Peristiwa Merah Salju Jilid 12

Jilid 12

BAB 34. TONGCU GOLOK SAKTI

Memandangi Pho Ang-soat yang semakin menjauh, Ting Hun-pin menghela napas panjang, katanya, "Kau benar, tidak seharusnya Cui-long mencari dirinya, sekarang malah dia yang meninggalkannya."

Setelah geleng-geleng kepala gegetun, dia melanjutkan, "Dia masih seperti yang dulu, hakikatnya tidak mirip manusia."

"Dia tetap adalah manusia, bukan setan."

"Kalau dia manusia, tidak sepantasnya dia meninggalkan Cui-long." "Justru seharusnya memang begitu."

"Kenapa?"

"Dia merasa sudah banyak mengalami siksa derita, menanggung beban yang berat, bila dia masih bersama Cui-long, akibatnya pasti banyak penderitaan yang bakal mereka alami."

"Oleh karena itu dia lebih suka orang lain yang menderita?" jengek Ting Hun-pin.

"Dia sendiri pasti sangat menderita, bagaimana pun juga dia memang harus meninggalkannya," kata Yap Kay menghela napas pula.

"Kenapa?"

"Kalau Cui-long boleh meninggalkan dirinya, kenapa pula dia tidak boleh?" "Karena... karena "

"Karena Cui-long perempuan dan dia laki, begitu maksudmu?"

"Kan tidak seharusnya laki-laki memperlakukan perempuan begitu."

"Laki-laki kan juga manusia," katanya sambil tertawa getir. "Penyakit paling besar kaum perempuan adalah selalu menganggap kaum lelaki barang mainan, manusia yang sepantasnya menderita dan tersiksa seumur hidup, bekerja keras, berkorban dan mampus demi kaum perempuan."

Mendengar kata-kata ini, tak tahan Ting Hun-pin cekikikan geli, "Siapa bilang kaum lelaki tidak sepantasnya mampus demi kaum perempuan?" Terus saja ditubruknya tubuh Yap Kay, dipeluknya dengan kencang, lalu digigitnya kuping Yap Kay dengan gemas. Lalu katanya pula, "Sekali pun semua kaum lelaki di dunia ini mampus semua juga tak menjadi soal bagiku, aku tak akan menangis atau bersedih, kecuali kau tetap hidup, tetap hidup di sampingku dan berbahagia sepanjang masa "

Angin berhembus kencang. Kembali dia seorang diri. Dimanakah perempuan yang mengikut di belakangnya itu?

Pelan-pelan Pho Ang-soat beranjak ke depan, ia tahu di belakangnya sudah tidak ada yang mengikutinya, tak ada lagi perempuan di belakangnya yang berjalan dengan kepala tertunduk.

Dia sudah biasa menyendiri, tapi sekarang terasa hatinya kosong, seakan-akan kehilangan sesuatu. Ada kalanya ingin dia menengok sekejap ke belakang.

Dimanakah dia sekarang?

Apa yang sedang dilakukannya sekarang? Sedang menangis seorang diri?

Atau sudah pergi dengan lelaki lain?

Kembali Pho Ang-soat merasa hatinya sakit sekali, seperti ditusuk-tusuk jarum.

Kini dia telah meninggalkannya, tidak seharusnya masih memikirkannya, dia pun tidak seharusnya menderita lagi.

Tapi sekarang justru dia selalu memikirkannya, rela menanggung derita.

Pada dasarnya manusia mempunyai sifat suka menyiksa diri sendiri. Dia bisa menyiksa orang lain, tetapi mengapa pula harus menyiksa diri sendiri?

Walau dia bisa bersembunyi di tempat yang tak bisa ditemukan perempuan itu. namun dia sendiri juga akan menderita oleh karenanya.

Di kala seorang diri, terkadang Pho Ang-soat suka mengucurkan air mata. Sekarang, belum lagi ia mengucurkan air mata, didengarnya isak tangis seseorang. Isak tangis seorang laki-laki.

Suara tangisannya keras dan memedihkan hati, jarang ada lelaki menangis secara demikian, seakan suami yang ditinggal mati istrinya.

Walau Pho Ang-soat tidak suka mencampuri urusan orang lain, tak urung dia merasa heran juga.

Tentu dia tidak akan ke sana menengoknya lebih-lebih bertanya kepada orang itu mengapa menangis.

Suara tangisan berasal dari dalam sebuah hutan, tapi dia justru berjalan keluar menjauhi hutan. Tapi pada saat itulah ia dengar orang itu menangis sambil sesambatan tiada hentinya.

"Pek-tayhiap, mengapa kau mati? Siapakah yang telah mencelakai kau? Mengapa kau tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membalas budi?"

Ketika mendengar perkataan itu, mendadak Pho Ang-soat menghentikan langkah dan berbalik masuk hutan badan.

Dilihatnya seorang lelaki berbaju berkabung dari kain belacu sedang berlutut di dalam hutan, di hadapannya terdapat sebuah meja kecil di atas meja terletak orang-orangan dan kuda-kudaan dari kertas, selain itu tampak pula sebilah golok dari kertas putih, hanya bagian gagangnya saja yang diwarnai hitam. Lelaki pertengahan umur itu bertubuh kekar dan tegap, dari rona mukanya menunjukkan kekerasan hatinya, seorang lelaki yang tegar dan tidak gampang menangis.

Tetapi mengapa sekarang dia menangis dengan begitu memilukan?

Tampak lelaki itu sedang membakar benda-benda yang terbuat dari kertas di atas meja itu, matanya masih mengembeng air mata.

Pho Ang-soat berjalan menghampiri, berdiri di sampingnya dan mengawasi gerak-geriknya dengan tenang.

Orang itu tidak berpaling, sibuk mengawasi benda-benda yang dibakarnya, air mata masih bercucuran membasahi pipinya. Dia mengambil secawan arak dan disiramkan di atas api, lalu sisanya ditenggak habis.

"Pek-tayhiap," dia bergumam, "aku tak punya apa-apa yang dapat dipersembahkan kepadamu, semoga di alam baka arwahmu memperoleh ketenangan Belum selesai dia bergumam, air mata kembali bercucuran, tangisan bertambah sedih.

Menanti lelaki itu menghentikan tangisannya, baru Pho Ang-soat menegur, "He, siapa yang kau tangisi?"

Lelaki itu terkejut dan berpaling, dipandangnya Pho Ang-soat dengan terkesima. Setelah ragu- ragu sejenak, ia pun menyahut, "Aku menangisi lelaki sejati yang tiada taranya di dunia ini, pendekar besar yang termashyur di kolong langit, sayang kalian anak-anak muda tidak tahu siapakah dia."

Jantung Pho Ang-soat berdebar keras, ia berusaha mengendalikan gejolak perasaannya.

Setelah merandek sejenak, tanyanya pula, "Lalu kenapa kau tangisi?"

"Karena dialah tuan penolong hidupku, tidak pernah kuterima budi kebaikan orang lain kecuali dia seorang. Dia telah menyelamatkan jiwaku."

"Cara bagaimana dia telah menyelamatkan jiwamu?"

Setelah menghela napas panjang, kata lelaki itu, "Dua puluh tahun lalu, sebenarnya aku adalah seorang piau-su, waktu itu aku sedang mengawal barang kawalan yang berharga melewati tempat ini”

"Di tempat ini?" tukas Pho Ang-soat.

Lelaki itu manggut-manggut, lalu ia melanjutkan penuturannya, "Karena tanggung jawab pengawalan, maka aku ingin cepat-cepat sampai di tempat tujuan, namun sampai di tempat ini aku lupa memberitahukan kepada penguasa wilayah ini, penguasa Ho-han-ceng, yaitu Si Bu."

"Jadi semua orang yang lewat di tempat ini harus meminta izin dahulu kepadanya?"

"Ya, begitulah, setiap orang yang lewat harus menyambanginya, minum arak di rumahnya dan menghaturkan sedikit upeti kepadanya, kalau tidak, maka hal ini merupakan penghinaan bagi Si Bu."

Bicara sampai di sini sorot matanya merah membara, mengunjuk kemarahan yang berkobar- kobar, setelah tertawa dingin, ia melanjutkan, "Si Bu adalah penguasa daerah ini, maka tiada orang berani mencari gara-gara kepadanya."

"Jadi kau telah menyinggung perasaannya?"

"Betul, oleh karena itu dengan membawa kampak gedenya dia mencari gara-gara kepadaku." "Apa yang dia kehendaki?"

"Dia suruh aku meninggalkan barang kawalan, kemudian menyuruhku mengundang pemilik Piaukiok untuk berkunjung ke Ho-han-ceng dan meminta maaf kepadanya."

"Kau tidak mau?" Kembali lelaki itu menghela napas, sahutnya,- "Kalau hanya untuk meminta maaf sih bukan masalah, tapi barang kawalan itu kan harus diantar tepat waktu, kalau tidak, bagaimana papan nama perusahaan akan dapat kami tegakkan."

Setelah berhenti sejenak dan membusungkan dada, ia pun melanjutkan, "Apalagi aku, Tio Tay- hong, jelek-jelek juga sudah punya nama, tentu saja aku menjadi tak tahan menghadapi perlakuannya itu."

"Maka kalian bertempur?"

Sekali lagi Tio Tay-hong menghela napas, tuturnya pula, "Ai, memang permainan kampak gedenya itu luar biasa hebatnya, aku memang bukan tandingannya. Dalam keadaan marah besar, dia hendak membacok aku dengan kampaknya itu, untung saja pada saat itu ada seseorang yang mencegahnya, dia segera turun tangan menghalangi."

Bicara sampai di sini, rona mukanya sedikit mengunjuk rasa senang, katanya kemudian. ”Setelah mengetahui duduknya perkara, orang yang telah menolongku itu memaki Si Bu kalang- kabut, bahkan menyuruh Si Bu segera melepas diriku."

"Lalu?"

"Tentu saja Si Bu tidak mandah terima dicaci-maki, dia pun turun tangan, namun di hadapan penolongku itu kampak gedenya itu seakan-akan hanya mainan anak-anak saja."

Sekali lagi Pho Ang-soat merasakan jantungnya berdebar kencang ....

Kemali Tio Tay-hong melanjutkan, "Selama hidup belum pernah aku menyaksikan seorang yang mempunyai kepandaian begitu lihai, seorang yang gigih membela kebenaran dan keadilan,  sayang "

"Sayang bagaimana?" tanya Pho Ang-soat.

"Sayang, akhirnya pendekar besar itu harus wafat dalam keadaan tidak jelas oleh siasat busuk kaum kurcaci dunia persilatan," kata Tio Tay-hong sedih.

Air matanya kembali jatuh berlinang membasahi wajahnya, ia melanjutkan kembali kata- katanya, "Sayang sekali dimanakah letak kuburan pendekar besar itupun tidak kuketahui, oleh karena itu setiap tahun bila tiba saatnya ketika peristiwa itu terjadi, aku pun datang kemari untuk bersembahyang bagi arwahnya, tiap kali teringat akan kegagahannya di masa lalu, teringat kebaikan-kebaikan yang telah ia berikan kepadaku, aku selalu tak kuasa menahan diri dan menangis."

Pho Ang-soat mengepal kencang tangannya. "Siapakah namanya?" tanyanya.

"Sekalipun namanya kusebutkan juga belum tentu kau ketahui, apalagi kaum muda seperti kalian," kata Tio Tay-hong sedih.

"Coba kau katakan."

"Dia she Pek " jawab Tio Tay-hong ragu-ragu.

"Si golok sakti Pek-tayhiap?"

"Darimana kau bisa tahu?" tanya Tio Tay-hong agak terperanjat.

Pho Ang-soat tidak menjawab pertanyaan itu, tangannya masih mengepal kencang, katanya lagi, "Sesungguhnya dia manusia macam apa?"

"Sudah kukatakan tadi, dia adalah seorang lelaki sejati berbudi luhur dan arif bijaksana, dia seorang Enghiong Hohan yang luar biasa selama seratus tahun belakangan ini."

"Apakah karena dia telah menolongmu, maka kau mengatakan demikian?"

Dengan wajah bersungguh-sungguh Tio Tay-hong menjawab, "Sekalipun dia tidak menolongku, aku tetap akan berkata demikian. Manusia mana di dunia ini yang tidak mengetahui nama si golok sakti Pek-tayhiap? Siapa pula yang tidak kagum kepadanya?" "Tapi...”

"Hanya manusia jahat, kaum laknat berhati buas dan manusia tak tahu aturan saja yang benci kepadanya, sebab Pek-tayhiap adalah seorang yang benci segala macam kejahatan, dan lagi dia berjiwa pendekar, bila bertemu suatu kejadian yang tidak adil, dia pasti akan ikut campur."

Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Misalnya Si Bu, sudah pasti dia amat membenci dirinya, sudah pasti dia akan mengucapkan kata-kata busuk di belakangnya, tapi. "

Perasaan Pho Ang-soat yang sudah dingin, tiba-tiba panas kembali.

Apa yang kemudian dikatakan Tio Tay-hong boleh dibilang sama sekali tidak terdengar lagi olehnya, hati kecilnya tiba-tiba saja diliputi napsu membalas dendam, bahkan perasaan ini jauh lebih hebat daripada sebelumnya.

Akhirnya dia mengerti, sebenarnya ayahnya manusia macam apa.

Sekarang dia sudah yakin, membalas dendam bagi ayahnya adalah tindakan benar, walau harus mengorbankan segalanya.

Terhadap orang-orang yang ikut membunuh ayahnya, dia semakin benci. Terutama terhadap Be Khong-cun!

Dia bersumpah hendak mencari Be Khong-cun sampai ketemu! Dia bersumpah tak akan mengampuni jiwa pembunuh yang melakukan pembunuhan terhadap ayahnya.

Sekujur badannya gemetar keras saking gusarnya, rasa dendamnya menyala-nyala.

Dengan terperanjat Tio Tay-hong memandangnya, ia tidak habis mengerti apa sebabnya pemuda itu berubah begitu secara tiba-tiba.

Mendadak Pho Ang-soat berkata, "Pernahkah kau dengar tentang Be Khong-cun?" Tio Tay-hong tidak menjawab, hanya mengangguk.

"Tahukah kau, sekarang dia berada dimana?" tanya Pho Ang-soat lagi.

Tio Tay-hong menggelengkan berulang kali, sementara sorot matanya dialihkan dari wajahnya ke arah golok yang berada dalam genggamannya itu.

Golok hitam, sarung golok hitam dan gagang golok hitam pula. Golok yang tak terlupakan oleh Tio Tay-hong untuk selamanya ....

Tiba-tiba dia melompat bangun dan berseru tertahan. "Kau ... kau ... apakah kau adalah "

"Ya, memang akulah orangnya!" jawab Pho Ang-soat.

Dia pun tidak berucap lagi, pelan-pelan membalikkan badan dan beranjak keluar hutan.

^»"«^

Angin berhembus kencang.

Dengan termangu-mangu Tio Tay-hong memperhatikan ke arahnya, ia pun beranjak keluar, memburu ke arah Pho Ang-soat dan berlutut di hadapannya.

"Pek-tayhiap menaruh budi kebaikan yang tinggi kepadaku," teriaknya, "walaupun dia orang tua sudah meninggal, tapi kau ... kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk membalas budi kebaikan ini."

"Tidak usah." "Tapi aku “

"Anggap saja apa yang barusan kau katakan kepadaku sebagai balas budi kebaikan yang pernah kau terima."

"Tapi tadi tak kukatakan aku tak tahu kabar tentang orang she Be itu." "Kau?"

"Sekarang walaupun aku sudah berhenti bekerja sebagai Piausu, tapi teman-temanku di masa lalu masih banyak sekali, banyak pula di antara mereka yang masih melakukan perjalanan sudah pasti mereka akan lebih tajam pendengarannya daripada aku, mereka pasti akan mencarikan berita untuk kau."

Pho Ang-soat menundukkan kepala, memandang golok dalam genggamannya. Kemudian dia bertanya, "Kau tinggal dimana?"

^»"«^

Rumah itu amat sederhana, tapi bersih dan rapi, di atas dinding ruangan yang berwarna putih bersih tergantung sebuah lukisan.

Lukisan seorang yang tidak mirip manusia, lebih menyerupai dewa. Itulah lukisan seorang lelaki setengah umur berwajah putih bersih tanpa jenggot dan bermata tajam, dia sedang mendongakkan kepala berdiri di luar hutan, tubuhnya tegap.

Dia mengenakan jubah berwarna merah, sebilah golok tersoreng di pinggangnya. Golok berwarna hitam.

Di depan lukisan terdapat sebuah meja sembahyangan, di atas meja tampak sesajian, sedang pada papan nama yang terbuat dari kayu putih tertera beberapa huruf: "Tempat arwah In-kong Pek-tayhiap".

Di sinilah Tio Tay-hong berdiam.

Tio Tay-hong memang seseorang yang mengerti bagaimana cara berterima kasih kepada orang lain, dia memang seorang laki sejati yang tahu diri.

Sekarang dia sedang keluar rumah mencari kabar buat Pho Ang-soat.

Sedang Pho Ang-soat sendiri sedang duduk di tepi meja sambil mengawasi lukisan ayahnya.

Di tangannya tergenggam sebilah golok yang sama, golok hitam bersarung dan bergagang hitam.

Sudah empat hari, setiap hari dia datang ke situ.

Selama empat hari ini, setiap hari dia hanya duduk termenung di sana, duduk termangu-mangu sambil mengawasi lukisan ayahnya.

Sekujur tubuhnya dingin, tapi darah yang mengalir panas dan mendidih.

"Dia seorang lelaki sejati yang arif bijaksana, pendekar berbudi luhur, seorang Enghiong Hohan yang luar biasa". Kata-kata ini sudah cukup baginya.

Entah beberapa banyak penderitaan yang harus dialami, entah berapa besar pengorbanan yang harus diberikan, ucapan ini sudah lebih dari cukup.

Dia tak boleh membiarkan arwah ayahnya di alam baka menganggap dia seorang anak yang tak bersemangat dan tidak memiliki keberanian ....

Dia harus mencuci bersih dendam kesumat ini, walau harus membayar dengan mahal.

Malam sudah menjelang, dia memasang lampu dan duduk termenung seorang diri di bawah lentera.

Selama beberapa hari ini, dia hampir melupakan Cui-long, tapi bila malam sudah tiba, di tengah keheningan yang mencekam dan memandang sinar lentera yang bergoyang-goyang, seakan-akan dia telah menyaksikan kerlingan mata Cui-long.

Sambil mengertak gigi, dia berusaha tidak memikirkan perempuan itu.

Berada di depan lukisan ayahnya, berpikir tentang hal itu adalah tabu, memalukan. Pada saat itulah dari luar pintu terdengar suara langkah kaki orang.

Lorong dimana rumah itu berada amat sepi dan lenggang, hanya beberapa rumah saja di sepanjang gang sempit itu, kecil kemungkinan orang berkunjung ke rumah itu.

Ternyata yang datang adalah Tio Tay-hong, pemilik rumah. Pho Ang-soat segera bertanya, "Sudah ada beritanya?"

Tio Tay-hong menunduk dan menghela napas panjang, ia tidak berkata apa-apa.

Pho Ang-soat tidak menantikan jawabannya lagi, dari mimik mukanya yang murung dan sedih, ia telah memperoleh jawaban.

Angin di luar jendela berhembus kencang, daun-daun rontok ke tanah seolah-olah suara orang yang sedang menghela napas.

Pelan-pelan Pho Ang-soat bangkit berdiri, kemudian katanya, "Kau tah usah sedih, aku tak akan menyalahkan dirimu."

"Kau ... kau akan pergi?" tanya Tio Tay-hong sambil mengangkat kepala. "Aku sudah menunggu selama empat hari."

"Sekalipun kau hendak pergi, sepantasnya kalau menunggu sampai besok pagi," ucap Tio Tay- hong sambil menggenggam kencang tangannya.

"Kenapa?"

"Karena malam nanti ada orang yang akan berkunjung kemari." "Siapa?"

"Seorang manusia aneh."

Pho Ang-soat berkerut kening, namun ia tidak berkata-kata.

Tio Tay-hong kelihatan semakin gembira, semakin bersemangat.

"Bukan cuma aneh, malah boleh dibilang orang sinting, tapi dia adalah orang sinting yang paling tajam pendengarannya."

"Darimana kau bisa tahu kalau dia akan datang kemari?" tanya Pho Ang-soat ragu-ragu. "Dia sendiri yang mengatakan."

"Kapan dia berkata?" "Tiga tahun berselang!"

Sekali lagi Pho Ang-soat mengerut kening.

Tio Tay-hong segera berkata lagi, "Sekalipun diucapkan pada tiga puluh tahun berselang pun, aku tetap percaya hari ini dia pasti akan datang, sekalipun ada orang memenggal kakinya, dia pun akan merangkak datang kemari."

"Andaikata dia mati?" tanya Pho Ang-soat dingin.

"Dia pasti akan menyuruh orang menggotong jenazahnya kemari!" "Kau begitu percaya kepadanya?"

"Aku memang sangat mempercayainya, sebab belum sekali pun dia ingkar janji." Pelan-pelan Pho Ang-soat duduk kembali di kursi.

Tio Tay-hong bertanya lagi, "Kau selamanya tak pernah minum arak?"

Pho Ang-soat menggeleng kepala berulang kali, lamat-lamat dirasakan hatinya amat sakit. Tio Tay-hong sama sekali tidak melihat penderitaannya ini, malah ia berkata lagi sambil tertawa, "Tapi si edan itu justru seorang setan arak, paling tidak harus menyediakan dua guci arak baginya."

"Kuharap kedua guci arak itu tak ada yang meneguknya lebih dahulu," sambung Pho Ang-soat dingin

Arak telah diletakkan di atas meja, dua guci banyaknya. Malam pun makin semakin kelam.

Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara kentongan, sudah mendekati tengah malam. Tengah malam sudah lewat, namun belum juga ada yang datang.

Tio Tay-hong masih duduk di sana dengan tenang, perasaan gelisah atau cemas sedikit pun tak nampak.

Dia memang sangat mempercayai sahabatnya itu.

Pho Ang-soat juga duduk tak bergerak, dia pun tidak bertanya apa-apa lagi.

Akhirnya Tio Tay-hong lah yang memecah keheningan, ujarnya sambil tersenyum, "Dia bukan cuma seorang sinting, juga seorang setan arak, bahkan seorang perampok yang bekerja sendiri, meski begitu belum pernah kujumpai seorang yang lebih bisa dipercaya daripada dirinya "

Pho Ang-soat tidak berkata apa-apa, hanya mendengarkan.

Kembali Tio Tay-hong berkata, "Kendati dia seorang perampok ulung, namun seorang perampok budiman yang suka menolong kaum miskin, tiap kali memperoleh hasil rampokan, dia selalu membagikan kepada fakir miskin, seringkah dia sendiri malah tak kebagian."

Pho Ang-soat tidak heran, ia pernah menjumpai orang macam begini. Konon Yap Kay termasuk jenis yang ini.

"Dia she Kim orang-orang memanggilnya Kim si sinting," Tio Tay-hong menerangkan, "lantaran begitu tersohornya nama Kim si sinting, lambat-laun orang lupa pada nama aslinya."

Pho Ang-soat seakan tidak mendengar ucapannya. Pada saat itulah terdengar berkumandang suara langkah dari lorong.

Langkah kaki itu amat berat, langkah kaki dua orang.

Tio Tay-hong mendengar pula, tapi segera dia menggeleng kepala berulang kali. "Yang datang sudah pergi pasti bukan dia," katanya.

"O!"

"Sudah kukatakan tadi, dia adalah seorang perampok yang berkerja sendiri, selamanya luntang- lantung seorang diri." Setelah tertawa, ia melanjutkan, "Sebagai perampok ulung, tak mungkin suara langkah kakinya berat "

Pho Ang-soat merasa uraian ini masuk akal, tapi langkah kaki itu justru berhenti di depan rumah ini. Tio Tay-hong mengerut dahi. Terdengar ada orang mengetuk pintu.

Kembali Tio Tay-hong bergumam dengan kening berkerut, "Sudah pasti bukan dia, selamanya dia tak pernah mengetuk pintu."

Tapi mau tak mau dia harus membuka pintu Di depan pintu benar-benar berdiri dua orang, dua orang yang menggotong sebuah peti mati besar

0oo0

Malam sudah makin kelam, bintang bertaburan di angkasa. Cahaya bintang yang redup menyoroti wajah dua orang itu. Paras mereka biasa saja dan bersahaja, pakaian yang dikenakan juga kain kasar dengan sepatu rumput.

Siapa pun yang melihat kedua orang itu, akan menduga mereka adalah kuli-kuli panggul kasar. "Kau she Tio?" tanya mereka.

Tio Tay-hong manggut-manggut.

"Ada orang menyuruh kami mengantar peti mati ini untukmu."

Mereka meletakkan peti mati itu dalam ruangan, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun segera membalik badan dan tinggal pergi, seakan-akan kuatir kepergian mereka kurang cepat.

Sebetulnya Tio Tay-hong ingin mengejar keluar, tapi setelah memandang peti mati itu sekejap, niatnya itu diurungkan.

Dia tetap berdiri di tempat, memandang peti mati itu dengan wajah termangu-mangu.

Air mata seolah-olah meleleh keluar dari matanya, dengan sedih dia berkata, "Telah kukatakan, mati pun dia akan menyuruh orang menggotong peti matinya kemari."

Pho Ang-soat merasakan hatinya seakan-akan tenggelam.

Meski dia tidak menaruh harapan terlalu besar pada persoalan ini, bagaimana pun juga toh dia mengharap juga setitik harapan. Tapi sekarang harapannya kembali buyar.

Menyaksikan Tio Tay-hong bersedih bagi kematian temannya, hatinya ikut mendelu.

Sayang dia tak pernah menghibur orang, sekarang dia hanya ingin minum arak, secara tiba-tiba ingin minum arak Arak terletak di atas meja.

Tio Tay-hong menghela napas sedih, katanya tiba-tiba, "Tampaknya kedua guci arak ini benar- benar tak ada yang minum."

"Kalau tak ada yang minum, itu baru aneh," tiba-tiba terdengar seseorang berteriak. Ternyata suara itu berasal dari dalam peti mati.

Menyusul kemudian, terdengar "Blamm!", penutup peti mati terbuka dan seseorang melompat keluar dari dalam peti mati itu. Seorang lelaki berwajah penuh cambang, bertelanjang dada dan mengenakan celana hitam bersulam bunga berwarna merah, sepatunya masih baru.

Sambil tertawa terbahak-bahak Tio Tay-hong segera berseru, "Kau memang benar-benar sinting, aku sudah tahu kalau kau tak akan mampus."

"Kalau ingin mampus, paling tidak juga harus menghabiskan dulu kedua guci arak ini," sahut Kim si sinting.

Begitu melompat ke depan, segera dia hancurkan penutup guci arak dan segera meneguknya dengan lahap.

Pho Ang-soat duduk di sana, tapi sekejap pun dia tidak memandang ke arahnya, seakan-akan dalam ruangan itu tiada kehadiran orang ini.

Tampaknya orang ini memang rada sinting.

Tapi Pho Ang-soat tidak marah, dia sendiri pun seringkali tidak memandang ke arah orang lain.

Dalam waktu singkat Kim si sinting sudah menghabiskan setengah guci arak itu, kemudian baru berhenti dan menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, arak bagus, benar-benar arak bagus, hitung-hitung tidak sia-sia kedatanganku kali ini."

"Kalau ingin datang, datang saja kemari, mengapa harus bermain macam begini?" seru Tio Tay- hong.

"Siapa yang bermain setan dengan kau?" seru Kim si sinting dengan mata melotot. "Kalau bukan lagi bermain setan, mengapa kau bersembunyi di dalam peti mati dan menyuruh orang menggotong kemari?"

"Karena aku malas berjalan sendiri."

Jawaban bagus, juga sinting, tapi ketika mengucapkan kata-katanya ini, sorot matanya seakan- akan memperlihatkan perasaan murung dan takut.

Oleh karena itu cepat dia mengambil guci araknya dan kembali meneguk sampai habis. Tio Tay-hong segera menarik tangannya.

"Mau apa kau?" seru Kim si sinting, "apakah tidak rela kuminum arakmu ini?"

Tio Tay-hong menghela napas panjang, katanya kemudian, "Kau tak usah mencoba mengelabui aku, aku tahu kau pasti sedang menghadapi kesulitan."

"Kesulitan apa?"

"Kau pasti telah menyalahi seseorang, untuk menghindari pengejarannya, maka kau menyembunyikan diri dalam peti mati."

Kim si sinting melotot, teriaknya, "Mengapa aku harus bersembunyi dari kejaran orang? Aku Kim si sinting pernah takut kepada siapa?"

Terpaksa Tio Tay-hong menutup mulutnya, dia tahu tak ada untungnya berdebat masalah ini dengan seorang sinting, sekali pun Kim si sinting menghadapikesulitan yang bagaimana pun besarnya, dia tak akan menunjukkan hal itu di depan orang.

Akhirnya dia baru teringat dalam ruangan masih ada orang ketiga, maka dengan wajah berseri katanya, "Ah, benar, aku lupa memperkenalkan kalian, temanku ini adalah "

"Dia temanmu, bukan temanku?" tukas Kim si sinting cepat. Belum selesai berkata, mulutnya sudah disumpa guci arak.

Terpaksa Tio Tay-hong tertawa getir, katanya kemudian dengan nada minta maaf, "Sejak tadi sudah kukatakan, dia adalah seorang sinting."

"Sinting pun ada baiknya juga," kata Pho Ang-soat.

Mendadak Kim si sinting meletakkan guci araknya keras-keras ke atas meja, kemudian dengan mata melotot serunya, "Apa baiknya orang sinting?"

Pho Ang-soat tidak menjawab, bahkan menggubris pun tidak.

"Kau anggap orang sinting itu baik, jangan-jangan kau sendiri pun sinting?" seru Kim si sinting lagi.

Pho Ang-soat masih saja membungkam, sama sekali tidak menggubrisnya.

Mendadak Kim si sinting mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, orang ini benar-benar menarik, benar-benar menarik. "

Diam-diam Tio Tay-hong menarik ujung bajunya, lalu tertawa paksa katanya, "Mungkin kau belum tahu siapakah dia, dia adalah "

"Memangnya aku tidak tahu siapa dia?" tukas Kim si sinting dengan mata melotot. "Kau tahu?"

"Begitu melangkah masuk rumah ini, aku sudah tahu siapa dia." "Darimana kau bisa tahu?" tanya Tio Tay-hong kaget dan tercengang.

"Sekalipun aku tidak kenal orangnya, pasti akan kukenali dari goloknya itu, aku Kim si sinting sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia persilatan, kau anggap aku hanya luntang-lantung saja tanpa hasil?" Tio Tay-hong segera menarik muka dan berseru, "Kalau sudah kau ketahui, tidak sepantasnya bila kau bersikap begitu tak tahu adat."

"Aku ingin mencoba dirinya." "Mencoba dirinya?"

"Orang lain mengatakan dia pun seorang aneh, aku ingin tahu dia lebih aneh atau aku yang lebih aneh."

"Aneh dalam hal apa?"

Kim si sinting mengangkat sepasang sepatu barunya tinggi-tinggi, kemudian menjawab, "Konon dalam menghadapi persoalan dia dapat menahan diri, asal kau bukan musuh besarnya, sekali pun kau menampar wajahnya, dia tak akan membalas."

"Dalam hal ini ada baiknya jangan kau coba-coba," kata Tio Tay-hong sambil menarik muka.

Kim si sinting segera tertawa terbahak-bahak, "Walaupun aku seorang sinting, tapi hingga sekarang aku tetap seorang sinting, oleh karena itu aku baru dapat memperoleh banyak berita."

"Berita apa?" Tio Tay-hong segera bertanya.

Kim si sinting sama sekali tidak menggubrisnya, dia malah membalik badan dan melotot ke arah Pho Ang-soat, tiba-tiba katanya, "Bukankah kau ingin tahu Be Khong-cun berada dimana?"

Pho Ang-soat mengepal kencang, kemudian katanya, "Kau tahu?" "Yang kuketahui memang banyak sekali."

"Dia ... dia berada dimana?" suara Pho Ang-soat menjadi parau saking tegangnya.

Tiba-tiba Kim si sinting menutup mulut, tidak bicara lagi Tio Tay-hong segera memburu ke depan dan memegang bahu rekannya, ujarnya, "Bila kau memang tahu, mengapa tidak kau katakan?"

"Mengapa aku harus mengatakan?" Kim si sinting balik bertanya.

"Karena dia adalah keturunan tuan penolongku, juga sahabatku." "Aku sudah bilang, dia adalah sahabatmu, bukan temanku "

"Apakah kau bukan temanku?" seru Tio Tay-hong gusar. "Sekarang masih, karena sekarang aku masih hidup." "He, apa maksudmu?"

"Seharusnya kau mengerti."

"Apakah kau bakal mati bila mengatakan hal itu?"

Kim si sinting menggeleng kepala berulang kali, "Bukan begitu maksudku." "Lalu apa maumu?"

"Ya, hanya ada satu syarat." "Apa itu?"

"Aku minta kau pergi membunuh seseorang bagiku!" "Membunuh siapa?"

"Membunuh seorang yang sudah tak ingin kujumpai lagi."

"Jadi kau bersembunyi dalam peti mati, karena berusaha menghindarkan diri dari pengejarannya?"

Kim si sinting tidak menjawab, dia bungkam seribu bahasa. "Siapa orang itu?" tanya Pho Ang-soat kemudian. "Seseorang yang sama sekali tidak kau kenal, dengan kau tiada budi maupun dendam, juga tiada sakit hati."

"Mengapa aku harus membunuhnya?" tanya Pho Ang-soat. "Karena kau ingin tahu Be Khong-cun berada dimana "

Pho Ang-soat menundukkan kepala mengawasi goloknya, bila dia sedang berpikir, begitulah sikapnya.

Menyaksikan hal itu, Tio Tay-hong tak tahan bertanya pula. "Mengapa kau ingin dia membunuh orang itu?"

"Sebab dia hendak membunuhku," jawab Kim si sinting. "Dia mampu membunuhmu?"

"Mampu!"

"Tidak banyak orang di dunia ini yang sanggup membunuhmu?" kata Tio Tay-hong dengan wajah berubah.

"Orang yang mampu membunuhnya juga tidak banyak!" Diawasinya golok di tangan Pho Ang- soat, kemudian pelan-pelan melanjutkan, "Mungkin hanya golok ini yang mampu membunuhnya!"

Pho Ang-soat menggenggam goloknya kencang-kencang.

"Aku tahu kau tak mau pergi membunuhnya!" kata Kim si sinting lagi. "Ya, siapa yang mau membunuh orang yang tidak dikenalnya?"

"Tapi aku harus menemukan Be Khong-cun." "Oleh karena itu kau harus membunuhnya?"

Pho Ang-soat kembali menggenggam goloknya kencang-kencang.

Apa yang dikatakan Kim si sinting memang benar, siapa pun takkan mau membunuh orang yang tidak dikenal.

Tapi dendam kesumat yang terukir dalam hatinya selama sembilan belas tahun bagaikan sebatang rumput beracun yang berakar dalam hatinya. Bila dendam kesumat sudah berakar dalam hati, maka tiada kekuatan di dunia ini yang sanggup mencabutnya.

Wajah Pho Ang-soat tetap pucat, peluh dingin bercucuran membasahi jidatnya.

Kim si sinting memandang ke arahnya, kemudian katanya, "Wan Chiu-hun juga bukan musuh besarmu, kau sebenarnya tidak kenal dengannya, kau toh sudah membunuhnya."

Pho Ang-soat menengadah.

Dengan suara hambar Kim si sinting melanjutkan, "Siapa pun yang bermaksud membalas dendam, dia akan membunuh lebih banyak orang, biasanya orang-orang yang terbunuh itu tidak dikenalnya sama sekali."

Tiba-tiba Pho Ang-soat berkata, "Darimana aku tahu setelah kubunuh dia, aku pasti akan menemukan Be Khong-cun?"

"Karena aku yang bilang "

Apa yang telah diucapkannya selamanya tak pernah diingkari, mau tak mau Pho Ang-soat harus percaya.

Dalam keadaan terancam, orang masih ingat akan janji pertemuan tiga tahun yang lalu. sungguh tidak mudah untuk melakukannya.

Kembali Pho Ang-soat menundukkan kepala, memandang golok di tangannya, kemudian pelan- pelan berkata, "Sekarang aku hanya ingin kau memberitahukan satu hal kepadaku."

"Hal apa." "Dimana orang itu berada?" ucap Pho Ang-soat sepatah demi sepatah. Mencorong terang mata Kim si sinting.

Bahkan Tio Tay-hong pun ikut mengunjukkan perasaan gembira, dia adalah teman mereka, dia berharap mereka berdua sama-sama bisa memperoleh apa yang diharapkan.

Kim si sinting berkata, "Berjalanlah empat-lima li ke utara, di situ ada sebuah kota kecil, dalam kota kecil itu terdapat sebuah rumah makan kecil, besok sebelum senja orang itu pasti berada di dalam rumah makan itu."

"Kota apa? Apa pula nama rumah makan itu?"

"Dari sini menuju ke utara hanya terdapat sebuah dusun kecil, di dusun itu hanya terdapat sebuah rumah makan, kau pasti dapat menemukannya."

"Darimana kau tahu sebelum senja besok dia pasti sudah berada disitu?"

"Aku kan sudah bilang, banyak persoalan yang kuketahui," jawab Kim si sinting sambil tertawa. "Macam apa pula orang itu?"

Kim si sinting berpikir sebentar, lalu sahutnya, "Seorang laki-laki." "Lelaki pun banyak macamnya."

"Lelaki aneh, asal kau bertemu dengannya, kau pasti akan tahu dia berbeda dengan orang lain."

"Berapa umurnya?"

"Seharusnya tiga-empat puluh tahunan, tapi ada kalanya kelihatan masih sangat muda, tiada orang yang mengetahui berapa usia sesungguhnya."

"Dia she apa?"

"Kau tak usah tahu dia she apa."

"Aku harus tahu dia she apa, dengan demikian aku baru bisa bertanya kepadanya, apakah dia memang benar-benar orang yang hendak kubunuh

"Aku menyuruh kau pergi membunuhnya, bukan menyuruh km berkenalan dengannya " seru

Kim si sinting.

"Jadi kau harap aku langsung membunuhnya begitu berjumpa orang itu?"

"Sebaiknya begitu, tak perlu banyak bicara dan jangan biarkan di« tahu kalau kau bermaksud membunuhnya."

"Aku tak dapat membunuh orang dengan cara begitu."

"Harus bisa,kalau tidak, kemungkinan besar kaulah yang akan mati di tangannya." Setelah tertawa, katanya lagi, "Bila kau mati di tangannya, siapa lagi akan membalas dendam bagi kematian Pek-tayhiap?"

Pho Ang-soat termenung beberapa saat, kemudian pelan-pelan berkata, "Siapa pun takkan mau membunuh orang yang tak dikenalnya "

"Kan sudah kukatakan."

"Aku sudah bersedia, tapi kan tidak boleh salah membunuh." "Aku pun tidak mengharap kau salah membunuh."

"Paling tidak kan aku harus tahu bentuk wajah dan tubuhnya."

Kim si sinting termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian menjawab, "Orang ini mempunyai ciri-ciri khas, setelah kau lihat tentu kau akan tahu."

"Apa ciri-cirinya!" "Pertama, sorot matanya lain dari sorot mata orang umumnya." "Lain bagaimana?"

"Sorot matanya seperti sorot mata binatang liar, hanya binatang liar saja yang memiliki sorot mata semacam ini."

"Selain itu?"

"Kalau sedang makan, dia makan dengan pelan sekali, caranya mengunyah pun amat lambat, seakan-akan untuk bersantap semangkuk nasi saja entah sampai kapan baru habis, seakan-akan merasa sayang terhadap hidangannya yang sedang dimakan."

"Selanjutnya...”

"Bila sedang seorang diri tak pernah meneguk arak. tapi dihadapannya pasti tersedia sepoci arak."

Pho Ang-soat hanya membungkam, dia mendengarkan semua keterangan itu dengan seksama. "Di pinggangnya selalu terselip sebatang tongkat."

"Tongkat macam apa?"

"Sebuah tongkat yang sederhana, panjangnya kurang lebih tiga kaki " "Ia tidak membawa senjata lain?"

"Tidak."

"Tongkat itu senjatanya?"

"Ya, boleh dibilang senjata paling menakutkan yang pernah kusaksikan sepanjang hidupku."

Tiba-tiba Tio Tay-hong menimbrung sambil tertawa. "Tentu senjata itu tak akan menangkan golokmu, belum ada senjata di dunia ini yang sanggup menandingi kehebatan golokmu itu!"

Pho Ang-soat termenung beberapa saat sambil mengawasi goloknya kemudian mendongakkan memandang pula golok pada lukisan itu.

Dia takkan membiarkan orang memandang rendah golok ini, tak dapat ia biarkan golok ini berada di tangan orang lain pula.

Kim si sinting sedang mengawasi wajahnya dengan seksama, kemudian ujarnya, "Sekarang tentu kau sudah tahu manusia macam apa dirinya?"

Pho Ang-soat manggut-manggut, "Ya, dia memang seorang aneh." "Kujamin setelah kau bunuh dirinya, takkan ada orang bersedih." "Mungkin hanya aku." Kim si sinting segera tertawa.

"Tapi setelah kau berhasil menemukan Be Khong-cun, yang bakal susah adalah dia."

Pho Ang-soat menatapnya lekat-lekat, lama kemudian baru berkata, "Siapa yang mengatakan kau sinting?"

"Orang banyak."

"Mereka keliru, aku lihat kau jauh lebih sadar dari mereka "

Kim si sinting tertawa, mengangkat guci arak dan meneguk habis arak itu

Tio Tay-hong yang menyaksikan hal itu tersenyum, katanya, "Kebaikan terbesar orang ini adalah di kala sadar dia tak akan mabuk, sebaliknya bila mabuk dia pun tak sadar "

0oo0

Fajar menyingsing.

Kini Kim si sinting sudah mabuk, mabuk di atas meja sambil mendengkur. "Aku pun harus beristirahat sebentar " gumam Pho Ang-soat.

"Benar, hari ini kau harus memelihara kekuatanmu sebaik-baiknya." "Apakah membunuh orang pun harus mempunyai semangat dan segar?"

"Kau harus mengerti, orang itu bukanlah seorang yang mudah dihadapi, tidakkah kau perhatikan apa yang dikatakan Kim si sinting tadi?"

Pho Ang-soat mengawasi golok pada lukisan, tiba-tiba sekulum senyuman angkuh tersungging di ujung bibirnya, pelan-pelan dia berkata "Tapi aku tidak percaya di dunia ini terdapat tongkat yang mampu melawan golok ini!"

Dia memang tidak percaya.

Sewaktu Pek Thian-ih masih hidup, dia pun tidak percaya. Tapi sekarang dia sudah mati.

0oo0

BAB 35 TOKOH HEBAT ANGKATAN TUA

Orang asing tak boleh dipercaya, sebab biasanya dia adalah seorang berbahaya. Orang ini adalah seorang asing.

Belum pernah dia melihat orang ini. juga belum pernah ia saksikan orang macam ini. Padahal dia bukan seorang aneh.

Wajahnya tampan, bersih, seharusnya merupakan seorang yang disenangi orang banyak.

Dan lagi dia masih muda, kulitnya bersinar, hampir seluruh tubuhnya terdiri dari otot-otot yang gempal.

Dia tidak membawa sesuatu senjata yang bisa membuat orang takut. Tapi kenyataan dia memang seorang yang menakutkan ....

Ketenangan dan kemantapannya sudah cukup menakutkan orang.

Tidak berbicara belum tentu tenang, tapi yang menakutkan justru ketenangan dan kelembutannya.

Sudah lama dia duduk di sana, bukan saja tidak bicara, juga tidak bergerak, padahal semua orang tahu hal ini merupakan suatu pekerjaan yang amat sukar.

Dilihat dari gerak-geriknya nampak begitu santai, sekan-akan dia memang sering duduk tak bergerak seperti itu.

Di atas meja ada arak, juga ada cawan arak. Namun sama sekali tidak dia sentuh sedikit pun.

Seolah-olah arak itu dipesan bukan untuk dirinya, melainkan dipesan untuk dilihat saja. Tapi setiap kali dia memandang poci itu, dari balik sorot matanya yang dingin segera terpancar sinar kelembutan.

Apakah poci ini dapat membuatnya teringat seorang teman, teman yang sering dibayangkan?

Pakaian yang dikenakan adalah pakaian kasar yang amat sederhana, tapi bersih, pada ikat pinggangnya yang berwarna sama dengan pakaian yang dikenakan, terselip sebuah tongkat pendek.

Tongkat pendek bukanlah sesuatu yang menakutkan. Yang menakutkan justru adalah sepasang matanya. Sepasang matanya tampak jeli dan bersinar tajam Banyak orang yang mempunyai mata amat tajam, tapi sepasang matanya ini luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam dari sorot mata siapa pun.

Demikian tajamnya seakan-akan bisa menembus isi hatimu yang diliputi kegelapan.

Siapa saja yang dipandang oleh matanya itu, dia akan merasa seperti semua rahasianya telah dilihat olehnya.

Sekarang dia telah memesan semangkuk bakmi.

Dia mulai bersantap, bersantap dengan pelan, mengunyah dengan cermat, seolah-olah semangkuk mi yang berada dihadapannya sekarang merupakan yang terenak yang pernah disantapnya, seakan-akan semangkuk bakmi yang merupakan bakmi terakhir yang bisa dimakan olehnya.

Tangannya yang memegang sumpit terlihat kering dan mantap, jari tangannya panjang, kukunya digunting pendek.

Di kala ia sedang bersantap itulah, Pho Ang-soat beranjak masuk ke dalam ruangan. Begitu masuk, segera Pho Ang-soat melihat orang ini.

Dilihatnya mata orang itu memandang ke arahnya, seolah-olah dia sudah tahu bakal ada orang macam begini masuk kemari.

Dipandang oleh matanya itu, terasa perasaan Pho Ang-soat timbul sedikit rasa takut dan ngeri. Belum pernah dia merasakan perasaan semacam ini.

Dia seperti merasa masuk ke dalam suatu tempat yang gelap gulita dan secara tiba-tiba menyaksikan ada seekor serigala sedang menanti kedatangannya.

Pelan-pelan dia berjalan masuk, sengaja tidak memandang orang itu. Tangannya masih menggenggam  golok dengan kencang, siap dilolosnya.

Orang itu tetap duduk dengan santainya, sebenarnya setiap saat Pho Ang-soat dapat mengayunkan golok memenggal kepalanya.

Dia yakin akan kecepatan goloknya.

Dia pun yakin akan serangannya, yakin akan berhasil.

Tapi kali ini tiba-tiba saja dia merasa seperti kehilangan pegangan, seakan keyakinan itu sudah lenyap.

Sekalipun orang hanya duduk santai seperti itu, tapi sebagai seorang persilatan tentu telah mempersiapkan pertahanan, hampir tidak dijumpai titik kelemahan.

Belum pernah Pho Ang-soat menjumpai orang semacam ini.

Langkahnya amat lambat, kaki kirinya maju selangkah lebih dulu, kemudian kaki kanan baru pelan-pelan diseret ke depan.

Dia sedang menunggu kesempatan terbaik untuk melancarkan serangan.

Orang itu masih memandang ke arahnya, tiba-tiba dia berkata, "Silakan duduk!"

Pho Ang-soat menghentikan langkahnya, seakan-akan tidak mendengar orang mempersilakan dia untuk duduk.

Kembali orang itu menuding kursi di hadapannya dengan sumpit, katanya lagi, "Silakan duduk." Pho Ang-soat ragu-ragu sejenak, namun akhirnya dia pun duduk di hadapannya.

"Minum arak?" tanya orang itu. "Tidak!"

"Selamanya tak pernah minum?" "Sekarang tidak minum."

Tiba-tiba sekulum senyuman aneh tersungging di ujung bibir orang, katanya lagi pelan, "Sepuluh tahun sudah "

Pho Ang-soat hanya mendengarkan, dia tidak mengerti apa maksud ucapannya itu.

Pelan-pelan orang asing itu telah melanjutkan, "Selama sepuluh tahun ini, belum pernah ada orang ingin membunuh aku."

Jantung Pho Ang-soat berdebar keras, seperti tambur yang dipukul bertalu-talu.

Orang itu kembali menatapnya lekat-lekat, kemudian berkata dengan hambar, "Tapi hari ini kau datang untuk membunuhku!"

Pho Ang-soat merasa jantungnya berdebar makin keras

Dia benar-benar tidak mengerti, darimana orang bisa tahu maksud kedatangannya. Orang itu masih mengawasinya lekat-lekat, kemudian bertanya pula, "Benar bukan?" "Benar!"

Orang itu tertawa, "Aku pun tahu kau adalah seorang yang tidak pandai berbohong." "Walau tidak pandai berbohong, tapi aku dapat membunuh orang."

"Berapa orang yang telah kau bunuh?" "Tidak sedikit"

Kelopak mata orang itu berkerut kencang, pelan-pelan tanyanya lagi, "Kau merasa membunuh orang adalah suatu pekerjaan yang menarik?"

"Bukan disebabkan hal itu." "Lantas karena apa?"

"Aku tidak perlu memberitahu kepadamu."

Mendadak terpancar sinar mata sedih pada mata orang, sahutnya sambil menghela napas panjang, "Benar, orang membunuh tentu mempunyai alasan dan tidak perlu diberitahukan kepada orang lain "

"Darimana kau bisa tahu aku datang kemari hendak membunuhmu?" tak tahan Pho Ang-soat bertanya.

"Kau mempunyai hawa membunuh." "Kau dapat melihatnya?"

"Hawa membunuh tak dapat dilihat dengan mata, tapi semacam orang yang dapat merasakannya."

"Apakah kau termasuk orang jenis itu?" "Ya, benar!"

Kembali sorot matanya dialihkan ke tempat jauh sana, kemudian melanjutkan, "Justru karena aku mempunyai perasaan demikian, maka sampai sekarang aku masih bisa hidup."

"Sekarang kau memang masih hidup," kata Pho Ang-soat. "Kau yakin mampu membunuhku?"

"Tiada orang yang tak bisa dibunuh di dunia ini." "Kau yakin akan berhasil?"

"Bila tidak yakin, aku tak akan kemari." Lagi-lagi orang itu tertawa. Suara tawanya misterius dan aneh seakan-akan segulung angin hangat yang berhembus di atas bukit bersalju dan melumerkan bunga-bunga salju.

Katanya lagi sambil tersenyum, "Aku menyukai orang macam kau." "Tapi aku tetap akan membunuhmu."

"Mengapa?" "Tiada alasan."

"Masakan tanpa alasan lantas ingin membunuh orang?"

Dari balik sorot mata Pho Ang-soat segera terpancar sinar penderitaan, katanya kemudian, "Sekalipun ada alasan, aku juga tak dapat memberitahukan kepadamu."

"Apakah kau bersikeras hendak membunuhku?" "Benar."

"Sayang " orang itu menghela napas panjang.

"Sayang? Apa yang perlu disayangkan?" "Sudah lama aku tidak membunuh orang." "O."

"Karena aku punya prinsip hidup, bila kau tak ingin membunuhku aku pun tak akan membunuh kau "

"Bila aku bersikeras hendak membunuhmu?" "Terpaksa kau harus mati."

"Mungkin yang mati adalah kau." "Ya, mungkin "

Berbicara sampai di situ, dia baru memandang golok dalam genggaman Pho Ang-soat, kemudian katanya lagi, "Tampaknya golokmu amat cepat?"

"Ya, cukup cepat." "Bagus sekali!"

Mendadak ia melanjutkan kembali melahap mi, dia makan sangat pelan, mengunyah dengan seksama.

Tangannya yang sebelah memegang sumpit, tangan yang lain memegang mangkuk.

Tampaknya asal Pho Ang-soat mencabut goloknya, maka mata golok segera akan membelah batok kepalanya.

Pada hakikatnya dia sama sekali tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menangkis ancaman itu. Tapi golok Pho Ang-soat masih berada dalam sarungnya, sarung golok hitam.

Ia tidak mencabut goloknya karena di hadapan orang itu, tiba-tiba saja dia tidak mengetahui serangan itu harus diayunkan ke arah mana.

Berada di hadapan orang itu, dia seperti terhadap oleh selapis dinding baja yang tak tertembus.

Orang itu tidak lagi memandang ke arahnya, pelan-pelan dia berkata lirih "Membunuh orang bukan suatu pekerjaan yang menarik, dibunuh lebih-lebih tidak menarik lagi."

Pho Ang-soat tidak menjawab, bungkam dalam seribu bahasa. Sebab orang itu seperti bukan lagi bercakap-cakap dengan dirinya.

Kembali orang itu berkata, "Aku tidak suka kepada orang yang ingin membunuh tanpa alasan, terutama orang muda, sebagai orang muda tidak seharusnya memiliki kebiasaan semacam ini." "Aku bukan datang kemari untuk mendengar nasehatmu," seru Pho Ang-soat cepat "Golok toh sudah berada di tanganmu, setiap saat kau dapat mencabutnya."

Pelan-pelan dia melanjutkan kembali santapannya menghabiskan bakmi yang masih tersisa, sikapnya masih tetap santai, enteng dan leluasa.

Tapi sekujur badan Pho Ang-soat, semua otot dan syarafnya seakan-akan menegang keras. Dia tahu, sekarang sudah tiba saatnya untuk mencabut golok melancarkan serangan.

Bila golok itu sudah dicabut maka satu di antara mereka berdua pasti akan roboh. Tiba-tiba saja rumah makan itu berubah menjadi kosong melompong.

Semua penghuni diam-diam sudah mengeluyur keluar dari situ, bahkan orang yang memasang lentera pun tak ada.

Cahaya matahari senja yang remang-remang mencorong masuk lewat jendela....

Waktu itu benar-benar merupakan senja yang mengenaskan.

Pho Ang-soat duduk tak berkutik di tempatnya, tubuhnya terasa kosong. Seluruh kekuatan dan tenaga yang dimilikinya telah dihimpun dalam lengan kanannya.

Gagang golok hitam sudah berada dalam genggamannya, otot-otot tangannya yang menggenggam golok sudah merongkol.

Sebaliknya tongkat orang itu masih terselip di pinggangnya tongkat sederhana, terbuat dari

kayu.

Pho Ang-soat hendak mencabut golok!

0oo0

Tiada cahaya golok.

Golok belum sempat dicabut.

Ketika Pho Ang-soat siap mencabut goloknya, mendadak dari luar pintu melayang masuk seseorang, ketika ia berkelit ke samping, orang itu segera terjatuh di sampingnya.

Tampak seorang lelaki tinggi besar, bertelanjang dada dan mengenakan celana hitam bersulam bunga berwarna merah.

Sepatu larasnya yang masih baru tinggal sebuah saja yang masih dikenakan. Kim si sinting!

Si perampok tunggal yang sinting dan aneh kini terkapar di tanah seperti seekor cacing, wajahnya mengunjukkan rasa kesakitan yang hebat tubuhnya meringkuk, untuk merangkak bangun pun tak mampu

Mengapa secara tiba-tiba dia pun kemari? Mengapa pula bisa berubah menjadi begini rupa? Dalam keadaan begini, bagaimana mungkin Pho Ang-soat bisa membunuh orang?

Orang itu telah menghabiskan bakminya, sumpit telah diletakkan ke meja, terhadap semua perubahan yang secara tiba-tiba, wajahnya sama sekali tidak mengunjuk rasa kaget atau tercengang.

Bahkan berkedip pun tidak, sekarang dia sedang memandang ke arah pintu. Dari luar pintu berjalan masuk seseorang. Yap Kay! Si sukma gentayangan.

Orang itu memandang ke arah Yap Kay, dari balik sorot matanya yang dingin terpancar keluar sinar kehangatan.

Yap Kay menatap orang itu, sikapnya amat menghormat. Belum pernah dia bersikap begini hormat terhadap siapa pun. Tiba-tiba orang itu bertanya, "Dia adalah sahabatmu?" "Benar."

"Orang macam apakah dirinya?" "Seorang yang gampang ditipu orang."

"Apakah seseorang yang setiap saat bisa membunuh orang." "Tidak."

"Jadi dia mempunyi alasan untuk membunuh aku?" "Ya, ada."

"Apakah suatu alasan yang baik?"

"Bukan, tapi alasannya pantas untuk dimaafkan "

"Baik, sudah cukup."

Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan tertawa ke arah Yap Kay, katanya, "Aku tahu kau suka menjamu orang, hari ini boleh kau traktir aku."

"Tentu," ucap Yap Kay sambil tertawa.

Orang itu lalu beranjak keluar warung

"Tunggu dulu!" mendadak Pho Ang-soat membentak.

Orang itu sama sekali tidak menggubris, ia berjalan sangat pelan, seakan-akan tidak ada urusan di dunia ini yang mampu membuatnya berjalan cepat.

Ting Hun-pin berdiri di luar pintu.

Ketika menyaksikan orang berjalan di sampingnya, mendadak dia berseru, "Kuhadiahkan kelintingan ini untukmu."

Selesai bicara, tiga buah kelintingan yang melingkar di pergelangan tangannya telah meluncur ke depan.

Kelintingan adalah benda begitu digoyang mudah mengeluarkan bunyi nyaring, tapi begitu meluncur ke depan tadi, kelintingan itu justru tidak berbunyi, sebab gerakan luncur kelintingan itu terlampau cepat.

Ketiga buah kelintingan itu segera menghajar punggung orang.

Orang itu sama sekali tidak berpaling, juga tidak bermaksud menghindarkan, dia pun tidak menggerakkan tangan menyambut datangnya ancaman

Dia masih meluncur ke depan, sepintas gerakannya tampak seperti tidak terlampau cepat, tapi anehnya, ketiga buah keliningan yang meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi itu justru tak sanggup menghantam punggungnya, benda itu selalu berada empat-lima inci di belakang punggungnya.

Sekejap saja dia sudah berjalan ke depan beberapa tombak ...

Kelintingan yang semula tidak berbunyi kini mulai berbunyi dan akhirnya satu per satu jatuh ke tanah.

Kelintingan memancarkan cahaya keemasan di atas tanah, namun orang aneh itu sudah lenyap. Ting Hun-pin tertegun menyaksikan kejadian itu.

Pho Ang-soat juga tertegun.

Sebaliknya Yap Kay malah tersenyum, di balik senyumannya terselip rasa hormat dan kagum. Mendadak Ting Hun-pin menghampirinya, menarik tangannya dan berseru, "Sebenarnya orang itu manusia atau setan?"

"Menurut kau?"

"Aku tak dapat melihatnya." "Mengapa tak bisa melihat?"

"Tak mungkin di dunia ini ada orang semacam ini, juga tak mungkin ada setan semacam ini." Yap Kay tertawa mendengarnya.

"Dia adalah temanmu?" tiba-tiba Pho Ang-soat bertanya.

"Aku berharap demikian, asal dia bersedia menganggap diriku sebagai teman, apa pun akan kulakukan."

"Kau tahu aku hendak membunuhnya?" "Baru saja tahu."

"Maka kau segera memburu kemari?"

"Kau anggap aku datang untuk menolong dirinya?" Pho Ang-soat tidak menjawab, hanya tertawa dingin.

Yap Kay menghela napas, katanya, "Aku tahu golokmu cukup cepat, aku pernah melihatnya, tapi di hadapannya belum lagi golokmu dilolos, tongkat pendeknya mungkin sudah melubangi tenggorokanmu."

Pho Ang-soat diam saja, tetap tertawa dingin.

"Aku tahu kau tak percaya, karena kau belum tahu siapa dia?" "Siapa dia?"

"Sekalipun dia bukan orang yang turun tangan paling cepat di dunia ini tapi di dunia ini hanya ada satu orang yang bisa melebihi kecepatan."

"O."

"Tapi jelas bukan kau." "Siapa?"

Di wajah Yap Kay segera terpancar rasa hormat yang muncul dari sanubarinya, pelan-pelan dia berkata pula, "Siau-li si pisau terbang!"

Ucapannya seperti memiliki daya kekuatan iblis, bisa membuat peredaran darah dan napas orang berhenti.

Beberapa lama kemudian, Pho Ang-soat menghembuskan napas panjang, katanya, "Apakah dia A Fei?"

"Di dunia ini hanya ada seorang A Fei."

Tangan Pho Ang-soat yang menggenggam kencang goloknya, "Aku tahu dia selalu menggunakan pedang."

"Sekarang dia sudah tak perlu menggunakan pedang lagi, sebab tongkat pendek di tangannya telah menjadi pedang yang paling menakutkan di dunia ini."

Paras muka Pho Ang-soat berubah pucat-pasi seperti mayat. "Oleh karena itu kau datang untuk menolong aku?"

"Aku tidak berkata demikian." Tidak menunggu Pho Ang-soat buka suara, dia bertanya lagi, " Tahukah kau siapa yang tergeletak di atas tanah sekarang ...?"

"Dia mengaku dirinya bernama Kim si sinting."

"Bukan, di dunia ini mana ada orang bernama Kim si sinting." "Lantas siapa dia?"

"Dia adalah Siau-tat-cu." "Siau-tat-cu?"

"Belum pernah kau mendengar nama Siau-tat-cu?" Setelah tertawa, lanjutnya, "Tentu saja tak pernah kau dengar, karena kau belum pernah datang ke ibukota, setiap orang yang pernah ke ibukota pasti mengenal namanya, karena tiada orang yang bisa menandingi kehebatan Siau-tat- cu."

"Siapa dia?"

Kembali Yap Kay tertawa, "Dia memang seorang berbakat, berperan sebagai apa pun dia dapat memerankannya dengan baik."

Sekali lagi Pho Ang-soat tertegun.

"Sekarang dia berperan sebagai orang sinting yang pegang janji, bahkan seorang aneh dunia persilatan yang mempunyai pendengaran luas, permainannya memang bagus."

Mau tak mau Pho Ang-soat harus mengakui hal ini.

"Permainannya ini dinamakan Siang-cuan-tau (sepasang gelang jebakan)," kata Yap Kay, "sedang pengatur lakunya adalah Gi Toa-keng."

"Gi Toa-keng?" paras muka Pho Ang-soat agak berubah.

Yap Kay manggut-manggut, dia membungkuk dan mengeluarkan sejilid kitab kecil dari saku Kim si sinting.

Kitab kecil itu dilapisi kulit tebal, berisi kata-kata dialog yang amat rumit.

Antara lain berbunyi: "Tengah malam, suruh orang menggotongmu dalam peti mati, tunggu sampai kukatakan 'Arak ini tak ada orang yang minum'. Maka kau boleh melompat keluar dari dalam peti mati, kemudian berkatalah sambil tertawa, 'Aneh namanya kalau arak itu tak ada yang minum, kemudian '."

Cukup dibacakan beberapa bagian, paras muka Pho Ang-soat yang pucat telah berubah menjadi merah padam karena malu dan gusar.

Kini telah dia sadari apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.

Ternyata segala sesuatu yang berlangsung selama ini merupakan sandiwara belaka, ternyata naskah sandiwara itu memang sudah disusun orang dengan rapi. Berarti sejak dia menyaksikan Tio Tay-hong menangis dalam hutan, selangkah demi selangkah dia sudah terjebak dalam permainan orang.

Dan rupanya sandiwara itu akan berakhir di ujung tongkat pendek tongkat pendek yang

sanggup menembus tenggorokan siapa pun.

Kim si sinting masih tergeletak di atas tanah sambil merintih, suaranya menandakan penderitaan luar biasa.

Entah siapa yang memasang lampu, di bawah sinar lampu, paras mukanya kelihatan pucat- pasi. Ujung baju dan bibirnya masih mengejang terus tiada hentinya, membuat wajahnya turut berubah menjadi amat menakutkan.

Akhirnya Pho Ang-soat mendongakkan kepala, kemudian katanya, "Yang kau maksud sebagai Gi Toa-keng itu apakah Thi-jiu-kuncu (lelaki sejati bertangan besi) Gi Toa-keng?" "Betul , Thi-jiu-kuncu Gi Toa-keng tidak lain adalah Tio Tay-hong yang kau kenal itu." Dengan penuh kebencian Pho Ang-soat berseru, Semua orang persilatan mengatakan Gi Toa-

keng adalah seorang Kuncu, lelaki sejati, tak kusangka dia sesungguhnya adalah seorang Kuncu

semacam ini."

"Di dunia ini memang banyak kuncu gadungan." "Mengapa dia berbuat begitu?"

"Karena dia hendak membunuhmu?"

Tentu saja Pho Ang-soat tahu, sesungguhnya tak perlu dia bertanya.

"Tapi dia pun tahu betapa cepat golokmu itu," lanjut Yap Kay lebih jauh, "di dunia ini memang jarang ada yang sanggup menandingi kecepatan golokmu itu."

Tanpa terasa Pho Ang-soat teringat orang asing itu, yang aneh, santai dan begitu tenang. Cukup berbicara soal ini saja, rasanya jarang ada orang bisa menandinginya.

"Benarkah sebelum golokku tercabut, tongkat pendeknya sanggup menembus tenggorokanku?" Pho Ang-soat benar-benar tak percaya, dia pun enggan mempercayai hal ini.

Hampir saja dia tak tahan untuk mengejar orang itu dan mencoba untuk bertanding, siapakah di antara mereka yang sesungguhnya lebih cepat.

Bagaimana pun juga dia tidak bisa mengaku kalah begitu saja.

Cuma dia pun tahu, bila orang sudah berniat pergi, tiada orang sanggup menghalanginya, juga tiada orang dapat menyusul dirinya.

Tangannya yang memegang golok mulai gemetar.

Yap Kay memandang tangannya sekejap, kemudian ujarnya setelah menghela napas panjang, "Sekarang mungkin kau masih belum percaya bahwa gerakannya jauh lebih cepat daripada gerakanmu, tapi. "

Mendadak Pho Ang-soat menukas, "Percaya atau tidak adalah urusanku, urusanku sama sekali tiada hubungannya dengan kau."

Yap Kay hanya bisa membungkam, hanya tertawa getir.

"Karena itu lebih baik kau jangan ikut campur!" seru Pho Ang-soat. Kembali Yap Kay tertawa getir.

"Mengapa kau selalu mengikutiku secara diam-diam?" "Aku tidak mengikutimu."

"Jika kau tidak mengikutiku, mengapa bisa mengetahui kejadian ini?" "Karena secara kebetulan aku bertemu Gi Toa-keng," Yap Kay menerangkan. "Banyak orang juga bertemu dia."

"Tapi hanya aku yang tahu dia adalah Gi Toa-keng yang tidak seharusnya berada di sini, juga tidak seharusnya dia berdandan seperti itu, dia sangat memperhatikan pakaian serta dandanannya"

"Hal ini toh tiada sangkut-pautnya dengan dirimu "

"Tapi bagiku kejadian ini sesuatu yang aneh." "Maka kau pun menguntitnya?"

Yap Kay manggut-manggut. "Sudah dua hari aku menguntitnya, tapi selalu tidak berhasil menemukan dimana dia menginap, aku tak berani menguntitnya terlampau dekat, sebab aku tahu gerak-geriknya amat licin bagai seekor rase."

"Ehm!"

"Tapi aku tahu dia telah mengundang Siau-tat-cu dari ibukota, maka aku pun berganti arah mulai menguntit Siau-tat-cu " Setelah tertawa getir, dia menambahkan, "Tapi kemudian Siau-

tat-cu pun tak nampak lagi batang hidungnya "

0oo0

BAB 36. HIDUP MANUSIA BAGAI PANGGUNG SANDIWARA

"Rupanya ada juga pekerjaan yang tak sanggup kau lakukan."

"Untung kemudian aku bertemu dengan kedua orang penggotong peti mati itu, mereka adalah anak buah Siau-tat-cu dalam permainan sandiwaranya, datang ke sana bersama Siau-tat-cu, selamanya Siau-tat-cu memang sangat baik terhadap anak buahnya."

Peristiwa ini memang penuh lika-liku, mau tak mau Pho Ang-soat harus memperhatikannya dengan seksama.

"Waktu itu mereka sedang membereskan perbekalan siap meninggalkan kota, setelah kutemukan mereka, dengan menggunakan kekerasan kupaksa mereka mengaku, akhirnya kutanya mereka kemana Siau-tat-cu mereka kirim."

"Maka kau pun berhasil menemukan tempat itu?"

"Sewaktu aku ke sana. kau tidak ada, yang ada di rumah hanya Gi Toa-keng serta Siau-tat-cu." "Tentu saja Gi Toa-keng tak akan memberitahu rahasia ini kepadamu..”

"Tentu saja tidak, aku pun belum tentu bisa memaksanya buka suara atau tidak, sayang sekali walau rencananya cukup matang, tindakannya justru keji."

Pho Ang-soat tidak memberi komentar, hanya mendengarkan belaka.

"Ternyata dia telah mencampuri racun dalam arak, dia bermaksud membunuh Siau-tat-cu dan menghilangkan jejak!"

Sekarang Pho Ang-soat baru tahu, penderitaan yang dialami Siau-tat-cu bukan lantaran terluka, melainkan karena keracunan.

"Ketika aku sampai di sana, rasa sakit Siau-tat-cu baru mulai kambuh, setelah kubongkar perbuatan keji Gi Toa-keng, tentu saja dia benci setengah mati pada orang she Gi."

"Maka dia pun membongkar rencana keji Gi Toa-keng kepadamu?" sambung Pho Ang-soat. Yap Kay menghela napas panjang.

"Bila Gi Toa-keng tidak terlampau kejam, rahasia ini selamanya mungkin tak akan kuketahui, dia berlagak seakan tenaga dalamnya telah mencapai puncaknya, hampir saja aku terkecoh, malahan aku menganggapnya seorang kuncu sejati, aku ingin minta maaf kepadanya, tapi sayang dia telah pergi."

Tak tahan Ting Hun-pin juga menghela napas, katanya, "Kalau dia menjadi pemain panggung, pasti namanya akan lebih tersohor daripada Siau-tat-cu."

"Tadi aku dengar kau memanggilnya sebagai paman Gi?" sindir Yap Kay.

Dengan gemas Ting Hun-pin melotot sekejap ke arahnya, kemudian katanya sambil cemberut, "Dia sebenarnya teman ayahku, wajahnya ramah dan halus budi, siapa sangka dia lelaki munafik, Kuncu gadungan?" Yap Kay ikut-ikutan menghela napas. "Maka perlu kau manusia rendah semacam diriku jauh lebih baik daripada seorang Kuncu gadungan."

"Hal ini sudah lama kupahami," kata Ting Hun-pin sambil tersenyum manis. Yap Kay tertawa getir.

"Lebih baik selamanya tidak kau pahami."

Dengan gemas Ting Hun-pin melotot sekejap ke arahnya, tiba-tiba dia berkata, "Aku tetap tidak paham akan satu hal!"

Yap Kay hanya diam saja, menantikan kata-kata si gadis.

"Pendekar seperti Li Sun-hoan, A Fei dan lain-lain sudah lama tidak ditemukan lagi jejaknya, darimana Gi Toa-keng bisa tahu hari ini dia berada di sini?"

Yap Kay termenung sebentar, kemudian sahutnya, "Ya, jejak Hui-kiam-khek (jago pedang terbang) memang susah dicari, bahkan Siau-li si pisau terbang pun belum tentu tahu."

"Itulah sebabnya aku pun merasa heran."

"Tapi sejak Pek-hiau-seng meninggal di dunia persilatan masih ada tiga orang manusia yang paling tajam pendengarannya, salah seorang di antaranya adalah Gi Toa-keng ini."

"Memang pernah aku mendengar, konon tiap hari dia banyak menerima tamu."

"Mungkin saja dia mendengar bila A Fei akan kemari, maka dia menunggunya lebih dulu disini?" "Kalau begitu rumah inipun sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya?" kata Ting Hun-pin. "Benar, setelah itu dia baru berusaha mencari akal untuk menipu Pho Ang-soat datang kesana."

Dengan ujung matanya Ting Hun-pin melirik sekejap ke arah Pho Ang-soat, setelah itu katanya, "Itu bukan suatu pekerjaan sukar "

"Setiap hari dia keluar rumah, mungkin tujuannya adalah mencari berita Hui-kiam-khek," kata Yap Kay

"Tapi orang justru mengira dia pergi mencari kabar Be Khong-cun." Yap Kay meringis. "Cara kerja orang ini cukup rahasia dan rapi, rasanya tiada seorang pun yang sanggup

menandinginya."

Selama ini Pho Ang-soat hanya termenung saja, tiba-tiba katanya, "Dimanakah dia sekarang?" "Sudah pergi!"

"Mengapa kau lepaskan dia?"

"Mengapa aku harus bersamanya?" Yap Kay balik bertanya sambil tertawa, "apakah dia tak bisa pergi sendiri?"

"Kau tidak berusaha menghalangi kepergiannya?" "Kau anggap aku pasti mampu menghalanginya?"

Pho Ang-soat tidak berkata apa-apa, hanya tertawa dingin.

Tiba-tiba Ting Hun-pin juga tertawa dingin, sindirnya, "Sekalipun Siau Yap tidak menghalanginya, paling tidak dia tidak tertipu olehnya."

Paras muka Pho Ang-soat segera berubah hebat, dia segera membalik badan. Tapi Ting Hun- pin segera berjalan ke hadapannya, kemudian katanya pula, "Sekalipun kau tidak menganggap Siau Yap sebagai teman, tapi sikapnya terhadap dirimu cukup baik bukan?"

Pho Ang-soat menolak menjawab, dia membungkam.

"Sikapnya terhadap dirimu., seperti sikap bapak terhadap anaknya, sekalipun kau tidak berterima kasih kepadanya, paling tidak janganlah menganggap dia sebagai musuh." Kembali Pho Ang-soat membungkam, dia tidak menjawab.

Ting Hun-pin tertawa dingin, katanya pula, "Aku tahu kau tak sudi bicara denganku, terus terang saja kukatakan biasanya jangankan mengajak bicara, terhadap manusia macam kau, kendati kau menyembah belum tentu aku sudi memandangmu."

Pho Ang-soat tertawa dingin, namun dia tetap bungkam. "Ada beberapa terpaksa harus kutanyakan kepadamu." Pho Ang-soat tetap diam, menantikan pertanyaannya.

"Mengapa semakin baik orang bersikap kepadamu, justru kau semakin galak kepadanya?

Apakah kau takut orang lain berbuat baik kepadamu? Apakah kau punya penyakit?"

Paras muka Pho Ang-soat yang pucat tiba-tiba berubah merah padam, sekujur badannya mulai gemetar. Dari sorot matanya yang dingin tiba-tiba memancarkan sinar penderitaan, hingga tak kuasa menahan diri. Ting Hun-pin tertegun dibuatnya.

Dia benar-benar tidak menyangka secara tiba-tiba Pho Ang-soat berubah menjadi begitu, tak tega dia memandangnya lagi, dengan kepala tertunduk katanya pelan-pelan, "Aku kan cuma bergurau saja, masakah kau anggap sungguhan? Janganlah marah."

Pho Ang-soat Cuma diam tak bergerak.

Ting Hun-pin juga tidak bicara lagi, merasa rikuh dan tak mampu melanjutkan kata-katanya.

0oo0

Di atas meja tersedia arak Ternyata ia duduk dan minum arak.

Yap Kay membangunkan Siau-tat-cu, seakan-akan tidak tahu ada persoalan di antara mereka Wajah Siau-tat-cu masih penuh air mata, katanya dengan sesenggukan.

"Aku ... aku tak lebih hanya seorang pemain sandiwara, siapa memberi uang, aku pun bermain untuknya."

"Aku tahu."

"Aku masih belum ingin mati " air mata Siau-tat-cu jatuh bercucuran makin deras.

"Kau tak bakal mati."

"Benarkah aku masih dapat tertolong?"

"Aku telah meluluskan permintaanmu, kau sudah minum obat penawar." Siau-tat-cu terengah-engah dan duduk, perasaannya telah tenang.

Sambil menghela napas Yap Kay berkata, "Padahal siapa pula yang tidak bermain sandiwara?

Bukankah kehidupan manusia di dunia ini sesungguhnya adalah panggung sandiwara?"

Waktu itu perasaan Pho Ang-soat telah tenang kembali, tiba-tiba dia membalikkan badan dan melotot ke arah Siau-tat-cu, kemudian ujarnya, "Kau tahu Gi Toa-keng pergi kemana?"

Pucat-pasi wajah Siau-tat-cu karena ketakutan, sahutnya tergagap, "Aku mungkin dia sudah

pulang."

"Dimana rumahnya?"

"Konon rumahnya berada di perkampungan Cong-keng-ban-coan-ceng, aku belum pernah ke sana, tapi banyak orang persilatan yang tahu."

Pho Ang-soat membalikkan badan dan pelan-pelan beranjak keluar. Jangankan menegur Yap Kay, memandang sekejap ke arahnya pun tidak.

"Eh, tunggu sebentar," seru Yap Kay, "masih ada satu hal perlu keberitahukan kepadamu." Pho Ang-soat tidak berhenti, menggubris pun tidak. "Istri Gi Toa-keng she Lok!" seru Yap Kay. Pho Ang-soat tetap tidak menggubris.

"Dia semarga dengan Lok Siau-ka!" seru Yap Kay lebih lanjut.

Pho Ang-soat masih saja tidak menggubris, namun otot-otot hijau pada lengannya merongkol.

Dia tidak berpaling, selangkah demi selangkah berjalan keluar.

0oo0

Malam makin kelam....

"Bukankah kehidupan manusia pun mirip panggung sandiwara, siapa pula yang tidak sedang bermain sandiwara?"

Lalu bagaimana cara membawakan peranan dalam sandiwara itu? Apakah ingin berperan dalam lelakon yang menyedihkan? Ataukah kau lebih suka berperan dan kisah gembira? Apakah kau tidak ingin mendapat tepuk tangan penonton? Atau juga ingin dilempari tomat busuk?

0oo0

Tomat belum membusuk.

Musim gugur adalah musim panen buah tomat.

Ting Hun-pin menyodorkan sebiji tomat ke hadapan Yap Kay, ujarnya dengan lembut, "Tomat termasuk buah menyegarkan, bila minum arak sambil makan tomat, maka orang tidak gampang mabuk!"

"Darimana kau tahu kalau aku tak ingin mabuk?" tanya Yap Kay dengan tawar.

"Bila seorang ingin mabuk, walau minum arak sambil makan apa saja, akhirnya akan mabuk juga."

Dia menjejalkan tomat itu ke mulut Yap Kay, katanya pula sambil tertawa, "Oleh karena itu makanlah buah ini kemudian baru bicara."

Terpaksa Yap Kay memakan tomat itu.

Dia bukan manusia yang terbuat dari kayu, dia pun memahami perasaan kasih sayang Ting Hun-pin terhadapnya, bahkan ia merasa amat berterima kasih kepadanya.

Walaupun gadis ini agak binal dan tak tahu aturan, namun dia bersikap lembut, hangat dan menyenangkan, ditemani gadis semacam dia, sudah pasti hati akan merasa puas.

Pemuda itu sudah menghabiskan tomat yang disodorkan kepadanya, Ting Hun-pin menghela napas, ujarnya. "Untung kau bukan Pho Ang-soat, semakin baik orang bersikap kepadanya, semakin jelek sikapnya kepada orang itu."

Yap Kay juga menghela napas.

"Bila kau menganggap dia adalah orang macam itu, maka pendapatmu itu keliru besar." "Bagian mana aku salah?"

"Ada orang yang justru enggan memperlihatkan perasaannya." "Kau anggap dia termasuk manusia jenis ini?"

"Ya, itulah sebabnya di kala seorang bersikap baik kepadanya, dia justru menampilkan sikap tak berperasaan, karena dia kuatir orang lain mengetahui perasaannya."

"Oleh karena itu kau pun menganggap dia bersikap baik kepadamu?" Yap Kay tidak menjawab, hanya tertawa.

"Tapi sikapnya terhadap Cui-long " Belum selesai Ting Hun-pin berkata, Yap Kay telah menukas, "Tadi sikapnya tiba-tiba berubah, karena kau telah menyentuh luka hatinya, membuat ia teringat Cui-long."

"Jika benar dia bersikap baik terhadap Cui-long, mengapa justru meninggalkannya?" "Bila ia tidak bersikap baik kepadanya, mengapa pula dia terlihat begitu menderita?" Ting Hun-pin terbungkam, ia tak sanggup menjawab

Sambil menghela napas Yap Kay kembali berkata, "Hanya orang yang benar-benar tak berperasaan yang tidak mengenal arti penderitaan. Tak aku mengagumi orang macam itu."

"Kenapa?"

"Karena manusia semacam ini pada hakikatnya bukan manusia "

Ting Hun-pin menghela napas, katanya, "Kalian orang laki-laki memang benar-benar memiliki perasaan aneh."

"Ya, memang aneh, seaneh pikiran kalian orang-orang perempuan," sambung Yap Kay. Apa yang dikatakan memang benar.

Yang paling aneh dan paling sukar diraba di dunia ini sesungguhnya adalah perasaan manusia, baik dia lelaki maupun perempuan.

Sambil tersenyum Ting Hun-pin segera berkata. "Untung aku telah mengerti akan dirimu." "O ya."

"Walaupun di luar kau mirip orang tak berperasaan, sesungguhnya kau sangat baik kepadaku."

Sambil menarik muka, Yap Kay ingin mengucapkan sesuatu, tapi baru saja dia membuka mulut, kembali Ting Hun-pin menjejalkan sebiji tomat ke mulutnya.

^"^

Malam sudah semakin kelam

Siau-tat-cu telah minum sebungkus obat dan tertidur di atas kursi panjang di sudut ruangan. Pelayan rumah makan itupun mulai menguap mengantuk.

Ingin dia mengusir orang-orang itu dari sana, tapi ia tak berani ... biasanya orang-orang begini memang berbahaya.

Ting Hun-pin memenuhi cawan arak Yap Kay, kemudian berkata, "Tampaknya perkampungan Cong-keng-ban-coan-ceng tidak terlampau jauh dari sini."

"Ya, memang tidak terlalu jauh."

"Menurut pendapatmu, benarkah Gi Toa-keng pulang ke rumah?" "Dia tak mungkin bisa melarikan diri."

"Mengapa?"

"Sebab dia tak perlu kabur, jika kabur akan menambah curiga orang."

"Bagaimana pun juga sekarang Pho Ang-soat pasti menduga dia salah seorang di antara pembunuh gelap di luar kuil Bwe-hoa-am tempo hari, maka itulah ia menyusun rencana dan perangkap keji untuk mencelakai Pho Ang-soat."'

"Pho Ang-soat bukan orang tolol."

"Siapa tahu orang yang meracuni Si Bu juga Gi Toa-keng?" "Bukan."

"Mengapa?" "Sebab racun yang dicampurkan ke dalam arak Siau-tat-cu adalah jenis yang berbeda." "Apakah dia tak bisa membawa obat penawar masing-masing racun?"

"Orang yang mengerti cara khusus mengerjai orang, dia pasti punya obat racun khusus yang paling sering dipakai, kebiasaan semacam ini seperti juga kebiasaan orang perempuan menggunakan pupur dan gincu."

Ting Hun-pin tidak mengerti apa maksudnya.

Kembali Yap Kay menerangkan, "Tentu kau pernah menggunakan lebih dari satu macam pupur bukan?"

Ting Hun-pin berpikir sebentar, kemudian manggut-manggut.

"Bila kau akan keluar rumah, mungkinkah kau membawa kedua macam pupur yang berbeda?" kembali Yap Kay bertanya.

Ting Hun-pin menggeleng berulang kali, lalu mengerling sekejap ke arahnya, katanya dingin, "Tampaknya tidak sedikit persoalan kaum wanita yang kau pahami."

"Ah, aku hanya sedikit lebih tahu tentang sifat orang yang menggunakan obat racun, soal perempuan boleh dibilang aku tidak tahu sama sekali."

"Aneh jika kau tak tahu."

Tiba-tiba dia sambar cawan arak yang disodorkan kepada Yap Kay, sekaligus ditenggaknya habis.

Menyaksikan itu, Yap Kay tertawa.

Kembali Ting Hun-pin mengerling ke arahnya, katanya, "Aku heran, kenapa kau masih bisa bergembira duduk di sini sambil minum arak."

"Mengapa tidak?"

"Kalau Gi Toa-keng sudah pulang ke rumah, sudah pasti Pho Ang-soat akan ke sana mencarinya."

Yap Kay manggut-manggut membenarkan.

"Ka-lau Lok Siau-ka adalah iparnya, tentu juga akan berada di sekitar tempat ini, siapa tahu saat inipun dia berada di rumahnya” kata Ting Hun-pin lagi.

"Ya, mungkin begitu."

"Kau tidak kuatir Pho Ang-soat dicelakai mereka? Bukankah kau selalu menguatirkan keselamatannya?"

"Tapi kali ini aku justru merasa lega." "Sungguh?"

"Tentu saja sungguh, karena aku tahu pada hakikatnya mereka tak mungkin bertarung." "Mengapa?" Yap Kay tertawa.

"Bila kau memahami orang macam apa Gi Toa-keng, kau akan segera tahu mengapa bisa demikian."

"Setan yang bisa memahami dirinya."

"Seumur hidup orang ini tak pernah bermusuhan dengan orang secara terang-terangan, sekalipun orang pergi mencari ke rumahnya, ia akan berusaha orang menganggapnya seorang Kuncu."

"Namun sekalipun mengalah dan bersabar juga tiada gunanya." "Tapi ia masih bisa menggunakan cara lain." "Cara apa?"

"Ia bisa menyangkal keterlibatannya dalam masalah ini, tidak mengakui telah terjadi peristiwa semacam itu."

"Tapi kenyataan kan sudah di depan mata, sekalipun menyangkal juga tak ada gunanya." "Bisa saja bilang tak pernah meninggalkan Cong-keng-ceng, bahkan ia dapat beralasan sakit

payah."

"Memangnya Pho Ang-soat akan mempercayainya begitu saja? Dia bukan orang tolol."

"Gi Toa-keng pasti sudah mengumpulkan banyak tokoh persilatan di rumahnya sebagai saksi, orang macam dia, melakukan pekerjaan apa saja, entah itu bakal berhasil atau tidak, pasti dia akan menyiapkan jalan mundur lebih dulu."

"Kesaksian orang lain belum tentu dipercaya Pho Ang-soat."

"Orang yang dicari Gi Toa-keng sudah pasti orang-orang yang ternama dan punya kedudukan tinggi dalam dunia persilatan, sehingga setiap ucapannya pasti berbobot, orang tak mau percaya pun percaya juga."

"Apakah dia bersedia mambantu membohongi orang lain?" kata Ting Hun-pin.

"Dia pasti tak akan menyuruh mereka berbohong, mereka hanya disuruh menjadi saksi." "Bersaksi bahwa dia tak pernah keluar rumah?"

"Tentu saja dia mempunyai akal untuk menyuruh orang-orang itu percaya bahwa selama ini dia tak pernah meninggalkan rumah."

"Aku tidak tahu cara bagaimana bisa begini sempurna, kecuali jika dia punya kepandaian membelah diri."

"Ilmu membelah diri bukan suatu kepandaian sukar, bisa saja dia mencari seseorang yang menyaru sebagai dirinya untuk tinggal di rumah dan berpura-pura sakit."

Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Biasanya kamarnya pasti dibikin remang-remang, paras orang sakit pun tentu kurang baik, suaranya tidak seperti biasanya, oleh karena itu teman- temannya tentu tak menaruh curiga bahwa si sakit sebetulnya bukan Gi Toa-keng, melainkan samaran orang lain."

"Benar!" Ting Hun-pin manggut-manggut, "apalagi Gi Toa-keng sudah dikenal sebagai seorang lelaki sejati yang jujur, tentu saja orang lain tak menyangka dia melakukan perbuatan semacam ini..“

"Tepat sekali."

Ting Hun-pin menghela napas panjang, katanya, "Tampaknya kau cukup mengerti permainan licik semacam ini."

"Itulah sebabnya aku dapat hidup hingga kini."

"Jika begitu, mumpung kau masih hidup, lebih baik aku cepat-cepat angkat kaki daripada menunggu kau mati mabuk di tempat ini."

"Kau boleh pergi." "Dan kau?"

"Aku sudah bertekad akan tinggal di sini." "Kau anggap tempat ini sangat baik?" "Tidak baik."

Ting Hun-pin memandang sekejap ke arah pelayan rumah makan yang berkerut kening semenjak tadi, katanya, "Kau anggap orang lain suka kau tunggu di sini?" Yap Kay tertawa lebar.

"Aku rasa dia lebih suka kalau aku cepat-cepat membayar rekening dan meninggalkan tempat ini."

"Lantas apa sebabnya kau masih tinggal di sini?" "Aku menantikan seseorang."

"Seorang perempuan?" sepasang mata Ting Hun-pin berkedip.

"Aku tak pernah menunggu perempuan, selamanya perempuan yang menunggu kedatanganku."

"Lantas siapa sebenarnya yang kau tunggu," seru Ting Hun-pin sambil menggigit bibir. "Pho Ang-soat."

"Masakah dia akan kembali?" seru gadis itu dengan wajah tertegun.

"Dia pasti datang mencariku, karena dia anggap aku telah membohonginya," jawab Yap Kay yakin.

"Apakah dia tak bisa membedakan Gi Toa-keng sebenarnya adalah Tio Tay-hong?"

"Gi Toa-keng tak memberitahu ada orang sengaja menyaru sebagai dirinya, darimana dia tahu?"

Ting Hun-pin membungkam dan tak sanggup berkata.

Selama ini si pelayan hanya mendengarkan dari samping, ketika mendengar sampai di situ, tak tahan dia menghela napas. Saat itulah dari luar pintu terdengar seorang sedang tertawa tergelak- gelak.

"Tak kusangka di sini masih ada arak, tampak Thian memang baik terhadapku. Dia masih belum mengharapkan kematianku."

Seorang yang sedang mabuk menerjang masuk ke dalam ruangan dengan langkah sempoyongan, dia memakai baju biru, mukanya bulat, hidung berwarna merah, tampaknya seorang setan mabuk.

Begitu masuk, dia segera melempar sekeping uang perak ke atas meja, kemudian serunya dengan lantang, "Keluarkan semua arak paling bagus dan sayur paling enak yang dijual di tempat ini, Toaya tak punya barang lain kecuali uang perak."

Kalau ada uang tentu saja ada arak. Orang itu meneguk beberapa cawan arak lebih dulu, kemudian tiba-tiba berpaling dan menggapai ke arah Yap Kay.

Yap Kay balas menggapai.

Orang itu tertawa lagi. "Kau memang menarik," serunya, "kau pasti seorang yang baik, mari, mari aku traktir kau minum arak."

"Bagus sekali," jawab Yap Kay sambil tertawa.

"Apa pun tidak kumiliki, yang kumiliki hanya uang perak." Ternyata dia benar-benar berpindah ke sana.

Di sinilah letak kebaikan Yap Kay, terhadap persoalan apa pun dia selalu ingin tahu, asal ada sedikit persoalan yang dirasa aneh, rasa ingin tahunya pasti tak tertahan.

Ia sudah melihat tangan dan kaki orang amat kasar, hidung berwarna merah karena mabuk, selain memakai baju dan topi baru, sakunya penuh uang. Tentu saja hal ini cukup mengherankan.

Sedikit hal aneh kadang bisa menimbulkan banyak peristiwa aneh lainnya. Ada banyak kejadian aneh yang justru ditemukan Yap Kay dengan cara begini, apalagi belakangan ini dia memang sedang mencari orang. Melihat pemuda itu berpindah ke meja orang, tak tahan Ting Hun-pin menghela napas panjang, gumamnya, "Tampaknya tiada kejadian yang bisa menghalangi perkenalan antara dua setan arak."

Orang yang berada di hadapannya sekarang selain berhidung merah, lidahnya juga lebih panjang dari lidah orang normal. Ia menepuk-nepuk bahu Yap Kay sambil berseru lantang, "Silakan kau minum sepuas-puasnya, uang perakku cukup untuk mentraktir dirimu."

Sengaja Yap Kay merendahkan suara, dengan berbisik berkata, "Tampaknya kau sedang kaya mendadak. Bila di sekitar sini bisa dengan gampang memperoleh kekayaan, dapatkah kau memberitahukan kepadaku, supaya aku pun bisa balas mentraktirmu?"

Orang tua itu kembali tertawa terbahak-bahak, "Kau anggap aku ini seorang perampok? Atau seorang pencuri?"

Mendadak ia merogoh sakunya dan mengeluarkan semua uang peraknya ke atas meja, kemudian sambil melotot serunya, "Terus terang kukatakan kepadamu, uangku ini bukan uang kotor, uang ini kudapat setelah bekerja selama puluhan tahun."

"O."

"Terus terang aku ini bukan orang jahat, aku hanyalah seorang pencuci kuda."

"Masakah seorang pencuci kuda pun bisa mempunyai uang sebanyak itu?" kata Yap Kay sambil tersenyum. "Tampaknya aku pun harus belajar menjadi seorang tukang cuci kuda."

Orang itu menggelengkan kepala. "Aku bisa saja membawa kau ke sana, tapi sekarang sudah terlambat."

"Mengapa?"

"Sebab tempat itu sekarang sudah tak ada kuda lagi, bahkan sesosok manusia pun tak tampak."

"Sebenarnya tempat manakah itu?" "Perkampungan Ho-han-ceng!" Mencorong terang mata Yap Kay.

Sesungguhnya dia memang sedang mencari seseorang yang berasal dari Ho-han-ceng, anehnya tak seorang pun berhasil ditemukan.

Empat-Iima puluh orang yang berkerja di perkampungan itu, habis terima gaji biasanya mereka minum arak kalau tidak ya main perempuan, sesungguhnya hal semacam ini bukan sesuatu kejadian aneh.

Di warung arak dan sarang pelacuran yang berada di sekitar tempat itu justru tiada berita tentang mereka.

Akhirnya Yap Kay berhasil menemukan seorang, seorang yang mungkin bisa menjadi sumber berita, sudah barang tentu tak akan dia lepaskan begitu saja, dengan nada menyelidik tanyanya, "Aku pernah berkunjung ke Ho-han-ceng, pengurus gudang arak di sana adalah temanku."

Sambil menuding hidung sendiri, orang itu tertawa terbahak-bahak. "Kau sedang omong kosong apa, pengurus gudang arak di situ tidak she Khu, dia she Thio bernama Koay-hu!"

"Mengapa bernama Thio si makhluk aneh?"

"Sebab meski dia pengurus gudang arak, namun dia sendiri justru setetes arak pun tak pernah minum."

"Mungkin lantaran dia tidak minum arak, maka ia dijadikan pengurus gudang arak," kata Yap Kay tertawa pula. Orang itu bertepuk tangan sambil tertawa tergelak, "Tepat jawabanmu, tampaknya kau tidak bodoh."

"Sekarang dia berada dimana?"

"Sudah pulang ke rumah, semua orang yang bekerja di Ho-han-ceng telah pulang ke kampung masing-masing, bahkan banyak di antaranya sudah ditampung keluarga lain.

Rupanya setelah meninggalkan Ho-han-ceng, mereka mendapat pekerjaan baru dan bekerja lagi.

Tak heran Yap Kay tidak berhasil menemukan orang-orang itu. "Mereka sudah bekerja dimana?"

"Kebanyakan ditampung oleh keluarga Ting!" "Keluarga Ting? Keluarga Ting yang mana?"

"Tentu saja keluarga Ting yang paling kaya dan ternama, kalau tidak, mana mungkin sekaligus bisa menampung begitu banyak pegawai baru "

Hanya ada satu keluarga Ting yang kaya dan ternama, yaitu keluarga Ting Hun-pin.

Yap Kay memandang sekejap ke arahnya, Ting Hun-pin juga sedang memandangnya, sedang orang itu mengigau tak jelas.

"Walaupun makhluk aneh she Thio itu tak suka arak, tetapi pekerjaan lain selalu bisa dia bereskan, maka aku mengagumi kehebatannya itu "

"Kalau mereka sudah bekerja di keluarga Ting, mengapa kau tidak ikut ke sana?" sahut orang itu sambil tertawa.

"Lima ratus tahil perak yang kumiliki belum habis dipakai, sekalipun keluarga Ting hendak menerimaku sebagai menantu, belum tentu aku "

Belum selesai ucapannya, bahkan mulut masih terpentang, mendadak "Tring!", sebuah benda membentur giginya.

Seketika Yap Kay mendengar suara gigi yang remuk.

Orang itu membungkuk badan kesakitan, mula-mula meludahkan sebiji kacang, kemudian rontokan gigi dan akhirnya darah. Mengendus bau anyirnya darah, tiba-tiba lambungnya berontak, dia pun muntah-muntah.

Ternyata benda yang menghancurkan giginya adalah sebiji kacang.

Ting Hun-pin tidak makan kacang, tentu saja dia tak memegang kacang. Daun jendela terpentang lebar, suasana di luar jendela gelap gulita.

Tiba-tiba Yap Kay berpaling ke arah jendela dan berkata sambil tertawa lebar, "Sebenarnya aku sedang menantikan kedatangan seorang lain, tak tahunya kau yang datang lebih dulu "

Dari luar jendela segera terdengar seorang tertawa tergelak.

Di balik gelak tawanya itu membawa nada ejekan, menyusul sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu seorang sudah duduk di jendela.

Yang datang adalah Lok Siau-ka.

Sambil tersenyum Ting Hun-pin lantas berkata, "Sebenarnya aku hendak memberi sedikit pelajaran kepadanya, ternyata kau telah turun tangan lebih dulu."

Lok Siau-ka tertawa hambar.

"Bisa melakukan sedikit pekerjaan untuk Toasiocia keluarga Ting, merupakan suatu kebanggaan bagiku," katanya. "Sejak kapan kau mulai belajar menjilat pantat?" "Sejak jalan pikiranku dapat menerima kenyataan itu." "Kenyataan apa?"

"Kenyataan bahwa hingga kini aku masih seorang bujangan, oleh karena itu..” "Oleh karena itu kenapa?" Lok Siau-ka tersenyum.

"Karena siapa tahu aku punya kesempatan untuk menjadi menantu keluarga Ting." Ting Hun-pin kembali tertawa lebar.

"Orang yang ingin menjadi menantu keluarga Ting, bila tidak bisa menjilat pantat Ting- toasiocia, lantas mesti menjilat pantat siapa?"

Ting Hun-pin mengerling sekejap ke arah Yap Kay, setelah itu katanya, "Seharusnya ucapan mereka ini diperdengarkan kepadanya."

"Aku memang bermaksud untuk mengatakan kepadanya," kata Lok Siau-ka.

Kemudian sambil tertawa tergelak melompat turun dari jendela, lalu memandang ke arah Yap Kay, katanya, "Kau telah makan berapa biji kacangku, apakah hari ini kau mau mentraktir aku minum?"

Yap Kay segera tersenyum.

"Tentu saja akan kutraktir kau, cuma aku pun tahu kau juga bukan datang untuk minum arak." "Tampaknya tiada persoalan yang bisa mengelabui dirimu," kata Lok Siau-ka sambil menghela

napas.

"Lantas karena urusan apa kau datang kemari?" tak tahan Ting Hun-pin segera bertanya. "Datang untuk menemani seseorang."

"Menemani siapa?"

"Orang yang sedang kalian tunggu!"

Ting Hun-pin berkerut kening, ketika berpaling tertampak Pho Ang-soat dengan pelan-pelan berjalan mendekat.

Paras muka Pho Ang-soat yang pucat sekarang tampak berwarna hijau membesi.

Belum lagi berjalan masuk, sepasang matanya sudah mengawasi wajah Yap Kay lekat-lekat, seolah-olah kuatir kalau secara tiba-tiba Yap Kay akan kabur.

Yap Kay sedang memandang pula ke arahnya sambil tersenyum, katanya, "Aku tahu kau pasti akan kembali kemari, ternyata dugaanku memang tidak salah."

"Hanya ada satu hal kau keliru," kata Pho Ang-soat. "Oya?"

"Kenapa kau suruh aku membunuh Gi Toa-keng?" "Aku yang menyuruh kau pergi membunuhnya?"

"Eh, kau kan mengharap dia mati?" kata Pho Ang-soat dingin. "Ataukah berharap aku salah membunuh orang lagi?"

Yap Kay segera menghela napas panjang setelah mendengar kata¬katanya itu, ujarnya, "Aku hanya berharap bisa mengetahui persoalan ini dengan lebih jelas."

"Kau masih belum jelas?" seru Pho Ang-soat tertawa dingin Yap Kay geleng-geleng kepala.

"Tio Tay-hong bukanlah Gi Toa-keng!" seru Pho Ang-soat. "O..."

"Selama setengah bulan ini, dia belum pernah meninggalkan perkampungan Cong-keng-ceng." Yap Kay segera tertawa setelah mendengar perkataan itu, namun masih tetap bungkam.

"Kau jangan tertawa dulu, hal ini merupakan suatu kenyataan "

"Apakah ada orang yang menjadi saksi baginya bahwa ia tak pernah meninggalkan perkampungannya?"

Pho Ang-soat manggut-manggut membenarkan.

"Dan semuanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya." "Tentu saja, selama ini dia sakit, bahkan sakitnya cukup parah." "Kau tahu?"

Lagi-lagi Yap Kay tertawa lebar.

Semua itu memang sudah berada dalam dugaannya, ternyata apa yang diduga sama sekali tidak meleset.

Sebaliknya Ting Hun-pin yang berada di sampingnya menggelengkan kepala berulang kali pula, katanya setelah menghela napas, "Tadi siapa yang mengatakan kalau bukan seorang tolol?"

Lok Siau-ka memandang pula ke arahnya, kemudian memandang lagi ke arah Yap Kay, tiba- tiba dia pun berkata sambil tertawa, "Ah, mengertilah aku sekarang."

"Apa yang kau pahami?"

"Kalian pasti mengira Gi Toa-keng telah menyuruh orang untuk berlagak sakit di rumahnya, sedang dia sendiri diam-diam mengeluyur pergi dari rumah."

"Apakah hal ini tidak mungkin?"

"Tentu saja mungkin, cuma sayang sakit yang diderita olehnya itu justru tak mungkin bisa wakilkan kepada orang lain."

"Mengapa?"

Lok Siau-ka menghela napas panjang.

"Jarang orang persilatan yang tahu kalau kaki kirinya pada setengah bulan berselang telah dipenggal kutung oleh orang!"

Ting Hun-pin tertegun mendengarnya. Pho Ang-soat juga tertegun.

"Song Tiang-sia, Ong It-beng, Ting Ling-tiong, Cia Kiam, semuanya khusus datang ke Cong- keng-ceng setelah mendengar kabar kejadian ini," lanjut Lok Siau-ka.

Nama-nama yang disebut olehnya benar-benar merupakan nama termasyhur di dunia persilatan, bahkan mempunyai kedudukan cukup terhormat.

Yang paling menyolok di antaranya, tentu saja kehadiran Ting Ling-tiong, kakak Ting Hun-pin. Hampir saja Ting Hun-pin menjerit tertahan, serunya, "Samko juga berada di sana?"

Lok Siau-ka tertawa, sahutnya, "Konon semua anggota keluarga Ting adalah seorang Kuncu, bukankah seorang Kuncu lebih suka bergaul dengan sesama Kuncu?"

Terpaksa Ting Hun-pin mendengarkan saja tanpa balas menjawab. Kembali Lok Siau-ka berkata sambil tersenyum, "Entah Ting Sam-sau adalah seorang yang suka berbohong atau tidak?"

"Tentu saja tidak!"

"Kalau begitu kau boleh bertanya kepadanya, apakah kaki Gi Toa-keng benar-benar sudah kutung? Apakah yang kakinya terkutung itu Gi Toa-keng atau bukan? Sekarang dia berada dalam Cong-keng-ceng." Dalam keadaan demikian, apa lagi yang bisa diucapkan oleh Ting Hun-pin. Yap Kay sendiri pun terpaksa hanya bisa tertawa getir.

Lok Siau-ka memandang ke arahnya kemudian tersenyum, lalu berkata, "Padahal kau pun tak usah bersedih, setiap orang pasti ada saatnya melakukan kesalahan, hanya lebih baik lagi kalau mau mengaku salah."

Yap Kay berdehem, tetapi tetap membungkam.

Sambil tertawa kembali Lok Siau-ka berkata, "Tentu saja kau enggan mengakui kesalahan ini, tapi dalam hati kau bersedia mengaku salah, hal inipun sudah lebih dari cukup."

Ia tidak memberi kesempatan kepada Yap Kay untuk bicara, kembali ujarnya, "Persoalannya sekarang adalah kalau Gi Toa-keng bukan Tio Tay-hong. lantas siapakah Tio Tay-hong?"

Yap Kay tak mampu menjawab.

"Akan kucari orang ini sampai ketemu," seru Pho Ang-soat tiba-tiba.

"Tentu saja harus kau cari orang ini, siapa tahu dia adalah salah seorang di antara musuh besarmu," kata Lok Siau-ka.

Tiba-tiba Yap Kay buka suara, katanya, "Siapa tahu dia pun salah seorang musuh besar Gi Toa- keng."

"Mengapa?"

"Bila dia bukan musuh Gi Toa-keng, mengapa orang menggunakan cara seperti ini untuk mencelakainya?"

Terpaksa Lok Siau-ka harus mengakui kebenaran perkataan itu.

Yap Kay termenung sebentar, kemudian katanya, "Tentu saja dia belum tahu bahwa kaki Gi Toa-keng sudah dikutungi orang, oleh sebab itu dia menggunakan cara seperti ini."

"Kaki dikutungi orang bukanlah suatu kejadian yang pantas dibanggakan, siapa pun tak akan bersedia menyebar luaskan berita ini."

"Entah kakinya telah dikutungi oleh siapa?" "Entahlah?"

"Dia tidak mengatakan kepadamu?"

"Pada hakikatnya dia enggan mengungkapkan kejadian itu." "Mengapa?"

"Karena dia tak ingin orang lain membalaskan dendam baginya, ia beranggapan bahwa dendam sakit hati tak boleh dibalas begitu saja, sebab kalau balas membalas berlangsung terus, entah sampai kapan hal ini baru bisa diakhiri."

Yap Kay menghela napas panjang.

"Tampaknya dia memang benar-benar seorang Kuncu sejati, sungguh beruntung Cicimu bisa kawin dengannya."

Lok Siau-ka memandang ke arahnya, dia tak tahu ucapan itu benar-benar memuji ataukah hanya sindiran belaka

Sebaliknya Yap Kay berkata lagi sambil tertawa, "Bagaimana pun juga, sudah sepantasnya kalau kuhormatimu secawan arak lebih dulu."

"Tinggalkan secawan pula bagiku!" tiba-tiba seseorang menyambung.

Ucapan berasal dari suatu tempat agak jauh, tetapi setiap orang yang hadir dapat mendengar dengan jelas. Orang yang bicara masih berada di kejauhan, tetapi semua permbicaraan yang berlangsung di sini dapat didengar olehnya dengan sangat jelas. Sebenarnya siapakah orang ini? Pertanyaan ini dengan cepat telah terjawab, karena baru saja perkataan itu selesai diucapkan, orangnya udah muncul di depan pintu.

Sungguh cepat gerak tubuh orang itu. Dia mengenakan pakaian sederhana, di ikat pinggangnya terselip sebatang tongka pendek, sementara tangannya membawa sebuah buntalan besar

Hampir saja Ting Hun-pin melompat bangun menyaksikan orang itu. Ternyata orang asing yang biasa tapi aneh itu sudah balik kembali ke sini.

^oo^

Suasana di luar pintu sunyi senyap dan amat gelap, cahaya lampu dalam ruangan pun terasa redup.

Orang asing itu sudah masuk ke dalam, buntalan besar telah diletakkan di lantai. Buntalannya itu benar-benar besar!

Orang asing itu segera menarik sebuah kursi dan duduk, setelah itu baru ujarnya dengan hambar, "Biasanya aku jarang minum, tetapi hari ini boleh dikecualikan!"

Tiada orang bertanya mengapa, tiada orang berani bertanya.

Tiba-tiba orang asing itu berpaling ke arah Lok Siau-ka, tanyanya, "Tahukah kau karena apa?" Lok Siau-ka menggeleng berulang kali.

"Tahukah kau siapa aku?" kembali orang asing ini bertanya.

Lok Siau-ka tetap menggeleng, lalu mengangguk, dari balik sorot matanya yang tenang bagaikan batu karang seolah-olah terpancar rasa ngeri dan takut.

"Tapi aku kenal dirimu, juga kenal pedangmu itu," jawab orang asing itu cepat.

Lok Siau-ka menunduk, memandang pedang di pinggangnya, seakan-akan dia berharap pedang itu tidak terselip di pinggangnya.

Orang asing itu juga sedang memandang pedang di pinggangnya, kemudian berkata dengan hambar, "Kau tak usah menyesal bagi pedang itu, meskipun orang yang mengajarkan pedang itu kepadamu adalah musuhku, tetapi dia pun merupakan sahabatku."

"Aku mengerti," kata Lok Siau-ka dengan kepala tertunduk.

"Aku selalu menghormatinya, seperti juga dia menghormati diriku." "Benar."

Pemuda yang latah ini belum pernah bersikap begitu hormat dan takut terhadap siapa pun. "Sekarang apakah dia masih baik-baik?" tanya orang itu.

"Aku sendiri pun sudah lama tidak berjumpa dengan dia orang tua."

Orang asing itu tertawa, "Dia juga seperti aku, manusia yang tak berakar, memang tidak gampang menemukan dirinya."

"Benar."

"Konon kau pun telah menggunakan pedang ini untuk membunuh banyak orang?" Lok Siau-ka tak berani menjawab, dia hanya membungkam.

Pelan-pelan orang asing itu berkata lagi, "Aku hanya berharap semua orang yang kau bunuh adalah orang-orang yang pantas mati."

Lok Siau-ka semakin tak berani menjawab.

"Gunakan pedangmu untuk menusuk aku sekali!" tiba-tiba orang asing itu berseru. Wajah Lok Siau-ka seketika berubah hebat.

"Tahukah kau, setiap perkataan yang telah kukatakan selamanya harus dipenuhi?" Kembali wajah Lok Siau-ka berubah. "Tapi aku ... aku "

"Kau tak usah ragu, akulah yang menyuruh kau melakukan, tentu saja aku tak akan menyalahkan dirimu."

Tapi Lok Siau-ka masih tetap sangsi.

"Tentu saja aku tak akan membalas," orang asing itu menambahkan

Akhirnya Lok Siau-ka menghembuskan napas lega, sahutnya, "Turut perintah!"

Tangannya pelan-pelan meraba gagang pedangnya. "Lebih baik kau gunakan segenap tenaga yang kau miliki, anggap aku seakan-akan musuh besarmu yang paling kau benci."

"Baik."

Mendadak suasana menjadi hening, sepi, tak terdengar suara apa pun. Semua orang membelalakkan mata lebih lebar, semua orang menahan napas.

Setiap orang tahu peristiwa semacam ini tak mungkin bisa dilihat lagi, lebih-lebih tidak bisa dilihat oleh setiap orang.

Ilmu pedang Lok Siau-ka cepat dan tajam, jarang ada orang persilatan yang mampu menandinginya.

Tapi bagaimana pula dengan orang asing itu?

Benarkah dia amat sakti seperti apa yang selama ini tersiar dalam dunia persilatan? Mendadak cahaya pedang berkelebat.

Lok Siau-ka telah melancarkan tusukan, yang dituju adalah tenggorokan orang itu. Tangan Pho Ang-soat menggenggam kencang golok.

Serangan itu seolah-olah ditujukan ke arahnya, bahkan dia sendiri pun mau tak mau harus mengakui bahwa serangan pedang itu benar-benar cepat sekali.

Bahkan sama cepatnya dengan gerak goloknya.

Pada saat itulah, tiba-tiba "Tring!", tahu-tahu pedang telah patah menjadi dua bagian.

Hanya orang bermata tajam yang dapat melihat, setelah serangan itu dilancarkan, tiba-tiba terlihat ada bayangan tongkat pendek berkelebat pula.

Kemudian pedang itupun patah menjadi dua bagian.

Tapi tongkat pendek itu jelas masih terselip di pinggang orang, kembali semua orang menjadi sangsi.

Hanya Lok Siau-ka yang tidak sangsi, tentu saja dia tahu apa sebabnya pedang itu patah menjadi dua.

Sambil memegang kutungan pedangnya, peluh dingin pelan-pelan bercucuran membasahi jidatnya.

Orang itu memungut kutungan pedang dari tanah, setelah diamati sebentar, tiba-tiba ujarnya, "Pedang ini masih terlalu berat."

"Aku hanya bisa menggunakan pedang yang berat ini," kata Lok Siau-ka sedih. Orang itu manggut-manggut.

"Benar, makin enteng suatu pedang makin sukar dipergunakan, sayang teori ini jarang dipahami orang." "Benar."

Dengan suara dalam orang itu berkata lagi, "Tahukah kau apa sebabnya kupatahkan pedangmu itu?"

Tentu saja Lok Siau-ka tidak tahu, dia pun tak berani bertanya.

"Karena pedang ini sudah membunuh orang terlalu banyak," lanjut orang asing itu.

Lok Siau-ka menundukkan kepalanya, kemudian berbisik, "Petunjuk Cianpwe pasti akan kuingat."

Orang itu memandang sekejap ke arahnya, kemudian memandang pula ke arah Pho Ang-soat dan Yap Kay, sekulum senyuman segera menghiasi ujung bibirnya.

"Aku tahu kalian orang-orang muda bukan cuma pintar, juga rajin, ilmu silat kalian sudah di atas kemampuanku di masa lalu."

Tiada orang berani menjawab. Terutama Pho Ang-soat, sekarang dia baru mengerti, seandainya bacokan goloknya diayunkan ke tubuh orang asing itu, entah betapa besar pengorbanan yang mesti dibayar?

"Tapi aku masih tetap berharap kalian bisa memahami suatu hal," ujar orang asing itu pula. Semua orang mendengarkan dengan seksama.

"Ilmu silat yang benar-benar agung bukan dilatih hanya mengandalkan kecerdasan serta ketekunan belaka."

"Mengapa?" pikir semua orang.

Bukankah kecerdasan dan ketekunan merupakan syarat utama yang penting bagi orang yang berlatih ilmu silat?

Terdengar orang itu berkata lagi setelah termenung beberapa saat, "Kalian harus mempunyai jiwa yang agung, jiwa yang mulia, sebelum melatih suatu ilmu silat!"

Pelan-pelan sinar matanya memancarkan kehangatan dan kelembutan, sambungnya, "Hal ini tidak mudah untuk dilaksanakan, setahuku di antara jago-jago lihai dunia persilatan hanya ada satu orang saja yang benar-benar dapat mencapai taraf semacam itu."

Tentu saja semua orang tahu siapa yang dimaksud.

Tiba-tiba saja jantung mereka berdebar keras, terutama Yap Kay.

Setelah hening beberapa saat, orang itu berkata dengan suara lembut, "Selain teori ini, aku pun membawa sesuatu yang luar biasa untuk kalian."

Apa yang dia maksud? Mungkin adalah buntalan yang dibawa dan diletakkan di lantai itu? Kalau benar, apa isinya?

Tiba-tiba Lok Siau-ka melihat buntalan itu bergerak-gerak, hal ini segera membuat wajahnya berubah hebat, selain terkejut juga heran.

Orang itu memandang ke arahnya, kemudian pelan-pelan berkata, "Jika kau merasa heran, mengapa tidak kau buka buntalan itu?

Semua orang merasa heran, siapa pun tidak berhasil menebak apakah yang dibawa olehnya.

^"o”^

Bila aku ingin melatih suatu ilmu silat yang benar-benar agung dan mulia, harus kau memiliki hati yang agung dan mulia terlebih dahulu

Tentu saja bukan suatu yang gampang. Untuk mencapai tingkatan semacam itu kadang orang harus melalui suatu perjalanan hidup yang penuh dengan penderitaan. Akhirnya buntalan itu terbuka. Ternyata isinya adalah sesosok tubuh manusia, seorang yang kaki kirinya kutung. "Gi Toa-keng!"

Hampir semua orang menjeritkan.

Yang paling kaget tentu saja Gi Toa-keng sendiri.

Dia seolah-olah baru bangun dari mimpi buruk dan tiba-tiba menemukan dirinya telah berada di suatu tempat yang menakutkan.

Dia memandang sekejap ke arah Yap Kay, kemudian memandang pula ke arah Pho Ang-soat dan Lok Siau-ka.

Setelah itu secara tiba-tiba wajahnya mengejang, akhirnya dia melihat si orang asing itu. Orang itupun sedang memandang ke arahnya seraya menegur, "Kau masih ingat aku?" Gi Toa-keng memanggut-manggut. sikapnya mengunjuk rasa hormat dan takut.

"Sudah sepuluh tahun kita tidak berjumpa, waktu itu kakimu belum kutung."

Gi Toa-keng tertawa paksa, kemudian sahutnya. "Tapi kegagahan Cianpwe justru masih seperti sedia kala."

"Sejak kapan kakimu kutung?" "Setengah bulan berselang." "Dikutungi siapa?"

Paras muka Gi Toa-keng segera memperlihatkan rasa pedih dan menderita, sahutnya, "Kejadian itu sudah lewat buat apa disinggung kembali, hanya akan mendatangkan kemurungan dan kepedihan belaka "

"Tampaknya kau sangat berjiwa besar dan suka mengampuni kesalahan orang lain?" "Aku berusaha belajar."

"Paling baik kau belajar suatu hal yang lebih penting." "Apa itu?"

"Belajar bicara jujur!"

Tiba-tiba sorot matanya berapi-api, menggidikkan, ditatapnya wajah Gi Toa-keng lekat-lekat, kemudian katanya, "Tentu kau tahu aku selama hidup paling benci terhadap orang yang suka berbohong " Gi Toa-keng menunduk.

"Tak berani aku berbohong terhadap Cianpwe," katanya, "rasanya tak ada yang berani melakukannya."

"Menyuruhmu bicara jujur bukannya hal yang mudah," kata orang itu dingin.

"Aku tahu, bila kau bicara jujur, mungkin kau entah sudah mati berapa kali, nyatanya kau masih hidup dan tak ingin mati."

Gi Toa-keng tak berani menjawab.

"Tapi kau pun harus tahu," ujar orang asing itu lebih jauh.

"Di dunia ini masih banyak kejadian yang lebih menakutkan dan lebih menderita daripada kematian."

Peluh dingin sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi jidat Gi Toa-keng.

"Aku datang kemari karena aku telah bersumpah, tak akan kubiarkan diriku dibohongi lagi oleh siapa pun."

Di wajahnya yang kaku terlintas suatu penderitaan yang berat, seolah dia teringat kejadian masa lalu yang membuatnya menderita. Gi Toa-keng tak berani mendongakkan kepala memandangnya.

Sejenak kemudian orang itu pelan-pelan berkata lagi, "Kau meniru gaya tulisan Siau-li si pisau terbang untuk mengundangku bertemu di sini, padahal aku tahu gaya tulisan itu bukan yang asli, tapi aku toh datang juga karena aku ingin tahu perangkap macam apa yang kau rancang untuk menjebak diriku."

"Sewaktu masih muda dulu, nama besar Siau-li-si pisau terbang telah termasyhur di seluruh dunia," ujar Gi Toa-keng. "Gaya tulisannya juga amat populer, banyak orang bisa meniru gaya tulisannya, mengapa Cianpwe menuduh aku melakukan pemalsuan?"

"Sebab dalam kamarmu aku menemukan banyak kertas corat-coret menirukan gaya tulisan orang. ”

Peluh dingin telah bercucuran semakin deras membasahi seluruh badan Gi Toa-keng.

Orang itu menarik muka, kemudian berkata, "Tentunya kau pernah mendengar tentang bagaimanakah tindak-tandukku semasa masih muda dulu, oleh karena itu kau harus percaya, sampai sekarang aku masih mempunyai sebuah cara untuk memaksamu bicara terus-terang."

Tiba-tiba Gi Toa-keng menghela napas panjang. "Baiklah, aku akan bicara!" katanya kemudian. "Darimana kau mengetahui jejakku?" tanya orang asing itu.

"Ting-samkongcu yang memberitahukan kepadaku." ”Ting Ling-tiong?"

"Aku tahu dia seorang pemuda cerdik, tetapi dia tak akan tahu jejakku."

"Tetapi Cing-tojin tahu Cianpwe ada rencana melakukan perjalanan ke wilayah Kanglam." "Dia kenal Cing-tojin?"

Kembali Gi Toa-keng manggut-manggut, sahutnya, "Jika Cianpwe ada rencana melakukan perjalanan ke Kanglam, berarti kau pasti akan melalui jalan ini."

"O."

"Sebab ketika pertama kali Cianpwe berjumpa Siau-li si pisau terbang, di jalanan inilah peristiwa itu terjadi."

Tiba-tiba orang asing itu mengalihkan sorot matanya ke tempat jauh, seakan-akan sedang mengenang kejadian masa lampau, kenangan yang penuh kehangatan dan kegembiraan, tiada penderitaan.

Dia percaya bahwa perkenalannya dengan Li Sun-huan (Siau-li si pisau terbang) merupakan peristiwa paling membahagiakan yang pernah dialaminya selama hidup.

"Oleh karena itu aku pun menyuruh orang menantikan kedatanganmu di gardu Tiang-teng di depan sana, menunggu Cianpwe lewat dan menyerahkan surat itu kepadamu," kata Gi Toa-keng lebih jauh.

"Kau anggap aku percaya orang itu benar-benar adalah suruhan Siau-li si pisau terbang?" "Aku hanya tahu, entah Cianpwe percaya atau tidak, kau pasti akan datang kemari."

Orang itu menghela napas panjang. "Bila aku melihat dirimu, maka aku jadi teringat seseorang," katanya.

"Siapa?" tak tahan Gi Toa-keng bertanya. "Liong Siau-hun!"

Setelah menghela napas, lanjutnya, "Liong Siau-hun persis seperti kau, seorang yang berotak cerdas dan amat teliti dalam menyusun rencana, sayang sekali. " Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Sejenak kemudian barulah dia bertanya, "Sejak kapan kakimu itu kutung?"

Jawaban Gi Toa-keng sungguh mengejutkan orang, "Hari ini!" "Siapa yang mengutungimu?"

"Aku sendiri!"

Jawaban ini terlebih mengejutkan, satu-satunya orang yang tidak berubah wajahnya mendengar pengakuan itu adalah Yap Kay dan orang asing itu.

Agaknya mereka sudah menduga apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.

Kembali Gi Toa-keng berkata, "Mula-mula aku mencari seseorang yang mempunyai perawakan dan wajah mirip diriku, kupenggal kakinya dan kupaksa dia berbaring di kamar menyaru sebagai aku."

Orang asing itu hanya mendengarkan, tidak bertanya lagi.

Dia tahu setelah Gi Toa-keng mulai berbicara, maka ia pasti akan berkata secara terus terang. "Kamar kubuat remang-remang, jendela kuberi tirai cukup tebal "

Kamar orang sakit biasanya demikian.

"Oleh karena itu sekalipun ada teman datang menengok, mereka tak akan curiga orang yang berbaring di ranjang bukan diriku, mereka enggan mengganggu, tentu saja tak menaruh curiga pada hal-hal lain."

Ting Hun-pin melirik sekejap ke arah Yap Kay, diam-diam merasa heran. "Aneh, mengapa dia selalu tahu semua kejadian yang akan berlangsung."

Terdengar Gi Toa-keng berkata lebih jauh, "Pada saat itulah aku diam-diam kelayapan keluar rumah, mula-mula kuundang Siau-tat-cu, kemudian memancing Pho Ang-soat masuk perangkap, aku tahu bila dia membunuh orang, serangannya cepat luar biasa."

Wajah Pho Ang-soat yang pucat menampilkan perasaan amat menderita, dia harap orang lain tidak menganggap dirinya orang yang gampang ditipu.

"Aku tahu, Cianpwe paling benci manusia yang membunuh orang tanpa alasan, aku percaya Cianpwe pasti tak akan membiarkan ia hidup lebih lama!" kata Gi Toa-keng, setelah menghela napas, terusnya, "Rencana boleh dibilang cukup sempurna dan rapi, namun aku sama sekali tak menyangka di dunia ini ada orang suka ikut campur urusan orang lain seperti Yap Kay."

Tak tahan Ting Hun-pin menimbrung, "Bila kau anggap rencanamu betul-betul sempurna, sepantasnya kau berlagak sakit parah lainnya, meskipun rencanamu berhasil, bukankah kau harus mengutungi kakimu sendiri?"

Gi Toa-keng memandang sebentar kakinya yang kutung, kemudian katanya, "Aku sudah lama berniat memotong kakiku sendiri, jadi entah rencana ini berhasil atau tidak hasilnya sama saja."

"Mengapa?"

"Karena sekalipun rencana ini berhasil, aku pun tak ingin ada orang menaruh curiga terhadap diriku," kata Gi Toa-keng pelan-pelan.

Ting Hun-pin seakan ikut menyesal, "Kau memang tega, terhadap diri sendiri pun tega!" "Sebenarnya aku bukanlah manusia macam itu."

"O."

"Mungkin watakku licik, aku bertekad menjadi Kuncu sejati, ada kalanya aku harus berpura- pura."

Setelah menghela napas Ting Hun-pin berkata, "Seandainya perbuatanmu selalu begitu, tentu semua orang mengatakan kau seorang Kuncu sejati, sayang kau telah berubah." Sekilas perasaan sedih dan menderita menghiasi wajah Gi Toa-keng, sahutnya, "Benar, aku memang telah berubah."

"Apakah ada orang yang memaksamu?"

Gi Toa-keng tidak menjawab, namun wajahnya kembali mengunjuk penderitaan yang hebat. "Sekarang kau telah bicara jujur, tak ada salahnya kau kemukakan juga rahasiamu," ucap

orang asing itu.

"Aku telah bicara sejujurnya, bukan karena takut kepada Cianpwe." "O."

"Karena aku tahu Cianpwe bukanlah manusia buas yang kejam”. Agaknya dia kuatir orang menganggapnya sedang mengumpak, menjilat pantat, maka segera katanya lagi, "Aku merasa sudah sepantasnya kulakukan hal ini."

Tiada orang bicara, semua mendengarkan.

"Sembilan belas tahun lalu, ketika kulakukan pengeroyokan terhadap Pek Thian-ih, aku tahu perbuatanku itu kurang gagah, kurang berjiwa ksatria, tapi jika hal itu terjadi sekarang aku pun tetap akan melakukan perbuatan itu."

Apa yang diucapkan persis seperti apa yang dikatakan Si Bu.

"Sebab Pek Thian-ih terlalu mendesak diriku, bukan saja dia memaksaku bergabung dengan Sin-to-tong, bahkan memerintahkan diriku mempersembahkan semua harta kekayaan yang kumiliki untuk perkumpulan Sin-to-tong, dia jamin aku pasti akan termasyhur "

Wajahnya mengejang keras karena penderitaan, sambungnya "Sejak awal aku sudah menjadi salah seorang bonekanya, kendati termasyhur, lalu apa gunanya?"

Mendadak terdengar dengusan napas memburu memecah keheningan malam, rupanya Pho Ang-soat sudah berdiri dengan napas berat

"Pek Thian-ih bukan seorang Siau-jin yang tak tahu malu," sambung Gi Toa-keng, "dia seorang Enghiong, ilmu silatnya hebat, kegagahannya dikenal orang, tidak di bawah Siangkoan Kim-hong."

Dengus napas Pho Ang-soat semakin memburu.

"Cara kerjanya tidak sekejam dan sebuas Siangkoan Kim-hong, andaikata ada orang dalam kesulitan, dia pasti akan membantu, bahkan demi menolong orang, dia bersedia mengorbankan segalanya."

Orang asing itu menghela napas panjang, gumamnya, "Andaikata dia benar-benar berbuat demikian, mungkin kalian pun tak usah pergi membunuhnya."

Gi Toa-keng juga menghela napas, "Dia sukar diajak bergaul, apa yang telah menjadi keputusannya. asalkan dia menganggap benar, berarti apa yang akan dilakukan adalah benar."

Orang semacam ini tidak banyak jumlahnya.

"Dia selalu bertindak, mengambil keputusan dan melaksanakan sendiri. Jika sudah bekerja, ia tak peduli berhasil atau tidaknya, apa akibatnya, juga tak pernah memikirkan orang lain, hal ini merupakan kelebihannya."

Ting Hun-pin melirik sekejap ke arah Yap Kay, dilihatnya wajah pemuda itu mengunjuk rasa menderita.

"Orang yang berjasa besar, sudah tentu harus memiliki keberanian dan keputusan, meski aku membencinya, namun aku pun hormat kepadanya," lanjut Gi Toa-keng setelah termenung sejenak.

Perasaan ini memang tidak sukar untuk dipahami. "Tidak pernah kukatakan dia orang jahat, perbuatannya jahat, banyak orang pernah menerima jasa baiknya, tapi orang yang benar-benar dapat mendekatinya, justru orang yang paling menderita." Setelah menghela napas, lanjutnya, "Seseorang bila berhasil mendekatinya, orang itu bakal diperintah dan dikendalikan olehnya, harus tunduk seratus persen kepadanya, jika orang itu ingin bebas darinya, satu-satunya jalan adalah membunuhnya!"

"Apakah pembunuhnya adalah teman-temannya pula?" "Betul."

"Dia telah melakukan banyak kesalahan," kata orang asing itu dengan dingin, "kesalahan terbesar yang dia lakukan adalah keliru memilih teman."

Pho Ang-soat memandang sekejap ke arahnya, matanya memancarkan rasa terima kasih. Orang asing itu kembali berkata, "Sekalipun dia bertindak dan mengambil keputusan sendiri,

namun bagaimana pun juga dia tetap menganggap kalian sebagai teman, dia tak pernah

menyalahi teman sendiri."

Entah temanmu itu baik atau jelek, asal dia adalah temanmu, maka kau tak boleh menyalahinya.

Gi Toa-keng menundukkan kepala, katanya pelan, "Memang apa yang kami lakukan itu belum tentu benar, tapi kami terpaksa."

"Jadi harus kalian bunuh?" "Benar."

Orang itu memandang jauh ke depan sana, kemudian pelan-pelan katanya, "Sewaktu muda dulu, aku pun beranggapan ada banyak persoalan yang harus dilakukan, tapi kemudian pelan- pelan aku menyadari, sesungguhnya di dunia ini tiada perbuatan yang harus dilakukan,, persoalannya adalah bagaimana jalan cara kita memandangnya."

Pelan-pelan Pho Ang-soat menunduk.

"Asal kau dapat bersabar, maka ada banyak persoalan yang dapat kau kerjakan," ucap orang asing itu. Wajahnya berubah serius, "Setiap persoalan harus dilihat dari banyak sudut pandang."

"Tapi. "

Belum habis Gi Toa-keng berkata, orang asing itu kembali menukas, "Kalian ingin membunuh Pek Thian-ih, karena dia tak mau memikirkan orang lain, tapi apa yang kalian lakukan, bukankah sama?"

"Mungkin kesalahan itu memang berada di pihak kami," ucap Gi Toa-keng dengan nada sedih. "Aku kan tidak menyalahkan kalian, siapa benar siapa salah dalam peristiwa ini tak akan bisa

ditentukan oleh siapa pun."

"Oleh karena itu aku lebih suka mengorbankan sebuah kakiku, daripada dendam kesumat ini berlangsung terus?"

Ia nampak sangat menderita, sambungnya, "Dari sekian banyak orang yang ikut mengeroyok di Bwe-hoa-am tempo hari, yang bisa kembali dengan selamat hanya tujuh-delapan orang. Rasanya mereka pun senasib dengan diriku, melewatkan sisa hidupnya dalam penderitaan!"

Bila seseorang harus hidup dalam suasana takut dan curiga, penderitaan ini benar-benar sukar dilukiskan dengan kata-kata.

Kata Gi Toa-keng, "Waktu itu salju turun amat deras, permukaan tanah penuh dilapisi salju, setelah pertarungan selesai, segenap permukaan tanah yang putih telah berubah menjadi merah karena darah." Wajahnya mengejang keras, "Orang yang tidak menyaksikan tak mungkin bisa membayangkan suasana tragis dan mengenaskan itu, aku tak ingin peristiwa semacam itu berlangsung lagi." "Mengapa kau tidak berpikir, siapakah yang menyebabkan terjadinya pertempuran berdarah itu?" tiba-tiba Yap Kay menyela.

Wajah Gi Toa-keng pucat mengenaskan.

"Aku hanya tahu darah telah berceceran di permukaan salju, bukan hanya darah keluarga Pek saja, juga darah orang lain."

"Oleh karena itu kau beranggapan bahwa dendam kesumat ini sudah seharusnya diakhiri pula dengan pertempuran berdarah."

"Sekalipun kami merasa malu terhadap Pek Thian-ih, namun pengorbanan yang kami bayar kurasa sudah lebih dari cukup."

Orang yang sudah mati memang telah membayar pengorbanan mereka, tapi bagaimana dengan mereka yang masih hidup?

Gi Toa-keng tidak menjawab, tak mampu untuk menjawab. "Maksudku dendam kesumat ini harus diselesaikan secara adil, bila mereka yang masih hidup menganggap yang mati telah membayar pengorbanan untuk mereka, maka pendapat semacam ini jelas salah besar." Setelah berhenti sebentar, "Bila kau yang berhutang, maka kau sendirilah yang harus membayar."

Gi Toa-keng memandang wajah Yap Kay, seakan-akan baru pertama kali ini ia melihat orang ... seakan belum pernah melihat orang.

Sikap Yap Kay memang selalu mengunjuk ketenangan, walau sedang menghadapi mara bahaya, tak pernah dia mengunjuk rasa gugup, kaget, panik maupun ketakutan.

Sejak dia terjun ke dunia Kangouw, sudah beginilah sifatnya. Keadaan semacam ini boleh dibilang persis keadaan Pho Ang-soat ...Pho Ang-soat pun begitu.

Jelas dia telah mengalami tempaan dan latihan yang berat. Masa lalu juga sama, merupakan kabut kekosongan. Tak pernah ada orang tahu asalnya? Apa yang telah dia lakukan? Karena asal- usulnya begitu rahasia, dia muncul untuk suatu tujuan yang sangat menakutkan.

Bagaimana dengan Yap Kay?

Apakah Yap Kay pun mempunyai suatu tujuan pula?

Benarkan di antara mereka berdua mempunyai hubungan yang amat rahasia dan misterius?

Gi Toa-keng mengamati wajah Yap Kay lama sekali, kemudian baru berkata, "Sebenarnya siapakah kau?"

"Kau seharusnya tahu siapa aku," jawab Yap Kay. "Kau she Yap bernama Kay?"

Yap Kay manggut-manggut.

"Yap berarti daun, Kay berarti buka!" "Kau benar-benar adalah Yap Kay?"

"Kau anggap siapa aku?" ujar Yap Kay tersenyum.

Tiba-tiba Gi Toa-keng menghela napas panjang, "Aku tidak peduli siapa kau, aku hanya berharap kau sudi memahami satu hal."

"Aku sedang mendengarkan."

Gi Toa-keng memandang sekejap kakinya yang kutung, "Hutangku tak ingin orang lain membayarkan, perbuatan salah yang kulakukan juga sudah kubayar dengan harga mahal, bila kau anggap semua ini masih kurang, aku akan menunggu di sini dan setiap saat kau boleh membunuh aku."

"Harusnya kau katakan kepada Pho Ang-soat, bukan kepadaku." "Kukira sama saja, sebab apa yang kukatakan adalah sejujurnya." Kemudian ia memejamkan mata dan tidak bicara lagi.

Orang asing itu memandang sekejap ke arah Yap Kay, kemudian memandang pula ke arah Pho Ang-soat, katanya, "Apa yang dia ucapkan memang sejujurnya."

Tiada orang buka suara, juga tiada orang bermaksud menyangkal.

Akhirnya sorot matanya berhenti pada wajah Pho Ang-soat, katanya pula, "Aku mengajaknya datang tujuan agar dia mau bicara sejujurnya, bukan bermaksud agar kau bunuh dirinya."

Pho Ang-soat tidak berkata apa-apa, dia hanya mendengarkan, tampaknya dia jauh lebih menderita daripada Gi Toa-keng.

"Sekarang dia telah mengungkap semua persoalan dengan sejujurnya, si.ij a yang benar dan yang salah tak seorang pun berhak memutuskan."

Apakah Pho Ang-soat sendiri tidak berhak mengambil keputusan?

Kembali orang asing itu berkata, "Dia memang berhutang kepadamu, maka bila kau anggap apa yang dibayar masih kurang, setiap saat kau boleh pergi membunuhnya, kini tak mungkin ia melawan."

0oo0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar