Peristiwa Merah Salju Jilid 13

Jilid 13

BAB 37. KEMBALI KE JALAN YANG BENAR

Angin berhembus kencang, menderu-deru memekakkan telinga.

Angin malam di musim gugur memang mengerikan, bagaikan hembusan angin di padang rumput.

Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, keringat dingin telah membasahi telapak tangannya. Keringat dingin bukan mengucur bukan karena rasa takut, melainkan karena penderitaan. Penderitaan yang selama ini belum pernah dialaminya.

Orang asing itu tidak bicara lagi. Tak ada orang buka suara.

Musuh besarnya sedang duduk menunggu di halaman, menunggu kematian....

Ia bersedia merasakan berbagai siksaan dan penderitaan, tujuannya adalah untuk menemukan musuh besar pembunuh ayahnya. Membunuh mereka dengan ujung goloknya. Tapi setelah dia memandang orang itu, memandang wajah orang yang penuh keriput karena penderitaan dan rasa takut yang mencekam, loyo dan tua, dan sekarang kaki kirinya telah kutung. Tak tahu apakah dia masih harus membunuhnya atau tidak.

"Perbuatan salah yang telah kulakukan, telah kubayar seharga kesalahan yang telah kuperbuat."

Ucapan ini memang tidak salah.

"Bila bukan disebabkan rasa takut dan menderita, siapa yang bersedia mengutungi kaki sendiri?"

Jika seseorang harus hidup dalam penderitaan selama sembilan belas tahun, siksaan batin yang diterimanya benar-benar tak terlukiskan dengan kata-kata, pengorbanan yang dibayar untuk kesalahannya memang jauh lebih menakutkan daripada kematian.

"Selama ini, aku selalu berusaha menjadi Kuncu sejati." Apa yang dia ucapkan memang benar. Selama ini dia selalu berusaha menahan diri, mengalah, tak pernah melakukan kesalahan apa pun.

Apakah hal ini disebabkan dia merasa bersalah, dia berusaha sepenuh tenaga menebus dosanya?

"Setiap saat kau masih bisa membunuhnya, dia sudah tidak memiliki kekuatan melakukan perlawanan!"

Tapi persoalannya adalah apakah orang ini pantas dibunuh? "Orang ini masih berharga untuk dibunuh?"

Tiada orang bisa menjawabkan pertanyaan Pho Ang-soat ini. Dia harus melakukan pilihan sendiri. Membunuh? Atau tidak membunuh?

Ujung jari Pho Ang-soat tak bergerak, keringat dingin mengucur di kepala dan punggungnya, mengalir ke bawah.

Sekarang tiada orang menghalangi niatnya membalas dendam, namun ia justru merasa semakin menderita.

Berusaha keras mengendalikan kesulitan yang diciptakan orang bukanlah suatu perbuatan yang menderita.

Sekarang dia menderita karena kesulitan itu justru tercipta dalam hati sendiri. Ia tak sanggup melakukan pilihan, ia tak mampu mengambil keputusan.

Semua orang sedang memandang wajah Pho Ang-soat, dalam hati dipenuhi persoalan yang sama.

Dia akan membunuh Gi Toa-keng atau tidak?

Angin masih menderu-deru, makin lama semakin kencang.

Mendengar deru angin kencang seperti ini, terbayang akan padang rumput yang luas, membayangkan debu di gurun pasir yang beterbangan, bau anyir darah di tengah hembusan angin....

Rembulan di tengah cakrawala begitu indah.

Di bawah pancaran sinar rembulan, banyak kenangan manis melintas dalam benak orang. Di antara begitu banyak kenangan, terdapat pula orang-orang yang patut kau kenang. Sejumlah orang yang meski menjengkelkan tapi juga menyenangkan. Setiap orang punya kejelekan, tapi juga ada hal-hal yang menyenangkan.

Sekarang Yap Kay sedang membayangkan Siau Piat-li.

Dia sendiri tak tahu mengapa secara tiba-tiba teringat orang ini, mungkinkah disebabkan orang ini tidak seharusnya mati? Dia menyesal, mengapa orang ini dibiarkan mati? Justru mereka yang seharusnya mati, kini malah hidup bebas merdeka.

"Aku tidak membunuhmu, karena kau tak berharga untuk kubunuh!"

"Tapi aku tak akan melepaskan Be Khong-cun! Dia bukan cuma sahabat ayahku, bahkan mereka bersaudara, bagaimana pun juga dia tak seharusnya melakukan perbuatan ini."

"Aku bersumpah akan membunuhnya dengan golokku!" Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Pho Ang-soat. Inilah pilihannya yang terakhir. Ia tidak membunuh Gi Toa-keng.

Dia pun tidak memandang orang lain, pelan-pelan berjalan keluar pintu, kaki kiri maju selangkah lebih dulu, kemudian kaki kanan diseret. Gaya berjalannya memang aneh, seperti juga orangnya. Tapi goloknya masih tetap berwarna hitam, dingin mencekam.

Sesungguhnya dia yang menggenggam golok itu ataukah golok itu yang menggenggam nasibnya? "Yang dapat diberikan golok buat manusia hanya kematian serta ketidak beruntungan!"

Yap Kay seolah-olah mendengar suara Siau Piat-li yang bersumpah bagaikan jeritan dari neraka.

Ia memandang Pho Ang-soat berjalan keluar, menuju ke balik kegelapan yang tidak bertepian. Angin berhembus makin dingin dan kencang.

Dari balik kegelapan, bayangannya nampak menyendiri, begitu mengenaskan....

Mata Yap Kay mengembeng air mata.

Ting Hun-pin hanya memperhatikan satu orang. Tiba-tiba ia berbisik, "Mengapa kau bersedih?" "Aku tidak bersedih, aku sedang gembira."

"Apa sebabnya gembira?"

"Karena dia tidak membunuh Gi Toa-keng."

Baru saja ucapan ini selesai diutarakan, mendadak terdengar suara isak tangis Gi Toa-keng.

Sudah lama dia tidak menangis dia bukan lelaki yang gampang mengungkapkan emosi di hadapan orang lain.

"Benarkah ada kalanya hidup jauh lebih menderita daripada mati."

Pertanyaan itu hanya Gi Toa-keng seorang yang dapat menjawab, kemudian dia memandang ke arah Lok Siau-ka.

Lok Siau-ka berdiri mematung di tempatnya, tidak bergerak, juga tidak makan kacang.

Wajahnya kaku, tiada emosi sedikit pun. Tanpa emosi bukankah ada kalanya merupakan puncak penderitaan?

Tiba-tiba orang asing itu menghela napas panjang, katanya, "Sekarang kau boleh mengantarnya pulang.

"Biasanya aku jarang sekali minum arak, tapi hari ini aku boleh melanggar kebiasaan ini." Arak berada dalam cawan di tangannya.

Cahaya lentera amat redup, warna arak kuning tua. Arak ini bukan arak terbaik.

"Baik buruknya arak bukan terletak pada araknya sendiri, melainkan dalam keadaan dan perasaan macam apa kau minum arak."

Jika seseorang sedang menderita dan murung, kendati tersedia arak paling wangi yang tiada duanya di dunia pun, akan terasa getir dalam mulut.

Tiba-tiba orang asing itu berkata, "Hari ini aku pun merasa amat gembira." "Apakah disebabkan dia tidak membunuh Gi Toa-keng?" tanya Yap Kay cepat.

Orang itu manggut-manggut, lalu mengucapkan sepatah kalimat yang tak pernah dilupakan Yap Kay untuk selamanya.

"Bisa membunuh orang bukanlah suatu pekerjaan sukar, bisa mengampuni seorang musuh besar yang setiap saat ingin kau bunuh jushu merupakan suatu pekerjaan yang teramat sukar."

Dengan seksama Yap Kay menganalisa kata-kata ini, ia merasa ucapan itu penuh mengandung kepedihan dan rasa manis, tak tahan ia meneguk habis isi cawannya.

Orang itupun meneguk habis isi cawannya, kemudian ujarnya sambil tersenyum, "Sudah lama aku tak minum arak dengan cara begini, padahal dulu takaran minum arakku bagus sekali, tapi kemudian....

Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Yap Kay juga tidak bertanya, sebab dia telah menyaksikan dari balik matanya yang tak berperasaan, mendadak terpancar perasaan hangat. Cepat dia penuhi kembali cawan araknya yang telah kosong itu. Ting Hun-pin mengawasi dari samping.

Selama berada di samping Yap Kay, baru pertama kali ini dia mengawasi orang lain dengan cara begitu.

Mendadak ia bertanya, "Kau benar-benar adalah A "

"Ya, akulah A Fei," jawab orang itu sambil tertawa, "setiap orang memanggil A Fei kepadaku."

Dengan wajah memerah Ting Hun-pin tertawa, katanya sambil menunduk, "Bolehkah aku pun menghormati secawan arak untukmu?"

"Tentu boleh saja."

Ting Hun-pin segera meneguk habis isi cawannya, sementara sorot matanya bercahaya terang.

Bagaimanapun juga dapat minum arak A Fei memang merupakan peristiwa yang pantas dibanggakan.

Memandang sorot mata anak muda yang berkilauan itu, tiba-tiba orang asing itu merasakan hatinya pedih.

Hanya dia sendiri yang tahu bahwa sekarang ia tak mungkin lagi menjadi A Fei yang dulu.

A Fei yang dulu malang melintang di dunia persilatan, sekarang tak lebih hanya seorang asing dunia persilatan.

Dia pun enggan mendengar orang lain membicarakan semua kejadian yang pernah dilakukannya dulu.

Hal ini tak mungkin bisa dipahami Ting Hun-pin, maka katanya sambil tertawa, "Aku sudah lama mendengar orang berkata bahwa kau adalah orang tercepat di kolong langit, tapi hingga hari ini aku baru mempercayainya."

Orang asing itu tertawa hambar.

"Kau keliru," ujarnya, "masih ada seseorang yang selamanya jauh lebih cepat dari aku." Ting Hun-pin membelalakkan mata, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Terdengar orang asing itu bertanya, "Tahukah kau siapa yang mengajar ilmu pedang kepada Lok Siau-ka "

Ting Hun-pin menggeleng kepala berulang-kali. "Dia adalah Sim Bu-beng."

"Sim Bu-beng?" seru Ting Hun-pin sambil tertawa, "apakah dia tidak mempunyai nyawa?"

"Setiap orang pasti punya nyawa, begitu pula dengannya, tapi dia beranggapan bahwa nyawanya bukanlah miliknya.

"Nama ini memang aneh, cara berpikir semacam itu lebih aneh lagi"

"Dia memang seorang yang aneh sekali," ucap orang asing ini sambil menghela napas panjang. "Apakah permainan pedangnya amat cepat?"

"Menurut apa yang kuketahui, tiada seorang pun di dunia persilatan ini yang memiliki permainan pedang jauh lebih cepat daripadanya, dan lagi tangan kiri serta kanan sama-sama cepat dan ganas, kecepatannya sungguh tak terbayangkan."

Tanpa terasa Ting Hun-pin membayangkan manusia yang angkuh dan dingin, katanya, "Aku pikir dia pasti angkuh sekali."

"Bukan cuma angkuh, bahkan dingin dan ketus, dia bisa membunuh orang hanya disebabkan sepatah kata saja, dia pun bisa membunuh diri sendiri hanya disebabkan sepatah kata." "Orang lain pasti amat takut kepadanya."

Orang asing itu manggut-manggut, sorot matanya memancarkan kembali sinar kepedihan, pelan-pelan ujarnya, "Tapi sekarang di mata orang persilatan dia tak lebih hanya seorang asing."

"Bagaimana pula dengan Siau-li si pisau terbang? Apakah gerakannya lebih cepat dari Sim Bu- beng?"

Tiba-tiba mencorong terang sorot mata orang asing itu, sahutnya, "Ilmu silatnya sudah tak dapat dibayangkan."

Ting Hun-pin mengedipkan mata berulang kali, "Aku mengerti, bukan masalah cepat atau lambat, karena ilmu silatnya sudah mencapai tingkatan agung dan mulia, tiada orang sanggup mengalahkan dirinya "

"Ya, tiada."

"Oleh karena itu meskipun ilmu silat Siangkoan Kim-hong tiada tandingannya di kolong langit, dia toh masih kalah juga di tangannya."

"Kau memang cerdik," seru orang asing itu sambil tersenyum. "Sekarang apakah dia masih hidup?"

Orang itu tersenyum. "Sekarang apakah aku masih hidup?" dia balik bertanya. "Tentu saja kau masih hidup."

"Kalau begitu dia tentu juga masih hidup."

"Seandainya dia telah mati, apakah kau pun akan menemaninya mati?" tanya Ting Hun-pin lagi. "Mungkin aku tak akan menemaninya mati, tapi setelah dia mati, di dunia ini tak akan ada

orang yang bisa bertemu dengan diriku lagi."

Suaranya masih tetap tenang, seakan-akan dia sedang membeberkan suatu persoalan yang sederhana sekali.

Tapi siapa pun dapat merasakan bahwa kata-katanya itu memperlihatkan betapa mendalamnya hubungan persahabatan mereka.

Mencorong terang mata Ting Hun-pin, katanya, "Aku pernah mendengar orang berkata bahwa di dunia ini tiada orang ketiga yang bisa menandingi persahabatan kalian, sekarang baru aku percaya."

"Persahabatan sungguh sangat berharga, entah Pek Thian-ih itu orang macam apa, aku anggap cara Be Khong-cun memberi pelajaran kepadanya merupakan peristiwa yang amat memalukan."

"Oleh karena itu kau tidak keberatan bila Pho Ang-soat pergi membunuhnya?"

Orang itu menghela napas, "Tapi Li Sun-huan pasti tak akan berpendapat demikian, dia hanya tahu bagaimana cara mengampuni orang dan merasa kasihan terhadap orang

Seketika itu juga hati Ting Hun-pin dipenuhi oleh perasaan agung dan mulia, sejenak kemudian baru ia bertanya dengan suara pelan, "Belakangan ini pernahkah kau bertemu dengannya?"

"Setiap tahun paling tidak kami bertemu satu kali." "Tahukah kau dia berada dimana?"

Sesungguhnya tak perlu dia bertanya hal ini, sebab persahabatan mereka sudah tiada batasnya, berjumpa dimanapun sama saja. Sampai dimana perasaan itu, bahkah Ting Hun-pin sendiri pun dapat merasakannya.

Sorot mata si gadis dialihkan ke tempat jauh, "Aku berharap pada suatu hari bisa berjumpa dengannya."

Kokok ayam jago sudah terdengar. Sinar mentari fajar telah menyorot dari balik langit timur yang berawan.

Pelan-pelan orang asing itu bangkit berdiri, sambil memegang bahu Yap Kay, katanya sambil tersenyum, "Aku selalu menghormatinya, selalu ingin menjadikan dia sebagai contohmu, oleh karena itu aku merasa gembira."

Mata Yap Kay terasa basah, hatinya penuh dengan luapan perasaan gembira dan terima kasih. "Semoga saja aku dapat melakukannya!"

"Asal kau mempunyai tekad untuk berbuat demikian, sudah pasti kau dapat melakukannya." "Kau "

Orang asing itu memandang cahaya keemasan di ufuk timur, "Aku hendak pergi ke Kanglam, mungkin di sana aku dapat berjumpa dengannya."

Katanya pula kepada Ting Hun-pin sambil tertawa, "Aku pasti akan memberitahu kepadanya, ada seorang gadis cantik dan pintar berharap dapat berjumpa dengannya."

Ting Hun-pin tertawa, matanya berkilat penuh rasa terima kasih serta pengharapan. "Aku pun berharap bisa mengetahui satu hal."

"Katakanlah."

"Apakah di Kanglam akan terjadi suatu peristiwa besar yang menggetarkan dunia, hingga kalian berdatangan ke wilayah Kanglam?"

"Cuma pekerjaan yang hendak kami lakukan yang tak ingin diketahui orang lain, maka tak mungkin ada orang bakal mengetahuinya."

Pelan-pelan dia berjalan keluar, tiba di luar pintu, berdiri di bawah pancaran sinar matahari pagi, dia menarik napas panjang, kemudian berpaling dan tertawa, katanya, "Perkataan yang kuucapkan hari ini jauh lebih banyak daripada biasanya, tahukah kalian apa sebabnya?"

Tentu saja mereka tidak tahu.

"Karena aku sudah tua, biasanya orang tua lebih suka banyak bicara daripada orang muda."

Selesai berkata dia lantas berjalan menyongsong datangnya fajar. Langkahnya enteng dan mantap.

Cahaya matahari menyorot dari balik kabut menyoroti tubuhnya. Badannya seakan-akan memancarkan cahaya berkilauan yang menusuk pandangan.

Ting Hun-pin menghela napas panjang, "Siapa bilang dia sudah tua? Dia nampak begitu segar, cekatan dan gagah, pada hakikatnya jauh lebih muda daripada kita."

Yap Kay tersenyum. "Tentu saja dia takkan menjadi tua, sebab ada sementara orang selamanya memang tak pernah menjadi tua."

Ting Hun-pin tidak bicara lagi, sorot matanya memandang ke tempat jauh. Memandang ke arah orang asing itu lenyap. Dia terkesan oleh sikapnya, dalam hati muncul perasaan kagum, simpatik dan hormat terhadap orang.

"Ada sementara orang memang seperti tak pernah tua, karena dalam hati mereka selalu dipenuhi oleh pancaran kehangatan dan harapan bagi umat manusia."

Asal dalam hati mempunyai rasa kasih sayang dan pengharapan, dia akan awet muda.

Dengan bergandeng tangan Ting Hun-pin dan Yap Kay melangkah menyongsong terbitnya sang surya.

Tiba-tiba Yap Kay bertanya, "Engkohmu ketiga sebenarnya orang macam apa?" "Kau belum pernah melihatnya?"

"Aku pernah bertemu dengan Toakomu." "Samko seperti kau, cerdik, nakal, kecuali melahirkan anak, agaknya apa pun bisa dia buat dan lakukan, kepandaian khasnya yang paling ahli adalah memelet perempuan." Sampai di sini tiba- tiba dia menarik muka dan suaranya meninggi keras, "Untuk hal ini jangan sekali-kali kau meniru dia."

"Untuk hal ini aku tidak perlu belajar lagi," ujar Yap Kay tertawa. "Ting-samkongcu paling romantis, sejak lama hal ini sudah kudengar, aku ingin bertemu dia."

"Memang kau perlu bertemu dia, bila perlu kau harus menjilat pantat dan mengambil hatinya, supaya di hadapan keluargaku, dia membicarakan kebaikanmu."

"Kecuali dia, apakah keluargamu semua orang kolot?"

"Terutama ayahku, dalam setahun jarang dia tertawa walaupun hanya sekali, karena takut melihat mukanya yang dingin itu, maka aku minggat dari rumah."

"Tapi aku pun tahu beliau adalah seorang Kuncu."

"Memangnya, sejak ibu meninggal, terhadap perempuan lain melirik pun dia tidak pernah, tanggung orang lain takkan ada yang bisa memadainya."

"Ya, paling tidak aku sendiri memang tidak bisa melakukannya," Yap Kay tertawa.

Ting Hun-pin melotot, semprotnya, "Oleh karena itu aku pasti takkan mati mendahului kau." Yap Kay malah tersenyum saja.

"Sekarang kau hendak kemana? Menguntit Pho Ang-soat? Kau pikir dia bisa menemukan Be Khong-cun?"

Ya Kay menepekur, sahutnya kalem, "Asal dia punya keyakinan dan teguh hati, tiada sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan di dunia ini."

Pada saat itulah dari arah terbitnya surya, mendadak mencongklang mendatangi seekor kuda yang dibedal kencang. Cepat sekali kuda jempolan ini berlari, lekas sekali sudah kelihatan jelas penunggangnya, seorang pemuda bermuka cakap ganteng, memegang pecut dengan pakaian sutra mulus bertopi tinggi dihiasi mutiara, pinggangnya mengenakan sabuk batu giok, pedang panjang tersoreng di pinggangnya. Begitu tiba di hadapan Yap Kay berdua, kuda yang mencongklang pesat itu mendadak berhenti.

"Samko," terdengar Ting Hun-pin berjingkrak senang sambil bertepuk tangan, "kita sedang mencarimu kiranya, kau sudah datang sendiri."

"Memangnya aku sengaja kemari hendak melihatkan teman lakimu ini, kabarnya dia seperti aku, laki-laki romantis," kata pemuda di atas kuda sambil mengawasi Yap Kay dengan tersenyum.

"Bagaimana pendapatmu?" tanya Ting Hun-pin berkedip-kedip.

"Agaknya tidak mengecewakan aku," sahut kakak ketiga Ting Hun-pin yang bernama Ting Ling- tiong.

Yap Kay ikut tertawa. Ting Ling-tiong memang pemuda romantis yang gagah dan ganteng. "Aku ingin menemuimu, kabarnya kau baru saja menang tiga puluh guci arak."

Ting Ling-tiong tertawa, ujarnya, "Sayang kau datang terlambat arak itu sudah habis masuk ke perut semua."

"Lalu rombongan penyanyi yang cantik-cantik itu?" tanya Yap Kay pula.

"Nona-nona cilik itu mirip golekan yang molek, kau pasti menyenangi nya, sayangnya aku takkan memberi kesempatan kepadamu."

"Kenapa?"

"Umpama kau tidak takut adikku ini, jelas aku sendiri rada takut kepadanya." Sengaja Ting Hun-pin menarik muka, katanya, "Terhitung otakmu cerdik, kalau tidak, bukan mustahil kubanting hancur semua golekanmu itu."

"Nah, kau dengar tidak?" ujar Ting Ling-tiong berkelakar, "kalau cemburu budak cilik ini amat galak lho."

Tak tertahan Ting Hun-pin cekikikan melihat banyolan engkohnya yang lucu. "Kalian hendak kemana?"

"Kau sendiri hendak kemana?" balas tanya Ting Hun-pin.

Ting Ling-tiong menghela napas, ujarnya tertawa getir, "Aku tidak sebebas kalian, kalau tidak segera pulang, mungkin batok kepalaku ini bisa dihajar sampai keluar kecap."

"Apakah ayah baik-baik saja?"

"Baik-baik saja, akhir tahun yang lalu beruntung aku melihat dia tertawa sekali." Ting Hun-pin ikut tertawa riang.

"Kukira kau pun perlu hati-hati, meski bibi selalu membela kau, tapi bila ayah marah benar- benar, kau pun akan dihajarnya."

"Aku tidak perlu takut, paling seumur hidup aku tidak pulang," sahut Ting Hun-pin dengan merengut.

"Akal yang bagus, aku tidak menentang, cuma aku merasa tidak enak kepadamu," kata Ting Ling tiong, ucapannya ditujukan kepada Yap Kay.

"Kepadaku?" Yap Kay keheranan.

"Jika budak jelek yang suka cemburu dan galak ini sudah berketetapan hati, dia hendak menguntitmu seumur hidup, apa pula manfaatnya laki-laki muda menjadi manusia?" tanpa menunggu komentar Ting Hun-pin, dia sudah mengkeprak kudanya pergi. Dari kejauhan ia berseru, "Bila kapan waktu kau bisa keluyuran seorang diri, boleh kau mencariku, kecuali maninan golekan itu, aku masih punya golekan kembang dan banyak lagi lainnya.

Ting Hun-pin membanting kaki, omelnya, "Engkoh ketiga memang bukan orang baik-baik, pemuda bergajul."

"Tapi apa yang dia katakan memang benar?" "Apanya yang benar?"

"Masakah kau tidak dengar, katanya ada orang yang galak, jelek dan suka cemburuan "

Ting Hun-pin pura-pura menarik muka, namun tak tertahan dia tertawa geli. Pelan-pelan mereka beranjak di jalan raya, kedua orang sama-sama melayangkan pikirannya sendiri-sendiri.

Cukup lama kemudian, tiba Yap Kay bertanya, "Adakah ayahmu punya seorang teman yang amat baik terhadapnya? Orang yang mau dan bisa membicarakan kebaikanku di hadapannya."

Ting Hun-pin geleng-geleng, katanya, "Biasanya jarang dia bergaul dengan orang, umpama ada teman-temannya, semuanya sama-sama kolot dan berpandangan kuno, kutu buku."

"Memangnya ayahmu biasanya tidak berhubungan dengan kaum persilatan?"

"Sering beliau bilang di Kangouw hanya ada dua orang yang setimpal menjadi sahabatnya." "Siapa kedua orang itu?"

"Salah satu sudah tentu adalah Siau-li Tham-hoa, ayah berpendapat selama tiga ratus tahun mendatang, beliau adalah tokoh kosen yang digdaya dan tiada bandingannya, malah beliau pun berpendapat, apa pun yang dia lakukan pasti tidak akan mampu dilakukan orang lain. Dan seorang lagi boleh kau terka."

"A Fei?" Ting Hun-pin geleng-geleng, ujarnya, "Katanya A Fei seorang yang selama hidup takkan bisa melaksanakan urusan besar, karena wataknya terlalu angkuh, juga karena suka menyendiri."

Untuk pandangan ini Yap Kay tidak membantah. Karena dia sendiri mau tidak mau harus mengakui, pendapat ayah Ting Hun-pin terhadap A Fei memang masuk akal. "Tapi siapa lagi orang yang terpandang olehnya di dunia ini kecuali A Fei?"

"Pek Thian-ih!"

Yap Kay melengak, terunjuk keheranan pada mukanya, tanyanya, "Pek Thian-ih? Ayahmu kenal padanya?"

"Tidak kenal, namun dia berpendapat, Pek Thian-ih adalah seorang tokoh yang luar biasa, selama ini dia ingin melihatnya, sayang sekali. " Sampai di sini dia menghela napas, "Kecuali

kedua orang ini, dalam pandangannya orang-orang lain kalau bukan goblok tentu keparat!"

"Sayangnya kedua orang ini terang takkan bisa membela aku, membicarakan kebaikanku di hadapan ayahmu."

Berkedip-kedip mata Ting Hun-pin, katanya, "Yang bisa bicara tentang dirimu di hadapan ayahku mungkin hanya seorang saja, karena apa pun yang dikatakan orang ini mungkin dia masih sudi mendengarkan"

"Siapa?"

"Bibiku."

"Adik ayahmu? Sampai sekarang bibimu belum menikah?"

"Pandangan dan penilaiannya akan orang lebih tinggi dari ayahku, laki-laki di dunia ini boleh dikata tiada satu pun yang terpandang olehnya."

"Mungkin karena orang lain pun merasa tidak senang menghadapi sikapnya, tingkah-laku dan kejelekannya."

"Tidak, sampai sekarang dia masih terhitung cantik, di waktu mudanya, ada laki-laki yang meluruk datang dari tempat ribuan li hanya untuk melihatnya saja."

"Tapi dia tidak beri kesempatan kepada orang untuk melihat dirinya."

"Ya, begitulah, sering dia bilang laki-laki adalah babi, kotor dan busuk, seolah-olah laki-laki bisa membuat dirinya kotor, maka " Matanya mengerling kepada Yap Kay, lalu meneruskan, "Dia

sering menasehati aku supaya selama hidup tak usah menikah, laki-laki macam apa pun lebih baik ditendang pergi saja."

"Dia tidak kuatir kakimu kotor?"

"Sayang sekali aku tidak tega menendangmu, malah kau sendiri pun takkan bisa menendangku pergi."

Yap Kay tertawa, katanya, "Tiga keluarga besar Bu-lim, yang paling aneh adalah keluargamu.

Apakah ilmu silat ayahmu amat tinggi?"

"Aku sendiri pun tidak tahu, yang terang kita putra-putrinya semua belajar silat dan digembleng oleh beliau, namun tiada satu pun yang mampu mempelajari semua ilmu silatnya."

"Agaknya belum pernah ayahmu bertanding silat dengan orang lain?" "Soalnya tiada orang berani mencarinya dan mengajak bertanding." "Apakah dia tidak pernah membuat kesulitan untuk orang lain?" "Urusan tetek-bengek di Kangouw, hakikatnya malas ia ikut campur."

Jauh pandangan Yap Kay ke depan sana, lama dia termangu-mangu, akhirnya berkata penuh ketetapan, "Apa pun yang akan terjadi, aku akan menemani kau pulang ke rumahmu."

"Kau berani?" terbelalak mata Ting Hun-pin. "Mari sekarang juga berangkat." "Sekarang belum saatnya."

"Kau masih ingin mencari Pho Ang-soat?"  "Musuhnya bertambah, kawannya berkurang malah." "Kau tahu kemana dia pergi?"

Mimik Yap Kay menjadi aneh, katanya kalem, "Dari sini sudah tidak jauh dari Bwe hoa am.

Kukira pasti ke sana."

BAB 38. THO HOA NIOCU

Waktu itu musim rontok, pohon-pohon kembang Bwe sudah tiada lagi, sudah tentu tiada salju pula di sana. Pho Ang-soat tidak tahu betapa perasaan hatinya menghadapi tempat yang meninggalkan sejarah tragedi bagi keluarganya puluhan tahun yang lalu. Dengan menggenggam kencang goloknya pelan-pelan dia beranjak di undakan batu yang sudah lumutan. Sekali dorong, pintu biara yang sudah keropos seketika terbuka mengeluarkan suara keras, suaranya mirip dengan helaan napas manusia.

Dedaunan yang rontok bertumpukan di pekarangan, suasana lengang, tiada bayangan orang, tak kelihatan asap dupa mengepul, seolah-olah biara ini sudah tidak dihuni manusia. Pho Ang-soat membungkuk menjemput selembar daun kering, entah apa yang dipikirkan mengawasi daun kering itu.

Entah berapa lama kemudian, seperti didengarnya suara orang bersabda, lalu seseorang berkata kepadanya, "Apakah Sicu mau menyulut dupa bersembahyang?"

Seorang nikoh pertengahan umur dengan jubah hijau merangkap tangan berdiri di undakan batu Tay hiong po tian. Seperti daun kuning di tangannya, Nikoh tua inipun kelihatan layu dan loyo, kulit mukanya yang kering dan berkeriput seperti dihiasi kehidupan masa lalu yang penuh diliputi pahit getir dan sengsara.

Serasa sulit Pho Ang-soat menolak, memang dia tidak ingin menolak, pelan-pelan dia beranjak maju.

"Pinni Liau In, siapakah nama besar Sicu?"

"Aku she Pho," lalu diambilnya segenggam dupa, setelah disulut ditancapkan di tempat perabuan yang terbuat dari tembaga Habis itu dia beranjak hendak pergi.

"Apakah Sicu tidak ingin minum teh dulu?" terunjuk rasa kasih sayang pada mata si Nikoh. Pho Ang-soat manggut-manggut, tidak enak dia menampik kebaikan orang.

Tak lama kemudian seorang Nikoh muda belia membawa nampan berisi secangkir air teh, dengan menunduk kepala dia suguhkan teh itu pada Pho Ang-soat.

Pho Ang-soat hanya meninggalkan sekeping pecahan uang perak di atas nampan.

Nikoh tua merangkap tangan dan membungkuk badan, mengucapkan terima kasih, ujarnya, "Sudah lama tiada orang datang sembahyang di sini."

Pho Ang-soat menepekur, akhirnya dia bertanya, "Berapa lama kau tinggal di sini?"

"Loni sudah lupa berapa tahun tepatnya, cuma masih kuingat waktu itu patung-patung Buddha yang ada di sini baru saja didirikan."

"Kalau begitu sedikitnya ada dua puluh tahun?" "Mungkin sudah dua-tiga puluh tahun." "Masihkah kau ingat peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu di tempat ini?" "Bukan dua puluh tahun, tepatnya sembilan belas tahun."

"Kau tahu jelas?"

"Peristiwa yang menakutkan itu takkan bisa terlupakan." "Kau... kau kenal dengan Pek-sicu itu?"

"Seorang yang sulit dilupakan orang, Loni selalu berdoa kepada Thian, supaya beliau mendapat tempat yang tenteram di sisinya."

"Kau sendiri menyaksikan peristiwa itu?" tanya Pho Ang-soat menegas.

"Loni tidak berani melihat dan tidak tega melihatnya, di luar keinginanku bahwa tragedi terjadi di tempat ini." Sampai di sini kulit mukanya yang kuyu dan keriput itu membayangkan sesuatu yang amat mengerikan, lama baru dia menyambung, "Sampai sekarang Loni sudah tak ikut campur urusan duniawi, namun setiap kali teringat akan suara malam itu, tetap aku tidak bisa makan tak nyenyak tidur. Sicu bisa saksikan akibat peristiwa dulu itu, semuanya serba kritis dan kekurangan, syukurlah sang Buddha bijaksana dan belas kasihan memberkahi umatnya, tanpa memiliki beberapa hektar sawah, Loni bertiga dengan murid-murid mungkin sudah mati kelaparan."

Pho Ang-soat jadi tidak tega bertanya lagi, pelan-pelan dia meletakkan cangkir teh di atas meja, lalu bergerak hendak tinggal pergi.

Mengawasi cangkir teh yang diletakkan di atas meja, Liau In bertanya, "Sicu ingin minum air teh ini?"

Pho Ang-soat geleng-geleng kepala. "Kenapa?"

"Selamanya tidak pernah minum teh orang yang tidak kukenal." "Loni sebagai orang beribadat, masakah Sicu "

"Orang beribadah juga manusia "

"Agaknya Sicu teramat hati-hati." "Karena aku masih ingin hidup."

Tiba-tiba tersimpul senyuman dingin yang sadis pada muka Liau In, katanya dingin, "Sayang sekali betapapun orang hati-hati, cepat atau lambat akan tiba juga ajalnya." Habis kata-katanya, badannya yang kurus loyo itu laksana macan tiba-tiba menjelat ke atas segesit garuda, berjumpalitan ke belakang. Terdengar "Blup" dari lengan jubahnya, tiba-tiba melesat setabir bintik-bintik sinar terang laksana bintang perak menyerang bersama.

Perubahan ini terlalu di luar dugaan, cara menyerangnya juga cepat sekali. Terutama senjata rahasia yang disambitkannya, bukan saja kencang, rapat dan lebat, selama sembilan belas tahun, seolah-olah senantiasa dia selalu melatih dan mempersiapkan diri untuk melakukan serangan mematikan ini.

Bersamaan waktunya, dari kedua samping Tay hiong po tian, mendadak serempak muncul dua Nikoh muda berjubah hijau, satu di antaranya adalah Nikoh jelita yang menyuguhkan teh tadi.

Tapi pakaian mereka sekarang sudah ganti, demikian pula sikap dan tindak-tanduknya amat garang, raut mukanya yang kekuning-kuningan diliputi angkara murka.

Kedua Nikoh muda ini menenteng pedang panjang yang berkilauan, mereka sudah siap bergaya tempur, seluruh kekuatan sudah dikerahkan. Kemana pun Pho Ang-soat berkelit, kedua pedang mereka pasti akan memapaknya dengan tusukan yang mematikan pula. Apalagi serangan senjata rahasia seperti ini bahwasanya memang sulit untuk dihindari. Aneh memang tingkah-laku Pho Ang-soat, tidak berkelit dia malah sengaja menerjang ke depan, pada detik-detik yang menentukan itu, tahu-tahu goloknya sudah terlolos. Takkan ada orang percaya akan kecepatan dia mencabut goloknya. Dimana sinar golok berkelebat, seluruh bintik-bintik perak itu seketika tergulung dalam sinar golok, kejap lain Pho Ang-soat sudah berada di samping si Nikoh tua.

Saat itu Liau In baru saja berjumpalitan, pakaiannya yang lebar dan lengan bajunya masih melambai-lambai, sebelum dia berdiri tegak dan menyadari apa yang telah terjadi, tahu-tahu terasa lututnya kesakitan, golok hitam legam orang tahu-tahu sudah mengetuk keras-keras di atas lututnya.

Tanpa kuasa badannya kontan tersungkur jatuh.

Serentak kedua Nikoh muda itu menghardik, dua pedang mereka bergerak silang laksana bianglala menggunting ke badan Pho Ang-soat. Ilmu Liang-gi-kiam-hoat Bu-tong-pay permainan pedangnya mengutamakan kelincahan dan kecepatan, keduanya bisa bekerja sama dengan baik dan ketat. Sasaran dari tusukan kedua batang pedang amat telak pada Hiat-to mematikan di badan Pho-Ang-soat.

Kali ini Pho Ang-soat tidak menggunakan goloknya, dia gunakan sarung dan gagang goloknya, berbareng sarung dan gagang goloknya memapak kedua jurusan, tepat sekali menahan ujung pedang musuh. "Krak", kedua batang pedang yang terbuat dari baja itu ternyata putus di tengah- tengah. Kutungan gagang pedangnya pun tak kuasa dipegangnya lagi. "Trap", mencelat ke atas dan menancap di belandar.

Telapak tangan mereka pun tergetar pecah berlumuran darah, sigap sekali keduanya tiba-tiba mencelat dan mundur, tapi sarung dan gagang pedang serba hitam itu bekerja lebih dulu, tanpa ampun mereka pun terjungkal roboh. Kejap lain golok kembali ke dalam sarungnya.

Pho Ang-soat berdiri diam di tempatnya, Liau In Loni berduduk memeluk lutut di hadapannya, matanya tertuju ke arah golok di tangannya. "Kau kenal golok ini?" tanyanya.

Liau In mengertak gigi, suaranya serak, "Ini bukan golok manusia, tapi golok iblis, hanya setan gentayangan di neraka yang bisa menggunakannya." Suaranya rendah dan serak, "Aku sudah menunggu sembilan belas tahun, aku tahu akan datang suatu hari pasti akan melihat golok iblis ini, kenyataan hari ini melihatnya."

"Memangnya kenapa kalau kau sudah melihatnya?"

"Aku sudah bersumpah, bila aku melihat golok ini, peduli di tangan siapa, aku harus membunuhnya."

"Kenapa?"

"Karena golok ini pula yang membikin hidupku sengsara dan merana." "Jadi asal mulamu bukan penghuni Bwe hoa am ini?"

"Sudah tentu bukan," tiba-tiba terpancar sinar terang pada biji matanya. "Bocah ingusan seperti kau tentu takkan tahu, tapi dua puluh tahun yang lalu, siapa pun yang menyinggung nama Tho hoa nio cu, kaum persilatan tiada yang tidak mengenalnya."

Sikapnya semakin beringas, suaranya menjadi kasar. Pho Ang-soat tinggal diam.

Liau In melanjutkan, "Tapi aku disia-siakan, semua hatiku hanya tertuju kepadanya, siapa tahu hanya tiga hari dia menggauli aku, tahu-tahu aku dibuang dan ditinggalkan begitu saja, sehingga aku dihina dan ditertawakan orang banyak."

"Kalau kau bisa menyia-nyiakan orang lain, kenapa dia tidak boleh menyia-nyiakan kau?" Pho Ang-soat tidak utarakan isi hatinya ini. Segala tetek-bengek mengenai pribadi Tho hoa nio cu di masa lalu tidak menjadi perhatiannya. Dia hanya ingin tahu, "Pada malam hujan salju sembilan belas tahun yang lalu, kau berada di luar atau di dalam Bwe hoa am?" Liau In tertawa dingin, sahutnya, "Sudah tentu aku berada di luar, sejak lama aku sudah bersumpah hendak membunuhnya."

"Waktu kau menunggu di luar malam itu, adakah kau mendengar orang bilang 'Orangnya sudah lengkap’?"

Sekilas Liau In berpikir, sahut, "Benar agaknya pernah kudengar ada orang bilang demikian." "Tahukah kau siapa dia? Kenalkah kau akan nada suaranya?"

"Peduli siapa dia? Yang kutunggu malam itu hanya laki-laki ingkar janji yang hendak kubunuh itu, akan kubakar jenazahnya lalu kuaduk dengan arak dan kuminum habis sebagai ramuan jamu." Sampai di sini mukanya menjadi beringas, mendadak dia sobek baju di depan dadanya, menunjukkan dadanya yang kempes dan kering, sejalur luka-luka bacokan golok menggaris dari pundak sampai ke perutnya.

Lekas Pho Ang-soat melengos, dia tidak merasa simpati, hatinya malah jijik dan muak. Tak tahan Pho Ang-soat tertawa dingin.

Liau In berkata pula, "Tahukah kau kehidupan apa yang kualami selama sembilan belas tahun ini? Usiaku baru tiga puluh sembilan, tapi kau lihat, perubahan macam apa yang menimpa diriku?" Tiba-tiba dia mendekam di tanah dan menangis tergerung-gerung.

Terketuk juga rasa iba Pho Ang-soat orang memang sudah mendapat ganjaran setimpal. Pelan- pelan dia memutar badan.

"Kau," teriak Liau In keras, "kembalilah kau!" Pho Ang-soat tidak berpaling.

"Kau sudah kemari, kenapa tidak kau bunuh aku dengan golokmu, jika kau tidak berani membunuhku, kau ini binatang jalang."

Tanpa berpaling Pho Ang-soat beranjak keluar, tangis dan caci-maki di belakangnya tak dihiraukannya pula.

Waktu Yap Kay berdua tiba, malam sudah larut, sudah lama Pho Ang-soat berlalu dari tempat itu. Demikian pula Liau In sudah tidak terlihat bayangannya.

Peti jenazah Liau In sudah tertutup, layon ini sebelumnya sudah disiapkan, kalau bukan untuk mengubur Pho Ang-soat, tentu untuk mengubur jenazahnya sendiri.

Dua Nikoh muda itu sedang berisak tangis memeluk layon, mereka menangis karena ingat akan nasib hidupnya, ingin rasanya menghabisi hidup yang serba menderita ini, sayang mereka tidak punya keberanian. Mati memangnya bukan suatu hal yang gampang dilaksanakan.

Waktu Yap Kay meninggalkan tempat itu, malam semakin dingin. Ting Hun-pin menggelendot di badannya, katanya menghela napas, "Aku tidak habis mengerti, kenapa Nikoh setua itu tidak diberi ampun oleh Pho Ang-soat."

"Kau kira Pho Ang-soat yang membunuhnya?" tanya Yap Kay. "Yang terang sekarang dia sudah mati."

"Memangnya setiap hari banyak orang mati di dunia ini."

"Tapi dia mati setelah Pho Ang-soat mampir kemari. Kau tidak merasa heran?"

Lama Yap Kay menepekur, sahutnya setelah menghela napas, "Seharusnya aku sudah tahu siapa sebenarnya Liau In ini"

"Liau In?"

"Nikoh tua yang mati itu."

"Kau pernah melihatnya? Kau pernah mengunjungi Bwe hoa am?" Yap Kay manggut-manggut. "Siapakah dia?"

"Sejak peristiwa berdarah sembilan belas tahun yang lalu, banyak tokoh-tokoh Kangouw mendadak hilang, yang menghilang lebih banyak dari korban yang jatuh di luar Bwe hoa am. Waktu itu di Bu-lim terdapat seorang gadis kenamaan yang berjuluk Tho hoa nio cu. sayang hatinya sejahat ular sebuas binatang. Entah berapa laki-laki yang kepincut padanya menjadi korban keganasannya."

"Jadi kau kira Nikoh tua di Bwe hoa am itu adalah Tho hoa nio cu? Apakah tidak mungkin dia pun sudah ajal pada malam itu?"

"Tidak mungkin. Kecuali Pek Thian-ih, hanya beberapa gelintir manusia saja yang mampu membunuhnya."

"Mungkin Pek Thian-ih sendiri yang membunuhnya?"

"Pek Thian-ih tidak pernah membunuh wanita yang pernah digaulinya." "Tapi bagaimana cara kau membuktikan analisamu?"

"Buktinya sudah kuperoleh," lalu dia membuka telapak tangannya, sebuah senjata rahasia yang mengkilap terletak di atas telapak tangannya itulah kelopak kembang Tho.

"Apakah ini?" tanya Ting Hun-pin.

"Inilah senjata rahasia tunggalnya, tiada orang kedua di Kangouw yang bisa menggunakan senjata semacam ini."

"Darimana kau memperolehnya?"

"Di ruang sembahyang Bwe hoa am tadi." "Tadi kau temukan?"

"Agaknya dia menggunakan senjata rahasia tunggalnya ini untuk menyerang Pho Ang-soat, tapi berhasil diruntuhkan oleh Pho Ang-soat, maka di atas senjata gelap ini ada bekas gumpil."

"Lalu apa bedanya bila kau tahu akan dirinya sekarang?" "Bedanya aku tidak bisa minta keterangan padanya."

"Jadi kau masih ingin bertanya sesuatu kepadanya? Pentingkah pertanyaanmu?" Yap Kay manggut-manggut.

"Pertempuran berdarah itu dimulai di sini dan berakhir tiga li di luar sana, akhirnya Pek Thian-ih roboh kehabisan tenaga, sepanjang tiga li terdapat ceceran darah, anggota badan manusia yang tidak lengkap dan mayat-mayat yang bergelimpangan."

Berdiri bulu kuduk Ting Hun-pin, dengan kencang dia peluk lengan Yap Kay.

"Dalam pertempuran itu, tiada korban yang ajal dengan jazad yang utuh, terutama keluarga Pek. Setelah pertempuran berakhir, semua anggota badan dan mayat-mayat kawanan pembunuh yang berkomplot itu segera dibersihkan dan digotong pergi, soalnya Be Khong-cun tidak ingin orang tahu siapa para pembunuh ini."

"Untuk menghindari kecurigaan orang lain, sudah tentu Be Khongcun tetap bermain sandiwara, malah di hadapan orang banyak dia bersumpah untuk menuntut balas bagi kematian Pek Thian-ih dan keluarganya."

"Tua bangka itu memang cerdik dan licin seperti rase," kata Ting Hun-pin.

Suara Yap Kay serak, "Yang harus dikasihani adalah Pek Thian-ih, dia bukan saja kaki tangannya buntung, malah batok kepalanya pun terpenggal entah kemana."

Mengawasi mimik muka Yap Kay, tiba-tiba terasa oleh Ting Hun-pin sekujur badannya menjadi dingin, telapak tangannya pun berkeringat dingin. "Kau kira Tho hoa nio cu yang mencurinya?" "Pasti tidak salah lagi."

"Kenapa?"

"Umpama ada perempuan lain dalam kawanan pembunuh itu, yang masih hidup hanya dia seorang saja. Kalau orang lain hanya ingin kematian Pek Thian-ih, tapi dia di samping menginginkan kematian Pek Thian-ih, juga ingin didampingi Pek Thian-ih sehidup semati. Maka dia gunakan cara edan itu."

Bergidik seram Ting Hun-pin dibuatnya, tiba-tiba ter ketuk sanubarinya, apakah dia pun akan melakukan perbuatan yang sama? Dia sendiri pun tak dapat memastikan. Mendadak sekujur badannya gemetar tiada hentinya.

Udara dingin berhembus kencang, namun keringat dingin membasahi sekujur badannya. Malam semakin larut, bintang pun semakin jarang.

Yap Kay dapat merasakan keringat dingin di telapak tangan Ting Hun-pin, belum pernah gadis itu mengalami hal ini.

"Kau harus mencari tempat untuk tidur!"

"Aku tak dapat tidur, sekalipun sekarang tersedia ranjang paling empuk dan nikmat, aku tak dapat tidur."

"Kenapa?"

"Karena banyak persoalan yang harus kupikirkan" "Apa yang kau pikirkan?"

"Memikirkan kau, cukup persoalanmu sudah cukup membuatku berpikir tiga hari tiga malam." "Aku toh berada di sisimu, apa lagi yang mesti kau pikir?"

"Hal ini menyangkut dirimu, makin berpikir aku makin heran." "Heran?"

"Ya, jelas kau lebih mengerti daripada Pho Ang-soat, tapi aku tak habis mengerti mengapa bisa begini?"

Yap Kay tertawa. "Memang banyak bukti yang telah kukumpulkan."

"Sebenarnya kan tak ada hubungannya dengan kau, kenapa kau begitu menaruh perhatian terhadap masalah ini?"

"Sebab aku adalah orang yang selalu ingin tahu, aku justru senang ikut campur urusan orang." "Kenapa?"

"Karena persoalan ini cukup rumit, makin rumit makin menarik"

Ting Hun-pin menghela napas, "Apa pun yang kau katakan, aku tetap merasa heran." Yap Kay tertawa getir. "Kalau kau merasa heran, aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi!" "Hanya ada satu cara yang bisa kau lakukan."

"Katakanlah."

"Aku minta kau bicara terus terang kepadaku."

"Baik, aku akan bicara terus terang, bila aku mengatakan adalah adik Pho Ang-soat, maka aku baru akan memperhatikan hal ini, apakah kau percaya?"

"Tidak percaya, sebab Pho Ang-soat tidak mempunyai adik." "Sebenarnya kau ingin aku mengatakan apa?" Ting Hun-pin kembali menghela napas, "Aku sendiri pun tidak tahu."

Yap Kay tertawa, "Kuanjurkan kau lebih baik jangan berpikir yang bukan-bukan sebab hal ini tiada sangkut-pautnya dengan dirimu, bila kau bersikeras ingin tahu berarti kau mencari kesulitan untuk dirimu sendiri."

Ting Hun-pin tersenyum. "Aku seperti juga kau selalu cari penyakit katanya. Setelah sekian lama, tiba-tiba ia berkata, "Aku sedang memikirkan suatu hal lain." "Hal apa?"

"Seandainya batok kepala Pek-tayhiap benar dicuri Tho hoa-niocu, mungkin karena is tak berhasil mendapatkan orangnya di kala masih hidup, terpaksa dia menyuruh orang mati menemaninya?"

"Caramu bicara kurang baik, tapi memang begitulah "

"Setelah dia mati, pasti kepalanya tak mungkin meninggalkan nya." "Maksudmu "

"Maksudku seandainya batok kepala Pek-tayhiap dicuri Tho-hoa niocu, sekarang sudah pasti kepala itu berada di dalam peti matinya."

Yap Kay tertegun.

Dia memang tak pernah menduga sampai ke situ, tapi mau tak mau harus mengakui jalan pikiran Ting Hun-pin sangat masuk akal.

"Apakah kau ingin kembali ke sana melakukan pemeriksaan?"

Yap Kay termenung, akhirnya menghela napas panjang. "Tidak perlu!"

"Tadi kau berusaha menemukan batok kepala Pek-tayhiap, sekarang bilang tidak perlu?" Paras Yap Kay berubah sedih, pelan-pelan sahutnya,

"Aku ingin menemukan batok kepala itu untuk dikuburkan." "Tapi "

Cepat Yap Kay menukas, "Jika batok kepalanya benar berada dalam peti mati, sudah pasti ada orang akan menguburnya secara baik-baik, mengapa aku harus mengganggu arwahnya lagi dan buat apa aku mesti membuat Tho hoa niocu harus mati dengan mata tidak meram?" Setelah menghela napas, sahutnya pula, "Dia memang perempuan yang patut dikasihani, buat apa aku merampas barang miliknya?"

"Kenapa sekarang kau membelanya?"

"Karena ada orang pernah berkata padaku, sebelum kau berbuat sesuatu, pikirkan dulu orang lain." Sorot matanya memancarkan sikap hormat, "Ucapan ini tak akan pernah kulupakan."

Ting Hun-pin memandang ke arahnya, ujarnya, "Kau memang aneh, pada hakikatnya jauh lebih aneh dari Pho Ang-soat."

"Ehm."

"Pho Ang-soat tidak begitu aneh, apa pun yang dilakukan nya, sebaliknya kau apa yang kau lakukan kau sendiri tak tahu apakah harus dilakukan atau tidak."

BAB 39. CINTA SEDALAM LAUTAN

Waktu menyingsing fajar, kota itu seperti baru bangun dari lelap impiannya. Pho Ang-soat sudah berada di dalam kota. Pelan-pelan Pho Ang-soat beranjak ke jalan raya dalam kota yang mulai ramai dengan lalu- lalangnya penduduk kota dan orang-orang desa yang sibuk ke pasar menjajakan dagangannya. Hari masih sepagi ini, namun perut dan tenggorokan Pho Ang-soat sudah ketagihan dan kering, ingin rasanya segera masuk ke warung makan, mengisi perut dan menghilangkan dahaga, tapi sebelum dia mendapatkan warung makan malah dilihatnya selarik kain belacu sepanjang dua tombak lebar tiga kaki.

Kain belacu putih ini terikat di ujung dua buah galah yang dibentangkan di tengah jalan raya. Di atas kain belacu ini terdapat sebarisan huruf tintanya belum kering dimana tulisan itu menyolok mata dan berbunyi: "Pho Ang-soat, jika kau berani, datanglah ke Kiat hu pong."

Dua puluh sembilan orang sedang menunggu kedatangan Pho Angsoat di Kiat hu pong, besar kecil tua muda dari kedua puluh sembilan orang ini mengenakan kain belacu, kepalanya berkerudung atau berikat kepala kain putih belacu pula, tanda duka cita. Peduli laki perempuan anak-anak atau orang tua, mereka menenteng golok berkepala setan yang mengkilap.

Raut muka mereka diliputi kepedihan yang tak terperikan, seolah-olah mirip serombongan serdadu yang dipaksa mengadu jiwa di medan laga. Orang yang berdiri paling depan adalah laki- laki tua berjenggot panjang, di belakangnya terang adalah keluarga nya. Meski usianya lanjut, tapi berdirinya masih tegap dan gagah, jenggotnya yang ubanan melambai-lambai tertiup angin, mata semua orang tertuju ke ujung jalan sana. Sudah dua hari mereka menunggu kedatangan seseorang. Orang yang ditunggu adalah Pho Ang-soat.

Kehadiran kedua puluh sembilan orang berkabung di Kiat hu pong sudah tentu menimbulkan perhatian dan keheranan khalayak ramai, maka setiap had pagi-pagi benar orang sudah berduyun- duyun datang ke tempat itu untuk menyaksikan apa sebenarnya yang hendak terjadi, tak sedikit penonton yang saling terka dan bisik-bisik.

Sekonyong-konyong semua suara sirap dan keadaan menjadi hening sepi. Tampak seorang muncul dan menghampiri dari ujung jalanan sans. Gaya jalannya amat aneh, karena dia seorang timpang, seorang pemuda timpang dengan raut muka yang pucat, membawa golok serba hitam.

Melihat orang dan golok hitamnya itu, air muka laki-laki berjenggot panjang itu seketika berubah pucat dan diliputi nafsu membunuh. Baru sekarang penonton tahu siapa sebenarnya orang yang mereka tunggu.

Dengan menggenggam kencang goloknya, Pho Ang-soat berhenti setombak di depan mereka.

Tapi dia tidak kenal dan tidak tahu mereka serta apa maksudnya menunggu dirinya.

Mendadak laki-laki jenggot panjang berkata dengan lantang, "Aku she Kwe, bernama Wi." Pho Ang-soat pernah mendengar nama ini, Sin to Kwe Wi memang tokoh kenamaan di Bu-lim,

namun sejak Sin to tong Pek-Tian-ih malang melintang di Kangouw, Sin to atau golok sakti Kwe Wi

terpaksa harus diubah artinya. Sebetulnya dia tidak ingin merubahnya, tapi mau tidak mau harus diubah juga.

Hanya ada satu golok sakti di dunia ini, yaitu golok sakti milik Pek Thian-ih.

"Kaukah keturunan Pek Thian-ih? ada persoalan yang ingin kuberitahu kepadamu. Malam itu aku ikut juga berkomplot untuk membunuh ayahmu di luar Bwe hoa am."

Tiba-tiba berkerut-kerut seperti bergidik kulit daging muka Pho Ang-soat. "Selama ini aku tunggu keturunannya untuk menuntut balas."

"Sekarang aku sudah berada di sini."

"Keluarga Pek pernah kubabat habis, kalau engkau hendak menuntut balas, nah keluarga orang she Kwe sudah berkumpul di sini, boleh kau membabatnya habis semua."

Serasa ditusuk sembilu sanubari Pho Ang-soat, kakinya seperti terpaku di tempat, sekujur badan bergidik gemetar kecuali tangannya yang memegang golok. Bukan dia tidak berani turun tangan soalnya muka orang ini terlalu asing dan belum pernah dilihatnya, memangnya mereka harus membayar hutang dengan jiwa dan darah untuk menebus dendam sakit hati masa lalu?

Sekonyong-konyong jeritan pilu dan perih berkumandang memecah kesunyian. Seorang anak laki-laki menerjang keluar dari rombongan orang banyak sambil menenteng golok besar. "Kau hendak membunuh kakekku, biar kubunuh kau lebih dulu."

Kwe Wi tergelak-gelak sambil menengadah, serunya, “Bagus, anak baik, tidak malu kau menjadi keturunanku!" Di tengah gelak tawanya yang memilukan, anak kecil yang menenteng golok lebih tinggi dari badannya itu sudah menerjang ke depan Pho Ang-soat sambil mengayun golok yang berat itu.

Apakah Pho Ang-soat tega menggerakkan goloknya membela diri serta membunuh anak sekecil ini?

Di saat genting itu, anak kecil itu mendadak menjerit dengan suara menyayat hati, golok di tangannya terpental, berbareng badannya terjengkang roboh. Entah darimana tahu-tahu tenggorokan nya tertancap sebilah pisau yang merenggut nyawanya.

Tiada orang melihat tegas darimana datangnya pisau ini, yang terang mereka menduga Pho Ang-soatlah yang menimpukkannya.

Di iringi gerungan murka orang banyak, seorang nyonya muda berbadan langsing, agaknya ibu si anak berlari keluar sambil menjerit kalap. Seorang laki-laki menggerung keras seperti binatang buas yang menguber mangsanya. Serempak seluruh orang yang berkabung itu merubung maju dengan gerungan gusar.

Pho Ang-soat sebaliknya terkesima dan menjublek mengawasi pisau di tenggorokan si anak kecil. Dia sendiri tidak tahu darimana datangnya pisau ini.

Yap Kay! Tentulah buah karya Yap Kay, demikian batinnya.

Kwe Wi mengangkat goloknya, dampratnya beringas, "Bocah kecil pun kau bunuh, kenapa tidak lekas kau cabut golokmu?"

Tak tahan Pho Ang-soat membantah, "Bukan aku yang membunuh bocah ini."

Kwe Wi tergelak-gelak seperti orang kalap kesetanan, "Membunuh tidak berani mengakui? Tak kukira putra Pek Thian-ih adalah laki-laki lemah pembohong."

Serasa panas dan merah muka Pho Ang-soat karena marsh. Selama hidupnya paling penasaran kalau dituduh semena-mena, mati pun dia tidak terima.

Diselingi gelak tawa yang berkumandang, golok di tangan Kwe Wi terayun miring membabat batok kepalanya. Sekonyong-konyong Pho Ang-soat pun menggerung bagai banteng ketaton. goloknya bersinar terang, laksana kilat berkelebat, darah seketika muncrat kemana-mana.

Matanya sudah merah membara, yang terlihat hanya ceceran darah, seakan-akan dirinya sudah kesetanan. Dimana goloknya bergerak dan jerita kesakitan menjelang ajal saling bersahutan, yang terdengar hanya golok mengenai tulang dan daging, tak terdengar senjata beradu, namun kuping Pho Angsoat seolah-olah sudah tuli, hanya ada satu suara yang terkiang di kupingnya, "Biarlah musuhmu terbabat habis, kalau tidak, jangan kau kembali menemui aku" itulah pesan ibundanya.

Seolah-olah dia sudah kembali ke dalam rumah yang gelap serba hitam itu. Sejak kecil dia dibesarkan dalam kegelapan, sejak kecil tumbuh dendam membara dalam relung hatinya. Darah berwarna merah, salju pun menjadi merah darah.

Pho Ang-soat terus mengamuk di antara kerubutan orang-orang berkabung yang sudah nekad mengadu jiwa. Tapi usaha mereka bagai telur menumbuk batu, satu per satu berguguran tanpa kuasa balas menyerang.

Entah siapa di antara mereka tiba-tiba membentak, "Mundur! Semua mundur! Pertahankan nyawamu, untuk menuntut balas kelak!" Cepat sekali kejadian berlangsung, tiba-tiba suasana menjadi lelap, tak terdengar suara apa pun. Tinggal Pho Ang-soat seorang yang berdiri di antara mayat-mayat yang bergelimpangan, darah membanjir menjadi aliran kecil. Jenazah Kwe Wi dan anak itu berada di bawah kakinya. Serasa kaku dan pati rasa sekujur badannya.

Sekonyong-konyong kilat berkelebat, disusul guntur menggelegar dengan dahsyatnya. Pho Ang- soat tersentak sadar dari lamunannya oleh sambaran petir, sekilas dia menjelajahkan pandangan ke sekelilingnya, lalu dipandangnya golok di tangannya, pelan-pelan hatinya mengkeret, perutnya pun hampir kejang. Tiba-tiba dia membungkuk mencabut pisau di tenggorokan anak kecil itu, putar badan terus lari bagai terbang.

Didahului petir menyambar pula. Hujan lebat seketika mencurah tumpah dari langit.

Pho Ang-soat berlari kencang seperti mengejar waktu dalam hujan lebat. Sebesar ini belum pernah dia berlari secepat ini, gaya larinya jauh lebih aneh dan menarik dari gaya jalannya, hujan ini membersih noda-noda darah yang berlepotan di bajunya. Kenangan tragis dalam pertempuran berdarah yang dialaminya ini bakal meninggalkan ukiran mendalam di sanubarinya.

Orang-orang yang dibunuhnya tadi, banyak yang tidak patut mati, apalagi mati di tangannya.

Gara-gara pisau kecil di tenggorokan bocah itulah hingga tragedi ini terjadi.

Diam-diam sanubarinya bertanya, "Kenapa Yap Kay memancing petaka ini?"

Kebetulan di depan ada sebuah penginapan, Pho Ang-soat langsung berlari masuk dan minta sebuah kamar, pintu terus ditutupnya rapat, lalu dia memeluk perut dan muntah-muntah. Di saat dia muntah-muntah itulah badannya bergetar dengan hebat, waktu dia terjungkal roboh, badannya sudah meringkuk seperti trenggiling.

Dia rebah dan berkelejetan di atas tumpahannya sendiri, badannya terus bergerak-gerak, dia sudah kehilangan kesadaran. Memang dalam keadaan seperti ini mungkin keadaannya jauh lebih baik, tanpa perasaan bukankah tanpa derita?

Hujan semakin lebat, kamar kecil itu semakin gelap. Dalam kegelapan, jendela kamar kecil itu tiba-tiba terbuka, sesosok bayangan orang muncul di jendela.

Petir menyambar didahului sambaran kilat, sinar kilat menyinari raut muka orang ini, nampak aneh menghiasi muka orang ini, pandangannya tertuju ke arah Pho Ang-soat yang rebah di lantai. Sulit dibedakan, mimiknya itu marah, duka, dendam, riang atau menderita.

Waktu Pho Ang-soat rebah di atas ranjang, selimut kering menutupi badannya. Pelita pun sudah tersulut.

Bayangan seseorang terpeta di dinding, sinar pelita guram, namun jelas menandakan adanya seorang di dalam kamar ini! Siapa?

Orang itu duduk membelakangi pelita, seolah sedang termenung. Pho Ang-soat sedikit mengangkat kepala, seketika dia melihat raut muka orang, seraut wajah yang keletihan, kurus dan pucat, diliputi kerisauan, merana dan derita, namun wajah nan cantik dan elok. Seketika serasa mengejang jantung Pho Ang-soat. Kembali dia berhadapan dengan Cui long.

Cui long sudah mengawasinya, mukanya yang kurus pucat mengulum senyuman getir, katanya lembut "Kau sudah bangun?"

Tidak bergerak tidak bicara, Pho Ang-soat seolah-olah sudah kaku.

"Kau harus tidur lagi, sudah kusuruh orang membuat bubur untukmu," suara Cui long halus lembut penuh perhatian, seperti waktu mereka masih bersama.

Mendadat Pho Ang-soat menjadi beringas, teriaknya sambil menuding pintu, "Pergi, menggelindinglah pergi!"

Sikap Cui long amat tenang, sahutnya kalem, "Aku tidak akan menggelinding, juga tidak akan pergi!" "Siapa suruh kau kemari?" suara Pho Ang-soat serak.

"Aku sendiri, karena aku tahu kau sakit. Kau harus istirahat, setelah buburnya matang, sebentar kubangunkan kau lagi."

Terkepal kencang jari-jari Pho Ang-soat, sedapat mungkin dia kendalikan emosinya, katanya sinis, "Terima kasih membikin repot kau untuk melayani aku.”

"Tidak jadi soal, kenapa sungkan, kita kan teman lama."

"Ya, tapi kau adalah tamuku, akulah yang harus melayanimu."

"Sudah kukatakan tidak jadi soal, pendek kata suamiku sudah tahu bahwa aku berada di sini." "Apa? Suamimu?" tenggorokan Pho Ang-soat serasa hampir pecah, lama kemudian baru

tercetus kata-katanya.

"Benar, aku sampai lupa memberitahukan kepadamu, aku sudah menikah." Hancur hati Pho Ang-soat, hancur-lebur.

"Selamat atas pernikahanmu!" Pho Ang-soat sendiri seolah-olah tidak mendengar apa yang dia ucapkan, entah berapa lama berselang, baru dia mendengar suara Cui long.

"Setiap perempuan, peduli perempuan mana pun, cepat atau lambat dia pasti akan berumah tangga, akhirnya pasti akan menikah."

"Aku maklum."

"Bahwa kau tidak mau mengawini aku, terpaksa aku menikah dengan orang lain."

Pho Ang-soat mendelong mengawasi langit-langit rumah, agaknya sedapat mungkin dia kendalikan perasaannya, bukan saja tidak ingin Cui long melihat dan tahu akan keputus-asaan hatinya serta derita batinnya. pun tidak ingin memikirkannya. Lama sekali baru dia bertanya.

"Apakah suamimu kemari?"

Cui long mengiakan. Pengantin baru sudah tentu kemana-mana pun berduaan. "Kenapa tidak kau temani suamimu, malah berada di sini?"

"Kau tidak usah kuatir, segala persoalan sudah diketahui suamiku." "Suamimu tahu apa?"

"Dia tahu akan dirimu, tahu pula akan hubungan intim kita masa lalu. Aku sudah menceritakan hubungan kita dulu kepadanya. Kedatanganku kemari dia pun sudah tahu."

Bibir Pho Ang-soat sampai berdarah saking keras dia mengertak gigi, tak tahan dia tertawa dingin, "Agaknya suamimu seorang yang berpikiran terbuka. Tapi aku laki-laki yang cupat pikiran malah."

Cui Long mengunjuk tawa dipaksakan, ujarnya, "Kalau kau kuatir dia salah paham, boleh kupanggil dia kemari."

Tanpa menunggu persetujuan Pho Ang-soat, segera dia berpaling keluar dan berseru, "Hai, masuklah kau, mari kukenalkan seorang teman."

Daun pintu memang tidak terkunci, segera seorang mendorong pintu melangkah masuk, agaknya sejak tadi dia memang sudah menunggu di luar pintu.

Tak tahan Pho Ang-soat berpaling dan melirik ke arah orang yang baru masuk ini. Usia laki-laki ini belum tua, tapi tidak muda. Usianya sekitar tiga puluhan hampir genap empat puluh, bermuka persegi penuh keriput dari hasil kerja berat selama hidupnya. Seperti pengantin baru umumnya, laki-laki ini mengenakan pakaian serba baru, sehingga sepintas pandang pakaian nya itu amat menyolok dan tidak cocok dengan pribadinya yang serba sederhana. Karena siapa pun yang berhadapan dengan dia pasti tahu bahwa orang adalah seorang jujur polos. Begitu melihat orang ini, perasaan dan emosi Pho Ang-soat malah terkendali dan sabar, rasa irinya seketika lenyap.

Menarik tangan orang, Cui long berkata dengan tersenyum, "Inilah suamiku, dia she Ong bersama Toa-hong."

Ong Toa-hong seperti bocah desa yang menurut saja digandeng ibunya, suruh dia ke timur dia tidak akan berpaling ke berat.

Cui long berkata, "Inilah Pho Ang-soat Pho-kongcu yang pernah kukatakan itu."

Terunjuk secercah senyuman di muka Ong Toa-hong, sapanya bersoja, "Nama besar Pho- kongcu sudah lama Cayhe mendengarnya."

Adem saja Pho Ang-soat menanggapi sapaan orang, katanya seperti menggumam, "Selamat, kuhaturkan selamat atas pernikahan kalian. Silakan duduk!"

Ong Toa-hong mengiakan. Dengan kaku dan kikuk dia tetap berdiri di tempatnya. "Suruh duduk, kenapa kau masih berdiri?" omel Cui long seraya melotot.

Tanpa bercuit Ong Toa-hong segera duduk. Laki-laki jujur mempersunting bini ayu, sungguh bukan merupakan nasib yang mujur, karena dia terang-terangan takut bini, tanpa disuruh Cui-long sampai pun duduk dia tidak berani. Malah kedua tangannya tergantung lurus di atas pahanya.

Maka terlihatlah jari-jarinya yang besar dan kasar, malah sela-sela kukunya kelihatan berminyak.

Sekilas Pho Ang-soat mengawasi sepasang tangannya itu, lalu bertanya, "Berapa lama sudah kalian menikah?"

"Sudah ada ...ada " jawaban Ong Toa-hong gelagapan sambil melirik kepada istrinya.

"Hampir sepuluh hari," cepat Cui long menambahkan.

Segera Ong Toa-hong menjawab, "Benar, sudah hampir sepuluh hari, sampai hari ini pas sembilan hari."

"Apa kalian memang sudah kenal sebelumnya?"

"Bukan " merah tegang raut muka Ong Toa-hong jawaban yang sepele pun tak mampu dia

berikan. Cuaca buruk hari dingin, tapi kepala Ong Toa-hong dibasahi keringat dingin yang bercucuran, seolah-olah dia tidak tahan duduk lagi.

Mendadak Pho Ang-soat berkata pula, “Kau bukan pedagang kain seperti yang dikatakan isterimu."

Seketika berubah rona muka Ong Toa-hong, sahutnya tergagap, "Ya ya...ya "

Pelan-pelan Pho Ang-soat berpaling, matanya melotot kepada Cui long, katanya tandas, "Dia pun bukan suamimu."

Rona muka Cui long seketika berubah pula, seperti mukanya digampar dengan keras. Tak tertahan air mata berderai, badan pun bergetar hebat. Perubahan sikapnya sudah merupakan jawaban tegas bahwa laki-laki yang bernama Ong Toa-hong sebenarnya bukan suaminya.

Pho Ang-soat bertanya lagi, "Siapakah sebenarnya laki-laki ini?"

"Tidak tahu.” menunduk kepala Cui long. "Dia adalah orang yang dicarikan kacung hotel ini, sebelum ini tidak kukenal."

"Kau mengundang dia kemari hanya untuk menyaru jadi suamimu? Kenapa kau berbuat demikian?"

Semakin rendah kepala Cui long tertunduk, sahutnya pilu, "Ka rena aku ingin menengok dirimu ingin aku mendampingimu, merawatmu, namun aku takut kau mengusirku." Yang penting dia amat penasaran akan sikap hina dan dingin Pho Ang-soat terhadap dirinya, maka dia terpaksa menggunakan cara ini untuk melindungi dirinya. Meski alasan ini tidak dia utarakan, namun Pho Angsoat sudah maklum.

Dengan air mata bercucuran Cui long berkata lebih lanjut, "Sebetulnya hanya kau saja yang selalu bersemayam dalam sanubariku, umpama kau mengusirku, aku tetap takkan kawin dengan orang lain, sejak bersamamu, laki-laki mana pun tidak terpandang olehku."

Mendadak Pho Ang-soat berteriak, "Siapa bilang aku mengusirmu, siapa bilang aku tidak peduli kepadamu?"

Tersentak ke atas kepala Cui long, katanya sambil mengawasi dengan air mata berlinang, "Benarkah kau masih menginginkan diriku?"

"Sudah tentu aku ingin kau, peduli kau perempuan macam apa, kecuali kau, aku tidak peduli perempuan lain." Pertama kali ini dia limpahkan isi hatinya.

Begitu dia buka kedua Iengannya, Cui long segera menubruk ke dalam pelukannya. Mereka berpeluk-pelukan dengan kencang seolah-olah dua raga sudah bersenyawa, dua hati sudah bertaut jadi satu. Seluruh derita, duka cita marah dan penasaran seketika sirna tak berbekas lagi.

"Sejak hari ini aku tidak akan meninggalkan kau, aku tidak akan berpisah dengan kau," Cui long berbisik di tepi telinga Pho Ang-soat.

"Aku pun tidak akan meninggalkan kau," Pho Ang-soat menjawab tegas.

Mengawasi kedua insan yang berpelukan, terpancar sorot hambar dan tak mengerti pada mimik muka Ong Toa-hong. Sudah tentu dia takkan bisa menyelami perasaan dua hati yang bertaut setelah mengalami aral-rintang yang berliku-liku, bahwa kedua insan berlainan jenis ini saling mencinta, kenapa pula mereka sengaja mencari kerisauan sendiri. Tahu bila dirinya tetap di sini akan berlebihan, pelan-pelan Ong Toa-hong berdiri, agaknya sudah siap tinggal pergi.

Begitu asyik perpaduan dua hati yang dibuai asmara, sudah tentu Pho Ang-soat dan Cui long tidak memperhatikan lagi kehadirannya, seolah-olah sudah lupa adanya orang lain di samping mereka.

Sinar pelita yang guram menyoroti badannya yang membayang di atas dinding putih. Pelan- pelan Ong Toa-hong memutar badan tiba-tiba tangannya sudah bertambah sebilah pedang pendek sepanjang satu kaki tujuh dim.

Pedang pendek yang tipis dan tajam mengkilap, di bawah penerangan lampu tampak memancarkan cahaya biru kepucat-pucatan. Apakah pedang ini dilumuri racun? Pelan-pelan Ong Toa-hong beranjak keluar, dua langkah saja mendadak dia membalik badan!

Dimana pedang pendek warna kebiruan itu berkelebat, laksana kilat menusuk ke bawah ketiak kiri Pho Ang-soat yang terbuka lebar.

Takkan ada orang yang bisa membayangkan perubahan ini, apa lagi sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Kedua tangan Pho Ang-soat terangkat memeluk Cui long, maka ketiaknya merupakan sasaran empuk, bukan saja tusukan pedang ini cepat dan ganas tempat yang diincar pun amat tepat di tempat terlemah. Agaknya orang ini sudah bertahun-tahun melatih diri untuk melancarkan tipuannya ini.

Bukan saja tidak melihat, Pho Ang-soat pun tidak merasa sama sekali.

Untung Cui long kebetulan membuka mata, dan dari bayangan orang di dinding dilihatnya gerak-gerik orang, tanpa pikir mendadak dengan seluruh kekuatannya dia dorong Pho Ang-soat, lalu memapak tusukan pedang orang dengan badan sendiri.

Sinar pedang yang membiru dengan telak menghujam amblas di punggungnya. Rasa sakit yang tak terperikan, seolah-olah membuat sekujur badan Cui long seperti dirobek-robek. Tapi sepasang matanya menatap kepada Pho Ang-soat. Pho Ang-soat jatuh di atas ranjang, dia pun balas menatapnya, mengawasi sorot matanya yang mengandung derita dan menghibur, mengawasi senyuman manisnya yang memilukan.

Akhirnya tercetus kata-kata dari mulut Cui long, "Kau harus percaya kepadaku, aku tidak tahu siapa dia, tidak tahu bahwa dia hendak membunuhmu."

"Aku aku percaya kepadamu." Dengan keras dia mengertak gigi, tapi air mata tak tertahan bercucuran.

Tiba-tiba Cui long tersenyum lebar, badannya tersungkur jatuh, raut mukanya yang pucat memutih kini sudah berubah hitam. Pedang pendek itu masih terselip di tulang punggungnya. Karena tidak sempat mencabutnya, terpaksa Ong Toa-hong melepasnya, selangkah demi selangkah menyurut mundur, dia harap Pho Ang-soat di saat berduka tak melihat dirinya.

Memang melirik pun Pho Ang-soat tidak berpaling kepadanya, namun terdengar desis suara dari celah-celah giginya,

"Berhenti!" Suaranya membawa daya sedot yang tak terlawan oleh siapa pun.

Bukan takut, Ong Toa-hong mendadak menyeringai dingin, katanya, "Tentu kau ingin tahu siapa aku sebenarnya."

Pho Ang-soat menjawab dengan anggukan kepala. "Akulah orang yang hendak menagih jiwamu."

Sikap Pho Ang-soat menjadi tenang, ujarnya, "Kau ikut berkomplot dalam pembunuhan di luar Bwe hoa am itu?"

"Tidak, hanya kau yang ingin kubunuh." "Kenapa?"

"Kalau kau biasa membunuh orang, kenapa orang lain tidak boleh membunuhmu?" "Aku tidak mengenalmu."

"Kau pun tidak kenal Kwe Wi, tapi kau membunuhnya, membunuh cucunya pula." "Kau hendak menuntut balas bagi kematian mereka?'

"Bukan."

"Lalu apa maksudmu?"

"Banyak alasan membunuh orang, jadi bukan melulu lantaran dendam." Setelah tertawa dingin Ong Toa-hong melanjutkan, "Bocah sekecil itu selama hidupnya tidak pernah mencelakai orang lain, sudah tentu belum pernah membunuh orang, tapi kenyataan dia mati di tanganmu, dan kau? Berapa banyak orang yang kau bunuh yang memang patut dibunuh?"

Tiba-tiba Pho Ang-soat merasa kaki tangan dingin.

Cercaan Ong Toa-hong semakin sengit, "Asal kau pernah membunuh jiwa seorang, bukan mustahil akan datang banyak orang menuntut balas kepadamu! Apalagi kau salah membunuh orang yang tidak berdosa maka selama hidupmu kau tiada hak bertanya kepada orang lain kenapa mereka hendak membunuhmu!"

Pho Ang-soat pelan-pelan berdiri, membungkuk badan, menarik tangan Cui long pelan-pelan. Tangan yang halus dan hangat tadi kini sudah mulai dingin. Tidak mengalirkan air mata, dengan mendelong dia mengawasi mukanya, seolah-olah sudah melupakan kehadiran Ong Toahong.

Mukanya tidak mengunjukkan sesuatu perasaan, namun jarinya dengan kencang sudah menggenggam gagang golok. Melihat goloknya ini, Ong Toa-hong seketika bergidik seram, sekujur badan dingin berkeringat.

Tanpa berkesip Pho Ang-soat berkata, "Kau boleh membunuhku, siapa pun boleh membunuhku, tapi tidak seharusnya kau membunuh dia." Suaranya aneh seperti gema dari tempat jauh, seolah-olah berkumandang dari neraka. "Aku tidak peduli kau siapa? Peduli apa tujuanmu kemari, yang terang kau telah membunuhnya, maka aku harus mencabut jiwamu."

Muka Ong Toa-hong sudah berubah sepucat kapur, namun tetap menyeringai dingin, "Memangnya sekarang kau masih punya tenaga mencabut golokmu?"

Pelan-pelan Pho Ang-soat berdiri, pelan-pelan beranjak mendekati Ong Toa-hong dengan menggenggam golok. Matanya tertuju ke arah tenggorokan Ong Toa-hong.

Napas Ong Toa-hong serasa mendadak tercekik lehernya. Dia tak menyurut mundur lagi, karena memang tiada jalan untuk dirinya mundur. Mengawasinya golok orang, akhirnya dia menghela napas.

"Kau sudah menyesal?" tanya Pho Ang-soat.

Ong Toa-hong manggut-manggut, katanya rawan, "Aku hanya menyesal tidak mematuhi pesan seseorang."

"Pesan apa?"

"Dia sebetulnya menyuruh aku menghancurkan dulu golokmu itu." "Menghancurkan golok ini?"

"Golok itu sendiri tidak luar biasa, tapi berada di tanganmu, nilainya teramat besar sekali," demikian kata Ong Toa-hong, "golok ini bagai sebuah tongkat, tanpa golok ini, kau tidak lebih hanya seorang timpang yang harus dikasihani, hanya di waktu kau memegang golok saja baru bisa berdiri, berdiri dengan tegak."

Seperti terbakar raut muka Pho Ang-soat yang pucat.

Ong Toa-hong memperhatikan perubahan rona mukanya, katanya pula, "Sudah tentu bukan aku yang mengatakan kenyataan ini, karena bahwasanya aku tidak atau belum memahami dirimu."

"Lalu siapa yang bilang demikian?" tanya Pho Ang-soat. "Ada seorang yang mengatakan."

"siapa dia?"

"Kenapa aku harus memberitahu kepadamu?"

"Jadi orang itu yang menghendaki kau membunuhku?"

"Mungkin benar, tapi mungkin pula tidak benar." Tiba-tiba tertunjuk mimik aneh pada mukanya, katanya menyambung, "Bagaimana pun juga, selamanya kau tidak akan tahu siapa dia malah selamanya kau tidak akan bisa menduganya "

Tiba-tiba terangkat kepala Pho Ang-soat, biji mata mulai terbakar biji mata yang membara menatapnya lekat-lekat.

Sikap Ong Toa-hong malah tenang, katanya dingin. "Kenapa tidak kau cabut golokmu?" Lama Pho Ang-soat menepekur, akhirnya berkata pelan-pelan, "Karena aku tidak mengerti." "Hal apa yang tidak kau mengerti?"

"Aku tidak tahu kenapa kau sudi mati bagi orang lain?" "Mati bagi orang lain?"

"Kau hanya benda yang diperalat saja oleh orang itu, bahwasanya tidak setimpal aku turun tangan membunuhmu. Jadi orang yang menyuruh kau membunuhku itulah yang setimpal kubunuh."

"Jadi asal aku sebutkan nama orang itu, kau bebaskan aku?"

"Sudah kukatakan, manusia rendah seperti dirimu tidak setimpal kubunuh." Tiba-tiba Ong Toa-hong menepekur, agaknya dia sedang berpikir, menimang-nimang.

Pho Ang-soat memberi peluang selama mungkin untuk orang berpikir, dia tidak perlu mendesaknya, karena tekanan dan ancaman malah membikin akibatnya terbalik.

Lama sekali baru Ong Toa-hong berkata, "Tentunya kau sudah tahu bahwa aku ini bukan seorang Kuncu. Seorang Siaujin seperti katamu tadi, demi menyelamatkan jiwa sendiri, kepada siapa pun berani menjual diri."

"Agaknya kau tidak bodoh."

"Maka aku masih punya persoalan. Darimana aku tahu bila kau tidak akan membunuhku? Mungkin sekarang ini kau bukan lawanku, lalu buat apa aku membongkar rahasia orang lain kepadamu?"

Lama Pho Ang-soat bungkam, mengawasinya tajam, katanya pelanpelan, "Seharusnya aku tebas putus dulu sebuah kupingmu, supaya kau percaya. Tapi bukan saja kau tidak setimpal aku turun tangan, tidak patut pula aku menggerakkan golokku. Cuma bisa tidak bisa kau harus mengerti akan satu hal."

"Hal apa?"

"Tanpa menggunakan golok, aku tetap bisa membunuhmu."

Seketika Ong Toa-hong tertawa riang. Sudah tentu dia tidak percaya Pho Ang-soat bakal meninggalkan goloknya ini. Tapi kenyataan di waktu dia tertawa Pho Ang-soat sudah meletakkan goloknya di atas meja.

Betul juga Ong Toa-hong mengunjuk rasa heran dan tidak mengerti, namun sigap sekali tahu- tahu sebilah pedang pendek entah darimana sudah terpegang di tangannya, pedang pendek yang memancarkan cahaya kemilau, sekali berkelebat tiba-tiba pedang itu sudah menusuk ke dada Pho Ang-soat.

Dari gaya dan cara serta jurus serangannya ini, sudah dapat dipastikan bahwa Ong Toa-hong bukan saja seorang ahli pedang, malah dia seorang ahli bunuh yang sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam usahanya. Gerak pedangnya keji dan telengas, meski tidak mengandung perubahan rumit yang aneh, tapi besar manfaatnya untuk membunuh jiwa manusia. Laksana lidah ular saja yang terjulur keluar.

Tak mungkin Pho Ang-soat mengayunkan goloknya menangkis, tangannya sudah kosong. Tapi dia masih mampu menggerakkan tangannya. Tangan yang putih, sebat sekali badannya berkelit seraya mengulurkan tangannya dengan tangkas mencengkeram ke batang pedang. Seolah-olah sudah terlupakan bahwa tangannya itu terdiri dari darah daging dan tulang yang tidak kuat melawan senjata tajam, seolah-olah dia lupa bahwa dirinya tidak membekal senjata. Apalagi pedang itu dilumuri racun, sekali tangannya tergores luka, kontan dia akan roboh binasa.

Gerakan pedang Ong Toa-hong tidak berubah. Sudah tentu dia tidak mau merubah gerakannya, dia harap Pho Ang-soat menangkap pedangnya, semakin kencang lebih baik.

Seorang yang benar-benar pintar, selamanya tidak akan menganggap orang lain pikun. Orang yang menganggap orang lain pikun, akhirnya dia akan menyadarinya sendiri, bahwa orang yang benar-benar pikun bukan orang lain, tapi adalah diri sendiri.

Hampir saja Ong Toa-hong tertawa, dia anggap Pho Ang-soat sudah pikun maka dia tetap menyodorkan pedangnya untuk ditangkap olehnya. Tapi sekilas itu mendadak terasa pandangan matanya seperti kabur, tahu-tahu tangan memutih itu sudah menyambar mukanya dan telak sekali memukul mukanya.

Kiranya dalam waktu sesingkat itu gerakan tangan Pho Ang-soat tiba-tiba berubah, lebih cepat dan tangkas, sampai sukar dilukiskan. Tahu-tahu Ong Toa-hong merasa matanya berkunang- kunang, kepalanya posing tujuh keliling. Waktu dia siuman kembali, didapatinya dirinya roboh di pojok dinding, darah bercucuran dari hidungnya yang sudah penyok, rasa sakit masih menjalari mukanya karena tulang hidungnya remuk. Waktu itu dia mengangkat kepala, tampak pedangnya sudah berada di tangan Pho Angsoat.

Dengan nanar Pho Ang-soat mengawasi pedang di tangannya, lama sekali baru berpaling, tanyanya dingin, "Pedang ini bukan milikmu?"

Ong Toa-hong geleng-geleng.

"Biasanya kau memakai pedang panjang."

Ong Toa-hong manggut-manggut. Biasa memakai pedang panjang tiba-tiba berganti pedang pendek, meski gerakannya lebih cepat, tapi tenaga dan incarannya menjadi sulit dikontrol dan kurang tepat. Baru sekarang dia memahami akan hal ini.

"Pedang ini milik orang yang menyuruh kau kemari?" Ong Toa-hong mengiakan dengan anggukan kepala.

Tiba-tiba Pho Ang-soat membuang pedang itu di kakinya, katanya, "Kalau kau ingin mencoba lagi, boleh kau ambil pedang itu."

Ong Toa-hong geleng-geleng, melirik pun tidak ke arah pedang itu, keberaniannya sudah runtuh total.

"Kenapa tidak kau ulangi? Aku tidak memegang golok, aku tidak lebih seorang timpang yang harus dikasihani."

"Kau bukan..." ujar Ong Toa-hong, setelah menghela napas dia menambahkan, "Kau bukan orang pikun."

"Sekarang kau mau mengatakan siapa orang itu?" "Umpama kukatakan takkan berguna."

"Kenapa?"

"Karena kau tidak akan percaya." "Aku percaya."

Ong Toa-hong ragu-ragu, katanya, "Sebaliknya bolehkah aku percaya kepadamu? Kau benar- benar mau membebaskan aku"

"Sudah kukatakan sekali."

Akhrnya Ong Toa-hong menghela napas lega, katanya, "Sebetulnya orang itu adalah temanmu, jejakmu tiada orang lain yang lebih jelas dari pada dia."

Seketika Pho Ang-soat menggenggam kencang jari-jarinya, lapat-lapat dia sudah menduga siapa orangnya. Yang jelas dia tidak punya teman, maka dia tidak mau percaya begitu saja, namun mau tidak mau dia harus percaya, maka tak tahun dia bertanya lagi, "She apa orang itu?"

"Dia she "

Sekonyong-konyong selarik sinar berkelebat, hanya sekali saja, lebih cepat cari sambaran kilat maka segalanya menjadi tenang, suara apa pun sirap.

Ong Toa-hong tidak mampu menyebut she dan nama orang itu. Karena sebilah pisau sudah memutus pernapasannya tepat di tenggorokannya. Matanya melotot, mulut terbuka dan lidahnya menjulur keluar, cepat sekali dia mati. Tapi sampai ajalnya dia tetap tidak percaya bahwa orang itu tega membunuhnya.

Mau tidak mau Pho Ang-soat harus percaya. Pisau yang tidak kelihatan merupakan pisau yang paling menakutkan. Orang yang sukar diketahui seluk-beluk dart kedok aslinya merupakan orang yang paling ditakuti. Mendadak Pho Ang-soat menyadari, Yap Kay pemuda itu jauh lebih menakutkan dari pisau terbangnya yang melesat secepat kilat.

Pisau itu melesat dari luar jendela, namun tidak terlihat bayangan orang di luar. Dipapahnya jenazah Cui long yang sudah kaku dingin itu, pelanpelan Pho Ang-soat melangkah keluar, melangkah terus tanpa tujuan, menyusuri sungai melalui jembatan, dia terus maju meninggi naik ke atas bukit, dia terus memanjat ke tempat yang paling tinggi, lalu berlutut menghadap sang surya yang baru saja terbit, pelan-pelan dia letakkan jazadnya ke atas tanah. Di sini dia menggali tanah, di bawah kesaksian sinar matahari dia kebumikan pujaan hatinya yang gugur demi membela dirinya. Sejak kini, sepanjang tahun, selama matahari terbit dari ufuk timur, sinarnya akan selalu menyoroti pusaranya. Sinar matahari abadi, demikian pula cinta nan murni.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar