Peristiwa Merah Salju Jilid 09

Jilid 9

BAB 25. PEDANG YANG MENGGETARKAN

Hujan belum lama turun, tidak semestinya cuaca begini panas.

Keringat berketes-ketes membasahi jidat, lalu mengalir membasahi leher, terus mengalir turun membasahi pakaian yang memang sudah kuyup.

Kadal yang berwarna gelap tengah mencari makan di tengah-tengah tumpukan pasir, seolah- olah ingin mencari suatu tempat yang nyaman untuk berteduh.

Rumput yang baru saja basah oleh air hujan, kini kering-kerontang pula oleh terik matahari.

Sampai pun hembusan angin pun terasa membara

Hembusan angin yang datang dari padang rumput, terasa laksana deru napas setan iblis yang tersiksa di neraka.

0oo0 Hanya di dalam rumah, hawa rada nyaman dan dingin.

Di atas meja panjang lebar tiga kaki, banyak bertumpuk-tumpuk berbagai warna corak kain sutra, tidak kurang banyaknya pula mode pakaian yang sudah jadi.

Yap Kay duduk di sebuah kursi rotan di pinggiran sana, kedua kakinya terjulur panjang, dengan bermalas-malasan dia mengawasi Ting Hun-pin memilih kain dan pakaian. Dua orang pelayan toko, seorang yang berusia lebih tua berdiri di samping dengan meluruskan kedua tangannya.

Seorang lagi yang lebih muda mencari kesempatan mengeluyur keluar melihat keramaian.

Agaknya cukup lama mereka bekerja dalam bidang ini, mereka cukup mengerti di kala perempuan sedang memilih pakaian, lebih baik laki-laki menyingkir dan jangan banyak komentar dari pinggiran.

Akhirnya Ting Hun-pin memilih seperangkat pakaian warna hijau pupus, setelah diukur dan kira-kira pas dengan potongan badannya, lalu diletakkan pula, katanya menghela napas, "Tak nyana koleksi barang di sini ternyata banyak ragamnya."

"Orang lain merasa barang-barang di sini terlalu sedikit untuk dipilih, memangnya kau malah merasa kebanyakan?" tanya Yap Kay.

Ting Hun-pin manggut-manggut, katanya, "Semakin banyak barang, semakin sulit aku menentukan pilihanku, jika hanya beberapa potong saja, mungkin seluruhnya sudah kuborong."

"Kau bicara jujur dalam hal ini," ujar Yap Kay.

Pelayan tua itu berkata dengan tertawa, "Soalnya nyonya muda dari Ban-be-tong dan putrinya sering berbelanja di sini, terpaksa toko kami harus menyediakan banyak koleksi dengan mode yang mutakhir, sungguh harus dimaafkan."

Tak tahan Ting Hun-pin tertawa, katanya, "Kau tidak perlu minta maaf segala, kan bukan salahmu."

"Tapi pembeli selamanya selalu benar," sahut pelayan tua, "kalau nona merasa persediaan barang toko kami terlalu banyak, itu adalah kesalahan toko kami."

"Agaknya kau memang pandai berdagang, terpaksa aku tidak bisa tidak harus membelinya," ujar Ting Hun-pin.

Pelayan muda yang berdiri di depan pintu, tiba-tiba melangkah masuk seraya menghela napas panjang, "Tak terduga, sungguh tak terduga...”

Ting Hun-pin mengerut kening, tanyanya, "Kau tidak mengira bila aku bakal membeli?" Pelayan muda itu tertegun, dengan tersipu-sipu dia bersoja dan menjawab dengan tawa dibuat- buat, "Mana hamba berani punya dugaan demikian!"

"Memangnya apa maksudmu dengan tidak menduga?"

"Hamba hanya tak menduga Be-toasiocia ternyata sudi menggosok punggung orang yang sedang mandi."

"Be-toasiocia?"

"Ya, putri tunggal dan kesayangan Ban-be-tong Sam-lopan." "Apakah nona yang berpakaian merah itu?"

"Sam-lopan hanya mempunyai seorang putri kesayangan saja." "Dia sedang menggosok punggung siapa?"

"Yaitu tuan yang sedang mandi di tengah jalan raya itu."

Berputar biji mata Ting Hun-pin, segera dia berpaling ke arah Yap Kay.

Mata Yap Kay merem-melek memicing, agaknya mengantuk. "Hai, kau sudah mendengar belum?" tanya Ting Hun-pin.

"Ehm."

"Apa maksud ehm itu?"

Yap Kay menggeliat, katanya, "Kalau laki-laki menggosok punggung perempuan, tak usah kau banyak komentar, aku sudah lari keluar melihatnya, perempuan menggosok punggung laki-laki kan sudah jamak dan tidak perlu dibuat heran, apanya yang enak dilihat."

Ting Hun-pin menatapnya sekian lama, akhirnya dia tertawa cekikikan.

Pelayan muda itu tiba-tiba menghela napas pula, katanya, "Hamba sih mengerti apa maksud nona Be yang sebenarnya."

"Oh, kau tahu apa?" tanya Ting Hun-pin.

"Bahwa nona Be sudi merendahkan derajat dan menderita malu, lantaran demi Sam-lopan." "Oh, demi ayahnya."

"Karena si timpang itu adalah musuh besar Sam-lopan, nona Be kuatir usia Sam-lopan yang sudah lanjut, mungkin bukan tandingan orang."

"Oleh karena itu dia terima merendahkan derajat serta menanggung malu, maksudnya supaya Lok Siau-ka mewakilkan dia membunuh si timpang itu."

Pelayan muda manggut-manggut, katanya sambil menghela napas, "Dia memang putri yang berbakti."

Ting Hun-pin tiba-tiba tertawa dingin, katanya, "Mungkin memang dia suka menggosok punggung laki-laki."

Pelayan itu melengak ingin bicara lagi, tapi pelayan yang lebih tua lekas memberi kedipan, segera ia batal bicara dan mundur.

Tatkala itu terdengarlah derap kaki kuda di luar sana. Derap kaki kuda yang riuh dan kacau.

Agaknya tidak sedikit penunggang kuda yang mendatangi.

Kata Ting Hun-pin sambil mengerling, "Coba kau keluar, lihat siapa saja yang datang."

Meski pelayan muda itu rada penasaran, tapi dia keluar juga dengan kepala menunduk. Tak lama kemudian dia sudah masuk dan memberi laporan, "Yang datang adalah tukang-tukang kuda dari Ban-be-tong."

"Berapa banyak yang datang?" "Sekitar empat-lima puluh orang."

Ting Hun-pin menepekur sebentar, dengan tajam dia melirik ke arah Yap Kay, katanya, "Apakah mereka datang hendak melihat keramaian?"

Yap Kay menggeliat lagi, sahutnya, "Itu tergantung mereka itu orang-orang goblok atau orang- orang pintar."

"Jika mereka kemari hendak membantu, maksudmu mereka adalah orang-orang goblok?" "Ya, seratus persen orang goblok!" ujar Yap Kay tertawa, lalu sambungnya, "keramaian

sebagus ini, hanya orang goblok pula yang menyia-nyiakan tontonan sebaik ini."

Ting Hun-pin tertawa, tanyanya, "Apakah kau ingin benar menunggu untuk menonton?

Sebetulnya golok Pho Ang-soat lebih cepat atau pedang Lok Siau-ka lebih cepat?" "Umpama aku harus menunggu tiga hari, aku pun dengan senang akan menunggu." "Oleh karena itu kau bukan orang bodoh."

"Sudah tentu bukan."

0oo0

Waktu itu sudah terdengar berbagai suara berpadu di jalan raya sana, ada suara orang batuk, ada suara orang berbisik-bisik, ada yang tertawa, tapi kebanyakan adalah suara helaan napas yang heran dan gegetun serta gemas.

Melihat putri juragan mereka, Be-toasiocia, sedang menjadi babu menggosok punggung laki- laki yang tidak dikenalnya, sudah tentu banyak orang heran, kaget dan merasa penasaran.

Tapi jelas tiada orang yang berani mencampuri urusan ini. Orang goblok di dunia ini memang tidak banyak.

Sekonyong-konyong segala suara sirap, semuanya berhenti, seolah-olah angin pun menjadi beku dan berhenti berhembus.

Kedua pelayan toko itu juga merasakan suatu tekanan suasana yang mendadak seperti menyesakkan napas, mencekam sanubarinya.

Biji mata Ting Hun-pin mendadak memancarkan sinar terang, gumamnya, "Sudah datang, akhirnya datang "

0oo0

Tiada orang bergerak, tiada suara apa pun.

Setiap orang yang hadir merasakan suatu tekanan yang tak terlawan begitu berat tindihan tekanan ini sampai bernapas pun sesak. "Datang, sudah datang, akhirnya datang "

Mentari nan terik, angin yang panas. Angin menghembus dari padang rumput.

Lumpur becek dan genangan air di jalan raya sudah kering. Perlahan¬lahan, dia melangkah melewati jalan yang semula becek ini. Kaki kiri melangkah setapak, kaki kanan lalu diseret ke muka dengan kaku Walau perlahan-lahan jalannya, tapi tidak pernah berhenti.

Setiap pasang mata tengah mengawasinya, sinar mentari pun sedang menerangi mukanya. Kelihatan mukanya pucat-pias, memutih sampai seperti tembus cahaya dan mengkilap, mirip benar dengan puncak gunung salju yang tidak pernah lumer.

Tapi sorot matanya seolah-olah sudah menyala. Matanya sedang melotot mengawasi Be Hong- ling.

0oo0

Tangan Be Hong-ling sudah berhenti, handuk basah di tangannya meneteskan air. Setetes, dua tetes .... Alam semesta ini seolah-olah hanya ketinggalan suara tetesan air ini. Namun darah justru sedang bertetesan dalam relung hatinya. Setetes, dua tetes Duka, sedih dan perih, malu dan

kemarahan akhirnya membakar dendamnya.

Pandangan Pho Ang-siat seperti sedang bertanya, "Kenapa kau belum pergi juga? Kenapa masih tinggal di sini?"

"Aku tidak mau pergi karena aku ingin melihat dia mampus di hadapanku."

Hatinya sedang meronta-ronta, sedang menjerit, tapi roman mukanya tidak menampilkan perubahan apa-apa. Rona muka Be Hong-ling seolah-olah sudah membeku dingin pula.

Kini pandangan Pho Ang-soat menatap ke muka Lok Siau-ka, sebaliknya Lok Siau-ka melirik pun tidak, dia malah melambaikan tangan kepada Ting-losu dan Oh-ciangkui. Terpaksa mereka maju menghampiri.

"Kalian ingin aku membunuh orang ini?" tanya Lok Siau-ka.

Ting-losu ragu-ragu, setelah melirik ke arah Oh-ciangkui, akhirnya keduanya manggut- manggut.

"Apa benar kalian ingin aku membunuhnya?" "Sudah tentu," sahut Ting-losu.

Lok Siau-ka tiba-tiba tertawa, ujarnya, "Baik, aku pasti membunuhnya untuk kalian." Diulurnya sebelah tangannya, pelan-pelan dia jemput pedang di atas rak.

Jari-jari Pho Ang-soat yang memegang golok seketika kencang.

Lok Siau-ka tetap tidak mengawasinya, tetapi menatap pedang di tangannya, katanya kalem, "Tugas yang pernah kujanjikan pasti akan ku laksanakan."

"Sudah tentu, kau memang selalu menepati janji." "Kau tidak kuatir?"

"Tidak, aku percaya!"

Lok Siau-ka menghela napas, ujarnya "Kalau kalian sudah lega., bolehlah mampus saja." Ting-losu mengerut kening, tanyanya, "Apa katamu?"

"Kataku, kalian boleh mampus saja."

Pedang di tangannya tiba-tiba terayun, bergerak amat lambat, pelan sekali, tapi tidak menabas atau menusuk ke arah siapa pun.

Mengawasi pedang orang yang sudah bergerak, kulit daging Ting-losu tiba-tiba berkerut-kerut seperti mengejang, disusul sekujur tubuhnya pun bergetar mengejang pula.

Semua orang heran mengawasi perubahan mukanya, tiada yang tahu apa sebenarnya yang telah terjadi? Tapi tubuh Ting-losu tiba-tiba roboh terkapar. Begitu dia roboh, darah segera muncrat bagai air mancur dari bawah perutnya. Baru sekarang semua orang melihat jelas, dari dalam gentong air itu tahu-tahu keluar sebilah pedang, ujung pedang masih berlepotan darah yang berketes-ketes.

Kiranya waktu Ting-losu memperhatikan pedang di tangan Lok Siau-ka yang bergerak perlahan- lahan itu, pedang di tangan kiri Lok Siau-ka tahu-tahu menusuk keluar dari dalam gentong air, telak sekali menembus perutnya.

Dalam waktu yang hampir sama, Oh-ciangkui pun ikut roboh, bedanya darah muncrat dari tenggorokannya. Kini pedang di tangan kanan Lok Siau-ka pun berlepotan darah, darah masih menetes. Begitu Oh-ciangkui melihat pedang yang menusuk keluar dari dalam gentong, pedang di tangan kanan Lok Siau-ka tiba-tiba berubah arah, bertambah cepat, laksana kilat menyambar, tahu-tahu tenggorokannya sudah berlubang, jiwanya pun melayang.

0oo0

Tiada orang bergerak, tak ada suara apa pun, sampai pun napas orang pun seperti sudah berhenti.

Mengawasi darah yang menetes di ujung pedangnya, Lok Siau-ka menghela napas, katanya, "Orang yang mempunyai tugas kerja seperti diriku, umpama sedang mandi pun harus selalu waspada dan menyiapkan apa yang perlu di dalam gentong mandi ini, sekarang tentunya kalian sudah mengerti semua."

"Tapi aku tidak mengerti," tiba-tiba Be Hong-ling berkata dengan suara serak "Kau tidak mengerti kenapa aku membunuh mereka?" tanya Lok Siau-ka.

Memang tiada orang yang mengerti. Sudah tentu Be Hong-ling juga tidak mengerti, katanya, "Orang yang harus kau bunuh bukan mereka saja bukan?"

Tiba-tiba Lok Siau-ka tertawa pula, kepalanya bergerak, sorot matanya akhirnya tertuju ke arah Pho Ang-soat "Kau tahu tidak?" tanyanya.

Sudah tentu Pho Ang-soat pun tidak tahu, tidak ada orang yang mengerti.

"Sebetulnya tujuan mereka sebenarnya bukan mengundangku kemari untuk membunuh kau," demikian Lok Siau-ka menjawab pertanyaannya sendiri.

"Bukan untuk membunuhku?"

"Mereka hanya ingin main bokong dan menyerang secara gelap kepadamu di saat kau berduel dengan aku."

Pho Ang-soat agaknya masih belum paham.

"Akal ini memang baik, karena peduli siapa pun yang bergebrak dengan aku, pasti dia tidak akan punya kemampuan untuk bersiaga dari bokongan orang lain, apalagi serangan gelap yang dilancarkan dari dalam gentong air ini."

"Dalam gentong air?" Pho Ang-soat menegas. "Kau tidak mengerti?" Lok Siau-ka menegas.

Pho Ang-soat tetap tidak mengerti, orang lain pun tiada yang tahu.

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara "Blang" yang keras sekali serasa bumi bergetar. Kiranya suara itu berkumandang dari dalam gentong kayu yang besar itu, disusul gentong itu mendadak bergetar retak dan pecah. Air muncrat kemana-mana, seiring dengan muncratnya air, tiba-tiba sesosok bayangan orang menerjang keluar dari bawah gentong air.

Cepat sekali gerakan orang ini, tapi gerakan pedang Lok Siau-ka lebih cepat lagi, dimana pedangnya berkelebat, suara jeritan menyayat hati berkumandang di tengah udara.

Sesudah air muncrat laksana cahaya perak yang ditimpa sinar matahari, kini disusul pula dengan hujan darah yang berceceran kemana-mana, seseorang tersungkur roboh dan terkapar tidak berkutik lagi, orang ini bukan lain adalah Kim-pwe-tho-liong Ting Kiu.

0oo0

Tiada suara, napas seperti berhenti semua.

Jeritan yang mengerikan seketika kelelap ditelan hembusan angin panas yang menghembus datang dari padang rumput.

Entah berapa lama berselang, Ting Hun-pin baru bersuara dengan menghela napas, "Gerakan pedang yang cepat sekali." Yap Kay manggut-manggut dia pun mengakui kecepatan sambaran pedang yang luar biasa ini. Siapa pun takkan bisa tidak mengakui, meski sebatang besi biasa bila sudah berada di tangan

Lok Siau-ka, ternyata berubah menjadi sebilah pedang yang sakti mandra guna.

"Sekarang mau tidak mau aku pun harus kagum kepadanya," ujar Ting Hun-pin. "O? Kenapa?"

"Walau belum tentu dia pintar, juga belum tentu manusia baik-baik, tapi dia memang pintar main pedang."

0oo0

Tetesan darah terakhir pun sudah berakhir.

Tatapan mata Lok Siau-ka baru beralih dari ujung pedangnya ke arah Pho Ang-soat, katanya tersenyum, "Sekarang kau sudah mengerti?"

Pho Ang-soat manggut-manggut, sudah tentu sekarang dia sudah tahu, setiap orang pun tahu.

Bagian bawah gentong air ini ternyata kosong, di dalamnya bersembunyi seseorang. Memang setelah gentong itu terisi air, siapa pun tiada yang tahu berapa dalam gentong air ini. Sudah tentu Lok Siau-ka pun tidak berdiri dengan tegak, oleh karena itu tiada orang menduga bahwa bagian bawah gentong air ini ternyata ada lapisannya. Oleh karena itu bila Kim-pwe-tho-liong Ting Kiu menimpukkan senjata rahasia dari bawah gentong air ini secara gelap, mimpi pun Pho Ang-soat tidak akan menduganya.

Kata Lok Siau-ka, "Sekarang tentunya kau sudah mengerti, aku mandi bukan lantaran ingin bersih saja, adalah orang sudi membayar lima ribu tahil perak kepadaku." Dia tertawa, lalu berkata lagi, "Demi lima ribu tahil perak ini, mungkin Yap Kay sendiri pun mau saja mandi air panas."

Yap Kay tersenyum.

Muka Pho Ang-soat sebaliknya tetap dingin dan pucat, di bawah terik matahari yang begitu panas, setetes keringat pun tidak kelihatan di wajahnya.

Kata Lok Siau-ka dengan suaranya yang kalem, "Akal ini aku sendiri pun merasa kagum juga, sayang sekali mereka toh tetap salah memperhitungkan satu hal."

"Hal apa?" tak tahan Pho Ang-soat bertanya "Mereka salah menilai diriku," sahut Lok Siau-ka. "Oh, salah menilaimu."

"Aku pernah membunuh orang, selanjutnya juga masih akan membunuh, aku pun suka uang, demi lima ribu tahil perak, sembarang waktu aku mau saja disuruh mandi." Sampai di sini dia tertawa lebar, katanya dengan suara tawar, "Tapi aku tidak suka dan tidak sudi diperalat orang lain, apalagi dianggap alat pembunuh."

Pho Ang-soat menghela napas panjang, sorot matanya yang membeku mulai lumer. Tiba-tiba dia merasa pemuda yang berdiri di hadapannya dengan badan basah kuyup ini paling tidak masih merupakan manusia.

Kata Lok Siau-ka lebih lanjut, "Jika aku ingin membunuh orang, selamanya aku suka turun tangan sendiri."

"Memang suatu kebiasaan yang baik." "Sebetulnya masih banyak lagi kebiasaanku." "O, kebiasaan apalagi?"

"Aku masih ada kebiasaan baik, yaitu selamanya aku tidak pernah menjilat lagi setiap perkataan yang pernah kuucapkan."

"O, lalu?" "Sekarang aku sudah terima pembayaran orang, aku pun sudah berjanji kepada mereka untuk membunuhmu."

"Aku sudah mendengarnya."

"Oleh karena itu aku tetap akan membunuhmu." "Tapi aku sebaliknya tidak ingin membunuhmu." "Kenapa?" tanya Lok Siau-ka.

"Karena biasanya aku tidak suka membunuh orang macam tampangmu," sahut Pho Ang-soat. "Aku termasuk orang macam apa?"

"Seorang jenaka yang menggelikan."

"Aku ini jenaka? Suka humor maksudmu?" tanya Lok Siau-ka keheranan. Banyak orang memakinya dengan kata-kata kotor yang tak enak didengar, tapi belum pernah ada orang yang mengatakan dirinya jenaka.

Kata Pho Ang-soat tawar, "Biasanya aku merasa orang yang mandi mengenakan celana, jauh lebih lucu daripada orang yang kentut menanggalkan celana."

Tak tahan Yap Kay tertawa, Ting hun-pin juga terpingkal-pingkal.

Laki-laki besar kalau mengenakan celana yang basah kuyup kelihatan memang amat lucu dan jenaka.

Tiba-tiba Lok Siau-ka juga tertawa, katanya tersenyum, "Lucu, lucu, sungguh tak pernah terpikir olehku orang ini ternyata lucu juga, biasanya aku paling suka orang sepertimu." Tiba-tiba dia menarik muka pula, katanya dingin, "Sayang sekali aku tetap akan membunuhmu."

"Sekarang juga kau akan membunuhku?" "Sekarang juga aku akan turun tangan."

"Dengan mengenakan celanamu yang basah itu?"

"Umpama tidak bercelana, aku tetap akan membunuhmu juga." "Bagus sekali."

"Apanya yang bagus?"

"Aku sendiri pun merasa sayang bila kesempatan ini disia-siakan." "Kesempatan apa?"

"Kesempatan untuk membunuhku."

"Hanya sekarang aku punya kesempatan untuk memunuhmu?" "Karena kau tahu sekarang aku takkan membunuhmu."

"Apa maksudmu?" tanya Lok Siau-ka bingung.

"Aku hanya memberitahukan kepadamu," ujar Lok Siau-ka, "Setiap perkataan yang pernah kuucapkan tidak pernah kujilat kembali."

Lok Siau-ka mengawasinya, roman mukanya menampilkan mimik yang aneh dan lucu. Sebaliknya raut muka Pho Ang-soat tidak menampilkan mimik perasaan hatinya.

Mendadak Lok Siau-ka tertawa. Di atas rak kayu terdapat sebuah kantong kulit yang tertindih di bawah pakaian Tiba-tiba dia ungkit pakaiannya dengan ujung pedang, lalu dari dalam kantong kulit itu dia keluarkan dua carik uang kertas. Selembar seharga sepuluh ribu tahil, selembar yang lain seharga lima ribu tahil. Kata Lok Siau-ka, "Meski orangnya belum kubunuh, tapi aku sudah telanjur mandi, maka lima ribu tahil ini aku terima, selaksa tahil ini kukembalikan kepadamu." Lembaran selaksa tahil itu dia lempar ke atas badan Ting-losu, mulutnya menggumam, "Maaf, setiap orang tak urung pernah ingkar janji, tentunya kalian takkan menyalahkan diriku."

Memang tiada orang menyalahkan dia, orang mati sudah tentu tidak akan bicara.

Kembali Lok Siau-ka mencungkit kantong kulitnya dengan ujung pedangnya terus tinggal pergi, berpaling pun tidak kepada Pho Ang-soat, melirik ke arah Be Hong-ling juga tidak.

Semua orang hanya mengawasinya dengan mendelong, tapi waktu dia berjalan tiba di depan Yap Kay, tiba-tiba dia menghentikan langkah.

Yap Kay masih tersenyum. Dari atas ke bawah, demikian bolak-balik dua kali dia mengawasi Yap Kay, tiba-tiba Lok Siau-ka tertawa, katanya, "Kau tahu kenapa aku sudi menerima lima ribu tahil perak ini?"

"Tidak tahu," sahut Yap Kay sambil menggeleng kepala.

"Nah, kuberikan kepadamu," ujar Lok Siau-ka mengangsurkan uangnya. "Berikan kepadaku? Kenapa kau berikan kepadaku?"

"Karena aku ingin memohon sesuatu kepadamu." "Memohon apa?"

"Supaya kau suka mandi, jika kau tetap tidak mau mandi, mungkin aku bisa kau bikin kelengar karena bau badanmu yang apek." Tanpa memberi kesempatan kepada Yap Kay bicara lagi segera dia melangkah lebar tinggal pergi.

Yap Kay mengawasi uang di tangannya, entah geli, dongkol atau senang.

Ting Hun-pin tak tahan ikut tertawa, katanya, "Bagaimana pun juga, hanya disuruh mandi lantas dibayar lima ribu tahil, sungguh kejatuhan rezeki nomplok "

Yap Kay sengaja menarik muka, katanya dingin, "Agaknya kau amat kagum kepadanya." "Tapi bukan dia yang paling kukagumi,"

"Kau sendiri orang yang paling kukagumi?" "Bukan aku tapi kau."

"Kau pun kagum kepadaku?"

Ting Hun-pin manggut-manggut, sahutnya, "Karena di dunia ini ternyata ada laki-laki yang mau membayar lima ribu tahil menyuruh orang mandi."

Yap Kay tak tertahan hendak tertawa, tapi dia tidak tertawa.

Karena pada saat itu pula, tiba-tiba dia mendengar orang menangis tergerung-gerung.

Yang memangis ternyata adalah Be Hong-ling. Sudah lama dia menahan diri, dia sudah menggunakan seluruh kekuatannya yang paling besar untuk mengendalikan emosinya. Tapi dia tetap tak tahan untuk tidak menangis tergerung-gerung. Bukan saja sedih dan pilu, hatinya pun dongkol dan marah.

Karena dia merasa orang yang menghina dan merusak namanya adalah dia sendiri pula, bahwasanya tiada orang lain yang menjebloskan dirinya.

Waktu dia mulai menangis, Pho Ang-soat kebetulan tengah beranjak maju, lewat sampingnya.

Tapi melirik pun dia tidak kepada Be Hong-ling, sekilas kerlingan mata pun tidak, seperti pula waktu dia melewati mayat kim-pwe-tho-liong.

Tukang-tukang kuda dari Ban-be-tong semua berdiri di emperan rumah, ada yang tertunduk kepalanya, ada yang sengaja mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Sebetulnya mereka pun laki-laki pejuang yang ludah kenyang mengalami pahit getir kehidupan, tapi sekarang dengan mendelong mereka hanya mengawasi saja putri tunggal junjungan mereka dihina dan disapu habis pamornya, ternyata semuanya pura-pura tidak melihat.

Tiba-tiba Be Hong-ling menerjang ke sana, dia tuding Pho Ang-soat, serunya dengan suara serak, "Kalian tahu siapa dia? Dia adalah musuh besar pangcu kalian, yaitu pembunuh yang membunuh kawan-kawan kalian, dia sengaja hendak menghancurkan Ban-be-tong, kalian hanya berpeluk tangan menjadi penonton saja."

Tetap tiada orang yang bersuara, tidak ada orang yang mengawasi dirinya. Sorot mata semua orang tengah mengawasi seorang laki-laki pertengahan umur yang bermuka ambang-bauk.

Biasanya mereka memanggil orang ini sebagai Kiau-lotoa, karena dialah tukang kuda yang tertua dan berkuasa di antara mereka di dalam Ban-be-tong.

Selama hidupnya, boleh dikata dia melewatkan hidupnya di dalam Ban-be-tong, dia sudah mempertaruhkan masa remajanya dari kehidupan yang paling berharga di dalam Ban-be-tong secara sia-sia. Kini kedua kakinya sudah bengkok, sudah cacad karena bertahun-tahun hidup di punggung kuda, demikian pula punggungnya sudah bungkuk, sepasang matanya yang semula tajam bersinar dan berwibawa kini sudah guram, merah berair karena terlalu banyak menghabiskan air kata-kata.

Di kala dia tidur di atas papan kayu yang dingin dan keras sambil mengelus-elus bekas luka dan daging kapalan di kaki dan pahanya, pernah juga terpikir olehnya untuk mencari hidup dengan jalan lain ke tempat yang jauh. Tapi tiada suatu tempat untuknya pergi, karena akarnya hakikatnya sudah tumbuh dan kokoh di dalam Ban-be-tong.

Pertama kali Be Hong-ling duduk di punggung kuda, juga dialah yang menggendongnya, kini dia tengah menatap orang tua yang sudah loyo ini, katanya keras, "Kiau-lotoa, hanya kau seorang yang paling lama ikut ayahku, kenapa kau pun tidak bersuara?"

Sorot mata Kiau-lotoa memancarkan rasa duka dan lara, tapi sedapat mungkin dia mengendalikan emosinya, lama juga baru dia bisa menghela napas, katanya pelan, "Aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi "

"Kenapa?"

Kiau-lotoa mengepal tinju, katanya mendesis dengan mengertak gigi, "Karena sekarang kau sudah bukan orang Ban-be-tong."

"Siapa yang bilang?" desak Be Hong-ling tercengang. "Sam-lopan yang mengatakan," sahut Kiau-lotoa.

Be Hong-ling menjublek.

"Dia beri kita semua setiap orang seekor kuda, tiga ratus tahil perak, menyuruh kita bubar." Jari-jarinya mengepal semakin kencang, giginya pun mengertak berkeriutan, suaranya serak gemetar, "Demi Ban-be-tong, kita menjual jiwa seumur hidup, tapi kalau Sam-lopan bilang kita harus bubar, maka kita segera berangkat dan pergi."

Dengan terkesima Be Hong-ling mengawasinya, pelan-pelan kakinya menyurut mundur. Tiada yang bisa dia katakan lagi.

Selama ini Yap Kay hanya pasang kuping mendengarkan dengan cermat, sampai di sini mendadak dia menjerit, "Celaka!"

"Apanya yang celaka?" tanya Ting Hun-pin.

Yap Kay geleng-geleng kepala, belum lagi dia berbicara, mendadak di kejauhan dilihatnya asap tebal bergulung-gulung menjulang tinggi di angkasa. Dimana biasanya bendera dari sutra putih Ban-be-tong berkibar.

0oo0

Jago merah berkobar-kobar mengeluarkan asap hitam yang tebal. Waktu Yap Kay dan lain-lain memburu ke sana, Ban-be-tong sudah menjadi lautan api.

Memangnya semua serba kering, begitu api berkobar, segalanya tak bisa diatasi lagi. Apalagi di antara kobaran api itu terendus juga bau minyak tanah, lebih celaka karena ada dua tiga puluhan tempat yang berkobar bersama, begitu api menjilat dari satu tempat ke lain tempat dengan bantuan angin padang rumput, seluruh Ban-be-tong sudah ditelan kobaran si jago merah.

Rombongan kuda meringkik dan berlari kian kemari, saling terjang, sungsang-sumbel, injak menginjak, semua ingin menerjang keluar dari kepungan api. Memang tidak sedikit yang berhasil menerjang keluar dan berlari ke empat penjuru, tapi kebanyakan terkepung mati hangus. Bau asap membawa hawa sedap dari daging yang terpanggang dan hangus.

"Ban-be-tong sudah hancur, hancur-lebur bersama seluruhnya."

"Orang yang menghancurkan tempat ini adalah orang yang membangunnya pula."

Seolah-olah Yap Kay melihat Be Khong-cun berdiri di tengah-tengah kobaran api, tengah tertawa dingin kepadanya, "Tempat ini adalah milikku, tiada orang yang boleh merebutnya dari tanganku." Sekarang dia benar-benar melaksanakan janjinya, kini Ban-be-tong akan selamanya menjadi miliknya yang abadi.

Kalau kebakaran ini semakin besar, telapak tangan Yap Kay justru berkeringat dingin. Siapa pun takkan ada yang dapat menyelami isi hatinya, siapa pun tiada yang tahu apa yang terkandung dalam pikirannya?

Tiba-tiba Ting Hun-pin menghela napas, ujarnya, "Kalau tidak bisa diperoleh, terpaksa biar dihancurkan saja, apa yang dilakukan orang itu agaknya memang tidak salah." Mukanya merah oleh cahaya api, mendadak dia berteriak tertahan, "Aneh, kenapa di sana masih ada seorang bocah?"

0oo0

Langit menjadi merah membara oleh kobaran api yang menjulang tinggi ke angkasa, matahari tetap bercokol di angkasa raya ikut menyaksikan peristiwa bersejarah ini.

Entah sejak kapan angin mulai menghembus pula. Dimana api berkobar, di situ pasti ada angin.

Rumput-rumput tinggi di padang rumput di kejauhan sana tengah tergoyang-gontai terhembus angin, kobaran api tidak sampai di sini, pasir kuning bergulung-gulung terbawa pusaran angin puyuh, akhirnya lenyap ditelan kobaran api.

Ringkik kuda yang sekarat dan meregang jiwa masih terus terdengar, kedengarannya begitu seram dan siapa pun yang menyaksikan pasti bisa mual dan muntah-muntah.

Di bawah pancaran sinar matahari, di antara rumput-rumput tinggi yang menari turun naik itu, betul juga ada seorang bocah sedang berdiri mematung dan terlongong di sana.

Dia mengawasi kobaran api yang hampir menyentuh langit, seluruh rumah dan harta milik keluarganya disapu dan dilalap habis seluruhnya. Agaknya air matanya sudah ikut terbakar kering, seolah-olah dirinya sudah kaku dan pati rasa.

Siau-hou-cu.

Kiranya bocah ini adalah putra Be Khong-cun yang terkecil.

Tak tahan Yap Kay lekas memburu ke sana, katanya, "Kau ... kenapa kau masih di sini?"

Siau-hou cu tidak berpaling dan tidak bergerak, suaranya lirih menjawab, "Aku sedang menunggu kau."

"Menunggu aku?" Yap Kay melengak heran, "bagaimana kau bisa menunggu aku?" "Ayah menyuruh aku menunggu kau di sini, dia tahu kau pasti akan kemari."

"Lalu dimana ayahmu?" tanya Yap Kay. "Sudah pergi ... sudah pergi " sahut Siau-hou-cu, sampai sekarang baru raut mukanya

menampilkan rasa sedih dan pilu, seperti hampir menangis. Tapi ternyata dia mampu menahannya.

Tak tahan Yap Kay menarik tangannya, katanya, "Kapan dia pergi?" "Sudah pergi cukup lama?"

"Dia pergi seorang diri?" Siau hou-cu geleng-geleng. "Siapa pula yang ikut dia?" "Sam-ik."

"Sim Sam-nio?" teriak Yap Kay.

Siau-hou-cu manggut-manggut, ujung bibirnya gemetar, katanya serak hampir sesenggukan. "Dia pergi membawa Sam-ik, namun tidak mau membawa aku, dia ... dia " Belum habis kata-

katanya, akhirnya bocah ini pecah tangisnya dengan sedih. Betapapun usianya masih terlalu muda.

Yap Kay mengawasinya, tak tahu betapa perasaan hatinya sendiri, tak tahan Ting Hun-pin pun sedang menyeka air matanya secara diam-diam.

Tiba-tiba bocah itu menubruk ke dalam pelukan Yap Kay, katanya meratap dengan sesenggukan, "Ayah suruh aku menunggu kau di sini, katanya kau pernah berjanji kepadanya, pasti akan merawat dan mengasuhku dengan baik, masih ada lagi Ciciku benar tidak? Benar 

tidak?"

Bagaimana mungkin Yap Kay menjawab tidak?

Ting Hun-pin sudah menarik Siau-hou-cu, katanya lembut, "Aku tanggung dia pasti akan merawat dan mengasuhmu, kalau tidak, aku pun tidak akan mau kenal dia lagi."

Bocah ini mengangkat kepala mengawasinya sebentar, lalu menunduk, katanya, "Mana Ciciku?

Apakah kalian pun akan menjaganya baik-baik?"

Ting Hun-pin tidak bisa menjawab pertanyaan ini, dia hanya tersenyum getir.

Baru sekarang Yap Kay sadar, entah Be Hong-ling sekarang kemana? Kemana pula Pho Ang- soat?

0oo0

Lewat lohor, mentari sudah doyong ke arah barat. Kobaran api di padang rumput tetap menyala, tapi jauh lebih lemah. Angin barat laut menghembus dengan kencang, cuaca sudah mulai berganti.

Koan-tang-ban-be-tong yang sudah malang melintang dan bersimaha-raja bertahun-tahun kini sudah dibumi-hanguskan rata dengan bumi, tinggal puing-puingnya saja. Be Khong-cun yang membangun usaha besar dengan kedua tangannya, kini entah berada dimana?

Siapa sih yang mengakibatkan semua ini terjadi? Dendam kesumat!

Ada kalanya kekuatan cinta pun takkan unggul melawan dendam yang membara!

0oo0

Dalam benak Pho Ang-soat dilembari dendam kesumat. Tapi sekaligus dia pun membenci awak sendiri, mungkin yang paling dia benci adalah dirinya sendiri.

Jalan raya sepanjang ini tiada bayangan manusia, paling tidak dia tidak melihat manusia hidup.

Semua orang sudah memburu ke Ban-be-tong melihat kebakaran. Bukan saja kebakaran besar ini sudah menghancurkan juga kota kecil ini, meski secara tidak langsung, banyak orang bisa melihat dan mereka pun tahu, kota kecil ini cepat sekali bakal menjadi kering-kerontang seperti pula mayat Kim-pwe-tho-liong yang masih terkapar di jalan raya sana.

Seorang diri Pho Ang-soat beranjak di jalan raya ini, kaki kirinya melangkah dulu setapak, kaki kanan lalu pelan-pelan diseretnya ke depan. Langkahnya pelan-pelan, tapi tidak berhenti. Sebelum menemukan Ban-be-tong, dia tetap akan terus berjalan ke depan. 

"Mungkin aku harus mencari seekor kuda," di saat dia berpikir demikian, maka dilihatnya bayangan seseorang muncul dari gang sebelah muka sana. Seorang perempuan yang bertubuh ramping dan montok, tangannya menenteng sebuah buntalan yang besar.

Cui-long!

Tiba-tiba jantung Pho Ang-soat serasa ditusuk-tusuk sakitnya, karena dia sudah bertekad untuk melupakan dia. Sejak dia tahu orang selama bertahun-tahun ini bekerja demi Siau Piat-li, dia sudah berkeputusan untuk melupakannya. Tapi kenyataan dialah perempuan pertama yang pernah dinikmatinya selama hidupnya.

Agaknya Cui-long memang sudah menunggunya sejak tadi, dengan menundukkan kepala dia datang menghampiri, katanya lirih, "Kau hendak pergi?"

Pho Ang-soat manggut-manggut. "Mencari Ban-be-tong-cu?" tanya Cui-long.

Pho Ang-soat manggut-manggut lagi, sudah tentu dia harus menemukan Ban-be-tong-cu. "Memangnya kau hendak meninggalkan aku seorang diri di sini?"

Jantung Pho Ang-soat kembali sakit seperti ditusuk sembilu. Dia sudah tidak ingin bertemu dan melihatnya lagi, tapi tak tertahan akhirnya dia mengangkat kepala mengawasinya juga. Sekilas pandang sudah cukup. Cahaya matahari kebetulan menyinari mukanya, mukanya kelihatan pucat cantik, namun kurus.

Sorot matanya mengandung api asmara, seolah-olah sedang berkata kepada dirinya, "Kau tidak membawaku pergi, aku pun tidak berani minta kepadamu, tapi aku tetap ingin kau tahu, aku selamanya sudah menjadi milikmu."

Nafsu birahi yang menyala dan asyik-masyuk di tengah kegelapan, pelukan hangat laksana bara, bibir yang hangat basah dan manis wangi, dada yang montok padat serta kenyal dalam sekilas ini terbayang dalam kelopak matanya. Telapak tangannya mulai berkeringat dingin.

Kepalanya tertimpa sinar matahari, matahari yang terik serasa membakar rambutnya.

Semakin dalam kepala Cui-long tertunduk, rambut kepalanya yang lebat dan hitam legam terurai memanjang bertebaran ditiup angin. Tak tertahan pelan-pelan Pho Ang-soat mengulurkan tangan, menggenggam rambutnya. Rambut kepalanya hitam legam mirip warna goloknya.

Golok yang diwarnai hitam legam. Sarung goloknya hitam goloknya pun hitam.

Orang sering bilang warna hitam membawa firasat dan melambangkan malapetaka, ada pula yang bilang hitam melambangkan kematian. Bagaimana menurut pendapatmu?

0oo0

BAB 26. DENDAM SEDALAM LAUTAN

Matahari sudah terbenam, jalan raya ini tetap tak kelihatan bayangan orang.

Hanya di atas loteng kecil itu terlihat sinar pelita, seseorang mendorong terbuka daun jendela di atas loteng itu, dia mengawasi jalan raya panjang yang sunyi.

Dia tahu sebentar tabir malam akan datang dan menyelimuti alam semesta. 0oo0

Noda-noda darah sudah kering.

Hembusan angin menyingkap rambut kepala Kim-pwe-tho-liong.

Siau Piat-li memejamkan mata, pelan-pelan dia menghela napas, pelan-pelan pula dia menutup daun jendelanya.

Pelita di atas meja baru saja disulut. Dia duduk di bawah penerangan pelita tunggal yang guram ini, seperti pula pelita ini dia pun merasa sebatangkara di dunia ini.

Kenapa sementara orang harus sebatangkara? Kenapa begitu kesepian?

Sinar pelita menyoroti mukanya, kerut keriput pada kulit mukanya bertambah banyak, entah betapa derita? Betapa rahasia yang terkandung dalam keriput itu?

Dituangnya secangkir arak, pelan-pelan dia menenggak, seolah-olah sedang menunggu sesuatu. Tapi apa pula yang bisa dia nantikan? Segala apa yang baik di dalam kehidupan ini sudah berselang mengikuti perginya sang waktu, masa remajanya dulu, sekarang yang masih dia nantikan satu-satunya hanyalah kematian. Kematian yang kesepian, mati dengan merana, tapi ada kalanya bukankah kematian itu juga manis madu.

Malam semakin kelam. Tanpa berpaling melihat cuaca diluar jendela, hal ini sudah dia rasakan.

Cangkirnya sudah kosong, waktu dia hendak menuang arak ke dalam cangkirnya, tahu-tahu didengarnya suara yang berkumandang di bawah loteng. Suara dadu dimainkan, dikocok di dalam cawan. Tiba-tiba ujung mulutnya menampilkan senyuman pahit yang misterius, seolah-olah dia memang sudah menduga pasti akan mendengar suara ini. Maka diraihnya tongkat besinya, pelan- pelan dia beranjak ke bawah.

0oo0

Entah sejak kapan sebuah pelita sudah menyala di bawah loteng. Bayangan seseorang duduk di bawah pelita, dia tengah bermain sendiri dengan biji-biji dadunya, sorot matanya pun menampilkan senyuman getir dan misterius.

Yap Kay jarang tertawa seperti itu. Mengawasi dadu di atas meja, dia tidak berpaling untuk menyambut kedatangan Siau Piat-li. Sebaliknya Siau Piat-li mengawasinya dengan lekat, pelan- pelan duduk di hadapannya, katanya tiba-tiba, "Apa yang kau lihat?"

Lama Yap Kay termenung, baru dia menghela napas, katanya, "Apa pun aku tidak melihatnya." "Kenapa?"

"Karena sejak dimulai aku sudah salah."

Siau Piat-li pun menghela napas, katanya manggut-manggut, "Setiap orang pasti pernah bersalah!"

"Tidak pernah terpikir olehku bahwa Ban-be-tong-cu bakal minggat, sungguh tak pernah terpikir olehku."

"Semula aku pun mengira dia tidak akan pergi."

"Tapi dia lebih pintar dari apa yang pernah kita pikirkan, dia tahu siapa pun takkan menyia- nyiakan melihat duel antara Lok Siau-ka dengan Pho Ang-soat."

"Kalau dia ingin pergi, memang saat itulah kesempatan paling baik."

"Mungkin memang dia mencari kesempatan ini, maka dia mengundang Lok Siau-ka kemari." "O."

"Dia sengaja sudah mengatur tipu daya ini, sengaja dia membuat orang lain tahu, tujuannya tidak lain hanya supaya orang banyak tahu bahwa dia memang sengaja hendak membokong Pho Ang-soat, ingin membunuh Pho Ang-soat." Yap Kay menghela napas, katanya lebih lanjut, "Jika orang lain sedikit pun tidak menaruh curiga akan maksud tujuannya ini, sudah tentu orang tidak akan menduga bahwa dia memang sengaja hendak mencari kesempatan ini untuk melarikan diri."

Siau Piat-li ikut tertawa, katanya tawar, "Cirimu yang terbesar mungkin karena kau berpikir terlalu banyak." Setelah menghela napas, dia menyambung, "Menurut pendapatku seseorang sebetulnya lebih baik bila tidak berpikir terlalu banyak."

"Benar, memang lebih baik kalau tidak berpikiran terlalu banyak," ujar Yap Kay.

"Jika jalan pikiranmu cukup sederhana, mungkin kau akan sadar dan bisa menangkap maksudnya bahwa dia hanya mencari kesempatan untuk melarikan diri."

"Ya, benar."

"Kau tahu apa ciriku yang terbesar?" tanya Siau Piat-li menghela napas. Yap Kay geleng-geleng kepala.

"Ciriku pun karena berpikir terlalu banyak."

Yap Kay menatapnya, katanya, "Oleh karena itu kau pun tidak mengira dia akan pergi? Benar tidak?"

Siau Piat-li manggut-manggut.

Kembali terunjuk senyuman tajam dari sorot mata Yap Kay, katanya sepatah demi sepatah sambil menatapnya tajam, "Oleh karena itu maka kau mewakilkan dia pergi mengundang Lok Siau-ka kemari."

"Sejak kapan kau tahu akan hal ini?" tanya Siau Piat-li. Bukan saja sikapnya amat tenang, malah sedikit pun dia tidak mengingkari.

"Kau tidak menyangkal akan tuduhanku?"

"Buat apa menyangkal di hadapan orang seperti dirimu?" Siau Piat-li tertawa.

Yap Kay tertawa juga, namun tawanya tidak sewajar dan lantang seperti biasanya, seakan-akan dia merasa amat sayang terhadap orang yang satu ini.

Tawa Siau Piat-li semakin sedih dan memilukan, katanya kalem, "Mungkin sebetulnya kita termasuk orang satu jenis, cuma "

"Cuma jalan yang kita tempuh berlainan!" tukas Yap Kay. "Mungkin aku memang salah arah."

"Tapi kau sebetulnya tidak mirip dengan orang yang gampang salah menempuh jalan tujuanmu."

"Hanya satu macam sebab menempuh jalan benar, tapi salah menempuh ke jalan sesat terlalu banyak ragamnya tujuanmu."

"O."

"Setiap orang yang salah menempuh jalan tujuannya, semua mempunyai sebab dan alasan sendiri-sendiri."

"Lalu apa alasan dan sebab-musababmu?"

"Jalan yang kutempuh ini mungkin bukan pilihanku sendiri." Sorot matanya memancarkan duka dan lara yang menekan perasaannya, seolah-olah sedang mengawasi tempat nan jauh, lama juga baru dia melanjutkan dengan pelan-pelan, "Mungkin ada orang begitu dilahirkan sudah diharuskan untuk menempuh ke arah jalan yang satu ini, oleh karena itu hakikatnya tidak ada peluang baginya untuk memilih ke arah jalan yang lain."

Yap Kay sedang mendengarkan. Dia sudah merasakan bahwa Siau Piat-li sudah bersiap memuntahkan banyak persoalan yang tidak seharusnya dia bicarakan dengan orang lain. Berselang agak lama baru Siau Piat-li menyambung, "Tentunya kau pun sudah menduga bahwa sebetulnya aku bukan she Siau."

Yap Kay mengakui.

"She dan nama seseorang juga atas pilihannya sendiri, bahwasanya dia sendiri tidak diberi peluang untuk memilih namanya sendiri."

Yap Kay sependapat dengan apa yang dikatakan ini.

"Kalau begitu dilahirkan kau she Ong, peduli kau mau tahu tidak, selama hidupmu kau harus tetap she Ong."

"Aku mengerti akan makna kata-katamu ini, tapi apa maksudmu mengemukakan hal ini, aku tidak paham."

"Maksudmu mau bilang, kita sebetulnya termasuk orang yang sama, tapi jalan yang ditempuh berlainan, tidak lain karena nasibmu lebih beruntung dari aku." Seperti ragu-ragu, akhirnya dia bertekad, katanya sepatah demi sepatah, "Karena kau bukan she Sebun."

"Sebun? Sebun Jun?"

"Apa kau sudah menduga sejak lama?" Siau Piat-li tertawa getir.

"Waktu aku melihat nenek tua palsu, yang akhirnya mati di dalam toko Li Ma-hou baru aku menyadari."

"O."

"Waktu itu baru teringat olehku, aku hanya memanggil sekali Sebun Jun, dia lantas berpaling muka, tapi tidak mengawasi aku, sebaliknya mengawasi kau."

"Ya, waktu itu memang begitu kejadiannya."

"Dia berpaling karena dia merasa heran dan melengak, kenapa aku mendadak bisa memanggil namamu."

"Oleh karena itu baru kau mengira bahwa dia adalah Sebun Jun." "Setiap orang pernah berbuat salah."

"Apalagi dia pun tidak menyangkal."

"Di hadapanmu masakah berani menyangkal?"

"Waktu itu kau masih mengira Li Ma-hou adalah Toh-popo."

Yap Kay tertawa gertir, katanya, "Sampai sekarang aku masih tidak habis pikir, dimanakah sebetulnya Toh-popo menyembunyikan diri."

"Selamanya kau tidak akan menemukan dia." "Kenapa?"

"Karena siapa pun takkan menduga Toh-popo hakikatnya adalah satu orang dengan Sebun Jun."

Baru sekarang Yap Kay benar-benar terkejut, serunya berjingkrak bangun, "Satu orang yang sama?"

"Jangan lupa kepandaian tata rias memangnya merupakan keahlian bagi keluarga Sebun."

Yap Kay menghirup napas panjang, katanya dengan tertawa getir, "Sungguh aku tidak pernah menduganya!" Dua kali dia melirik ke arah Siau Piat-li, "Sampai sekarang aku masih bingung cara bagaimana kau bisa menyamar jadi seorang nenek."

"Jika bisa melihatnya, aku bukan lagi Sebun Jun." "Tak heran orang-orang Kangouw bilang hanya Sebun Jun adalah murid penutup Jian-bin-jin satu-satunya yang mewarisi kepandaiannya."

"Bukan murid penutup." "Lalu apa?"

"Aku adalah putranya."

"Jadi ayahmu adalah Jian-bin-jin?"

Terpancar senyuman sedih dan hambar pada sorot mata Siau Piat-li, katanya pelan-pelan, "Sampai aku sendiri pun tidak tahu apakah ini merupakan keberuntunganku? Atau sebal?"

Yap Kay diam saja, tidak sembarang orang bisa menjawab pertanyaan ini.

"Siapa pun tidak bisa tidak harus mengakui, ayahku almarhum adalah salah seorang jenius dalam Bu-lim, betapa luas, besar dan hebat ilmu silatnya, sampai sekarang belum ada orang yang bisa membandinginya." Yap Kay sendiri pun tidak bisa tidak harus mengakui "Selama hidupnya, tiba-tiba laki-laki, lain saat sudah perempuan, kadang-kadang lurus tiba-tiba sesat, ada orang yang menganugrahi Jian-bin-jin-mo, ada pula yang menjulukinya Jian-bin-jin-sin, tiada orang tahu bagaimana sebenarnya dia itu."

"Dan kau?" tanya Yap Kay.

"Aku pun tidak tahu," ujar Siau Piat-li menghela napas. "Aku hanya tahu meski dia turunkan seluruh kepandaian silat yang dia pelajari selama hidupnya kepadaku, tapi beliau juga meninggalkan beban kepadaku!"

"Beban apa?"

"Dendam kesumat!" kedua patah kata ini dia ucapkan dengan lamban, seolah-olah baru bisa dia ucapkan setelah mengerahkan setaker tenaganya.

Yap Kay cukup paham akan perasaan hatinya, mungkin tiada orang lain yang lebih mengerti dibanding dirinya, betapa berat orang memikul dendam kesumat!

"Sampai sekarang," Siau Piat-li melanjutkan, "orang Kangouw tiada yang tahu sebetulnya dia masih hidup atau mati, ada orang bilang dia sudah menyebrang ke lautan timur, tetirah di sebuah pulau terpencil, malah ada orang bilang sekarang dia sudah menjadi dewa."

"Bagaimana sebetulnya?" tanya Yap Kay. "Sebetulnya sudah tentu beliau sudah wafat." "Cara bagaimana kematiannya?"

"Mati di bawah golok!" "Golok siapa?"

Tiba-tiba Siau Piat-li mengangkat kepalanya menatap dia, katanya tandas. "Tentunya akan lebih tahu golok siapa! Golok siapa di dunia ini yang mampu membunuhnya!"

Yap Kay diam saja. Terpaksa dia harus diam, karena dia sudah tahu golok siapa sebetulnya yang membunuh Jian-bin-jin-mo.

Berkata Siau Piat-li dingin, "Kabarnya Pek-tayhiap pun seorang jenius dari Bu-lim, konon bukan saja ilmu goloknya menjagoi Bu-lim, malah boleh dikata tiada taranya di jagat ini." Nada kata- katanya terasa mengandung dendam kesumat yang membara dan tajam, lebih tajam daripada senjata, dengan tertawa dingin dia menyambung, "Tapi bagaimana karakternya? Dia...”

Yap Kay segera menukas ucapannya, "Kau tidak berhak mengeritik karakternya, karena kau membencinya."

"Kau salah, aku tidak membencinya, hakikatnya aku toh tidak kenal dia " "Tapi kau ingin membunuhnya!" "Memang aku ingin membunuhnya, malah besar tekadku untuk membunuhnya meski aku harus mempertaruhkan apasaja dan mengorbankan apa saja, tahukah kau kenapa begitu besar tekadku?"

Yap Kay geleng-geleng kepala.

"Karena dendam berbeda dengan cinta. Dendam tidak dibawa sejak dilahirkan, bukan pembawaan, umpama ada orang memikulkan beban dendam permusuhan kepadamu, kau tentu akan merasakan hal ini "

"Tapi. "

Kali ini Siau Piat-li yang menukas ucapannya, "Pho Ang-soat umpamanya, dia tahu dan dapat merasakan, karena pengertian ini mirip juga dengan tekadnya yang besar hendak membunuh Ban- be-tong-cu " Setelah menghela napas, dia menyambung, "Pho Ang-soat juga tidak pernah kenal Ban-be-tong-cu, tapi dia harus membunuhnya."

Akhirnya Yap Kay manggut-manggut, katanya, "Oleh karena itu malam itu kau pun berada di Bwe-hoa-am."

Pandangan Siau Piat-li kembali seperti tertuju ke tempat jauh, mulutnya menggumam, "Hujan salju malam itu amat lebat "

Tiba-tiba sorot pandangan Yap Kay berubah tajam berkilat, katanya dengan menatapnya, "Kau masih ingat akan peristiwa malam itu?"

"Sebetulnya aku ingin melupakan, sayang sekali peristiwa itu justru melekat di dalam relung sanubariku."

"Karena kedua kakimu buntung, tertabas pada malam itu."

Siau Piat-li mengawasi kakinya yang buntung, katanya tawar, "Memangnya berapa tokoh kosen di dunia ini yang mampu membacok kutung kakiku."

"Walaupun dia mengutungi kakimu, tapi dia meninggalkan jiwamu."

"Bukan dia yang meninggalkan jiwaku sampai sekarang, tapi adalah hujan salju yang lebat itu." "Hujan salju?"

"Karena salju membikin kakiku yang buntung membeku, maka aku masih bisa hidup sampai sekarang, kalau tidak, mungkin badanku sudah hancur luluh dan membusuk."

"Oleh karena itu kau tidak bisa melupakan hujan salju malam itu."

"Aku pun tidak bisa melupakan golok yang satu itu," tiba-tiba terpancar rasa ngeri dalam sorot matanya, pertempuran berdarah yang seru malam itu seolah-olah kembali terbayang di depan matanya.

Salju nan putih, darah yang merah Darah berceceran di atas salju, salju yang putih menjadi

merah. Demikian pula sinar golok yang kemilau itu menjadi merah, kemana sinar golok menyambar dan berkelebat, asap merah segera beterbangan kemana-mana.

Butiran keringat sebesar kacang berketes-ketes di atas jidat Siau Piat-li, itulah keringat dingin. Lama sekali baru dia menarik napas, katanya, "Orang yang tidak menyaksikan peristiwa malam itu, sekali-kali tidak akan percaya dan membayangkan betapa dahsyat dan menakutkan golok itu, tokoh-tokoh kosen dari Bu-lim, ternyata sebagian besar mampus oleh sambaran golok ini!"

"Kau tahu siapa saja orang-orang itu?"

Siau Piat-li tidak tahu. Kecuali Ban-be-tong-cu, tiada orang kedua yang tahu.

"Aku hanya tahu," ujar Siau Piat-li, "orang-orang itu tiada satu pun yang tidak membencinya!" Semakin tebal rasa ngeri dalam sorot matanya, kedua jari-jarinya terkepal kencang, katanya lebih lanjut dengan serak, "Golok yang satu ini tidak layak berada di tangan seorang manusia awam yang mempunyai darah dan daging. Itulah golok iblis yang hanya dapat digembleng dari lapisan neraka ke delapan belas!"

"Kau takut terhadap golok itu?"

"Aku ini manusia, tidak bisa tidak harus takut!"

"Oleh karena itu sekarang kau pun takut juga terhadap Pho Ang-soat, karena kau mengira golok itu sekarang berada di tangannya."

"Sayang sekali, hal ini tidak akan membawa rezeki bagi dia." "Ah, masa ya?"

"Karena golok iblis itu selalu membawa kematian dan sial bagi siapa saja," suaranya tiba-tiba berubah amat misterius, kedengarannya mirip benar dengan kutukan suara yang berkumandang dari neraka.

Tak tertahan Yap Kay bergidik seram dibuatnya, katanya tertawa dipaksakan, "Tapi dia masih belum ajal juga."

"Sekarang memang belum, tapi tak boleh diingkari bahwa selama hidupnya, jiwanya akan terkubur oleh golok itu juga, kalau dia hidup, dia tidak akan pernah mengecap kesenangan, karena dalam sanubarinya hanya dilandasi dendam tiada lainnya."

Yap Kay tiba-tiba berdiri, dia memutar badan mendekati jendela, lalu membukanya. Seolah-olah dia merasa dirinya amat gerah dan sumpek, begitu sumpeknya sampai bernapas pun sesak.

Siau Piat-li mengawasi bayangan punggungnya, katanya tertawa, "Tahukah kau, sejak mula aku selalu mencurigai dirimu."

Yap Kay tidak menjawab, dia pun tidak berpaling. Kegelapan nan kelam di luar jendela laksana arang.

"Kuminta kau membunuh Ban-be-tong-cu, tujuanku hanya untuk memancing dirimu." "O, begitu?"

"Tapi bukan aku yang memikirkan akal ini, malam itu ada tiga orang yang berada di atas lotengku."

"Dan seorang lagi adalah Ban-be-tong-cu." "Ya, memang dia."

"Ting Kiu salah seorang pembunuh di luar Bwe-hoa-am malam itu?"

"Dia belum setimpal, dia tidak lebih hanya si bungkuk yang tamak harta belaka." "Oleh karena itu kalian menyogoknya."

"Tapi kami tidak berhasil menyogok kau, waktu itu aku tidak pernah mengira, kau bakal menceritakan hal ini kepada Ban-be-tong-cu, imbalan yang kupertaruhkan sebetulnya tidak kecil."

"Imbalan yang kau keluarkan memang cukup untuk menyogok banyak orang, sayang sekali orang-orang itu sekarang sudah menjadi mayat semua."

"Kematian mereka tidak perlu dikasihani tidak perlu dibuat sayang."

"Dan yang disayangkan Pho Ang-soat tetap hidup, dia tidak mati seperti yang diinginkan kalian."

"Hal itu sebetulnya tidak perlu dibuat sayang, karena aku sudah tahu cepat atau lambat akan datang suatu hari dia pun pasti akan mampus di bawah golok itu."

"Be Khong-cun maksudmu?"

"Kau kira Pho Ang-soat bisa menemukan dia?" "Kau kira dia tidak akan bisa menemukannya?

"Memangnya dia seorang yang mirip serigala, sekarang berubah jadi rase, rase biasanya memang sukar dicari, sudah tentu lebih sukar dibunuh "

"Kalau mendengar ucapanmu ini, juragan toko kulit pasti akan menentangnya." "Kenapa?"

"Jika tiada rase yang mati, darimana datangnya kopor, tas dan dompet serta baju luar yang terbuat dari kulit rase itu?"

Terkancing mulut Siau Piat-li, dia tidak bisa menyangkal.

"Jangan lupa di dunia ini masih ada anjing pemburu, dan anjing pemburu biasanya memiliki hidung yang tajam "

Tiba-tiba Siau Piat-li tertawa dingin pula, "Umpama benar Pho Ang-soat memiliki hidung setajam anjing pemburu, tapi mungkin sekarang dia hanya bisa mengendus bau pupur wangi di bawah perempuan saja."

"Kenapa?" "Karena Cui-long!"

"Memangnya dia pergi membawa Cui-long?" Siau Piat-li manggut-manggut.

"Apakah Cui-long berada di sampingnya, lalu dia tidak akan berhasil menemukan Be Khong- cun?"

"Jangan lupa perempuan biasanya paling menyenangi barang-barang antik dan perhiasan, bukan jaket kulit rase."

Kali ini Yap Kay yang terkancing mulutnya.

Tiba-tiba Siau Piat-li tertawa pula, katanya, "Sebetulnya apakah Pho Ang-soat bakal bisa menemukan Be Khong-cun, memangnya ada sangkut-paut apa dengan aku? Apa pula sangkut- pautnya dengan kau?"

Lama juga Yap Kay termenung, lalu menatapnya nanar, katanya pelan-pelan, "Kenapa tidak kau tanya orang macam apa aku sebenarnya?"

"Aku pernah bertanya, banyak orang pun pernah bertanya." "Kenapa sekarang kau tidak bertanya?"

"Karena aku sudah tahu kau she Yap bernama Kay." "Tapi orang macam apa pula Yap Kay sebenarnya?"

"Dalam pandanganku dia tidak lebih pemuda yang suka iseng mencampuri urusan orang lain." "Kali ini kau yang salah," ujar Yap Kay tertawa.

"Kenapa salah?"

"Yang ku campuri bukan urusan iseng." "Bukan?"

"Pasti bukan!"

Lama sekali Siau Piat-li balas mengawasinya, tiba-tiba bertanya, "Siapa kau sebetulnya?" Yap Kay tertawa, ujarnya, "Aku tahu kau pasti akan mengulangi pertanyaan ini." "Urusan yang kau ketahui memang terlalu banyak."

"Sebaliknya urusan yang kau ketahui terlalu sedikit." Siau Piat-li tertawa dingin. "Kau tidak akan mengakui hal ini?" Siau Piat-li tetap tertawa sinis.

Tiba-tiba Yap Kay maju mendekat, membungkuk badan, entah membisiki beberapa patah kata apa di pinggir kupingnya.

Begitu lirih kata-katanya, kecuali Siau Piat-li, siapa pun terang tak mendengar.

Hanya mendengar sepatah kata saja, senyuman dingin yang menghias muka Siau Piat-li seketika membeku, setelah Yap Kay selesai dengan perkataannya, setiap jengkal kulit daging sekujur badannya seolah-olah tegang dan mengejang.

Angin menghembus dari jendela, sinar pelita bergoyang-goyang dan berkelap-kelip. Sinar pelita yang bergoyang-goyang menyinari mukanya, dalam sekejap ini roman mukanya itu seolah-olah sudah berganti rupa menjadi bentuk roman muka orang lain.

Waktu Yap Kay mengawasi, rona matanya juga seperti sedang mengawasi seorang lain. Tiada orang yang bisa melukiskan mimik mukanya dengan kata-kata. Bukan saja heran dan melengak kaget, bukan saja dilembari rasa takut, tapi juga perasaan hancur dan luluh. Hanya seseorang yang merasa segalanya sudah hancur dan luluh, maka rona mukanya baru menampilkan mimik seaneh itu.

"Sekarang apakah kau sudah mengakui?" tanya Yap Kay kemudian.

Siau Piat-li menarik napas, sekujur badannya seolah-olah mendadak mengkeret. Namun sejenak berselang baru dia menghela napas, "Memang apa yang kutahu terlalu kerdil, aku memang salah!"

"Kan sudah kukatakan, setiap orang pasti pernah dan tak terhindar untuk berbuat kesalahan." "Sekarang aku baru sadar dan benar-benar memahami maksud hatiku, meskipun hal ini sudah

terlambat, tapi kukira lebih baik juga daripada tidak tahu sama sekali." Lalu dia menunduk

mengawasi dadu di atas meja "Semula kukira dadu-dadu ini bisa memberitahu banyak urusan kepadaku, siapa tahu apa pun dia tidak memberitahu, hasilnya nihil!"

Dadu itu mengkilap tersorot sinar pelita, tangan diulurnya, lalu digenggam dan digosok-gosok di telapak tangannya.

Tangannya kelihatan kurus panjang dan bersih kering.

Mengawasi dadu di tangan orang, Yap Kay berkata, "Bagaimana pun juga dia sudah menemani kau beberapa tahun lamanya."

"Dadu ini sudah menemaniku mengatasi banyak kesepian, jika tanpa dadu-dadu ini, kehidupanku pasti terasa lebih tersiksa, oleh karena itu walau dia menipu aku, aku tidak menyalahkannya."

"Aku mengerti."

"Kau juga mengerti?"

"Jika ada orang menipumu, paling tidak lebih mending daripada hidup kesepian."

Siau Piat-li tertawa pilu, ujarnya, "Kau memang tahu, maka aku selalu merasa bila mengobrol bersama kau, bagaimana pun merupakan suatu kejadian yang menggembirakan."

"Terima kasih."

"Oleh karena itu aku ingin menahanmu di sini untuk menemani aku, sayang sekali aku pun tahu kau pasti tidak mau." Dengan tertawa getir dia menghela napas, mendadak dia turun tangan, jari- jarinya mencengkeram pergelangan tangan Yap Kay.

Gerak-geriknya sebetulnya begitu indah gemulai dan wajar, tapi gerakan tangannya kali ini berubah begitu cepat laksana kilat, begitu cepatnya boleh dikata tiada orang yang mampu meluputkan diri. Jari-jari tangannya hampir menyentuh tangan Yap Kay. "Krak", tiba-tiba terdengar sebuah benda yang teremas hancur. Tapi bukan pergelangan tangan Yap Kay, tapi adalah kotak tempat dadu yang terletak di atas meja. Pada detik-detik itulah secepat kilat Yap Kay menggunakan kotak kayu tempat dadu ini untuk menggantikan tangannya.

0oo0

Kotak itu sebetulnya terbuat dari kayu cendana yang terukir indah dan berwarna gelap mengkilap serta keras sekali. Kayu seperti itu terang jauh lebih keras dan kuat dibanding tulang tangan siapa pun, tapi berada di dalam cengkeraman jari-jari Siau Piat-li, ternyata berubah seperti kayu yang keropos dan teremas hancur-lebur.

Bubuk kayu berjatuhan melalui celah-celah jari tangannya. Sementara Yap Kay ternyata berada tiga kaki dari tempat duduknya semula.

Lama juga Siau Piat-li baru bersuara sambil mengangkat kepala, "Kau mempunyai sepasang tangan yang lincah."

Yap Kay tersenyum, ujarnya, "Oleh karena itu aku ingin mempertahankannya, mempertahankan di atas lenganku ini."

"Tentunya kau pun memiliki hidung setajam anjing pemburu "

"Hidung inipun tidak boleh diremas hancur, terutama kedua tanganmu itupun tidak boleh dibuat cacad." Setelah puluhan tahun mengucek dan meremas-remas dadu yang terbuat dari biji besi, peduli benda apa pun yang berada di tangannya, pasti akan teremas hancur dengan mudah.

Yap Kay tertawa, katanya pula, "Dadu ini sudah menemani kau puluhan tahun, kotaknya yang indah itu malah kau remas hancur, bukankah orang yang melihatnya bisa merasa kecewa dan dingin bulu kuduknya."

Siau Piat-li menghirup napas, mulutnya menggumam, "Agaknya kau memang orang yang tidak berperasaan sedikit pun." Badannya tiba-tiba mencelat, dengan tongkat besi di tangan kirinya sebagai poros, dia gunakan tongkat besi di tangan kanan menyapu.

Tiada orang yang bisa melukiskan perbawa dari sapuan tongkatnya ini. Kamar sekecil ini boleh dikata sudah terkurung dan penuh oleh bayangan tongkat besi yang luar biasa dahsyat dan hebatnya itu. Begitu tongkat menyapu datang, dalam rumah ini seperti mendadak terbit angin lesus.

Namun Yap Kay tahu-tahu sudah berada di langit-langit rumah. Dengan ujung jarinya dia menggantol belandar. Mendadak Siau Piat-li berjumpalitan di tengah udara, kedua tongkat besinya teracung ke atas. Dari dalam kedua tongkat ini mendadak melesat keluar puluhan bintik-bintik sinar dingin laksana bintang beramburan.

Toan-yang-ciam!

Toan-yang-ciam miliknya ternyata disembunyikan di dalam tongkat besinya, bahwasanya kedua tangannya tidak usah bergerak, tak heran tiada orang tahu cara bagaimana dia membunuh para korbannya.

Sebatang Toan-yang-ciam saja sudah tiada orang yang bisa meluputkan diri. Apalagi Toan- yang-ciam yang tersambit sekarang cukup untuk mencabut jiwa tiga puluh orang. Tapi Yap Kay justru adalah orang yang ketiga puluh satu. Tiba-tiba bayangannya lenyap tak berbekas. Setelah dirinya kelihatan lagi, Toan-yang-ciam ternyata sudah tidak berbekas lagi.

0oo0

Siau Piat-li kembali duduk di atas kursinya, seolah-olah sedang mencari jarum-jarumnya yang sudah tidak berbekas itu. Dia tidak bisa mempercayai kenyataan ini.

Selama puluhan tahun Toan-yang-ciam hanya pernah gagal sekali, pertama kali di luar Bwe- hoa-am. Dia percaya tidak akan pernah terjadi lagi untuk yang kedua kalinya. Tapi sekarang mau tidak mau dia harus percaya.

Seringan kapas Yap Kay melayang turun, lalu duduk kembali di hadapannya, dengan tenang dan diam saja dia mengawasi muka orang.

Suasana dalam rumah tenang kembali, tiada angin, tiada jarum menyambar, seolah-olah tiada terjadi apa-apa. Entah berapa lama berselang, Siau Piat-li kembali menghela napas, katanya, "Aku ingat ada orang pernah bertanya kepadamu, sekarang aku pun ingin bertanya kepadamu."

"Silakan bertanya."

Siau Piat-li menatapnya, katanya sepatah demi sepatah, "Kau sebetulnya apakah manusia?

Apakah terhitung sebagai manusia?"

Yap Kay tertawa. Bila ada orang mengajukan pertanyaan ini padanya, dia selalu merasa gembira, karena ini menandakan apa yang barusan dia lakukan, sebetulnya tiada orang lain yang mampu melakukannya juga

Sudah tentu Siau Piat-li tidak menunggu jawabannya, katanya pula, "Tiga kali barusan aku menyerangmu, sebetulnya tiada orang lain yang mampu meluputkan diri."

"Aku tahu."

"Aku ingin kau mampus." "Kau tidak usah menjelaskan."

"Tapi sekalipun kau tidak balas menyerang kepadaku."

"Kenapa aku harus membalas, kan kau yang ingin aku mati, bukan aku yang ingin kau mampus."

"Lalu apa yang kau ingin kan?"

"Tiada yang kuinginkan," sahut Yap Kay tertawa, lalu menyambung, "Kau tetap boleh membuka sarang pelacuranmu di sini, bermain dadu, minum arakmu sendiri pula."

Kedua kepalan Siau Piat-li tergenggam kencang, kelopak matanya memicing, katanya pelan- pelan, "Dulu aku melakukan ini, karena aku punya tujuan, karena aku ingin melindungi Be Khong- cun, ingin aku menunggu orang itu datang membunuhnya." Mungkin karena derita pukulan batinnya, kulit mukanya berkerut-kerut mengejang, suaranya menjadi serak, "Sekarang tiada sesuatu beban pikiranku lagi, mana bisa aku tetap hidup lebih lanjut seperti ini."

Yap Kay menghembuskan angin dari mulutnya, katanya tawar, "Itulah urusanmu sendiri, kau harus bertanya kepada dirimu sendiri"

Dengan tersenyum dia berbangkit, putar badan terus tinggal pergi. Langkahnya tidak cepat, namun tidak berpaling lagi, juga tidak berhenti. Memang sekarang tiada orang yang mampu menahan dirinya.

0oo0

Tapi Siau Piat-li terpaksa harus tetap tinggal di sini. Dia tiada tempat tujuan lain kecuali menetap di sini.

Mengawasi punggung Yap Kay yang beranjak keluar pintu, mendadak sekujur badannya gemetar keras, keringat dingin pun bercucuran membasahi badan. Seperti anak kecil yang ketakutan setelah tersentak bangun dari mimpi buruk. Tapi kenyataan memang Siau Piat-li seolah- olah baru saja siuman dari mimpi buruk, tapi setelah dia sadar, tekanan batin yang bersemayam dalam benaknya lebih membuatnya menderita dan tersiksa daripada dalam impian buruk itu.

Malam telah larut, lebih tenang. Tiada manusia, tiada suara apa pun, dadu di atas meja di bawah penerangan pelita juga masih tergeletak di situ. Mendadak dia renggut dadu-dadu itu terus dilempar keluar dengan sisa tenaganya. Waktu dadu tersambit keluar, air matanya pun tak tertahan bercucuran ....

Seseorang bila tiada alasan lagi untuk mempertahankan hidup, umpama dia berumur panjang, hidupnya bakal sia-sia juga, tiada bedanya dengan orang mati.

Di situlah letak derita terbesar bagi manusia. Pasti tiada yang jauh lebih besar. Fajar telah menyingsing, cahaya keemasan cemerlang di ufuk timur.

Kegelapan malam akhirnya berlalu, cepat atau lambat pancaran sinar matahari akan menggantikannya.

Langit berwarna biru kehijauan, sudah tidak kelihatan lagi cahaya api dan asap. Betapapun besar kobaran api, akhirnya pasti padam.

Orang-orang yang berjuang memadamkan kebakaran sudah pulang, Yap Kay berdiri di lereng gunung, mengawasi piung-puing yang sudah rata dengan bumi.

Walau dalam hati dia merasa sayang, namun sedikit pun dia tidak merasa sedih Karena dia menyadari bumi seluas ini dengan segala benda-benda di permukaannya pasti tidak akan bisa dihancur-leburkan keseluruhan, demikian pula jiwa manusia. Memangnya jiwa dan sukma manusia sambung menyambung bergiliran hidup dalam mayapada ini. Maka bumi dan segala makhluknya akan tetap hidup abadi.

Dia tahu jiwa kehidupan bakal tumbuh lagi dari bawah puing-puing yang sudah runtuh ini. Kehidupan jiwa yang indah. Seolah-olah terbayang pula suatu bentuk pemandangan indah di depan matanya, seluas mata memandang warna hijau melulu.

Hembusan angin yang sepoi-sepoi, lapat-lapat membawa kumandang suara kelintingan, semakin lama kelintingan itu semakin nyaring merdu, disusul suara cekikik tawa yang nyaring merdu berpadu.

Dengan menggandeng tangan anak kecil itu Ting Hun-pin tengah mendatangi, katanya tertawa semerdu kelintingan, "Kali ini ternyata kau malah sudah tiba lebih dulu."

Yap Kay tersenyum sambil mengawasi bocah itu. Melihat raut muka si bocah yang diliputi gairah hidup, dia tahu keyakinan dan kepercayaan dirinya selamanya tepat dan betul. Segera dia menyongsong maju, ditariknya tangan si anak yang lain, dia ingin membawa bocah ini ke suatu tempat, ingin dia memendam dendam dan sakit hati yang bersemayam dalam dada si bocah di sana.

Dia mengharap kelak bila bocah ini sudah tumbuh dewasa, hanya cinta kasih yang melandasi jiwanya, tiada dendam tiada permusuhan.

Bahwa generasi yang sekarang bergelimang hidup dalam suasana dendam dan permusuhan, lantaran terlalu banyak sakit hati dan dendam bersemayam dalam sanubari mereka, tiada terbetik rasa cinta sedikit pun. Oleh karena itu bila generasi mendatang bisa hidup subur dan sehat derita dan siksa, hidup mereka sekarang terhitung ada harganya untuk dikenang, biarlah semua ini berlalu dibawa sang waktu.

Bekas bacokan di atas batu nisan masih tetap ada air mata darah, ternyata sudah kering dan tak berbekas lagi.

Dengan menarik tangan si bocah Yap Kay berlutut di depan pusara, di depan batu nisan. "Inilah saudara ayah kandungmu, selalu harus kau ingat jangan sekali-kali kau bermusuhan

dengan keturunan dari keluarga yang sudah meninggal ini." "Aku akan selalu ingat."

"Kau bersumpah tidak akan melupakan selamanya?" "Aku bersumpah." Yap Kay tertawa, tertawa riang gembira "Aku tahu kau memang anak yang baik." "Aku ingin mencari ayah dan Cici, kau mau tidak mengajak aku?"

"Sudah tentu aku akan mengajakmu." "Kau bisa menemukan mereka?"

"Kau harus ingat, asal kau punya keyakinan, tiada persoalan yang tak bisa diselesaikan di dunia ini." Bocah itu tertawa riang.

0oo0

Kini padang rumput kelihatan menjadi liar dan belukar, selayang pandang kesunyian melulu.

Jauh di ujung langit bersentuhan dengan bumi, cuaca kelihatan guram.

Bendera besar Ban-be-tong apakah masih akan berkibar lagi untuk selamanya? Angin sedang mengamuk, laksana badai seperti gelombang pasang.

Dengan langkah lebar Yap Kay menyusuri jalan yang sepi itu.

Belakangan ini dia sudah hapal dengan seluk-beluk daerah sekitar sini, boleh dikata dia sudah amat berat untuk meninggalkan tempat ini. Tapi sekarang hatinya sedang dihayati kesedihan yang sukar terputus menjelang berpisah. Karena dia tahu kelak dia pasti akan kembali lagi.

Tatkala itu sang surya baru terbit, menyorotkan sinar ke pinggir kota. Setiap orang pasti ingin hidup.

Setiap orang memang punya alasan dan hak untuk mempertahankan hidupnya.

0oo0

BAB 27. GOLOK TERLOLOS

Musim rontok.

Daun rontok sedang berkembang dalam hutan ini. Hutan di pedalaman gunung yang jauh dari keramaian dunia.

Tiga puluh empat ekor kuda, dua puluh tujuh penunggang. Orang-orang itu bersorak-sorai di punggung kuda yang dilarikan memasuki hutan.

Kuda-kuda jempolan, kuda-kuda gagah, penunggangnya pun bertubuh kekar dan kasar. Tapi muka mereka diliputi perasaan dingin kejam dan dendam, ada di antaranya ternyata terluka, tapi mereka tidak menghiraukan luka-luka badannya, karena hasil dari operasi mereka kali ini jauh lebih memuaskan dari biasanya.

Yang mereka buru adalah manusia, keringat dan jerih payah manusia. Keringat dan darah orang lain.

Hasil panen mereka sudah berada di punggung kuda, itulah empat puluh peti warna perak memutih yang berat.

Orang memaki mereka berandal, perampok, tapi mereka tidak peduli.

Yang terang mereka pandang dan anggap diri sendiri adalah Hohan, orang-orang gagah, Lok- lim Hohan. Orang-orang gagah dari kawanan berandal.

Orang-orang gagah dari kalangan berandal biasanya harus menggunakan cawan besar untuk minum arak, makan daging sudah tentu harus mengiris segumpal yang besar.

Arak secawan besar, daging yang besar pula. Peti-peti perak itu semua tertaruh di atas meja, mereka menunggu pembagian dari ketua mereka. Ketua atau Lotoa mereka adalah seorang laki-laki bermata satu, biasanya dipanggil Tok- gan-liong (Naga mata tunggal).

Matanya yang buta suka dibalut dengan selarik kain hitam, karena dia merasa dirinya akan lebih berkuasa, punya wibawa yang lebih menakutkan.

Sebenarnya dia memang laki-laki yang punya wibawa, karena walau dia kejam dan telengas, dia berlaku adil. Hanya orang yang tahu keadilan baru setimpal menjadi pentolan atau dengan istilah Lotoa bagi orang gagah kaum Lok-lim. Apalagi dia mempunyai dua pembantu di kanan kirinya yang sembarang waktu siap mengadu jiwa demi keselamatannya, yang seorang cerdik pandai, yang lain gagah berani.

Yang berani bernama To-lo-hou (si jagal harimau). Dan yang cerdik bernama Pek-bin-long- tiong (kelana bermuka putih).

Bagi kaum Lok-lim jika tidak mempunyai julukan yang seram dan besar, tidak setimpal dia menjadi begal atau perompak. Oleh karena itu boleh dikata sebagian besar di antara mereka sudah melupakan nama-nama asli mereka semula.

^»"«^

Otak To-lo-hou (si jagal harimau) sebetulnya tidak lebih pandai dari seekor harimau sungguhan, terutama setelah dia menenggak air kata-kata boleh dikata dia malah lebih goblok dari seekor harimau, tapi jauh lebih garang dan buas dari harimau. Terutama sepasang tinjunya teramat ganas dan keji.

Kabarnya sekali hantam dia bisa memukul mampus seekor harimau besar, walau belum pernah ada orang menyaksikan, tapi tiada orang yang berani tidak percaya atau curiga kepadanya. Karena sekali pukul membuat jiwa orang melayang sudah tidak sedikit jumlahnya. 

Kali ini waktu mereka keluar memburu mangsanya, dua Piauthau dari Tin-wan Piau-kiok yang dijuluki Thi-kim-kong, keduanya mampus hanya sekali kena pukulannya. Oleh karena itu bagian jatah dari hasil operasi mereka kali ini dia mendapat paling banyak, orang banyak juga memuji dan mengagulkan dirinya.

"Thi-kim-kong segala, kebenturan kepalan Ji-cecu kita, jangan kata besi, tak ubahnya mereka seperti kertas yang sekali tekuk lantas terlempit tak berkutik lagi."

Tok-lo-hou bergelak tawa kesenangan.

Tapi mendadak dia melengak dengan mulut terpentang lebar, karena tiba-tiba terasa olehnya gelak tawa anak buahnya serempak sirap dan melongo, semuanya memandang keluar pintu dengan pandangan terbelalak. Waktu dia ikut memandang ke sana, gelak tawanya seketika berhenti juga. I lampir saja dia tidak mau percaya akan pandangan matanya.

Seseorang tengah melangkah masuk dengan langkah gemulai dari pintu besar di luar sana.

Seorang yang tidak mungkin dan tidak pantas muncul di tempat seperti ini, itulah seorang perempuan, perempuan cantik jelita yang membuat semua laki-laki yang melihatnya tahan napas dan menelan air liur.

^°"*^

Tempat ini dinamakan Liong-hou-ce Letaknya di belakang hutan cemara, sekelilingnya dipagari puncak-puncak gunung dengan pemandangannya yang indah dan aneh-aneh, mirip seekor binatang liar yang sedang membuka lebar mulutnya menunggu mangsa untuk dicaplok.

Kawanan laki-laki penghuni Liong-hou-ce inipun merupakan serombongan binatang-binatang liar. Siapa pun takkan sudi dicaplok binatang liar, oleh karena itu bukan saja daerah ini jarang kelihatan ada orang asing, sampai pun burung terbang pun takut lewat di sini.

Tapi hari ini di tempat itu kedatangan seorang perempuan yang masih asing. Perempuan ini mengenakan gaun panjang warna putih dengan baju hitam berlengan panjang pula, keduanya terbuat dari kain halus, rambutnya yang panjang terurai mayang berwarna hitam legam. Seluruh kepalanya penuh bertaburan zamrud dan mutiara, sinarnya yang kemilau beradu terang, membuat rambutnya kelihatan semakin hitam, kulit mukanya putih halus.

Roman mukanya dihiasi senyuman manis yang menandakan kematangannya, langkahnya gemulai dan meliuk-liuk, pelan-pelan beranjak masuk, mirip benar dengan perempuan agung yang hendak memasuki gelanggang perjamuan yang sengaja diadakan untuk menghormati dan menyambut kedatangannya.

Mata semua hadirin terbelalak, seperti mata ikan mas yang melotot keluar Mereka bukan laki- laki yang belum pernah melihat perempuan, tapi perempuan seperti ini sungguh belum pernah mereka lihat selama hidup.

Lotoa mereka sadar paling dahulu, tapi Lotoa biasanya tidak sembarangan mau buka mulut.

Maka dengan menarik muka segera dia memberi kedipan kepada To-lo-hou, segera dia menggebrak meja dan membentak bengis, "Kau siapa?"

Perempuan jelita bergaun panjang mengunjuk seri tawa manis, katanya lembut, "Masakah kalian tidak melihat bahwa aku ini seorang perempuan?"

Dari kepala sampai ujung kaki seratus persen memang dia perempuan, orang buta pun akan merasakan bahwa dia adalah perempuan.

To-lo hou segera menarik muka, serunya, "Untuk apa kau datang kemari?"

Semakin manis dan lebar senyuman si jelita, sahutnya, "Kami hanya ingin menetap tiga bulan di sini. Boleh tidak?"

Memangnya perempuan ini sudah gila. Ternyata dia menyerahkan diri mau tidur di sarang penyamun selama tiga bukan?

"Aku harap kalian sudi menyerahkan kamar di sini yang paling bagus untuk kami, seprei dan bantal guling yang harus kami pakai lebih baik kalau setiap dua hari diganti.

"Kami biasanya suka bersih, soal makan sih boleh sekadarnya, setiap sarapan pagi siang dan malam asal ada lauk-pauk daging sapi sudah cukup, tapi harus daging sapi yang masih segar dan muda serta gurih, terutama daging pinggangnya, daging dari tempat lainnya kami tidak mau.

"Siang hari kami tidak biasa minum arak, tapi setiap malam kami harap kalian suka menyediakan beberapa macam arak, terutama bila kalian mampu menyediakan anggur Persia, atau boleh juga Ciu-yap-cing yang sudah tersimpan tiga puluh tahun.

"Di saat kami tidur, semoga kalian membagi orang dalam tiga kelompok untuk meronda dan berjaga secara bergantian setiap malam, tapi dilarang bersuara gaduh, karena kami gampang dikejutkan di waktu tidur, sekali siuman takkan gampang tidur lagi.

"Lain tempat sih terserah bagaimana kalian mengaturnya, aku tahu kalian memangnya orang- orang kasar, oleh karena itu kami tidak terlalu membatasi kebebasan kalian."

Semua orang saling berpandangan mendengar uraian dan ocehannya, seperti menyaksikan si gila yang sedang bertembang dan berdendang.

Tapi tutur katanya wajar dan lincah serta lancar, seolah-olah apa yang dia minta sudah merupakan keharusan dan jamak, terang takkan ada orang yang berani menolak permintaannya.

Setelah orang habis bicara, tak tertahan To-lo-hou tertawa, katanya, "Kau kira tempat apa ini?

Sebuah penginapan? Atau warung makan?"

Si jelita itu tertawa riang, ujarnya, "Tapi kami tidak akan mau membayar!"

To-lo-hou menahan geli, godanya, "Atau kami saja yang membayar kepadamu?"

"Kalau kau tidak mengingatkan, hampir saja aku lupa, harta atau uang perak yang berada di atas meja, kami pun ingin mendapat bagian." "Berapa banyak bagian yang kau minta?" "Cukup separo saja."

"Apa separo tidak terlalu sedikit?" tanya To-lo-hou.

"Barusan sudah kukatakan, kami tidak akan terlalu mendesak dan meminta berlebihan."

Kembali To-lo-hou tergelak-gelak dengan menengadah, seperti belum pernah dia mendengar lelucon yang menggelikan hatinya. Setiap orang ikut tertawa, hanya Tok-gan-liong dan Pek-bin- long-tiong bersikap serius

Kulit muka Pek-bin-long-tiong kelihatannya lebih putih dari kertas, katanya tiba-tiba, "Tadi kau katakan kalian hendak datang, kalian ada berapa orang?"

"Hanya dua orang saja." "Siapakah yang satu lagi?"

"Sudah tentu suamiku, memangnya aku sudi tidur seranjang dengan laki-laki lain?" "Mana orangnya?"

"Di luar."

Tiba-tiba Pek-bin-long-tiong tertawa, katanya, "Kenapa tidak kau undang masuk?" "Wataknya amat jelek, aku kuatir dia turun tangan melukai kalian."

Pek-bin-long-tiong tersenyum, katanya, 'Atau kau yang kuatir kami melukai dia?"

"Bagaimana pun juga," ujar si jelita tertawa manis, "kami kemari sebagai tamu, bukan untuk berkelahi."

"Kalau begitu tepat benar kedatangan kalian, orang-orang kita di sini memangnya tidak suka berkelahi." tiba-tiba Pek-bin-long-tiong tertawa dingin sembari menarik muka. "Orang-orang kita di sini biasanya cuma suka membunuh orang!"

0oo0

Dari pekarangan masih kelihatan hutan cemara di luar sana

Orang itu sedang berdiri di dalam pekarangan, menghadap ke hutan dan memandang jauh ke alam pegunungan sekitarnya.

Hari sudah mendekati magrib, gunung-gemunung di kejauhan sudah berubah warna menjadi hijau kegelapan, di sore hari di musim rontok ini, alam semesta ini seolah-olah diliputi suasana yang serba kritis dan hambar.

Biji mata orang ini seperti pula warna pegunungan di kejauhan sana, dingin, kosong dan hambar.

Dia menggendong kedua tangannya, berdiri diam tak bergerak, dengan tenang memandang panorama yang terbentang di depan matanya. Tapi dia sendiri merasa dirinya berada di tempat yang lebih jauh dari gunung-gemunung itu, seolah-olah dirinya sudah terlepas dari kehidupan duniawi yang nyata.

Sinar surya di waktu senja memancarkan cahaya yang terakhir, sehingga mukanya kelihatan menguning kelabu Kerut keriput pada roman mukanya bertambah banyak dan dalam, setiap jalur kerut keriput itu seolah-olah mengandung pengalaman hidup yang getir, derita dan siksa, pengalaman yang pahit dan berat.

Mungkin dia sudah terlalu tua, tapi pinggangnya masih berdiri tegak dan kekar, dalam badannya masih terpendam suatu kekuatan yang hebat dan menakutkan. Perawakannya memang tidak tinggi, badannya tegap, tapi kekuatan terpendam itu membuat dirinya kelihatan gagah, berwibawa, sehingga orang yang berhadapan dengannya timbul rasa hormat kepadanya. Sayang sekali kaum perompak yang berpangkalan di sini biasanya tidak kenal istilah sopan- santun, tidak tahu menghormati siapa pun.

To-lo-hou mempelopori anak buahnya menerjang keluar, orang pertama yang melihat orang itu.

"Apakah kakek tua ini?" mendadak To-lo-hou terkial-kial. "Sekali tinju kalau aku tidak membikin dia mampus, biarlah dia kupandang sebagai kakek moyangku selama tiga tahun!"

Berkata si jelita tawar, "Kenapa tidak kau coba?"

"Kau tidak takut menjadi janda?" olok To-lohou terbahak-bahak. Dengan bergelak tawa ini dia menerjang maju.

Perawakannya kekar dan berotot keras, suara tawanya seperti bunyi lonceng. Tapi orang tua itu seolah-olah tidak mendengar dan tidak melihat kedatangannya. Sikapnya kelihatan malah semakin hambar, semakin letih, seakan-akan ingin secepat mencari suatu tempat untuk istirahat.

To-lo-hou memburu ke depan orang, dari atas dia pandang orang ke bawah berulang kali, katanya, "Apa benar kau ingin menetap tiga bulan di sini?"

Orang tua itu menghela napas, ujarnya, "Aku amat letih, tempat ini kelihatan amat tenang dan segar

"Kalau benar ingin mencari tempat buat tidur, agaknya kau kesasar jalan ke tempat yang keliru.

Di sini tidak ada ranjang, hanya ada peti mati."

Melirik pun tidak kepadanya, orang tua itu berkata tawar, "Jika kalian tidak terima kedatangan kami. segera kami berlalu."

To-lo-hou menyeringai sadis, jengeknya, "Kalau sudah datang, kenapa mau pergi?"

Terunjuk senyuman hina di ujung mulut orang tua itu, katanya, "Kalau begitu terpaksa aku menunggu saja di sini."

"Menunggu apa?" "Menunggu tinjumu."

"Kau tidak perlu menunggu lagi"

Mendadak dia turun tangan, secara berhadapan mendadak dia layangkan tinjunya menghantam dengan seluruh kekuatannya. Sungguh pukulan mematikan, cepat, telak dan bertenaga raksasa.

Belum lagi tinjunya mengenai sasarannya, damparan anginnya yang menderu membuat rambut uban si orang tua tertiup menari-nari.

Si orang tua sedikit pun tidak bergeming, sampai pun kelopak matanya pun tidak berkedip.

Matanya mengawasi tinju To-lo-hou, ujung mulutnya kembali menyungging senyuman hina. Maka tinjunya tiba-tiba juga melayang ke depan. Perawakannya lebih pendek, jotosannya juga dilontarkan lebih lambat. Tapi di waktu tinju To-lo-hou tinggal tiga dim di depan matanya, tahu- tahu kepalannya sudah menjotos ke hidung To-lo-hou.

Semua hadirin mendengar suara jeritan kesakitan yang diselingi suara tulang patah. Baru saja suaranya berkumandang, badan To-lo-hou seberat ratusan kati itu, tahu-tahu terpental membal. Terbang sejauh empat tombak, terbanting menumbuk dinding, lalu melorot jatuh.

Waktu dia roboh, hidungnya sudah penyok, naik berada di bawah mata, selebar sukanya sudah berubah bentuk.

Orang tua itu tetap bersikap seperti semula, melirik pun tidak, pelan-pelan dia keluarkan secarik saputangan untuk membersihkan noda-noda darah di tangannya, sorot matanya tetap memandang ke pegunungan di kejauhan sana.

0oo0 Rona muka Tok-gan-liong seketika berubah hebat Setelah hilang rasa terkejut anak buahnya, serempak mereka menerjang maju sambil berteriak- teriak. Tapi Pek-bin-long-tiong mencegah mereka, lalu dia berbisik beberapa patah kata di pinggir telinga Tok-gan-liong.

Sedetik Tok-gan-liong ragu-ragu, akhirnya dia manggut-manggut. Mendadak dia acungkan jempol, katanya dengan tertawa menengadah, "Bagus, kepandaian bagus, tamu sehebat ini diundang pun belum tentu kita mampu mengundangnya, sudah tentu kami tidak menolak."

Pek-bin-long-tiong tampil ke depan, katanya, "Siaute tahu Toako pasti menyambut dengan senang hati."

Dengan langkah lebar Tok-gan-liong maju mendekat ke muka si orang tua, katanya sambil bersoja, "Entah siapa nama sahabat ini?"

"Kau tidak perlu tahu siapa aku," sahut si orang tua tawar, "kami bukan sahabat."

Tanpa berubah mimik dan sikapnya, Tok-gan-liong mengunjuk tawa pula, katanya, "Entah berapa lama tuan ingin menetap di sini?"

"Kau tidak usah kuatir," si jelita segera menimbrung. "Tadi sudah kukatakan, hanya tiga bulan saja." Setelah tertawa dia melanjutkan, "Tiga bulan kemudian kami akan pergi, umpama kalian hendak menahan kami menetap sehari lagi pun tidak mau." Sebetulnya dia tahu, tiada orang yang bakal menahan mereka lebih lama menetap di situ.

"Tiga bulan kemudian? Waktu itu kemana pula mereka harus pergi?" Bagaimana pun juga itu urusan tiga bulan kemudian, buat apa sekarang susah-susah memikirkan tetek-bengek?

0oo0

Jari-jarinya menggenggam kencang gagang goloknya. Golok serba hitam. Demikian pula biji matanya seperti mata boneka yang bercat hitam, gelap dan dalam, mirip benar dengan tabir malam yang menjelang datang.

Malam di musim rontok. Pada malam gelap atau malam terang bulan, dia sudah menyusuri jalan besar kecil, menjelajahi semua tempat. Entah sampai kapan baru akan berakhir perjalanannya? Orang yang ingin dia cari sedemikian jauh belum terdengar kabar beritanya.

Dia sudah pernah bertanya entah berapa kali. "Adakah kau melihat seorang tua?" "Setiap orang pernah melihat orang tua, memangnya kakek tua di dunia ini tak terhitung

banyaknya."

"Tapi kakek tua yang satu ini berlainan, empat buah jari sebelah tangan kakek ini sudah putus tertabas."

"Tidak pernah melihat tiada orang yang tahu kabar berita orang tua ini"

Terpaksa dia berjalan lagi, berjalan lebih lanjut. Si 'dia' hanya menunduk kepala, pelan-pelan dia menguntit terus di belakangnya. Kemana pun dia pergi. Bukan lantaran dia tidak mau jalan berjajar di sampingnya, tapi adalah perasaannya sendiri yang menyangka orang tidak senang bila dirinya berjalan berjajar dengannya. Walaupun selama ini tidak pernah dia utarakan isi hatinya ini, tapi kelihatannya dia memandang rendah kepada dirinya. Mungkin yang dia pandang rendah bukan orang lain, tapi dirinya sendiri.

Selama ini dia pun belum pernah membujuknya, menyuruhnya menghentikan pencarian ini, bukankah pengejaran ini bakal sia-sia, tapi dia hanya tertunduk diam mengintil di belakangnya.

Mungkin dalam benaknya dia sudah tahu Pho Ang-soat selamanya tidak akan bisa menemukan orang yang dicarinya itu.

0oo0

Jalan besar di luar gang sempit sana, sinar api terang benderang. Entah kenapa? Jika bukan ingin mencari tahu kepada orang, dia selalu suka menempatkan dirinya di gang-gang sempit yang gelap saja. Sekarang akhirnya mereka sudah berada di jalan besar. Matanya segera bersinar, ujung mulutnya yang mungil itu seketika mengulum senyuman, seolah-olah mendadak dia mendapat kembali gairah hidupnya. Dia tidak sama dengan dia.

Dia suka keramaian, suka foya-foya, suka disanjung puji orang lain, ada kalanya dia pun senang menolak keinginan orang, tapi hal itu dia lakukan hanya untuk meninggikan gengsi dan harga dirinya, biasanya dia sudah cukup berpengalaman, cara bagaimana dia harus membuat hati laki-laki senang, laki-laki tidak akan suka bergaul dengan perempuan yang dipandangnya rendah.

Saat itu merupakan suasana teramai dalam setiap rumah makan dan warung arak, jika kau hendak mencari berita, tiada tempat lain yang lebih tepat daripada rumah-rumah makan atau warung arak itu. Justru di jalan raya inilah merupakan komplek pertokoan dan letak dari rumah- rumah makan dan warung-warung arak itu.

Baru saja mereka beranjak keluar dari jalan sempit itu, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak keras, "Cui-long!"

Kebetulan kedua orang itu baru saja turun dari atas loteng rumah makan sebelah jalan sempit itu, dua laki-laki besar yang berpakaian ser^a perlente, seorang menyoreng golok, seorang yang lain menggantung sebatang pedang di pinggangnya. Laki-laki yang menyoreng golok itu sudah memburu maju menarik tangannya.

"Cui-long, kenapa kau bisa berada di sini? Kapan kau tiba?" Tiada penyahutan.

"Aku sudah menasehatimu, jangan kau mengeram diri di tempat miskin itu, dengan bakatmu, setiba di kota besar ini, dalam jangka dua tahun aku tanggung kau bisa mengirim kepingan uang emas murni pulang dengan kereta."

Tetap tidak terdengar suara penyahutan.

"Kenapa tidak kau bicara? Kita kan kenalan lama, memangnya kau sudah lupa kepadaku!" agaknya laki-laki bergolok ini terlalu banyak minum arak, tanpa disadari dia berteriak-teriak di jalan raya seperti kuatir orang tidak tahu bahwa dia kenal baik dengan perempuan cantik ini.

Cui-long sebaliknya menundukkan kepala, dengan kerlingan matanya dia mengawasi sikap Pho Ang-soat.

Pho Ang-soat tidak berpaling, namun dia menghentikan langkah, otot hijau merongkol di punggung tangannya yang mencekal gagang golok.

Laki-laki yang menyoreng golok akhirnya berpaling mengawasi dirinya, lalu berpaling pula kepada Cui-long, akhirnya dia pun mengerti. "Tak heran kau tidak mau bicara, ternyata sudah punya laki-laki, tapi kenapa tidak kau cari yang bagus, yang ganteng, kenapa menaksir seorang timpang?"

Belum lagi dia habis dengan kata-katanya, tiba-tiba dilihatnya sorot mata Cui-long yang elok itu memancarkan rasa takut. Begitu dia menoleh mengikuti arah pandangan Cui-long, maka dia juga melihat sepasang mata yang lain.

^»"«^

Sepasang mata ini tidak terlalu besar, juga tidak begitu tajam, tapi menampilkan maksud- maksud tajam yang dingin.

Laki-laki bergolok ini bukan kaum keroco, bukan laki-laki berotak udang, dan lagi dia bisa minum arak, tapi waktu kedua biji mata ini mengawasi dirinya, tanpa disadarinya mendadak dia merasa mengkirik, berdiri bulu roma serta dingin kaki tangannya.

Dengan dingin Pho Ang-soat menatapnya, lalu mengawasi golok di pinggangnya, tiba-tiba dia bertanya. "Kau she Peng?" "Kalau benar kau mau apa?" bentak laki-laki bergolok dengan bengis. Agaknya dia merasa kurang puas karena kaki tangan sendiri tiba-tiba jadi dingin, maka sikapnya menjadi garang dan beringas terhadap orang lain.

"Kau anggota keluarga Peng dari Ngo-hou-toan-bun-to di Siamsay?" "Kau kenal aku?"

"Meski aku tidak kenal kau, tapi aku kenal golokmu."

Mirip dengan pakaian yang dikenakan laki-laki ini, demikian pula golok itu terlalu mewah dan berlebihan. Bentuk golok itu amat aneh, kepala goloknya amat lebar, batang goloknya semakin lurus mengecil dan sempit, di atas gagang goloknya dihiasi benang ronce lima warna.

Laki-laki itu segera membusungkan dada, serunya keras dengan pongah, "Benar, memang aku inilah Peng Liat!"

Pelan-pelan Pho Ang-soat manggut-manggut, katanya, "Aku pernah dengar."

Peng Liat merasa bangga, jengeknya dingin, "Memang pantas kau pernah mendengarnya." "Aku pun pernah mendengar keluarga Peng adalah sahabat karib Be Khong-cun."

"Ya, kita memang keluarga bersahabat." "Kau pernah bertamu ke Ban-be-tong?"

Sudah tentu Peng Liat pernah ke sana, kalau tidak, mana bisa dia kenal Cui-long. "Tahukah kau dimana jejak Be Khong-cun sekarang?" tanya Pho Ang-soat.

"Dia tidak berada di Ban-be-tong?" kelihatan dia amat heran dan terkejut, agaknya peristiwa tragis yang menimpa Ban-be-tong terakhir ini belum lagi diketahuinya.

Pho Ang-soat menghela napas pelan-pelan, dia amat kecewa. "Apa kau pun kenal Sam-lopan?" tanya Peng Liat.

Pho Ang-soat menyeringai dingin, sorot matanya tertuju ke goloknya pula, "Golokmu itu memang bagus!"

Kembali Peng Liat unjuk sikap takabur, memang goloknya jauh lebih bagus dari golok di tangan Pho Ang-soat.

"Sayang sekali golok bukan hiasan untuk ditonton orang." "Memangnya golok untuk apa menurut hematmu?"

"Kau tidak tahu bahwa golok untuk membunuh orang?" "Kau kira golokku ini tidak mampu membunuh orang?"

"Paling tidak aku belum pernah melihat golokmu ini membunuh orang." "Kau ingin melihatnya?"

"Memang ingin sekali." Rona mukanya ikut berubah, berubah lebih pucat memutih, sepintas pandang kelihatan mengkilap bening.

Mengawasi perubahan rona muka orang, tanpa terasa Peng Liat menyurut mundur setengah langkah, tiba-tiba dia tertawa lebar, serunya. "Lalu golokmu itu? Apakah bisa juga membunuh orang?" Semakin takut hatinya, gelak tawanya semakin keras.

Pho Ang-soat tidak banyak bicara lagi. Kalau dia perlu bicara, tidak perlu menggerakkan mulut, cukup dia gunakan goloknya. Bicara dengan golok, biasanya jauh lebih berguna daripada menggunakan mulut.

Dia sudah pernah membunuh orang, membunuh orang mirip pula dengan pelacur, hanya pertama kali saja terasa tersiksa dan menderita. Orang yang menyoreng pedang adalah seorang pemuda yang ganteng, perawakannya tinggi, kedua alisnya bertaut, raut mukanya selalu membayangkan senyum sinis dan menghina, agaknya sukar dia menghargai orang lain. Selama ini dia berdiri di samping mengawasi dengan dingin kini tiba-tiba menyeletuk, "Dulu pernah ada orang berkata demikian."

"Pernah bilang apa?" tanya Peng Liat.

"Mengatakan goloknya itu tidak bisa membunuh orang." "Siapa yang bilang demikian?"

"Seorang yang sekarang jiwanya sudah ajal." "Siapa dia?"

"Kongsun Toan."

"Kongsun Toan sudah mati?" Peng Liat terkesiap kaget. "Ya, mati oleh golok ini."

Jidat Peng Liat tiba-tiba dihiasi butir-butir keringat.

"Malah Sam-lopan sendiri pun terancam dan terdesak keluar dari Ban be-tong." "Kau ... darimana kau tahu?"

"Aku baru saja pulang dari perjalanan keluar perbatasan."

Mata Pho Ang-soat sudah menatapnya, tanyanya, "Untuk apa kau kesana?" "Mencari kau."

Kali ini Pho Ang-soat sendiri pun merasa di luar dugaan.

"Aku ingin bertemu dan melihatmu," kata si pemuda lebih lanjut. "Sengaja hendak melihatku?"

"Bukan melihat dirimu, tapi ingin melihat golokmu." Tanpa menunjukkan perasaan hatinya, suaranya pun tetap tenang dan wajar, katanya menyambung, "Ingin aku melihat betapa cepat sebetulnya golokmu ini!"

Jari-jari Pho Ang-soat mengencang, kulit mukanya yang pucat menjadi mengkilap.

"Aku she Wan bernama Wan Ceng-hong," si pemuda memperkenalkan diri. "Keluarga Wan pun mempunyai hubungan yang mendalam dengan Ban-be-tong "

Kembali Pho Ang-soat manggut-manggut, ujarnya "Ya, sekarang aku mengerti." "Memangnya kau harus mengerti."

"Apa sekarang kau masih ingin melihat golokku?" "Sudah tentu."

Pho Ang-soat tertunduk, mengawasi jari-jari tangannya yang menggenggam golok. "Tidak lekas kau cabut golokmu?" tantang Wan Ceng-hong.

"Aku masih ada pertanyaan." "Boleh kau tanya."

"Kau sendiri pernah bertemu dengan Be Khong-cun?" "Tidak."

"Cara bagaimana kau bisa tahu akan diriku." "Kudengar dari orang lain." "Siapa yang bilang?"

"Tak usah kau tahu siapa dia."

Setelah lama berdiam diri, akhirnya Pho Ang-soat mengangkat kepala, tanyanya, "Kau ingin aku mencabut golok?"

"Ya, silakan cabut!"

"Baik, keluarkan dulu pedangmu!"

"Murid Thian-san-kiam-pay, selamanya belum pernah mencabut pedang lebih dulu."

Tiba-tiba terunjuk mimik aneh pada muka Pho Ang-soat, mulutnya menggumam, "Thian-san ... Thian-san " Sorot matanya menatap ke tempat jauh, seolah-olah mengandung kenangan dan

rindu, merasa duka dan lara pula.

"Cabut golokmu!" bentak Wan Ceng-hong lagi.

Tangan Pho Ang-soat semakin kencang memegang goloknya, tangan kirinya memegang sarung golok, tangan kanan mendadak mencekal gagang golok.

Tanpa kuasa Peng Liat menyurut mundur setengah tapak lagi, mata Cui-long yang elok itu mendadak memancarkan sinar menyala karena merasa tegang dan haru.

Muka Wan Ceng-hong tetap beku tak berperasaan, tapi tanpa sadar jari-jari tangannya pun mencekal gagang pedang.

"Thian-san ... Thian-san " sekonyong-konyong sinar berkelebat. Hanya berkelebat sekilas

saja. Setelah mata orang melihat sinar golok yang berkelebat melebihi kecepatan kilat itu, tahu- tahu golok di tangan Pho Ang-soat sudah kembali masuk ke dalam sarungnya lagi.

Kebetulan hembusan angin berlalu, benang-benang sutra seketika beterbangan terbawa angin.

Kiranya ronce benang sutra merah di gagang pedang Wan Ceng-hong sudah terpapas putus.

Pho Ang-soat tetap menundukkan kepala, mengawasi goloknya sendiri, katanya, "Sekarang kau sudah melihatnya."

Muka Wan Ceng-hong tetap tidak berubah, membesi kaku, tapi jidatnya sudah basah oleh butiran keringat dingin. "Sekarang aku sudah melihatnya."

"Golokku ini sebetulnya bukan untuk ditonton orang, tapi hari ini aku melanggar kebiasaanku untukmu."

Sepatah kata pun Wan Ceng-hong tidak bersuara lagi, pelan-pelan dia putar badan, tinggal pergi masuk ke jalan sempit di pinggir rumah makan di depan sana. Dia tetap belum melihat golok Pho Ang-soat, yang dilihatnya hanya sambaran goloknya. Tapi ini sudah lebih dari cukup.

0oo0

Orangnya sudah pergi, tapi benang sutra yang bertebaran di udara masih ketinggalan terhembus angin.

Telapak tangan Peng Liat yang menggenggam golok sudah basah oleh keringat dingin. Tiba-tiba Pho Ang-soat berpaling mengawasinya, katanya, "Kau sudah melihat golokku?" Peng Liat manggut-manggut.

"Sekarang giliranku ingin melihat golokmu," ujar Pho Ang-soat

Peng Liat mengertak gigi, giginya berkeriut, kedengarannya seperti orang mengasah pisau. Sekonyong-konyong terdengar seseorang berseru, "Goloknya itu tidak baik dipandang mata."

0oo0

Kebetulan ada sebuah tandu lewat di jalan besar ini, kini berhenti di persimpangan jalan, seruan orang berkumandang dari dalam tandu. Itulah suara perempuan, suara merdu dan enak didengar dari seorang gadis lemaja, cuma siapa dia belum kelihatan. Kerai di depan tandu terurai turun mengalingi pandangan.

"Golok ini tidak bagus? Lalu apanya yang bagus?" jengek Pho Ang-soat

Orang dalam tandu menjawab, "Aku justru lebih bagus dari golok itu”. Bukan saja tawanya semerdu kelintingan, malah kata-katanya pun se ramai kelintingan berbunyi nyaring. Di tengah suara ramai dari kelintingan berdering, kerai tersingkap dan menongol keluarlah seorang gadis dari dalam tandu, seorang gadis jelita laksana teratai yang baru mekar

Pakaian yang dikenakan adalah jubah panjang putih mulus, pada leher, pergelangan tangan, sampai pun kedua kakinya mengenakan gelang yang bergantungan, kelintingan emas.

Ting Hun-pin.

Melihat dia, Pho Ang-soat seketika mengerut alis, katanya, "Kau?"

Mengerling biji mata Ting Hun-pin, katanya berseri tawa, "Tak nyana kau masih mengenal aku." Sebetulnya Pho Ang-soat tidak kenal dia. cuma pernah melihat dia berada bersama Yap Kay.

Ting Hun-pin tertawa, ujarnya, "Kukatakan golok ini tidak bagus, karena bukan Ngo-hou-toan- bun-to yang asli."

"Bukan yang asli?" Pho Ang-soat menegas.

"Jika kau benar-benar ingin bertemu dengan Ngo-hun-toan-bun-to, boleh kau pergi ke Ngo- hou-ceng di Koantiong." Tiba-tiba Ting Hun-pin membalik menghadap Peng Liat, katanya tertawa, "Sekarang dia pasti tidak ingin melihat golokmu, lekas kau pergi minum arak saja, Siau Yap pasti sedang menunggu dengan gelisah."

"Siau Yap? Apa maksudmu?" tanya Pho Ang-soat.

"Hari ini Siau Yap (Yap si kecil) mentraktir makan minum, kita semua adalah tamu-tamunya yang tak usah diundang." Dia cekikikan lalu menyambung, "Dia tidak suka tamu yang sudah mampus, maka dia pun tidak suka tamu-tamunya mati."

"Yap Kay maksudmu?" "Kecuali dia, siapa lagi?" "Dia pun berada di sini?"

"Di atas Thian-hok-lo sana itu, bila kau pun datang ke sana pasti dia senang setengah mati!" "Dia tidak akan melihat diriku," kata Pho Ang-soat dingin.

"Kau tidak mau ke sana?" "Aku bukan tamunya."

"Kalau kau tidak mau ke sana, tiada orang yang memaksamu, cuma matanya mengerling tajam kepada Pho Ang-soat, katanya pula dengan tersenyum, "Tamu-tamu yang dia undang di sana, semuanya mempunyai berita yang cepat dan tajam, jika kau hendak mencari tahu kabar apa-apa, di sanalah tempat yang tepat untuk kau cari."

Pho Ang-soat tidak banyak bicara lagi, segera dia putar badan beranjak ke Thian-hok-lo, seolah-olah dia lupa bahwa ada orang tengah menunggu dirinya.

Ting Hun-pin melirik kepada Cui long, katanya menghela napas, "Agaknya dia sudah melupakan dirimu."

Cui long tertawa, katanya, "Tapi kau tidak melupakan dia."

Berkedip mata Ting Hun-pin, tanyanya, "Kenapa dia tidak membawamu serta?" "Karena dia tahu aku bakal menguntitnya sendiri." Betul juga segera dia menyusul. Mengawasi bayangan orang yang semampai gerak-gerik yang lembut gemulai, mulutnya berkata seorang diri, "Agaknya itulah cara terbaik untuk menghadapi laki-laki."

Suaranya tidak tinggi dan tidak keras, namun kuping Cui-long agaknya amat tajam, tiba-tiba dia berpaling dengan tertawa, katanya, "Kenapa kau tidak meniru caraku ini?"

Ting Hun-pin tertawa, katanya, "Karena cara orang ini sebetulnya adalah aku sendiri yang menciptakan."

^»"«^

Tamu-tamu yang hadir di dalam Thian-hok-lo memang banyak, pakaian setiap orang semuanya perlente, gagah dan ganteng. Memang ucapan Ting Hun-pin tidak berlebihan, orang-orang yang mempunyai kabar dan berita yang cepat dan tajam pendengarannya, sudah tentu merupakan tokoh-tokoh yang punya kedudukan tinggi dan orang yang punya akal sehat.

Sudah tentu bukan soal gampang untuk mengundang dan mengumpulkan orang-orang seperti ini. Apalagi sekaligus mengumpul sedemikian banyak orang.

Dua bulan lebih tak berjumpa, Yap Kay agaknya sudah berubah menjadi orang yang serba pintar, punya otak dan pandai menggunakan akal. Jubah berbulu yang dipakainya sekarang mungkin hanya terbeli dengan nilai lima puluh tahil perak, demikian pula sepatu kulit bersemir mengkilap, rambutnya tersisir rapi dan berminyak hitam, malah mengenakan topi yang biasanya suka dipakai putra hartawan yang suka foya-foya dengan hiasan mutiara dan zamrud segala.

Sebelumnya orang ini tidak pernah berdandan mewah, hampir saja Pho Ang-soat tidak mengenalnya lagi. Tapi Yap Kay sebaliknya masih mengenalnya. Begitu dia naik ke atas loteng, Yap Kay lantas melihat dirinya.

0oo0

Sinar lampu terang berderang seperti di siang hari bolong. Roman muka Pho Ang-soat kelihatan semakin legam ditimpa sinar api.

Sudah banyak orang yang melihat golok hitam itu, melihat dulu goloknya baru melihat orang yang membawanya.

Sebaliknya pandangan Pho Ang-soat seolah-olah seorang pun tidak dilihatnya. Yap Kay sudah berada di depannya, mengawasinya dengan senyuman lebar. Hanya senyuman ini belum berubah, malah begitu lebar dan simpatik senyuman ini. Mungkin karena menghadapi senyuman ini.

Maka Pho Ang-soat cukup melirik sekilas saja kepadanya.

Yap Kay tertawa, sapanya, "Sungguh tidak nyana kau bisa kemari " "Aku juga tidak mengira."

"Silakan duduk." "Aku berdiri saja." "Tidak mau duduk?"

"Berdiri juga bisa bicara."

"Aku tahu apa yang hendak kau bicarakan." "Kau tahu?"

Yap Kay manggut-manggut, ujarnya, "Sayang sekali aku pun tidak berhasil mencari tahu jejak orang itu."

Pho Ang-soat termenung, lama juga baru mendadak dia berkata, "Selamat bertemu!" "Tidak minum dulu?"

"Tidak." "Secangkir arak tidak akan mencelakai jiwa orang " "Tapi aku takkan mengundangmu minum "

"Aku pernah kebentur batunya."

"Aku pun tidak akan sudi minum arakmu." "Kita bukan teman?"

"Aku tidak punya teman." Tiba-tiba dia membalik badan, melangkah pergi.

Mengawasi bayangan punggungnya, senyuman Yap Kay menjadi getir dan kaku. Tapi Pho Ang- soat tidak turun ke bawah loteng, karena saat itu Ting Hun-pin dan Cui-long tengah beranjak naik dari tangga loteng.

Tangga loteng terlalu sempit. Tiba cukup untuk dua orang jalan berjajar.

Cui-long berdiri di mulut tangga, agaknya tertegun, dia sudah melihat Yap Kay, Yap Kay pun sedang mengawasi dirinya. Pho Ang-soat pun sedang mengawasi Cui-long, sedang Ting Hun-pin mengawasi Yap Kay.

Mimik keempat pasang mata ini berlainan, tiada orang yang bisa melukiskan perasaan yang melembari sanubari mereka.

Untung lekas sekali Cui-long sudah menundukkan kepala. Tapi Yap Kay masih menatapnya. Pelan-pelan Ting Hun-pin maju beberapa langkah. Pho Ang-soat segera turun dari tempatnya. Tanpa bersuara Cui-long segera membalik badan, ikut di belakangnya, tidak melirik lagi kepada Yap Kay.

Tapi Yap Kay masih mendelong mengawasi mulut tangga yang kosong. Tak tahan Ting Hun-pin menepuk pundaknya, katanya dingin, "Orang sudah pergi."

"O? Sudah pergi?" "Pergi ikut temanmu." "O."

"Kalau kau hendak merebut cintanya, kau harus hati-hati. karena golok orang itu amat cepat." Yap Kay tertawa.

Ting Hun-pin juga tertawa, namun tawa dingin, "Cuma perempuan itu memang tidak jelek, kabarnya dulu dia menggunakan kecantikannya itu untuk mencari uang, mungkin kau pun pernah menghamburkan uangmu kepadanya."

"Kau kira aku sedang mengawasi dia?" "Memangnya setan yang sedang kau awasi?" "Aku cuma berpikir "

"Berpikir dalam hati lebih jahat daripada memandang dengan hati "

"Apa yang terpikir dalam benakku, selamanya tidak akan kau percaya."

Berputar biji mata Ting Hun-pin, katanya, "Aku percaya, asal kau beritahu kepadaku, aku akan percaya."

"Aku cuma mengharap dia betul-betul mencintai Pho Ang-soat, betul-betul rela mengikutinya seumur hidup, kalau tidak "

"Kalau tidak bagaimana?"

"Kalau tidak, mungkin aku terpaksa harus membunuhnya." "Kau tega?" "Memangnya aku bukan laki-laki yang kasihan terhadap perempuan cantik yang pantas kubunuh."

"Aku tahu orang macam apa kau ini." "O, aku orang macam apa?"

"Kau ini setan hidung belang yang lain di mulut lain di hati, oleh karena itu apa pun yang kau katakan, sepatah kata pun aku tidak percaya." Yap Kay tertawa pula, tawa getir.

Pada saat itulah, tiba-tiba dari bawah loteng ada orang berseru memanggil, "Yap Kay, Yap Kay

...."

Seorang pemuda berbaju abu-abu dengan topi rumput kebetulan berlalu menunggang kuda, akhirnya berhenti di depan Thian-hok-lo. sebelah tangannya memegang kendali, tangan yang lain sedang menguliti kacang.

Orang-orang yang duduk di pinggir jendela cukup berpaling lantas melihatnya, terlihat juga pedang yang terselip miring di ikat pinggangnya. Sebatang pedang tipis tajam mengkilap tanpa sarung.

"Lok Siau-ka!" ada orang yang berteriak terkejut.

0oo0

Lok Siau-ka! Ketiga huruf nama ini seolah-olah mengandung daya tarik yang misterius, mendengar nama ini, tersipu-sipu orang berebut melongok keluar jendela.

Yap Kay mendahului di depan, katanya tertawa, "Tidak naik kemari minum arak?"

Lok Siau-ka mendongak, katanya, "Kau tidak makan kacangku, kenapa aku harus minum arakmu?"

"Ah, dua hal yang berlainan!" dia putar badan meraih secangkir arak penuh, terus dilempar ke bawah, dengan berputar-putar cangkir arak itu dengan tenangnya terbang lurus ke arah Lok Siau- ka, seolah-olah ada makhluk gaib yang tidak kentara menyanggahnya

Lok Siau-ka tertawa, jarinya menjentik sekali, cangkir itu terjentik mencelat naik dan terbalik di tengah udara. Arak di dalam cangkir seketika tumpah dan tepat tertuang masuk ke dalam mulut Lok Siau-ka.

"Arak bagus!" puji Lok Siau-ka. "Secangkir lagi?"

"Aku hanya ingin tanya kau, apakah kau pun sudah terima undangan?" "Kemarin baru kuterima."

"Kau akan datang tidak?"

"Kau tahu biasanya aku paling suka melihat keramaian."

"Baik, pada tanggal lima belas bulan sembilan yang akan datang kita berjumpa di Pek-hun- ceng." Dikulitinya sebutir kacang, terus dilempar, baru saja dia menunggu dengan mulut terbuka hendak mencaplok kacang itu.

Tak nyana badan Yap Kay tiba-tiba melesat keluar, mulut terpentang, dia sambut kacang yang melayang turun itu, di tengah udara dia berjumpalitan membalik, dengan ringan melayang turun kembali di tempatnya. Katanya dengan tergelak, "Akhirnya aku berhasil makan kacangmu."

Lok Siau-ka melengak, tiba-tiba dia pun tertawa besar, diiringi gelak tawanya dia ayun pecutnya membedal kudanya pergi. Terdengar dari kejauhan suaranya berkata, "Anak keparat, kau memang anak keparat yang bagus!"

0oo0 Mi kuah itu sudah dingin. Kuahnya keruh, bagian atasnya ditaburi daun-daun sayur hijau.

Sayurnya murah pula, minya kasar, makanan yang termurah pula, mangkuknyapun sudah gumpil.

Kepala Cui-long tertunduk, tangannya sedang mengerjakan sepasang sumpit yang entah sudah pernah dipakai berapa banyak orang, diungkitnya beberapa batang mi, lalu diletakkan lagi. Walau perutnya amat lapar, tapi mi kuah seperti ini betapa pun tidak menimbulkan selera makannya.

Biasanya mi kuah yang dimakannya dibumbui racikan enak, kuah ayam dan pangsit atau bakso, mangkuknya pun mangkuk antik yang mahal harganya. Menghadapi mangkuk gumpil dengan mi kuah di dalamnya, dia merasa mual, menghela napas, lalu meletakkan sumpit.

Sebaliknya mi kuah di mangkuk Pho Ang-soat sudah digaresnya sampai habis, kini dengan diam-diam dia tengah mengawasinya, katanya tiba-tiba, "Kau tidak bisa makan?"

Kecut dan dibuat-buat tawa Cui-long, sahutnya, "Aku tidak lapar."

"Aku tahu kau tidak biasa makan hidangan sekotor ini, kau harus makan di Thian-hok-lo." "Kau tahu aku tidak akan ke sana, aku...”

"Kau kuatir dirimu tidak disambut?" Cui-long geleng-geleng.

"Lalu kenapa kau tidak ke sana?"

Pelan-pelan Cui-long mengangkat kepala menatap mukanya, katanya lembut, "Karena kau di sini, maka aku pun di sini, tempat mana pun aku tidak akan ke sana."

Pho Ang-soat tidak bicara lagi.

Cui-long mengulur tangan mengelus punggung tangannya, tangan yang memegang golok.

Dalam keadaan apa pun dia cukup tahu cara bagaimana dia menenangkan hati laki-laki.

Tiba-tiba Pho Ang-soat mengipatkan tangannya, katanya dingin, "Kau kenal laki-laki itu?" "Cuma ... cuma tamu biasa saja?"

"Apa yang dinamakan tamu biasa saja?"

"Kau tahu, dulu aku ... di tempat seperti itu, tak urung harus kenal dengan laki-laki yang suka iseng."

Terpancar rasa derita yang mengetuk sanubari Pho Ang-soat dari sorot matanya. "Kau harus memaafkan aku, kau harus tahu sebetulnya aku tidak sudi melayaninya." "Yang terang aku tahu kau selalu mengincarnya."

"Sejak kapan aku pernah mengincarnya, cukup sekilas melihatnya, hatiku sudah muak." "Hatimu muak?"

"Rasanya ingin aku membunuhnya."

"Kau kira orang she Peng itu yang kumaksud?" "Bukan dia yang kau maksud?"

"Yang kumaksud adalah Yap Kay." Cui-long tertegun.

"Bukankah kau pun kenal dia? Apakah dia itupun tamu biasa?"

Kini mata Cui-long yang menyorotkan derita dan siksaan batin, katanya dengan pilu, "Kenapa kau harus bicara demikian? Kau sedang menyiksa aku? Atau sedang menyiksa hatimu sendiri?"

Muka Pho Ang-soat yang pucat menjadi merah padam, sedapat mungkin dia kendalikan emosinya, katanya tandas, "Aku hanya ingin tahu, apakah kau pun mengenalnya?." "Umpama dulu aku pernah mengenal dia, sekarang aku sudah tidak mengenalnya lagi." "Kenapa?"

"Karena sekarang hanya kau seorang yang kukenal, hanya kau seorang." Kembali tangannya terulur, dengan kencang dia genggam tangan Pho Ang-soat.

Mengawasi tangannya, sikap Pho Ang-soat semakin tertekan, katanya, "Sayang sekali aku tidak bisa memberi kehidupan mewah dan senang seperti yang kau nikmati dulu, dengan ikut aku, kau hanya akan menderita, makan mi seperti ini."

"Memangnya apa jeleknya mi seperti ini?" "Tapi kau tiada selera untuk memakannya."

"Baik, biar kumakan." Sumpit diraihnya serta diungkitnya mi di dalam mangkuk terus dijejalkan ke dalam mulut, melihat tawa menyengir yang dipaksakan di mukanya, mirip benar dengan orang yang disuruh makan obat racun.

Pho Ang-soat mengawasinya, mendadak dia rebut sumpit orang, katanya keras, "Kalau kau tiada selera makan, kenapa harus dipaksakan? ... aku kan tidak memaksa kau." Suaranya serak karena terharu, jari-jari tangannya pun gemetar.

Biji mata Cui-long merah, air mata berlinang, akhirnya tak tahan dia berkata, "Kenapa kau sekasar ini terhadapku? Aku...”

"Kau kenapa?"

"Aku hanya merasa sebetulnya kita tidak usah hidup dalam keadaan seperti ini," sahut Cui-long menghela napas. "Uang sangumu mungkin sudah habis, tapi aku masih punya cukup banyak."

Dada Pho Ang-soat turun naik, katanya serak, "Itu milikmu, tiada sangkut-pautnya dengan aku."

"Sampai pun jiwa ragaku ini sudah menjadi milikmu, kenapa kau dan aku harus dibatasi dengan garis yang begini jelas?"

Merah membara selebar muka Pho Ang-soat yang semula pucat, sekujur badannya gemetar, katanya sepatah demi sepatah, "Tapi kenapa tidak kau pikir, betapa kotor uangmu? Asal aku teringat asal mula uangmu itu, aku lantas mual hendak muntah."

Berubah pula muka Cui-long, sekujur badan bergetar keras, dengan kencang dia menggigit bibirnya, katanya, "Mungkin bukan uangku saja yang kotor, badanku inipun sudah lama kotor."

"Memangnya."

"Tak usah kau suruh aku berpikir, aku sendiri sudah pernah memikirkannya, aku memang tahu sejak mula kau memang memandang rendah diriku." Bibirnya tergigit sampai keluar darah, sambungnya dengan suara tersendat, "Aku hanya mengharap kau sendiri pun suka berpikir."

"Apa yang harus kupikir?"

"Kenapa tidak kau pikir, kenapa aku bisa melakukan pekerjaanku ini? Demi siapa? Aku ... buat apa aku harus menyiksa diri?"

Walau sedapat mungkin dia kendalikan emosinya, tapi tak tertahan air mata bercucuran membasahi pipinya, tiba-tiba dia berdiri, katanya dengan air mata berlinang, "Kalau kau memang menghinaku, buat apa aku selalu mempersulit dirimu, aku "

"Benar, kalau toh kau bisa mencari uang dengan gampang, kenapa harus ikut aku yang rudin ini, sejak lama kau sudah harus pergi."

"Kau benar-benar kau ingin aku pergi?"

"Buat apa main-main." "Baik, baik, baik ... kau baik sekali," teriak Cui-long. Tiba-tiba dia dekap mukanya dengan kedua tangan, terus berlari keluar dengan jerit tangis. "Blang", dengan keras dia banting daun pintu sampai tertutup keras.

Pho Ang-soat tidak merintangi, melirik pun tidak. Dia tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun. Badannya tidak gemetar lagi, tapi otot-otot hijau di punggung tangannya sudah merongkol keluar, keringat dingin sudah membasahi jidatnya. Tapi tiba-tiba dia malah roboh tersungkur, badannya kelejetan dan meronta-ronta di atas lantai, kejang, buih putih meleleh keluar dari mulutnya. Lama kelamaan dia meronta-ronta sekeras mungkin seperti binatang yang sekarat setelah digorok lehernya, deru napasnya seperti sapi yang hendak disembelih

Pintu terbuka lagi, Cui-long pelan-pelan melangkah masuk. Air mata di mukanya sudah kering, biji matanya seolah-olah memancarkan cahaya terang. Tapi jari-jari tangannya gemetar. Bukan gemetar karena menderita, adalah karena haru dan tegang!

Dengan nanar matanya menatap Pho Ang-soat, selangkah demi selangkah maju menghampiri.

Sekonyong-konyong dia mendengar sesuatu suara, suara yang aneh Seperti orang mengunyah sesuatu.

Entah sejak kapan sesosok bayangan orang sudah melompat masuk dari luar jendela, berdiri menggeledot di ambang jendela, mulutnya sedang mengunyah kacang.

Lok Siau-ka.

Berubah air muka Cui-long, teriaknya tertahan, "Untuk apa kau kemari?" "Aku tidak boleh kemari?"

"Kau kemari hendak membunuhnya."

Lok Siau-ka tertawa tawar, sahutnya, "Akukah yang ingin membunuhnya? Atau kau yang mau membunuh dia?"

Berubah air muka Cui-long, katanya dingin, "Kau sudah gila, kenapa aku hendak membunuhnya?"

Lok Siau-ka menghela napas, ujarnya, "Perempuan kalau hendak membunuh laki-laki selalu bisa mengajukan banyak alasan."

Tiba-tiba Ciu-long memburu maju ke depan Pho Ang-soat katanya keras, "Apa pun yang kau katakan, tidak kubiarkan kau menyentuhnya."

Lok Siau-ka menyeringai dingin, jengeknya, "Umpama kau minta aku menyentuhnya, aku tidak akan tertarik, selamanya aku tidak menyentuh laki-laki?"

"Kau hanya membunuh laki-laki?"

"Aku pun tidak pernah membunuh laki-laki yang sudah roboh!" "Jadi untuk apa kau kemari?"

"Aku hanya ingin tanya kalian, sudah menerima kartu undangan belum?" "Undangan? Undangan apa?"

"Agaknya pergaulan kalian memang kurang luas." "Kami tidak perlu pergaulan yang luas."

"Tanpa pergaulan yang luas, cara bagaimana bisa menemukan orang." Tiba-tiba dia cabut pedangnya, dalam sekejap mata dia sudah meninggalkan beberapa huruf di atas dinding "Tanggal lima belas bulan sembilan. Pek-hun-san-ceng."

"Apa maksudnya?" tanya Cui-long. Lok Siau-ka tertawa, sahutnya, "Maksudnya, aku harap pada tanggal lima belas bulan sembilan nanti, dengan tetap hidup kalian berada di Pek-hun-san-ceng, orang mati tidak akan disambut dan dilayani di sana."

Angin menghembus datang, sesuatu benda melayang jatuh terhembus angin dari atas jendela, itulah kulit kacang. Tahu-tahu bayangan Lok Siau-ka sudah menghilang seperti terhembus angin.

Lambat-laun dengus napas Pho Ang-soat yang ngos-ngosan mulai reda. Cui-long menjublek di tempat, lama sekali dia seperti lupa diri, akhirnya dia berjongkok memayangnya. Dipeluknya orang di dadanya yang hangat dan mesra. Biasanya dia sudah cukup berpengalaman cara bagaimana dia harus memeluk laki-laki.

* * *
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar