Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 09

 
Jilid-09

Tiba-tiba bercahaya sinar mata Yap Kay, mendadak teringat olehnya ucapan Thi Koh:"...........kali ini Mo Kau mengadakan pertemuan di Gunung Malaikat, mendirikan dan menegakkan pula kejayaannya. Kami memilih Su-toa-thian- ong dan Su-toa-kong-cu. "

"Apa yang sedang kau lamunkan?", tanya Cui Giok-tin melihat Yap Kay terlongong.

"Aku memang sudah curiga, namun masih belum yakin." "Apa yang kau curigai?"

"Aku curiga kalau Giok-siau pun anak buah Mo Kau, malah bukan mustahil salah satu dari Su-toa-thian-ong."

Berubah muka Cui Giok-tin, tiba-tiba dia genggam tangan Yap Kay, katanya: "Lukamu sakit tidak?"

Yap Kay manggut-manggut.

"Khabarnya orang-orang Mo Kau menggunakan pisau beracun."

"Memang."

"Kalau benar beracun, kenapa luka-lukamu terasa sakit?"

Jikalau luka-luka kena pisau yang beracun, bekas lukanya tidak akan terasa sakit, hanya terasa linu dan pati rasa. Yap Kay tertawa, ujarnya: "Umpama benar pisau itu beracun, jiwaku takkan mati keracunan."

"Kenapa?"

"Karena aku ini orang aneh, di dalam darahku ada daya kekuatan untuk menolak kadar racun apapun, terutama melenyapkan racun orang-orang Mo Kau."

Terbeliak kaget mata Cui Giok-tin, katanya kurang percaya.

"Apakah pembawaan sejak lahirmu?"

Yap Kay geleng-geleng, ujarnya: "Baru akhir-akhir ini saja kurasakan."

"Bagaimana bisa demikian?"

"Karena ibuku dulu adalah salah satu Toa Kongcu dari Mo Kau."

Semakin kaget Cui Giok-tin dibuatnya. "Dan sekarang?"

"Dia sekarang hanya perempuan awam yang tiada bedanya dengan kau. Kini menghabiskan masa tuanya di suatu tempat yang tenang dan tentram. Hanya satu harapannya supaya putra kesayangannya selalu pulang menjenguk dirinya."

"Tapi kau jarang pulang?"

"Karena masih ada seorang putra lain yang mendampinginya." ujar Yap Kay, sorot matanya tertuju ke tempat jauh pula, katanya kalem: "Walau putra yang satu ini bukan anak kandungnya, tapi dia lebih berbakti dari anak kandungnya sendiri." "Diapun tumbuh seperti dirimu?" tanya Cui Giok-tin ketarik.

"Seperti pula diriku, diapun seorang yang aneh, tapi lebih tampan dari aku, tidak cerewet seperti aku pula, aku mengharap kelak aku bisa sering kumpul sama dia."

Tiba-tiba Cui Giok-tin tertawa berseri, katanya: "Akupun ingin menemuinya, kalau toh dia adalah saudaramu, maka dia pasti seorang yang baik hati pula." tiba-tiba seperti terbayang akan kehidupan masa depan yang penuh harapan dan bahagia, tak tahan dia bertanya: "Siapakah namanya?"

Maka Yap Kay lantas menyebutkan namanya: "Pho Ang- swat."

ooo)dw(ooo

Obat peninggalan Hoa Cu-ceng ada dua bungkus, satu diminum dan lain dibubuhkan pada luka-luka. Obat yang harus diminum berdaya lamban, tenang tapi menghanyutkan, seakan-akan mempunyai daya penenang, maka lekas sekali Yap Kay lantas tidur nyenyak.

Waktu dia terjaga pula, hatinya amat gembira, karena rasa sakit pada luka-lukanya sudah berkurang, malah terasakan pula bau bubur yang sudah hampir masak dari luar. Agaknya Cui Giok-tin sedang sibuk di dapur, masak bubur.

Sinar surya menyorot masuk dari jendela, angin pagi menghembus sepoi-sepoi, tentunya hari ini cuaca cerah.

Yap Kay sudah lupakan segala kerisauan hatinya, teriaknya lantang: "Buburnya sudah matang belum? Lekas tambah tiga mangkok besar untuk aku!" "Ya, inilah datang!" sahutan ini dibarengi dengan tersingkapnya kerai, tahu-tahu sebuah mangkok besar berisi bubur ayam panas mengebul melayang masuk, 'blang...!' menghantam dinding.

Keruan Yap Kay melongo. Bubur berceceran di atas dinding terus mengalir turun pelan-pelan.

Terdengar seseorang tertawa dingin, dan tahu-tahu sudah muncul di ambang pintu.

Ih-me-gao (Setan tangis malam). Dia tetap mengenakan jubah merah lebar dan panjang yang disulami kembang Botan warna hitam, kelihatannya mirip sekali dengan sesosok mayat hidup.

Mendadak Yap Kay tertawa kepadanya, sapanya: "Selamat pagi."

Ih-me-gao menyeringai dingin, katanya: "Memang kepagian kau bangun, tapi kebetulan malah. Jikalau kau terlambat bangun sekejap lagi, mungkin untuk selamanya takkan siuman lagi."

"Walau tidak kebetulan, kedatanganmu tadi cukup pagi juga." demikian Yap Kay balas berolok-olok.

"Ya, burung yang bangun pagi makan gabah, yang bangun siang makan tahi, jikalau bangunku tidak pagi, bagaimana  aku bisa kebetulan kesamplok dengan murid perempuan yang mengkhianati gurunya itu?"

Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Agaknya bangun pagi juga tidak beruntung, jikalau dia bangun siang, masakah sepagi ini dia sudah ketemu setan?" "Kau sendiri yang harus disalahkan." "Aku yang disalahkan?"

"Kalau dia tidak kepincut oleh ketampananmu, masakah sepagi ini dia sudi keluyuran, kembali ke penginapan itu mencari tahu keadaan Han Tin?"

Mendelu dan berdegup keras hati Yap Kay. Semalam memang dia pernah tanya Cui Giok-tin. Sudah tentu diapun tidak tahu bagaimana sekarang Han Tin. Walau Yap Kay hanya tanya sambil lalu, tanpa menyalahkan dia, tidak sekalian menolongnya, namun hati terasa amat menyesal, sedikit sedih. Karena Yap Kay merasa bersalah dan kurang mampu melindungi orang, maka Cui Gio-tin pun ikut merasa sedih. Namun tak pernah terpikir dalam benaknya bila orang sepagi ini sudah pergi mencari kabar Han Tin.

"Dia kira Giok-siau pasti sudah pergi, namun tak terpikir olehnya bahwa aku justru masih tinggal di sana."

Yap Kay bertanya: "Jadi malam itu dia tidak membunuhmu?"

"Kau kira dia benar-benar hendak membunuhku?" "Jadi hanya main-main?"

"Memang, kita hanya bersandiwara, sengaja untuk memberi kesempatan kepadamu untuk menolong tunanganmu itu."

"Waktu itu kalian sudah tahu kedatanganku?"

"Begitu kau memasuki halaman rumah, dia lantas tahu kedatanganmu." Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Agaknya aku terlalu rendah menilainya."

"Diapun menilaimu terlalu rendah. Dia sangka kau pasti sudah mampus."

"Kali ini ternyata kau memang tidak meleset."

"Tapi jikalau Siangkwan Siau-sian tidak kau serahkan, sekarang juga kau mampus."

"Kali ini kau salah lihat."

"Lebih baik kau mengerti akan satu hal." "Coba kau katakan."

"Aku suka membunuh orang," ujar Ih-me-gao, "dan orang yang ingin kubunuh adalah kau."

"Aku percaya kau bicara dengan jujur."

"Oleh karena itu jikalau Siangkwan Siau-sian tidak kau serahkan, aku tidak akan menunggu lagi, lebih baik aku tidak usah mendapatkan dia, namun kau harus kubunuh lebih dahulu."

"Nah, sekarang kuharap kaupun tahu akan satu hal." "Kuberi kau kesempatan bicara."

"Aku tidak suka membunuh orang, tapi manusia macam tampangmu menjadi kekecualian."

Ih-me-gao menyeringai dingin, ejeknya: "Sekarang apakah kau mampu membunuh aku?" "Aku tidak bisa, namun dia bisa!", sekali tangan Yap Kay terbalik dan diacungkan, pisau tahu-tahu sudah berada di tangannya. Pisau terbang.

Mengawasi pisau ini, seketika berkerut-kerut muka Ih- me-gao, matanya memicing. Sudah tentu dia tahu pisau terbang ini merupakan warisan Siau-li Tham-hoa yang tak pernah luput mengincar sasarannya.

Yap Kay berkata pula: "Kuharap kau tidak memaksaku turun tangan."

Sebelum dia turun tangan, setiap kali dia pasti mengeluarkan peringatan ini.

"Aku kenal baik pada pisau ini," ujar Ih-me-gao kalem seraya menatapnya.

"Lebih baik bila kau mengenalnya." "Sayangnya, kau bukan Siau-li Tham-hoa." "Benar, memang aku bukan."

"Sekarang kau ini manusia tidak berguna yang terluka parah, untuk membunuh anjingpun pisaumu tidak mampu."

"Pisau ini tidak pernah membunuh anjing, hanya membunuh manusia yang pantas dibunuhnya."

"Aku ingin mencobanya, apa benar dia bisa membunuhku." sembari gelak tawa tahu-tahu Ih-me-gao melejit tinggi ke atas menubruk ke arah Yap Kay.

Sepasang tangannya memiliki kepandaian khusus yang benar-benar ahli untuk memunahkan serangan senjata rahasia musuh. Tapi spekulasinya kali ini meleset jauh sekali, karena pisau terbang yang satu ini bukan senjata rahasia. Pisau ini sebetulnya bukan pisau, namun merupakan suatu kekuatan yang tiada lawan dan tiada sesuatu yang tidak bisa ditembus dan dihancurkan olehnya.

Begitu sinar pisau berkelebat, badan Ih-me-gao yang tengah terapung di tengah udara seketika melorot turun dan jungkir balik, berdentam keras terbanting di lantai. Dia tidak sempat menjerit, juga tidak meronta, tanpa meregang jiwa, mendadak seperti sebuah karung layaknya meringkel lemas di lantai tak bergerak lagi. Tepat pada tenggorokannya pisau terbang itu menancap.

Pisau terbang yang tiada keduanya di langit dan di bumi, pisau terbang yang tiada bandingannya.

ooo)dw(ooo

Yap Kay diam saja duduk di tempatnya, sorot matanya menampilkan mimik yang sukar diraba, seperti kasihan, mendadak pula merasa amat kesepian. Memang, membunuh orang bukan suatu hal yang patut dibuat senang.

Pada saat itulah di luar jendela kumandang tawa cekikikan semerdu kicauan burung Kenari. Itulah tawa Siangkwan Siau-sian.

"Pisau terbang yang cepat sekali." demikian pujinya.

Kalau tawa cekikikannya masih kedengaran di luar jendela, tahu-tahu orangnya sudah melesat masuk ke dalam pintu, ringan dan tangkas, selincah burung Walet.

Yap Kay tetap duduk diam di tempatnya, melirikpun tidak kepada orang. Kapan dan di manapun gadis yang satu ini muncul, tidak akan bikin Yap Kay kaget dan heran lagi. Seru Siangkwan Siau-sian dengan tepuk tangan: "Aku memang tidak salah menilaimu, selamanya belum pernah kulihat pisau secepat itu."

Yap Kay mendadak menyentak dingin: "Kau masih ingin melihatnya?"

"Aku tidak ingin, akupun tahu kau takkan membunuhku. Kalau Siau-li Tham-hoa tahu kau gunakan pisau itu untuk membunuh gadis sebatang kara, kau pasti dimarahi.", lalu dengan cekikikan dia menambahkan pula: "Dan lagi, seharusnya kau berterima kasih kepadaku, kalau kemarin aku tidak suruh Hoa Cu-ceng meninggalkan obatnya, hari ini belum tentu kau mampu membunuhnya."

Yap Kay tidak bisa menyangkal.

"Tapi akupun amat berterima kasih kepadamu," ujar Siangkwan Siau-sian, "yang jelas kau sudah membunuh orang ini demi kepentinganku."

Kata-kata ini laksana cemeti melecut badan Yap Kay. Meski tahu diri sendiri akan diperalat orang, tetap dia melakukannya juga dengan terpaksa, betapapun hal ini membuatnya mendelu.

Kata Yap Kay dingin: "Aku sudah membunuh satu orang, tak segan aku membunuh orang lagi."

"Aku percaya!"

"Maka lebih baik kalau kau lekas menyingkir."

"Kau hendak mengusirku lagi?", ujar Siangkwan Siau-sian menghela napas, "masakah parasku lebih jelek dari nona tosu itu, masakah aku tidak boleh merawat dan melayanimu seperti dia merawat dan melayani kau?"

Pakaian Yap Kay yang sudah tercuci bersih dan dilempit rapi berada di atas meja di pinggir ranjang. Yap Kay segera mengambilnya, dia sudah tak betah rebah lagi.

"Kau hendak pergi? Kemana?, tanya Siangkwan Siau-sian. Yap Kay diam saja.

"Apakah kau hendak pergi cari tosu perempuan itu?", tanya Siangkwan Siau-sian, "kau takkan menemukan dia. Demikian juga Ting Hun-pin, lebih baik kau tak usah menemuinya lagi, supaya tidak bersedih hati. Mungkin hanya satu orang saja yang bisa kau temui sekarang, yaitu Han  Tin. Sekarang dia sedang rebah di dalam peti mati, bergerakpun tidak bisa."

Kebetulan Yap Kay sudah selesai mengenakan sepatunya, mendengarkan ucapan ini, segera ia berjingkrak berdiri, sorot mata laksana obor menyala di mukanya.

Siangkwan Siau-sian mandah tertawa-tawa, katanya: "Kau tahu, bukan aku yang membunuhnya, kenapa mendelik kepadaku? Kalau kau ingin menuntutkan balas kematiannya, silahkan kau cari dulu pembunuhnya." Lalu dengan tawar dia menambahkan: "Tapi kuharap kau tidak usah mencarinya, yang penting bagi dirimu sendiri sekarang adalah rebahlah istirahat memulihkan kesehatanmu."

Yap Kay tidak mendengar habis kata-kata orang. Dia sudah menerjang keluar pintu.

ooo)dw(ooo Peti mati sudah ditutup namun belum dipaku. Peti yang terbuat dari kayu tipis. Jiwa mudanyapun pendek. Muka Han Tin membayangkan dia masih tidur dengan nyenyak, memang dia meninggal di saat dia tidur nyenyak.

"Waktu aku menemukan dia, keadaannya sudah payah dan tak tertolong lagi. Terpaksa kubelikan peti ini untuk mengurus jenazahnya, aku tidak tahu apakah dia punya sanak famili yang bisa menyelesaikan penguburannya," demikian tutur Ciangkui, pemilik rumah penginapan yang ternyata cukup dermawan juga.

Setipis-tipisnya peti mati, jauh lebih baik daripada dibungkus tikar.

"Banyak terima kasih," kata Yap Kay.

Hatinya haru dan simpati, namun juga penuh penyesalan. Jikalau bukan lantaran dirinya, Han Tin tidak akan terluka. Jikalau bukan karena keteledorannya, luka-luka Han Tin sebenarnya bisa disembuhkan. Tapi sekarang Han Tin sudah meninggal, dirinya malah masih hidup.

"Bagaimana dia bisa mati?", tanyanya kemudian. "Terpantek mati oleh sebilah pedang di atas ranjang." "Mana pedangnya?"

"Masih kusimpan."

Pedang itu kemilau memancarkan reflek yang cemerlang ditingkah cahaya lampu. Itulah sebentuk pedang yang kuno dan panjang, terbuat dari besi baja yang digembleng oleh seorang ahli, tajamnya luar biasa. Di punggung pedang malah ada ukiran tulisan kuno pula. Noda darah sudah mengering, dibungkus dengan kain kuning.

"Dua orang pembantu kita dengan kerahkan setaker tenaganya baru berhasil mencabut pedang ini."

Ciangkui sedang mengobral jasa dan mohon penghargaan. Walau dia bukan orang kikir, namun manusia siapa  yang tidak ingin memperoleh keuntungan, mendapat imbalan, sudah tentu kesempatan ini tidak ia sia-siakan.

Yap Kay seperti tidak mengerti atau tidak acuh akan perkataannya. Dalam hati sedang merenungkan suatu hal. 'Mungkinkah pedang ini ditimpukkan dari luar jendela, begitu amblas ke tubuh Han Tin baru memanteknya di atas ranjang? Sungguh besar dan kuat tenaga timpukkannya ini.'

Berkata pula Ciangkui: "Nona yang ikut Toaya datang kemari kemarin malam pernah datang sekali, kelihatannya dia jatuh sakit, karena dia dibopong pulang oleh Kwe Tay- hiap yang mengalahkan Lamkiong Wan itu."

"Kemana mereka sekarang?"

"Entahlah! Mereka hanya muncul sebentar saja."

Seorang pelayan segera menambahkan: "Malam itu kebetulan giliranku lembur, baru saja aku masuk pekarangan, kulihat selarik sinar terang seperti kilat menyambar. Waktu aku memburu ke sana, kulihat teman Toaya ini sudah mati terpantek di atas ranjang. Tak lama kemudian Kwe Tay-hiap datang membopong nona itu. Waktu Kwe Tay-hiap berduel dengan Lamkiong Wan, akupun mencari kesempatan menonton, maka aku mengenalnya. Namun setelah aku memberi laporan kepada Ciangkui dan memburu ke kamar itu, ternyata Kwe Tay-hiap sudah pergi dengan nona itu."

Rekaan Yap Kay memang tidak salah. Pedang ini memang ditimpukkan dari luar jendela, maka pelayan ini melihat selarik sinar pedang laksana kilat menyambar. Waktu si pembunuh hendak menjemput pedangnya, Kwe Ting pun keburu datang. Agaknya orang turun tangan setelah Cui Giok-tin membawa lari Yap Kay dan sebelum Kwe Ting membawa Ting Hun-pin kembali. Waktu hanya sekejap saja, kemungkinan memang dia tidak sempat lagi menjemput pedangnya, atau mungkin karena timpukkannya terlalu besar sehingga dalam waktu mendesak, dia tidak kuasa mencabutnya. Bukankah dua orang pelayan hotel ini harus mengerahkan setaker tenaga baru bisa mengeluarkan pedang itu?.

Kemana Kwe Ting membawa Ting Hun-pin? Kenapa tidak menunggunya di sini? Tidak mencari dirinya pula?

Semua persoalan ini tak ingin Yap Kay memikirkan lagi. Hanya satu yang terpikir di dalam benaknya, jangan biarkan Han Tin mati secara konyol. Penyesalan hatinya sudah berubah menjadi amarah dan dendam kesumat.

"Bolehkah pedang ini kubawa?" tanya Yap Kay. "Sudah tentu boleh. "

Tanpa banyak bicara Yap Kay segera berlalu.

Keruan Ciangkui tersipu-sipu: "Toaya, apakah kau tidak mau bawa pulang dan mengebumikan jenazah temanmu ini?"

"Aku akan datang lagi, besok lusa aku pasti kembali." Bukannya Yap Kay tidak tahu maksud Ciangkui, cuma seseorang yang kantongnya kosong tanpa punya sepeser uangpun, terpaksa harus pura-pura bodoh.

ooo)dw(ooo

Cahaya mentari cerlang cemerlang. Selama sepuluh hari belakangan ini, baru hari ini kelihatan adanya cahaya mentari yang begini benderang. Salju yang membeku sudah mencair, lumpur di sepanjang jalan. Tapi orang yang hilir mudik di jalan raya tak terhitung banyaknya. Semua ingin kelayapan atau melakukan kerja apapun mumpung cuaca begini baik.

Merk ema dari Pat-hong Piau-kiok kelihatan kemilau menguning dan angker sekali ditingkah sinar matahari. Seorang tua yang mengenakan baju hijau celana sutra tengah menyapu salju di depan rumah.

Dengan langkah lebar Yap Kay langsung mendekati.  Begitu kakinya melangkah lebar dan berderap kencang, luka-luka di dadanya lantas senut-senut kesakitan, namun langkahnya masih tetap cepat. Rasa sakit badaniah sudah tidak dihiraukan sama sekali olehnya.

Waktu dia memasuki pekarangan, kebetulan dua orang tengah melangkah keluar dari pendopo besar. Seorang berusia empat puluhan, pakaiannya perlente, sikap dan mukanya gagah keren. Tangannya memegang pelor besi, berkericikan berbunyi nyaring. Seorang lagi berusia lebih muda, namun memelihara kumis dan jenggot pendek yang terpelihara baik, mukanya putih halus, demikian pula jari- jarinya halus terpelihara baik. Yap Kay segera memapak maju. Di waktu hatinya senang dan perasaan longgar, biasanya dia cukup sopan santun dan ramah tamah. Akan tetapi sekarang hatinya sedang dirundung sedih dan dilandasi dendam kesumat dan amarah yang meluap.

Tanpa bersoja atau memberi hormat, langsung dia bertanya: "Siapakah yang menjadi Cong-piau-thau di sini?"

Laki-laki setengah baya yang memegangi pelor besi mengawasi dari kepala sampai ke kaki, katanya menarik muka: "Akulah yang jadi Cong-piau-thau di sini." terhadap orang yang tidak sopan sudah tentu diapun tidak sungkan- sungkan lagi. Memang Thi-cui-tin-pat-hong (Mulut besi menggetarkan delapan penjuru angin) Cay Ko-kang tidak gampang dibuat permainan.

"Memangnya kau ini siapa? Mencari siapa pula?" "Aku mencarimu." sahut Yap Kay.

"Ada petunjuk apa?" "Ada dua hal."

"Silahkan katakan dulu satu persatu."

"Aku minta pinjam 500 tail perak. Dalam tiga hari pasti kukembalikan."

Cay Ko-kang tertawa, namun sorot matanya dingin tajam, katanya sambil menatap dada Yap Kay: "Kau terluka."

Ternyata luka-luka di dada Yap Kay pecah pula, darah merembes keluar membasahi pakaiannya. Cay Ko-kang menyeringai dingin, katanya kalem: "Kalau kau ingin terluka sekali lagi, lebih baik kau lekas kembali dari arahmu datang tadi."

Yap Kay balas menatapnya bulat-bulat, katanya tak kalah kalemnya: "Sudah lama kudengar, Thi-cui-tin-pat-hong adalah laki-laki yang malang melintang dan sewenang- wenang, agaknya memang tidak salah ucapan orang lain itu."

Cay Ko-kang hanya menyeringai lebar.

Yap Kay berkata: "Aku hanya minta 500 tail, kau boleh tidak usah memberi. Kenapa ingin aku terluka sekali lagi? Kenapa aku harus menggelinding pergi?"

Cay Ko-kang murka, bentaknya: "Aku justru ingin kau menggelinding pergi.", mendadak dia turun tangan merenggut baju leher Yap Kay, pikirnya dia hendak cengkeram kuduk Yap Kay lantas melemparnya keluar. Jari tangannya kasar, besar dan kuat, otot hijau merongkol keluar, jelas dia ada meyakinkan Eng-jiau-kang atau ilmu sebangsa itu.

Yap Kay tidak bergerak. Tapi cengkeraman orang tidak mengenai Yap Kay, namun dia mencengkeram tangan Yap Kay. Karena tahu-tahu Yap Kay angkat tangan menepak cengkeraman jari tangan orang. Jadi sepuluh jari saling cengkeram dan pegang.

Cay Ko-kang tiba-tiba menghardik: "Putus!"

Dia yakin Eng-jiau-kang latihannya sudah mencapai tingkat ke sembilan, maka dia bermaksud menekuk dan meremas putus jari-jari Yap Kay.

Sudah tentu jari-jari Yap Kay tidak terluka tidak putus. Sekonyong-konyong Cay Ko-kang sendiri rasakan jari lawan mempunyai tenaga remas dan gerakan yang lebih kuat puluhan lipat dari kekuatannya. Asal orang mau kerahkan tenaga, kelima jarinya terang akan putus sendiri.

Memang, pisau terbang hanya bisa disambitkan dengan kekuatan tenaga jari, tanpa dilandasi kekuatan jentikan jari yang maha kuat, mana mungkin timpukan pisau terbang tak pernah gagal dan mampu menembusi apapun jua.

Berubah hebat muka Cay Ko-kang, dia tidak berani bercuit lagi.

"Bila kelak kau hendak memotes putus jari orang, lebih baik kau gunakan otakmu lebih dulu." demikian Yap Kay memberi peringatan. Mendadak dia lepaskan tangannya terus putar badan tinggal pergi.

Laki-laki muda yang sejak tadi menggendong tangan dan menonton dari samping, kini tiba-tiba bersuara: "Harap tunggu sebentar."

Yap Kay berhenti, tanyanya: "Kau punya 500 tail untuk ku pinjam?"

Laki-laki muda itu tertawa, tanyanya tanpa menjawab pertanyaan orang: "Saudara she apa?"

"Aku she Yap." sahut Yap Kay. "Yap artinya daun?"

Yap Kay manggut-manggut.

"Yap Kay?" seru laki-laki muda dengan menatapnya. Yap Kay manggut-manggut. "Ya, Kay artinya senang terbuka."

Tersirap darah Cay Ko-kang, serunya terbeliak: "Kenapa tidak tuan katakan sejak tadi?"

"Aku ini bukan orang yang suka main-main ketenaran, yang jelas aku kemari mau pinjam uang, dalam tiga hari pasti kukembalikan."

"500 tail sudah cukup?"

"Aku hanya ingin membeli dua buah peti mati saja."

Cay Ko-kang tidak berani banyak tanya lagi. Kasirnya yang cerdik ternyata sudah mempersiapkan 500 tail uang dan berdiri di belakangnya.

"Silahkan terima!" katanya kemudian.

Tanpa sungkan-sungkan Yap Kay menerimanya. Penguburan Han Tin bukan saja harus segera diselesaikan, demikian pula jenazah Ih-me-gao harus dia kubur.

Cay Ko-kang yang sekarang munduk-munduk hormat bertanya pula: "Tuan tadi ada dua persoalan?"

"Aku masih ingin mencari tahu seseorang." "Siapa?"

"Lu Di, Pek-ie-kiam-kek Lu Di."

Tiba-tiba terunjuk mimik yang aneh pada muka Cay Ko- kang.

"Khabarnya dia sudah berada di Tiang-an, kau tahu di mana dia berada?" tanya Yap Kay. Pemuda yang memelihara kumis jenggot itu tiba-tiba tertawa, katanya: "Inilah aku, ada di sini."

Sikap dan tindak-tanduk pemuda ini amat sopan dan ramah tamah. Tampangnya ganteng, lemah lembut, pakaiannya adalah jubah putih mulus, sorot matanya berkilauan dingin menampilkan rasa congkak dan bangga akan diri sendiri.

"Jadi kau ini Lu Di?" tanya Yap Kay dengan mengawasinya lekat-lekat.

Pemuda itu mengiyakan seraya menganggukkan kepala.

Yap Kay lantas membuka buntalan kain kuning, serta keluarkan pedang, lalu menjepitnya dengan kedua jarinya serta angsurkan gagang pedang ke depan orang.

"Kau kenal pedang ini?"

Lu Di tidak menerima, hanya dipandangnya sebentar, katanya: "Inilah Siong-hun-kiam dari Bu-tong-pay."

"Apakah hanya murid Bu-tong-pay saja yang bisa memakainya."

Lu Di mengiyakan.

"Apakah kaupun murid Bu-tong-pay? Apakah pedang ini milikmu."

"Ya, aku murid Bu-tong-pay, tapi pedang ini bukan milikku."

"Lalu di mana pedangmu?"

"Belakangan ini aku tidak pernah pakai pedang lagi." "Menggunakan tangan?" Lu Di menggendong tangannya, sahutnya dingin: "Benar! Ada tangan sementara orang juga boleh dianggap sebagai senjata tajam."

"Tapi kalau kau ingin membunuh orang dari luar jendela, tetap harus pakai pedang."

Lu Di mengerut kening, agaknya tidak mengerti apa maksud perkataannya.

"Karena tanganmu kurang panjang!" "Apa sih maksudmu?"

"Apa maksudku kau sudah tahu sendiri."

"Maksudmu, aku membunuh orang dengan pedang ini? "Kau menyangkal?"

"Siapa yang kubunuh?"

"Setiap kali kau bunuh orang, selamanya tidak pernah tanya siapa dia."

"Sekarang aku bertanya." "Dia she Han bernama Tin."

"O, Han Tin?" Lu Di berpaling kepada Cay Ko-kang, tanyanya: "Kau tahu orang ini?"

Cay Ko-kang manggut-manggut, sahutnya: "Dia adalah kantong wasiat Wi Thian-bing, orang menjulukinya gurdi."

Terunjuk rasa lega dan menyepelekan pada sorot mata Lu Di, tanyanya pada Yap Kay: "Pernah apa si gurdi ini dengan kau?"

"Seorang temanku!" "Kau menuntut balas bagi temanmu?" tanya Lu Di, "kau kira akulah pembunuhnya?"

"Memangnya bukan kau?"

"Anggaplah aku pembunuhnya, memangnya kenapa?. Jangan kata hanya terbunuh seorang, sepuluh seperti itu yang kubunuh, tidak menjadi soal, dan boleh anggap akulah pembunuhnya."

Yap Kay tertawa ringan, katanya dingin: "Kau kira kau siapa?"

"Seorang yang tidak gentar menghadapi perkara. Setelah luka-lukamu sembuh, kapan saja kau ingin menuntut balas, pasti kulayani."

"Tidak usahlah! Kenapa mengulur waktu?" "Sekarang juga kau ingin turun tangan?"

"Cuaca hari ini cukup baik, tempat inipun tidak jelek."

Lu Di mengawasinya lekat-lekat, katanya kemudian: "Tadi kau bilang beli dua peti mati, satu untuk Han Tin, lalu yang lain untuk siapa?"

"Untuk Ih-me-gao."

"Jik-mo-jiu Ih-me-gao?" seru Lu Di, "dia sudah terbunuh olehmu?"

"Setiap membunuh orang, takkan kulupakan untuk membereskan jenazahnya."

"Baik! Jikalau kau mampus, anggap[lah aku yang membeli dua peti mati ut, demikian pula peti matimu." "Tidak perlulah!", ujar Yap Kay, "kalau aku mati, lebih baik kau lempar mayatku ke selokan menjadi mangsa anjing keparat."

Tiba-tiba Lu Di gelak-gelak, serunya menengadah: "Bagus, bagus sekali!"

"Bagaimana kalau kau yang mampus?" tanya Yap Kay. "Kalau aku mati, boleh kau teliti badanku, duduklah di

depan  layon  Han  Tin,  dan  sayatlah  daging  badanku  dan

telanlah diiringi arak!"

Yap Kay bergelak tawa, serunya: "Bagus, bagus sekali! Laki-laki sejati menuntut balas bagi sakit hati teman, memang harus demikian." tiba-tiba dia putar badan membelakangi Lu Di.

Karena gelak tawanya barusan sehingga luka-lukanya pecah dan darahpun merembes keluar.

Berdiri di bawah pancaran sinar surya, Lu Di tetap menggendong ke dua tangannya. Agaknya dia teramat sayang dan memandang ke dua tangan sendiri bagai pusaka lebih berharga dari jiwa sendiri, maka menjadi pantangan bagi dia kalau tanpa perlu, tangannya takkan boleh dilihat orang.

Pelan-pelan Yap Kay menghampiri ke depan orang. Kembali dia angsurkan pedang kepada orang: "Inilah pedang milikmu!"

Dengan tertawa dingin Lu Di terima pedang itu. Mendadak dia ayun tangan, pedang itu melesat terbang, 'tok' menancap amblas seluruhnya ke batang pohon 5 tombak di depan sana. Betapa besar tenaga timpukannya ini, kiranya cukup untuk melubangi badan orang dan cukup memantek badan orang di atas ranjang.

Memicing mata Yap Kay, katanya dingin: "Bagus, memang pedang piranti membunuh orang."

Lu Di tetap menggendong tangan, katanya congkak: "Sudah kukatakan, aku tak pernah pakai pedang lagi."

"Tadi sudah kudengar."

"Waktu membunuh orang, tentunya kaupun tidak menggunakan pedang?" tanya Lu Di.

"Selamanya tidak."

Lu Di menatap tangannya, tanyanya tiba-tiba: "Mana pisaumu?".

Sudah tentu dia tahu akan pisau Yap Kay. Boleh dikata tiada insan persilatan yang tidak kenal akan pisaunya.

Yap Kay balas menatapnya bulat-bulat. Lama sekali baru dia bersuara dingin: "Di sini!", sekali tangannya berbalik dan diacungkan, tahu-tahu pisau sudah berada di antara sela- sela jarinya.

Pisau yang kemilau menyilaukan mata. Pisau yang tipis tajam ditingkah matahari menimbulkan sinar reflek yang cemerlang. Kalau di tangan orang lain, pisau ini takkan dipandang senjata ampuh, tapi di tangan Yap Kay? Tiba-tiba mengerut kejang kelopak mata Lu Di, demikian pula Cay Ko- kang yang jauhnya lima tombak di belakang sana, merasakan napasnya sesak dan seperti mau berhenti.

Akhirnya tercetus pujian dari mulut Lu Di: "Bagus!

Memang pisau yang membunuh orang." Yap Kay tertawa, tiba-tiba dia ayunkan pisaunya, sekali berkelebat, tiba-tiba pisau sudah lenyap.

Pisau itu seolah-olah menghilang di telan angin tanpa bekas. Umpama orang yang punya pandangan mata paling tajam dan jeli sekalipun hanya melihat sinar pisau berkelebat sekali di tempat kejauhan, tahu-tahu sudah tak berada lagi di tangannya. Jelas kekuatan dan kecepatan dari gerak pisau ini, takkan ada orang yang bisa melukiskan dengan kata-kata.

Mau tak mau berdegup dan tersirap darah Lu Di, teriaknya bertanya: "Apa sih maksudmu?"

Yap Kay tertawa tawar: "Kau tidak menggunakan pedang, kenapa aku harus pakai pisau?"

Lu Di mengawasinya dengan tajam, sorot matanya menampilkan mimik aneh, lama sekali tiba-tiba dia ulurkan ke dua tangannya.

"Lihatlah tanganku ini."

Dalam pandangan orang lain, tangan itu tiada ubahnya seperti tangan orang biasa, tiada sesuatu tanda dari keistimewaan atau keluar biasaannya. Jari-jarinya lencir panjang terpelihara baik, selalu terpelihara bersih. Memang cocok bagi pemuda yang punya pendidikan tinggi dan suka kebersihan.

Tapi Yap Kay justru sudah mendapatkan sesuatu keanehan, kalau tidak mau dibilang sebagai sesuatu keajaiban. Tangan ini kelihatannya tidak berotot dan berurat nadi, kulitnya yang mengkilap licin dan halus memancarkan kemilau tak ubahnya seperti barang keras sebangsa logam.

Jari-jari tangan ini seperti bukan terbuat dari darah daging manusia umumnya, kelihatannya mirip logam yang aneh, bukan emas, tetapi lebih mahal dari emas, bukan baja tapi lebih keras dari baja.

Berkata Lu Di dengan menatapi ke dua tangannya: "Kau sudah melihat jelas, ini bukan tangan, inilah senjata piranti membunuh orang."

Yap Kay tak bisa menyangkalnya. "Kau kenal pamanku?" tanya Lu Di.

Yang dimaksud adalah Oen-ho-gin-kan Lu Hong-sian. Sudah tentu Yap Kay tahu akan kebesaran nama orang.

"Inilah ilmu yang dulu beliau yakinkan. Nasibku jauh lebih beruntung karena sejak berumur tujuh tahun aku meyakinkan ilmu ini."

Setelah namanya kenamaan, baru Lu Hong-sian latihan, maka hasilnya hanya tiga jari tangannya saja yang berhasil dilatihnya sempurna.

Lu Di berkata: "Dia yakinkan ilmu macam ini karena selamanya dia tidak sudi diungkuli orang lain."

Perlu diketahui, di dalam buku daftar senjata ciptaan Pek Siau-seng, Oen-ho-gin-kan terdaftar nomor lima di abwah Thian-ki-sin-pang, Liong-hong-siang-hoan, Siau-li-hwi-to dan Siong-yang-thi-kiam. Lu Di berkata: "Setelah Pek Siau-seng membuat daftar senjata itu, pamanku berlatih tekun selama sepuluh tahun, baru muncul pula di Kang-ouw. Dengan tangan hasil gembelengannya itu, dia ingin menjajal siapa sebenarnya yang patut dicantumkan di urutan paling atas."

Sampai di sini dia berhenti dan tidak melanjutkan keterangannya, karena Lu Hong-sian belakangan kalah. Kalah di tangan seorang perempuan. Perempuan secantik bidadari, namun hidupnya seolah-olah sudah dikodratkan untuk menjebloskan laki-laki ke dalam neraka. Itulah Lim Sian-ji.

"Pamanku pernah bilang," kata Lu Di lebih lanjut, "ini bukan terhitung tangan manusia lagi, namun adalah gaman tajam piranti membunuh orang. Kini patut diagulkan dan berani dicantumkan di deretan teratas dalam buku daftar alat senjata."

Yap Kay diam dan mendengarkan tanpa memberi komentar, dia tahu apa yang dikatakan Lu Di memang kenyataan. Selamanya dia tidak pernah menukas pembicaraan orang.

Lu Di angkat kepala menatapnya pula, katanya: "Bagaimana kau bisa menghadapi senjata tajam yang khusus untuk menamatkan jiwa orang dengan bertangan kosong saja?"

"Aku ingin mencobanya." sahut Yap Kay.

Lu Di tidak banyak tanya, Yap Kay pun tidak bicara pula.

Kini apapun yang dibicarakan rasanya sudah berlebihan.

ooo)dw(ooo Cahaya matahari semakin terik, namun Cay Ko-kang justru merasa bergidik kedinginan dicekam oleh suasana tegang yang dihadapinya. Bahwa pakaian yang dipakainya sebetulnya sudah mulai hangat karena cahaya matahari yang mulai panas. Tapi tiba-tiba terasa hawa dingin mulai timbul dalam lubuk hatinya.

Kalau pisau sudah lenyap di balik mega, pedangpun sudah menancap di dahan pohon, maka dingin ini bukan lantaran hawa pedang atau pisau, namun rasa dingin ini jauh lebih tajam dari ujung pisau atau tajamnya pedang. Sebetulnya Cay Ko-kang sudah tidak ingin tinggal di dalam pekarangan ini, tapi betapapun dia berat dan tak tega meninggalkan pekarangan ini. Siapapun bisa membayangkan duel ini pasti merupakan pertempuran seru dan sengit yang menggetarkan nyali dan hati setiap orang yang menontonnya, akan selalu berkumandang dan abadi di dalam lembaran sejarah dunia persilatan. Memangnya siapa yang mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini?.

Hanya satu harapan Cay Ko-kang, supaya mereka lekas mulai dan lekas berakhir, tapi Yap Kay tidak turun tangan, demikian pula Lu Di berdiri diam tak bergeming.

Sebagai penonton Cay Ko-kang tidak kuat mengendalikan diri karena adanya tekanan yang menakutkan ini, namun mereka-mereka yang bersangkutan justru  kelihatannya acuh tak acuh. Apakah lantaran tekanan ini adalah mereka sendiri yang mengeluarkan, maka mereka sendiri tidak merasakannya sama sekali?

Jelas terlihat oleh Cay Ko-kang, sikap dan mimik Yap Kay masih sedemikian tenang, dingin dan tabah. Sorot matanya yang mengandung dendam membara kini sudah mereda dan tidak kelihatan lagi. Tentunya dia sudah tahu di dalam keadaan dan situasi seperti ini, kemarahan dan emosi hanya merupakan pukulan batin yang akan mengakibatkan kekalahan.

Sikap congkak Lu Di pun sudah tak kelihatan pula. Di saat-saat duel yang menentukan mati hidup ini sekali-kali pantang sedikit lena, congkak juga merupakan titik kelemahan yang bisa mengakibatkan kematian.

Tidak sedikit Cay Ko-kang pernah melihat duel dua tokoh silat kosen, namun kesalahan seperti congkak, marah, sedih, takut dan lain, semua merupakan titik tolak yang paling sulit untuk dihindari oleh setiap insan persilatan. Tapi sekarang, tiba-tiba terasakan olehnya, kedua pemuda yang berhadapan ini sedikitpun tidak menunjukkan kesalahan- kesalahan yang pernah dilihatnya pada orang lain.

Perasaan hati dan sikap mereka, gayanya berdiri, jelas merupakan kesempurnaan di dalam membina diri demi mencapai kemenangan yang mutlak. Memangnya siapa yang bakal menang dalam duel ini? Sulit Cay Ko-kang memberikan penilaian. Yang jelas baginya bahwa tidak sedikit insan persilatan sana beranggapan bahwa Yap Kay merupakan musuh paling menakutkan dalam Bu-lim jaman ini. Pernah dia dengar orang bilang, bila sekarang ada orang menciptakan buku daftar senjata, pasti pisau Yap Kay akan dicantumkan paling atas. Tapi sekarang dia tidak membawa pisau, namun demikian sikap dan perbawanya sudah menunjukkan tekanan yang mendesak, apakah Yap Kay bisa menang?. Cay Ko-kang juga tahu, sepasang tangan Lu Di merupakan tangan yang paling menakutkan di bilangan dunia persilatan, kedua tangan itu sudah mendekati Kim-kong-put-hoay, sudah tiada seorang atau senjata apapun yang mampu merusak atau menghancurkan tangan ini. Lu Di bisa menang? Sudahkah Cay Ko-kang memberikan putusannya?

Kelihatan Yap Kay amat tenang tabah dan punya keyakinan, kecuali pisau, dia pasti mempunyai ilmu silat yang menakutkan. Ilmu yang tak pernah terbayangkan oleh siapapun, kalau sekarang ada seorang lain mengajak Cay Ko- kang bertaruh, mungkin dia berani bertaruh bagi kemenangan Yap Kay. Dia beranggapan kesempatan Yap Kay mencapai kemenangan dua bagian lebih unggul dari Lu Di.

Tapi dia salah, karena dia tidak bisa meraba perasaan anubari Yap Kay saat ini, diapun tidak tahu bahwa sesuatu yang terlihat oleh Yap Kay sudah cukup bikin dia tertawa getir, perutnya mual dan mengeluarkan air getir.

ooo)dw(ooo

Sejak Lu Di melemparkan pedangnya tadi, Yap Kay sudah merasa simpati kepada pemuda yang congkak ini, tapi dia pernah mendengar dua patah kata 'Perbedaan antara musuh dan sahabat, tak ubahnya seperti perbedaan antara hidup dan mati'.

'Jikalau ada orang ingin kau mati, maka kaupun harus menginginkan kematiannya, dalam hal ini kau tidak akan diberi kesempatan untuk memilih', itulah wejangan yang pernah diberikan Ah Hwi kepadanya.

Ah Hwi tumbuh dewasa di dalam kehidupan liar yang menelan kelemahan dan jayalah yang kuat. Itulah hukum rimba yang berkuasa atas insannya, merupakan perundang- undang akan mati hidup di dalam kehidupan liar itu pula.

Maka di saat menghadapi detik-detik menentukan dalam duel antara mati dan hidup ini, sekali-kali pantang timbul rasa simpati dan bersahabat dengan musuh, terlebih pula tidak boleh merasa sayang dan suka padanya.

Yap Kay cukup mengerti akan pengertian ini, maka dia tahu unsur untuk mencapai kemenangan dalam duel ini bukan melulu mengutamakan 'kecepatan' dan 'telengas', tapi adalah 'tabah' dan 'telak', karena mungkin saja Lu Di lebih cepat, lebih telengas dari dirinya. Karena dadanya sekarang sedang terbakar dan sakit seperti disulut api, bukan saja karena luka-lukanya pecah dan kambuh, luka-lukanya itupun sudah mulai bernanah dan membusuk. Yang terang obat yang diberikan Biau-jiau-long-tiong bukan obat dewa yang dapat menimbulkan keajaiban di dalam waktu dekat.

Derita dan sakit ada kalanya memang menimbulkan kesadaran dan kejernihan pikiran. Sayang sekali kondisi dan tenaga badan sudah tidak mungkin bekerja dan berpadu dengan semangatnya. Maka sekali turun tangan dia harus yakin dapat merenggut jiwa lawan, sedikitnya bila dirinya sudah mendapat tujuh keyakinan, baru boleh turun tangan. Oleh karena itu dia perlu dan harus menunggu kesempatan yang paling baik.

Bila lawan menunjukkan perubahan kelemahannya, dan setelah lawan menjadi lemah dan patah semangat, dia menunggu kesempatan yang diberikan kepadanya. Tapi dia menjadi kecewa dan putus asa, selama ini dia belum juga mendapat peluang yang diharapkan dari Lu Di. Kelihatannya Lu Di hanya berdiri adem-ayem dan sembarangan saja, seluruh badannya dari atas sampai bawah kelihatan terdapat banyak peluang yang kosong. Perduli dari arah manapun Yap Kay turun tangan, kelihatannya akan mencapai harapan dengan mudah.

Akan tetapi terbayang pula olehnya kata-kata yang pernah dikatakan Siau-li Tham-hoa kepadanya dulu. Dulu, duel yang terjadi antara Ah Hwi dengan Lu Hong-sian hanya Li Sin-hoan saja yang hadir dan menyaksikan. Lu Hong-sian pada waktu itu tak ubahnya dengan Lu Di yang sekarang dihadapinya.

'Waktu itu pedang Ah Hwi kelihatan sembarang waktu bisa menusuk kemana saja sesuai keinginan hatinya mengarah ke badan orang, tapi kalau peluang yang kosong itu terlalu banyak, malah bukan menjadi peluang lagi. Seluruh badannya seolah-olah sudah berubah menjadi sesuatu yang kosong melompong. Kekosongan ini justru merupakan taraf tertinggi dari latihan ilmu silat yang sudah mencapai tingkatan yang tiada taranya. Pisau terbangku sedikitnya mempunyai banyak kesempatan dan aku punya sembilan keyakinan. Tapi kalau waktu itu aku menjadi Ah Hwi, pisau terbangku belum tentu berani kusambitkan kepada Lu Hong-sian lebih dahulu.", setiap patah kata yang pernah diucapkan Li Sin-hoan, tidak pernah dilupakan oleh Yap Kay. Kini apakah Lu Di juga sudah mencapai kekosongan itu?

Tiba-tiba Yap Kay menyadari bahwa dirinya terlalu rendah menilai pemuda yang satu ini. Orang ini baru benar- benar merupakan lawan tertangguh yang belum pernah dia jumpai selama hidup. Walau dia tidak sampai melanggar kesalahan yang mematikan, tapi dia justru telah kehilangan unsur terpenting untuk mencapai kemenangan, yaitu dia kehilangan keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri untuk mencapai kemenangan.

Lu Di terus menatapnya dingin, sorot mata semakin cemerlang, semakin dingin dan sadis, mendadak tercetus dua patah kata dari mulutnya: "Kau kalah!"

Yap Kay belum turun tangan, tapi Lu Di sudah mengatakan dia kalah. Kata-katanya memang tidak berlebihan, laksana ujung pedang yang menghunjam luka- luka akan kepercayaan Yap Kay pada dirinya.

Ternyata Yap Kay tidak menyangkal, karena secara tiba- tiba dia melihat Lu Di akhirnya memberi kesempatan kepadanya. Seseorang bila buka mulut berbicara, semangat dan ketegangan kulit dagingnya pasti akan mengendor.

Muka Yap Kay menampilkan rasa sedih, karena dia tahu semakin sedih sikap yang dia tampilkan, muka Lu Di semakin tidak akan memberi peluang kepadanya. Di dalam duel antara mati hidup ini, kalau bisa dan dapat cara untuk menyiksa musuhnya, siapapun takkan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Lu Di berkata lebih lanjut: "Tenagamu sudah takkan kuat bertahan lebih lama, cepat atau lambat pasti akan berantakan, maka tak usah kau turun tangan, aku tahu kau sudah kalah."

Tepat pada perkataannya terakhir, tiba-tiba Yap Kay turun tangan. Hanya kesempatan baik inilah yang dia peroleh. Di saat semangat dan pertahanannya mengendor, meski orang tiada titik kelemahan, tapi Yap Kay sudah punya kesempatan untuk menggempurnya.

Yap Kay memang tidak menggunakan pisau, tapi kecepatan turun tangannya takkan lebih lambat dari samberan pisaunya. Jari-jari tangan kiri mencakar seperti kuku harimau, seperti cakar garuda, sementara jari-jari tangan kanan terjulur lempang, tiada orang yang bisa membedakan, dia pakai kepelan, telapak tangan atau Eng- jiau-lat? Atau menggunakan Thi-ci-lat? Perubahan dari jurus serangan tangannya ini rumit dan bervariasi, tiada orang yang bisa menentukan ke arah mana sasaran serangan ke dua tangannya ini.

Dia harus memancing gerakan Lu Di untuk menggugurkan pertahanan dan ketenangan orang. Sedikit bergerak saja kekosongan itu akan seketika berubah berisi. Itu pertanda orang sudah menunjukkan lubang kelemahan. Ternyata Lu Di memang bergerak, lubang kelemahannya berada di atas kepala.

Kontan Yap Kay gerakkan kedua tangannya menggempur ke atas kepalanya. Inilah serangan mematikan, serangan yang menamatkan jiwa orang.

Tapi belum lagi serangannya mencapai sasaran, tiba-tiba hatinya merasa mendelu dan mencelos, karena disadarinya bahwa serangannya ini membuat lubang kelemahan di depan dada sendiri terpampang kelemahan di hadapan orang. Memang, dada merupakan titik kelemahan yang paling vital di seluruh badan, apalagi dadanya sedang terluka. Siapapun bila tahu titik kelemahan sendiri, kemungkinan digempur musuh, hatinya pasti akan lembek, kuatir dan tanganpun akan menjadi lemas.

Kekuatan gempuran Yap Kay tidak sedahsyat biasanya. Demikian pula kecepatannya tidak lebih pesat dari biasanya. Mendadak dia menyadari pula bahwa Lu Di memang sengaja memancing dengan menunjukkan lubang kelemahan di atas kepala ini. Sengaja orang memberi kesempatan dirinya turun tangan, lalu sengaja pula menunjukkan lubang kelemahan ini, maksudnya untuk mengincar lubang kelemahan dirinya. Inilah suatu jebakan atau perangkap yang benar-benar mematikan. Kini bagai seorang picak yang kecemplung ke dalam lubang jebakan, untuk menolong dan memperbaiki kesalahannya sudah tak sempat lagi.

Tangan Lu Di yang menakutkan itu tahu-tahu sudah tiba di depan dadanya. Bukan tangan, namun senjata yang mematikan.

Seketika berubah air muka Cay Ko-kang. Baru sekarang dia menyadari bahwa penilaiannya barusan salah sama sekali. Dia lihat itulah serangan telak dan mematikan, yang tak mungkin bisa dielakkan.

Tak nyana pada detik-detik yang amat kritis itu, badan Yap Kay tiba-tiba melambung ke atas seperti daun yang tiba-tiba terhembus angin melayang ke udara.

Takkan ada orang di dalam detik-detik yang kritis seperti itu bisa melompat ke atas di dalam keadaan dan dengan gaya seperti itu, boleh dikata hal ini sudah tidak mungkin dan dibayangkan. Tapi Ginkang Yap Kay memang sudah mencapai taraf yang tidak mungkin ini. Tak tertahan Cay Ko-kang menjerit memuji keras: "Ginkang bagus!"

Tidak ketinggalan Lu Di pun ikut berseru memuji: "Ginkang hebat!"

Kata-kata pujian ini serempak terucapkan, namun belum lagi suara mereka lenyap, tiba-tiba Yap Kay melorot jatuh mentah-mentah dari atas. Ternyata tangan Lu Di sudah memukul ke tulang selangkangan.

Waktu menggunakan gerakan Ginkang untuk menolong diri, Yap Kay pun sudah menyadari bahwa dirinya berhasil lolos dari pukulan maut Lu Di yang pertama, sayang sekali jurus kedua tak mampu lagi ia kelit. Di waktu badannya melambung ke atas, kekosongan pada bagian badan bawahnya sudah digempur pecah oleh lawan. Hanya itulah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan, yang jelas dadanya terang takkan kuat menerima gempuran dahsyat tangan Lu Di. Akan tetapi pukulan yang mengenai tulang selangkangannya inipun amat besar deritanya.

Terasa tangan Lu Di seperti godam yang menghancurkan tulangnya, malah kuping sendiripun mendengar suara tulangnya yang pecah terpukul.

Kembali tak terpikir oleh Yap Kay bahwa tanah yang becek inipun ternyata sekeras baja, karena waktu dirinya melorot jatuh, justru bagian yang terpukul luka terlebih dahulu menyentuh bumi. Hampir kelengar dia dibuatnya. Tapi cepat sekali dia sudah tersentak sadar, karena didapatinya tangan Lu Di sudah berada di depan dadanya. Kali ini dirinya terang takkan kuasa meluputkan diri dari pukulan tangan orang, tak mungkin melawan dengan tangkisan segala. Kalau tangannya tetap tangan biasa, sebaliknya tangan Lu Di adalah alat piranti membunuh orang. Bagaimanakah rasanya orang mati?

Belum sempat Yap Kay memikirkan hal ini, tiba-tiba didengarnya Cay Ko-kang menjerit: "Jangan membunuhnya!"

Kedua tangan Lu Di terhenti di tengah jalan, katanya dingin: "Kau tidak ingin aku membunuhnya?"

Cay Ko-kang menghela napas, ujarnya: "Kenapa kau harus membunuhnya?"

"Siapa bilang aku hendak membunuh dia?" "Tapi kau. "

Lu Di menyeringai dingin: "Kalau aku benar hendak membunuhnya, hanya kata-katamu kuasa mengendalikan aku?"

Cay Ko-kang menyengir kecut. Dia tahu dirinya takkan mampu merintangi orang turun tangan, mungkin tiada orang dalam dunia ini yang mampu mencegahnya.

Lu Di berkata: "Kalau aku benar ingin membunuhnya, sudah sepuluh kali dia mampus."

Memang bukan kata-kata sombong.

Mengawasi pemuda congkak ini, rasa sakit membuat kulit mukanya mengerut kejang, tapi sepasang matanya malah tenang dan berubah aneh pula. Malah seperti mengandung senyum simpati. Kenapa dia malah tertawa? Dirobohkan dan terluka cukup parah, memangnya sesuatu yang menarik dan membuat hatinya senang? Lu Di berpaling muka, katanya dengan menatap: "Tahukah kau kenapa aku tidak membunuhmu?"

Yap Kay geleng-geleng.

"Karena kau memang sudah terluka, kalau tidak dengan Ginkangmu yang tinggi, umpama tak bisa mengalahkan aku, akupun takkan bisa mencandak kau."

Yap Kay tertawa, ujarnya: "Bahwasanya kau tidak perlu mencandakku, karena meskipun aku kalah, aku tidak akan melarikan diri."

Lu Di menatapnya lagi, lama sekali baru pelan-pelan dia manggut, katanya: "Aku mempercayaimu," tiba-tiba terunjuk sorot dan mimik yang sama pada Yap Kay, katanya pula: "Aku yakin kau bukan manusia macam itu, maka aku lebih baik takkan membunuhmu, karena akan kutunggu setelah luka-lukamu sembuh untuk menentukan duel ini sekali lagi."

"Kau. "

Lu Di menukas: "Karena aku percaya kau takkan melarikan diri, maka aku yakin kau pasti akan kembali."

"Bila saat-saat yang menentukan itu tiba, kalau aku kembali kau kalahkan, kau hendak membunuhku?"

Lu Di manggut-manggut, katanya: "Pada saat itu, jikalau kau mengalahkan aku, akupun rela kau bunuh."

"Kejadian dalam dunia ini laksana main catur belaka, serba-serbi, dan tidak menentu darimana kau tahu, bila kita bisa menunggu dan mendapatkan kesempatan yang kau harapkan itu." "Aku tahu dan yakin."

Tiba-tiba terdengar seseorang menghela napas di luar tembok, katanya: "Tapi ada sebuah hal tidak kau ketahui."

Lu Di tidak bertanya, diapun tidak mengejar keluar. Dia sedang pasang kuping.

Orang di luar tembok itu berkata: "Kalau hari ini kau benar-benar ingin membunuhnya, sekarang kau sendiripun pasti sudah menggeletak tak bernyawa. Ketahuilah bukan hanya sebatang pisau yang dia bawa."

Kelopak mata Lu Di memicing dan menyusut. Pada detik- detik itu pula tiba-tiba badannya melambung tinggi menerjang ke arah tembok.

Cay Ko-kang tidak ikut mengejar, dia malah menghampiri dan memayang Yap Kay, katanya menghela napas: "Sungguh tak pernah terpikir olehku, kau bakal dikalahkan."

Yap Kay malah tersenyum, katanya: "Akupun tidak menduga kau malah menolongku."

Cay Ko-kang tertawa getir, katanya: "Bukan aku menolongmu, akupun tak bisa menolongmu."

"Cukuplah asal kau mempunyai maksud luhur ini." Cay Ko-kang tertawa dipaksakan.

Mendadak dia berdiri tegak serta berpesan dengan suara keras: "Lekas siapkan kereta!"

ooo)dw(ooo

Bagasi kereta lebar dan luas, nyaman lagi. Kereta ini memang biasanya muat pemilik barang yang hendak menempuh perjalanan jauh. Kepercayaan Pat-hong Piau-kiok kepada para langganannya memang baik sekali, servis yang diberikan kepada tamu-tamunya teliti dan luar biasa.

Tak terpikir oleh Yap Kay bahwa Cay Ko-kang ternyata seseorang yang bekerja rapi dan teliti. Di dalam kereta di alasi dulu dengan kemul tebal dari kain beludru, lalu dia bopong Yap Kay naik ke atas kereta.

"Luka-lukanya tidak ringan, harus cepat mencari tabib untuk diobati."

Perhatian dan ketelitian kerja orang benar-benar membuat Yap Kay haru dan berterima kasih.

Kata Yap Kay menghela napas: "Sebetulnya tak perlu kau bersikap demikian kepadaku, tadi sikapku terlalu kasar kepadamu."

"Siapapun di dalam keadaan seperti dirimu tadi, sikapnya pasti kasar dan berangasan."

"Agaknya bukan saja aku salah menilai Lu Di, pandangankupun keliru terhadapmu."

"Memang dia tokoh kosen yang belum pernah kulihat seumur hidupku, namun belum tentu dia lebih unggul dari kau."

"Kenyataannya aku sudah dikalahkan."

"Tapi kalau dia benar-benar ingin membunuh kau, sekarang diapun sudah mampus di tanganmu."

"Kaupun percaya akan hal itu?" Cay Ko-kang manggut-manggut. Yap Kay menatapnya, tiba-tiba bertanya: "Tahukah kau siapa yang bicara di luar tembok?"

Cay Ko-kang geleng-geleng, katanya: "Malah aku hendak tanya kepadamu, kau pasti tahu siapa dia."

"Kenapa kau berkesimpulan demikian?"

"Kupikir dia pasti teman dekatmu." jawab Cay Ko-kang, "karena dia sudah keluarkan isi hatimu yang tidak ingin kau katakan, malah diapun kuatir Lu Di menurunkan tangan jahat kepadamu, maka sengaja dia memancingnya pergi."

"Pikiranmu amat cermat, namun dugaanmu salah." "Dia bukan temanmu?" tanya Cay Ko-kang.

"Semula memang kukira dia temanku. Kini aku mengharap selamanya tidak pernah aku melihatnya, demikian pula selanjutnya lebih baik tidak melihat."

"Kau tahu siapa dia?"

Yap Kay tidak menjawab pertanyaan ini, dia malah balas bertanya: "Siapakah tabib yang hendak kau minta  mengobati luka-lukaku?"

"Tabib ini juga seorang aneh, namun kepandaian pengobatannya amat lihay."

Pelan-pelan Yap Kay manggut-manggut. Cay Ko-kang masih ingin mengobrol, namun dilihatnya Yap Kay sudah memejamkan mata. Kelihatannya dia amat letih, memang dia manusia biasa, bukan manusia besi. Setelah luka-luka dan belum sembuh, kini dia harus terluka pula, sudah tentu kondisi badannya makin lemah. Maka ditariknya kemul oleh Cay Ko-kang untuk menutupi badan Yap Kay. Terunjuk mimik aneh pada muka Cay Ko- kang, dari mimiknya ini seolah-olah dia teramat gemas dan penasaran. Ingin rasanya dia sekap kepala Yap Kay dengan kemul tebal ini sampai orang mati tak bisa bergerak. Tapi dia kemudian hanya menutupkan kemul saja ke badan Yap Kay.

Agaknya Yap Kay sudah tertidur. Umpama dia tahu orang hendak menyekap dirinya dengan kemul sampai matipun, dia takkan kuat melawannya.

ooo)dw(ooo

Tengah hari.

Kereta itu masih terus melaju, agaknya menempuh perjalanan yang cukup jauh.

Dengan menggerogoti paha ayam, Cay Ko-kang mengawasi muka Yap Kay yang pulas dalam impiannya. Agaknya dia memang sudah mempersiapkan diri menempuh perjalanan jauh, sampai ransumpun sudah dia siapkan.

Sebagai orang yang cermat, dia hanya seorang diri makan siang. Yang adapun hanya paha ayam, sekerat daging sapi, sepotong roti dan sebotol arak. Agaknya diapun sudah tahu bahwa Yap Kay akan tertidur pulas di perjalanan, karena sebelum naik kereta tadi, dia sudah cekoki Yap Kay semangkok kuah kolesom yang katanya untuk memulihkan semangatnya.

(Bersambung ke Jilid-10) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar