Jilid-02
Pang Lak terkesima, sungguh dia tidak habis mengerti.
"Orang ini bisa merobah dirinya dalam berbagai rupa dan bentuk, siapapun di antara orang-orang yang pernah kau lihat, bukan mustahil adalah samarannya. Konon pernah suatu ketika, Po-hoat Taysu dari Siauw-lim-pay berkhotbah di puncak Thay-san, di antara pendengar khotbah itu ada beberapa adalah teman tua Po-hoat Taysu sendiri, dua hari dua malam, kemudian setelah khotbah itu berakhir, mendadak datang pula seorang Po-hoat Taysu yang lain, maka banyak orang baru sadar bahwa Po-hoat Taysu yang memberi khotbah terdahulu ternyata adalah samaran Lam- hay-nio-cu."
Peristiwa ini laksana dongeng belaka, hampir tiada yang mau percaya, namun semua pendengar toh sudah tahu juga bahwa Wi-pat-ya selamanya tidak pernah bohong. "Siapapun bila dia pernah melihat wajah asli dari Lam- hay-nio-cu, maka dia pasti menemui ajalnya, oleh karena itu di kala kebesaran namanya memuncak dulu, toh tiada seorangpun yang pernah tahu, orang macam apakah dia sebenarnya, hanya aku yang tahu..... hanya aku saja yang tahu. "
Suaranya semakin rendah lirih, wajahnya tiba-tiba membayangkan mimik yang aneh sekali, lama sekali baru dia berkata pula pelan-pelan: "Kepandaian menyambit dan menyambut senjata rahasia serta Siau-kiau-kim-na-jiu pada waktu itu sudah tiada bandingannya sejak dahulu kala. Sayang sekali di saat-saat namanya menjulang tinggi, mendadak dia justru menghilang, tiada orang yang tahu kenapa dia tiba-tiba menghilang dan pergi kemana. Selama tiga puluhan tahun ini, sudah tiada orang yang pernah menyinggung namanya lagi di kalangan Kang-ouw, sampai akupun sudah tidak pernah mendengarnya lagi."
Semua saling beradu pandang, tiada orang yang berani bicara. Semua orang sudah sama-sama menerka di dalam hati bahwa di antara Wi-pat-ya dengan Lam-hay-nio-cu pasti mempunyai sesuatu hubungan, pasti mempunyai sangkut paut yang misterius dan tidak diketahui orang luar.
Tapi hati semua orang terlebih heran dan ketarik pula, bahwa Lam-hay-nio-cu sudah menghilang selama tiga puluhan tahun, kenapa sekarang mendadak muncul?.
Entah berapa lama kemudian, tiba-tiba Wi Thian-bing berseru lantang: "Lo Mo, kau kemari!"
Seorang pemuda bertubuh tinggi tegap dan gagah berpakaian hijau bermantel bulu beranjak keluar sambil mengiakan. Pakaiannya serba mewah dan perlente, potongannya bagus dan cocok benar dengan perawakan badannya, seraut wajahnya yang elok, tidak tertawa namun orang sudah merasa simpatik seperti dia sedang tersenyum, kelihatannya tipe laki-laki yang paling disenangi oleh kaum hawa yang genit, hanya kedua biji matanya kelihatan sedikit merah melepuh, naga-naganya sering kurang tidur. Apakah setiap pemuda yang sering dipuja-puja gadis-gadis remaja memang sering kurang tidur?. Pemuda ini adalah salah satu dari Cap-sha-thay-po, murid-murid kesayangan Wi-pat-ya digelari Hun-long-kun Sebun Cap-sha.
Sepasang mata Wi Thian-bing setajam golok tengah menatapnya lekat-lekat, lama sekali baru dia bersuara dingin: "Malam Tiong-chiu bulan delapan yang lalu, bukankah kau ada berkenalan dengan seorang kawan yang bernama Lim Thing?"
Kelihatan Sebun Cap-sha rada kaget, namun akhirnya dia menunduk sambil mengiakan.
"Sejak kau keluntang-keluntung dengan anak keparat piaraan lonte itu, dalam bulan-bulan belakangan ini, apa saja yang pernah kau lakukan?."
Selebar muka Sebun Cap-sha tiba-tiba merah malu, mulutnya terkancing tak bisa menjawab.
Wi Thian-bing tertawa dingin, katanya pula: "Aku tahu kau takkan berani buka bacot. Baik, Han Tin, kau wakilkan dia bicara."
Tanpa pikir Han Tin segera buka suara pelan-pelan: "Tanggal dua puluh bulan delapan malam, mereka pergi ke gudang uang, pinjam tiga laksa tahil perak. Tanggal tiga puluh bulan delapan, kembali mereka pinjam dalam jumlah yang sama."
Wi Thian-bing tertawa dingin, katanya sinis: "Sepuluh hari menghabiskan tiga laksa tahil, kedua kurcaci ini ternyata amat royal merogoh kantong."
Han Tin berkata lebih lanjut: "Tanggal enam bulan sembilan malam, karena terlalu banyak tenggak air kata- kata, di kala mabuk mereka bertengkar dengan murid Kun- lun-pay dari Kwan-gwa, walau waktu itu mereka mengalah, tapi setelah Kun-lun sam-hiap itu tahu asal-usul mereka, malam itu juga mereka melarikan diri, mereka lantas mengejar sejauh delapan puluh li, akhirnya Kun-lun sam-hiap mereka bunuh semuanya."
Wi Thian-bing menyela dengan dingin: "Agaknya murid Kun-lun-pay sejak kematian Liong Tojin, satu generasi lebih payah dari generasi yang lain."
Han Tin berkata: "Setelah mereka membunuh ke tiga orang itu, selera mereka makin berkobar, di saat mabuk itulah mereka menerjang masuk ke Giok-keh-ceng, di sana mereka menggusur sepasang cewek kembar yang baru berusia empat belasan untuk menemani mereka tidur sehari semalam."
Sampai di sini Han Tin bercerita, sorot mata Sebun Cap- sha sudah mengunjuk rasa belas kasihan, tak henti-hentinya dia memberi isyarat kedipan mata kepada Han Tin, maksudnya supaya Han Tin berhenti saja.
Tapi Han Tin tidak gubris dan anggap tidak melihat isyaratnya, katanya lebih lanjut: "Sejak itu, nyali mereka semakin besar, tanggal tiga puluh bulan sembilan itu. " Sebelum cerita Han Tin berakhir Sebun Cap-sha sudah menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kaku di depan Wi-pat-ya, lalu ditariknya baju di depan dadanya sampai robek, ratapnya: "Tecu memang berdosa, kau orang tua bunuh aku saja."
Melotot biji mata Wi Thian-bing, lama sekali matanya tidak berkesip, mendadak dia tertawa gelak-gelak, serunya: "Bagus, patut dipelihara, seorang laki-laki berani berbuat, berani bertanggung jawab, membunuh beberapa orang yang tidak becus, main-main dengan nona-nona cilik yang tidak genah, trondolo. memangnya terhitung dosa apa?"
Saking kaget mendengar ucapan Wi-pat-ya, Sebun Cap- sha sampai kesima, tanyanya melongo: "Kau orang tua tidak menyalahkan aku?."
"Kesalahan apa yang harus kutimpakan kepadamu? Jikalau kedua nona cilik itu tidak menyukai kau, memangnya mereka tidak bisa membenturkan kepala bunuh diri, kenapa sampai suka menemani tidur sehari semalam? Kalau memang mencintai kau, memangnya siapa yang bisa perduli? Memangnya jamak seorang gadis jatuh cinta kepada pemuda tampan, sampai raja langitpun tak kuasa mencampuri."
Tak tertahan Sebun Cap-sha tertawa katanya: "Lapor kepada kau orang tua, beberapa hari yang lalu secara diam- diam mereka malah kemari mencariku."
Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, serunya: "Laki-laki hidup dalam dunia harus punya nyali untuk membunuh orang, punya daya memelet nona cilik, kalau tidak, lebih baik mampus saja." Gelak tawanya mendadak berhenti, katanya melotot kepada Sebun Cap-sha: "Walau aku tidak menyalahkan kau, lalu tahukah kau kenapa aku menyuruh kau keluar?"
"Tidak tahu", sahut Sebun Cap-sha.
Mendadak Wi Thian-bing layangkan kakinya menendang sampai orang mencelat setombak lebih, sebelum Sebun Cap- sha sempat merangkak bangun, dia sudah jambak rambutnya serta menariknya ke atas, sebelah tangan yang lain segera bekerja pergi datang menampar mukanya sekeras-kerasnya, baru dia bertanya: "Tahukah kau kenapa aku memukulmu?"
"Tidak tahu," sahut Sebun Cap-sha ketakutan sambil menahan sakit. Memang dia tidak tahu sampai matanya terbelalak keheranan.
Bentak Wi Thian-bing bengis: "Laki-laki sejati main bunuh, main bakar, tidak menjadi soal, tapi jikalau siapa sebenarnya teman karibnya sendiri tidak diketahui asal- usulnya, sungguh kau kurcaci ditambah bedebah, dicacah hancur seratus bacokanpun masih kurang."
Baru saja berakhir kata-katanya, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu sudah berdiri disamping Sebun Cap-sha. Dua tiga puluh pasang mata yang hadir dalam pendopo besar ini seluruhnya tumplek mengawasi ke arah orang yang baru datang, tiada yang tahu dari jurusan mana orang meluncur turun.
Di bawah penerangan cahaya lilin, tampak orang ini berwajah putih bersih, perawakannya tinggi rada kurus, tampangnya lumayan, sikapnya sopan santun, tindak- tanduknya seperti membawa gerak-gerik malu-malu seperti nona-nona pingitan. Tapi tiba-tiba saja dia muncul, kaki menyentuh lantai tanpa bersuara, betapa tinggi Ginkangnya, jelas di antara Cap-sha-thay-po tiada yang kuasa menandinginya. Begitu berdiri tegak, langsung dia menjura, katanya memperkenalkan diri:" Wanpwe Ting Ling, sengaja kemari menghadap Wi-pat-ya."
Melotot bundar biji mata Wi Thian-bing, bentaknya bengis: "Berani kau kemari?"
"Tidak berani tidak Wanpwe harus kemari." sahut Ting Ling.
Mendadak Wi Thian-bing terloroh-loroh serunya: "Bagus, boleh dipelihara, aku orang tua justru suka anak-anak muda yang punya pambek dan pemberani." Sebun Cap-sha dia lepaskan, lalu katanya: "Kau keparat ini sekarang sudah mengerti belum, Lim Thing adalah Ting Ling, kau bisa bersahabat dengan teman seperti ini, terhitung besar keberuntunganmu."
Dengan kesima Sebun Cap-sha mengawasi temannya yang satu ini. Setiap hadirin memang sedang perhatikan temannya ini. Nama Ting Ling memang sering mereka dengar, namun tiada orang yang pernah menduga, bahwa pemuda lemah lembut dan bergaya malu-malu seperti nona pingitan ini, kiranya adalah tokoh silat kosen dari generasi muda di Bu-lim, terutama ilmu Ginkang-nya tertinggi, yaitu Hong-long-kun Ting Ling.
Kecuali Han Tin dan Wi-pat-ya, memang tiada seorangpun yang pernah menduga, namun selebar muka Ting Ling malah merah seperti kepiting direbus.
Kata Wi Thian-bing: "Kuhajar kurcaci ini memang hendak kupancing kau keluar!." "Entah Cianpwe ada petunjuk apa?", tanya Ting Ling dengan muka merah.
"Ada sebuah tugas ingin aku minta kau wakili aku, memangnya tugas ini hanya kau saja yang bisa melaksanakan." sikapnya tiba-tiba menjadi amat serius, katanya lebih lanjut: "Tapi bukan maksudku kau pergi mengantar jiwa, oleh karena itu sebelumnya aku ingin saksikan dulu sampai di mana tingkat ilmu Ginkang-mu?."
Ting Ling tetap berdiri di tempatnya, pundaknya tidak bergeming, lengan tidak terangkat, seolah ujung jarinyapun tidak bergerak. Tapi pada saat itu juga, badannya tiba-tiba mencelat terbang laksana burung walet, bagai angin lesus pula, tahu-tahu melesat terbang seperti hembusan angin lalu di atas kepala hadirin.
Di kala kesiur angin lesus itu putar balik tahu-tahu Ting Ling sudah berdiri di tempatnya semula, di tangannya sudah menenteng sebuah lampion besar. Lampion merah ini semula tergantung di pucuk tiang bambu di luar ruangan, tingginya ada tiga tombak lebih, dari tempatnya berdiri jaraknya ada enam tombak, tapi orang melesat terbang pulang pergi dengan cepat, enteng dan napaspun tidak memburu.
Wi Thian-bing tepuk tangan seraya tertawa gelak-gelak: "Bagus, orang sering bilang bahwa tingkat kepandaian Ginkang Hong-long-kun katanya boleh sejajar di dalam urutan lima tokoh kosen jaman ini. Hari ini setelah kusaksikan sendiri, memang tidak bernama kosong." dengan keras tangannya menepuk pundak Ting Ling, katanya pula: "Dengan bekal Ginkang-mu ini, kau boleh pergi menunaikan tugas." "Pergi kemana?", tanya Ting Ling.
"Pergilah ke Leng-hiang-wan, periksalah apakah Lam-hay- nio-cu sebetulnya tulen atau palsu!."
Mendadak pucat raut muka Ting Ling.
"Kau tahu akan Lam-hay-nio-cu?" tanya Wi Thian-bing. Ting Ling manggut-manggut.
"Kaupun tahu kelihayannya?" Kembali Ting Ling manggut-manggut.
Wi Thian-bing menatapnya pula sekian lamanya, tiba-tiba bertanya: "Siapa dan orang apa gurumu?"
Ting Ling ragu-ragu seperti serba sulit, mendadak dia melangkah maju, dia melangkah mendekat serta mengucapkan dua patah kata yang amat lirih di pinggir telinga Wi-pat-ya.
Seketika berubah muka Wi Thian-bing, katanya: "Tak heran kalau kaupun tahu dulu dalam pertempuran di Thian- san, gurumu juga pernah mendapat petunjuknya yang luar biasa."
"Guru sering bilang, Ginkang dan Am-gi (senjata rahasia) Lam-hay-nio-cu tiada tandingannya di seluruh jagat. Wanpwe kuatir malam ini. "
"Kau kuatir sekali pergi takkan bisa kembali?" sela Wi Thian-bing.
Merah muka Ting Ling, katanya: "Wanpwe tidak berani terlalu mengagulkan diri, namun sedikit banyak masih mempunyai sedikit pertimbangan akan hal ini." "Tapi ada sebuah hal yang masih belum kau ketahui." "Mohon petunjuk."
"Untuk merawat dan mempertahankan badaniahnya supaya tidak menjadi tua, Lam-hay-nio-cu ada meyakinkan semacam lwekang dari aliran sesat yang aneh, tapi entah mengapa, latihannya belum sempurna, oleh karena itu, setiap hari tepat pada jam 12 malam, hawa murninya mendadak sering nyeleweng, paling cepat setengah jam, seluruh badannya pasti kaku mengejang, tanpa bergerak."
Ting Ling mendengar dengan seksama.
"Tapi jejaknya selalu amat terahasia, saat-saat hawa murninya sesat itu hanya terjadi pada saat yang pendek saja, oleh karena itu mesti ada orang tahu akan ciri satu- satunya ini, tiada orang yang berani mencarinya." lalu dengan suara pelan dia menambahkan: "Sekarang kita sudah tahu dalam beberapa hari ini dia jelas berada di Leng-hiang- wan. Ginkang-mu begini tinggi, asal kau bisa menemukan tempat latihan Lwekang-nya, nah...... pada tengah malam itulah kau boleh mencari akal untuk masuk membongkar kedoknya. "
"Kedoknya?" tak tahan Ting Ling bertanya, "kedok apa?."
"Biasanya dia selalu mengenakan kedok, karena sebelum dia merias dan berdandan, biasanya tak pernah menghadapi siapapun dengan muka aslinya."
Ting Ling berkata: "Kalau tiada orang melihat muka aslinya, walau Wanpwe berhasil membuka kedok dan melihat wajah aslinya, tetap aku tidak tahu tulen atau palsu?" "Aku pernah melihat muka aslinya, pada mukanya terdapat suatu tanda yang luar biasa, asal kau melihat tanda khas ini, pasti kau mengenalnya."
"Tanda apa?" tanya Ting Ling.
Kini giliran Wi Thian-bing yang mendekat tempelkan mulut ke telinga orang, membisikkan dua patah kata. Berubah muka Ting Ling, lama dia terlongong dan serba susah, akhirnya dia coba-coba mencari tahu: "Bahwa Cianpwe pernah melihat muka aslinya, tentunya adalah teman baiknya, kenapa tidak Cianpwe sendiri yang ke sana menengok asli palsunya?"
Tiba-tiba terunjuk rasa gusar pada muka Wi Thian-bing, katanya marah-marah: "Kusuruh kau pergi, kau harus pergi, urusan lain kau tidak usah peduli!."
Ting Ling tidak banyak bicara lagi, di kala Wi-pat-ya mengamuk, tiada orang yang berani bersuara. Dengan mendelik Wi Thian-bing bertanya bengis: "Kau mau pergi tidak?"
Ting Ling menghela napas, katanya: "Bahwa Wanpwe sudah tahu akan rahasia ini, tidak inginpun terpaksa harus pergi."
Kembali Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, serunya: "Bagus, kau memang seorang pintar, aku orang tua biasanya suka orang-orang pintar." dengan keras dia tepuk pundak Ting Ling, katanya pula: "Asal kau mau pergi, peduli ada urusan lain apa saja, aku boleh memberikan kepadamu." Tiba-tiba Ting Ling tertawa, katanya: "Sekarang Wanpwe hanya mohon Cianpwe suka mengijinkan sebuah permintaanku."
"Permintaan apa?"
"Wanpwe ingin memukul seseorang."
"Siapa yang ingin kau pukul?" tanya Wi Thian-bing. Han Tin segera menjawab di sebelah sana: "Aku!"
Benar juga Ting Ling sudah putar badan pelan-pelan melangkah mendekati ke depan Han Tin, katanya tersenyum: "Benar, memang aku ingin memukulmu." senyumannya masih begitu lembut dan halus, seperti orang malu-malu, tapi tangannya tiba-tiba terayun, sekali dia hantam hidung Han Tin, kontan Han Tin terhantam terbang ke belakang beberapa kaki jauhnya.
Ting Ling menjura kepada Wi-pat-ya, katanya tersenyum: "Segera Wanpwe pergi ke Leng-hiang-wan, dalam waktu lima hari pasti ada khabarnya." habis kata-katanya, orangnya sudah menghilang.
Wi Thian-bing menghela napas, mulutnya seperti mengigau: "Anak-anak muda generasi mendatang, jauh lebih celaka di banding generasi kita, sungguh suatu kenyataan yang mengenaskan. "
ooo)dw(ooo
Malam dingin.
Dari pojok tembok tinggi di sana, tiba-tiba muncul bayangan orang yang berjalan dengan langkah pelan, wajah yang semula tampan kelihatan peyot dan bengap membiru, dia bukan lain adalah Sebun Cap-sha yang baru dihajar gurunya, pemuda bangor yang suka main perempuan ini agaknya belum kapok, secara diam-diam dia keluyuran lagi.
Setiba di luar gang sempit, ternyata sebuah kereta antik yang bercat hitam sudah menunggunya, begitu dia muncul, sais kereta lantas larikan keretanya berhenti di sampingnya. Begitu pintu kereta terbuka, dia langsung melompat masuk, sebuah cangkir penuh arak sudah menunggunya di dalam kereta. Secangkir arak merah simpanan puluhan tahun yang harum wangi dan hangat. Dalam kereta sudah menunggu pula dua gadis belia yang molek laksana kembang mekar. Kelihatannya sang Taci seperti bayangan adiknya, sang adik walau genit dan merangsang, namun sang Taci lebih menimbulkan gairah seorang laki-laki.
Seorang pemuda bermantel bulu memegang cangkir mas sedang malas-malasan di dalam pelukan sang Taci, segera dia dorong sang adik kepada Sebun Cap-sha, katanya tertawa: "Bocah ini baru dihajar, lekas kau menghiburnya."
Sang adik dengan lahap menciumi muka Sebun cap-sha yang melepuh membiru.
Kereta segera dikaburkan ke arah Tiang-an.
Deru angin malam sedingin es setajam pisau. Hari sudah jauh malam, namun di dalam kereta terasa hangat dan nyaman seperti di musim semi.
Setelah menenggak habis araknya, baru Sebun Cap-sha berpaling kepada pemuda bermantel bulu, katanya: "Kau tahu aku akan kemari?" Pemuda itu sudah tentu Ting Ling adanya, keadaannya jauh berbeda dengan Ting Ling yang tadi. Tadi sikapnya sopan-santun, lemah-lembut dan malu-malu, kini adalah pemuda bangor hidung belang yang romantis.
Dengan ujung matanya dia mengerling kepada Sebun Cap- sha, katanya dengan bermalas-malasan: "Sudah tentu aku tahu, kunyuk tua itu kalau tidak suruh kau menunggu kabarku, siapa lagi yang diutus kemari?"
Sebun Cap-sha tertawa: "Kalau kau anggap dirimu berani, kenapa tidak di hadapan tua bangka itu kau membuka kedoknya yang munafik, serta memakinya keparat? Kenapa kau menjadi kura-kura yang terima ditusuk hidungmu?"
"Karena aku kuatir dan kasihan melihat cucu kura-kura macammu ini dihajarnya lagi sampai mukamu hancur."
Kedua gadis kembar yang jelita itu cekikikan. Usia mereka memang belum banyak namun potongan dan perawakan mereka memang menggiurkan. Seorang picakpun dapat merasakan bahwa mereka bukan anak-anak lagi.
Sebun Cap-sha tertawa pula, katanya: "Bagaimanapun juga, pukulanmu menghajar Han Tin tadi menyenangkan dan melampiaskan penasaranku."
"Sebetulnya aku tidak patut menghajarnya." "Kenapa?"
"Karena dia penyambung keparat tua itu, dia hanya boneka hidupnya saja," terunjuk senyuman sinis pada ujung bibirnya, katanya lebih lanjut: "Keparat itu sebetulnya adalah rase tua yang licik dan licin, tapi berkedok harimau yang galak, dia bisa mengelabui dan membuat gentar nyali orang lain, jangan harap dia bisa mendustai aku."
"Tak heran, bapak mengatakan kau lihai, ternyata memang tidak meleset pandangannya."
"Generasi muda sebaya kita, siapa tidak lihay jangan harap bisa berkecimpung di dunia Kang-ouw, namun yang benar-benar lihay mungkin belum dia hadapi secara nyata."
"Memangnya masih ada tokoh kosen siapa lagi dalam dunia Kang-ouw yang melebihi kau?" tanya Sebun Cap-sha.
"Orang seperti diriku sedikitpun masih ada puluhan banyaknya, cucu kura-kura seperti kalian setiap harinya selalu sembunyi dalam celana bapakmu itu, betapa tinggi dan luas dunia di luar lingkunganmu, bayangannyapun tidak bisa kalian raba," setelah tertawa dingin lalu Ting Ling melanjutkan: "Menurut hematku kalian tidak setimpal dijuluki Cap-sha-thay-po, kalian makan terlalu kenyang, hingga kepala selalu berat dan pusing tujuh keliling, kentut bapak juga kalian katakan harum."
Bukan saja tidak marah oleh olok-olok orang, Sebun Cap- sha malah menghela napas, katanya getir: "Belakangan ini mereka memang makan terlalu kenyang, hidupnya terlalu mewah dan foya-foya, begitu menghadapi persoalan, dua orang lantas mati secara konyol."
"Dalam pandanganmu, peristiwa itu merupakan kejadian besar?" tanya Ting Ling.
"Walau tidak besar, juga bukan kecil, sedikitnya bapak sudah siap turun tangan sendiri."
"O, Wi Thian-bing hendak keluar kandang?" "Justru karena dia siap turun tangan, maka kau diundang untuk mencari kabar ke Leng-hiang-wan."
"Kau kira dia benar-benar hendak menghadapi Bak Pek, baru meluruk ke Leng-hiang-wan?"
"Memangnya bukan?"
"Umpama Bak Pek membuat onar, aku berani bertaruh dia tetap akan meluruk ke Leng-hiang-wan."
Bercahaya sorot mata Sebun Cap-sha: "Jadi kalau dia tidak mencarimu, dia tetap akan mencari tahu jejak Lam- hay-nio-cu?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Untuk apa mereka meluruk ke Leng-hiang-wan?"
"Lantaran urusan lain, urusan itulah boleh dikata besar." "Apakah lantaran urusan besar ini pula sampai Lam-hay-
nio-cu meluruk datang?"
"Agaknya kau sudah tambah maju dan cerdik otakmu." "Bukan saja urusan ini memancing bapak keluar kandang,
malah Lam-hay-nio-cu yang sudah menghilang tiga puluh
tahun keluar kandang pula, agaknya persoalan ini cukup genting."
"Kecuali orang-orang yang sudah kalian ketahui," demikian Ting Ling lebih lanjut, "Menurut apa yang ku tahu, dalam jangka lima hari, sedikitnya ada enam tujuh orang yang akan meluruk ke Leng-hiang-wan juga."
"Orang-orang apa saja mereka itu?" "Sudah tentu orang-orang yang sudah punya kepandaian tinggi."
"Mereka sudah tahu bahwa bapak siap turun tangan?" "Usia orang-orang ini memang belum tua, tapi belum
tentu mereka memandang sebelah mata bapak tuamu itu."
Sebun Cap-sha tertawa dipaksakan, katanya: "Bapak bukan orang yang gampang dihadapi lho!".
"Tapi tokoh-tokoh kosen dari generasi muda di kalangan Kang-ouw, hanya beberapa orang saja yang memandang dirinya, seperti juga dia tidak memandang sebelah mata anak-anak muda itu."
Tak tahan Sebun Cap-sha bertanya: "Apapun yang terjadi, pengalaman anak muda memang kurang matang."
"Pengalaman bukan kunci untuk menentukan kalah menang di dalam sesuatu persoalan."
"O, lalu apa kuncinya?"
"Menurut apa yang kukatakan, orang-orang yang berani meluruk ke Leng-hiang-wan jelas tiada seorangpun yang ilmu silatnya lebih rendah dari Wi Thian-bing, terutama satu diantaranya "
"Kau maksudmu!"
"Sudah tentu aku punya ambisi, tapi setelah aku tahu orang ini juga datang, aku sudah siap menjadi penonton saja di luar gelanggang."
"Jadi kaupun tunduk lahir batin terhadapnya?" tanya Sebun Cap-sha mengerut alis. Ting Ling menghela napas, katanya: "Tadi sudah kubilang, aku punya kepandaian meramal sesuatu yang bakal terjadi."
Agaknya Sebun Cap-sha merasa uring-uringan, katanya: "Siapakah sebetulnya orang itu?"
Pelan-pelan Ting Ling minum habis secangkir arak, lalu berkata kalem: "Pernahkah kau mendengar Siau-li Tham- hoa?"
Tersirap darah Sebun Cap-sha, saking kaget dia berjingkat dan hampir saja cangkir di tangannya terlepas jatuh. "Siau-li si pisau terbang?," serunya terkesima.
Nama Siau-li atau Li si pisau terbang seolah-olah mempunyai daya hipnotis yang menyedot sukma orang.
"Pisau terbang Siau-li juga mau datang?" teriak Sebun Cap-sha.
"Jikalau pisau terbang Siau-li juga datang, bapak kalian dan Jian-bin-koan-im pasti sudah melarikan diri dan sembunyi di tempat yang jauh."
Sebun Cap-sha menghela napas lega, katanya: "Aku tahu sudah sekian tahun Siau-li si pisau terbang tidak mencampuri urusan Kang-ouw, malah ada orang bilang, dia seperti pendekar besar Sim Long dan lain-lain, pergi ke pulau dewata di luar lautan, hidup bahagia dan menjadi dewa yang hidup bebas."
"Orang yang kumaksud walau bukan Siau-li si pisau terbang, namun dia punya hubungan yang amat erat dengan Siau-li si pisau terbang."
"Hubungan erat apa?" "Di kolong langit ini hanya dia satu-satunya yang pernah mendapat warisan murni dari Siau-li si pisau terbang."
Tegang hati Sebun Cap-sha dibuatnya, katanya: "Tapi kenapa selama ini tak pernah terdengar di Kang-ouw ada murid Siau-li si pisau terbang?"
"Karena dia tidak mengangkat guru secara resmi dengan Siau-li si pisau terbang, hubungan erat dengan Siau-li si pisau terbang baru belakangan ini saja diketahui khalayak ramai."
"Kenapa kami belum tahu juga?" tanya Sebun Cap-sha. "Karena kalian makan terlalu kenyang."
Sebun Cap-sha tertawa kecut, tanyanya: "Siapakah nama orang itu?"
Kembali Ting Ling menghirup araknya pelan-pelan, setelah habis satu cangkir baru pelan-pelan dia menjawab: "Dia she Yap, bernama Kay".
Yap Kay.
Sebun Cap-sha menepekur diam, matanya memancarkan cahaya terang, agaknya dia sudah berkeputusan untuk mengukir nama ini di dalam sanubarinya.
Berkata Ting Ling: "Yap Kay memang luar biasa, namun anak-anak muda yang lain itupun bukan kepalang menakutkan," tiba-tiba dia tertawa seraya menambahkan: "Kau adalah Hun-long-kun dan aku adalah Hong-long-kun, tahukah kau masih berapa banyak lagi Long-kun yang lain?" Sebun Cap-sha manggut-manggut, katanya: "Aku tahu masih ada Bek-long-kun, Thi-long-kun, kalau tak salah masih ada Kui-long-kun."
"Kali ini kau akan bertemu dengan mereka, hanya perlu kau ingat bila kau benar-benar sudah berhadapan dengan mereka, mungkin kau bisa menyesal."
"Menyesal?" Sebun Cap-sha menegas tidak mengerti. Tiba-tiba terpancar aneh dari sorot mata Ting Ling,
katanya pelan-pelan: "Karena siapa saja melihat orang-orang ini, akibatnya tentu amat menyedihkan, oleh karena itu, lebih baik kalau kau tidak berhadapan dengan mereka."
ooo)dw(ooo
Malam gelap. Malam tanpa awan tak berbintang.
Kereta itu berhenti di belakang Leng-hiang-wan bagian gudang rumput, seolah-olah gudang rumput untuk rangsum kuda ini memang dibangun khusus untuk menunggu kedatangan mereka. Sementara kedua gadis kembar itu sudah meringkuk di pojok mendengkur lelap dalam mimpi.
Mengawasi badan sang adik yang sudah kelihatan montok dan padat, tak tahan Sebun Cap-sha menghela napas, katanya: "Malam ini, apa kita istirahat di sini saja?"
Ting Ling manggut-manggut, katanya menengadah: "Kalau sudah tidak tahan, boleh kau anggap mataku picak saja."
Sebun Cap-sha menyengir, katanya: "Aku sih tidak begitu ketagihan, cuma aku heran kenapa hari ini kau kelihatan alim?"
"Malam ini aku punya janji." "Ada janji? Janji dengan siapa?"
"Sudah tentu janji dengan seorang gadis."
"Bagaimana perawakannya, montok dan cantik?" tanya Sebun Cap-sha.
"Cantiknya luar biasa." sahut Ting Ling sambil tertawa penuh arti.
"Memangnya kau pergi seorang diri? Kau tinggal aku sendirian?"
"Kau mau ikut juga boleh."
"Nah, kan begitu, memangnya aku tahu kau bukan kawan yang kemaruk paras ayu lantas melupakan teman baik."
"Namun perlu kujelaskan lebih dulu, kepergian kami kali ini bukan mustahil takkan kembali dengan nyawa masih hidup."
Tersirap darah Sebun Cap-sha, tanyanya: "Siapakah yang ada janji dengan kau?"
"Jian-bin-koan-im alias Lam-hay-nio-cu" Sebun Cap-sha melongo.
Dengan ujung matanya Ting Ling meliriknya, katanya: "Kau ingin ikut tidak?"
Jawaban Sebun Cap-sha pendek dan tegas: "Tidak saja." namun tak tertahan dia bertanya: "Benarkah malam ini kau hendak menepati janjinya?"
"Aku sendiri memang sudah tidak sabar ingin melihat orang macam apa sebenarnya Lam-hay-nio-cu yang pernah membalikkan dunia itu?" "Lalu apa pula yang kau tunggu di sini?" "Menunggu seseorang."
"Menunggu siapa?"
Tiba-tiba kusir kereta di luar menjentik jari tiga kali. Mata Ting Ling seketika bersinar: "Nah, itu dia datang." katanya.
ooo)dw(ooo
Sebun Cap-sha membuka pintu kereta, maka dilihatnya seorang laki-laki bermantel rumput tengah mendatangi, bertopi rumput lebar pula. Tangannya memegang sebatang galah bambu panjang tiga tombak, setiap kali galah menutul tanah, orangnya lantas melompat lima tombak jauhnya dengan ringan hingga di luar gubuk rumput.
"Bagaimana Ginkang-nya menurut pandanganmu?" tanya Ting Ling.
Sebun Cap-sha tertawa getir, sahutnya: "Orang-orang di sini agaknya memang lihay semua."
Saat mana orang itu sudah mencopot mantel rumputnya, lalu dicantelkan di atas saka, katanya dengan tersenyum: "Aku bukan pamer Ginkang, soalnya aku tidak ingin meninggalkan jejak di permukaan salju."
"Bagus, sikap kerjamu memang teliti." kata Ting Ling. "Karena aku masih ingin hidup beberapa tahun lagi." ujar
orang itu.
Pelan-pelan dia menghampiri, sembari menanggalkan topi rumputnya. Baru sekarang Sebun Cap-sha melihat jelas, laki-laki ini berusia tiga puluhan, di samping mengenakan jubah biru, bagian luarnya memakai pula kain hangat dari kulit rase, tindak-tanduknya mirip seorang pedagang, namun sepasang matanya berkilat, selalu menampilkan senyuman sinis yang licin.
Ting Ling tersenyum, katanya: "Inilah pengurus besar Leng-hiang-wan Nyo-toa-cong-koan Nyo Kan."
Nyo Kan mengawasi Sebun Cap-sha, katanya: "Dia tentunya Cap-sha Kang-ouw murid Wi pat-ya, beruntung bertemu di sini."
Sebun Cap-sha melongo mengawasi orang, tanyanya: "Kau kan Nyo Kan yang dilihat oleh Lak-ko tempo hari."
"Ya, Nyo Kan hanya satu."
Sebun Cap-sha tertawa kecut, katanya: "Dia bilang kau seorang pedagang yang bernyali kecil, agaknya dia memang sering makan kenyang."
Berkata Nyo Kan tawar: "Memang, aku pedagang yang tidak bernyali, dia tidak salah lihat."
"Tapi akulah yang salah lihat," sela Ting Ling. "Lho!"
"Semula aku kira kau ini adalah Hwi Hou (Rase Terbang) Nyo Thian."
Nyo Kan mengerut kening. Sebun Cap-sha tersirap darahnya. Nama Hwi Hou Nyo Thian pernah dia dengar.
Sebetulnya jarang kaum persilatan yang tidak kenal namanya, asalnya dia seorang begal tunggal malang melintang selama puluhan tahun di Kang-ouw, hanya dia seorang yang mempunyai latihan ilmu lemas paling lihay sepuluh tahun belakangan ini.
Khabarnya meski kau membelenggunya dengan kacip besi, lalu mengikat sekujur badannya dengan otot sapi, dikurung di dalam penjara yang hanya ada jendela kecil saja, dia masih bisa melarikan diri.
Bahwa orang selihay itu berada di Leng-hiang-wan dan menjadi pengurusnya malah, sudah tentu takkan mungkin kalau tidak mempunyai tujuan tertentu. Dan tujuan yang diincarnya itu, tentu bukan suatu pekerjaan ringan.
Tiba-tiba Sebun Cap-sha merasa urusan ini semakin aneh dan menarik, namun semakin tegang menakutkan.
Agaknya Ting Ling menyadari bahwa mulutnya terlalu cerewet, lekas dia mengalihkan pokok pembicaraan, tanyanya: "Apakah Lam-hay-nio-cu sudah datang?"
"Baru saja tiba," sahut Nyo Kan manggut. "Kau sudah melihatnya?"
Nyo Kan geleng-geleng, sahutnya: "Aku hanya melihat beberapa kacung dan babu-babu saja."
"Berapa jumlah mereka seluruhnya?" "Tiga puluh tujuh!"
"Perempuan yang bisa makan golok itu ada diantaranya mereka?"
Nyo Kan manggut-manggut, sahutnya: "Dia dipanggil Thi Koh, kelihatannya dialah yang menjadi pemimpin rombongan." "Jangan lupa kaupun seorang pengurus, agaknya kalian memang jodoh yang setimpal!"
Nyo Kan menarik muka, tak bersuara. Agaknya dia memang laki-laki yang tak suka berkelakar.
Ting Ling batuk-batuk, tanyanya: "Mereka tinggal di pekarangan yang mana?"
"Menetap di Thing-siu-lau."
"Masih berapa lama untuk menunggu sampai tengah malam?" ujar Ting Ling.
"Kurang dari setengah jam, di dalam ada tukang ronda yang menabuh kentongan, begitu masuk kau akan segera mendengarnya."
Bercahaya mata Ting Ling, katanya: "Agaknya menghabiskan secangkir arak lagi, aku boleh lantas berangkat."
Nyo Kan mengawasinya, lama sekali tiba-tiba dia bersuara: "Kali ini kita kerja sama, karena aku membutuhkan kau dan kaupun membutuhkan aku."
Ting Ling tertawa, ujarnya: "Memangnya kita setimpal untuk kerja sama?"
"Tawar tanggapan Nyo Kan, ujarnya: "Tapi kita bukan teman sejati, untuk satu hal ini kau harus selalu mengingatnya." Tanpa menunggu Ting Ling bersuara, dia sudah putar badan mengenakan topi rumputnya pula, tangan meraih baju rumput, galahnya menutul ringan, tahu-tahu bayangannya sudah melayang lima tombak jauhnya, kejap lain bayangannya sudah menghilang di tempat gelap. Mengantar bayangan orang, Ting Ling mengulum senyum, katanya: "Gerakan bagus, memang tidak malu dia dijuluki rase terbang."
"Apa benar dia itu rase terbang Nyo Thian?" tanya Sebun Cap-sha.
"Rase terbang hanya satu orang," sahut Ting Ling menghela napas, lalu menambahkan dengan tertawa getir: "Untung hanya ada seorang saja."
ooo)dw(ooo
Ting Ling siap-siap mengencangkan pakaiannya yang serba hitam dan ketat, namun dia tidak sempat menghabiskan araknya yang terakhir, sorot matanya berkilau, lenyap senyum tawa yang biasa menghias wajahnya. Dalam waktu singkat, seolah-olah dia berubah menjadi orang lain. Kini dia bukan lagi pemuda bajul yang suka keluyuran, sikapnya tampak prihatin dan tabah, kelihatannya amat menakutkan.
Dengan nanar Sebun Cap-sha mengawasi temannya yang satu ini, matanya menampilkan mimik yang aneh, seperti kagum juga kepingin, namun seperti merasa jelus dan cemburu pula.
Ting Ling berkata: "Lebih baik kalau kau menungguku di sini, dalam waktu satu jam aku pasti kembali."
Tiba-tiba Sebun Cap-sha tertawa, katanya: "Bagaimana kalau kau tidak kembali?"
Ting Ling tertawa, ujarnya tawar: "Kalau begitu kedua cewek itu milikmu, bukankah kau sudah punya angan-angan demikian?." belum habis bicara, badannya sudah melesat keluar, seperti walet hitam yang terbang di malam gelap, belum lenyap suaranya, bayangannya sudah ditelan kegelapan entah kemana.
Sebun Cap-sha duduk melamun seorang diri, lama dia tidak bergerak. Sebetulnya dia beranggapan bahwa ilmu silatnya tidak asor di banding jago silat kenamaan di kang- ouw, baru sekarang dia menyadari bahwa pikirannya meleset. Kenyataan pemuda tingkatannya sekarang jauh lebih menakutkan dari apa yang pernah dia bayangkan. Tanpa sadar tangannya terangkat mengelus muka sendiri yang masih bengap, sorot matanya seketika mengunjukkan derita yang mengetuk sanubarinya.
Sang kakak sebetulnya sudah mendengkur, tiba-tiba membalik badan terus memeluk pahanya. Sebun Cap-sha tidak bergerak. Sang kakak bukan miliknya, hanya adiknyalah yang menjadi kawan mesumnya. Tak nyana sang kakak menggigit pahanya dengan gregetan, sudah tentu sakitnya bukan main. Tapi derita yang terunjuk pada sorot mata Sebun Cap-sha tiba-tiba sirna. Disadari olehnya, untuk mengalahkan seseorang bukan hanya mengandalkan kepandaian silat. Tiba-tiba senyuman manis menghias wajahnya, dengan senyum lebar, dia tenggak habis arak yang ditinggalkan Ting Ling tadi, dan.........
ooo)dw(ooo
Yang terdengar di Thing-siu-lau bukan deru ombak di lautan, tapi deru bambu. Di dalam Leng-hiang-wan kecuali ditanam laksaan pucuk kembang Bwe, juga terdapat ratusan pucuk cemara dan ribuan pucuk bambu yang lebat. Di luar Thing-siu-lau itulah hutan bambu laksana lautan lebatnya. Ting Ling mendekam di tempat gelap di luar hutan bambu. Pelan-pelan dia membuka sebuah kantong kulit yang semula diikat di pinggangnya, dari dalam kantong dia mengeluarkan sebuah bumbung semprotan.
Di dalam bumbung semprotan di isi minyak kental warna hitam, hasil barter dengan para gembala di tapal batas Tibet dengan garam. Pelan-pelan dia putar dulu tutup bagian ujung bambu itu, kebetulan ada angin menghembus, pelan- pelan ia mulai semprotkan minyak hitam dalam bumbung secara teliti dan rata. Maka semburan minyak yang merata halus itu laksana kabut hitam terhembus angin menyiram ke arah Thing-siu-lau. Gerakannya pelan dan hati-hati, dia simpan bumbung semprotan itu, lalu mengeluarkan puluhan butir pelor sebesar buah kelengkeng, dengan kekuatan dua jarinya dia jentik satu persatu pelor-pelor ini ke atap rumah di seberang sana.
Sekonyong-konyong terdengar "Blup...!" seluruh atap Thing-siu-lau tiba-tiba menjadi lautan api, kobaran api yang menyala setinggi tiga tombak.
Kebetulan dari kejauhan terdengar suara kentongan, ternyata tepat pada jam 24.00 tengah malam. Tapi suara kentongan di telan suara jerit kaget orang-orang di sekitarnya.
"Api! Kebakaran!" puluhan orang berlari ke luar dari Thing-siu-lau, kobaran api amat ganas dan mengamuk makin besar, seorang yang tenang dan tabahpun takkan berpeluk tangan.
Di saat gawat dan ribut itulah Ting Ling sudah menyelundup masuk seenteng asap ke sebuah kamar dari jendela di belakang loteng. Langsung menembus ke sebuah ruang kecil yang dipajang amat serasi, suasana tenang sunyi tak kelihatan bayangan orang.
Mendadak Ting Ling berteriak keras: "Api! Ada kebakaran!". Tiada orang keluar dan tiada reaksi. Sigap sekali Ting Ling dorong pintu menerjang masuk ke kamar sebelah, soalnya dia belum tahu di kamar mana Lam-hay-nio- cu meyakinkan ilmunya, maka gerak-geriknya harus cepat dan tangkas. Maklum, dia harus mengadu untung dan nasib.
ooo)dw(ooo
Ternyata nasibnya tidak jelek, daun pintu ketiga ternyata diganjel dari dalam, segera dia keluarkan golok terus menyungkil dari luar. Kiranya kamar ini adalah ruang pemujaan. Asap mengepul wangi dari tempat pembakaran dupa, sehingga suasana ruang pemujaan ini bertambah hikmat, mengandung kekuatan magis.
Sekilas pandang Ting Ling tidak mendapatkan bayangan orang di sini. Tapi Ting Ling yang cerdik tidak habis pikir, sebuah ruang pemujaan yang berpalang dari dalam masa tanpa penghuni, maka tanpa banyak pikir segera dia segera menerjang masuk, sekali raih langsung dia tarik kain gordyn bagian belakang tempat pemujaan. Seketika dia berdiri menjublek.
Di belakang gordyn ada empat orang. Empat orang yang mengenakan jubah hijau panjang dari sutra, rambut kepalanya tersanggul di atas kepala, mengenakan topeng yang terbuat dari ukiran kayu cendana. Dandanan ke empat orang ini sama, duduk bersimpuh tidak bergerak, sinar api yang berkobar-kobar di luar loteng menyinari muka mereka yang menyeringai sadis, menambah suasana jauh lebih seram dan menggiriskan.
Ke empat orang ini mungkin Lam-hay-nio-cu, padahal Lam-hay-nio-cu hanya ada satu. Ting Ling insyaf kesempatan baik tak terulangi lagi, maka dia berkeputusan untuk menyerempet bahaya. Sigap dia menubruk maju, merenggut topeng orang terdekat.
Di belakang topeng adalah seraut wajah halus putih ayu molek, bulu matanya yang panjang dengan alis melengkung laksana bulan sabit menaungi matanya yang meram. Siapapun akan tahu gadis ayu ini belum genap dua puluh tahun, Lam- hay-nio-cu tidak mungkin semuda ini.
Ting Ling menarik topeng kedua, ternyata orang ini laki- laki, mukanya kasar pula. Lam-hay-nio-cu terang bukan laki- laki. Orang ke tiga kelihatan masih muda, namun ujung matanya dihiasi keriput seperti ekor ikan. Sedang orang ke empat adalah nenek tua yang peyot dan penuh keriput.
Kembali Ting Ling menjublek. Belum berhasil menemukan wajah yang ingin dia lihat, padahal dia tak boleh terlalu lama di tempat ini. Begitu putar tubuh, cepat sekali badannya mencelat, sekilas ujung matanya sempat melihat tangan laki-laki penuh brewok itu bergerak. Tahu gelagat jelek, sigap sekali reaksinya, tapi luar biasa cepat orang ini turun tangan. Baru saja tangan orang bergerak, tahu-tahu pinggangnya dirangsang rasa sakit seperti ditusuk jarum besar. Kontan badannya tersungkur jatuh.
ooo)dw(ooo
Ruang pemujaan itu tetap hening, asap dupa masih mengepul menjadikan ruang itu harum semerbak membangkitkan semangat orang. Kobaran api di luar sudah padam sewaktu Ting Ling membuka mata, didapati dirinya berpakaian perempuan, saking terkejut, tangan segera terulur meraba kepala, ternyata rambutnya sekarang sudah berubah, tersanggul dengan mode yang paling digemari kaum remaja jaman itu, pakai tusuk kundai dan perhiasan segala.
Hong-long-kun Ting Ling sejak berusia tujuh belas sudah berkelana di Kang-ouw, dalam tiga tahun, namanya sudah menjulang tinggi dan disegani oleh kaum muda persilatan. Kaum persilatan tahu, Ginkang-nya amat tinggi, dia cerdik pandai, tapi juga luar biasa tabah dan beraninya. Tapi kali ini dia sendiri berjingkrak kaget. Sayang dia tak mampu bergerak karena bagian bawah pinggangnya lemah lunglai tak mampu bergerak. Seketika hatinya lemas, badanpun berkeringat dingin.
Di tempat pemujaan bercokol tinggi Koan-im Posat, tangannya memegangi sebatang dahan pohon Liu yang piranti menolong umat manusia. Patung Koan-im Posat sedang mengawasi dirinya dengan tersenyum penuh arti. Di tengah kepulan asap dupa yang semakin tebal, senyumnya itu terasa aneh dan menyembunyikan maksud-maksud tertentu. Tiba-tiba terasa oleh Ting Ling raut muka Koan-im Posat itu mirip pinang di belah dua dengan wajah gadis ayu di belakang topeng tadi. Apakah gadis ayu tadi Lam-hay-nio- cu?
Tapi orang yang meringkus dirinya adalah laki-laki brewok kasar itu, semula dia menduga Lam-hay-nio-cu menyamar laki-laki muka kasar, tapi sekarang dia bingung dan tak habis mengerti, sampai berpikirpun tak berani membayangkan lagi. Dia takut bila hal itu terlalu dipikirkan, bukan mustahil dirinya jadi gila.
Untunglah pada saat itu ruang pemujaan itu pelan-pelan membuka, seseorang beranjak masuk sambil mengulum senyum aneh yang misterius, mirip Koan-im Posat di atas pemujaan itu.
Ting Ling celingukan, dari wajah Koan-im Posat di atas pemujaan lalu berpaling mengawasi orang yang baru masuk ini, tiba-tiba dia menghela napas, matanya terpejam. Wajah gadis jelita ini ternyata mirip wajah Koan-im Posat. Dia tidak ingin melihatnya lebih lama, kuatir jadi gila. Sayang sekali meski dia sudah pejamkan mata, tak urung dia sudah hampir gila dibuatnya.
Sementara itu gadis jelita sudah beranjak ke depannya, katanya tiba-tiba: "Hari ini elok benar sisiran sanggulmu, siapakah yang menyisirnya?"
Tak tahan Ting Ling melotot padanya, katanya: "Memangnya aku ingin tanya kau siapa yang mendandan dan menyanggul rambutku?"
Kelihatan gadis itu melengak heran, tanyanya: "Masa kau sendiri tidak tahu?"
"Darimana aku bisa tahu?"
"Masakah sedikitpun tidak teringat olehmu?"
Ting Ling tertawa getir, sahutnya: "Bagaimana aku bisa ingat, perasaan aku tidak punya, umpama kau pukul pecah kepalaku, tetap tak bisa menebak siapakah orang yang menyulap diriku menjadi perempuan." Semakin kaget dan heran gadis jelita ini, katanya: "Apa? Kau tuduh kami yang mendandani kau jadi begini? Masa kau lupa bahwa sebetulnya kau memang perempuan?"
Tak tahan Ting Ling berteriak: "Siapa bilang aku perempuan?"
Gadis itu melongo dan mengawasi dengan terbelalak, mimiknya mirip gadis yang berhadapan dengan orang gila.
Tak tahan Ting Ling berkata pula: "Kalau kau mengatakan aku mirip perempuan, tentu kau gila."
Gadis itu menghela napas, ujarnya: "Bukan aku yang gila, tapi kau!" tiba-tiba dia berpaling dan berseru: "He...., lekas kemari dan lihatlah, kenapa Ting-siau-moay berubah menjadi begini?"
Ting-siau-moay? Hong-long-kun Ting Ling tiba-tiba berubah menjadi Ting-siau-moay? Ingin Ting Ling tertawa, namun kulit mukanya kaku, ingin menangis diperaspun air mata tidak keluar.
Tampak dari luar beranjak masuk lima perempuan, satu di antaranya nyonya pertengahan umur yang tadi bertopeng. Ternyata dia inilah Thi Koh, karena gadis di depannya sedang memanggilnya.
"Thi Koh, lekas kemari dan lihatlah, tadi Ting-siau-moay masih baik-baik saja, kenapa sekarang berubah. berubah
begini?"
Thi Koh mengamati Ting Ling katanya tersenyum: "Bukankah selintas pandang dia masih baik? Malah rambutnya disisir lebih elok dari biasanya." "Tapi.......", gadis itu ragu-ragu, "Dia tidak mengakui bahwa dirinya seorang perempuan."
Sedapat mungkin Ting Ling berusaha mengekang diri, dia insyaf keadaan seperti sekarang, dirinya harus berkepala dingin dan tabah hati. Tapi tak tahan dia tetap membantah: "Memangnya aku bukan perempuan?"
Tiba-tiba Thi-koh menghela napas, katanya: "Aku dapat memahami perasaanmu, adakalanya aku sendiripun mengharap aku ini bukan perempuan, di dalam dunia, perempuan memang sering dirugikan."
Ting Ling menghela napas, katanya: "Sebetulnya aku tidak menentang perempuan, tapi sejak dilahirkan kodrat menentukan aku adalah laki-laki, barusan aku masih seorang laki-laki." Sesungguhnya dia sudah menekan perasaan dan bersabar untuk mengendalikan diri.
Maka Thi Koh menampilkan rasa heran dan tak mengerti, tiba-tiba dia berpaling tanya kepada yang lain: "Sejak kapan kalian kenal Ting-siau-moay?"
"Sudah dua tiga bulan." sahut perempuan-perempuan itu bersama.
"Apa dia laki-laki, atau perempuan?"
"Sudah tentu perempuan," sahut orang-orang sambil cekikikan, "kalau Ting-siau-moay laki-laki, kita bisa celaka tidur sekamar dengan dia."
Terasa oleh Ting Ling kulit mukanya menghijau kaku, namun dia tetap bersabar, katanya: "Sayang sekali aku bukan Ting-siau-moay yang kalian kenal." Dengan mengulum senyum Thi Koh bertanya: "Lalu siapa kau ini?"
"Aku she Ting, bernama Ling."
"Aku tahu kau bernama Ting Hung-pin." "Bukan Ting Hun-pin, tapi Ting Ling."
"Bukan Ting Ling, tapi Ting Hun-pin. Kenapa namamu sendiri sudah kau lupakan?"
Gadis yang mirip Koan-im Posat tiba-tiba tertawa, katanya: "Untung suara bicaranya belum berubah, siapapun bisa mendengar bila dia memang perempuan tulen."
Ting Ling tertawa dingin, jengeknya: "Siapapun bisa membedakan bahwa aku adalah lela....." suaranya tiba-tiba berhenti, keringat dingin gemerobyos. Tiba-tiba disadarinya bahwa suaranya memang berubah, berubah nyaring melengking, mirip suara perempuan. Apa benar aku tiba- tiba-tiba berubah jadi perempuan? Rasa takut merangsang hatinya.
Dia coba menggerakkan setiap jengkal kulit daging badannya, sayang selewat pinggang ke bawah, ternyata kaku dan pati rasa. Ingin ulur tangan meraba ke bagian itunyapun sungkan, maklum di hadapan sekian banyak perempuan, tak berani dia bertindak kasar dan melakukan rabaan yang memalukan.
Thi Koh tetap mengawasinya, sorot matanya menampilkan rasa iba dan simpatik, katanya lembut: "Belakangan ini hatimu kurang enak, terlalu banyak minum lagi, tak heran kalau kau melupakan diri sendiri, apalagi kejadian masa lalu memangnya sudah tidak ingin kau pikirkan lagi." Terpaksa Ting Ling bungkam dan mendengarkan saja.
"Tapi kita bisa memberi peringatan kepadamu, kejadian masa lalu amat menyedihkan, tapi kalau semua itu sudah terlupakan, terhadap dirimu takkan membawa manfaat."
Akhirnya Ting Ling menghela napas, ujarnya: "Baik, silahkan kau bicara, aku sedang mendengarkan."
"Kau bernama Ting Hun-pin," ujar Thi Koh lebih lanjut, "seorang gadis cantik dan jelita, semula kau punya seorang kekasih atau pujaan hati yang baik sekali, tapi kalian bertengkar karena seseorang, maka kau berusaha bunuh diri terjun ke laut, untung Sim Koh menolong jiwamu."
Gadis yang senyumannya seperti Koan-im Posat ternyata bernama Sim Koh, dia segera menyambung: "Untung aku cepat menarikmu, kalau tidak, hari itu kau sudah kecemplung ke laut."
Ting Ling kertak gigi, tanpa bersuara. Mendadak dia amat takut dan ngeri mendengar suaranya sendiri.
"Kekasihmu itu she Yap, bernama Kay, dia......." Thi Koh mengoceh.
Yap Kay. Mendengar nama ini, serasa meledak jantung Ting Ling. Sekonyong-konyong segala sesuatu menjadi terang baginya. Dia insyaf bahwa dirinya jatuh oleh tipu daya keji, misterius dan lihay. Jelasnya tipu daya atau muslihat ini sebetulnya dipersiapkan untuk menghadapi Yap kay, namun dirinyalah yang menjadi kambing hitamnya tanpa dia sadari sebelumnya.
Apa yang diocehkan Thi Koh, bahwasanya tidak didengarnya lagi, dia memusatkan sekuat daya pikirnya. Dia harus berusaha lolos dari belenggu tipu daya yang mengekang dan melibatkan dirinya, tapi dia tahu hal ini bukan mustahil, namun sulit sekali.
Sang waktu rasanya sudah berselang lama, namun ocehan Thi Koh masih juga belum berhenti. Karena ceritanya diulang beberapa kali, seperti hendak paksakan Ting Ling menerima dan mengingat peristiwa yang menimpa dirinya.
"Kekasihmu itu bernama Yap Kay, dia putra Tong-cu Sin- to-tong yang masih muda belia, tapi belakangan dia diberikan kepada keluarga Yap."
"Sementara ayahmu bernama Ting Jun-hong, bibimu bernama Ting Pek-hun, semula adalah musuh besar keluarga Yap, tapi belakangan Yap Kay berhasil menghapus permusuhan kedua keluarga ini, hubungan cinta kalian justru makin erat dan mendalam."
"Sebelum ketemu dia kau sudah bersumpah tak mau kawin, demikian pula dia takkan mempersunting gadis lain kecuali kau, tapi tahu-tahu muncullah seorang gadis jelita yang bernama Siangkwan Siau-sian."
"Gadis yang bernama Siangkwan Siau-sian ini khabarnya adalah putri dari Kim-cie Pangcu Siangkwan Kim-hong yang pernah menggetarkan Kang-ouw itu. Dia dilahirkan oleh Lim Sian-ji perempuan tercantik pada masa dulu yang tiada bandingannya. Memang kecantikan Lim Sian-ji melebihi bidadari, tapi kerjanya justru menjebloskan laki-laki ke dalam neraka. Maka anak yang dilahirkanpun mengikuti jejak ibunya, jahat, kotor dan sadis. Hubunganmu pecah dengan Yap Kay gara-gara dia, maka jangan kau lupakan peristiwa ini. Sekali-kali jangan melupakannya." Ting Ling mendengar orang mengucapkan sekali dan diulang sekali hingga berulang kali, tiba-tiba disadari bukan saja pikiran sendiri tidak bisa tentram, malah seperti terkekang dan terkendali oleh ocehan orang. Sekonyong- konyong timbul dalam benaknya kebencian yang luar biasa di dalam sanubarinya terhadap gadis yang bernama Siangkwan Siau-sian. Hampir saja dia sudah mengakui bahwa dirinya memang benar Ting Hung-pin adanya, mengakui bahwa dirinya memang perempuan.
Asap dupa terus mengepul memenuhi udara hingga ruang pemujaan itu semakin gerah, asap dupa mengikuti keluar masuk pernapasannya, merangsang otaknya. Lama-kelamaan dia menjadi tak kuasa kendalikan diri dan tak punya daya pikir untuk membedakan salah benar dan baik atau buruk.
Thi Koh terus mengawasinya, raut mukanya menampilkan senyum sinis yang aneh, pelan-pelan dia berkata pula: "Kau bernama Ting Hun-pin, gadis remaja yang amat cantik sekali, kau. "
Mendadak dengan sisa tenaganya Ting Ling gigit bibirnya sekeras-kerasnya, rasa sakit seketika menyadarkan otaknya. Kontan dia menggerung keras: "Tak usah omong lagi, aku sudah tahu apa maksudmu."
"Apa benar kau sudah mengerti?" tanya Thi Koh tersenyum.
"Tentunya aku mirip dengan Ting Hun-pin, oleh karena itu kalian hendak memperalat aku untuk mencelakai Yap Kay."
"Lho, kau memang Ting Hun-pin." Ting Ling tertawa dingin: "Sebetulnya kau tak perlu membuang tenaga, apa yang kalian ingin aku lakukan, akan kulakukan dengan baik."
"Oh, apa benar?"
"Benar! Tapi kalianpun harus berjanji untuk melakukan beberapa persoalanku."
"Silahkan berkata."
"Pertama aku menuntut penjelasanmu, secara kebetulan saja kalian menemukan wajahku seperti Ting Hun-pin, lalu mengatur tipu daya ini? Atau memang sejak semula kalian sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi aku?"
Thi Koh tidak bersuara.
"Dan selanjutnya kalian harus membuka tutukan Hiatto- ku, beri kesempatan aku bertemu dengan Lam-hay-nio-cu. Setelah usaha ini berhasil, aku minta bagian satu prosen."
Tiba-tiba Thi Koh tertawa, katanya: "Sejak tadi Lam- hay-nio-cu sudah berada di sini, masakah kau tidak melihatnya?"
"Dimana dia?"
Sebuah suara yang merdu nyaring berkata kalem: "Aku ada di sini." ternyata patung Koan-im yang berada di tempat pemujaan terselubung gordyn itu yang bersuara.
(Bersambung ke Jilid-3