, tadi orang merasa kuatir bukan lantaran jiwanya sendiri, namun orang menguatirkan keselamatan dirinya. Hal ini laksana jarum menusuk ulu hatinya pula, tak tahu dia apa yang harus dia katakan, tak tahu dengan cara apa baru dia bisa membalas budi dan kebaikan orang.

"Tadi akupun bilang," ujar Kek Pin lebih lanjut, "aku sudah kesetanan mempelajari ilmu pengobatan, oleh karena itu bukan saja aku tidak punya teman, akupun tidak punya sanak kadang, karena terhadap siapapun aku tidak ambil perduli."

Tapi dia amat prihatin akan keselamatan Ting Hun-pin.

Ting Hun-pin sendiri merasakan hal ini, tapi dia sendiri tidak tahu kenapa hal ini terjadi? Betapapun orang sudah berusia lanjut, usia mereka terpaut terlalu jauh, sudah tentu tak mungkin terjadi hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tak pernah berani dia pikirkan. Orang memperhatikan dirinya, mungkin sebagai orang tua yang mengasihi putrinya. Tapi mata Kek Pin sudah terbuka, tengah menatapnya lekat-lekat. Mukanya semakin merah, biji matanya seperti menyala, sehingga dia kehilangan kontrol atas dirinya yang biasa tenang, dingin dan tabah. Lambat laun dia sudah kehilangan kesadarannya.

Tanpa sadar Ting Hun-pin melengos menghindari tatapan mata orang. Tiba-tiba Kek Pin tertawa, tawa yang pilu, katanya: "Aku sudah tua bangka, usia kita terpaut terlalu banyak, kalau tidak. "

Kalau tidak kenapa? Dia tidak melanjutkan, juga tak perlu menanyakan lebih lanjut.

Ting Hun-pin sudah mengerti maksudnya, juga sudah menangkap limpahan isi hatinya. Setiap manusia mempunyai hal dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai orang lain.

Orang tua tak ubahnya seperti anak-anak muda, dia juga mempunyai perasaan, dia bisa jatuh cinta, malah bukan mustahil cinta orang tua jauh lebih murni dan lebih mendalam.

Maka setelah menghela napas, Kek Pin berkata tawar: "Apapun yang terjadi, kau tidak usah menguatirkan diriku, barusan sudah kukatakan, aku tiada teman dan tak punya sanak kadang...... mati hakikatnya tiada sangkut pautnya dengan orang lain."

'Tapi ada sangkut pautnya dengan aku', demikian batin Ting Hun-pin, hatinya seperti ditusuk-tusuk pula. Jikalau bukan lantaran dia, Kek Pin tidak akan segera mati. Jikalau bukan lantaran dia, sekarang dirinyalah yang mampus.

Mana bisa dikatakan mati hidup tiada sangkut pautnya dengan dirinya? Masakah dia harus berpeluk tangan melihat orang mangkat begitu saja? Tapi dengan cara apa baru dia bisa menolongnya?

Terpejam pula mata Kek Pin, katanya lirih:  "Kau  pergilah. lekas pergi!"

"Kenapa kau suruh aku pergi?" "Karena aku tidak suka melihat orang bagaimana keadaan kematianku."

Badan Kek Pin mulai mengejang, berkelejetan, agaknya dia tengah mempertahankan diri mati-matian.

"Maka kau harus pergi!"

Dengan kencang tangan Tin Hun-pin saling genggam, seolah-olah kuatir bila tekadnya berubah.

"Aku tak mau pergi!", tiba-tiba dia berteriak keras, "tidak mau pergi!"

"Kenapa?"

"Karena aku ingin kawin dengan kau."

Mendadak Kek Pin membelalakkan matanya, mengawasinya dengan rasa kaget.

"Apa katamu?"

"Kataku aku ingin kawin dengan kau, aku harus kawin dengan kau."

Dia betul-betul sudah berkeputusan. Dalam waktu yang singkat ini, dia sudah lupa kepada Kwe Ting, lupa kepada Yap Kay, melupakan semua orang, melupakan segala urusan. Dalam waktu dekat ini hanya satu hal yang terpikir olehnya, 'Dia tidak bisa berpeluk tangan mengawasi Kek Pin mati dihadapannya", asal bisa menolong jiwanya, umpama dia harus kawin dengan babi, dengan anjing sekalipun, sedikitpun dia tidak perlu memikirkannya untuk menerima nasibnya.

Memang Ting Hun-pin adalah seorang gadis yang mempunyai perasaan subur, kalau dia mau melakukan sesuatu boleh tidak usah memikirkan segala sebab dan akibatnya. Orang lain boleh memaki, menganiaya dan menyakiti hatinya, lekas sekali sudah dia lupakan, namun dia meski hanya sedikit kau pernah menanam kebaikan kepadanya, dia tidak akan melupakannya, akan diukir kebaikanmu di dalam relung hatinya. Mungkin apa yang dia kerjakan terlalu ceroboh, kalau tidak mau dikatakan terlalu brutal, tapi dia pasti adalah seorang gadis yang suci, lincah dan periang, karena dia dikaruniai hati nan bajik.

ooo)dw(ooo "Kau ingin kawin dengan aku?"

Kek Pin tengah tertawa, tawa yang getir, haru, terima kasih dan entah apalagi? Dia tidak bisa membedakan, keadaannya belum sadar seratus persen.

Ting Hun-pin sudah berjingkrak berdiri. Mendadak disadarinya bahwa lampu yang masih menyala di dalam ruang ini adalah sepasang lilin besar. Bukankah sepasang lilin ini dipersiapkan untuk dirinya dan Kwe Ting bersembahyang langit dan bumi? Di hadapan sepasang lilin inilah Kwe Ting roboh terkapar. Kini kedua batang lilin ini belum terbakar habis, namun dia kembali sudah akan kawin dengan orang lain.

Kalau orang lain yang melakukan perbuatan ini, siapapun pasti menganggap perbuatan orang brutal, perbuatan orang gila. Tapi Ting Hun-pin lain, siapapun akan merasa simpati, kasihan dan haru kepada nasibnya. Karena apa yang dia lakukan ini bukannya tidak mengenal kasih, namun justru demi cinta kasih terhadap sesamanya. Bukan pembalasan, namun sebaliknya sebagai pengorbanan. Tak segan-segannya dia mengorbankan masa remajanya, tak lain hanya untuk membalas kebaikan orang terhadapnya. Kecuali itu sungguh dia tidak tahu dengan cara apa baru dia bisa menolong Kek Pin.

Sudah tentu cara yang dia tempuh ini belum tentu berhasil, akan tetapi bila seseorang rela berkorban untuk menolong orang lain, walaupun perbuatannya itu terlalu brutal, teramat bodoh, sikapnya ini tetap patut dihormati, patut dipuji dan dikagumi.

Karena pengorbanan ini betul-betul pengorbanan, pengorbanan yang mungkin tak mau dilakukan orang lain, orang lainpun takkan bisa melakukannya.

Lilin merah itu sudah hampir habis, dan lilin itu akan menjadi kering bila sumbunya sudah terbakar habis. Sumbu lilin itu rela dirinya terbakar menyala, hanya untuk menerangi orang lain. Bukankah perbuatan ini terlalu bodoh? Tapi jikalau manusia umumnya sudi melakukan perbuatan bodoh semacam ini, bukankah dunia ini akan selalu cemerlang, akan lebih semarak?

Pelan-pelan Ting Hun-pin papah Kek Pin berdiri di depan sepasang lilin itu, katanya lembut: "Sekarang juga aku menikah dengan kau, menjadi istrimu, selama hidup mengikuti dan bersandarkan dirimu, maka kau harus tetap hidup."

Kek Pin mengawasinya, bola matanya yang sudah pudar tiba-tiba bercahaya terang, senyuman wajahnya kelihatan berubah tenang dan tentram.

Muka Ting Hun-pin yang masih berlepotan air matapun mengunjuk senyuman manis mesra. Dia tahu orang akan bisa bertahan hidup, kini dia sudah punya keluarga, punya sanak famili, dia sudah takkan mati.

Dengan berlinang air mata Ting Hun-pin berkata: "Di sini memang tiada mak comblang, tiada protokol upacara, namun kita tetap masih bisa bersembahyang kepada bumi dan langit, asal kita bersama-sama mau, ada atau tanpa saksipun tidak menjadi soal.".

Ini bukanlah main-main, dan bukan suatu perbuatan brutal, karena dia memang jujur dan bermaksud baik dengan hati tulus lagi.

Kek Pin manggut-manggut pelan, sorot matanya memancarkan cahaya aneh, mengawasinya lalu mengawasi sepasang lilin di hadapan mereka. Dapat mempersunting gadis yang dia idamkan, sungguh merupakan kesenangan hidup bagi seorang laki-laki yang sudah terlaksana cita- citanya. Katanya dengan tersenyum: "Selama hidup ini, selalu kuharapkan detik-detik seperti ini, supaya lekas terlaksana........ Semula aku tak mengira selama hayat masih dikandung badan, takkan terjadi hari bahagia seperti ini, tapi sekarang. ".

Akhirnya tercapailah cita-citanya. Suaranya menjadi tenang mantap dan tentram, namun dia tidak habis mengutarakan isi hatinya, mendadak dia roboh. Elmaut merenggut jiwanya begitu cepat, sekonyong-konyong menyerangnya sehingga dia tidak kuasa melawan dan bertahan. Tiada orang yang bisa melawan kodrat.

Ting Hun-pin berlutut di samping jenazah Kek Pin, air matanya bercucuran. Di dalam tempat yang sama, di hadapan sepasang lilin yang sama pula, di dalam satu malam yang sama juga, dua orang laki-laki yang siap menjadi laki- lakinya roboh dihadapannya. Betapa besar pukulan ini.

Mungkin mereka memang akan mati, tanpa dia mereka memang sudah suratan takdir untuk mati, malah mungkin ajal lebih cepat, tapi Ting Hun-pin sendiri tidak pernah berpikir demikian.

Tiba-tiba dia merasakan bahwa dirinya adalah perempuan yang membawa sial, selalu membawa bencana dan kematian bagi orang lain. Kwe Ting sudah ajal, Kek Pin kinipun sudah tak bernyawa, demikian pula Yap Kay hampir saja terbunuh olehnya. Dia sendiri malah masih segar bugar. Kenapa aku harus hidup? Buat apa hidup dalam dunia ini? Dunia macam apakah ini?

Setiap orang yang dia kenal, kemungkinan adalah orang- orang Mo Kau, sejak kenal dengan Thi Koh sampai Giok-siau dan terakhir Kek Pin. Demikian pula Hu-hong Thian-ong yang dingin kaku dan jahat laksana iblis itu, semuanya orang- orang yang tak pernah dia duga. Masih adakah seseorang yang bisa dia percaya dan menjadi sandaran hidupnya? Hanya Yap Kay. Tapi di mana Yap Kay sekarang berada?

Guci arak masih berada disampingnya, arak keras, begitu masuk tenggorokan lantas dadanya dan tenggorokannya seperti dibakar. Tapi seteguk demi seteguk dia terus minum tak kenal puas.

"Yap Kay, kau pernah bilang, setelah segala urusan selesai, kau akan mencariku, kini semua urusan sudah berakhir, kenapa kau belum kunjung tiba. kenapa?".

Dia lepas suaranya berteriak-teriak, mendadak dia angkat guci arak itu terus membantingnya sekuat tenaga. Guci hancur berkeping-keping, arak keras itu berceceran di atas lantai. Lilin yang kebetulan habis dan masih menyala itu tergetar jatuh dari atas meja, arak yang mengandung alkohol itu seketika berkobar.

"Blup" api berkobar-kobar memenuhi seluruh ruangan, meja dan kain gordyn serta gambar-gambar di atas meja sembahyang terjilat api lebih dulu.

Api tidak kenal kasihan, lebih berbahaya dan lebih cepat datangnya dari kematian. Memangnya siapa yang kuat menahan kobaran api yang sudah menyala-nyala itu?

Tapi Ting Hun-pin masih berlutut terbengong, tanpa bergerak sedikitpun. Melihat kobaran api, dalam lubuk hatinya yang paling dalam tiba-tiba timbul rasa senang yang memilukan dan sadis. Dia ingin menyaksikan kobaran api ini membakar hangus semuanya. Tiada sesuatu yang harus dia kenang dan berat ditinggalkan. Kehancuran memangnya berat ditinggalkan? Kehancuran memangnya suatu pelampiasan juga? Dia harus melampiaskan, maka dia harus menghancurkan.

Cepat sekali api sudah menjilat seluruh benda-benda yang ada di dalam ruangan, menjalar ke dinding naik ke atap rumah, cepat sekali rumah ini akan segera menjadi puing- puing, semuanya akan berakhir. Tapi mana Yap kay? Kenapa Yap Kay belum juga datang?

Waktu kobaran api menghiasi udara nan gelap, sang fajarpun telah menyingsing, tapi Yap Kay tetap belum kelihatan.

ooo)dw(ooo Yap Kay telah mabuk. Biasanya dia tidak pernah mabuk, tiada orang yang bisa melolohnya sampai mabuk, hanya dia sendiri yang bisa meloloh dirinya sampai mabuk. Tapi diapun jarang meloloh dirinya sampai mabuk.

Orang minum sampai mabuk bukan suatu hal yang menggembirakan, terutama besok paginya setelah kau siuman dari pulasmu rasanya jauh lebih tidak menyenangkan, hal ini dia jauh lebih jelas dari orang lain. Tapi semalam dia sengaja meloloh dirinya sampai mabuk dan tak sadarkan diri. Betapapun dia orang biasa, bukan orang sakti, bukan dewa.

Tahu kekasihnya sedang bersembahyang bumi dan langit sementara pengantin lakinya bukan dirinya, memangnya siapa yang bisa tetap sadar dan pikiran jernih? Keluyuran di jalan raya dengan gembira? Oleh karena itu dia memasuki sebuah warung arak, di mana dia berdiam satu jam lamanya, tapi waktu dia keluar masih belum mabuk, karena arak yang dijual di sini terlalu tawar, terlalu banyak tercampur air.

Maka dia menuju ke warung arak yang ke dua. Dengan langkah sempoyongan dia memasuki warung arak ini. Kali ini apakah dia bisa keluar pula? Sudah tak teringat lagi olehnya. Apakah selanjutnya dia pergi ke tempat ketiga? Diapun tidak tahu. Yang masih segar dalam ingatannya hanya waktu dia memukul kepala seorang bajingan tengik yang membawa lonte ke warung itu. Berapa besar lubang di kepala bajingan karena pukulannya? Diapun sudah tidak ingat lagi.

Waktu dia siuman dan terjaga dari tidurnya, didapatinya dirinya rebah di dalam tumpukan sampah di dalam sebuah gang buntu. Sampah yang kotor dan berbau busuk, anjing liarpun takkan mau tidur di tempat sekotor ini.

Pastilah bajingan yang bocor kepalanya itu mengundang temannya menuntut balas kepada dirinya, setelah badannya dipermak dan digasak pergi datang, lalu membuang dirinya ke tempat ini. Lekas sekali dia lantas membuktikan dugaannya ini, karena waktu dia merangkak bangun, bukan hanya kepala terasa pening dan sakit seperti merekah, seluruh badanpun terasa sakit linu.

Entah berapa banyak dan berapa kali kepalan dan tinju orang yang telah menghajar badannya. Hal ini sudah pernah dia rasakan dulu, karena sebelum dia belajar memukul orang, dia sudah biasa latihan dihajar orang.

Memang siapapun bila menyadari dirinya dilempar di atas tumpukan sampah, dipermak dan digasak begitu rupa, pasti akan naik pitam, sedih dan penasaran. Tapi Yap Kay malah tertawa. Adakalanya bila dirinya juga dihajar orang, bukankah suatu hal yang lucu dan menyenangkan? Apalagi dia yakin tangan orang-orang yang pernah menghajarnya itu, pasti tangannya sedang kesakitan.

ooo)dw(ooo

Keluar dari gang buntu itu, dia tiba di sebuah jalan raya, seperti pula jalan-jalan atau gang-gang yang terdapat di kota Tiang-an lainnya, jalan ini teramat kotor, tua dan kuno.

Di seberang jalan dilihatnya ada sebuah warung arak kecil, sebuah holou besar yang terbuat dari besi tergantung di depan pintu. Tiba-tiba Yap Kay teringat, semalam waktu dia minum arak dan berkelahi, adalah di dalam warung ini. Di belakang warung itulah, ada terdapat sebuah pintu gelap, pintu belakang yang rahasia. Lonte yang dibawa bajingan tengik itu masuk lewat pintu belakang itu. Dari sana membelok ke kiri, lalu membelok pula ke jalan raya, orang akan segera tiba di hotel Hong-ping. Selama hidupnya mungkin Yap Kay tidak akan mau ke hotel Hong-ping. Urusan yang membuat hati duka, di sana memang terlalu banyak.

Lalu kemana dia sekarang harus pergi? Apa pula yang harus dia lakukan? Yap Kay tidak berpikir. Dia ingin sementara tak usah memikirkan apa-apa, otaknya sedang bebal, sedang kalut. Dia hanya tahu langkahnya jangan menuju ke arah kiri.

Hari ini cuaca amat cerah, sinar matahari menyinari badan manusia terasa hangat dan menyegarkan. Orang- orang yang berlalu lalang di jalan raya semuanya berpakaian bagus, dan baru, semuanya mengunjuk riang gembira, setiap orang yang kesamplok pasti tak henti-hentinya memberi hormat, soja dan mengucapkan selamat atau Kiong-hi.

Baru sekarang Yap Kay sadar, hari itu tanggal dua. Apa kerja orang lain pada tanggal dua ini? Tak lain membawa putra-putrinya pergi ke tetangga, ke rumah familinya, memberi dan menyampaikan selamat tahun baru, terutama anak-anak paling senang menerima angpao. Pada hari-hari baik ini, siapapun dilarang mengeluarkan kata-kata kotor, tidak boleh berkelahi atau marah. Tapi bagi kaum gelandangan yang tak punya rumah, tiada sanak kadang di tempat rantau ini, apa pula yang mereka kerjakan? Yap Kay putar kayun di jalan raya, celingukan kian kemari, yang benar matanya seperti tertutup, tiada sesuatu yang dia lihat, tiada sesuatu yang terpikir dalam benaknya. Mungkin hanya satu. Apa kerja Ting Hun-pin sekarang?

Sebetulnya dia sudah berkeputusan tidak memikirkannya untuk selamanya, tapi entah kenapa, otaknya yang bebal dan berat, justru memikirkan dirinya saja. Kalau tadi dia bertekad untuk tidak menuju ke hotel Hong-ping, tapi  waktu dia angkat kepala, tahu-tahu dia menyadari dirinya tengah melangkah di jalan raya itu, dan anehnya dia sudah tidak melihat lagi papan merk hotel Hong-ping yang tergantung tinggi itu, hanya sekelompok orang yang berkerumun. Ada yang bisik-bisik, ada yang geleng-geleng dan menghela napas, ada pula orang yang memeluk kepala tengah menangis terisak-isak. Apakah yang terjadi di sini?

Tak tahan Yap Kay menuju ke sana, dia mendesak maju di antara gerombolan orang banyak. Seketika sekujur badannya seperti diguyur air dingin, berdiri mematung kaku seperti tonggak kayu. Hotel Hong-ping yang merupakan hotel terbesar dan termewah di seluruh kota Tiang-an ini, kiranya sudah menjadi tumpukan puing.

ooo)dw(ooo

Peristiwa yang terjadi di hotel Hong-ping semalam, baru diketahui khalayak ramai setelah hari terang tanah. Maklumlah kemarin adalah tahun baru. Setiap malam tahun baru, setiap keluarga pasti makan bersama, semuanya menyekap diri di rumah, tiada yang keluyuran di jalanan. Umpama ada orang lewat, mereka paling adalah kawanan judi atau bajingan tengik, tiada orang yang mau mengeduk kantong jajan di restoran atau keluyuran di hotel.

Bagi orang-orang yang berada di rumahpun tengah sibuk, kalau tidak main kartu, minum arak dan lain kesibukan, apapun yang terjadi di luar rumah takkan menjadi perhatian mereka.

Karena hari itu adalah hari luar biasa, maka terjadi pula kejadian yang luar biasa ini. Hal ini pasti bukan kebetulan, karena setiap peristiwa pasti ada sebab musababnya.

ooo)dw(ooo

Hotel Hong-ping sudah terbakar habis, namun tidak diketemukan tulang belulang satu orangpun.

"Dimanakah Ciangkui pemilik hotel ini?"

Tiada yang tahu. Semalam apa yang terjadi di sini, boleh dikata tiada orang tahu.

"Hal lain tidak perlu kubuat heran, hanya sepasang mempelai yang katanya mengadakan pesta di hotel ini semalam, tidak berada di kamarnya lagi, demikian juga Ciangkui telah menghilang."

Semua yang hadir sama menebak-nebak dan satu sama lain berdebat. Semakin dibicarakan semakin ribut dan urusanpun semakin kalut.

"Apakah semalam hotel ini kedatangan Dewi Rase? Atau kedatangan setan jahat?"

Jikalau bukan kedatangan setan, masakah hotel ini terbakar, sedikitnya Ciangkui tua itu pasti akan kembali. Yap Kay tahu dunia ini tiada setan, selamanya dia tidak percaya akan dongeng-dongeng tentang setan. Tapi peristiwa ini memang seperti dipermainkan setan, umpama dia harus memukul lubang batok kepalanya, persoalan ini tetap menjadi teka-teki.

Terasa dia berdiri seperti kayu, kayu yang dingin dan keras. Sebetulnya bagaimana hotel ini sampai terbakar? Kemana Ting Hun-pin dan Kwe Ting yang baru jadi pengantin itu? Dia harus menyelidiki dan menemukan jejak mereka. Namun dia tidak tahu kepada siapa dia harus bertanya.

Pada saat itulah, di tengah orang banyak yang  berdesakan itu, tiba-tiba ada orang menarik ujung bajunya. Waktu dia menunduk, maka dilihatnya sebuah jari-jari tangan nan indah putih halus meruncing, tangan seorang perempuan. Siapakah yang menariknya? Apakah Ting Hun- pin?

Waktu Yap Kay angkat kepala, orang yang menariknya sudah memutar badan, menuju ke tengah-tengah gerombolan orang banyak. Orang ini mengenakan kerudung mantel berbulu burung, rambut panjangnya terurai mayang, tergelung oleh sebuah gelang batu giok. Apakah dia ini Ting Hun-pin? Yap Kay tidak bisa mengenalinya.

Terpaksa dia ikuti langkah orang, langkah orang gemulai dan enteng. Tiba-tiba timbul perasaan yang tak bisa terlukiskan dalam benak Yap Kay, sebentar mengharap perempuan ini adalah Ting Hun-pin, namun juga mengharap bukan.

Jikalau dia benar Ting Hun-pin, setelah mereka bertemu, bagaimana perasaan hatinya? Apa pula yang harus diperbincangkan? Kalau dia bukan Ting Hun-pin, memangnya siapa dia?

Kali ini Yap Kay tidak mundur, juga tidak menyingkir. Dia tahu perduli orang ini Ting Hun-pin atau bukan, pasti banyak omongan yang hendak dibicarakan dengan dirinya.

Pelan-pelan orang itu melangkah ke depan, tanpa  berhenti juga tidak berpaling. Setelah menyusuri sebuah jalan panjang, membelok ke jalan lain yang panjang pula. Tiba-tiba dia membelok ke sebuah gang sempit di pinggir sana. Gang kecil yang sempit.

(Bersambung ke Jilid-14) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar